Anda di halaman 1dari 12

Situs Benteng Puteri Hijau Dan Situs Kotacina Dalam Perspektif

Perlindungan Sumberdaya Arkeologi 1

Stanov Purnawibowo
Balai Arkeologi Medan

1. Pendahuluan

1.1. Latar belakang dan permasalahan

Akhir-akhir ini di pinggiran luar Kota Medan, tepatnya di daerah Namorambe yang
masuk Kabupaten Deliserdang, banyak diperbincangkan masalah keberadaan situs Benteng
Puteri Hijau, yang sering dikait-kaitkan keberadaanya dengan tokoh Puteri Hijau dan
eksistensi Kerajaan Haru di pesisir timur Sumatera. Informasi kondisi terakhir yang
didapatkan penulis tentang situs ini pada akhir tahun 2011 lalu sebagian gubdukan tanah yang
diduga merupakan bagian benteng tanah yang dahulu telah diteliti, telah hilang diratakan
dengan tanah oleh sebuah kegiatan pembanguan kompleks perumahan yang dikelola oleh
Perum PERUMNAS wilayah Sumatera Bagian Utara. Padahal dalam laporan penelitian yang
dilakukan secara bersama dari kalangan pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten
Deliserdang, Puslitbang Arkenas, Balai Arkeologi Medan, Universitas Sumatera Utara
(USU), dan Universitas Negeri Medan (UNIMED) juga dibantu oleh pihak pengembang
sendiri, yaitu Perum PERUMNAS Regional I Sumbagut.
Sangat ironis memang, sebuah situs yang sedang dalam proses untuk diajukan
penetapannya sebagai cagar budaya telah dirusak. Seakan-akan telah terjadi perlombaan
dalam pengeksploitasian areal situs untuk kepentingan-kepentingan tertentu, dalam hal ini
kepentingan ilmu pengetahuan dan kepentingan ketersediaan hunian yang layak dan
terjangkau bagi masyarakat di Kota Medan dan sekitarnya. Sepatutnya hasil penelitian yang
dilaksanakan menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kawasan perumahan di
areal situs ini. Tetapi kenyataannya tidak, malah situs yang dalam hasil penelitiannya
memunculkan saran untuk melindungi bagian-bagian tertentu di situs ini karena ditakutkan
akan rusak atau hilang justru dengan sengaja dihilangkan/dirusak untuk kepentingan ekonomi
dan penyediaan permukiman. Dan dalam pengelolaan situs dapat dikatakan gagal total pada
aspek perlindungan dan pelestarian situs. Meskipu situs ini masih dalam tahapan diproses
untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.

1
Diterbitkan dalam jurnal “ARABESK” Nomor 2 Edisi XIII Tahun 2013 periode bulan Januari-Juni. BPCB Aceh.
Hal. 29 – 43.

1
Pembahasan kali ini difokuskan untuk menjelaskan permasalahan berupa strategi apa
saja yang harus dilakukan pada situs yang sudah rusak dan gagal dikelola ini agar
kerusakanya tidak semakin lebih parah dan tidak menular kerusakan dan kegagalannya pada
situs lainnya, serta melakukan perbandingan dengan situs lain yang berdekatan dengan
potensi ancaman yang sama. Dalam hal ini situs Benteng Puteri Hijau (BPH) yang telah rusak
dan situs Kotacina yang relatif berdekatan secara spasial jaraknya, agar situs Kotacina tidak
mengalami kerusakan separah situs BPH.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan ilmiah ini adalah untuk memberikan penjelasan bagaimana


seharusnya sumberdaya arkeologi dilindungi dengan penyajian fakta di situs Benteng Puteri
Hijau dan situs Kotacina. Serta memberikan masukan bagi para stakeholders situs-situs di
sekitar Medan dengan cara belajar dari pengalaman kegagalan perlindungan sumberdaya
arkeologi di situs BPH agar tidak terjadi di situs Kotacina.

1.3. Metode

Kerangka pikir yang digunakan bertitik tolak dari fakta yang ada, yang dijabarkan
dalam bentuk deskripsi dari fakta tersebut. Dalam penelitian ini digunakan penalaran
induktif, yaitu suatu penalaran yang berangkat dari data atau fakta-fakta arkeologi dari dalam
bentuk peta dan deskripsian kondisi situs, untuk kemudian dianalisis dan disintesiskan
(Tanudirdjo, 1988-1989).
Data kondisi situs Benteng Puteri Hijau yang digunakan dalam artikel ini adalah peta
hasil penelitian tahun 2009 dan hasil penelitian tahun 2011 yang dibuat oleh Taufiqurrahman
Setiawan. Adapun untuk data kondisi situs Kotacina menggunakan hasil penelusuran studi
pustaka tentang hasil-hasil penelitian dan penelaahan berkenaan dengan situs Kotacina.

2. Kondisi Situs Benteng Putri Hijau dan Kotacina sekarang

2.1. Situs Benteng Puteri Hijau

Situs Benteng Putri Hijau sendiri terletak di sebuah dataran yang berada di bagian atas
lembah Sungai/Lau Tani, bagian atas Sungai Deli yang berhulu di daerah Sibolangit dan
bermuara di Selat Malaka. Situs ini terletak di antara N 3° 28’ hingga N 3° 29’ dan E 98°40’,
memanjang utara-selatan di tebing barat Lau Tani, yang mengalir ke arah selatan. Secara
administrasi situs ini berada di Desa Deli Tua Kampung, Kecamatan Namorambe, Kabupaten

2
Deli Serdang. Saat ini sebagian areal Benteng Putri Hijau digunakan untuk pembangunan
perumahan Perum PERUMNAS Regional I Sumbagut. Situs ini dihubungkan dengan legenda
Putri Hijau dan kejayaan Kerajaan Haru. Bagian yang mengagumkan dari Benteng Putri
Hijau ini ada pada pemanfaatan tebing sungai sebagai pagar benteng (Koestoro, 2010). Pada
saat dilakukannya penulisan ilmiah ini, penulis mendapat kabar tentang pelaksanaan
penelitian terbaru yang belum terbit laporannya, bahwa di situs ini telah terjadi reduksi atau
hilangnya beberapa bagian benteng tanah diakibatkan pengembangan kawasan perumahan
oleh warga maupun Perum PERUMNAS Regional I Sumbagut.
Data artefaktual yang berhasil didapat dari situs ini terdiri dari berbagai macam ragam
dan jenis. Ditinjau dari aspek formal/bentuk, jenis artefak lepas yang dijumpai berupa
tembikar, keramik, logam, serta alat batu. Jenis artefak berbahan tanah yang dibakar seperti
tembikar dan keramik ditemukan dalam kondisi fragmentaris, baik yang berasal dari
permukaan tanah maupun hasil ekskavasi. Jenis artefak ini sebagian besar merupakan wadah
yang umum dipakai dalam aktivitas sehari-hari, seperti: mangkok, kendi, guci, tempayan,
pasu, piring, serta teko. Adapun artefak berbahan logam yang ditemukan di sekitar situs
berupa uang logam berbahan emas, selongsong peluru, peluru bulat, alat berbahan logam
yang diidentifikasi sebagai grathul (Jawa, alat pertanian untuk membersihkan tanaman dari
gulma), serta kerak besi seberat 7 gram yang ditemukan di kebun coklat/kakao (Theobroma
cacao L.) milik warga pada penelitian tahun 2008. Adapun artefak alat batu sumatralith
berbahan batuan beku juga ditemukan berjumlah 3 buah pada penelitian tahun 2008.
Ditinjau dari aspek temporal, data artefaktual yang ditemukan berasal dari berbagai
rentang masa. Jenis artefak sumatralith berasal dari masa pengaruh budaya prasejarah yang
diidentifikasi pernah ada di situs tersebut. Adapun jenis artefak fragmen tembikar dan
keramik diidentifikasi berasal dari rentang masa abad XIII -- XVIII. Sedangkan untuk artefak
logam berupa: mata uang emas diduga berasal dari Aceh abad XVII; selongsong peluru
berasal dari masa abad XX yang digunakan untuk senapan serbu laras panjang CIPS FNC,
Kaliber (KL) 5,56 mm buatan Belgia; proyektil bulat berbahan logam timah hitam berasal
dari masa abad XV – XX; serta grathul dari masa saat daerah tersebut merupakan lokasi
perkebunan tembakau pada akhir abad XIX hingga awal XX (BP3: 2008, dan Tim Peneliti:
2009).
Berkenaan dengan aspek spatial temuan artefaknya, diidentifikasi berasal dari luar
daerah situs. Hal ini diidentifikasi karena belum ditemukannya indikasi tempat produksi
artefak tersebut di sekitar lokasi penelitian. Adapun temuan fragmen keramik berasal dari
Cina dan Thailand. Mata uang emas berasal dari Aceh, serta selongsong peluru buatan
3
Belgia. Sedangkan alat batu, pelor timah hitam, kerak besi dan grathul belum dapat diketahui
secara pasti (BP3: 2008, dan Tim Peneliti: 2009).

2.2. Situs Kotacina

Kondisi situs Kotacina pada masa sekarang dapat ditelusuri berdasarkan deskripsi
Purnawibowo (2010), adapun uraianya mengenai kondisi situs dimaksud adalah sebagai
berikut. Penamaan situs Kotacina diambil dari nama sebuah dusun yaitu Dusun Kotacina
yang termasuk ke dalam wilayah administrasi Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan
Marelan, Medan, Sumatera Utara. Saat ini situs Kotacina merupakan daerah permukiman
penduduk yang memanfaatkan dan mengelola lahan di areal situs dengan berladang serta
membuat tambak/kolam ikan. Tidak jauh dari lokasi situs terdapat danau buatan yang dikenal
dengan nama Danau Siombak, difungsikan sebagai tempat rekreasi.
Keberadaan permukiman yang mulai ramai di sekitar lokasi situs Kotacina saat ini
tidak dapat dihindari lagi. Berdasarkan hasil remaping tim Balai Arkeologi Medan tahun
2008, lokasi yang mengandung temuan-temuan dari masa lalu secara administrasi termasuk
di dalam wilayah lorong/lingkungan IX dan VII di Dusun Kotacina, Kelurahan Paya Pasir,
Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Adapun lokasi-lokasi
tempat ditemukannya sumberdaya arkeologi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lokasi temuan Arca Buddha besar yang terletak di petak kebun penduduk termasuk
wilayah Lingkungan IX, Dusun Kotacina pada koordinat N 03° 43’ 00.2” E 098° 39’
22.8”. Lokasi saat ini merupakan areal kebun penduduk, lokasi temuan diberi tanda
menggunakan pohon pisang, temuan saat ini disimpan sebagai koleksi Museum Negeri
Propinsi Sumatera Utara.
2. Lokasi temuan Arca Buddha, lokasi di wilayah Lingkungan/Lorong IX Dusun Kotacina
pada koordinat N 03° 43’ 00.6” E 098° 39’ 22.1”. Lokasi saat ini merupakan areal kebun
penduduk, lokasi temuan diberi tanda menggunakan pohon pisang, temuan saat ini
disimpan sebagai koleksi Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara.
3. Lokasi temuan Arca Laksmi terletak di pekarangan rumah Bapak Edi Sutrisno yang
berada di wilayah Lingkungan IX, Dusun Kotacina pada koordinat N 03° 43’ 02.5” E
098° 39” 23.4”. Lokasi merupakan ladang yang ditanami umbi batang (ketela pohon).
4. Lokasi temuan fragmen keramik dan bata yang berada di areal ladang milik Bapak
Muhtar di wilayah Lingkungan IX, temuan berupa fragmen keramik dari masa Dinasti
Sung dan Yuan berada pada koordinat N 03° 43’ 12.0” E 098° 39’ 20.9”. Lokasi saat ini
ladang yang ditanami pohon singkong dan pohon pisang disekitarnya..

4
5. Lokasi temuan batu pahatan, lokasi berada di sisi jalan setapak ladang yang terletak di
Lingkungan VII, Dusun Kotacina pada koordinat N 03° 43’ 14.3” E 098° 39’ 22.1”. batu
pahatan merupakan batuan beku yang berbentuk prisma segi empat dengan ukuran tinggi
50 cm, lebar atas 30 cm, lebar bawah 40 cm dan tebal 23 cm.
6. Lokasi temuan batu pahatan, berada di dekat sebuah toapekong yang terletak di
Lingkungan/Lorong VII, Dusun Kotacina pada koordinat N 03° 43’ 14.9” E 098° 39’
20.8”. Lokasi batu pahatan terletak di sisi kanan Tapekong, batu pahatan berbentuk balok
batu dengfan ukuran panjang 90 cm, lebar 30 cm dan tebal 28 cm.
7. Lokasi penggalian E. E. McKinnon tahun 1979 ditemukan struktur bata dengan ukuran 10
m x 10 m, terletak di Lingkungan/Lorong VII berada pada koordinat N 03° 43’ 14.9” E
098° 39’ 22.2”. Saat ini di sekitar lokasi ditanami pohon pisang.
8. Lokasi penggalian H. M. Ambary 1982 ditemukan struktur bata ukuran 10 m x 10 m dan
sebuah batu umpak. Berada di wilayah Lingkungan/Lorong VII berada pada koordinat N
03° 43’ 20.9” E 098° 39’ 22.9”. Lokasi struktur bata saat ini terletak tepat di bawah
sumur rumah warga bernama Bapak Edi Rahman.
9. Lokasi Parit Belejang yang merupakan batas dusun antara Dusun Kotacina dengan Dusun
Paya Pasir yang berada di Lingkungan/Lorong VII pada koordinat N 03° 43’ 22.2” E
098° 39’ 24.8”. Pada kedua dinding parit masih tampak stratigrafi tanah yang berseling
dengan lapisan cangkang kerang (Molusca) yang memanjang sepanjang lapisan stratigrafi
dinding parit.
10. Lokasi Danau Siombak tempat ditemukannya papan perahu yang diteliti oleh P. J.
Manguin pada tahun 1989, berada pada wilayah Lingkungan/Lorong VII, Dusun Paya
Pasir terletak pada sekitar koordinat N 3° 43’ 15.1” E 098° 39’ 36.3” (Purnawibowo dkk.,
2008: 2--3).

3. Strategi perlindungan di Kotacina dan BPH

Sebelum melangkah kepada strategi perlindungan, ada baiknya sama-sama melihat


kondisi perbandingan situs BPH dan Kotacina melalui peta berikut ini:

5
Gambar 1 Peta lokasi situs Benteng Puteri Hijau

Gambar 2 Peta situs Kotacina

6
Gambar 3 Peta situs BPH hasil penelitian tahun 2011 2

2
Sumber: Taufiqurrahman, 2011

7
Gambar 4 Peta situs BPH hasil penelitian tahu 2009 3

Berdasarkan perbandingan peta tahun 2009 dan 2001 di situs Benteng Puteri Hijau dapat
dikatakan situs ini dalam kurun waktu dua tahun telah mengalami suatu perubahan, yaitu

3
Sumber:Tim peneliti, 2009

8
hilangnya sebagian data gundukan tanah di bagian sektor II. Hal ini dikarenakan, areal sektor
II dijadikan lokasi perluasan pengembangan kawasan permukiman perumahan. Kehilangan
data tersebut dirasakan sangat parah, mengingat lokasi sisa benteng tanah dimaksud
merupakan bagian yang masih menyambung dan terintegrasi penuh secara aspek keruangan
struktur benteng tanah dari bagian sebelah utaranya.
Sebelum melangkah ke ranah strategi yang harus dilakukan, ada baiknya kita mengetahui
nilai penting-nilai penting apa sajakah yang terdapat di situs Benteng Puteri Hijau dan
Kotacina ini. Adapun nilai penting-nilai penting dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Nilai penting sejarah: situs BPH dan Kotacina keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari
sejarah perkembangan Sumatera Utara. Secara khusus, situs ini bagian yang tidak
terlepaskan dari sejarah kejayaan Sumatera Utara di masa lalu hingga kota ini menjadi
seperti sekarang. Apabila disadari bahwa belajar dari masa lalu untuk menentukan masa
kini dan memanen hasil di masa depan, tentunya akan lebih bijaksana bila situs ini
dilindungi, dikelola, dan dimanfaatkan.
2. Nilai penting ilmu pengetahuan: situs BPH dan Kotacina memiliki potensi untuk diteliti
berkelanjutan dari berbagai disiplin ilmu untuk menjawab berbagai permasalahan di
berbagai disiplin ilmu. Adapun pemanfaatan selain ilmu arkeologi, sejarah, dan
antropologi, kawasan situs ini dapat diteliti oleh disiplin bidang ilmu ekonomi; geografi,
geologi, hidrologi dan ilmu tanah; ilmu pertanian dan ilmu perikanan; ilmu pariwisata;
ilmu-ilmu sosial: politik, sosiologi, sosiatri; serta planologi.
3. Nilai penting pendidikan: situs ini memiliki potensi untuk dimasukkan sebagai kurikulum
pendidikan dalam bentuk muatan lokal.
4. Nilai penting agama: temuan struktur bangunan bata, pernah ditemukanya struktur yang
diduga stupa, keberadaan temuan arca-arca Tamil yang bercorak Hindu pada masa lalu,
artefak dari Timur Tengah, dan Cina dapat memberikan informasi kepada masa sekarang
bahwa di lokasi situs pernah terdapat beberapa agama berbeda yang saling berinteraksi
satu dengan lainnya.
5. Nilai penting kebudayaan: situs BPH dan Kotacina pernah menjadi lokasi bertemu dan
berinteraksi berbagai ragam kebudayaan dengan latar belakang etnis dan bangsa yang
beragam, hal ini tercermin dari sisa artefaktual yang ditemukan di situs tersebut dapat
dijadikan penanda asal muasal artefaknya, seperti: keramik dan tembikar dari Cina, Asia
Tenggara, dan Timur Tengah; arca bergaya Tamil (India bagian selatan); manik-manik
dan kaca dari Nusantara bagian timur dan Timur Tengah. Hal ini tentu saja dapat

9
dijadikan sebagai benang merah kondisi saat ini Kota Medan yang masyarakatnya multi
kultural: Melayu, Jawa, Tamil, Cina, Arab, Eropa.
6. Nilai penting ekonomi: situs terletak di daerah pengembangan kawasan permukiman dan
industri Medan dan sekitarnya, sehingga memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi.
7. Nilai penting ekologi: baik disadari maupunn tidak, isu lingkungan dapat dijadikan mitra
yang baik dalam melindungi situs. Padahal sebenarnya untuk kawasan seperti situs BPH
dan Kotacina, lingkungan yang selalu dipengaruhi oleh kondisi air pasang naik dan
pasang surut air laut berhubungan dengan kualitas air bersih dan abrasi air laut masuk ke
air tanah yang dikonsumsi warga masyarakat. Bila daerah ini terpelihara maka amanlah
konsumsi air tawar dan serangan abrasi air laut bagi warga Medan dan sekitarnya.
Dengan kondisi yang seperti ini, kehilangan data kontekstual dirasakan sangat
merugikan dari aspek arkeologis maupun pengelolaan dan akan berakibat fatal pada
pembohongan publik dalam bidang mengenai perlindungan situs yang sedang diajukan
sebagai cagar budaya ini. Hal yang demikianlah yang ditakutkan akan terjadi di situs
Kotacina bila situs ini tidak kujung ditetapkan sebagai cagar budaya. Mengingat situs
Kotacina yang berada di bagian utara Kota Medan berada di kawasan industri dan padat
penduduk.
Resiko situs yang belum diajukan sebagai cagar budaya tentu membawa resiko
terhadap kerusakan situs. Sebagai bukti kegagalan terhadap perlindugan situs yang belum
ditetapkan sebagai cagar budaya telah dirasakan oleh kita sendiri. Untuk itu perlu strategi jitu
untuk menghindari kegagalan terulang kembali, baik di situs Benteng Puteri Hijau ataupun
situs Kotacina.
Adapun untuk tidak lagi mengulangi kegagalan di atas, perlu strategi jitu dalam
melindungi situs-situs yang memiliki nilai penting dimaksud agar perlindungan dan
pelestariannya terjamin. Strategi dimaksud adalah:
1. Keseriusan berbagai pihak, terutama penentu keputusan di daerah dan pusat serius
menganggap situs-situs ini penting bagi mereka, tentu saja mereka akan menganggap
penting bila ada yang memberi masukkan dan memberikan nilai penting terhadap potensi
situs-situs tersebut. Hal ini untuk melindungi situs secara politis.
2. Adanya penelitian penyelamatan situs, bila dipandang mendesak. Hal ini dilakukan untuk
memberikan masukan yang logis berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.
3. Semua instansi terkait bekerja secara terkoordinasi dan tidak jalan sendiri-sendiri hanya
demi kepentingan instansinya.

10
4. Penelitian dilakukan di areal situs yang belum dirusak untuk menggali lebih dalam
potensi sumberdaya arkeologis yang belum terungkap.
5. Segera dilakukannya penetapan situs sebagai cagar budaya.
6. Segera dilakukannya pemintakatan di situs-situs dimaksud dengan tujuan memberikan
perlindungan maksimal dari kerusakan.
7. Pengkajian ulang terhadap perijinan pembangunan/perluasan permukiman bila hal
tersebut berada di lokasi yang diduga situs/mengandung potensi sumberdaya budaya
materi.
8. Upaya berikutnya adalah menggali potensi “kekinian” situs/sumberdaya budaya materi,
dengan cara penelitian lanjutan untuk kemudian hasil penelitian tersebut bisa dipakai
dalam aplikasi pengelolaan sumberdaya budaya materi secara tepat dan dapat
menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa melupakan aspek pelestarian
dan perlindungannya.
9. Kegagalan pertama jangan diulangi dengan cara tidak memandang remeh pekerjaan
bidang tertentu dengan selalu membandingkan dengan pekerjaan yang berpotensi
menghasilkan uang banyak.
10. Isu-isu krusial seperti ekonomi dan lingkugan hendaknya dirangkul dan dijadikan entri
poin agar isu-isu yang dianggap tidak krusial di mata orang awam dapat ikut masuk,
sehingga perlindungan dan pelestarian situs dapat dilaksanakan dengan lancar.

4. Penutup

Perlindungan terhadap suatu sumberdaya arkeologi di atas merupakan kegagalan dan


menjadi salah satu lembaran hitam berupa kegagalan melindungi sumberdaya budaya materi
di negara ini. Sumberdaya budaya masih selalu di anak-tirikan dengan pekerjaan lain. Hal
tersebut sudah terbukti jelas di atas, namun demikian masih selalu ada celah untuk
menghindari kegagalan untuk kedua kalinya, yaitu menerapkan strategi jitu dan sesegera
mungkin melakukan penetapan sumberdaya budaya materi tersebut menjadi cagar budaya.
Terakhir, bijaksanalah kita belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa lalu.

11
Daftar pustaka

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, 2008. Laporan Penggalian


Penyelamatan Situs Benteng Putri Hijau Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe,
Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata: Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.
Koestoro, Lucas P. 2010. “Benteng dan Kearifan Lokal”, dalam Seri warisan Sumatera
Bagian Utara No.0510. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Purnawibowo, Stanov dkk. 2008. Laporan Remaping Situs Kotacina Di Kelurahan Paya
Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Medan:
Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan).
Purnawibowo, Stanov . 2010. “Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Situs Kotacina” dalam
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. XIII No. 26, September 2010. Medan: Balai
Arkeologi Medan. hlm. 92 -- 100.
Tanudirdjo, Daud Aris, 1988-1989. Ragam Penelitian Arkeologi Dalam Skripsi Karya
Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Laporan Penelitian. Yogyakarta:
Fakultas Sastra UGM.
________________________. 1992. “Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia”, dalam
PIA VI. Malang: IAAI,. Hlm. 156-174.
Tim peneliti, 2009. Laporan Penelitian Komprehensif Pada Situs Yang Diduga Sebagai
Benteng Putri Hijau di Desa Delitua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli
Serdang. Deli Serdang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Deli Serdang.

12

Anda mungkin juga menyukai