Anda di halaman 1dari 8

NAMA: TASYA RAHMA ARAMINTA

NIM: 21040118130111

KELAS: C

Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran


Sragen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung
dengan Provinsi Jawa Timur. Dengan demikian, Kabupaten Sragen adalah pintu gerbang memasuki
Jawa Tengah dari arah timur. Kabupaten Sragen juga sering disebut sebagai “Tlatah Sukowati” yang
mempunyai wilayah seluas 941,55 KM 2 , dengan topografi sebagai berikut: di tengah-tengah wilayah
mengalir Sungai Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa; daerah sebelah
selatan merupakan bagian dari lereng Gunung Lawu; sebelah utara merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng; dan sebelah barat merupakan kawasan yang sangat terkenal dengan sebutan
“Kubah Sangiran”.

Terletak di desa Krikilan, Kec. Kalijambe (+ 40 km dari Sragen atau + 17 km dari Solo) Sangiran
Dome menyimpan puluhan ribu fosil dari jaan pleistocen (+2 juta tahun lalu). Fosil-fosil purba ini
merupakan 65 % fosil hominid purba di Indonesia dan 50 % di seluruh dunia. Hingga saat ini telah
ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di gudang
penyimpanan.

Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya Dunia). Museum ini memiliki fasilitas-fasilitas
diantaranya :ruang pameran (fosil manusia, binatang purba), laboratorium, gudang fosil, ruang slide
dan kios-kios souvenir khas Sangiran.

Keistimewaan Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba
merupakan hamparan lautan. Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu,
Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan
lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda dengan lapisan tanah di
tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya.
Misalnya, Fosil Binatang Laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu
merupakan lautan.

Daerah Sangiran merupakan warisan sejarah dan ilmu pengetahuan, hal ini terbukti dari
banyaknya penelitian dari dalam maupun luar negeri dan dari berbagai ilmu pengetahuan, seperti:
Paleontologi, Geologi, Antropologi, dll. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Van
Koenigswald (1938 – 1940) menemukan tulang dan tengkorak manusia purba Pithecanthropus erectus
yang pertama kali.

Dome Sangiran atau Kawasan Sangiran yang memiliki luas wilayah sepanjang bentangan dari
utara selatan sepanjang 9 km. Barat Timur sepanjang 7 km. Masuk dalam empat kecamatan atau
sekitar 59,3 Km2. Temuan Fosil di Dome Sangiran di kumpulkan dan disimpan di Museum
Sangiran. Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid Purba (diduga sebagai asal evolusi
Manusia) ada 50 (Limapuluh) Jenis/Individu. Untuk Fosil-fosil yang diketemukan di Kawasan Sangiran
merupakan 50 % dari temuan fosil di Dunia dan merupakan 65 % dari temuan di Indonesia. Oleh
Karenanya Dalam sidangnya yang ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal
5 Desember 1996, Sangiran Ditetapkan sebagai salahsatu Warisan Budaya Dunia World Haritage
List Nomor : 593.

Koleksi Musium Sangiran


1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus mojokertensis
(Pithecantropus robustus ), Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo
soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng),
dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus
sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura),
dan foraminifera .
4. Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis.
5. Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak
perimbas-penetak.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada para wisatawan, di Kawasan Sangiran telah dibangun Menara
Pandang dan Wisma Sangiran. Para wisatawan bisa menikmati keindahan dan keasrian panorama di
sekitar Kawasan Sangiran dari ketinggian lewat Menara Pandang Sangiran. Selain itu, untuk memenuhi
kebutuhan para wisatawan akan tempat penginapan yang nyaman di Kawasan Sangiran telah dibangun
Wisma Sangiran ( Guest House Sangiran) yang terletak di sebelah Menara Pandang Sangiran. Wisma
Sangiran ini berbentuk joglo (rumah adat Jawa Tengah) dengan ornamen-ornamen khas Jawa yang
dilengkapi dengan pendopo sebagai lobby . Keberadaan Wisma Sangiran ini sangat menunjang kegiatan
yang dilakukan oleh para tamu atau wisatawan khususnya bagi mereka yang melakukan penelitian
( research ) tentang keberadaan fosil di Kawasan Sangiran. Wisma Sangiran memiliki fasilitas-fasilitas yang
memadai, antara lain : Deluxe Room , sebanyak dua kamar dilengkapi dengan double bed , bath
tub dan shower , washtafe l, meja rias dan rak ; Standard Room , sebanyak tiga kamar dilengkapi
dengan double bed , bak mandi, washtafel , dan meja rias; Ruang Keluarga yang dilengkapi dengan meja
dan kursi makan serta kitchen set ; Pendopo ( Lobby ) yang dilengkapi dengan meja dan kursi ; serta
tempat parkir. Selain fasilitas-fasilitas tersebut, juga disediakan mobil (mini train ) untuk memudahkan
mobilitas para wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Sangiran.
Dalam bidang Paleontologi, Sangiran merupakan daerah yang efektifdalam menemukan
evolusi lingkungan berdasarkan komunitas Moluska. Hal initelah diteliti Otaka dan Hasibuan (1983),
Indonesia – Japan Joint Resert Team(1979). Daerah Sangiran ini melatar belakangi geografis dan
keterdapatan semuafosil penting baik ditinjau dari morfologi maupun perubahan muka laut
yangmemperkarsai organisme dapat berevolusi dan bermigrasi ke wilayah lain, dalamdaratan Asia
Tenggara. Statigrafi daerah Sangiran didominasi oleh endapankuarter yang ditandai dengan :

 Muncul manusia pertama Pithecanthropus erectus


 Perubahan dari panas ke dingin ditandai dengan melimpahnya fauna
 Berdasar munculnya awal dan akhir Foraminifera

Periode selanjutnya adalah Holosen, ditandai dengan adanya :

 Pemunculan manusia modern Homo sapiens

Di wilayah Sangiran terdapat beberapa tempat ditemukannya fosil. Daritempat ditemukannya


fosil tersebut dinamakan formasi Sangiran. Di Sangiranterdapat 4 macam formasi batuan tempat
ditemukannya fosil, yaitu :

 Formasi Puren
 Formasi Cemoro
 Formasi Bapang
 Formasi Pohjajar

Sejarah Situs Sangiran tidak dapat dilepaskan dari kuatnya keinginan para ilmuwan untuk
mengetahui asal-usul manusia. Untuk pertama kalinya Indonesia didatangi seorang dokter militer dari
Belanda yang mempunyai ketertarikan tinggi terhadap asal-usul manusia, yaitu Eugene Dubois pada
tahun 1887 di Sumatra dan kemudian dilanjutkan ke Jawa. Temuan Pithecanthropus erectus dari Trinil
adalah temuan Eugene Dubois yang mendunia. Kemudian geolog bernama Louis Jean Chreties van Es
pada tahun 1931 menyelesaikan disertasinya yang berjudul The Age of Pithecanthropus yang
membahas tentang usia kepurbaan temuan E. Dubois dari Trinil tersebut. Ada beberapa lampiran peta
geologi di beberapa daerah yang dihasilkan dari penelitian van Es tersebut, diantaranya adalah peta
geologi Sangiran. Peta geologi Sangiran tersebut kemudian digunakan oleh G.H.R. von Koenigswald
pada tahun 1934 untuk melakukan survei dan penelitian eksploratif dengan temuan beberapa artefak
prasejarah. Inilah aktivitas ilmiah pertama di Sangiran.
Penelitan lanjutan von Koenigswald menghasilkan banyak sekali temuan berupa fosil-fosil
hominid, artefak, dan fosil fauna yang terpendam dalam lapisan tanah Situs Sangiran. Potensi ini terus
berkembang pesat ketika peneliti dalam negeri meneliti Situs Sangiran lebih lanjut. Menyadari
pentingnya nilai Situs Sangiran bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan, khususnya tentang
pemahaman evolusi manusia dan lingkungan alam masa lalu, pada tahun 1996, Situs Sangiran
ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dengan nama the Sangiran Early Man Site
setelah pemerintah Indonesia mengajukan Situs Sangiran Situs Warisan Dunia.

Sebagai amanat dari penetapan UNESCO ini, pemerintah Indonesia melakukan tindakan-
tindakan pelestarian yang nyata untuk Situs Sangiran. Pada tahun 2004-2007 pemerintah Indonesia
melalui Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
menyusun Master Plan Rencana Induk Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Sangiran dan Detail
Enginering Design. Dengan mengacu pada Master Plan dan DED tersebut, pada tahun 2007 disahkan
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.17/HK.001/MPK/2007 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Melalui keputusan ini, Balai Pelestarian
Situs Manusia Purba Sangiran secara resmi berdiri. Dinamika kelembagaan pada pemerintahan
mengalami perubahan susunan kementerian. Pada tahun 2012 UPT Balai Pelestarian kembali
tergabung ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertanggung jawab dan
berkedudukan di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Unit Pelaksana Teknis BPSMP Sangiran mempunyai tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan,
dan pemanfaatan situs manusia purba.

Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran merupakan Unit Pengelola Teknis di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berkedudukan di bawah Direktorat
Jenderal Kebudayaan dan bertanggung jawab kepada Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan
Permuseuman. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran berlokasi di Jl. Sangiran Km 4,
Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Sebelum berdiri sendiri sebagai Satker
mandiri unit ini bernama unit kerja Museum Sangiran di bawah Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran baru berdiri pada tahun
2007, sesuai dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.17/HK.001/MPK/2007,
tanggal 12 Pebruari 2007, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba
Sangiran, akan tetapi baru mendapat dana melalui DIPA pada tahun 2009. Pada tahun 2012 Balai
Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran bergabung dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 31 tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, BPSMP Sangiran
mempunyai tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaaan situs manusia purba.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut, Balai Pelestarian Situs
Manusia Purba Sangiran di antaranya menyelenggarakan fungsi:

1. Penyelamatan dan pengamanan situs manusia purba beserta kandungannya


2. Pelaksanaan zonasi situs manusia purba
3. Perawatan dan pengawetan situs manusia purba beserta kandungannya
4. Pelaksanaan pengembangan situs manusia purba
5. Pelaksanaan pemanfaatan situs manusia purba
6. Pelaksanaan dokumentasi, penyajian koleksi, dan publikasi situs manusia purba
7. Pelaksanaan kemitraan di bidang situs manusia purba; dan
8. Pelaksanaan urusan ketatausahaan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran

Sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang dimaksud
dengan Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta
pemanfaatannya melalui penelitian, Revitalisasi, Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak
bertentangan dengan tujuan pelestarian. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk
kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan
kelestariannya. Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan
pemugaran cagar budaya.

Selain melakukan upaya pelestarian situs manusia purba, Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran bertugas mengelola 5 klaster museum yang terdiri dari:

1. Klaster Krikilan
2. Klaster Dayu
3. Klaster Bukuran
4. Klaster Ngebung
5. Museum lapangan Manyarejo

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
mempunyai tugas untuk mengelola Situs Manusia Purba yang ada di seluruh Indonesia. Salah satu
Situs strategis yang dikelola Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran adalah Situs Sangiran. Dari
situs Sangiran didapatkan evolusi fisik manusia, evolusi budaya, fauna dan lingkungan. Di situs
Sangiran terdapat temuan ribuan fosil binatang purba dari berbagai spesies yang menggambarkan
adanya evolusi fauna (hewan) selama lebih dari 2 juta tahun. Selain itu situs ini juga menghasilkan
ribuan artefak berupa alat serpih dan bilah (Sangiran flake industry), yang berkembang sejak 1,2 juta
tahun yang lalu. Situs Sangiran ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional pada tahun 1977
melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 070/0/1977 dan pada 6 Desember
1996 ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO (World Heritage List No. 935). Kemudian pada tahun
1998 melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 173/M/1998 ditetapkan
ekstensi luas Situs Sangiran ke arah utara dan selatan.

Tahun 2008 Situs Sangiran ditetapkan sebagai Obyek Vital Nasional (OBVITNAS) Bidang
Kebudayaan melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM: 34/HM.001/
MKP/2008. Sampai saat ini potensi kandungan kekayaan budaya situs ini masih tersimpan masif dalam
endapan-endapan purba yang tersebar di seluruh lingkungan situs. Di dalamnya diyakini kuat masih
banyak terpendam fosil manusia, fosil binatang, dan juga alat-alat batu sebagai sumber informasi
kehidupan masa lalu yang perlu untuk dikuak. Oleh karena itu dengan luasan kawasan sebesar 59,21
Km², Situs Sangiran memerlukan penanganan yang sistematis dalam segala aspek pelestariannya.

Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran diharapkan mampu menjawab tantangan ke
depan dalam peningkatan upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan Situs Manusia Purba
sebagai sarana rekreasi, edukasi dan pengembangan kebudayaan dalam rangka kesejahteraan
masyarakat.

Kompleks Lipatan Alaskobong


Kompleks Lipatan Alaskobong terletak di Desa Alaskobong Kecamatan Sumberlawang
Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Lokasi ini merupakan suatu bukit landai sepanjang kurang
lebih 300 m yang terpotong oleh lintasan rel (railcut) kereta api jurusan Solo-Gundih dengan arah
utara-selatan dan membagi bukit tersebut menjadi tebing timur dan tebing barat. Deformasi tektonik
yang berkembang pada perselingan batupasir karbonatan dan napal Formasi Kerek menghasilkan
bentuk dan jenis struktur geologi yang sangat kompleks. Deformasi tektonik secara bertahap
(multiphase tectonic) akan memberikan geometri dan bentukan struktur yang sangat bervariatif dari
struktur utamanya, yaitu lipatan sinklin. Lipatan sinklin ini telah mengalami pembalikan topografi
(inversed topography) dengan orientasi arah memanjang sumbu yang berbeda, relatif timurlaut-
baratdaya pada tebing timur dan relatif timur-barat pada tebing barat. Struktur penyerta lainnya juga
berbeda pada kedua tebing yang hanya terpisah jarak 20 m. Bagian utara dicirikan oleh kehadiran
antiklin pada tebing timur dan dip perlapisan relatif besar pada tebing barat. Bagian selatan dicirikan
oleh kehadiran perlapisan yang relatif tegak dengan struktur sesar yang intensif pada tebing timur dan
perlapisan landai pada tebing barat. Perbedaan-perbedaan struktur tersebutlah yang
mengindikasikan adanya proses tektonik multifase yang telah terjadi di Bukit Alaskobong.

Geometri dan bentukan struktur akan sangat memberikan kontribusi yang berarti bagi dunia
perminyakan, baik sebagai pathways maupun structural trap bagi fluida hidrokarbon. Kompleksitas
struktur sinklin dan struktur-struktur atributnya sebagai hasil proses tektonik multifase pada Bukit
Alaskobong akan memberikan gambaran bentukan struktur secara umum pada Zona Kendeng.

Zona Kendeng merupakan suatu zona fisiografi Pulau Jawa yang terbentang dari timur
Semarang, Jawa Tengah hingga Sidoarjo, Jawa Timur (Gambar 1). Zona ini telah lama menarik
perhatian para ahli kebumian karena mengandung potensi hidrokarbon. Zona ini mengalami proses
tektonik yang kompleks, terutama di bagian barat yang dicirikan oleh struktur perlipatan dan
pensesaran yang rumit (de Genevraye and Samuel, 1972). Dikenalnya struktur perlipatan sebagai salah
satu perangkap hidrokarbon membuat studi tentang perlipatan pada Zona Kendeng menjadi sangat
menarik dan dapat memberikan kontribusi bagi khasanah ilmu kebumian Pulau Jawa khususnya.

Salah satu lokasi yang ideal untuk mempelajari struktur perlipatan terdapat pada sebuah bukit
di Desa Alaskobong, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Letaknya tidak jauh dari jalan raya
Sumberlawang–Kedungombo, dengan koordinat UTM 485454E, 9191714N. Struktur yang dijumpai
adalah sinklin dan antiklin berikut sesar-sesar penyertanya, yang untuk selanjutnya akan disebut
sebagai Kompleks Lipatan Alaskobong. Jurusan Teknik Geologi FT UGM semenjak tahun 2001 telah
menjadikan lokasi ini sebagai tempat praktikum lapangan. Di sepanjang tebing timur bukit tersebut,
para mahasiswa melakukan pengamatan, pengukuran dan analisis berbagai unsur struktur geologi,
seperti lipatan (folds), sesar (faults), kekar (joints), gores-garis (lineations) dan urat (veins). Selain itu
beberapa field trip profesional, seperti BP-Migas (tahun 2005) dan AAPG Student Chapter Universitas
Diponegoro (tahun 2007) juga telah menjadikan Bukit Alaskobong tersebut sebagai lokasi
pengamatan. Makalah ini bermaksud memaparkan tinjauan geologi struktur deskriptif untuk
Kompleks Lipatan Alaskobong tersebut.

Zona Kendeng disebut pula sebagai Kendeng Anticlinorium atau Kendeng Ridge, karena tersusun oleh
kompleks antiklin berarah timur-barat. Nama lain yang juga sering dipergunakan adalah Kendeng
Deep, yang mengindikasikan konfigurasi dasar cekungan sedimentasinya yang sangat dalam. Dimensi
Zona Kendeng memiliki panjang sekitar 250 km dan lebar sekitar 40 km di bagian barat, semakin
menyempit ke arah timur hingga selebar 20 km (van Bemmelen, 1949). Ketinggian topografinya jarang
ada yang melebihi 500 m. Di utara Ngawi terbentuk depresi pada sumbu perlipatan yang dapat dilalui
oleh Bengawan Solo, dan sekaligus membagi Zona Kendeng menjadi bagian dua bagian, yaitu bagian
barat dan bagian timur.

Singkapan geologi di Bukit Alaskobong merupakan suatu seri perselingan lempung, napal
lempungan, batupasir tufan gampingan dan batupasir tufan dari Formasi Kerek yang terkena
deformasi tektonik dan membentuk sebuah struktur sinklin sebagai struktur utamanya. Berdasarkan
pada pengamatan struktur mikro dan stratigrafi terukur, Anggara dan Pramumijoyo (2007)
menginterpretasikan terjadinya deformasi sin-sedimentasi yang bertanggungjawab terhadap pola
struktur di Kompleks Lipatan Alaskobong. Selanjutnya proses eksogenik yang berlangsung pasca
pengangkatan daerah tersebut menyebabkan terbentuknya pembalikan topografi (inversed
topography), dimana sumbu sinklin menjadi puncak bukit AlaskobongSingkapan geologi di Bukit
Alaskobong merupakan suatu seri perselingan lempung, napal lempungan, batupasir tufan gampingan
dan batupasir tufan dari Formasi Kerek yang terkena deformasi tektonik dan membentuk sebuah
struktur sinklin sebagai struktur utamanya. Berdasarkan pada pengamatan struktur mikro dan
stratigrafi terukur, Anggara dan Pramumijoyo (2007) menginterpretasikan terjadinya deformasi sin-
sedimentasi yang bertanggungjawab terhadap pola struktur di Kompleks Lipatan Alaskobong.
Selanjutnya proses eksogenik yang berlangsung pasca pengangkatan daerah tersebut menyebabkan
terbentuknya pembalikan topografi (inversed topography), dimana sumbu sinklin menjadi puncak
bukit Alaskobong.

Deskripsi struktur geologi yang tersingkap di Bukit Alaskobong menunjukkan pola struktur
yang rumit. Kerumitan pola tersebut tercermin dari perubahan jenis struktur geologi dari tebing timur
ke tebing barat, dimana kedua tebing tersebut hanya dipisahkan oleh rail-cut selebar 20 m saja.
Meskipun indikasi adanya deformasi sin-sedimentasi turut berperan dalam proses tektonik yang
membentuk Bukit Alaskobong, namun kerumitan struktur geologi yang dipaparkan di atas menuntut
adanya keterlibatan tektonik multifase. Adanya antiklin pada bagian utara tebing timur diduga
merupakan pengaruh kinematika transpression karena pengaruh stepping dari sesar mayor pemisah
kedua tebing. Sumbu sinklin yang memiliki orientasi timurbarat pada tebing barat berubah
orientasinya menjadi timurlautbaratdaya pada tebing timur. Perubahan orientasi sumbu sinklin
tersebut diduga akibat adanya pengaruh seretan sesar geser dekstral yang dijumpai pada bagian
selatan tebing timur. Perlapisan yang tegak dan terpotong oleh suatu zona sesar geser dekstral pada
bagian selatan tebing timur berubah menjadi perlapisan yang relatif landai dan miring ke arah barat
pada tebing barat. Sesar dekstral tersebut diduga mengikuti zona sesar sinistral pemisah kedua
tebing, sehingga kemenerusannya di tebing barat tidak dijumpai.

Sejarah panjang proses geologi semenjak awal pengendapan di Cekungan Kendeng pada
Oligo-Miosen hingga awal pengangkatannya pada Plio-Pleistosen membentuk Antiklinorium Kendeng
yang terus berlanjut hingga sekarang memungkinkan terbentuknya sejarah deformasi yang kompleks.
Kompleks Lipatan Alaskobong yang mempunyai sejarah tektonik multifase mempunyai peranan yang
sangat penting dalam aspek pathway maupun perangkap struktural hidrokarbon pada Cekungan
Kendeng. Keberadaan struktur-struktur permukaan akan memberikan gambaran pada struktur bawah
permukaannya dan Zona Kendeng secara umum. Akan tetapi perlu untuk lebih mengembangkan
penelitian geologi struktur berbasis data

permukaan (surface geology) yang didukung dengan pendekatan geofisika dangkal untuk
mendapatkan informasi struktur geologi bawah permukaan (shallow sub-surface geology).
Selanjutnya data-data tersebut dapat dikembangkan untuk membangun suatu model 3 dimensi (3D
structural model) yang dapat memotret secara tepat sistem perlipatan pada Zona Kendeng.

Anda mungkin juga menyukai