Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAAN

1.1 Latar Belakang

Diawali dengan kedatangan G.H.R. Von Koeningswald seorang ahli paleontologi Jerman
yang memulai eksplorasi sejak tahun 1930an untuk mengumpulkan fosil demi kepentingan
pemerintah Belanda, mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus
untuk melayani kebutuhan wisatawan yang datang untuk melihat fosil, maka dibangunlah
museum yang cukup representatif. Museum yang sepenuhnya mengandalkan koleksi fosil itu
sekarang bertransformasi menjadi museum megah, yang membantu masyarakat yang haus
akan pengetahuan masa lampau.

Sejak ditemukan oleh G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1934, maka sangiran telah
menorehkan tinta emas sebagai salah satu pusat studi evolusi di dunia. Sangiran ibarat
laboratoorium alam yang menyimpan rekaman kehidupan dan budaya masa lalu, yang
tersimpan jutaan tahun yang lalu. Pada 15 maret 1977, Sangiran dijadikan Cagar Budaya oleh
Pemerintah dan di perkuat lagi Sebagai Warisan Dunia oleh UNESO pada 5 Desember 1996.

Pada awalnya Sangiran digambarkan sebagai titik Kubah Sangiran, yang tererosi pada
bagian puncak dan membentuk depresi. Jika tanah sangiran diiris dengan pola vertikal, maka
akan terlihat lapisan-lapisan tanah yang menunjukan formasi-formasi yang berisi fosil-fosil
dari kuruan waktu tertentu. Dari formasi-formasi di Sangiran dan ditemukan fosil-fosil,
seolah pita-pita kaset yang menyimpan rekamakan kehidupan masa lalu.

Di Sangiran terdapat Museum Pleistocene yang menyimpan tulang-tulang


Pithecanthropus Erectus, fosil tumbuhan maupun fosil binatang. Sangiran juga adalah tempat
yang penting untuk mempelajari teori evolusi manusia, fosil manusia purba yang ditemukan
di Sangiran, dianggap sebagai salah satu mata rantai dalam teori evolusi manusia. Bagi
ilmuwan yang bergerak dibidang Geologi, anthropologi dan arkeologi Sangiran sangat
menarik untuk wisata ilmu pengetahuan.

Banyak ahli Geologi, anthropologi dan arkeologi datang ke situs ini untuk melakukan
riset dan belajar, diantaranya: Van Es (1939), Duyfyes (1936), Van Bemmelen (1937), Van
Koeningswald (1938), Sartono (1960), Suradi (1962) dan Otto Sudarmaji (1976). Van
Koeningswald menemukan paling tidak ada lima fosil manusia purba yang berbeda beda
jenisnya yang ditemukan di Sangiran, dan ini sangat mengagumkan. Tidak ada tempat lain di

1
dunia ini yang kekayaan fosilnya menyamai apalagi melebihi Sangiran. Fosil-fosil yang
ditemukan di Sangiran sangat beragam, ada fosil mahluk hidup dari daratan, maupun fosil
mahluk hidup dari lautan.

1.2 Rumusan masalah

Bagaiman keadaan lingkungan wilayah Sangiran?


Bagaimana keadaan struktur Geologi wilayah Sangiran?

1.3 Tujuan

Mengetahui keadaan lingkungan wilayah Sangiran.


Mengetahui keadaan struktur Geologi wilayah Sangiran.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Museum

2
Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan
pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya
guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Pasal 1(1) PP
no. 19 Tahun 1995)(Hamzuri dkk, 1997). Museum bukan sekedar tempat sumber informasi,
masih banyak yang bisa didapatkan jika kita menelaah lebih jauh. Museum Sangiran beserta
situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena
penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Museum Sangiran merupakan destinasi pariwisata yang menyimpan koleksi ribuan temuan
fosil antara lain fosil manusia, hewan bertulangbelakang, binatang air, batuan, tumbuhan laut
dan alat-alat batu. Secara stratigrafi situs Sangiran merupakan situs manusia purba terlengkap
di Asia yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan dan tanpa putus sejak dua juta
tahun yang lalu menurut riwayat penelitian hingga sekitar 200.000 tahun yang lalu.

Situs Sangiran memiliki potensi penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah dan
kebudayaan. Secara arkeologis arti penting situs Sangiran didapat dari penemuan alat-alat
batu di desa Ngebung yang dikenal dengan istilah Sangiran Flakes Industry, berupa alat-
alat serpih dari batu kalsedon dan jaspis. Peralatan lain selain serpih yang ditemukan mulai
dari yang berciri paleolitik hingga neolitik. Potensi Sangiran tersebut menyebabkan situs ini
dianggap sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia dan digunakan sebagai tolak ukur
untuk mengkaji proses-proses evolusi secara umum.

Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola
kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan
seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula,
untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu
spesies dalam taxon Homo erectus) oleh Von Koenigswald. Pada homo erektus, terjadi dua
kemajuan budaya yang penting, yaitu alat batu yang berbentuk simetris yang mulai
dikerjakan sekitar 700.000 tahun yang lalu, serta penguasaan atas api, ini kemudian
menyebabkan berkembangnya kehidupan sosial, dan secara tidak langsung mengakibatkan
kemajuan di bidang teknologi. Dorongan manusia untuk bertindak didasarkan atas keinginan
(apetit) dan dorongan dari dalam untuk menghindar dari bahaya (avertion). Menurut Teuku
Jacob, akal dan bahasa merupakan landasan yang memungkinkan kebudayaan berevolusi.

Banyaknya fosil yang terkumpul menunjukkan Museum Sangiran sebagai situs


prasejarah yang memiliki peran penting dalam memahami proses evolusi manusia. Alat-alat

3
batu yang ditemukan di wilayah Sangiran merupakan perwujudan adaptasi manusia purba
terhadap lingkungannya. Mereka mulai menciptakan peralatan dari batu meski dalam taraf
teknologi sederhana. Melalui Sangiran digali informasi mengenai habitat, populasi, binatang
yang hidup pada masa itu, dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak
kurang dari 2 juta tahun yang lalu.

2.2 Arkeologi

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia masa lalu melalui
kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajian sistematis meliputi penemuan,
dokumentasi, analisis dan interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak
batu dan bangunan candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi,
dan fosil).

Dalam bidang kajian arkeologi, potensi yang ada di situs Sangiran sangat mendukung
penelitian, diantaranya ditemukannya alat-alat masif dan non-masif (serpih). Sebagai ilmu
yang mempelajari manusia dan kebudayaannya pada masa yang lampau, arkeologi
menitikberatkan kajiannya pada pengamatan terhadap benda-benda yang ditinggalkan dan
sampai atau dapat ditemukan saat ini.diantaranya berupa artefak, ekofak, fitur, situs atau
wilayah. Semua proses evolusi melalui fosil yang ditampilkan menjadi bidang kajian
arkeologi yang bisa secara langsung dinikmati masyarakat.

Tujuan dari ilmu arkeologi adalah berusaha merekonstruksi sejarah kebudayaan masa
lalu, cara-cara hidup maupun proses-proses budaya yang pernah terjadi. Melalui kajian
arkeologi, kehidupan masa lampau dapat disajikan ke permukaan. Penelitian terhadap fosil
dan artefak sekaligus membawa peneliti pada cara hidup mahkluk purba itu. Di dalam
arkeologi publik, seorang arkeolog dituntut untuk membuat sebuah publikasi dan
menyebarluaskan hasil-hasil penelitiannya, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat
dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan.

Sebagai ilmu yang berkompeten untuk mengungkap budaya maupun kehidupan


purba, Sangiran memberikan bidang yang luas guna pengumpulan data tentang budaya dan
evolusi manusia. Penelitian berkelanjutan yang telah dilaksanakan untuk mengungkap
kandungan budaya maupun sebaran situs, menjadi bukti implementasi arkeologi. Dari
Sangiran kita bisa memperoleh informasi tentang sejarah kehidupan manusia purba dengan
kehidupan dan lingkungannya.

4
2.3 Antropologi

Antropologi berarti ilmu tentang manusia (Koetjaraningrat, 1990). Dalam kaitannya


antara pandangan antropologi terhadap kajian arkeologi di dalam museum Sangiran,
Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari budaya diantaranya keberadaan ilmu sebagai
hasil evolusi perkembangan manusia yang berbudaya.

Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola
kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan
seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula,
untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu
spesies dalam taxon Homo erectus) oleh Von Koenigswald. Pada homo erektus, terjadi dua
kemajuan budaya yang penting, yaitu alat batu yang berbentuk simetris yang mulai
dikerjakan sekitar 700.000 tahun yang lalu, serta penguasaan atas api, ini kemudian
menyebabkan berkembangnya kehidupan sosial, dan secara tidak langsung mengakibatkan
kemajuan di bidang teknologi. Dorongan manusia untuk bertindak didasarkan atas keinginan
(apetit) dan dorongan dari dalam untuk menghindar dari bahaya (avertion). Menurut Teuku
Jacob, akal dan bahasa merupakan landasan yang memungkinkan kebudayaan berevolusi.

Banyaknya fosil yang terkumpul menunjukkan Museum Sangiran sebagai situs


prasejarah yang memiliki peran penting dalam memahami proses evolusi manusia. Alat-alat
batu yang ditemukan di wilayah Sangiran merupakan perwujudan adaptasi manusia purba
terhadap lingkungannya. Mereka mulai menciptakan peralatan dari batu meski dalam taraf
teknologi sederhana. Melalui Sangiran digali informasi mengenai habitat, populasi, binatang
yang hidup pada masa itu, dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak
kurang dari 2 juta tahun yang lalu.

Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, ia mengalami perubahan
secara evolusioner. Dalam Antropologi Kognitif, yang dikembangkan oleh Ward H.
Goodenough (1950-an), membawa definisi budaya dari yang fisik menuju pengertian bahwa
budaya sebagai sistem pengetahuan. Konsep arkeologi publik dalam batasan luas selalu akan
menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan warisan
budaya. Masyarakat pada hakekatnya, adalah pemegang penuh hak atas pemanfaatan sumber
daya arkeologi. Merekalah pada dasarnya yang akan memberikan makna sumber daya
arkeologi tersebut, baik untuk identitas, media hiburan atau hobi, sarana rekreasi, dan

5
kepariwisataan. Sumber daya arkeologi dapat pula dimaknai secara berbeda sesuai dengan
orientasinya, misalnya untuk media pendidikan atau ilmu pengetahuan, bahkan sebagai
peneguhan jatidiri bangsa.

Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan


melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis
dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun
pada lingkungan sosialnya. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu
akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap
lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti
telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Kecenderungan warisan budaya
yang seringkali dikatakan sebagai media yang memiliki fungsi dalam menjaga proses
pertumbuhan kebudayaan bangsa, ternyata mengandung nilai-nilai yang pewarisannya dapat
terjadi secara berbeda. Arkeologi publik sebagai teori atau strategi tentang bagaimana cara
supaya warisan budaya dapat dimanfaatkannya sekaligus dipahami maknanya oleh
masyarakat.

BAB III

HASIL PENGAMATAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Kuliah lapangan mata kuliah Geologi ini dilaksanakan pada :

6
Hari : Kamis

Tanggal : 7 Juni 2012

Jam : 10:00 selesai

Yang berlokasi di Museum Purbakala Sangiran terletak di Desa Krikilan, Kecamatan


Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Sementara situs Sangiran
sendiri (Sangiran Dome) terletak di tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, antara lain
Kecamatan Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh.

3.2 Keadaan Lingkungan Situs Sangiran

3.2.1 Penduduk, Sosial dan Ekonomi

Upaya pengelolaan warisan budaya pada masa sekarang, penting untuk


memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) untuk masyarakat sekitarnya.
Konsekuensi pemahaman tersebut, menuntut adanya suatu advokasi (perubahan kebijakan),
yakni mengalihposisikan penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi
subjek. Alih posisi itu menjadi tantangan penciptaan berbagai kebijakan baru yang
menempatkan penduduk di sekitar situs bukan sebagai pihak yang dikontrol dan dikuasai,
melainkan sebagai mitra yang sejajar. Masyarakat perlu diajak menghidupkan warisan
budaya disekitarnya agar warisan budaya tersebut dapat menghidupi mereka. Masyarakat
perlu dilibatkan dalam proses pengelolaan warisan budaya yang dimiliki, agar aset yang
dimiliki memberikan kontribusi balik baik material maupun non material yang berguna untuk
kehidupannya.

Upaya mewujudkan konsep pengelolaan yang menempatkan warisan budaya pada


konteks sosial masyarakat, menuntut pendekatan partisipatif yang mengarah pada keterlibatan
masyarakat secara langsung dalam pengelolaan warisan budaya. Pendekatan partisipatif
tersebut, adalah pendekatan yang lebih bersifat community-oriented, yaitu sebuah pendekatan
yang lebih peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal untuk terlibat secara bersama-sama
mengelola warisan budaya miliknya. Pendekatan yang berorientasi pada masyarakat
(community-oriented) dalam implementasinya diwujudkan melalui pemberdayaan
masyarakat di sekitar situs.

Paling tidak terdapat empat strategi dasar sebelum melakukan pemberdayaan. Pertama
masyarakat tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunan. Kedua,

7
menemukan permasalahan dasar yang dihadapi oleh masyarakat dalam kaitannya dengan
keberadaan situs di sekitarnya, guna menentukan langkah pelaksanaan.Ketiga, melakukan
pemetaan potensi yang dimiliki oleh masyarakat guna menemukan langkah-langkah
pemberdayaan pada sektor-sektor tertentu yang sebenarnya merupakan kekuatan. Keempat,
proses pemberdayaan harus didampingi oleh tim fasilitator yang bersifat mutidisiplin sesuai
dengan kebutuhan.

Pendampingan atau pendukungan terhadap usaha-usaha rakyat dilakukan dengan


empat strategi. Pertama, menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat dapat
berkembang. Kedua, memperkuat atau mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk
peningkatan produktivitas, melalui pendidikan masyarakat lokal baik dalam bentuk sosialisasi
untuk meningkatkan kesadaran maupun pelatihan guna meningkatkan kemampuannya secara
langsung. Ketiga, pembentukan organisasi pendanaan lokal dan juga proses pengembangan
teknologi tepat guna, sehingga mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan
perekonomian yang ada. Keempat, memperkuat jaringan pemasaran produk rakya,t sehingga
kemandirian masyarakat dapat terwujud.

3.2.2 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik (alam) adalah pendorong utama dalam kehidupan manusia. Dengan
kata lain, perkembangan pola kehidupan suatu masyarakat dalam bentuk kebudayaan
dipandang sebagai pengaruh yang dimunculkan oleh lingkungan alamnya. Aliran neo
fungsionalisme, berusaha menunjukkan bahwa gejala-gejala sosio kultural mempunyai fungsi
adaptif terhadap lingkungan, atau setidak-tidaknya mempunyai fungsi dimana faktor-faktor
lingkungan dimanipulasi dalam pola mata pencaharian masyarakat bersangkutan. Pengikut
pendekatan ini memandang organisasi sosial dan kebudayaan populasi spesifik sebagai
adaptasi fungsional yang memungkinkan populasi-populasi itu mengeksploitasi lingkungan
mereka tanpa melampaui daya dukung lingkungan tersebut. Satuan yang digunakan di sini
ialah suatu populasi dan bukan satuan sosial (social order).

Sangiran merupakan sebuah kubah yang terbentuk oleh adanya proses deformasi, baik
secara lateral maupun vertikal. Proses erosi pada puncak kubah telah menyebabkan terjadinya
reveerse, kenampakan terbalik, sehingga daerah tersebut menjadi daerah depresi. Bagian
tengah kubah sangiran ditoreh oleh kali Cemoro sebagai sungai enteseden, sehingga
menyebabkan formasi batuan tersingkap dan menunjukkan bentuk melingkar. Pada kala
pliosendaerah ini menjadi laut dangkal kemudian terjadi gunung berapi akibatnya terjadi

8
formasi Kalibeng, adanya regresi lebih lanjut pada daerah ini menyebabkan Sangiran menjadi
daratan. Pada permulaan kala Plestosen bawah kegiatan Vulkanis semakin meningkat,
sehingga terjadi aliran lahar dingin dan membentuk breksi vulkanik. Fosil
Meganthropus mungkin muncul pada saat kegiatan vulkanis meleleh. Pada kala plestosen
tengah sangiran menjadi daratan lagi, disusul dengan kegiatan vulkanis yang makin
menghebat sehingga menimbulkan endapan tufa yang berlapis-lapis, proses pengangkatan
tanah pada daerah ini terjadi pada kala plestosen atas dan awal kala Holosen. Adanya
pelapukan dan erosi pada puncak kubah serta pengendapan material kali Cemoro,
menyebabkan kenampakan sangiran menjadi seperti sekarang ini. Manusia yang hidup pada
saat itu misalnya Meganthropus paleojavanicus, Pithecanthropus erectus, dan phitecanthropus
soloensis.

Secara umum situs sangiran saat ini merupakan daerah berlahan tandus, terlihat dari
banyaknya tempat yang gundul tak berpohon. Hal ini disebabkan karena kurangnya
akumulasi sisa-sisi vegetasi yang mengalami humifikasi membentuk humus. Jenis tanaman
yang ada di Situs Sangiran, antara lain lamtoro, angsana, akasia, johar, sengon mahoni.
Terdapat sungai-sungai yang terus melakukan deformasi di situs sangiran antara lain adalah
Kali Cemoro dan Kali Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi masyarakat sekitar. Bukti-
bukti kehidupan ditemukan didalam endapan teras sungai purba. Di daerah tropis ini tidak
banyak mengalami perubahan iklim dan memungkinkan manusia purba untuk hidup.

3.2.3 Lingkungan Biotik

Keadaan lingkungan biotik daerah sangiran merupakan lahan yang tandus karena
banyaknya tempat yang gundul dan tidak berpohon. Keadaan yang demikiaan menyebabkan
jumlah vegetasi yang ada di Sangiran tidak begitu beragam. Meskipun dengan keadaan tanah
yang tandus, Sebagiaan besar penduknya juga berprofesi sebagai petani.

Keadaan Sangiran dengan tekstur tanah yang tandus menyebabkan sebagaian besar
tanaman yang tumbuh mengalami kekeringan yang diperparah dengan cuaca yang panas.
Sebagian besar vegetasi yang tumbuh merupakan tanaman jenis rumput-rumputan dan
tanaman besar lainya dengan kemampuan morfologi dan fisiologi di daerah tandus.

Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai peteni, juga memiliki beberapa
binatang ternak berupa Kambing, Sapi, Ayam. Di lapangan juga dijumpai beberapa jenis

9
burung dan serangga. Keanekaragaman fauna di daerah Sangiran tidak begitu melimpah, hal
ini dikarenakan keadaan geografisnya yang tandus dan panas.

3.3 Keadaan Geologi Sangiran

3.3.1 Formasi Batuan

Di Situs Sangiran ada 4 formasi tanah dengan lapisannya yang dapat dilihat secara langsung
dimana merupakan salah satu keajaiban Sangiran. Formasi tanahnya antara lain:

Formasi Kalibeng (Puren)

Formasi tanah ini hanya tersingkap pada bagian Kalibeng atas (Pliocene atas).
Formasi ini terdiri dari 4 lapisan. Untuk lapisan terbawah ketebalan mencapai 107 meter
merupakan endapan laut dalam berupa lempung abu-abu kebiruan dan lempung lanau dengan
kandungan moluska laut. Lapisan kedua ketebalan 4-7 meter merupakan endapan laut
dangkal berupa pasir lanau dengan kandungan fosil moluska jenis Turitella dan foraminifera.
Lapisan ketiga berupa endapan batu gamping balanus dengan ketebalan 1-2,5 meter. Lapisan
keempat berupa endapan lempung dan lanau hasil sedimentasi air payau dengan kandungan
moluska jenis corbicula. Adanya kalkarenit dan kalsirudit menunjukkan bahwa formasi
Kalibeng merupakan hasil endapan laut yang amat dangkal.

Gambar 3. Formasi Situs Sangiran

Secara stratigrafis situs ini merupakan situs manusia purba berdiri tegak terlengkap di Asia

10
yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan dan tanpa terputus sejak 2 juta tahun yang
lalu hingga 200.000 tahun yang lalu yaitu sejak Kala Pliocene Akhir hingga akhir Pleistocene
Tengah. Situs Sangiran menurut penelitian geologi muncul sejak Jaman Tersier akhir Pada
kala Pliocene atas kawasan Sangiran masih berupa lautan dalam yang berangsur berubah
menjadi laut dangkal dengan kehidupan foraminifera dan moluska laut. Pendangkalan
berjalan terus sampai akhir kala Pliocene.

berumur 5 juta s/d 1.8 juta tahun lalu. Dengan lapisan:


01. Lapisan napal (Marl)
02. Lapisan lempung abu-abu (biru) dari endapan laut dalam
03. Lapisan foraminifera dari endapan laut dangkal
04. Lapisan balanus batu gamping
05. Lapisan lahar bawah dari endapan air payau.

Formasi Pucangan (Sangiran)

Formasi ini terbagi menjadi dua yaitu lahar bawah dan lempung hitam. Formasi
Pucangan lahar bawah ketebalannya berkisar 0,7-50 meter berupa endapan lahar dingin atau
breksi vulkanik yang terbawa aliran sungai dan mengendapkan moluska air tawar di bagian
bawah dan diatome di bagian atas. Pada lapisan ini juga terdapat fragmen batu lempung
gampingan dari formasi Kalibeng. Formasi Pucangan Atas ketebalan mencapai 100 meter
berupa lapisan napal dan lempung yang merupakan pengendapan rawa-rawa, pada formasi ini
terdapat sisipan endapan molusca marine yang menunjukkan bahwa pada waktu itu pernah
terjadi transgresi laut. Formasi ini banyak mengandung fosil binatang vertebrata seperti gajah
(Stegodon trigonocephalus),banteng (Bibos paleosondaicus), kerbau (Bubalus paleokarabau,
Hippopotamidae dan Cervidae. Pada formasi Pucangan ini juga ditemukan fosi Homo erectus
fosil karapaks dan plastrn kura-kura.

berumur 1.8 juta s/d 1 juta tahun lalu. Dengan lapisan:


01. Lapisan lempung hitam (kuning) dari endapan air tawar
02. Lapisan batuan kongkresi
03. Lapisan lempung volkanik (Tuff) (ada 14 tuff)
04. Lapisan batuan nodul
05. Lapisan batuan diatome warna kehijauan

11
Formasi Kabuh (Bapang)

Formasi Kabuh merupakan lapisan yang berumur 800.00-250.000 tahun yang lalu dan
merupakan formasi yang paling banyak ditemukan fosil mamalia, manusia purba dan alat
batu. Formasi ini terbagi menjadi dua yaitu grenzbank yang metupakan lapisan pembatas
antara formasi Pucangan dengan Kabuh. Terdiri dari lapisan batu gamping konglomeratan
yang berbentuk lensa-lensa dengan ketebalan 2meter. Di grenzbank banyak ditemukan fosil
mamalia (Stegodon trigonocephalus, Bubalus paleokarabau, Duboisia santeng dll) dan fosil
Hominidae. Formasi Kabuh atas ketebalan lapisannya sekitar 3-16 meter merupakan batu
pasir dengan struktur silang siur yang menunjukkan hasil endapan sungai. Terjadi pada kala
Pleistocene tengah.

berumur 1 juta s/d 250 ribu tahun lalu. Dengan Lapisan:


01. Lapisan konglomerat
02. Lapisan batuan grenzbank sebagai pembatas
03. Lapisan lempeng vulkanik (tuff) (ada 3 tuff)
04. Lapisan pasir halus silang siur
05. Lapisan pasir gravel.

Formasi Notopuro (Phojajar)

Formasi Notopuro terletak di di atas formasi Kabuh dan tersebar di bagian tas perbukitan di
sekeliling Kubah Sangiran. Formasi ini tersusun oleh material vulkanis seperti batu pasir
vulkanis, konglomerat dan breksi dengan fragmen batuan beku andesit yang berukuran
brangkal hingga bonkah. Ketebalan lapisan mencapai 47 meter dan terbagi menjadi tiga
lapisan yaitu lapisan Formasi Notopuro bawah dengan ketebalan 3,2-28,9 meter, Formasi
Notopuro tengah dengan ketebalan maksimal 20 meter dan Formasi Notopuro atas dengan
ketebalan 25 meter. Pada Formasi Notopuro ini sangat jarang dijumpai fosil. Formasi ini
ditafsirkan sebagai hasil pengendapan darat yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik
dan terjadi pada kala Pleistocene atas.

berumur 250 ribu s/d 15 ribu tahun lalu. Dengan lapisan:


01. Lapisan lahar atas

12
02. Lapisan teras
03. Lapisan batu pumice

2.3.2 Interprestasi Lingkungan

Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Sangiran memiliki area
sekitar 48 km. Secara fisiografis sangiran terletak pada zona Central Depression, yaitu
berupa dataran rendah yang terletak antara gunung api aktif, Merapi dan Merbabu di sebelah
barat serta Lawu di sebelah timur. Secara administratif Sangiran terletak di Kabupaten Sragen
(meliputi 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Kalijambe, Gemolong dan Plupuh serta Kecamatan
Gondangrejo) dan kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sangiran terletak di desa
Krikilan,Kec. Kalijambe ( + 40 km dari Sragen atau + 17 km dari Solo) situs ini menyimpan
puluhan ribu fosil dari jaan pleistocen ( + 2 juta tahun lalu). Fosil-fosil purba ini merupakan
65 % fosil hominid purba di Indonesia dan 50 % di seluruh dunia. Hingga saat ini telah
ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di gudang
penyimpanan.

Secara struktural Sangiran merupakan daerah yang mengalami pengangkatan dan


perlipatan yang kemudian membentuk struktur kubah terbalik, yang seiring berjalannya
waktu mengalami erosi. Adanya pengangkatan ini terjadi karena proses penekanan dari kiri
ke kanan oleh tenaga eksogen dan dari bawah ke atas oleh tenaga endogen. Erosi
menyebabkan tersingkapnya lapisan-lapisan tanah secara alamiah. Keistimewaan Sangiran,
berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba merupakan hamparan lautan.
Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan
Gunung Merbabu, Sangiran menjadi daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan lapisan-lapisan
tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda dengan lapisan tanah di tempat lain.
Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Misalnya,
Fosil binatang laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu
merupakan lautan.

13
Gambar 1. Proses terbentuknya Kubah Sangiran

Gambar 2. Sangiran Dome


Adapun lapisan tanah yang tersingkap di wilayah Sangiran terbagi menjadi 4 lapisan (dari
lapisan teratas) yaitu Formasi Notopuro, Formasi Kabuh, Formasi Pucangan dan Formasi
Kalibeng.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan maka dapat disimpulkan bahwa,
Sangiran merupakan sebuah kubah yang terbentuk oleh adanya proses deformasi, baik secara
lateral maupun vertikal. Proses erosi pada puncak kubah telah menyebabkan terjadinya
reveerse, kenampakan terbalik, sehingga daerah tersebut menjadi daerah depresi. Bagian

14
tengah kubah sangiran ditoreh oleh kali Cemoro sebagai sungai enteseden, sehingga
menyebabkan formasi batuan tersingkap dan menunjukkan bentuk melingkar

Proses tersebut menyebabkan terbentukya formasi pada lapisan yang berbeda beda
didaerah Sangiran. Formasi yang terbentuk diantaranya : Formasi Pucangan yang berumur
1.8 juta s/d 1 juta tahun lalu. Dengan lapisan: lapisan lempung hitam (kuning) dari endapan
air tawar, lapisan batuan kongkresi, lapisan lempung volkanik (Tuff) (ada 14 tuff), lapisan
batuan nodul, lapisan batuan diatome warna kehijauan. Formasi Kalibang yang berumur 5
juta s/d 1.8 juta tahun lalu. Dengan lapisan: lapisan napal (Marl), lapisan lempung abu-abu
(biru) dari endapan laut dalam, lapisan foraminifera dari endapan laut dangkal, lapisan
balanus batu gamping, lapisan lahar bawah dari endapan air payau. Formasi Kabuh yang
berumur 1 juta s/d 250 ribu tahun lalu. Dengan Lapisan: lapisan konglomerat, lapisan batuan
grenzbank sebagai pembatas, lapisan lempeng vulkanik (tuff) (ada 3 tuff),lapisan pasir halus
silang siur, lapisan pasir gravel. Formasi Notopuro yang berumur 250 ribu s/d 15 ribu tahun
lalu. Dengan lapisan: lapisan lahar atas, lapisan teras, lapisan batu pumice.

4.2 Saran

Sangiran yang merupakan cagar budaya yang telah ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan indonesia sebagai cagar budaya serta dengan diakuinya Sangiran
sebagai warisan dunia oleh UNESCO, harus bisa menjadi media pembelajaran mengenai
sejarah perkembangan kehidupan dan fosil atau pun batuan yang terbentuk pada lapisan
tanah. Sebagai warisan budaya, Sangiran harus bisa menjadi ikon pariwisata untuk
memperkenalkan kebudayaan yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Sangiran Tambang Fosil Binatang Purba. Dinas Pariwisata Pemda Propinsi Jawa
Tengah. Semarang. 1975.

Bambang. 2009. Warisan Dunia Situs Sangiran. (Vol. 11)1 :57-80

Koenjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

15
Suantika, I Wayan. 2001. Sumberdaya Arkeologi Dan Peranannya Masa Kini dan Masa
Depan Proceedings EHPA, Mencermati Nilai Budaya Masa Lalu Dalam Menatap Masa.
Jakarta: 2001.

Yahdi zaim, dkk.2011. New 1.5 Million Year old Homo ErectusMaxilla From Sangiran
(Sentral Java Indonesia). 61 :363-367

LAMPIRAN

16
GAMBAR 1. Lingkungan situs sangiran

GAMBAR 2. Lingkungan situs Sangiran

17
GAMBAR 3. Lingkungan situs Sangiran

GAMBAR 4. Formasi Kalibeng

18
GAMBAR 5. Formasi Pucangan

GAMBAR 6. Formasi Pucangan

19
GAMBAR 7. Sumber air asin di Formasi Kalibeng

GAMBAR 8. Formasi Kabuh

20
GAMBAR 9. Formasi Notopuro

GAMBAR 10. Struktur Lapisan Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro

21
GAMBAR 11. Keadaan pemukiman penduduk

GAMBAR 12. Aktifitas perekonomian penduduk

22
GAMBAR 13. Aktifitas penduduk

GAMBAR 14. Penunjang perekonomian masyarakat peternakan

23
GAMBAR 15. Contoh batuan yang ditemukan di kawasan Sangiran

GAMBAR 16. Batu marmer sebagai souvenir Sangiran

24

Anda mungkin juga menyukai