Anda di halaman 1dari 10

PENINGGALAN TENGKORAK HOMO SAPIENS MOJOKERTENSIS

DARI ZAMAN PRASEJARAH


DI MUSEUM MANUSIA PURBA SANGIRAN

MATA KULIAH PALEOANTROPOLOGI

ANTROPOLOGI SOSIAL

DOSEN PENGAMPU : Drs. EKO PUNTO HENDRO, MA

MOCHMMAD SUBHAN FADILLAH

13040218130068

Abstrak

Museum Sangiran adalah museum arkeologi yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten
Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Museum ini berdekatan dengan area situs fosil
purbakala Sangiran yang merupakan salah satu Situs Warisan Dunia. Situs Sangiran memiliki
luas mencapai 56 km² meliputi tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh)
serta Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Situs Sangiran
berada di dalam kawasan Kubah Sangiran yang merupakan bagian dari depresi Solo, di kaki
Gunung Lawu (17 km dari kota Solo).

Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga
merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia,
bahkan dunia. Dalam museum ini dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola kehidupan
manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi,
Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya
ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus Erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo
erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald.
Lebih menarik lagi, di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga
200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini, sehingga para ahli dapat merangkai sebuah
benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan. Koleksi yang
tersimpan di museum ini mencapai 13.806 buah yang tersimpan pada dua tempat yaitu 2.931
tersimpan di ruang pameran dan 10.875 di dalam ruang penyimpanan.

Kata Kunci : Homo Sapiens Mojokertensis, Tulungagung, Sangiran


PENDAHULUAN
Museum manusia purba adalah salah satu tempat wisata di Jawa Tengah yang wajib dikunjungi
karena museum sangiran merupakan museum yang memberikan informasi tentang manusia
purba dan peradabannya, terlengkap di Indonesia. Museum Manusia Purba Sangiran sampai saat
ini merupakan museum dengan koleksi fosil dan artefak terlengkap di Indonesia dengan jumlah
koleksi mencapai puluhan ribu. Sangiran merupakan situs terpenting untuk berbagai ilmu
pengetahuan terutama untuk penelitian dan juga pariwisata. Keberadaan situs sangiran sangat
bermanfaat untuk mempelajari kehidupan manusia prasejarah karena situs ini dilengkapi dengan
fosil manusia purba hasil-hasil budaya, fosil fauna beserta gambaran stratigrafinya.

Beberapa fosil manusia purba disimpan di museum geologi, Bandung dan laboratorium
Paleoantropologi, Yogjakarta. Dilihat dari hasil temuannya, situs sangiran merupakan situs pra
sejarah yang memiliki peran yang sangat penting dalam memahami proses edukasi dan
merupakan purbakala yang paling lengkap di Asia bahkan di dunia.Penemuan-penemuan fosil di
dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Penemuan–penemuan fosil sangat berguna bagi
perkembangan ilmu sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan kehidupan manusia kala
itu. Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi manusia hingga menjadi sekarang ini.

Dilihat dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia mempunyai banyak
sejarah peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan begitu ilmu sejarah akan terus
berkembang sejalan dengan fosil- fosil yang ditemukan. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui
perkembangan fosil terbaru yang ditemukan seperti Homo Sapiens Mojokertensis. Dijelaskan
pula tempat penemuan dan bentuk penemuannya agar isi laporan ini dapat dipercaya
kebenarannya.
PEMBAHASAN
Manusia Purba Homo Wajakensis merupakan aset kesejarahan yang bernilai tinggi, sehingga
perlu untuk dipublikasikan, dilestarikan, dan juga menjadi media pembelajaran peserta didik,
khususnya di Tulungagung.

Kawasan daerah di sekitar Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung tercatat sebagai kawasan
awal kehidupan dan sekaligus perkembangan kehidupan sosial-budaya Tulungagung. Sehingga
adanya awal kehidupan di daerah Tulungagung tepat berada di bagian selatan itu, maka membuat
transisi kehidupan hingga sekarang.

Sebelum membahas mendalam mengenai manusia purba di daerah Tulungagung yang terkenal
dengan sebutan manusia Homo Wajakensis, lebih baik kita telusuri di mana tempatnya
diketemukan manusia purba tersebut. Pada dasarnya mengenai letak diketemukannya manusia
purba Wajakensis masih gelap. Mayoritas masyarakat mengira kalau nama daerah ”Wajak”
keberadaan daerahnya berada di daerah Boyolangu yang sekarang kita kenal. Di atas sudah
sedikit disinggung mengenai biografi Dubois tentang penemuan awal fosil manusia wajakensis
yang berada di daerah tembang marmer.

Pada tahun 1859 M, Pegunungan Gamping selatan daerah Campurdarat, waktu itu masih disebut
dengan distrik Wajak. Daerah tersebut tepatnya berada di Desa Gamping, di mana pada daerah
tersebut terdapat penggalian tambang marmer. Namun apabila kita kronologikan, maka nama
daerah yang dimaksud ”Wajak” pada masa penemuan situs fosil manusia purba tersebut adalah
di daerah Campurdarat, Tulungagung bagian selatan.

Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya di daerah distrik Wajak pada tahun 1889
diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, oleh para ahli
digolongkan ke dalam jenis manusia cerdas (Homo Sapiens) (Anonim; 1971:6). Fosil tenggkorak
manusia purba, pada tahun 1889 M baru diketemukan oleh B. D. Van Rietschouten dan
penemuan fosil tersebut dinamakan dengan Wajak I. Setelah itu fosil Wajak II diketemukan oleh
Eugene Dubois pada tahun 1890. dari situlah mulai terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia
purba yang akhirnya dinamakan dengan sebutan manusia purba Homo Wajakensis. Manusia
purba Homo Wajakensis tersebut merupakan jenis manusia muda yang digolongkan sebagai
manusia cerdas dan termasuk klarifikasi dalam Homo Sapiens.

Pengumuman pertama tentang fosil manusia purba Homo Wajakensis diterbitkan tahun 1889
dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13 Desember
1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van Rietshouten yang isinya
dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya. Abstraksi tentang isi surat tersebut
disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van Natuurlijk Historie, Leiden. Di
dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982.
Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888 (Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April
2005). Menurut Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi
badan 173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri
ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000
tahun yang lalu.

Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut,
akhirnya ia tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah
Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan fosil
tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang menarik
pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung ke perkebunan
milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah Pegunungan Wilis. Setelah
Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia
semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah
ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah
(http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).

Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di
perkebunan De Bedelaer miliknya di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang
bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan
dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil manusia
purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur)
(http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).

Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba Homo Wajakensis, menurut S. Boeddhi
Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah Bersinar Tulungagung edisi 25/IV/April 2005;
bahwasanya fosil-fosil yang diketemukan di distrik Wajak tersebut dinamakan Homo
Wajakensis, ciri-cirinya adalah tengkorak panjang dengan isi besar yakni Wajak I (wanita)
berkapasitas 1.550 sentimeter kubik dan Wajak II (laki-laki) berkapsitas 1.650 sentimeter kubik.
Isi tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia modern.

Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid, dahinya miring ke belakang tetapi kurang
primitif, dan bagian tengah atap tengkoraknya berlunas. Mukanya lebar datar dengan tulang pipi
menonjol ke samping seperti pada Mongoloid. Matanya besar, tetapi agak rendah. Ada alur di
depan hidungnya, akar hidungnya melesak ke bawah dahi, tulang hidungnya sempit, kecil dan
datar serta lubang hidungnya lebar. Belakang tengkoraknya membonggol dengan tempat
pelekatan otot leher rata. Langit-langit mulutnya besar dan dalam, serta lebih besar
dari Australid, giginya besar, tetapi dalam proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil
dan berbentuk omega. Rahang bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan
miring ke belakang, lebar cabang rahang bawahnya sebanding dengan
manusia Hidelbreg (Jerman). Dari tulang paha dan tulang kering dapat disimpulkan bahwa
manusianya ramping dan tinggi.

Menurut Peter Bellwood (2000:125), mengatakan tengkorak-tengkorak Wajak masih


menimbulkan masalah-masalah yang menarik. Banyaknya pakar menganggap tengkorak-
tengkorak tersebut tergolong Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan wajak yang besar.
Hanya saja, Coon (1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan adanya kecenderungan
ciri Mongoloid yang tampak dari mukanya yang datar. Jika tarikh tersebut benar, tengkorak dari
Wajak mungkin memperlihatkan beberapa tingkat kecenderungan Mongoloid untuk populasi-
populasi di Jawa sebelum masa penghunian oleh penutur bahasa Austronesia. Sayangnya,
kecenderungan ciri morfologis yang tepat dari tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena
adanya berbagai masalah dalam rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut
menunjukkan aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke Indonesia, maka tengkorak-
tengkorak Wajak itu sangat penting. Pandangan tersebut sebagian ditentang oleh Jacob (1967:51)
yang pernah menganggap populasi Wajak kemungkinan adalah leluhur
bersama Mongoloid Indonesia maupun Australo-Melanesia sekarang.

Untuk merangkai informasi mengenai situs manusia purba yang berada di Indonesia, khususnya
dibagian selatan Tulungagung. Jacob (1967), menyatakan bahwa baru-baru ini lebih banyak lagi
yang diketemukan mengenai manusia purba. Jacob beranggapan situs-situs yang paling
bermasalah salah satunya adalah situs Wajak di Jawa Timur bagian selatan. Di sini, dua
tengkorak diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 – yang terakhir diketemukan oleh Dubois –
dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah hancur dan tidak ada bukti langsung yang
tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui konteksnya (Strom dan Nelson 1992). Untungnya,
baru-baru ini dimungkinkan untuk meneliti sebuah tulang paha manusia dari situs tersebut
dengan penarikhan C14 pada apatite tulang (Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira 6500 BP,
jadi tulang-tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat dianggap berumur Holosen
Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood; 2000:124-125).

Menurut Soekmono ((a)1973:29), pendapat Dubois, Homo Wajakensis itu termasuk dalam
golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan nantinya menurunkan
langsung bangsa-bangsa asli Australia itu. Menurut Voon Koenigswald, maka Homo Wajakensis
itu seperti juga Homo Soloensis, asalnya dari lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin sekali
sudah dimasukkan dalam jenis Homo Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih jelas lagi dari
kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-jenis manusia tertua yang sudah disebutkan di atas, maka
Homo Wajakensis itu telah di tanam (baca: dikubur), sebagaimana realitanya dari bekas-
bekasnya waktu diketemukan.

Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi salah satu daerah industri tambang marmer
yang terkenal hingga ke mancanegara, bisa kemungkinan juga keberadaan situs-situs manusia
purba Homo Wajakensis tepatnya di gua-gua pegunungan selatan telah rusak akibat dari polah
aktivitas manusia dalam menambang marmer atau batu onix. Namun apabila kita ingin melacak
keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis kemungkinan masih bisa, dengan
indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme, Campurdarat dan gua-gua di Cerme yang disebut
dengan Gua Lawa.

Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan kehidupan manusia purba saat itu, adalah
berupa temuan hunian gua (rock sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki yaitu Gua Song
Gentong. Temuan yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-sisa makanan, yakni
cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang binatang sebagai sampah dapur. Selain
tempat-tempat itu, bukti serupa pernah diketemukan di situs Gua Pasetran Gondomayit yang
tepatnya di dusun Ngelorejo, desa Janglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten
Tulungagung.

Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan Selatan Tulungagung tersebut, sebagai tempat
tinggal atau adanya sebuah kehidupan manusia purba Homo Wajakensis. Sebab dimungkinkan
gua-gua yang keberadaannya tidak jauh dari pantai selatan tersebut menjadi tempat tinggalnya,
karena sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari makanan yang berupa kerang-kerang
atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari keberadaan rawa-rawa ataupun Samudera Hindia.
Rawa Bening salah satunya, dimungkinkan memang rawa tersebut merupakan rawa yang terjadi
semasa dengan terjadinya Gunung Gamping di daerah tersebut.

Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo Wajakensis saja yang ada, melainkan kehidupan
di Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung telah dihuni berbagai jenis makhluk binatang
seperti antelope, babi hutan, kijang, rhino, dan juga berbagai jenis kera. Sehingga kalau
ditarekhkan pada masa manusia purba Wajakensis sudah mengenal kultur, sosio dan ekonomis.
Secara tidak langsung maka manusia purba tersebut sudah mampu untuk mengolah lingkungan
Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung.

Dengan banyaknya gua-gua yang terdapat dibagian selatan daerah Tulungagung tentunya kita
dapat menafsirkan, bahwasanya kehidupan manusia purba pada zaman dahulu memang sudah
ada di daerah tersebut, bukti dan data yang ada, sudah menjadi pengukuhan bagi dunia
kesejarahan bahwasanya daerah Tulungagung menjadi salah satu penyokong kesejarahan
internasional, dengan pernah diketemukannya fosil manusia purba yang akhirnya diberi nama
Homo Wajakensis. Temuan manusia purba Homo Wajakensis, mengisyaratkan pada kita bahwa
sekitar 40000 tahun silam, khususnya daerah Tulungagung bagian selatan telah di diami oleh
manusia purba Homo Sapiens yang tergolong dalam Ras Wajak, tentunya berbeda dengan ras
manusia sekarang pada umumnya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut.
Kalau ditinjau dalam segi kebudayaan, Homo Wajakensis sudah mempunyai unsur budaya.
Menurut Soekmono ((a)1973:14), kebudayaan dewasa sekarang ini adalah hasil dari
pertumbuhan dan perkembangan di waktu yang lalu (sekali-kali bukan menjadi pengganti,
melainkan lanjutan). Maka untuk mengetahuinya dan mengenalnya, lebih-lebih untuk dapat
menyelaminya dengan benar, perlulah ditinjau dari sejarahnya.

Menurut manuskrip Sejarah dan Babad Tulungagung (1971), bahwasanya dasar penguburan
adalah erat kaitannya dengan sebuah kepercayaan, yaitu suatu usaha untuk melindungi ruh-ruh
dari gangguan alam (lingkungan) atau binatang buas serta faktor-faktor lain. Maka dari itu, kalau
memang benar manusia purba Homo Wajakensis tersebut sudah mengenal penguburan, berarti
mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin
kelangsungan kehidupannya, mendirikan tempat tinggal untuk berteduh dan melindungi dari
gangguan dan liarnya binatang buas. Dalam hal ini tidak mustahil apabila gua-gua yang terdapat
di daerah Wajak pada masa dahulunya juga merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia
purba seperti Homo Wajakensis.

Corak kebudayaan yang ada masa manusia purba sangatlah unik dan perlu untuk diketahui. Kala
itu manusia antara lain telah mengenal logam. Budaya prasejarah yang pernah terdeteksi di
kawasan Tulungagung Selatan diantaranya pernah diketemukan sarkofagus di situs Darungan di
desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir. Pada saat diketemukan oleh penduduk setempat sekitar
tahun 1978, didapati wadah kubur itu masih lengkap dengan bagian tutup yang terbuat dari
batuan gamping berwarna kekuningan. Salah satu ujungnya dipahat meruncing, yang serupa
dengan lunas perahu. Didalam lubang bagian atas sarkofagus itu terdapat kerangka manusia dan
bekal kubur atau burial gift yang berupa manik-manik dan senjata dari bahan besi.

Budaya semacam bekal kubur maupun perahu lunas yang menyerupai perahu arwah, hal itu
merupakan salah satu kebudayaan khas masa megalitikum yang pernah ada di Tulungagung
zaman prasejarah. Dalam kaitan hal serupa pada tahun 1982 di dusun Nglempong, desa Gamping
juga pernah diketemukan sisa-sisa tulang manusia yang berupa tengkorak dan fragmen tulang
serta manik-manik dan juga benda yang terbuat dari perunggu.

Maka dari itulah, jejak-jejak sejarah zaman prasejarah yang ada di daerah Tulungagung perlu
untuk didokumentasikan dalam rangka demi masa depan generasi muda maupun pelajar untuk
bisa mengetahui dan mencintai daerahnya. Tulungagung yang kini sudah berkembang pesat
dalam berbagai sektor, kita sebagai generasi muda Tulungagung setidaknya mengetahui,
memahami, mencintai, dan menyayangi kesejarahan lokal Tulungagung yang merupakan tempat
kelahiran.

LAMPIRAN
Foto

Daftar Pustaka
- https://situsprasejarah.wordpress.com/2012/09/22/manusia-purba-homo-wajakensis/
- http://sangiran.kemdikbud.go.id/homo-sapiens-wajakensis/
- Jadid Mubarakati Nurul & Saimul Laili, 2017, Karakterisasi Profil Zona Pelusida Manusia
(Homo sapiens) Menggunakan Analisis in Silico: e-Jurnal Ilmiah BIOSAINTROPIS
(BIOSCIENCE-TROPIC) Volume 2/ No.: 2 / Halaman 18 – 23

Anda mungkin juga menyukai