Anda di halaman 1dari 8

NAMA : HESTIKA LESTARI

KELAS : X IPS 2
BIDANG STUDI : SEJARAH INDONESIA

(TAHUN PELAJARAN 2021/2022)


SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA

Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini
merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam
sejarah perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap sejarah
kehidupan manusia purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang hidup
bersamanya, hingga proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2
juta tahun (Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).

Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km² dan sebagian besar berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah
utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian
yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).

Gambar Peta Lokasi Sangiran

Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia
UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO sebagai World Heritage
(No. 593, dokumen WHC-96/Conf.201/21).

Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki nilai tinggi
bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak ditetapkannya sebagai World
Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi sumbangannya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia khususnya ilmu arkeologi, geologi, paleoantropologi, dan biologi.

Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi manusia
terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil peninggalan manusia
purba dari 2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi juga berbagai fosil
tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok
gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah
purba (stegodon dan gajah modern). Ditemukan pula alat produksi manusia purba yang
digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan situs-situs manusia purba di Cina
seperti Zhulian, Yuanmou dan Longhua yang hanya menyajikan peninggalan purba kurang
dari dua juta tahun.

Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran

Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakan Kubah Sangiran
kemudian tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi akibat
pergerakan dari aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung
informasi tentang kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat
indah, yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami
erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan
tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain.

Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-fosil
manusia maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran
merupakan kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa
(pengangkatan dan penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah
permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai
Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran
menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran
yang landai. Beberapa aktivitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan
tanah/formasi periode pleistosen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistosen
bawah (lapisan Pucangan), pleistosen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistosen atas (lapisan
Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di lapisan-lapisan tersebut berasosiasi
dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan
Ngandong.

Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area
tersebut dan menemukan beberapa alat serpih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit
Ngebung, arah Barat Laut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah seorang ahli
paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada
tahun 1930-an. Setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta
(“tulang buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan.

Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha
Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891.
Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur Sangiran.
Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap
hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia
bayar.

Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk
mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Pada
tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya.
Ada sekitar 60 lebih fosil Homo erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar,
termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan
kawasan sekitarnya.

Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian disimpan
di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran sampai tahun 1975, yang
kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke
kawannya di Jerman, Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang
berkunjung ke tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum.
Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak di
samping Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun pada tahun
1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk
melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan tersebut
seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.

Gambar Museum Sangiran

Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium,
perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia
prasejarah), gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios souvenir
(khususnya menjual handicraft “batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali
Cemoro). Berikut ini adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:

Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus


mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo
neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.
Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi,
banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi
ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan Gastropoda),
Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan
kapak perimbas-penetak.

Gambar Fosil Sangiran

Misteri Sangiran Yang Terungkap

Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya


mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung
buto alias tulang-tulang raksasa. Balung adalah bahasa Jawa yang berarti tulang dan buto
adalah raksasa. Dengan demikian, secara harfiah, balung buto mempunyai arti tulang
raksasa. Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi
lisan atau mitos mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan
Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan
terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan
tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto. Para tetua kampung yang
berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto
tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.

Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain
berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai
jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah
melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto
yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng
perbukitan—jarang diganggu oleh penduduk setempat. Koenigswald mengubah pandangan
itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan
berbukit-bukit, memang tidak memungkinkan bagi peneliti asing itu bekerja sendiri.

Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald meminta bantuan penduduk. Ilmuwan
asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait
keberadaan fosil dan artefak purba. Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk,
Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang
menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan
kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka sebut
balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.

Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru,
pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula,
masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias
balung buto,yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis
menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.

Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau merupakan kawasan subur tempat sumber
makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah khatulistiwa, pada zaman
fluktuasi zaman glasial-interglasial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk
mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran pada kala
pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai
atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala pleistosen. Mereka
membuat pangkalan dalam aktivitas perburuan untuk mendapatkan sumber kebutuhan
hidupnya.

Pilihan situs kubah Sangiran sebagai pangkalan aktivitas perburuan mengingatkan kita
dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika).
Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil
manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.

Secara geo-stratigrafi, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki
Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya
sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik), hal ini dibuktikan dengan
endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng
biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga
sekarang ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut. Kondisi deformasi geologis
seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar
(anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah
dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan
tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba
dan hewan vertebrata). Keadaan geo-stratigrafi dari pengamatan stratigrafi batuannya dapat
diketahui menjadi beberapa formasi, diantaranya :

Formasi Kalibeng
Formasi Pucangan
Formasi Grenzbank
Formasi Kabuh
Formasi Notopuro
Formasi Teras Solo (Kali Pasir)
Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap. Manusia purba
jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran ada sekitar lebih dari 100 individu
yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari
seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah
fosil sejenis yang ditemukan didunia. Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah dari masa
Pleistosen Awal dan Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada Pleistosen Akhir. Manusia
jenis ini mempunyai ciri-ciri tinggi badan kurang lebih 165-180 cm dengan postur yang
tegak, tetapi tidak setegap Meganthropus. Mereka memiliki geraham yang masih besar,
rahang kuat, tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan
tonjolan belakang kepalanya nyata, dagu belum ada dan hidung lebar. Perkembangan
otaknya baru memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan manusia ini digolongkan dalam Homo
erectus arkaik.

Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak
2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan
di gudang penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi
Bandung dan Laboratorium Paleoantropologi Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan
lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia
dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus
arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Pleistosen Bawah) yang ditaksir mempunyai
usia antara 1,7 – 0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus
palaeojavanicus dan Pithecanthropus mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis
Pithecanthropus klasik yang berasal dari Formasi Kabuh (Pleistosen Tengah) yang
mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang
paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus
progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara
400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo soloensis
dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Gambar Manusia Purba Sangiran

-Demikianlah karya ilmiah mengenai “Sangiran Laboratorium Manusia Purba” ini. Sebagai
warga negara yang baik kita harus bisa melestarikan kekayaan budaya baik itu wisata
maupun sejarah bangsa. Agar tidak punah oleh waktu. Selain itu kita juga harus bisa
menjaganya agar tetap lestari dan berkembang.

Anda mungkin juga menyukai