Anda di halaman 1dari 7

Karya Ilmiah

“Sangiran Laboratorium Manusia Purba”

Disusun untuk memenuhi tugas remedial

Sejarah Indonesia

Guru pembimbing : Pak Asrul Annas

Nama : Iseu Marsela

Kelas : X TB 1

Mapel : Remedial Sejarah Indonesia

Hari/Tanggal : Senin/18-Oktober-2021
SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA

Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini
merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam sejarah
perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap sejarah kehidupan manusia
purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang hidup bersamanya, hingga proses
terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun (Pliosen Akhir hingga
akhir Pleistosen Tengah).

Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km² dan sebagian besar berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara
Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian yang merupakan
bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).

Gambar Peta Lokasi Sangiran

Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO sebagai World Heritage (No. 593, dokumen
WHC-96/Conf.201/21).

Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki nilai
tinggi bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak ditetapkannya sebagai World
Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi sumbangannya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia khususnya ilmu arkeologi, geologi, paleoanthropologi, dan biologi.

Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi manusia
terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil peninggalan manusia purba dari
2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi juga berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan
bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus
(kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern). Ditemukan
pula alat produksi manusia purba yang digunakan dan sebagainya.

•Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran

Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakan Kubah Sangiran
kemudian tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi akibat pergerakan dari
aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang
kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat indah, yaitu Kali Cemaro
yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan
tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah
yang lain.

Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-fosil manusia
maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang
tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan permukaan
tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan
bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan
terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan
pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktivitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya
lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat
pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas
(lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di lapisan-lapisan tersebut berasosiasi
dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.

Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area
tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit
Ngebung, arah Barat Laut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah seorang ahli paleoantropologi
dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun 1930-an. Setelah
mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta (“tulang buta/raksasa”) oleh warga
dan diperdagangkan.

Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha
Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil
sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur Sangiran. Dengan dibantu oleh
Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald
meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar.

Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali
fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Pada tahun-tahun
berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih
fosil Homo erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar, termasuk seri Meganthropus
palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya.

Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di
bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran sampai tahun 1975, yang kelak
menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di
Jerman, Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke tempat
tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya Museum Sangiran
dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah
museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1980 karena mengingat semakin banyaknya
fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata
yang nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.

Gambar Museum Sangiran

Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium,
perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah),
gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft
“batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro). Berikut ini adalah beberapa
koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:

1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus


mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo
neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi,
banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting,
gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan Gastropoda),
Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
4. Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
5. Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan
kapak perimbas-penetak.
Gambar Fosil Sangiran
•Misteri Saringan Yang Terungkap

Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal fosil-
fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-
tulang raksasa. Balung adalah bahasa Jawa yang berarti tulang dan buto adalah raksasa. Dengan
demikian, secara harfiah, balung buto mempunyai arti tulang raksasa. Selain itu, pemahaman
mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi lisan atau mitos mengenai perang besar
yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu
banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat
potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto. Para tetua kampung
yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto
tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.

Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain
berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai
magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak
heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak banyak bermunculan di
berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan—jarang diganggu oleh penduduk
setempat. Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran, dengan
kondisi alam yang tandus-gersang dan berbukit-bukit, memang tidak memungkinkan bagi peneliti
asing itu bekerja sendiri.

Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald meminta bantuan penduduk. Ilmuwan asal
Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil
dan artefak purba. Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem
upah berupa uang kepada penduduk yang menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam,
bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang
dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.

Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian
dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula, masyarakat Sangiran
mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang semula
dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam komoditi baru
yang hanya bernilai ekonomis.

Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau merupakan kawasan subur tempat sumber
makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaannya di wilayah khatulistiwa, pada jaman fluktuasi
jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk mendapatkan
sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan Sangiran pada kala pleistosen menjadi tempat
hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu. Tempat-tempat terbuka seperti padang
rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian
manusia pada kala pleistosen. Mereka membuat pangkalan dalam aktivitas perburuan untuk
mendapatkan sumber kebutuhan hidupnya.

Pilihan situs kubah Sangiran sebagai pangkalan aktivitas perburuan mengingatkan kita dengan
living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs
sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan
artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.

Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki
Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya
sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik), hal ini dibuktikan dengan
endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng biru dari
Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang ini
banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut. Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian
semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan
Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran
sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan
memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata). Keadaan geo-stratigrafi
dari pengamatan stratigrafi batuannya dapat diketahui menjadi beberapa formasi, diantaranya :
 Formasi Kalibeng
 Formasi Pucangan
 Formasi Grenzbank
 Formasi Kabuh
 Formasi Notopuro
 Formasi Teras Solo (Kali Pasir)
Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap. Manusia purba jenis
Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran ada sekitar lebih dari 100 individu yang
mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh fosil
manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang
ditemukan didunia. Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah dari masa Pleistosen Awal dan
Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada Pleistosen Akhir. Manusia jenis ini mempunyai ciri-ciri
tinggi badan kurang lebih 165-180 cm dengan postur yang tegap, tetapi tidak setegap
Meganthropus. Mereka memiliki geraham yang masih besar, rahang kuat, tonjolan kening tebal
serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan tonjolan belakang kepalanya nyata, dagu belum
ada dan hidung lebar. Perkembangan otaknya baru memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan
manusia ini digolongkan dalam Homo erectus arkaik.

Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934
fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan di gudang
penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi Bandung dan
Laboratorium Paleoanthropologi Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan
asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3
kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus arkaik yang berasal dari
Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus dan Pithecanthropus
mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasik yang berasal dari Formasi Kabuh
(Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo
erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus
progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara 400.000
– 100.000 tahun.
Gambar Manusia Purba Sangiran

Anda mungkin juga menyukai