Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

SEJARAH GEOLOGI

Sejarah Terbentuknya Sangiran


Pada awalnya sangiran merupakan lautan dangkal. Pada saat itu keadaan bumi
masih belum stabil seperti sekarang, di beberapa bagian bumi seringkali
mendapatkan pergerakan di dalam perut bumi yang disebabkan adanya dorongan
tekanan endogen. Sangiran juga mengalami hal serupa, karena adanya dorongan
tenaga endogen (dari dalam bumi) terjadi pengankatan dan pelipatan pada permukaan
laut sangiran. Akibat dn pelipatan permukaan maka terbentuklah daratan-daratan
yang mengisolasi sebagaian lautan tersebut sehingga menjadi danau dan rawa-rawa.
Saat terjadinya masa glacial (pembekuan), permukaan air laut menyusut, itu
disebabkan karena adanya pembekuan es di kutub utara maka muncullah daratan di
permukaan bumi. Danau dan rawa sangiran yang terbentuk dari lautan dangkal juga
menjadi daratan kering.
Proses pembentukan situs sangiran erat kaitannya dengan aktivitas gunung
lawu tua. Kubah sangiran diperkirakan terbentuk akibat gaya kompresi dari runtuhan
gunung Lawu tua, gaya endogen berupa pengakatan dan pelipatan tanah serta gaya
gravitasi bumi. Gaya kompresi yang sama juga menyebabkan terbentuknya kubahkubah lain seperti: Kubah Gemolong, Kubah Gamping, Kubah Bringinan, Kubah
Gesingan, dan Kubah Munggur.
Tenaga endogen yang terjadi berulang-berulang mengakibatkan permukan
tanah di sangiran naik akibatnya adanya dorongan di dalam dan membentuk bukit.
Kemudian karena aktivitas gunung lawu membuat tanah perbukitan longsor dan
membentuk kubah, tanah di sekitar sungai cemarapun ikut longsor. Akibat dari hal
tersebut, terbentuklah lapisan tanah yang berbeda dari lapisan tanah permukaan.
Lapisan tanah yang terbentuk adalah lapisan dari jaman purbakala dimana hsil dari
terbentuknya tanah sangiran membuat para ahli purbakala dan masyarakat sekitar
menemukan bukti-bukti kehidupan masa prasejarah. Higga kini lapisan tanah
(stratigrafi) yang dapat ditemukan dan diteliti terdapat 4 lapis.
Situs sangiran merupakan daerah perbukitan yang terbentuk dari fragmenfragmen batu gamping foraminifera dan batu pasir yang tercampur dengan Lumpur
saat masa halosen. Juga yang endapan alivial yang terdiri dari campuran lempung,
pasir, kerikil, dan krakal dengan ketebalan kurang lebih 2 meter yang dapat terlihat di
sungai cemara. Sungai cemara yang mengalir didaerah sangiran merupakan sungai
anteseden yang menyayat kubah sangiran. Hal ini menyebabkan struktur kubah dan
stratifigrafi tanah daerah sangiran dapat dipelajari dengan baik.
Tersingkapnya tanah di tepi sungai cemara menunjukan aktivitas erosi dan
sedimentasi yang intensif pada masa sekarang. Proses erosi tersebut mengakibatkan

munculnya fosil-fosil binatang maupun manusia purba di permukaan tanah sehingga


sering ditemukan fosil-fosil setelah turun hujan.
Akibat dari dorongan tenaga endogen pada awalnya, aktivitas erosi dan
sedimentasi yang tinggi maka menyebabkan pengangkatan dan pelipatan tanah
sangiran, sehingga lapisan tanah sangiran terbagi dari 4 lapisan (dari lapisan teratas)
yaitu Formasi Notopuro, Formasi Kabuh, Formasi Pucangan dan Formasi Kalibeng.

Sejarah Penelitian & Eksplorasi Fosil di Kawasang Kubah Sangiran


Awal mula Sangiran menjadi perhatian dunia adalah berkat riset yang diawali
Eugene Dubois pada tahun 1895. Riset singkat itu memang tidak menghasilkan
temuan yang dicari sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat untuk
melanjutkannya.
Setelah sekian lama tak ada penelitian, barulah pada tahun 1952 LJC Van Es
membuat peta geologi di kawasan Sangiran dengan skala 1 : 20.000. Dua tahun
berikutnya peta tersebut dimanfaatkan GHR Von Koenigswald untuk melakukan
survey eksploratif.
Dari sinilah Koenigswald berhasil menemukan berbagai peralatan manusia
purba. Ia menemukan sekitar 1000 alat terbuat dari batu-batuan buatan makhluk
purba yang pernah hidup di Sangiran. Alat-alat tersebut terbuat dari batu kalsedon.
Walaupun alat tersebut sederhana namun ia dapat digunakan untuk memotong,
menyerut dan melancipi tombak kayu. Di sela-sela survey tersebut pada tahun 1936
seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil ragang kanan manusia purba kepada
Koenigswald. Inilah temuan pertama fosil manusia purba yang diberi kode S1
(Sangiran 1). Sejak saat itu hingga tahun 1941 dengan dibantu penduduk setempat,
Kenigswald menemukan fosil manusia purba Homo Erectus. Puncaknya terjadi pada
tahun 1969. Ketika ditemukan fosil wajah Homo Erectus sehingga menjadi fosil
terlengkap di Indonesia dan di Asia. Sejak saat itulah penemuan demi penemuan
mencuat. Berbagai jenis fosil manusia purba seperti Meganthropus Paleojavanicus
dan Homo Soloensis ditemukan. Selain itu, ditemukan juga fosil binatang darat
seperti Stegodon atau Trigonocephalus memiliki tinggi 6 m dan panjang 11 m. Lalu,
ditemukan juga fosil binatang air tawar dan laut seperti kuda nil, buata, ikan hiu, dan
penyu yang pernah hidup di zaman purba. Kemudian pada masa berikutnya
penelitian dilanjutkan oleh ahli Paleoanthropologis dari Indonesia yaitu antara lain T.
Jacob dan Sartono yang menemukan fragmen rahang bawah (Sangiran 8) pada

lapisan Grenzbank, rahang bawah (Sangiran 9) dan tengkorak (Sangiran 17).


Penemuan ini merupakan penemuan yang istimewa karena berhasil menemukan
tengkorak (Sangiran 17). Penemuan ini merupakan penemuan yang istimewa karena
berhasil menemukan tengkorak yang paling lengkap beserta gambaran wajahnya
(Sangiran 17). Berdasarkan penelitian paleoantropologis didapatkan adanya beberapa
cirri morfologi dari temuan jenis-jenis manusia purba yang ada di Sangiran. Pada
lapisan Pucangan telah ditemukan pula fosil-fosil yang menunjukan tingkatan
morfologi lebih arkaik, yaitu fragmen tengkorak (Sangiran 4), rahang bawah
(Sangiran 5 dan Sangiran 6a). Berdasarkan karakter masing-masing tersebut maka
manusia dibedakan menjadi beberapa takson yaitu : Pithecantropus Erectus berupa
atap tengkorak (Sangiran 2 dan Sangiran 3); Megantrophus Paleojavanicus berupa
rahang bawah (mandibula) kanan (Sangiran 6a), beberapa takson ini sekarang
dikenal menjadi sebutan Homo Erectus.

Sejarah Geologi Museum Sangiran


Sejarah Museum Sangiran bermula dari kegiatan penelitian yang dilakukan
oleh Von Koeningswald sekitar tahun 1930-an. Di dalam kegiatannya Von
Koeningswald dibantu oleh Toto Marsono, Kepala Desa Krikilan pada masa itu.
Setiap hari Toto Marsono atas perintah Von Koeningswald mengerahkan penduduk
Sangiran untuk mencari balung buto (Bahasa Jawa = tulang raksasa). Demikian
penduduk Sangiran mengistilahkan temuan tulang-tulang berukuran besar yang telah
membatu yang berserakan di sekitar ladang mereka. Balung buto tersebut adalah fosil
yaitu sisa-sisa organisme atau jasad hidup purba yang terawetkan di dalam bumi.
Fosil-fosil tersebut kemudian dikumpulkan di Pendopo Kelurahan Krikilan
untuk bahan pnelitian Von Koeningswald, maupun para ahli lainnya. Fosil-fosil yang
dianggap penting dibawa oleh masing-masing peneliti ke laboratorium mereka,
sedang sisanya dibiarkan menumpuk di Pendopo Kelurahan Krikilan.
Setelah Von Koeningswald tidak aktif lagi melaksanakan penelitian di
Sangiran, kegiatan mengumpulkan fosil masih diteruskan oleh Toto Marsono
sehingga jumlah fosil di Pendopo Kelurahan semakin melimpah. Dari Pendopo
Kelurahan Krikilan inilah lahir cikal-bakal Museum Sangiran.
Untuk menampung koleksi fosil yang semakin hari semakin bertambah maka
pada tahun 1974 Gubernur Jawa Tengah melalui Bupati Sragen membangun museum
kecil di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Saragen di atas tanah
seluas 1000 m. Museum tersebut diberi nama Museum Pestosen. Seluruh koleksi
di Pendopo Kelurahan Krikilan kemudian dipindahkan ke Museum tersebut. Saat ini
sisa bangunan museum tersebut telah dirombak dan dialihfungsikan menjadi Balai
Desa Krikilan.

Sementara di Kawasan Cagar Budaya Sangiran sisi selatan pada tahun 1977
dibangun juga sebuah museum di Desa Dayu, Kecamatan Godangrejo, Kabupaten
Karanganyar. Museum ini difungsikan sebagai basecamp sekaligus tempat untuk
menampung hasil penelitian lapangan di wilayah Cagar Budaya Sangiran sisi selatan.
Saat ini museum tersebut sudah dibongkar dan bangunannya dipindahkan dan
dijadikan Pendopo Desa Dayu.
Tahun 1983 pemerintah pusat membangun museum baru yang lebih besar di
Desa Ngampon, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Kompleks
Museum ini didirikan di atas tanah seluas 16.675 m. Bnagunannya antara lain terdiri
dari Ruang Pameran, Ruang Pertemuan/ Seminar, Ruang Kantor/ Administrasi,
Ruang Perpustakaan, Ruang Storage, Ruang Laboratorium, Ruang Istirahat/ Ruang
Tinggal Peneliti, Ruang Garasi, dan Kamar Mandi. Selanjutnya koleksi yang ada di
Museum Plestosen Krikilan dan Koleksi di Museum Dayu dipindahkan ke museum
yang baru ini. Museum ini selain berfungsi untuk memamerkan fosil temuan dari
kawasan Sangiran juga berfungsi untuk mengkonservasi temuan yang ada dan
sebagai pusat perlindungan dan pelestarian kawasan Sangiran.
Tahun 1998 Dinas Praiwisata Propinsi Jawa Tengah melengkaspi Kompleks
Museum Sangiran dendan Bnagunan Audio Visual di sisi timur museum. Dan tahun
2004 Bupati Sragen mengubah interior Ruang Knator dan Ruang Pertemuan menjadi
Ruang Pameran Tambahan.
Tahun 2003 Pemerintah pusat merencanakan membuat museum yang lebih
representative menggantikan museum yang ada secara bertahap. Awal tahun 2004 ini
telah selesai didirikan bangunan perkantoran tiga lantai yang terdiri dari ruang
basemen untuk gudang, lantai I untuk Laboratorium, dan lantai II untuk perkantoran.
Program selanjutnya adalah membuat ruang audio visual, ruang transit untuk
penerimaan pengunjung, ruang pameran bawah tanah, ruang pertemuan,
perpustakaan, taman purbakala, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai