Anda di halaman 1dari 23

Situs Sangiran

Peta Lokasi Museum Sangiran

Profil Situs Sangiran


Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa,
Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak
sekitar 15 km (tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).
Gapura Situs Sangiran berada di jalur jalan raya SoloPurwodadi dekat
perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar).
Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju Situs Sangiran, Desa
Krikilan. Jarak dari gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan 5 km.
Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59, 2 km (SK Mendikbud 070/1997)
secara administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu:
Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan
Kecamatan
Plupuh)
dan
Kabupaten
Karanganyar
(Kecamatan
Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak, 1995). Pada
tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang
ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5
Desember 1996, menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan
Budaya Dunia World Heritage List Nomor : 593. Dengan demikian pada
tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.

Pintu Gapura menuju Museum Sangiran


Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai
penelitian di area tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian
menemukan fosil dari nenek moyang manusia pertama, Pithecanthropus
erectus (Manusia Jawa). Ada sekitar 60 lebih fosil lainnya di antaranya
fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di situs tersebut. Di
museum Sangiran dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar 2 juta
tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen
akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086
koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri
tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil

batu. Fosil-fosil yang diketemukan di kawasan


Sangiran merupakan 50 % dari temuan fosil di Dunia dan merupakan 65
% dari temuan di Indonesia. hewan bertulang belakang, fosil binatang air,
batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat
Hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di
Museum, sisanya disimpan di gudang penyimpanan. Sebagai World
Heritage List (Warisan Budaya Dunia). Museum ini memiliki fasilitasfasilitas diantaranya: ruang pameran (fosil manusia, binatang purba),
laboratorium, gudang fosil, ruang slide, menara pandang, wisma Sangiran
dan kios-kios souvenir khas Sangiran. Fosil Sangiran
Termasuk dalam koleksi Museum Sangiran, adalah:

1. Fosil
manusia,
antara
lain:
Australopithecus
africanus
,
Pithecanthropus
mojokertensis
(Pithecantropus
robustus
),
Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo
soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan
Homo sapiens.
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus
(gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah),
Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau),
Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi,
banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan
kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas
Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan
foraminifera.
4. Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate,
Ametis , Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah.
5. Serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbaspenetak.
Keistimewaan Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu
pada masa purba merupakan hamparan lautan. Akibat proses geologi dan
akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung
Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan
lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda
dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut
ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Misalnya, Fosil Binatang
Laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu
merupakan lautan.

Situs purbakala di lembah-lembah sungai


Situs purbakala tertua dari masa Prasejarah di Jawa berada di lembah
Bengawan Solo, Sungai Madiun, dan Sungai Brantas. Lokasi situs-situs
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
1.1.

Situs Purbakala di Lembah Bengawan Solo


Situs Punung. Situs ini terletak di dekat hulu Bengawan Solo, di dekat
Desa Donorejo, sekitar 10 km sebelah barat laut Pacitan. Di situs Punung
ini ditemukan alat-alat batu dari masa Paleolitik (masa berburu tingkat
sederhana) dan Neolitik (masa bercocok tanam).
1.2. Situs Sangiran. Situs ini terletak di tepi Sungai Cemoro, yakni anak
Bengawan Solo sekitar 10 km di utara kota Surakarta (Solo). Di lembah
sungai ini banyak ditemukan alat-alat batu tulang rangka hewan dan
manusia. Di antara rangka manusia purba itu ada sebuah fosil tengkorak
manusia yang diberi nama Pithecanthropus erectus (manusia-kera yang

berdiri tegak). Meganthropus paleojavanicus (manusia besar Jawa Kuna)


dan Pithecanthropus soloensis (manusia-kera dari Solo) (Manusia Solo).
1.3.
Situa Masaran. Situs ini teretak di dekat kota Sragen dan merupakan
situs baru yang mulai dibuka tahun 1989. Di situs ini ditemukan alat-alat
dari besi, gerabah dan logam mas. Benda mas ini berupa penutup mata
mayat. Menurut informasi, penduduk juga menemukan tulang dan
tengkorak, tetapi belum diidentifikasikan.
1.4.
Situs Sambungmacan. Lokasinya ada di dekat kota Mantingan di barat
Ngawi. Di situs ini ditemukan tengkorak jenis Pithecanthropus soloensis.
1.5.
Situs Di situs ini ditemukan tengkorak pithecanthropus erectus dari
masa yang lebih tua.
1.6.
Situs Ngandong. Di situs di utara Trinil ini dtemukan sebelas tengkorak
Pithecanthropus soloensis dan alat-alat batu yang dihasilkan oleh makhluk
tersebut.
2.
Situs
Purbakala
di
Lembah
Sungai
Madiun
Situs Sampung. Lokasinya berupa gua payung yang ada di dekat kota
Ponorogo, jadi di bagian hulu Bengawan Madiun. Di sini ditemukan
sejumlah besar peralatan dari tulang (sudip tulang). Bengawan Madiun ini
bertemu dengan Bengawan Solo di utara kota Ngawi.
3.
3.1.

Situs di Lembah Sungai Brantas


Situas Wajak. Situs ini terletak di timur kota Tulung Agung, jadi masih
termasuk bagian hulu Sungai Brantas. Di situs ini ditemukan tengkorak
manusia yang disebut Homo wajakensis.
3.2.
Situs Perning. Lokasinya 7 km di timur laut kota Mojokerto, jadi di
Lembah Brantas bagian agak ke hilir, ditemukan tengkorak
Pithecanthropus mojokertensis.
Riwayat
Penelitian
Riwayat penelitian situs Sangiran cukup panjang karena telah dimulai
sejak 100 tahun silam yang dirintis oleh Eugene Dubois. Pada 1931 Van Es
menerbitkan peta geologi daerah Sangiran dengan skala 1:20.000 tetapi
kemudian direvisi oleh H.R. Von Koenigswald pada 1940. Selanjutnya
Sartono meneliti Sangiran pada 1961, 1970, 1975 dan seterusnya dan
juga menerbitkan peta geologinya.
Para pakar geologi Jepang dan Indonesia telah bekerjasama meneliti
Sangiran sejak 1976. Para geolog Indonesia juga sudah meneliti Sangiran
sejak 1966, misalnya Kadar D (1966). Otto Sudarmadji (1976), B.W.
Hariadi (1978), S. Mahadi (1979) dan Widiasmoro (1976-1978).
Lapis
Bumi
Situs
Sangiran
Jika situs Sangiran dipotong untuk dilihat lapisan tanahnya, maka akan
tampak beberapa lapisan tanah dengan ciri-ciri khusus sebagai hasil dari
proses pembentukan bumi di masa silam. Prof. Dr. S. Sartono, seorang
pakar geologi yang selalu bekerjasama dengan para pakar arkeologi,
membagi situs Sangiran dalam beberapa lapisan (istilahnya formasi)
mulai yang termuda hingga yang tertua beserta uraian tentang bahan
batuan yang dikandungnya.

Kondisi
Bumi
dan
Keberadaan
Fauna
dan
Manusia
Kondisi lapisan bumi dan lingkungan alamnya akan menentukan jenis
makhluk apa yang dapat hidup di masa purba. Indikasi yang dapat dilihat
sekarang hanyalah pada lapisan tanahnya yang terbentuk karena
berbagai faktor. Sebagai misal pada formasi pucangan (lebih tua dari
formasi kabuh dan notopuro), hanya ada lapisan lempung dan vulkanik
saja. Lapisan lempung ini mengandung tiga jenis moluska laut yang
bercampur dengan gigi ikan hiu: ini sebagai tanda bahwa di situ pernah
terjadi transgresi singkat. Adanya asosiasi moluska yang bercampur
dengan kayu, belerang, bulus, dan buaya menunjukkan adanya
lingkungan paya-paya tepi laut.
Paya-paya tepi laut berkembang di tepi laut dan merupakan lingkungan
transisi darat-laut yang mengendapkan sedimen-sedimen berbutir halus
dan sejumlah besar material tumbuh-tumbuhan. Penambahan material
asal daratan lebih dominan pada suasana dengan tingkatan energi rendah
hingga dismpulkan bahwa fosil-fosilnya masih in situ dan diduga asal
materialnya dari utara.
Lapisan vulkanik yang secara umum semakin menipis ke arah utara
menunjukkan bahwa asalnya dari selatan dan diendapkan oleh sistem
atau arus pekat, yang dikenal dengan istilah populer lahar hujan (lahar
dingin). Pengendapannya berjalan cepat dalam waktu yang singkat.
Sistem pengendapan tipa laharik tersebut diselingi oleh pengendapan
sungai yang menghasilkan konglomerat dan baru pasir silang siur.
Berdasarkan lingkungan pengendapan dan pada pola arah arus purba
maka perubahan geografi purba sejak Plestosen Bawah hingga Plestosen
Tengah dapat ditentukan. Pada awal sejarah kehidupan Pithecanthropus
dan Meganthropus bersama-sama hewan maupun tumbuh-tumbuhannya
daerah Sangiran masih merupakan paya-paya tepi laut. Pada saat
tersebut berlangsung banjir lahar hujan yang merupakan bencana bagi
perkembangan kehidupannya.
Suatu kehidupan di sekitar paya-paya tepi pantai kemudian diteruskan
dengan perkembangan daerah permukiman di sekitar pantai atau muara
sungai pada masa awal Plestosen Tengah dan kemungkinan hanya
berkembang di daerah sebelah utara Kali Cemoro. Di bagian ini kehidupan
manusia berlangsung di sekitar sungai bercander di atas daerah delta.
Kondisi alam masa Plestosen Tengah yang direkonstruksikan seperti
tersebut di atas sungguh-sungguh sangat sulit bagi manusia
Pithecanthropus. Baru pada masa Plestosen Atas kondisi alam lebih
kondusif
sehingga
memungkinkan
hidupnya
makhluk
seperti
Pithecanthropus soloensis dan Homo wadjakensisi dan Homo sapiens.
Situs Sangiran sebagai lokasi temuan makhluk purba (jenis reptilia dan
mamalia antara laian Pithecanthropus erectus) merupakan suatu situs
yang berkatian dengan situs purba lainnya di sepanjang Bengawan Solo.
Bengawan Madiun maupun Sungai Brantas. Di formasi notopuro misalnya
juga ditemukan pada situs lain di luar Ngandong. Secara geologis formasi
bumi dihasilkan oleh proses pengendapan purba secara vulkanik, laharik
dan sedimentasi arus purba. Pada formasi Kabuh di Sangiran dapat hidup
jenis Pithecanthropus erectus, sedangkan pada kondisi geologis yang lebih
kondusif, misalnya pada formasi Notopuro (fauna Ngandong) dapat hidup

makhluk jenis manusia yang dikenal dengan nama Homo soloensis dan
Homo wadjakensis (dari masa kurang lebih 100.000 50.000 tahun yang
lalu).
Situs Trinil dengan temuan Pithecanthropus erectus telah dikenal sejak
100 tahun yang lalu dan kini telah didirikan museum khusus serta sebuah
tugu peringatan di tempat temuan Pithecanthropus erectus tersebut.
Bagaimana pun halnya situs Sangiran telah menjadi suatu kiblat
penelitian purba bagi para pakar geologi, paleobiologi, paleo-antropologi
dan arkeoogi seluruh dunia.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka
Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Wikipedia Indonesia
Daftar
pustaka:
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/05/situssangiran.html

Daftar pustaka: http://www.indosiar.com/ragam/sangiran-warisan-dunia-masasilam_39125.html


indosiar.com, Sragen - Sangiran, daerah pedalaman di kaki bukit Gunung Lawu, sekitar
tujuh belas kilometer dari kota Solo, Jawa Tengah, dikenal sebagai kawasan yang menyimpan
sisa-sisa kehidupan masa lampau. Setidaknya telah ditemukan sekitar empat belas ribu fosil,
atau sisa-sisa kehidupan masa silam yang telah membatu.
Di kawasan Sangiran ini pula, fosil homo erectus, manusia purba yang sudah maju
ditemukan. Dengan luas wilayah hampir enam puluh kilometer persegi, Sangiran menyimpan
lima puluh persen jumlah fosil yang ditemukan di dunia, serta enam puluh lima persen fosil
yang ada di Indonesia. Tahun 1977, Sangiran resmi ditetapkan sebagai daerah cagar budaya,
diperkuat dengan ketetapan Komite World Heritage, UNESCO, Sangiran sebagai salah satu
warisan dunia. Bisa dibayangkan, bagaimana Sangiran menjadi suatu kawasan istimewa bagi
Indonesia.
Bangunan museum Sangiran yang terletak di lokasi situs purbakala ini tergolong biasa saja.
Padahal di bangunan sederhana inilah tersimpan sebagian rahasia kehidupan masa prasejarah
yang penuh misteri. Ruang pamernya menghadirkan berbagai fosil yang ditemukan di
Sangiran, baik fosil hewan maupun manusia. Dari koleksi fosil yang ada, bisa diketahui serta
dipelajari pola hidup hewan dan manusia, berjuta-juta tahun lalu.
Fauna yang pernah ditemukan antara lain, buaya dan kura-kura raksasa, dan fosil gading
gajah sepanjang 4 meter, serta rahang badak, rhinocerus sondaicus. Hewan-hewan ini
diperkirakan hidup di Sangiran sekitar 500 ribu hingga 700 ribu tahun lalu.
Selain

hewan bertulang belakang, di museum Sangiran juga dapat


dijumpai fosil-fosil manusia purba. Bahkan, koleksi Sangiran
merupakan koleksi terlengkap yang dapat menjelaskan tentang
tahap
perkembangan manusia, mulai dari yang belum mengenal
peradaban, hingga yang sudah maju. Hal ini bisa diketahui dari
bentuk
fisik, seperti volume otak, cara berjalan, hingga penemuan alat-alat
batu
yang membuktikan pola pikir manusia saat itu, sudah maju.
Seperti
ciri-ciri homo erectus, dengan tinggi badan 165 hingga 180 senti
meter,
postur tegap, serta cara berjalan tegak, merupakan contoh manusia
purba sempurna, tidak berbeda dengan manusia sekarang. Dengan koleksi yang tergolong
lengkap, bukan satu keanehan, jika Sangiran menjadi salah satu tempat penelitian utama bagi
arkeolog dalam dan luar negeri. Namun sebagai tempat wisata, Sangiran menjadi pilihan
terakhir bagi wisatawan, jika hanya menawarkan temuan fosil.
Berbagai koleksi di museum ini, tidak bisa dilepaskan dari kerja keras para ahli purbakala
yang ada. Perlu kehati-hatian dalam menjaga serta merawat keutuhan sebuah fosil, karena ciri
khas fosil yang mudah hancur akibat lapuk. Namun pada kenyataannya, masih banyak
pegawai museum yang mendapatkan gaji di bawah standar, yakni sebesar 140 ribu rupiah

perbulan. Bahkan, selama 12 tahun bekerja, beberapa karyawan museum masih belum
diangkat sebagai pegawai resmi museum.
Museum Sangiran dalam perkembangannya sendiri, juga melalui masa-masa sulit. Bahkan
sebelum resmi menjadi museum seperti sekarang ini, benda purbakala di Sangiran berpindahpindah ke beberapa tempat. Seperti di Balai Desa Krikilan, yang dikenal sebagai museum
Plestosin tahun 1975 hingga 1987. Sangiran baru diresmikan sebagai museum prasejarah
nasional di tanah air tahun 1988, seiring bertambahnya penemuan fosil di kawasan tersebut.
Proses penemuan fosil di Sangiran sendiri tergolong unik. Dari 14 ribu fosil yang ada, 80
persen merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar, sementara hanya 20 persen murni hasil
penelitian. Bertani sebagai mata pencaharian mayoritas masyarakat setempat, semakin
mendukung temuan fosil oleh warga sekitar, mengingat temuan tersebut lebih banyak
ditemukan saat mereka bercocok tanam.
Setelah sekian lama, masyarakat Sangiran sendiri, kini sudah memiliki keahlian untuk
membedakan apakah temuan mereka tersebut fosil atau hanya batu biasa. Keahlian ini
mereka peroleh dari keterlibatan mereka saat para peneliti seperti von koenigswald tahun
1934, melakukan pencarian fosil di kawasan tersebut.
Rata-rata masyarakat setempat menemukan fosil manusia serta binatang
purba, karena ketidak sengajaan. Misalnya saja fosil-fosil yang terletak di
antara situs Sangiran yang berupa tebing-tebing. Akibat terkikis air, fosil
tersebut akan nampak ke permukaan. Bahkan tidak jarang, saat musim
tanam tiba, masyarakat justru disibukkan oleh penemuan fosil baru. Hasil
temuan mereka selanjutnya, akan diserahkan kepada museum Sangiran.
Sebagai imbalan, pihak museum akan memberikan uang imbalan yang
disesuaikan dengan besar kecilnya fosil. Untuk fosil gading gajah
sepanjang 4 meter misalnya, museum mengganti uang sebesar 300 ribu
rupiah. Bahkan untuk fosil tulang kepala manusia, museum memberikan imbalan hingga 3
juta rupiah, mengingat kelangkaan fosil tersebut.
Di sisi lain, benda-benda purbakala di Sangiran juga kerap diperjual belikan secara gelap,
dengan harga yang cukup menggiurkan. Kabarnya, seorang arkeolog Jepang pernah membeli
sebuah fosil tengkorak manusia dari Sangiran, seharga 3 milyar rupiah dari pasar gelap.
Pengawasan terhadap tindak pencurian ini diakui cukup sulit, karena hanya mengandalkan
petugas museum. Saat ini laporan temuan dari masyarakat dirasakan semakin menurun,
sehingga ada kekhawatiran hal itu akibat warga setempat menjual temuan-temuan mereka
secara diam-diam, ditampung pihak-pihak yg tidak berhak.
Ada rencana untuk menjadikan Sangiran menjadi lokasi wana wisata yang lebih menarik
minat wisatawan. Diantaranya pembangunan menara pandang, serta membenahi ruang
museum yang sudah tidak mampu menampung fosil yang ada saat ini.

Sangiran, selintas memang seolah tak berbeda dengan daerah pertanian lainnya. Namun
disinilah terkubur berbagai jawaban tentang rahasia kehidupan masa prasejarah, yang bisa
dijadikan tuntunan umat manusia dalam menghadapi tantangan di masa depan. Pemikiran
untuk menjadikan Sangiran sebagai salah satu obyek wisata perlu dipertimbangkan matang,
agar warisan dunia ini tetap terjaga keutuhannya.(Idh)

Daftar pustaka : http://zazanakhira.blogspot.com/2013/10/jenis-jenis-manusia-purbayang.html


Berikut adalah beberapa jenis manusia purba yang fosilnya pernah ditemukan di Indonesia
Manusia purba yang pernah di temukan di Indonesia ada 3 jenis yaitu :
1.

PITHECANTHROPUS

2.

MEGANTHROPUS

3.

HOMO

A.

PITHECANTHROPUS

a.

PITHECANTHROPUS ERECTUS

Pithecanthropus erectus, yang artinya Manusia kera yang berjalan tegak, berdasarkan fosil
yang di temukan di desa Trinil lembah bengawan solo oleh E. Dubois (1890). Fosil yang
ditemukan berupa tulang rahang atas, tengkorak, dan tulang kaki.
piterchanthropus erectus

b.

PITHECANTHROPUS MOJOKERTENSIS

Pithecanthropus mojokertensis, disebut juga dengan Pithecanthropus robustus. Fosil manusia


purba ini ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1936 di Mojokerto, Jawa Timur.
Fosil yang ditemukan hanya berupa tulang tengkorak anak-anak.
Pithecanthropus mojokertensis

c.

PITHECANTHROPUS SOLOENSIS

Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von Koeningswald dan
Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Fosil yang ditemukan
berupa tengkorak dan juga tulang kering.
Pithecanthropus soloensis

Ciri-ciri Pithecanthropus

Memiliki tinggi tubuh antara 165-180 cm.

Badan tegap, namun tidak setegap Meganthrophus.

Volume otak berkisar antara 750 1350 cc.

Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.

Hidung lebar dan tidak berdagu.

Mempunyai rahang yang kuat dan geraham yang besar.

Makanan berupa tumbuhan dan daging hewan buruan.

B.

MEGANTHROPUS

Meganthropus Paleojavanicus ditemukan di Sangiran Jawa tengah pada tahun 1941 oleh van
koenigswald. Meganthropus paleojavanicus merupakan manusia yang berasal dari Jawa dan
mempunyai tubuh yang besar. Fosil tersebut tidak ditemukan dalam keadaan lengkap,
melainkan hanya berupa beberapa bagian tengkorak, rahang bawah, serta gigi-gigi yang telah
lepas. Fosil yang ditemukan di Sangiran ini diperkirakan telah berumur 1-2 Juta tahun.
Meganthropus paleojavanicus

Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus

Mempunyai tonjolan tajam di belakang kepala.

Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok.

Tidak mempunyai dagu, sehingga lebih menyerupai kera.

Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang besar dan kuat.

Makanannya berupa tumbuh-tumbuhan.

C. Homo

Manusia purba dari genus Homo adalah jenis manusia purba yang berumur paling muda, fosil
manusia purba jenis ini diperkirakan berasal dari 15.000-40.000 tahun SM. Dari volume
otaknya yang sudah menyerupai manusia modern, dapat diketahui bahwa manusia purba ini
sudah merupakan manusia (Homo) dan bukan lagi manusia kera (Pithecanthrupus). Homo
merupakan manusia purba yang memiliki fikiran yang cerdas Di Indonesia sendiri ditemukan
tiga jenis manusia purba dari genus Homo, antara lain Homo soloensis, Homo wajakensis,
dan Homo floresiensis.
a. HOMO SOLOENSIS
Homo soloensis, ditemukan oleh Von Koeningswald dan Weidenrich antara tahun 1931-1934
disekitar sungai bengawan solo. Fosil yang ditemukan hanya berupa tulang tengkorak.
b.

HOMO WAJAKENSIS

Homo wajakensis, ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1889 di Wajak, Jawa Timur.
Fosil yang ditemukan berupa rahang bawah, tulang tengkorak, dan beberapa ruas tulang
leher.
C.

HOMO FLORENSIS

Homo floresiensis, ditemukan saat penggalian di Liang Bua, Flores oleh tim arkeologi
gabungan dari Puslitbang Arkeologi Nasional, Indonesia dan University of New England,
Australia pada tahun 2003. Saat dilakukan penggalian pada kedalaman lima meter, ditemukan
kerangka mirip manusia yang belum membatu (belum menjadi fosil) dengan ukurannya yang
sangat kerdil. Manusia kerdil dari Flores ini diperkirakan hidup antara 94.000 dan 13.000
tahun SM.
Homo Sapiens,diduga merupaka nenek moyang bangsa indonesia yg berasal dari yunandaratan cina selatan yg menyebar di kepulauan indonesia tahun 1500 SM.

Ciri-ciri Manusia Purba Homo atau Homo Sapiens :

Memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh manusia pada zaman
sekarang.
Banyak meninggalkan benda-benda budaya.
Memilki Kehidupan sederhana.

Daftar pustaka: http://sejarah-smu.blogspot.com/2014/05/situs-sangiran.html


Wilayah Sangiran berada diperbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar.
Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Sangiran merupakan sebuah kompleks situs
manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan
bahkan di Asia.

pithecantropus erec
Fosil Tengkorak Homo Erectus
Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk
tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai
luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat.
Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir
fluviovolkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan
penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan
Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga
pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah
Sangiran.

Pada 1934, G.H.R von Koenigswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang
terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian
menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran.

Semenjak penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan
dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan.
Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada
tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.

Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan
tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga
lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan
tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukan tentang hal itu.

Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu
ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593
Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.

Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di endapan
pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara
Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran
dan satu lagi di Afrika.

Lingkungan Situs Prasejarah Sangiran ( Catatan lain


kegiatan Studi Sejarah )
Jan 7
Posted by rusdi1978

Sangiran merupakan situs prasejarah yang berada di kaki gunung lawu, tepatnya di depresi
Solo
sekitar
17
km
ke
arah
utara
dari
ko

ta solo dan secara


administrative terletak diwilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak di kabupaten
karanganyar, propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah 56 KM yang mencakup tiga kecamatan di
kabupaten Sragen. Surat keputusan Menteri Pendidikan & Kebudayaan NO 070/0/1977,
Sangiran ditetapkan sebagai cagar budaya dengan luas wilayah 56 KM, dan selanjutnya
Sangiran pada tahun 1996 oleh UNESCO ditetapkan sebagai World Heritage dengan nomor
593.
Menurut sejarah Geologi, daerah Sangiran mulai terbentuk pada akhir kala plestosen. Situs
Sangiran terkenal karena mempunyai stratigrafi yang lengkap dan menjadi yang terlengkap di
benua Asia, sehingga itu diakui dapat menyumbangkan data penting bagi pemahaman sejarah
evolusi fisik manusia, maupun lingkungan keadaan alam purba. Stratigrafi di kawasan situs
Sangiran menunjukkan proses perkembangan evolusi dari lingkungan laut yang berangsurangsur berubah menjadi lingkungan daratan, seperti tercermin dari fosil-fosil yang ditemukan
pada masing-masing formasi. Berdasarkan proses terbentuknya & kandungannya, lapisan
tanah situs Sangiran dibedakan menjadi lima lapisan.
Lima Lapisan Sangiran

Di Situs Sangiran ada 5 formasi tanah dengan lapisannya yang dapat dilihat secara langsung
dimana merupakan salah satu keajaiban Sangiran. Formasi tanahnya antara lain:
Formasi Kalibeng (Puren)

juta
tahun
lalu.
01.
Lapisan
02.
Lapisan
lempung
abu-abu
(biru)
03.
Lapisan
foraminifera
dari
04.
Lapisan
balanus
05. Lapisan lahar bawah dari endapan air payau.

berumur 5 juta s/d 1.8


Dengan
lapisan:
napal
(Marl)
dari
endapan
laut
dalam
endapan
laut
dangkal
batu
gamping

Formasi Pucangan (Sangiran)


berumur
1.8
01.
Lapisan
02.
03.
Lapisan

juta
s/d
1
juta
tahun
lalu.
Dengan
lapisan:
lempung
hitam
(kuning)
dari
endapan
air
tawar
Lapisan
batuan
kongkresi
lempung
volkanik
(Tuff)
(ada
14
tuff)

04.
Lapisan
05. Lapisan batuan diatome warna kehijauan

batuan

nodul

Formasi Kabuh (Bapang)


berumur
1
juta
s/d
250
ribu
tahun
lalu.
Dengan
Lapisan:
01.
Lapisan
konglomerat
02.
Lapisan
batuan
grenzbank
sebagai
pembatas
03.
Lapisan
lempeng
vulkanik
(tuff)
(ada
3
tuff)
04.
Lapisan
pasir
halus
silang
siur
05. Lapisan pasir gravel.
Formasi Notopuro (Phojajar)
berumur
250
ribu
s/d
15
ribu
01.
Lapisan
02.
Lapisan
03. Lapisan batu pumice

tahun

lalu.
lahar

Dengan

lapisan:
atas
teras

Formasi Teras Solo (Kali Pasir)


berumur 15 ribu s/d 1.5 ribu tahun lalu. Dimana hanya memiliki lapisan endapan sungai batu
kerikil dan kerakal.
Lingkungan Situs Sangiran dan Kebudayaannya
Sangiran merupakan sebuah kubah yang terbentuk oleh adanya proses deformasi, baik secara
lateral maupun vertikal. Proses erosi pada puncak kubah telah menyebabkan terjadinya
reveerse, kenampakan terbalik, sehingga daerah tersebut menjadi daerah depresi. Bagian
tengah kubah sangiran ditoreh oleh kali Cemoro sebagai sungai enteseden, sehingga
menyebabkan formasi batuan tersingkap dan menunjukkan bentuk melingkar. Pada kala
pliosen daerah ini menjadi laut dangkal kemudian terjadi gunung berapi akibatnya terjadi
formasi Kalibeng, adanya regresi lebih lanjut pada daerah ini menyebabkan Sangiran
menjadi daratan. Pada permulaan kala Plestosen bawah kegiatan Vulkanis semakin
meningkat, sehingga terjadi aliran lahar dingin dan membentuk breksi vulkanik. Fosil
Meganthropus mungkin muncul pada saat kegiatan vulkanis meleleh. Pada kala plestosen
tengah sangiran menjadi daratan lagi, disusul dengan kegiatan vulkanis yang makin
menghebat sehingga menimbulkan endapan tufa yang berlapis-lapis, proses pengangkatan
tanah pada daerah ini terjadi pada kala plestosen atas dan awal kala Holosen. Adanya
pelapukan dan erosi pada puncak kubah serta pengendapan material kali Cemoro,
menyebabkan kenampakan sangiran menjadi seperti sekarang ini. Manusia yang hidup pada
saat itu misalnya Meganthropus paleojavanicus, Pithecanthropus erectus, dan
phitecanthropus soloensis.

Secara umum situs sangiran saat ini merupakan daerah berlahan tandus, terlihat dari
banyaknya tempat yang gundul tak berpohon. Hal ini disebabkan karena kurangnya
akumulasi sisa2 vegetasi yang mengalami humifikasi membentuk humus. Jenis tanaman yang
ada di Situs Sangiran, antara lain lamtoro, angsana, akasia, johar, sengon mahoni. Terdapat
sungai-sungai yang terus melakukan deformasi di situs sangiran antara lain adalah Kali
Cemoro dan Kali Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi masyarakat sekitar. Bukti-bukti
kehidupan ditemukan didalam endapan teras sungai purba. Di daerah tropis ini tidak banyak
mengalami perubahan iklim dan memungkinkan manusia purba untuk hidup.
Pada tahun 1934, daerah Jawa dipakai sebagai ajang penelitian manusia purba dan alatnya.
G.H.R Von Koenigwald melakukan penggalian pada sebuah bukit di sebelah timur laut
sangiran, menemukan sebuah alat batu yang berupa serpih. Teknologi yang lebih baik
menggambarkan perkembangan keterampilan yang dimiliki oleh manusia pendukungnya
yang hidup di Sangiran. Alat-alat yang dihasilkan, setingkat lebih maju dibandingkan dengan
alat-alat sejenis dari himpunan alat Pacitan. Alat Pacitan diperkirakan berasal dari kala
plestosen tengah bagian akhir. Sedangkan alat-alat batu sangiran ditemukan dilapisan tanah
kala plestosen atas pada formasi Notopuro. Alat-alat yang banyak ditemukan adalah serpih,
dan bilah. Sebagian alat-alat serpih Sangiran berbentuk pendek, lebar dan tebal, dengan
panjang antara 2-4 Cm. Teknologi yang umumnya digunakan pada alat batu Sangiran adalah
teknik clacton, dengan ciri alat serpih tebal. Selain itu untuk mendapatkan bentuk-bentuk alat
yang diinginkan lebih khusus, dilakukanlah penyerpihan kedua. Disamping alat serpih dan
bilah yang kemungkinan digunakan sebagai alat pemotong dan penyerut kayu, ditemukan
juga alat-alat yang terbuat dari batu lain, yaitu: bola batu, kapak batu, serut, beliung persegi,
kapak perimbas, batu inti, dll. Bahan yang digunakan untuk untuk peralatan tersebut adalah
kalsedon, tufa kersikan, kuarsa,dll. Alat-alat pada situs Sangiran merupakan hasil teknologi
kala plestosen yang dicirikan dengan pola perburuan binatang dan pengumpulan makanan
sebagai mata pencahariannya. Kemungkinan juga berdasarkan ukuran alat-alat Sangiran yang
relatif kecil, telah ada kecenderungan untuk memilih hewan buruan yang lebih kecil.
Informasi lapisan ini hanyalah sebagai tambahan dan catatan saja dikarenakan takut hilang.
Maklum bukan ahli tanah, bila coretan di kertas terbuang maka informasi yang sukar didapat
ini tak akan kembali. Lapisan tanah ini juga dijadikan bahan penelitian untuk menentukan
usia bumi ini.

Sebelum Lupa, di tengah area ladang sawah Sangiran terdapat kubangan yang

menyemburkan bui air asin yang aktif. Dari informasi


awal, lapisan tanah dan kubangan aku menarik kesimpulan bahwa pulau Jawa dahulu adalah
lautan dimana akibat pergeseran lempengan sehingga muncul Jawa (Sumatra, Kalimantan,
Jawa merupakan satu daratan) dan akibat ketidakstabilan kerak bumi dan erosi sehingga
permukaan air laut meninggi sehingga muncul yang namanya pulau. Mohon maaf jika
kesimpulanku salah, karena aku bukan ahli geologi. Akhir kata, satu dari rahasia dunia
(meskipun belum terungkap secara keseluruhan) terdapat di Sangiran, Jawa Tengah. Perlukah
kita malu sebagai manusia yang tinggal di Indonesia. ( Sangiran, 12 Desember 2011)
Daftar pustaka : http://history1978.wordpress.com/2012/01/07/lingkungan-situs-prasejarahsangiran-catatan-lain-kegiatan-studi-sejarah/

Anda mungkin juga menyukai