1. Fosil
manusia,
antara
lain:
Australopithecus
africanus
,
Pithecanthropus
mojokertensis
(Pithecantropus
robustus
),
Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo
soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan
Homo sapiens.
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus
(gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah),
Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau),
Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi,
banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan
kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas
Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan
foraminifera.
4. Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate,
Ametis , Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah.
5. Serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbaspenetak.
Keistimewaan Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu
pada masa purba merupakan hamparan lautan. Akibat proses geologi dan
akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung
Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan
lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda
dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut
ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Misalnya, Fosil Binatang
Laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu
merupakan lautan.
Kondisi
Bumi
dan
Keberadaan
Fauna
dan
Manusia
Kondisi lapisan bumi dan lingkungan alamnya akan menentukan jenis
makhluk apa yang dapat hidup di masa purba. Indikasi yang dapat dilihat
sekarang hanyalah pada lapisan tanahnya yang terbentuk karena
berbagai faktor. Sebagai misal pada formasi pucangan (lebih tua dari
formasi kabuh dan notopuro), hanya ada lapisan lempung dan vulkanik
saja. Lapisan lempung ini mengandung tiga jenis moluska laut yang
bercampur dengan gigi ikan hiu: ini sebagai tanda bahwa di situ pernah
terjadi transgresi singkat. Adanya asosiasi moluska yang bercampur
dengan kayu, belerang, bulus, dan buaya menunjukkan adanya
lingkungan paya-paya tepi laut.
Paya-paya tepi laut berkembang di tepi laut dan merupakan lingkungan
transisi darat-laut yang mengendapkan sedimen-sedimen berbutir halus
dan sejumlah besar material tumbuh-tumbuhan. Penambahan material
asal daratan lebih dominan pada suasana dengan tingkatan energi rendah
hingga dismpulkan bahwa fosil-fosilnya masih in situ dan diduga asal
materialnya dari utara.
Lapisan vulkanik yang secara umum semakin menipis ke arah utara
menunjukkan bahwa asalnya dari selatan dan diendapkan oleh sistem
atau arus pekat, yang dikenal dengan istilah populer lahar hujan (lahar
dingin). Pengendapannya berjalan cepat dalam waktu yang singkat.
Sistem pengendapan tipa laharik tersebut diselingi oleh pengendapan
sungai yang menghasilkan konglomerat dan baru pasir silang siur.
Berdasarkan lingkungan pengendapan dan pada pola arah arus purba
maka perubahan geografi purba sejak Plestosen Bawah hingga Plestosen
Tengah dapat ditentukan. Pada awal sejarah kehidupan Pithecanthropus
dan Meganthropus bersama-sama hewan maupun tumbuh-tumbuhannya
daerah Sangiran masih merupakan paya-paya tepi laut. Pada saat
tersebut berlangsung banjir lahar hujan yang merupakan bencana bagi
perkembangan kehidupannya.
Suatu kehidupan di sekitar paya-paya tepi pantai kemudian diteruskan
dengan perkembangan daerah permukiman di sekitar pantai atau muara
sungai pada masa awal Plestosen Tengah dan kemungkinan hanya
berkembang di daerah sebelah utara Kali Cemoro. Di bagian ini kehidupan
manusia berlangsung di sekitar sungai bercander di atas daerah delta.
Kondisi alam masa Plestosen Tengah yang direkonstruksikan seperti
tersebut di atas sungguh-sungguh sangat sulit bagi manusia
Pithecanthropus. Baru pada masa Plestosen Atas kondisi alam lebih
kondusif
sehingga
memungkinkan
hidupnya
makhluk
seperti
Pithecanthropus soloensis dan Homo wadjakensisi dan Homo sapiens.
Situs Sangiran sebagai lokasi temuan makhluk purba (jenis reptilia dan
mamalia antara laian Pithecanthropus erectus) merupakan suatu situs
yang berkatian dengan situs purba lainnya di sepanjang Bengawan Solo.
Bengawan Madiun maupun Sungai Brantas. Di formasi notopuro misalnya
juga ditemukan pada situs lain di luar Ngandong. Secara geologis formasi
bumi dihasilkan oleh proses pengendapan purba secara vulkanik, laharik
dan sedimentasi arus purba. Pada formasi Kabuh di Sangiran dapat hidup
jenis Pithecanthropus erectus, sedangkan pada kondisi geologis yang lebih
kondusif, misalnya pada formasi Notopuro (fauna Ngandong) dapat hidup
makhluk jenis manusia yang dikenal dengan nama Homo soloensis dan
Homo wadjakensis (dari masa kurang lebih 100.000 50.000 tahun yang
lalu).
Situs Trinil dengan temuan Pithecanthropus erectus telah dikenal sejak
100 tahun yang lalu dan kini telah didirikan museum khusus serta sebuah
tugu peringatan di tempat temuan Pithecanthropus erectus tersebut.
Bagaimana pun halnya situs Sangiran telah menjadi suatu kiblat
penelitian purba bagi para pakar geologi, paleobiologi, paleo-antropologi
dan arkeoogi seluruh dunia.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka
Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Wikipedia Indonesia
Daftar
pustaka:
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/05/situssangiran.html
perbulan. Bahkan, selama 12 tahun bekerja, beberapa karyawan museum masih belum
diangkat sebagai pegawai resmi museum.
Museum Sangiran dalam perkembangannya sendiri, juga melalui masa-masa sulit. Bahkan
sebelum resmi menjadi museum seperti sekarang ini, benda purbakala di Sangiran berpindahpindah ke beberapa tempat. Seperti di Balai Desa Krikilan, yang dikenal sebagai museum
Plestosin tahun 1975 hingga 1987. Sangiran baru diresmikan sebagai museum prasejarah
nasional di tanah air tahun 1988, seiring bertambahnya penemuan fosil di kawasan tersebut.
Proses penemuan fosil di Sangiran sendiri tergolong unik. Dari 14 ribu fosil yang ada, 80
persen merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar, sementara hanya 20 persen murni hasil
penelitian. Bertani sebagai mata pencaharian mayoritas masyarakat setempat, semakin
mendukung temuan fosil oleh warga sekitar, mengingat temuan tersebut lebih banyak
ditemukan saat mereka bercocok tanam.
Setelah sekian lama, masyarakat Sangiran sendiri, kini sudah memiliki keahlian untuk
membedakan apakah temuan mereka tersebut fosil atau hanya batu biasa. Keahlian ini
mereka peroleh dari keterlibatan mereka saat para peneliti seperti von koenigswald tahun
1934, melakukan pencarian fosil di kawasan tersebut.
Rata-rata masyarakat setempat menemukan fosil manusia serta binatang
purba, karena ketidak sengajaan. Misalnya saja fosil-fosil yang terletak di
antara situs Sangiran yang berupa tebing-tebing. Akibat terkikis air, fosil
tersebut akan nampak ke permukaan. Bahkan tidak jarang, saat musim
tanam tiba, masyarakat justru disibukkan oleh penemuan fosil baru. Hasil
temuan mereka selanjutnya, akan diserahkan kepada museum Sangiran.
Sebagai imbalan, pihak museum akan memberikan uang imbalan yang
disesuaikan dengan besar kecilnya fosil. Untuk fosil gading gajah
sepanjang 4 meter misalnya, museum mengganti uang sebesar 300 ribu
rupiah. Bahkan untuk fosil tulang kepala manusia, museum memberikan imbalan hingga 3
juta rupiah, mengingat kelangkaan fosil tersebut.
Di sisi lain, benda-benda purbakala di Sangiran juga kerap diperjual belikan secara gelap,
dengan harga yang cukup menggiurkan. Kabarnya, seorang arkeolog Jepang pernah membeli
sebuah fosil tengkorak manusia dari Sangiran, seharga 3 milyar rupiah dari pasar gelap.
Pengawasan terhadap tindak pencurian ini diakui cukup sulit, karena hanya mengandalkan
petugas museum. Saat ini laporan temuan dari masyarakat dirasakan semakin menurun,
sehingga ada kekhawatiran hal itu akibat warga setempat menjual temuan-temuan mereka
secara diam-diam, ditampung pihak-pihak yg tidak berhak.
Ada rencana untuk menjadikan Sangiran menjadi lokasi wana wisata yang lebih menarik
minat wisatawan. Diantaranya pembangunan menara pandang, serta membenahi ruang
museum yang sudah tidak mampu menampung fosil yang ada saat ini.
Sangiran, selintas memang seolah tak berbeda dengan daerah pertanian lainnya. Namun
disinilah terkubur berbagai jawaban tentang rahasia kehidupan masa prasejarah, yang bisa
dijadikan tuntunan umat manusia dalam menghadapi tantangan di masa depan. Pemikiran
untuk menjadikan Sangiran sebagai salah satu obyek wisata perlu dipertimbangkan matang,
agar warisan dunia ini tetap terjaga keutuhannya.(Idh)
PITHECANTHROPUS
2.
MEGANTHROPUS
3.
HOMO
A.
PITHECANTHROPUS
a.
PITHECANTHROPUS ERECTUS
Pithecanthropus erectus, yang artinya Manusia kera yang berjalan tegak, berdasarkan fosil
yang di temukan di desa Trinil lembah bengawan solo oleh E. Dubois (1890). Fosil yang
ditemukan berupa tulang rahang atas, tengkorak, dan tulang kaki.
piterchanthropus erectus
b.
PITHECANTHROPUS MOJOKERTENSIS
c.
PITHECANTHROPUS SOLOENSIS
Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von Koeningswald dan
Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Fosil yang ditemukan
berupa tengkorak dan juga tulang kering.
Pithecanthropus soloensis
Ciri-ciri Pithecanthropus
B.
MEGANTHROPUS
Meganthropus Paleojavanicus ditemukan di Sangiran Jawa tengah pada tahun 1941 oleh van
koenigswald. Meganthropus paleojavanicus merupakan manusia yang berasal dari Jawa dan
mempunyai tubuh yang besar. Fosil tersebut tidak ditemukan dalam keadaan lengkap,
melainkan hanya berupa beberapa bagian tengkorak, rahang bawah, serta gigi-gigi yang telah
lepas. Fosil yang ditemukan di Sangiran ini diperkirakan telah berumur 1-2 Juta tahun.
Meganthropus paleojavanicus
Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang besar dan kuat.
C. Homo
Manusia purba dari genus Homo adalah jenis manusia purba yang berumur paling muda, fosil
manusia purba jenis ini diperkirakan berasal dari 15.000-40.000 tahun SM. Dari volume
otaknya yang sudah menyerupai manusia modern, dapat diketahui bahwa manusia purba ini
sudah merupakan manusia (Homo) dan bukan lagi manusia kera (Pithecanthrupus). Homo
merupakan manusia purba yang memiliki fikiran yang cerdas Di Indonesia sendiri ditemukan
tiga jenis manusia purba dari genus Homo, antara lain Homo soloensis, Homo wajakensis,
dan Homo floresiensis.
a. HOMO SOLOENSIS
Homo soloensis, ditemukan oleh Von Koeningswald dan Weidenrich antara tahun 1931-1934
disekitar sungai bengawan solo. Fosil yang ditemukan hanya berupa tulang tengkorak.
b.
HOMO WAJAKENSIS
Homo wajakensis, ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1889 di Wajak, Jawa Timur.
Fosil yang ditemukan berupa rahang bawah, tulang tengkorak, dan beberapa ruas tulang
leher.
C.
HOMO FLORENSIS
Homo floresiensis, ditemukan saat penggalian di Liang Bua, Flores oleh tim arkeologi
gabungan dari Puslitbang Arkeologi Nasional, Indonesia dan University of New England,
Australia pada tahun 2003. Saat dilakukan penggalian pada kedalaman lima meter, ditemukan
kerangka mirip manusia yang belum membatu (belum menjadi fosil) dengan ukurannya yang
sangat kerdil. Manusia kerdil dari Flores ini diperkirakan hidup antara 94.000 dan 13.000
tahun SM.
Homo Sapiens,diduga merupaka nenek moyang bangsa indonesia yg berasal dari yunandaratan cina selatan yg menyebar di kepulauan indonesia tahun 1500 SM.
Memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh manusia pada zaman
sekarang.
Banyak meninggalkan benda-benda budaya.
Memilki Kehidupan sederhana.
pithecantropus erec
Fosil Tengkorak Homo Erectus
Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk
tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai
luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat.
Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir
fluviovolkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan
penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan
Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga
pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah
Sangiran.
Pada 1934, G.H.R von Koenigswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang
terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian
menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran.
Semenjak penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan
dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan.
Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada
tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan
tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga
lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan
tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukan tentang hal itu.
Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu
ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593
Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di endapan
pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara
Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran
dan satu lagi di Afrika.
Sangiran merupakan situs prasejarah yang berada di kaki gunung lawu, tepatnya di depresi
Solo
sekitar
17
km
ke
arah
utara
dari
ko
Di Situs Sangiran ada 5 formasi tanah dengan lapisannya yang dapat dilihat secara langsung
dimana merupakan salah satu keajaiban Sangiran. Formasi tanahnya antara lain:
Formasi Kalibeng (Puren)
juta
tahun
lalu.
01.
Lapisan
02.
Lapisan
lempung
abu-abu
(biru)
03.
Lapisan
foraminifera
dari
04.
Lapisan
balanus
05. Lapisan lahar bawah dari endapan air payau.
juta
s/d
1
juta
tahun
lalu.
Dengan
lapisan:
lempung
hitam
(kuning)
dari
endapan
air
tawar
Lapisan
batuan
kongkresi
lempung
volkanik
(Tuff)
(ada
14
tuff)
04.
Lapisan
05. Lapisan batuan diatome warna kehijauan
batuan
nodul
tahun
lalu.
lahar
Dengan
lapisan:
atas
teras
Secara umum situs sangiran saat ini merupakan daerah berlahan tandus, terlihat dari
banyaknya tempat yang gundul tak berpohon. Hal ini disebabkan karena kurangnya
akumulasi sisa2 vegetasi yang mengalami humifikasi membentuk humus. Jenis tanaman yang
ada di Situs Sangiran, antara lain lamtoro, angsana, akasia, johar, sengon mahoni. Terdapat
sungai-sungai yang terus melakukan deformasi di situs sangiran antara lain adalah Kali
Cemoro dan Kali Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi masyarakat sekitar. Bukti-bukti
kehidupan ditemukan didalam endapan teras sungai purba. Di daerah tropis ini tidak banyak
mengalami perubahan iklim dan memungkinkan manusia purba untuk hidup.
Pada tahun 1934, daerah Jawa dipakai sebagai ajang penelitian manusia purba dan alatnya.
G.H.R Von Koenigwald melakukan penggalian pada sebuah bukit di sebelah timur laut
sangiran, menemukan sebuah alat batu yang berupa serpih. Teknologi yang lebih baik
menggambarkan perkembangan keterampilan yang dimiliki oleh manusia pendukungnya
yang hidup di Sangiran. Alat-alat yang dihasilkan, setingkat lebih maju dibandingkan dengan
alat-alat sejenis dari himpunan alat Pacitan. Alat Pacitan diperkirakan berasal dari kala
plestosen tengah bagian akhir. Sedangkan alat-alat batu sangiran ditemukan dilapisan tanah
kala plestosen atas pada formasi Notopuro. Alat-alat yang banyak ditemukan adalah serpih,
dan bilah. Sebagian alat-alat serpih Sangiran berbentuk pendek, lebar dan tebal, dengan
panjang antara 2-4 Cm. Teknologi yang umumnya digunakan pada alat batu Sangiran adalah
teknik clacton, dengan ciri alat serpih tebal. Selain itu untuk mendapatkan bentuk-bentuk alat
yang diinginkan lebih khusus, dilakukanlah penyerpihan kedua. Disamping alat serpih dan
bilah yang kemungkinan digunakan sebagai alat pemotong dan penyerut kayu, ditemukan
juga alat-alat yang terbuat dari batu lain, yaitu: bola batu, kapak batu, serut, beliung persegi,
kapak perimbas, batu inti, dll. Bahan yang digunakan untuk untuk peralatan tersebut adalah
kalsedon, tufa kersikan, kuarsa,dll. Alat-alat pada situs Sangiran merupakan hasil teknologi
kala plestosen yang dicirikan dengan pola perburuan binatang dan pengumpulan makanan
sebagai mata pencahariannya. Kemungkinan juga berdasarkan ukuran alat-alat Sangiran yang
relatif kecil, telah ada kecenderungan untuk memilih hewan buruan yang lebih kecil.
Informasi lapisan ini hanyalah sebagai tambahan dan catatan saja dikarenakan takut hilang.
Maklum bukan ahli tanah, bila coretan di kertas terbuang maka informasi yang sukar didapat
ini tak akan kembali. Lapisan tanah ini juga dijadikan bahan penelitian untuk menentukan
usia bumi ini.
Sebelum Lupa, di tengah area ladang sawah Sangiran terdapat kubangan yang