Anda di halaman 1dari 7

PENGARUH KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH DI VIETNAM

TERHADAP KEBUDAYAAN ZAMAN MESOLITIKUM DI INDONESIA

Rizmitunsasri Dwipatma Rahma (150731603652)


Jurusan Sejarah
Universitas Negeri Malang

Asia Tenggara merupakan sebuah kawasan yang berada di benua Asia


bagian Tenggara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Republik Rakyat
Tiongkok di sebelah utara, Samudra Pasifik di timur, Samudra Hindia di selatan,
serta Samudra Hindia, Teluk Benggala, dan Anak benua India di barat. Asia
Tenggara itu boleh dikatakan merupakan dunia tersendiri karena memiliki
berbagai keistimewaan yang khas dalam segala hal (Musa, 1988: 3). Subkawasan
Asia Tenggara terdiri atas sebelas negara yang terbagi kedalam dua wilayah yaitu
Asia Tenggara Daratan (Indocina) dan Asia Tenggara Maritim. Asia Tenggara
daratan terdiri atas negara Myanmar, Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam.
Sedangkan Asia Tenggara Maritim terdiri atas Brunei, Filipina, Indonesia,
Malaysia, dan Singapura. Secara geografinya kawasan Asia Tenggara terletak
pada pertemuan lempeng-lempeng geologi, dengan aktivitas kegempaan (seismik)
dan vulkanik yang tinggi. Asia Tenggara Martim terdapat pertemuan dua lempeng
benua besar yaitu, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia, ditambah dengan
lempeng Filipina yang lebih kecil.

Bagi para sejarawan dan arkeolog, kawasan Asia Tenggara merupakan


tempat yang menarik. Hal itu dikarenakan di hutan-hutan dan pegunungannya
terdapat banyak peninggalan-peninggalan yang dapat digunakan untuk
mengetahui kehidupan masa lampau. Peninggalan-peninggalan tersebut berupa
fosil manusia purba dan artefak-artefak kebudayaan masa lampau. Salah satu
negara yang memiliki banyak peninggalan dari kebudayaan masa lampau adalah
negara Vietnam. Di negara ini ada 3 (tiga) kebudayaan masa lampau yang
berkembang dan kemudian menyebar ke negara Asia Tenggara lainnya termasuk
ke Indonesia. Tiga kebudayaan tersebut meliputi Kebudayaan Dongson,
Kebudayaan Bacson-Hoabinh, dan Kebudayaan Sa Huynh. Adapun ketiga
kebudayaan tersebut berasal dari zaman Pleistosen akhir. Kebudayaan-
kebudayaan tersebut menyebar melalui proses migrasi dan memunculkan berbagai
jenis kebudayaan seperti kebudayaan zaman Mesolitikum (Zaman batu madya),
Neolitikum (Zaman batu baru), Megalitikum (Zaman batu besar) dan Paelometalik
(Zaman logam tua). Terdapat 2 jalur penyebaran kebudayaan-kebudayaan
tersebut, yaitu melalui jalur barat dengan peninggalan berupa kapak persegi dan
jalur timur denga peninggalan berupa kapak lonjong.

Dari ketiga kebudayaan masa lalu yang berkembang di Vietnam, artikel ini
akan membahas mengenai kebudayaan Bacson-Hoabinh. Hal yang akan dibahas
yaitu mengenai perkembangan kebudayaan Bacson-Hoabinh, pengaruh
kebudayaan Bacson-Hoabinh terhadap kebudayaan zaman Mesolitikum di
Indonesia, dan hasil-hasil kebudayaan Bacson-Hoabinh.

Kebudayaan Bacson-Hoabinh

Kebudayaan Bacson Hoabinh diperkirakan berasal dari 10.000 tahun SM-


4000 SM. Kebudayaan ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Kebudayaan ini disebut Bacson-Hoabinh karena banyaknya artefak-artefak yang
ditemukan di provinsi Bacson dan Hoabinh di Tonkin, Vietnam (Hall,1975: 7).
Bacson dan Hoabinh merupakan pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia
Tenggara. Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis
yang bekerja di Vietnam Utara bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an.

Artefak-artefak yang ditemukan melalui penggalian di pegunungan batu


kapur di daerah Vietnam bagian utara yaitu di daerah Bacson dan pegunungan
Hoabinh yaitu alat-alat pemotong, alat-alat serpih, batu giling dengan berbagai
ukuran, alat-alat dari tulang, dan tulang belulang manusia yang dikubur dalam
posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Ciri khas dari kebudayaan Bacson-
Hoabinh adalah penyerpihan alat-alat batu dilakukan pada satu atau dua sisi
permukaan batu kali yang berukuran lebih kurang satu kepalan dan sering kali
seluruh bagian tepiannya menjadi bagian yang tajam.

1. Kebudayaan Hoabinh
Di Vietnam ditemukan lebih dari 100 situs kebudayaan Hoabinh.
Sebagian besar situs-situs tersebut terletak di dua provinsi, yaitu Hoa Binh dan
Thanh Hoa. Situs-situs kebudayaan Hoabinh ini di temukan di gua-gua dan
lembah-lembah. Alat-alat dari batu hasil kebudayaan Hoabinh ini terbuat dari
berbagai macam batu yaitu forphyrit, andesit, rhyolit, basalt, dan ada beberapa
yang terbuat dari kuarsit, kuarsa, granit, gneiss serta sekis. Alat dari batu yang
ditemukan berfokus pada alat yang dikenal sebagai Sumatralith. Alat
sumatralith itu dibuat dengan menyerpih satu sisi dari batu/ kerikil sungai dan
bentuknya tidak terlalu besar. Selain itu ada juga ditemukan serpihan dari tepi
kerikil yang membentuk ujung tombak yang berbentuk cembung pada salah
satu ujungnya.
Meskipun artefak yang paling banyak ditemukan di situs-situs
kebudayaan Hoabinh adalah artefak yang terbuat dari batu, namun ada juga
artefak yang terbuat dari tulang. Hal itu dapat dilihat pada temuan artefak alat-
alat dari tulang di situs Da Phuc, Vietnam. Karakteristik dari situs Hoabinh
adalah adanya akses ke dataran tinggi batu kapur kasar dan lembah sungai.
Dari sisa-sisa makanan dapat dilihat bahwa manusia purba di Hoabinh
memakan kerang, ikan, dan mamalia kecil yang dapat ditemukan di daerah
situs tersebut. Situs batu Hoabinhian jarang terdapat sisa-sisa manusia dan
penguburan. Hingga saat ini ditemukan fosil manusia di 33 situs dan
penguburan di 15 situs.
2. Kebudayaan Bacson
Awal penggalian yang dilakukan oleh M. Colani dan H. Mansyur pada
tahun 1924 di dua provinsi di gunung Bacson, yaitu provinsi Lang Son dan
Thai Nguyen. Dari penggalian itu ditemukan alat-alat dari batu yang telah
dipoles. Hingga saat ini ditemukan 54 gua yang berisi jejak budaya Bacsonian.
Diantaranya 43 situs telah digali oleh para sarjana dari Prancis. Di dalam gua-
gua itu ditemukan tulang binatang, arang, kuburan, alat-alat dari batu dan
tembikar.
Pengaruh Kebudayaan Bacson-Hoabinh Terhadap Kebudayaan Mesolitikum
di Indonesia

Kebudayaan Bacson-Hoabinh menyebar bersamaan dengan perpindahan


Ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalur barat dan jalur timur. Mereka
datang ke Indonesia dan tinggal di Pantai Timur Sumatera dan Jawa, namun
kemudian terdesak oleh Ras Melayu dan akhirnya menyingkir ke wilayah
Indonesia Timur. Pengaruh dari kebudayaan Bacson-Hoabinh ini kemudian
menimbulkan tiga kebudayaan pada masa Mesolitikum di Indonesia, yaitu
Kebudayaan kapak genggam Sumatera (Pabble Culture), Kebudayaan Tulang
Sampung (Sampung Bone Culture), dan Kebudayaan Toala (Flake Culture).

1. Kebudayaan Kapak Genggam Sumatera (Pabble Culture)

Tahun 1925 Dr P. V Vanstein Callenfels melakukan penelitian di bukit


kerang (kjokkenmoddinger) di Pantai Timur Sumatera yaitu di daerah Langsa
(Aceh) dan Medan dan menemukan beberapa tumpukan kulit kerang yang
membatu. Tingginya sekitar 7 meter. Tumpukan kulit kerang itu disebut
kjokkenmoddinger (kjokken= dapur dan modding=sampah). Bersamaan dengan
penemuan kjokkenmoddinger itu, juga banyak ditemukan beberapa perlatan
yang digunakan manusia pada masa lampau. Peralatan-peralatan itu terdiri atas:

a. Kapak Genggam Sumatera (Pebble)


Kapak genggam ini berbeda dengan chopper (kapak genggam zaman
Paleolitikum). Kapak genggam tersebut dinamakan dengan pebble atau
kapak genggam Sumatera (Sumateralith) sesuai dengan lokasi penemuannya
yang berada di pulau Sumatera. Bahan pembuatan kapak genggam (pebble)
tersebut yaitu pecahan-pecahan dari batu sungai. Selain kapak genggam
(pebble) di kjokkenmoddinger tersebut juga ditemukan sebuah kapak dengan
bentuk yang pendek (setengah lingkaran) yang disebut Hanche Courte atau
kapak pendek. Kebudayaan kapak genggam Sumatera (pebble) dan kapak
pendek (hanche court) diperkirakan berasal dari kebudayaan Bacson-
Hoabinh (Vietnam) (Herimanto, 2012: 52).
b. Pipisan (Batu Penggiling) Beserta Landasannya
Fungsi dari benda ini diperkirakan untuk menghaluskan bahan cat
merah. Menurut para ahli, cat merah ini dimungkinkan memiliki kaitan
dengan kepercayaan, yaitu ilmu sihir. Warna merah tersebut menyimbolkan
darah yang merupakan tanda kehidupan, dengan memakai cat merah ini di
seluruh tubuh diyakini akan bertambah kuat badannya.
c. Alu dan lesung batu yang agak kasar serta sejumlah besar hematit
(Poeponegoro, 2009: 177).
2. Kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture)
Pada tahun 1928-1931 Dr. Van Stein Callenfels melalukan penyelidikan
pertama pada Abris Sous Roche di Goa Lawa dekat Sampung, Ponorogo, Jawa
Timur. Abris Sous Roche merupakan gua yang dijadikan sebagai tempat tinggal
manusia purba pada zaman Mesolitikum dan berfungsi sebagai tempat
perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Dari penyelidikannya di Goa Lawa,
Callenfels menemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah, batu pipisan,
kapak dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Namun diantara alat-alat yang
ditemukan tersebut yang paling banyak adalah alat dari tulang, sehingga oleh
para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture. Selain di Sampung,
Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa
Timur. Penelitian terhadap gua di Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur
dilakukan oleh Van Heekern.
3. Kebudayaan Toala (Flake Culture)
Di Sulawesi Selatan juga ditemukan Abris Sous Roche yaitu di Goa
Leang Patae di daerah Lomoncong. Di gua tersebut ditemukan flakes, ujung
mata panah yang sisi-sisinya bergerigi, dan Pebble. Gua Leang Pattae ini di
diami oleh suku Toala. Fritz sarasin dan Paul Sarasin menganggap bahwa suku
Toala merupakan keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman
praaksara. Oleh karena itu, alat-alat hasil kebudayaan yang ditemukan di gua
itu disebut sebagai Kebudayaan Toala (Flake Culture).
Kesimpulan
Kebudayaan Bacson-Hoabinh yang berkembang di Vietnam dan
kemudian menyebar di berbagai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh menyebar bersamaan dengan perpindahan Ras
Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalur barat dan jalur timur. Kebudayaan
ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan kebudayaan zaman
Mesolitikum di Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada hasil kebudayaan zaman
Mesolitikum di Indonesia memiliki kemiripan dengan hasil kebudayaan yang
ditemukan di daerah Bacson dan Hoabinh di Vietnam. Hasil kebudayaan itu
berupa alat-alat dari batu seperti kapak genggam Sumatera (Pebble) dan ujung
mata panah serta alat-alat dari tulang seperti flakes.

DAFTAR RUJUKAN

https://en.wikipedia.org/wiki/Hoabinhian, diakses pada 19 Februari 2017, 18:17


http://baotangnhanhoc.org/en/en/index.php?option=com_content&view=article&id=282:vietnamese-
archaeology-neolithic&catid=27:bai-nghien-cu-kho-c&Itemid=35

Hall, D.G.E. 1975. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.

Herimanto. 2012. Sejarah Indonesia Masa Praaksara. Yogyakarta: Ombak.

Poeponegoro, M. D. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I: Zaman prasejarah


di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Musa, K. 1988. Geografi Asia Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Anda mungkin juga menyukai