Anda di halaman 1dari 36

TUGAS KLIPING

JENIS-JENIS MANUSIA PURBA

OLEH

KELAS

SMA NEGERI MUARA LAKITAN

2023
Jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia diidentifikasi berdasarkan
penemuan fosil di beberapa wilayah seperti Mojokerto, Ngandong, Solo, Pacitan dan
Sangiran. Sebenarnya penemuan manusia purba di Indonesia sudah ada lama sejak abad
ke 18.
Dilansir dari berbagai sumber, berikut beberapa jenis-jenis manusia purba yang
ditemukan di wilayah Indonesia.

1. Homo Wajakensis

Manusia Purba Homo Wajakensis merupakan aset kesejarahan yang bernilai


tinggi, sehingga perlu untuk dipublikasikan, dilestarikan, dan juga menjadi media
pembelajaran peserta didik, khususnya di Tulungagung. Keberadaan Manusia Purba
Homo Wajakensis sendiri merupakan peradaban tempo dulu yang dimiliki oleh daerah
Tulungagung. Maka dari itulah, perlunya penggalian potensi kesejarahan yang lebih
terfokus dalam penanaman karakter generasi muda Tulungagung.

Kawasan daerah di sekitar Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung tercatat


sebagai kawasan awal kehidupan dan sekaligus perkembangan kehidupan sosial-budaya
Tulungagung. Sehingga adanya awal kehidupan di daerah Tulungagung tepat berada di
bagian selatan itu, maka membuat transisi kehidupan hingga sekarang.
Sebelum membahas mendalam mengenai manusia purba di daerah Tulungagung
yang terkenal dengan sebutan manusia Homo Wajakensis, lebih baik kita telusuri di mana
tempatnya diketemukan manusia purba tersebut. Pada dasarnya mengenai letak
diketemukannya manusia purba Wajakensis masih gelap. Mayoritas masyarakat mengira
kalau nama daerah ”Wajak” keberadaan daerahnya berada di daerah Boyolangu yang
sekarang kita kenal. Di atas sudah sedikit disinggung mengenai biografi Dubois
tentang penemuan awal fosil manusia wajakensis yang berada di daerah tembang
marmer.
Pada tahun 1859 M, Pegunungan Gamping selatan daerah Campurdarat, waktu itu masih
disebut dengan distrik Wajak. Daerah tersebut tepatnya berada di Desa Gamping, di mana
pada daerah tersebut terdapat penggalian tambang marmer. Namun apabila kita
kronologikan, maka nama daerah yang dimaksud ”Wajak” pada masa penemuan situs
fosil manusia purba tersebut adalah di daerah Campurdarat, Tulungagung bagian selatan.
Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya di daerah distrik Wajak pada tahun
1889 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda,
oleh para ahli digolongkan ke dalam jenis manusia cerdas (Homo Sapiens) (Anonim;
1971:6). Fosil tenggkorak manusia purba, pada tahun 1889 M baru diketemukan oleh B.
D. Van Rietschouten dan penemuan fosil tersebut dinamakan dengan Wajak I. Setelah itu
fosil Wajak II diketemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890. dari situlah mulai
terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia purba yang akhirnya dinamakan dengan
sebutan manusia purba Homo Wajakensis. Manusia purba Homo Wajakensis tersebut
merupakan jenis manusia muda yang digolongkan sebagai manusia cerdas dan termasuk
klarifikasi dalam Homo Sapiens.
Pengumuman pertama tentang fosil manusia purba Homo Wajakensis diterbitkan
tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie”
pada 13 Desember 1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D.
Van Rietshouten yang isinya dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya.
Abstraksi tentang isi surat tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum
Van Natuurlijk Historie, Leiden. Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang
diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888
(Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut Effendhie (1999),
bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak
ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan
hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu.
Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut,
akhirnya ia tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah
Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan
fosil tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang
menarik pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering
berkunjung ke perkebunan milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di
daerah Pegunungan Wilis. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah
Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan
manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa
Timur dan daerah Jawa Tengah (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang
terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu
nisannya yang bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan
dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil
manusia purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur)
(http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba Homo Wajakensis, menurut S.
Boeddhi Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah Bersinar Tulungagung edisi
25/IV/April 2005; bahwasanya fosil-fosil yang diketemukan di distrik Wajak tersebut
dinamakan Homo Wajakensis, ciri-cirinya adalah tengkorak panjang dengan isi besar
yakni Wajak I (wanita) berkapasitas 1.550 sentimeter kubik dan Wajak II (laki-laki)
berkapsitas 1.650 sentimeter kubik. Isi tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia
modern.
Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid, dahinya miring ke belakang
tetapi kurang primitif, dan bagian tengah atap tengkoraknya berlunas. Mukanya lebar
datar dengan tulang pipi menonjol ke samping seperti pada Mongoloid. Matanya besar,
tetapi agak rendah. Ada alur di depan hidungnya, akar hidungnya melesak ke bawah dahi,
tulang hidungnya sempit, kecil dan datar serta lubang hidungnya lebar. Belakang
tengkoraknya membonggol dengan tempat pelekatan otot leher rata. Langit-langit
mulutnya besar dan dalam, serta lebih besar dari Australid, giginya besar, tetapi dalam
proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil dan berbentuk omega. Rahang
bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan miring ke belakang, lebar
cabang rahang bawahnya sebanding dengan manusia Hidelbreg (Jerman). Dari tulang
paha dan tulang kering dapat disimpulkan bahwa manusianya ramping dan tinggi.
Menurut Peter Bellwood (2000:125), mengatakan tengkorak-tengkorak Wajak
masih menimbulkan masalah-masalah yang menarik. Banyaknya pakar menganggap
tengkorak-tengkorak tersebut tergolong Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan
wajak yang besar. Hanya saja, Coon (1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan
adanya kecenderungan ciri Mongoloid yang tampak dari mukanya yang datar. Jika tarikh
tersebut benar, tengkorak dari Wajak mungkin memperlihatkan beberapa tingkat
kecenderungan Mongoloid untuk populasi-populasi di Jawa sebelum masa penghunian
oleh penutur bahasa Austronesia. Sayangnya, kecenderungan ciri morfologis yang tepat
dari tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena adanya berbagai masalah dalam
rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut menunjukkan
aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke Indonesia, maka tengkorak-tengkorak
Wajak itu sangat penting. Pandangan tersebut sebagian ditentang oleh Jacob (1967:51)
yang pernah menganggap populasi Wajak kemungkinan adalah leluhur
bersama Mongoloid Indonesia maupun Australo-Melanesia sekarang.
Untuk merangkai informasi mengenai situs manusia purba yang berada di
Indonesia, khususnya dibagian selatan Tulungagung. Jacob (1967), menyatakan bahwa
baru-baru ini lebih banyak lagi yang diketemukan mengenai manusia purba. Jacob
beranggapan situs-situs yang paling bermasalah salah satunya adalah situs Wajak di Jawa
Timur bagian selatan. Di sini, dua tengkorak diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 –
yang terakhir diketemukan oleh Dubois – dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah
hancur dan tidak ada bukti langsung yang tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui
konteksnya (Strom dan Nelson 1992). Untungnya, baru-baru ini dimungkinkan untuk
meneliti sebuah tulang paha manusia dari situs tersebut dengan penarikhan C14
pada apatite tulang (Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira 6500 BP, jadi tulang-
tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat dianggap berumur Holosen
Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood; 2000:124-125).
Menurut Soekmono ((a)1973:29), pendapat Dubois, Homo Wajakensis itu
termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan
nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli Australia itu. Menurut Voon
Koenigswald, maka Homo Wajakensis itu seperti juga Homo Soloensis, asalnya dari
lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin sekali sudah dimasukkan dalam jenis Homo
Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih jelas lagi dari kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-
jenis manusia tertua yang sudah disebutkan di atas, maka Homo Wajakensis itu telah di
tanam (baca: dikubur), sebagaimana realitanya dari bekas-bekasnya waktu diketemukan.
Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi salah satu daerah industri tambang
marmer yang terkenal hingga ke mancanegara, bisa kemungkinan juga keberadaan situs-
situs manusia purba Homo Wajakensis tepatnya di gua-gua pegunungan selatan telah
rusak akibat dari polah aktivitas manusia dalam menambang marmer atau batu onix.
Namun apabila kita ingin melacak keberadaan situs-situs manusia purba Homo
Wajakensis kemungkinan masih bisa, dengan indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme,
Campurdarat dan gua-gua di Cerme yang disebut dengan Gua Lawa.
Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan kehidupan manusia purba saat
itu, adalah berupa temuan hunian gua (rock sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki
yaitu Gua Song Gentong. Temuan yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-
sisa makanan, yakni cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang binatang
sebagai sampah dapur. Selain tempat-tempat itu, bukti serupa pernah diketemukan di
situs Gua Pasetran Gondomayit yang tepatnya di dusun Ngelorejo, desa Janglungharjo,
Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.
Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan Selatan Tulungagung tersebut,
sebagai tempat tinggal atau adanya sebuah kehidupan manusia purba Homo Wajakensis.
Sebab dimungkinkan gua-gua yang keberadaannya tidak jauh dari pantai selatan tersebut
menjadi tempat tinggalnya, karena sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari
makanan yang berupa kerang-kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari
keberadaan rawa-rawa ataupun Samudera Hindia. Rawa Bening salah satunya,
dimungkinkan memang rawa tersebut merupakan rawa yang terjadi semasa dengan
terjadinya Gunung Gamping di daerah tersebut.
Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo Wajakensis saja yang ada,
melainkan kehidupan di Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung telah dihuni berbagai
jenis makhluk binatang seperti antelope, babi hutan, kijang, rhino, dan juga berbagai
jenis kera. Sehingga kalau ditarekhkan pada masa manusia purba Wajakensis sudah
mengenal kultur, sosio dan ekonomis. Secara tidak langsung maka manusia purba
tersebut sudah mampu untuk mengolah lingkungan Pegunungan Kapur Selatan
Tulungagung.
Dengan banyaknya gua-gua yang terdapat dibagian selatan daerah Tulungagung
tentunya kita dapat menafsirkan, bahwasanya kehidupan manusia purba pada zaman
dahulu memang sudah ada di daerah tersebut, bukti dan data yang ada, sudah menjadi
pengukuhan bagi dunia kesejarahan bahwasanya daerah Tulungagung menjadi salah satu
penyokong kesejarahan internasional, dengan pernah diketemukannya fosil manusia
purba yang akhirnya diberi nama Homo Wajakensis. Temuan manusia purba Homo
Wajakensis, mengisyaratkan pada kita bahwa sekitar 40000 tahun silam, khususnya
daerah Tulungagung bagian selatan telah di diami oleh manusia purba Homo Sapiens
yang tergolong dalam Ras Wajak, tentunya berbeda dengan ras manusia sekarang pada
umumnya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut.
Kalau ditinjau dalam segi kebudayaan, Homo Wajakensis sudah mempunyai
unsur budaya. Menurut Soekmono ((a)1973:14), kebudayaan dewasa sekarang ini adalah
hasil dari pertumbuhan dan perkembangan di waktu yang lalu (sekali-kali bukan menjadi
pengganti, melainkan lanjutan). Maka untuk mengetahuinya dan mengenalnya, lebih-
lebih untuk dapat menyelaminya dengan benar, perlulah ditinjau dari sejarahnya.
Menurut manuskrip Sejarah dan Babad Tulungagung (1971), bahwasanya dasar
penguburan adalah erat kaitannya dengan sebuah kepercayaan, yaitu suatu usaha untuk
melindungi ruh-ruh dari gangguan alam (lingkungan) atau binatang buas serta faktor-
faktor lain. Maka dari itu, kalau memang benar manusia purba Homo Wajakensis tersebut
sudah mengenal penguburan, berarti mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi
hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan kehidupannya, mendirikan
tempat tinggal untuk berteduh dan melindungi dari gangguan dan liarnya binatang buas.
Dalam hal ini tidak mustahil apabila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak pada masa
dahulunya juga merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia purba seperti Homo
Wajakensis.
Corak kebudayaan yang ada masa manusia purba sangatlah unik dan perlu untuk
diketahui. Kala itu manusia antara lain telah mengenal logam. Budaya prasejarah yang
pernah terdeteksi di kawasan Tulungagung Selatan diantaranya pernah diketemukan
sarkofagus di situs Darungan di desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir. Pada saat
diketemukan oleh penduduk setempat sekitar tahun 1978, didapati wadah kubur itu masih
lengkap dengan bagian tutup yang terbuat dari batuan gamping berwarna kekuningan.
Salah satu ujungnya dipahat meruncing, yang serupa dengan lunas perahu. Didalam
lubang bagian atas sarkofagus itu terdapat kerangka manusia dan bekal kubur atau burial
gift yang berupa manik-manik dan senjata dari bahan besi.
Budaya semacam bekal kubur maupun perahu lunas yang menyerupai perahu
arwah, hal itu merupakan salah satu kebudayaan khas masa megalitikum yang pernah ada
di Tulungagung zaman prasejarah. Dalam kaitan hal serupa pada tahun 1982 di dusun
Nglempong, desa Gamping juga pernah diketemukan sisa-sisa tulang manusia yang
berupa tengkorak dan fragmen tulang serta manik-manik dan juga benda yang terbuat
dari perunggu.
2. Homo erectus (bahasa Latin, berarti "manusia yang berdiri tegak") adalah jenis manusia yang
telah punah dari genus Homo. Pakar anatomi asal Belanda, Eugene Dubois, pada tahun 1890-
an menggambarkannya sebagai Pithecanthropus erectus atau "Manusia Jawa" berdasarkan
fosil tempurung kepala dan tulang paha yang ditemukan timnya
di Trinil, Kedunggalar Ngawi.

Sepanjang abad ke-20, antropolog berdebat tentang peranan H. erectus dalam


rantai evolusi manusia. Pada awal abad tersebut, setelah ditemukannya fosil di Jawa
dan Zhoukoudian, Tiongkok, para ilmuwan mempercayai bahwa manusia modern berevolusi
di Asia. Hal ini bertentangan dengan teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia
modern berasal dari Afrika. Namun demikian, pada tahun 1950-an dan 1970-an, beberapa
fosil yang ditemukan di Kenya, Afrika Timur, ternyata menunjukkan
bahwa hominin (Hominidae yang berjalan dengan kaki, atau manusia minus kera besar
lainnya) memang berasal dari benua Afrika. Sampai saat ini para ilmuwan mempercayai
bahwa H. erectus adalah keturunan dari makhluk mirip manusia era awal
seperti Australopithecus dan keturunan spesies Homo awal seperti Homo habilis.
H. erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistocene
awal sekitar 2,0 juta tahun yang lalu, dan terus menyebar ke seluruh Dunia Lama hingga
mencapai Asia Tenggara.
Tulang-tulang yang diperkirakan berumur 1,8 dan 1,0 juta tahun telah ditemukan di
Afrika (Danau Turkana dan Lembah Olduvai), Eropa (Georgia), Indonesia (hanya Jawa dan,
mungkin, Flores), dan Tiongkok (Shaanxi). H. erectus menjadi hominin terpenting mengingat
bahwa spesies inilah yang pertama kali meninggalkan benua Afrika.
Penemuan di Jawa bertapak
di Sangiran (perbatasan Karanganyar dan Sragen), Trinil (Kedunggalar), Sambungmacan (Sra
gen), dan Ngandong, Kradenan, Blora; semuanya di tepi Bengawan Solo. Sisa tempurung
kepala H. erectus ditemukan di Situs Patiayam, Kabupaten Kudus pada tahun 1978 oleh tim
Sartono.[2] Penemuan atap tempurung kepala pada tahun 2011 di Semedo, Kabupaten Tegal,
juga ditafsirkan sebagai bagian H. erectus.

Pendapat Prof. T. Jacob


Jacob sebelumnya menyebutkan bahwa paleoantropologi adalah ilmu yang
mempelajari manusia purba. Secara umum, ilmu ini melibatkan penelitian tidak hanya tentang
manusia, tetapi juga tentang karya dan lingkungannya. Secara khusus, paleoantropologi fokus
pada evolusi dan variasi biologis manusia purba, yang dikenal juga sebagai early men. Bidang
ini juga sering mencakup kajian tentang manusia kuno, yang mencakup periode dari
akhir Pleistosen hingga beberapa ratus tahun yang lalu.
Pada intinya, paleoantropologi berkonsentrasi pada rentang waktu yang meliputi
akhir paleoprimatologi hingga awal antropologi historis. Biasanya, penelitian ini dilakukan
terhadap sisa-sisa temuan yang kebetulan ditemukan, yang kemudian direkonstruksi untuk
memahami aspek biologis, serta jika memungkinkan, aspek biokultural dan ekologisnya.
Temuan-temuan tersebut umumnya semakin tua, semakin langka jumlahnya, dan keadaannya
menjadi lebih fragmentaris.
Tujuan dari paleoantropologi adalah untuk memahami kehidupan manusia secara
biokultural sejak munculnya manusia di Bumi, serta evolusinya melalui berbagai masa dan
wilayah distribusinya sebanyak mungkin. Indonesia, sebagai tempat tinggal manusia purba
dan kuno selama sekitar 1,9 juta tahun yang lalu, dapat dianggap sebagai miniatur yang
penting untuk mempelajari evolusi manusia dan ekosistem manusia.
Indonesia memiliki keberuntungan karena merupakan salah satu negara yang memiliki
banyak situs manusia purba yang penting. Keberuntungan ini terkait dengan kekayaan
alamnya, termasuk keberadaan banyak gunung berapi yang aktif di setiap pulau, karena
Indonesia terletak di sepanjang Cincin Api Pasifik. Material vulkanik yang dihasilkan oleh
gunung berapi ini telah mengubah material organik menjadi material anorganik dan
mengawetkannya di berbagai area, seperti fosil-fosil dan situs-situs
paleontologi/paleoantropologi. Situs-situs ini tersebar dari Aceh hingga Papua.[4]
Situs-situs dengan tingkat kekunoan tertua dan penting untuk penelitian Homo erectus
terletak di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selanjutnya, dalam penyebaran Homo sapiens dari
periode Mesolitik hingga Neolitik, situs-situs juga dapat ditemukan
di Sumatra, Bali, Kepulauan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan
kemungkinan masih ada di pulau-pulau lain di Indonesia.
indonesia merupakan salah satu negara yang sangat penting untuk mempelajari evolusi
manusia dan sejarah persebaran manusia di Bumi. Di negara ini, telah ditemukan
fosil Meganthropus sp., Homo erectus, dan Homo sapiens. Meganthropus sp. yang ditemukan
di Sangiran memiliki usia sekitar 1,66 ± 0,04 juta tahun. Homo erectus tertua yang dikenal
sebagai Homo erectus robustus atau Mojokerto child ditemukan
di Perning, Mojokerto (sekarang berada di wilayah Kepuh
Klagen, Wringinanom, Gresik, Jawa Timur) dan memiliki usia sekitar 1,81 ± 0,04 juta tahun.
Beberapa sampel petrologis dari Homo erectus juga menunjukkan usia sekitar 1,9 ± 0,4 juta
tahun menggunakan metode potassium-argon. Meskipun ada beberapa pendapat yang
mempertanyakan usia purba mereka dan menyebutkan bahwa usianya tidak melebihi 1,49 juta
tahun, dan bahkan mencakup Pleistosen Tengah berdasarkan biostratigrafi, terutama fauna
Hippopotamus namadicus dan Sus brachygnathus. Jacob telah melakukan penelitian lebih
lanjut berdasarkan matriks geologis endokranial, dan mengonfirmasi kembali bahwa usia
mereka tidak berbeda dengan hasil penanggalan sebelumnya.
Sekitar sepertiga dari temuan Homo erectus di seluruh dunia telah ditemukan di
Indonesia. Kemudian, penemuan Homo floresiensis di Flores juga menambah variasi temuan
spesies Homo di Indonesia. Homo sapiens yang ditemukan di Wajak, Tulungagung, Jawa
Timur, memiliki usia antara 6.560 hingga 10.560 tahun sebelum sekarang, meskipun usia ini
masih diperdebatkan. Penelitian terbaru menunjukkan usia minimal sekitar 28,5 hingga 37,4
ribu tahun yang lalu. Populasi Homo sapiens Neolitik di Indonesia terdiri dari dua subspesies,
yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid. Temuan ini sangat penting untuk mempelajari
sejarah migrasi dan persebaran manusia, terutama di Asia Tenggara, Asia Timur, Australia,
dan Kepulauan Pasifik.
Menurut katalog temuan hominid di Indonesia hingga tahun 2003, terdapat 129 fosil
hominid yang berasal dari berbagai lokasi seperti Wajak, Kedungbrubus, Trinil,
Perning, Ngandong, Sangiran, Sambungmacan, Patiayam, dan Ngawi. Sejak tahun 1975,
jumlah temuan ini telah bertambah sebanyak 65 fosil hominid hingga tahun 2003. Setelah itu,
masih ada penemuan-penemuan baru, meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun-tahun
sebelumnya.
Indonesia memiliki posisi yang terhormat dan sangat penting dalam penelitian manusia
purba dan evolusi manusia, serta lingkungan abiotik, biotik, dan kulturalnya. Di Indonesia
terdapat banyak situs paleoantropologi yang menghasilkan temuan fosil hominid, fauna, flora,
dan artefak prasejarah dengan tingkat kepurbaan yang tinggi. Temuan ini meliputi fosil
manusia purba tertua dari sekitar 1,9 juta tahun yang lalu di Kepuh Klagen, Wringinanom,
Gresik, hingga fosil manusia purba terakhir dari sekitar 117.000 hingga 108.000 tahun yang
lalu di Ngandong, Blora, yang merupakan penanda akhir keberadaan Homo erectus di Bumi.
Indonesia memiliki jumlah temuan Homo erectus yang sebanding dengan Tiongkok di Asia,
namun hingga saat ini fosil Homo erectus tertua masih ditemukan di Indonesia dan disimpan
di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran Kesehatan
Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada.
Temuan-temuan ini berperan penting dalam memahami evolusi manusia di Indonesia,
Asia Tenggara, dan juga memberikan kontribusi dalam pemahaman temuan-temuan manusia
purba dari Afrika, temuan hominid di Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan.
Selain itu, temuan-temuan ini juga memberikan informasi yang relevan dalam sejarah migrasi
dan penyebaran manusia di wilayah Pasifik, termasuk Papua Nugini, Australia, Selandia Baru,
serta kepulauan di wilayah Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia.
Penelitian dalam bidang paleoantropologi dan evolusi manusia telah mengalami
kemajuan yang signifikan berkat temuan fosil hominid dan sisa-sisa manusia kuno hingga
manusia modern, serta situs dan asosiasi yang terkait. Para ahli terus berupaya
mengembangkan berbagai teknik penentuan umur absolut untuk mengidentifikasi tingkat
kepurbaan dengan menggunakan metode seperti Ar/Ar, K/Ar, spektrometri sinar gamma, dan
isotop karbon-oksigen. Bagi Jacob, hasil penanggalan temuan Homo erectus di Jawa,
Indonesia, yang mencapai usia 1,9 juta tahun yang lalu tidaklah mengejutkan meskipun
banyak ahli paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologi prasejarah dari Barat
meragukannya. Mereka berargumen bahwa tidak mungkin hominid muncul dan hidup dalam
daerah terpencil dan terisolasi di benua dengan usia kepurbaan sejauh itu. Namun, Jacob
menegaskan bahwa evolusi hominid tidak terbatas pada daratan benua saja, tetapi dapat
terjadi di daratan manapun, baik itu benua maupun kepulauan, selama ada dukungan dalam
bentuk energi, keberlanjutan, dan luas wilayah (energy, sustainable & area).
Banyak ilmuwan paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologi prasejarah dari Barat
meragukan asal-usul kemampuan berbicara dan praktik kanibalisme pada Homo erectus Jawa.
Namun, Jacob dapat memberikan penjelasan yang jelas terkait keraguan ini. Petunjuk
mengenai kemampuan berbicara Homo erectus hanya dapat dilihat melalui bukti fosil
tengkorak yang relatif fragmentaris dan tidak lengkap. Banyak fosil tengkorak Homo erectus
Jawa yang hilang bagian dasarnya karena proses taphonomi. Namun, kemampuan berbicara
dapat dilihat dari adanya jejak-jejak goresan dan sinus di dalam tengkorak. Saat ini, fosil
tengkorak ini dapat diamati dan dianalisis dengan lebih mudah melalui pemindaian CT 3D,
baik dengan atau tanpa matriks, dan dapat direkonstruksi menjadi model 3D untuk analisis
morfologis otak yang lebih lanjut.
Kemampuan berbicara Homo erectus juga ditunjukkan melalui bentuk dan posisi foramen
magnum (lubang pada dasar tengkorak yang terkait dengan leher). Foramen magnum pada
Homo erectus belum berbentuk bulat dan masih berada dalam posisi relatif posterior (seperti
pada fosil tengkorak Homo erectus Ngandong). Karena itu, posisi tenggorokan mereka
terhadap mulut dan hidung belum tegak lurus seperti "huruf L terbalik", tetapi masih
melengkung seperti tenggorokan anak-anak yang baru bisa berbicara. Pada individu yang
hidup, tenggorokan ini berada di belakang mulut di bawah lubang hidung dan berbentuk
seperti tabung berotot yang berfungsi sebagai saluran distribusi makanan dan udara. Organ ini
terdiri dari otot dan bercabang menjadi dua saluran yang lebih kecil,
yaitu esofagus (kerongkongan) dan laring (pangkal tenggorokan). Organ ini merupakan
bagian dari sistem pernapasan dan pencernaan. Bagian atasnya adalah nasofaring, diikuti oleh
orofaring, dan bagian bawahnya adalah hipofaring atau laringofaring. Nasofaring dan
laringofaring merupakan bagian dari sistem pernapasan, sedangkan orofaring berperan dalam
sistem pencernaan dan pernapasan.
Dengan kondisi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kemampuan berbicara Homo
erectus masih sangat terbatas. Komunikasi mereka menggunakan bahasa lisan dengan banyak
bantuan isyarat. Jacob menyebut Homo erectus Jawa masih dalam tahap protobahasa. Dalam
lelucon, dapat dikatakan bahwa Homo erectus lebih banyak bekerja daripada bicara,
sementara Homo sapiens seperti kita saat ini lebih banyak bicara daripada bekerja.
Benar, argumen Jacob didasarkan pada paradigma osteologis-anatomis dan biologi
populasi terkait dugaan kanibalisme pada Homo erectus Jawa. Banyak
ilmuwan paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologi prasejarah dari Barat telah
mengajukan dugaan kanibalisme berdasarkan banyaknya fosil tengkorak Homo erectus yang
kehilangan basis kranialnya. Selain itu, tradisi kanibalisme yang masih berlangsung di
beberapa etnis di Indonesia pada masa itu juga menjadi faktor yang dikaitkan.
Jacob berpendapat bahwa fosil tengkorak yang fragmentaris dan hilangnya basis kranial
tidak dapat dijadikan bukti yang kuat untuk mendukung dugaan kanibalisme.
Paradigma osteologis-anatomis dan biologi populasi yang dia terapkan memungkinkan untuk
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan hilangnya basis kranial,
seperti proses taphonomi dan kerusakan pasca-mortem.
Selain itu, Jacob juga mencatat bahwa tradisi kanibalisme yang masih ada pada beberapa
etnis di Indonesia pada masa itu tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan Homo erectus
Jawa. Ada perbedaan antara spesies manusia purba dan manusia modern, termasuk dalam hal
perilaku dan budaya. Oleh karena itu, keberadaan tradisi kanibalisme pada manusia modern
tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung untuk mendukung dugaan kanibalisme pada
Homo erectus Jawa.
Perdebatan mengenai kanibalisme pada Homo erectus Jawa masih terus berlanjut di kalangan
ilmuwan. Pendekatan multidisiplin dan penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang aspek ini dalam sejarah manusia
purba.

3. Pithecanthropus Soloensis

Manusia Solo (Homo erectus soloensis, Homo soloensis atau Solo Man)
adalah hominid atau manusia purba yang diperkirakan hidup di daerah Sungai Bengawan
Solo purba pada Zaman Batu Tua atau Paleolitikum.
Subspesies yang telah punah ini sempat diklasifikasikan sebagai Homo sapiens soloensis,
tetapi sekarang dimasukkan ke dalam spesies Homo erectus. Oleh sebagian ahli, Homo
soloensis dianggap segolongan dengan Homo neanderthalensis yang merupakan manusia
purba dari Asia, Eropa, dan Afrika.

Penemuan Fosil
Fosil-fosil Homo erectus soloensis ditemukan di Ngandong (Blora), Sangiran, dan
Kecamatan Sambungmacan (Sragen), Pulau Jawa, Indonesia, oleh Ter Haar, Oppenoorth,
dan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald antara tahun 1931 sampai 1933 di
lapisan Pleistosen Atas atau Pleistosen Akhir.
Di daerah tersebut, von Koenigswald banyak menemukan fosil-fosil dan artefak-artefak
prasejarah, antara lain tengkorak anak-anak, hewan menyusui, dan aneka perkakas. Ia
kemudian membagi lembah Kali Solo menjadi tiga lapisan:

 Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), tempat ditemukannya Pithecanthropus robustus, Homo


mojokertensis, Meganthropus paleojavanicus
 Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus
 Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), tempat ditemukannya Homo soloensis, Homo
wajakensis
Untuk Homo e. soloensis, von Koenigswald menemukan 11 fosil tengkorak. Sebagian
telah hancur, tetapi terdapat beberapa yang masih layak menjadi objek penelitian lebih lanjut,
meskipun tulang rahang dan gigi kesebelas tengkorak itu sudah tidak ada.
Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi
tingkatannya dibanding Pithecanthropus erectus. Bahkan, mereka telah layak disebut
sebagai homo (manusia). Diperkirakan, makhluk ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus
mojokertensis atau Homo mojokertensis.
Karena alat-alat yang ditemukan di dekat tulang hominid ini dan banyaknya fitur
anatomi yang lebih rentan, para ahli pertama kali mengklasifikasikannya sebagai
subspesies Homo sapiens (pernah juga disebut Javanthropus) dan dianggap sebagai nenek
moyang orang Aborigin di Australia. Namun, studi yang lebih akurat menyimpulkan bahwa
hal tersebut tidaklah terbukti.
Analisis terhadap belasan tengkorak dari Sangiran, Trinil, Sambungmacan, dan
Ngandong menunjukkan pengembangan kronologis dari Periode Bapang ke Periode
Ngandong.[5] Pada 2011, para ahli memperkirakan H. e. soloensis sudah berusia antara
143.000 hingga 550.000 tahun.

Ciri-ciri Fisik
Meskipun morfologinya sebagian besar khas dari Homo erectus, budaya Homo e.
soloensis sudah sangat maju. Hal ini menimbulkan banyak masalah untuk teori terkini
mengenai keterbatasan perilaku Homo erectus dalam hal inovasi dan bahasa.
Homo erectus soloensis berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna. Diperkirakan,
mereka memiliki tinggi badan antara 130 hingga 210 cm. Otot tengkuk mengalami
penyusutan. Wajah tidak menonjol ke depan, tetapi dahinya miring ke belakang.
Tengkoraknya menunjukkan tonjolan yang lebih tebal di dekat alis. [7] Kapasitas otaknya
berkisar antara 1.013 sampai 1.251 cm³, menempatkan Homo erectus soloensis di antara
anggota genus Homo berotak lebih besar.

Kebudayaan dan Peradaban


Ilustrasi tombak bergerigi yang fungsinya diduga seperti harpun

Dengan volume otak yang sudah mendekati manusia, Homo erectus


soloensis bersama dengan Homo wajakensis, diperkirakan mengawali
sistem budaya yang kemudian kita kenal dengan Kebudayaan Ngandong. Kebudayaan ini
dicirikan dengan penggunaan tulang binatang, duri ikan pari, dan batu-batuan serpih
(flakes). Bahan-bahan tersebut sudah berhasil diolah menjadi kapak, belati, tombak, dan
sebagainya.
Sebagian flakes bahkan terbuat dari batu-batuan yang indah, seperti kalsedon,
menandakan peradaban Homo e. soloensis telah mengenal citarasa seni. Alat-alat dari
tulang binatang diduga digunakan untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Alat-
alat seperti tombak yang bergerigi diduga dimanfaatkan layaknya harpun: untuk
menangkap ikan besar.
Masalahnya, semua perkakas dan senjata itu ditemukan di permukaan bumi,
sehingga sulit memastikan asal lapisannya. Melalui penelitian yang mendalam, akhirnya
diketahui benda-benda tersebut berasal dari Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah). Jadi, ada
kemungkinan pemiliknya justru Pithencanthopus erectus.
Namun demikian, diyakini budaya menggunakan dan menciptakan alat semacam
ini hanya berkembang di suatu kaum yang minimal bergenus Homo. Jadi,
kemampuan Pithecanthropus erectus diragukan dalam hal ini. Apalagi makhluk-makhluk
kera-manusia dari Lapisan Pleistosen Bawah (semacam Meganthropus paleojavanicus).
Permasalahan berikutnya, di antara semua penemuan dari zaman pleistosen di
Indonesia, belum pernah ditemukan alat-alat yang letaknya berdekatan dengan
fosil homo. Akibatnya, sulit menyimpulkan siapa pemilik sebenarnya dari alat-alat yang
dikemukakan di atas.
Petunjuk untuk memecahkan kebuntuan ini datang dari penemuan
di Beijing, Tiongkok. Di gua Choukoutien, sejumlah fosil Sinanthropus
pekinensis (sekelas dengan Pithecanthropus erectus) ditemukan bersama perkakas
bebatuan yang mirip dengan alat-alat di Situs Pacitan maupun Situs Ngandong. Maka
kesimpulan sejauh ini, jika Sinanthropus pekinensis saja sudah memiliki budaya
menggunakan dan menciptakan alat, boleh jadi Pithecanthropus erectus pun telah
berbudaya.
Kesimpulan selanjutnya, jika makhluk seperti Pithecanthropus saja berbudaya
dan mampu menciptakan Kebudayaan Pacitan lengkap dengan alat-alatnya, seharusnya
Kebudayaan Ngandong yang dipelopori kaum homo, dalam hal ini Homo erectus
soloensis, jauh lebih maju. Apalagi penelitian kemudian menunjukkan bahwa alat-alat
tersebut memang berasal dari Pleistosen Atas, hasil kebudayaan Homo
soloensis dan Homo wajakensis.
Dari berbagai peralatan tersebut, para ahli berkesimpulan bahwa cara hidup
masyarakat Homo erectus soloensis saat itu adalah berburu binatang, menangkap ikan,
memanen keladi, ubi, buah-buahan, dan mengumpulkan makanan lainnya. [10] Namun,
alat-alat tersebut tampaknya tidak cocok untuk bercocok tanam. Sehingga, hidup manusia
paleolitikum itu diperkirakan masih menggunakan sistem nomaden, belum menetap.
Sistem Kepercayaan
Ada keyakinan dari sebagian ahli bahwa perkembangan budaya
manusia diluvium sampai Homo sapiens diimbangi dengan perkembangan pemikiran dan
perasaannya. Termasuk perkembangan kerohaniannya yang membuat mereka percaya
bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Menurut Karen Armstrong, pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang
merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu. Ia adalah penguasa langit dan bumi. Ia
tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang
mengabdi kepada-Nya. Ia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai.
Wilhelm Schmidt, dalam buku The Origin of the Idea of God (1912-1954), juga
menulis tentang monoteisme primitif ini. Menurutnya, jauh sebelum menyembah banyak
dewa, manusia mengakui hanya satu Tuhan Tertinggi yang telah menciptakan dunia dan
menata segalanya dari kejauhan. Schmidt mencontohkan suku pribumi Afrika yang
meyakini keesaan Tuhan. Mereka mengungkapkan kerinduan melalui doa, percaya
bahwa Tuhan selalu mengawasi dan menghukum setiap dosa. Namun Tuhan tidak hadir
dalam kehidupan sehari-hari mereka, artinya tidak ada kultus khusus untuk-Nya. Tuhan
tidak pernah ditampilkan dalam gambar-gambar.
Ini terjadi sebelum Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan pagan dan
simbol-simbol keagamaan yang mewujud, misalnya dalam bentuk punden
berundak, menhir, lukisan goa, kuil pemujaan, dan sebagainya.
Jadi, ada kemungkinan masyarakat Homo erectus soloensis juga mengenal dan
membutuhkan kehadiran Tuhan. Sebab, sudah pasti setiap saat mereka berhadapan
dengan peristiwa-peristiwa alam yang sulit dipahami karena di luar kendali dan
nalarnya, wabah penyakit, binatang buas, fenomena-fenomena gaib, dan lain sebagainya.
Ide tentang kehadiran Tuhan memang telah dan tetap hidup dari zaman dan
kebudayaan apapun sampai kapan pun. Sebagaimana yang diungkap dalam The New
Encyclopedia Britanica, bahwa sejauh penemuan para sarjana, tidak pernah ada orang, di
manapun dan kapan pun, yang sama sekali tidak religius.
Teori Nusa Jawa Pusat Pesebaran Manusia
Alat-alat setipe dengan yang ada di Kebudayaan Ngandong juga terdapat di
daerah-daerah Nusa atau Pulau Jawa. Kapak-kapak tangan berbentuk cakram sendiri
sebenarnya menunjukkan ciri-ciri Australoid, tetapi juga dengan campuran ciri-
ciri Mongoloid. Sebagian pakar paleoantropologi berpikir bahwa manusia-manusia
Mongoloid dari daratan Asia, sedangkan manusia-manusia Australoid dari
daratan Australia. Mereka datang dan bertemu di Jawa.

Namun ada sebuah teori yang menyatakan bahwa justru Jawalah asal muasal
mereka. Dari Jawa, Homo e. soloensis yang berciri fisik Mongoloid lalu menyebar ke
Asia melalui Paparan Sunda, sedangkan Homo wajakensis yang berciri Australoid
(Papua, Aborigin, dll.) menyebar ke Australia melalui Paparan Sahul.
Paparan Sunda atau Dataran Sunda adalah landas kontinen perpanjangan lempeng
benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utamanya mencakup Semenanjung
Malaya, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. [12] Luas
paparan ini 1,85 juta km2.
Sedangkan Paparan Sahul atau Dataran Sahul adalah bagian dari lempeng landas
kontinen benua Sahul (Benua Australia-Papua) yang terletak di lepas pantai utara
Australia dan lautan selatan Pulau Papua. Paparan Sahul membentang dari Australia
utara, meliputi Laut Timor menyambung ke timur di laut Arafura yang menyambung
dengan Pulau Papua. Ketika permukaan air laut turun pada zaman es Pleistosen, Paparan
Sahul adalah dataran terbuka di atas permukaan laut.
Teori Jawa sebagai tempat asal peradaban purba bertolak
dari fakta bahwa pulau ini berada di wilayah khatulistiwa dengan iklim yang sangat ideal
bagi kehidupan manusia. Akan terasa janggal bila manusia-manusia itu justru lebih suka
tinggal di lokasi yang memiliki empat musim, karena pada Musim Salju tentulah sangat
dingin membeku. Terlebih pada zaman es sekitar dua juta tahun yang lalu. Maka tidak
berlebihan bila sebagian ahli mengemukakan teori bahwa Paparan Sunda dan Paparan
Sahullah sesungguhnya tempat kelahiran serta pertahanan hidup Ras Mongoloid dan
Australoid. Terlebih bila mengingat di pulau ini juga hadir leluhur Homo erectus
soloensis, yakni Pithecanthropus erectus, sang missing link yang oleh antropolog dan
zoolog Jerman Ernst Haeckel dianggap peralihan sempurna antara kera dan manusia.

Kepunahan Homo erectus soloensis


Tidak ada yang tahu persisnya mengapa Homo e. soloensis tidak lagi hidup
di bumi. Hanya ada keterangan bahwa populasinya musnah di kala pleistosen.
[14]
Bagaimanapun, sebagai perbandingan, bolehlah kita menggunakan penelitian bertema
serupa untuk kasus Neanderthal. Sebab, antara Homo erectus soloensis dan Homo
neanderthalis memiliki kedekatan fisik.
Kemampuan Sosial yang Rendah
Sebuah teori menyebutkan, manusia-manusia primitif ini punah karena kurang
pandai bersosialisasi. Hal itu, melalui penelitian yang panjang, disimpulkan terjadi pada
satu spesies manusia purba, Neanderthal yang pernah hidup di wilayah Eropa, Asia
Tengah, dan Timur Tengah selama kurang-lebih 300.000 tahun.
Para pakar dari Universitas Oxford dan Museum Natural History
di London membandingkan 32 tengkorak manusia modern dengan 13 tengkorak
Neanderthal. Para ilmuwan itu mendapati bahwa proporsi otak Neanderthal yang
bertanggung jawab membangun hubungan sosial lebih kecil dibanding proporsi
otak primata dan manusia saat ini. Riset tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan
bertukar alias berdagang dari spesies ini sangat terbatas.
Dalam kondisi normal, keterbatasan tersebut barangkali bukanlah masalah besar.
Namun dalam situasi sulit, seperti zaman es, keterbatasan semacam itu meminimalkan
peluang untuk bekerja sama dengan grup lain, sehingga meminimalkan pula kesempatan
untuk menjadi penyintas.
Penyebaran Penyakit
Ada pula dugaan bahwa epidemi berperan besar dalam memusnahkan Homo
erectus soloensis dan keturunannya. Pasalnya, kasus serupa juga menimpa Neanderthal.
Menurut riset, Neanderthal memiliki kekebalan terbatas terhadap penyakit yang
belum pernah mereka idap. Sementara Homo sapiens relatif
lebih imun terhadap kuman, virus, bakteri, atau beragam paleopatologi. Jika relatif
mudah bagi patogen tertentu untuk melompat antar dua spesies, mungkin karena mereka
tinggal berdekatan, maka penularan sangat memungkinkan terjadi dan akibatnya fatal
bagi manusia-manusia Neanderthal. Hal yang serupa pun dapat terjadi terhadap Homo
soloensis.
Badai Meteor
Teori lain memaparkan, kepunahan manusia purba secara umum berkaitan dengan
badai meteor yang pernah menghantam bumi sekitar 12.000 tahun lalu. Peristiwa alam ini
diduga membinasakan para manusia purba, termasuk hewan-hewan raksasa
seperti dinosaurus dan mammoth. Para peneliti yakin tragedi tersebut memicu perubahan
suhu hingga mencapai 2.200 derajat celcius.
Sulit bagi makhluk-makhluk pada zaman itu untuk bertahan, baik saat meteor
menerjang maupun di saat kondisi alam mengalami kerusakan dan perubahan iklim yang
ekstrem setelahnya.
Memang, penyebab punahnya Homo erectus soloensis secara pasti masih menjadi
teka-teki dan perdebatan di kalangan ilmuwan. Bisa jadi karena mereka dimangsa
predator, kalah bersaing dengan manusia modern (Homo sapiens), epidemi, faktor
eksternal planet (seperti meteor), kurang pandai bersosialisasi, atau semua itu sekaligus.

4. Pithecanthropus Robustus
Pithecanthropus Robustus adalah salah satu dari banyak manusia purba yang
ditemukan di Indonesia. Manusia ini juga kerap dikenal sebagai Pithecanthropus
Mojokertensis karena ditemukan di daerah Mojokerto.

Manusia purba hidup ketika masa tulisan belum ditemukan, lebih sering disebut
sebagai masa pra aksara. Lebih tepatnya pada zaman batu tua atau

Karena itu, untuk mengetahui bagaimana ciri fisik dan kehidupan sosial yang
dimiliki, digunakanlah fosil dan bukti sejarah lainnya untuk mengungkap berbagai
kehidupan di masa mereka hidup.

Manusia purba yang satu ini ditemukan di Jawa dan hidup sekitar dua perempat
juta tahun yang lalu, pada zaman paleolitikum.

Pithecanthropus sendiri secara istilah artinya adalah manusia kera,


sedangkan robustus artinya memiliki badan yang kuat. Oleh karena itu Pithecanthropus
Robustus memiliki arti manusia kera yang memiliki badan yang kuat.

Pithecanthropus robustus ini juga kerap dikenal dengan nama lainnya


yaitu pithecanthropus mojokertensis atau manusia kera Mojokerto. Hal ini terjadi karena
fosil pertamanya ditemukan di darah Mojokerto.

Fosil dari pithecanthropus robustus dapat ditemukan di beberapa daerah yaitu

 Mojokerto
 Sragen
 Sambung Macan
 Trinil
 Sangiran
 Ngandong.

Manusia purba ini adalah jenis manusia purba yang hidup di jaman prasejarah, atau
lebih tepatnya pada zaman paleolitikum.

Sejarah Penemuan Pithecanthropus Robustus


Fosil manusia purba ini ditemukan pertama kali pada tahun 1936, ia merupakan hasil
temuan dari galian yang dilakukan oleh arkeolog yang dipimpin oleh Dufyes Tjokrohandoro dan
von Koeningswald.

Dufyes adalah seorang antropolog, dalam ekspedisinya, Dufyes juga ditemani seorang
kawannya, yakni Franz Weidenreich.

Penemuan manusia purba ini awalnya hanya fosil tengkorak kecil yang di duga masih
anak-anak di daerah Kepuh, Klagen, Mojokerto. Fosil tersebut ditemukan di lapisan bawah, atau
lapisan pucangan yang kemudian membuatnya diberi nama sesuai dengan daerah fosil tersebut
ditemukan, Pithecantropus Mojokertensis.

Pithecanthropus Robustus merupakan manusia purba yang paling tua dibandingkan


dengan jenis Pthecantropus lainya.

Ia disebut Pithecantropus karena ia masih manusia kera, belum mirip dengan manusia
modern saat ini. sedangkan Robustus artinya kuat karena ia memiliki tulang yang kekar dan
besar.

Karena ditemukan di daerah Mojokerto, maka ia lebih sering diingat dengan nama
keduanya, yakni Pithecantropus Mojokertensis untuk menyebut manusia purba yang ditemukan
di daerah lokal.

Fosil ini juga disebut demikian guna mengingat bahwa ia manusia purba yang ditemukan
di daerah Mojokerto.

Ciri fisik yang paling menonjol dari spesies manusia purba ini adalah hidung yang besar
dan masih menyerupai kera.

Hidung yang dimiliki juga paling besar jika dibandingkan dengan manusia purba lain
yang ditemukan pada saat itu. Mungkin yang bisa mengalahkannya hanya meganthropus
paleojavanicus.

Ciri Ciri Pithecanthropus Robustus


Pithecanthropus robustus memiliki beberapa ciri-ciri yang membedakannya dengan
manusia purba lain. Ciri-ciri tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu ciri fisik dan juga ciri sosial.

Ciri Fisik Pithecanthropus Robustus

Pithecanthropus robustus memiliki ciri-ciri fisik yang relatif unik dibandingkan dengan manusia
purba lain pada zamannya.

Manusia ini lebih mirip manusia modern dibandingkan dengan meganthropus, namun, masih
terlihat seperti kera jika dibandingakan dengan homo erectus atau homo sapiens.

Ciri-ciri fisik dari pithecanthropus robustus antara lain adalah

 Struktur tubuhnya tegap


 Bagian gigi dan gerahamnya
 Besar kepala dan volume otak
 Tulang tengkoraknya

Agar kalian lebih paham, kita akan membahas secara lebih detail ciri-ciri tersebut dibawah ini.

Struktur Tubuh
Pithecanthropus Robustus sudah memiliki tubuh yang relatif tegap, akan tetapi secara ukuran
dan bentuk tubuhnya tidak sebesar jenis manusia purba sebelumnya, yakni Meganthropus.

Tinggi tubuhnya mulai dari 165 cm sampai 180 cm, cukup tinggi untuk ukuran manusia purba.
Namun, lagi-lagi masih lebih kecil dibandingkan dengan meganthropus.
Bagian Gigi dan Geraham
Gigi dan geraham yang dimiliki oleh manusia purba ini cukup kuat, begitu pula dengan rahang
yang dimiliki.

Untuk bagian dagu, Mojokertensis ini masih belum memiliki dagu, tidak jauh berbeda dengan
dengan Meganthropus yang juga belum berdagu.

Besar Kepala dan Volume Otak


Kening yang dimiliki oleh pithecanthropus robustus ini masih terlihat menonjol, sedangkan
volume otaknya masih belum sebesar manusia purba setelahnya yaitu homo lainnya ataupun
homo sapiens.

Dari fosil yang ditemukan, volume otak yang dimiliki berkisar antara 750 cc sampai dengan
1.300 cc.

Tulang Tengkorak
Bagian terakhir dari ciri yang bisa ditemukan pada Pithecantropus Robustus adalah tulang
tengkoraknya.

Tulang atas pada bagian tengkorak berbentuk lonjong dan tebal. Pada bagian alat pengunyah dan
tengah, ototnya masih kecil.

Ciri-Ciri Sosial Pithecanthropus Robustus

Dari ciri-ciri fisik tersebut, kehidupan sosial yang dimiliki oleh manusia purba yang berasal dari
Mojokerto ini juga bisa terungkap.
Pola hidup, makanan yang dikonsumsi dan kecenderungan lainnya terungkap dalam ciri dan
corak hidup manusia purba ini. Berikut ini adalah ciri kehidupan sosial dari pithecanthropus
robustus.

 Memanfaatkan alam
 Berburu
 Mengumpulkan dan meramu makanan
 Belum bisa memasak
 Hidup dalam kelompok
 Kawin dengan sesama anggota kelompok

Agar kalian lebih paham, kita akan membahas secara lebih detail ciri-ciri kehidupan sosial
tersebut dibawah ini

Memanfaatkan Alam
Seperti manusia purba pada umumnya, pithecanthropus mojokertensis ini masih bergantung
dengan alam untuk hidup.

Semua aktivitas yang dilakukan masih berkaitan dengan alam, terutama untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan tempat tinggalnya.

Hidup Berburu
Pithecantropus Robustus mencari makan dengan cara berburu. Hal tersebut juga terlihat dengan
ditemukannya berbagai alat yang digunakan untuk menunjang proses perburuan.

Alat yang dipakai sebenarnya masih sangat sederhana, biasanya berupa tombak atau alat
perangkap yang dipasang sedemikian rupa.

Hasil alat lain yang menjadi kebudayaan manusia purba ini selain tombak adalah kapak
genggam, alat serpih, kapak perimbas, serta pahat genggam.

Semua alat tersebut sebagian besar dibuat dari tulang ataupun batu. Selain berburu, berbagai alat
tersebut juga digunakan untuk menguliti dan mengolah hewan buruan.

Mengumpulkan Makanan
Pithecantropus jenis ini juga mengumpulkan makanan disamping berburu untuk memenuhi
kebutuhan makanan sehari-hari.

Makanan yang dikumpulkan berasal dari alam, bukan hasil budidaya sendiri. Jika dirasa sulit
untuk mengumpulkan makanan, mereka melakukan perburuan atau berpindah ke tempat lain
yang lebih kaya akan sumber makanan.

Nomaden

Karena ia masih bergantung dengan keadaan alam yang ada di sekitarnya, hidup manusia purba
ini berpindah-pindah atau nomaden.
Kebiasaan tersebut terjadi karena Pithecantropus Robustus masih mengumpulkan dan berburu
makanan, bukan membudidayakan sendiri, sehingga harus senantiasa mencari daerah yang kaya
bahan makanan.

Belum Bisa Memasak


Terlihat dari gigi gerahamnya yang kuat, dapat ditarik kesimpulan bahwa makanan yang mereka
konsumsi masih alot dan keras.

Ini menunjukkan mereka belum bisa memasak dan mengolah makananya secara canggih. Disini,
diasumsikan pula bahwa mereka masih belum bisa memanfaatkan api dengan baik untuk
memasak makanan.

Hidup Berkelompok
Hidup nomaden dan berpindah tempat membuat manusia purba ini hidup berkelompok dengan
satu pimpinan atau ketua yang mengkoordinasikan pergerakan kelompok.

Kepemimpinan dalam kelompok ini cenderung diambil dari laki-laki dengan usia yang sudah
matang dan tua.

Tugas pemimpin adalah mengarahkan Pithecantropus Robustus untuk mencari tempat tinggal
dan menemukan lokasi yang menjadi sumber makanan.

Satu kelompok manusia purba ini umumnya terdiri dari empat atau 15 individu. Jumlah ini jika
ditaksir setara dengan satu atau dua keluarga kecil yang hidup berdampingan.

Kawin dengan Sesama Kelompok


Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, mereka juga melakukan perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan aturan kelompok. Mereka melakukan hubungan dengan kelompok lain guna
melanjutkan keturunan.

Dilihat dari bentuk tulangnya, kemungkinan besar manusia purba Pithecantropus Robustus tidak
melakukan perkawinan dengan jenis manusia purba jenis yang berbeda.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perkawinan dilakukan antar kelompok dari spesies
yang sama.

Demikianlah penjelasan mengenai manusia purba Pithecantropus Robustus atau kerap dikenal
juga sebagai Pithecantropus Mojokertensis.

Semoga informasi mengenai pengertian, sejarah, dan ciri fisik serta budaya dari manusia purba
tersebut bisa menambah pengetahuan Anda. Jika Anda tertarik untuk melihat bagaimana bentuk
fosil mereka, silahkan berkunjung ke museum purbakala di kota-kota terdekat.
5. Meganthropus Palaeojavanicu

Meganthropus paleojavanicus adalah salah satu jenis fosil manusia purba tertua yang
pernah ditemukan dalam sejarah bangsa Indonesia, tepatnya di Sangiran, Sragen, Jawa
Tengah. Maka, sebutan Meganthropus paleojavanicus berarti "Manusia Besar dari Jawa".
Sejarah mengenai Meganthropus paleojavanicus dapat diketahui melalui beberapa benda-
benda sisa yang ditemukan dan kemudian dijadikan sebagai deskripsi untuk menggambarkan
wujud manusia purba tersebut. Dalam artikel “Prasejarah Indonesia: Tinjauan Kronologi dan
Morfologi” karya Slamet Sujud Purnawan Jati yang terhimpun di jurnal Sejarah dan Budaya
(2013:23), ada penelitian paleoantropologi yang menyatakan bahwa di Jawa terdapat banyak
bukti fisik eksistensi manusia purba. Bukti tersebut didapatkan melalui fosil tulang yang
terkubur sejak zaman Pleistosen bawah, tengah, atas, hingga awal zaman Holosen. Salah satu
penemuannya adalah manusia purba jenis Meganthropus paleojavanicus yang diklaim berasal
dari masa paling tua, yakni Pleistosen bawah atau kira-kira 2.588.000 tahun yang lalu. Baca
juga: Sejarah Nenek Moyang Bangsa Indonesia Berasal dari Afrika? Mengenal Jenis-jenis
Historiografi dan Penjelasannya Apa Saja Jenis Manusia Purba yang Ditemukan di Indonesia?
Arti, Penemu, & Lokasi Ditemukan Meganthropus paleojavanicus disebut-sebut sebagai salah
satu jenis manusia purba yang paling tua di Indonesia. Dikutip dari Peradaban Nusantara
(2020) karya Tri Prasetyono, Meganthropus paleojavanicus berasal dari kata mega yang
berarti “besar”, anthropus yang berarti “manusia”, palaeo yang berarti “tertua”, dan Java atau
"Jawa". Soejono dalam Sejarah Nasional Indonesia I (2010) menambahkan, Meganthropus
paleojavanicus telah hidup sekitar 2,5 tahun yang lalu. Penemu fosil Meganthropus
paleojavanicus adalah G.H.R von Koenigswald pada sekitar tahun 1936. Tahun 1937, dinukil
dari laman Kemendikbud, arkelog lain bernama Franz Weidenreich melakukan perjalanan ke
Jawa dan bergabung dengan von Koenigswald. Baca juga: Jenis Sumber Sejarah Berdasarkan
Sifat dan Bentuknya, Apa Saja? Apa Saja Pengertian dan Definisi Ilmu Sejarah Menurut Para
Ahli? Pengertian Historiografi, Metode, & Tahapan Penelitian Sejarah Fosil Meganthropus
paleojavanicus ditemukan di situs Sangiran, tepatnya formasi Pucangan. Sangiran adalah situs
purbakala yang terletak di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Susunan tulang fosil
yang ditemukan meliputi tulang rahang atas dan bawah, serta beberapa gigi yang terlepas.
Dalam buku Sejarah Indonesia (2014) yang disusun oleh Amurwani dan kawan-kawan
disebutkan, berdasarkan bentuknya yang besar, maka Meganthropus paleojavanicus atau
"manusia besar (raksasa) dari Jawa" ditetapkan untuk menamakan temuan fosil manusia purba
ini. Selain menetapkan nama, para peneliti juga menginformasikan jenis makanan
Meganthropus paleojavanicus, yakni tumbuh-tumbuhan. Baca juga: Sejarah Pertempuran
Surabaya: Latar Belakang, Kronologi, & Dampak Sejarah Pemberontakan DI/TII Kahar
Muzakkar Sejarah Palagan Ambarawa: Latar Belakang & Tokoh Pertempuran Ciri-ciri
Meganthropus Paleojavanicus Berbadan tegap dengan tonjolan di belakang kepala. Bertulang
pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok. Tidak memiliki dagu. Memiliki rahang dan
otot gigi yang kuat serta gigi geraham berukuran besar Memakan jenis tumbuh-tumbuhan.

Baca selengkapnya di artikel "Arti Meganthropus Paleojavanicus: Sejarah, Penemu, Ciri, &
Karakter"

6. Homo Floresiensis

Penemuan fosil Homo Floresiensis dipublikasikan pada tahun 2004. Publikasi


tersebut segera jadi buah bibir di komunitas ilmuwan dunia, dan bahkan memicu
perdebatan. Hasil riset gabungan sejumlah peneliti Indonesia dan Australia itu
memberikan kisah baru tentang perjalanan evolusi manusia pada kurun waktu 18.000
hingga 30.000 tahun silam. Temuan fosil Homo Floresiensis juga dianggap memberikan
titik terang dalam kajian tentang asal-usul manusia. Berdasarkan catatan Amurwani Dwi
dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2014:28), Homo Floresiensis diyakini oleh
sebagian peneliti bisa menunjukkan jejak sejarah asal-usul kehidupan manusia modern di
Indonesia.
Namun, asumsi tersebut belum mendapat jawaban pasti mengingat Homo
Floresiensis berukuran lebih kecil dari manusia modern, yakni dengan tinggi hanya
sekitar 1 meter. Karena memiliki tubuh pendek, Homo Floresiensis mendapat julukan
populer Hobbit dari Liang Bua. Dalam Modul Sejarah terbitan Kemdikbud (2020: 13-14)
diterangkan bahwa hingga saat ini masih ada perdebatan di kalangan ahli mengenai kapan
sebenarnya Homo Floresiensis berkembang. Sebagian ilmuwan meyakini Homo
Floresiensis adalah wujud evolusi dari Pithecanthropus Erectus. Namun, sebagian ahli
lainnya menduga keduanya hidup berdampingan pada periode yang sama. Selain itu, ada
opini yang menjelaskan bahwa Homo Floresiensis hidup satu zaman dengan Homo
Sapiens, makhluk purba yang diyakini menjadi cikal bakal manusia modern saat ini.
Lokasi Penemuan Homo Floresiensis Lokasi penemuan fosil Homo Floresiensis di gua
Liang Bua di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Oleh karena itu, manusia purba ini kerap pula disebut Manusia Liang Bua. Situs
Liang Bua terletak sekitar 15 kilometer sebelah utara Ruteng, ibu kota Kabupaten
Manggarai, di Flores Barat. Merujuk informasi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(Puslit Arkenas), Kemdikbud, Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di
daerah perbukitan karst di Manggarai. Nama Liang Bua yang disematkan pada situs di
ketinggian 500-an meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut berasa dari bahasa
Manggarai-Flores. Kata "Liang" berarti gua, sementara "Bua" bermakna dingin. Jadi,
liang bua artinya adalah gua yang dingin. Baca juga: Sejarah Fosil Homo Wajakensis:
Penemu, Lokasi, dan Ciri-ciri Dari segi morfologi, Liang Bua memang memiliki banyak
ciri yang membuat tempat tersebut layak menjadi hunian manusia purba pada masa
prasejarah. Berdasarkan data Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ciri-ciri itu terlihat dari
ukuran gua Liang Bua yang dalam, lebar, sekaligus memiliki atap tinggi. Lantai gua
Liang Bua juga luas dan relatif datar sehingga memungkinkan untuk menjadi hunian
dalam rentang waktu lama. Tambahan lagi, mulut gua Liang Bua menghadap ke timur
laut sehingga memungkinkan tempat tersebut rutin mendapatkan sinar matahari dan
memiliki sirkulasi udara yang baik. Kedua kondisi itu melengkapi kelayakan gua Liang
Bua menjadi tempat tinggal Homo Floresiensis. Manusia purba penghuni gua Liang Bua
bahkan mungkin tidak perlu jauh untuk mencari air. Sebab, lokasi Liang Bua tak jauh
dari aliran sungai. Terdapat 2 aliran kali yang berdekatan dengan gua itu, yakni Sungai
Wae Racang dan Wae Mulu. Penemu Homo Floresiensis Homo Floresiensis ditemukan
pertama kali pada 2003 berkat penggalian di gua Liang Bua yang dilakukan oleh R.P.
Soejono dan Mike J. Morwood. Saat itu, Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional bekerja sama dengan Mike dari University of New England, Australia. Di
Flores, Nusa Tenggara Timur, gua Liang Bua kini dianggap menjadi situs prasejarah. Di
tempat tersebut, fosil Homo Floresiensis yang ditemukan dalam bentuk enam individu
manusia. Selain itu, di sana juga terdapat tulang bekas makhluk komodo dan gajah purba.
Baca juga: Sejarah Fosil Pithecanthropus Soloensis: Penemu, Lokasi, Ciri-ciri Temuan
fosil pada 2003 hampir sama dengan yang ditemukan Soejono dalam proyek sebelumnya,
yakni ketika tahun 1970. Jenis ini berbeda dari Homo Sapiens lain karena ukuran
tubuhnya lebih kecil. Akhirnya, sebutannya ditetapkan menjadi Homo Floresiensis, jenis
baru gen Homo. Penemuan fosil Homo Floresiensis di situs Liang Bua pada tahun 2003
sebenarnya merupakan buah dari proses penelitian bertahap dalam rentang waktu puluhan
tahun, sejak dasawarasa 1960-an. Penelitian di situs Liang Bua pertama kali dilakukan
pada sekitar tahun 1965, yakni oleh Theodore Verhoeven, seorang Pastor dari Belanda
yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores Tengah, NTT. Riset di
situs yang sama lalu dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit
Arkenas) pada 1978 – 1989. Pada periode tersebut, penelitian di Liang Bua dipimpin oleh
Profesor Soejono, yang kala itu menjabat Kepala Puslit Arkenas. Setelah sempat vakum
selama 12 tahun, penelitian di situs Liang Bua kembali dilanjutkan pada tahun 2001-
2004. Riset kali ini dijalankan atas hasil kerja sama Puslit Arkenas dengan kampus dari
Australia, Universitas New England. Kerja sama penelitian sempat berlanjut pada kurun
tahun 2007-2009 antara Puslit Arkenas dengan Universitas Wollongong, juga kampus
dari Australia. Kemudian, kerja sama riset di situs Liang Bua juga dijalin oleh Puslit
Arkenas dengan Smithsonian Institution, Washington DC, USA, sejak 2010 hingga
beberapa tahun kemudian. Ciri-ciri Homo Floresiensis Banyak temuan yang penting bagi
ilmu pengetahuan dan penyelidikan masa prasejarah dari hasil riset panjang di Liang Bua.
Namun, yang paling menarik memang fosil Homo Floresiensis, temuan pada tahun 2003.
Fosil Kerangka manusia purba berjuluk Hobbit ini ditemukan pada lapisan Plestosen
Akhir, tepatnya di kedalaman 5,9 meter. Para peneliti situs Liang Bua menemukan
setidaknya kerangka 9 individu Homo Floresiensis di lapisan tersebut. Akan tetapi, dari 9
kerangka individu Homo Flosiensis tersebut hanya satu yang ditemukan dalam kondisi
nyaris utuh, yakni fosil dengan kode Liang Bua 1/LB1. Baca juga: Fosil Pithecanthropus
Mojokertensis: Sejarah, Arti, Penemu, & Ciri Dari segi fisik, kerangka yang nyaris utuh
tersebut diperkirakan milik manusia Homo Floresiensis, yang berjenis kelamin
perempuan, dan sempat hidup hingga berusia 25-30 tahun. Ciri fisik lainnya adalah
memiliki tinggi badan hanya 106 cm (1,06 meter), tulang kaki dan tangan sangat kekar,
bagian tengkorak berciri arkaik seperti tulang kening menonjol serta dahi miring ke
belakang. Volume otak Homo Floresiensis, berdasarkan temuan kerangka di Liang Bua,
ditaksir sekitar 380 cm kubik (diukur dengan mustard seed) dan 417 cm kubik (diukur
digital dengan CT scan). Homo Floresiensis diketahui pula memiliki bagian wajah
menjorok ke depan (prognath) dengan rahang yang kekar, serta tidak mempunyai dagu.
Daftar Ciri Homo Floresiensis Non-Fisik Hidup dengan berburu, beternak, dan bercocok
tanam. Ketika berburu, mereka menggunakan batu, tulang, dan kayu yang telah
dilancipkan. Mereka bisa mengasah batu, membuat gerabah, dan tidak nomaden. Sangat
cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Telah menggunakan pakaian yang dibuat
dengan menggunakan kulit hewan. Sudah mengenal kepercayaan dan sistem penguburan
mayat. Daftar Ciri Fisik Homo Floresiensis Memiliki tinggi kisaran 1 meter. Dahi
bentuknya sempit dan tidak menonjol. Kerangka kepala (tengkorak) kecil. Bentuk
otaknya kecil dengan volume sebesar 380 cc. Berat badan hanya sekitar 25 kg. Tulang
rahang terlihat menonjol. Berapa Usia Homo Floresiensis? Hasil analisis dengan 7 teknik
berbeda menyimpulkan kerangka manusia purba di situs Liang Bua berusia sekitar
13.000 - 12.000 tahun yang lalu. Namun, kesimpulan itu lantas dievaluasi oleh hasil riset
Puslit Arkenas bersama dengan Universitas Wollongong dan Smithsonian Institute, yang
dikerjakan pada 2007-2014. Analisis ulang terhadap usia tulang Homo Floresiensis dan
sedimen yang mengandung fosil di situs Liang Bua memuat dua kesimpulan. Baca juga:
Temuan Manusia Purba di Brebes Bisa Ubah Materi Sejarah di Sekolah Pertama,
berdasarkan analisis sedimen, situs Liang Bua diketahui berusia 60.000 – 100.000 tahun.
Adapun alat batu yang dipakai Homo Floresiensis diperkirakan berumur 50 ribu – 190
ribu tahun. Kemudian, didapati pula temuan yang menunjukkan bahwa ada sejumlah
hewan yang turut punah beserta Homo Floresiensis, yakni gajah kecil, burung Marabou
raksasa, burung Nazar, dan komodo. Sayangnya, belum ada petunjuk jelas yang
menerangkan penyebab kepunahan Hobbit dari Liang Bua tersebut. Di sisi lain, masih
ada perdebatan di kalangan ahli mengenai siapa sebenarnya Homo Floresiensis. Sebagian
ahli menduga makhluk purba ini merupakan jenis spesies manusia baru yang mempunyai
ciri-ciri kombinasi antara Homo erectus dan manusia modern. Sebaliknya, ada sejumlah
kelompok ilmuwan lainnya yang menganggap kerangka dari situs Liang Bua adalah jenis
manusia modern seperti yang hidup pada masa sekarang, tapi mengalami cedera atau
patalogis serta memiliki penyakit microcephaly (kelainan otak) sehingga jadi kerdil.
7. Meganthropus Palaeojavanicus
Jenis manusia purba ini ditemukan pada sekitar tahun 1936 di kawasan Sangiran.
Jenis manusia ini diperkirakan hidup sekitar satu hingga dua juta tahun yang lalu. Fosil
dari manusia Meganthropus ini adalah manusia yang memiliki tubuh tinggi yang
ditemukan oleh arkeolog asal Belanda, Van Koenigswald.
Ciri-ciri dari manusia purba ini memiliki tulang pipi yang tebal, otot rahang kuat, bentuk
tubuh yang tegap, tulang kening yang menonjol, tak memiliki dagu serta memiliki bentuk
kepala dengan tonjolan di belakang yang tajam.

8. Pithecanthropus Erectus
Jenis-jenis manusia purba selanjutnya adalah Pithecanthropus Erectus yang
diperkirakan hidup di Indonesia pada satu hingga dua juta tahun yang lalu. Fosil
pertamanya ditemukan pada fosil bagian geraham di daerah Lembah Bengawan Solo,
daerah Trinil. Penemunya ialah Eugene Dubois tahun 1890.
Pithecanthropus Erectus memiliki ciri – ciri tengkuk dan geraham (gigi) yang
kuat, tubuhnya belum tegap sempurna, hidungnya tebal, dahinya lebih menonjol dan
lebar, rata-rata tingginya 165 cm sampai 180 cm. Memiliki otak sekitar 750 cc hingga
1350 cc.
9. Pithecanthropus Soloensis
Fosil manusia purba ini ditemukan di daerah Ngandong, Solo. Diberi nama
Pithecanthropus Soloensis karena ditemukan di Solo. Ciri-ciri manusia purba ini yaitu
memiliki tulang belakang menonjol, rahang bawah yang kuat, hidungnya lebar dan tulang
pipi yang kuat serta menonjol.
Pithecanthropus Soloeinsis memiliki perkiraan tinggi sekitar 165 hingga 180 cm.
Ia adalah pemakan tumbuhan dan kerap juga berburu hewan untuk dijadikan santapan.
Fosilnya ditemukan sekitar tahun 1931 hingga 1933 oleh Openorth dan Van
Koenigswald.

10. Pithecanthropus Mojokertensis


Tak hanya di Solo, di daerah Mojokerto juga ditemukan fosil manusia purba. Van
Koenigswald kembali menemukan fosil pada tahun 1939 di Mojokerto, Jawa Timur.
Pertama kali ia menemukan fosil manusia purba yang diperkirakan masih berusia 6
tahun. Lalu tahun 1936, Widenreich menemukan fosil lagi di kota yang sama.
Ciri-ciri Pithecanthropus Mojokertensis yaitu memiliki tulang tengkorak yang
tebal, tingginya sekitar 165 sampai 180 cm, tak memiliki dagu dan memiliki badan tegap.
Saat penemuan, fosil Pithecanthropus Mojokertensis hancur saat sedang proses
penggalian.

11. Homo Floresiensis


Menggunakan sebutan ‘homo’ karena pada manusia purba ini telah memiliki
kebiasaan yang hampir mirip dengan manusia modern saat ini. Mereka telah mengerti
berbagai kegiatan dan disebut juga sebagai mahkluk ekonomi.
Homo Floresiensis ditemukan di Pulau Flores Nusa Tengara dan diperkirakan
hidup 12 ribu tahun yang lalu. Jenis manusia purba ini telah mampu hidup berdampingan
dengan jenis-jenis manusia purba lainnya. Ciri-ciri manusia purba ini hanya memiliki
tinggi badan satu meter, bentuk dahinya sempit dan tak menonjol, tulang rahangnya
menonjol, volume otak 380 cc serta tengkorak kepalanya yang kecil.
12. Homo Wajakensis
Manusia purba Homo Wajakensis hidup di zaman yang lebih modern dari
sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan penemuan peralatan yang bersamaan dengan fosil
ini. Eugene Dubois menemukan fosil Homo Wajakensis di daerah Campur Darat
Tulungagung Jawa Timur.
Ciri-cirinya ia memiliki bentuk wajah dan hidung datar dan lebar, tulang pipinya
menonjol ke samping, letak hidung dan mulut sedikit jauh, tinggi 130 sampai 210 cm dan
mampu berjalan tegap.

13. Homo Soloensis


Selain Pitecanthropus (manusia kera), di Solo juga ditemukan fosil Homo
Soloensis. Dikategorikan ‘homo’ karena manusia purba ini tergolong lebih cerdas.
Weidenrich dan Koenigswald menemukannya tahun 1931. Mereka diperkirakan hidup
sekitar 300.000 sampai 900.000 tahun yang lalu.
Ciri-ciri manusia purba ini memiliki volume otak 1000cc hingaa 1300 cc, tinggi
badannya mencapai 130 hingga 210 cm, tubuhnya tegap dan memiliki struktur tulang
wajah yang tidak mirip dengan manusia kera.

14. Homo Sapiens


Pasti kalian sudah tak asing dengan nama manusia purba satu ini. Jenis manusia
purba ini adalah jenis manusia purba yang usianya paling muda ditemukan dan mendekati
seperti manusia modern saat ini.
Ia telah mengenal kehidupan sosial dan berpikir cerdas. Bentuknya juga mirip
dengan manusia seperti bentuk tengkuk yang sudah kecil, tulang wajah tidak menonjol,
memiliki dagu dan tulang rahang yang tidak terlalu kuat dan volume otak antara 1000
sampai 1200 cc.

Anda mungkin juga menyukai