Anda di halaman 1dari 6

Manusia Purba di Indonesia

Kehidupan manusia purba tersebar di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Fosil peninggalan
zaman purbakala banyak ditemukan di Nusantara. Fosil tersebut meliputi tengkorak, badan, dan
kaki. Fosil tengkorak dan kapasitas tempurung kepala bisa menunjukan kemampuan berpikir
manusia pada saat itu dibandingkan dengan manusia modern. Hal tersebut juga berlaku untuk
bentuk tulang rahang, lengan, dan kaki yang bisa dibandingkan dengan bentuk tulang manusia
modern atau dengan kera. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa manusia purba memiliki
perbedaan dengan manusia modern saat ini. Namun, untuk jenis manusia purba tertentu ada yang
mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi dibandingkan kera.

Setidaknya, terdapat beberapa fosil manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia. Berikut
ulasannya.

1. Meganthropus palaeojavanicus

Fosil tulang rahang bawah Meganthropus palaeojavanicus ditemukan oleh peneliti kelahiran
Jerman-Belanda bernama Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1941 di dekat Desa
Sangiran, Lembah Sungai Bengawan Solo. Meganthropus temuan von Koeningswald berasal
dari masa Pleistosen awal (lapisan bawah). Meganthropus atau kerap disebut dengan Manusia
Sangiran adalah manusia purba tertua yang ditemukan di Indonesia. Ciri manusia purba ini yaitu
memiliki badan besar, kening menonjol, dan tulang pipi menebal. Rahang dan giginya besar.
Kira-kira hampir sama ukurannya dengan rahang gorila. Berdasarkan umur lapisan tanah tempat
penemuan, diperkirakan fosil yang ditemukan itu berumur 1.000.000–2.000.000 tahun.
Meganthropus diperkirakan hidup dengan food gathering (mengumpulkan makanan). Makanan
utamanya tumbuh-tumbuhan. Sebab, mereka belum mengenal api.

Berikut ciri-ciri Meganthropus:

 Berbadan tegap dengan tonjolan tajam di belakang kepala;


 Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok;
 Tidak berdagu;
 Otot kunyah, gigi, dan rahang besar dan kuat.

Dalam genus manusia, spesies ini dinamai Meganthropus paleojavanicus, yang berarti manusia
besar tertua yang berasal dari Jawa. Mega artinya besar, anthropus berarti manusia, palaeo
berarti tua, dan javanicus artinya Jawa. Namun, banyak juga ahli yang kemudian
mengklasifikasikannya sebagai Homo erectus paleojavanicus.
2. Pithecanthropus mojokertensis

Jenis manusia purba lainnya yang juga ditemukan di Indonesia adalah Pithecanthropus robustus
dan Pithecanthropus mojokertensis. Manusia purba ini ditemukan oleh Tjokrohandojo atau
Andojo yang bekerja di bawah Ralph von Koenigswald pada 1936 di Lembah Sungai Brantas.
Manusia purba ini merupakan generasi lebih muda dibandingkan Meganthropus
palaeojavanicus. Jenis manusia purba ini dianggap mirip kera, sehingga disebut pithe yang
artinya kera. Andojo awalnya mengira tengkorak itu milik orang utan, sehingga dinamai
Pithecanthropus atau manusia kera. Namun, von Koeningswald mengenali fosil itu sebagai
tengkorak manusia purba. Fosil tersebut berasal dari Pleistosen awal (lapisan bawah) dan
dinamai Pithecanthropus mojokertensis. Jenis ini adalah Pithecanthropus yang tertua.

Berdasarkan umur lapisan tanah, yakni lapisan bawah dan tengah, diperkirakan Pithecanthropus
hidup antara 30.000 sampai 2.000.000 tahun lalu. Pithecanthropus hidup secara berkelompok
dan hunting and food gathering (berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan makanan).
Pithecanthropus sudah menggunakan alat untuk mencari makan. Alatnya sangat sederhana,
yakni batu atau kayu yang ditemukan. Beberapa contoh alat dari batu yang digunakan
Pithecanthropus adalah kapak genggam, kapak perimbas, dan kapak penetak. Alat-alat ini
banyak ditemukan di Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Kendati sudah menggunakan
alat, mereka belum mengolah atau memasak makanan.

Penemuan yang kontroversial ini menimbulkan perdebatan soal klasifikasi manusia purba. Von
Koeningswald pun mengubah nama spesies dari Pithecanthropus mojokertensis menjadi Homo
mojokertensis.

Berikut ciri-ciri Pithecantropus mojokertensis:

 Berbadan tegak, tetapi tidak setegap Meganthropus;


 Tinggi badannya sekitar 165–180 sentimeter;
 Tulang rahang dan geraham kuat;
 Bagian kening menonjol;
 Hidung lebar dan tidak berdagu;
 Volume otak belum sempurna, kapasitasnya hanya 750–1.300 cc;
 Tulang atap tengkorak tebal dan berbentuk lonjong;
 Organ pengunyah dan otot tengkuk sudah mengecil;
 Otot kunyah tidak sekuat Meganthropus;
 Makanannya masih kasar atau mentah dengan sedikit pengolahan;
 Makanannya bervariasi, yaitu tumbuhan dan daging hewan buruan.
3. Pithecanthropus erectus

Kelompok manusia praaksara ini ditemukan oleh Eugene Dubosi pada 1890–1892 di Desa Trinil,
Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Pithecanthropus erectus diketahui hidup sekitar 1 juta
sampai 600.000 tahun lalu. Berdasarkan temuan Dubosi itu, dapat diketahui ciri-ciri manusia
purba ini, yaitu:

 Berbadan tegap dengan alat pengunyah yang kuat;


 Tinggi badan berkisar 165–170 sentimeter dengan berat badan sekitar 100 kilogram;
 Berjalan tegak;
 Makanannya masih kasar dengan sedikit pengolahan;
 Mempunyai kemampuan berpikir yang masih rendah;
 Volume otak kepala masih sebesar 900 cc, sedangkan volume otak manusia modern
sudah lebih dari 1000 cc dan volume otak kera tertinggi hanya 600 cc.

4. Homo erectus soloensis

Manusia purba lainnya yang ditemukan di Indonesia adalah Homo soloensis. Seperti namanya,
fosil manusia purba ini ditemukan di sepanjang Bengawan Solo (Ngandong, Sambungmacan,
dan Sangiran) oleh C. Ter Haar, Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, dan W.F.F.
Oppernoort pada 1931–1933. Homo soloensis diperkirakan hidup dari 900.000 sampai 200.00
tahun lalu.

Von Koenigswald di daerah tersebut banyak menemukan fosil-fosil dan artefak-artefak


prasejarah, antara lain tengkorak anak-anak, hewan menyusui, dan aneka perkakas. Dia
kemudian membagi lembah Bengawan Solo menjadi tiga lapisan, yaitu:

 Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), tempat ditemukannya Pithecanthropus robustus, Homo


mojokertensis, dan Meganthropus paleojavanicus;
 Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus;
 Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), tempat ditemukannya Homo soloensis dan Homo
wajakensis.

Untuk Homo e. soloensis, von Koenigswald menemukan 11 fosil tengkorak. Sebagian telah
hancur, tetapi terdapat beberapa yang masih layak menjadi objek penelitian lebih lanjut,
meskipun tulang rahang dan gigi kesebelas tengkorak itu sudah tidak ada.

Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus. Mereka bahkan telah layak disebut sebagai homo
(manusia). Diperkirakan, makhluk ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis
atau Homo mojokertensis.

5. Homo wajakensis

Sementara itu, Homo wajakensis ditemukan oleh Von Rietschoten di Desa Wajak pada 1888 dan
Eugene Dubois pada 1889. Manusia purba ini hidup sekitar 60.000 sampai 25.00 tahun lalu.
Manusia Wajak diduga sebagai nenek moyang bangsa asli Australia (bangsa Aborigin). Kedua
jenis manusia purba ini disebut homo karena memiliki kesamaan seperti manusia modern saat
ini. Volume otaknya juga sudah berkembang, bahkan mencapai 1300 cc.

Fosil yang ditemukan berupa tulang paha, rahang atas, rahang bawah, tulang kering, dan fragmen
tengkorak dengan volume sekitar 1.600 cc. Temuan Rietschoten ini digolongkan sebagai Homo
sapiens pertama di Asia. Fosil tersebut kemudian diteliti oleh Eugene Dubois.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa manusia purba ini sudah bisa membuat alat dari batu
dan tulang. Tak hanya itu, Homo wajakensis juga diketahui sudah mengetahui cara memasak.

Dari segi fisik, ciri-ciri Homo sapiens ini sebagai berikut:

 Wajah datar dan lebar;


 Hidung lebar dengan bagian mulut menonjol;
 Berat badan sekitar 30–150 kilogram;
 Tinggi badan kurang lebih 130–210 sentimeter;
 Otak sudah lebih berkembang;

Tengkorak dari Homo wajakensis diketahui mempunyai persamaan dengan tengkorak


masyarakat asli Aborigin di Australia, sehingga E. Dubois memperkirakan jenis Homo sapiens
ini dikelompokan dalam manusia modern yang masuk ras Australoide. Fosil dari Homo
wajakensis mempunyai persamaan dengan manusia Niah di Sarawak (Malaysia) dan manusia
Tabon di Palawan (Filipina).

Berbicara tentang Homo wajakensis, kita akan selalu diingatkan pula kepada Eugene Dubois,
seorang dokter asal Belanda yang memiliki keinginan keras untuk datang ke Hindia Belanda
(Indonesia) untuk membuktikan atau mencari bukti-bukti akan teori evolusi Charles Darwin
seperti yang tertuang dalam bukunya berjudul The Origin Of Species, walaupun saat itu masih
sarat akan polemik-akademik.
Dengan mendaftar sebagai tentara Belanda untuk tenaga medis, bersama istri dan anaknya,
Dubois akhirnya dikirim ke Sumatra. Dubois selalu mencari waktu untuk melakukan “misi
utamanya”, yaitu mencari fosil dan sisa-sisa nenek moyang manusia di sela-sela waktunya
bertugas sebagai dokter tentara Belanda. Sayangnya, ekspedisi Sumatra rupanya belum berhasil
dan dia mengalihkan perhatiannya ke Jawa. Hal ini juga dipicu adanya informasi tentang temuan
fosil tulang-belulang manusia di Desa Campurdarat, Kabupaten Tulungagung yang kemudian
dikenal sebagai fosil Wajak I. Berdasarkan data tersebut, Dubois melakukan penggalian di
sekitar tempat penemuan fosil Wajak I dan berhasil menemukan fosil manusia Wajak II.

Selain tulang-belulang dari Campurdarat di atas, temuan penting Eugene Dubois selama
penelitiannya di Jawa adalah beberapa fosil tulang hominid yang dia pastikan sebagai makhluk
nenek moyang manusia yang selama ini dicari-cari oleh para pengikut teori evolusi Darwin.
Temuan spesies hominid yang dinamakan Pithecanthropus erectus yang kemudian disebut Homo
erectus inilah missing link yang berhasil ditemukannya di Trinil, Madiun, Jawa Timur, tidak jauh
dari aliran Bengawan Solo. Temuan yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan yang
dimaksud adalah fosil cranium, femur, dan  gigi hominid yang dipastikan dari satu individu yang
sama. Sebagai seorang ahli anatomi, Dubois berhasil merekonstruksi dan menyimpulkan bahwa
cranium, gigi, dan tulang paha tersebut milik hominid yang telah berjalan tegak, walaupun
bentuk muka menyerupai kera. Dalam publikasinya disebutkan bahwa hominid tersebut adalah
makhluk manusia kera yang berjalan tegak.

Teuku Jacob dalam penelitiannya berjudul Evolution of Man in Southeast Asia (1977)
menjelaskan bahwa manusia Wajak yang diklasifikasikan oleh Dubois sebagai proto-Australoid,
adalah hasil campuran antara ras Australomelanesid dan ras Mongoloid. Meskipun penanggalan
absolut fosil manusia Wajak masih belum ditemukan, tetapi jika kita mengacu kepada
pernyataan Teuku Jacob tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa kedatangan ras Mongoloid di
Jawa kira-kira berlangsung setidaknya 10.000 tahun yang lalu.

Hal ini sesuai dengan hasil analisis penanggalan C-14 dari fosil fauna Wajak. Sementara itu,
berdasarkan posisi stratigrafi situs diketahui secara relatif bahwa manusia Wajak diperhitungkan
telah ada sejak antara 40.000–25.000 tahun yang lalu.

Manusia Wajak ras Australomelanesid sisa-sisanya masih ditemukan di Australia. Inilah yang
menyebabkan sampel yang digunakan untuk menelitinya adalah kepulauan Melanesia, satu
kawasan di Pasifik yang dekat dengan Benua Australia. Kepulauan Melanesia meliputi beberapa
kelompok pulau, yaitu Papua Nugini, Britania Baru, Kepulauan Bismarck, Pulau Irlandia Baru,
Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, serta pulau-pulau kecil lainnya yang seluruhnya berjumlah
sekitar 341 gugusan.

Pembagian wilayah antara Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia adalah berdasarkan ciri budaya
atau kulturalnya. Secara kultural, di antara ketiga wilayah tersebut Melanesia yang paling dekat
dengan Indonesia. Oleh karena itu, di dalam mengkaji prasejarah Melanesia, kita tidak akan
lepas dari konteks proses migrasi bangsa-bangsa yang sekarang ini mendiami beberapa wilayah
seperti Asia Tenggara, Oseania, dan Australia.

6. Homo mojokertensis
Manusia purba yang ditemukan di Indonesia berikutnya yaitu Homo mojokertensis. Kelompok
manusia ini ditemukan oleh Ralph von Koenigswald pada 1936 di Mojokerto. Fosil yang
ditemukan adalah tengkorak anak-anak yang usianya di bawah lima tahun. Penemu manusia
purba ini memperkirakan fosil Homo mojokertensis sebagai fosil dari anak-anak
Pithecanthropus.

7. Homo floresiensis (Manusia Liang Bua)

Homo floresiensis ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada September 2003.
Manusia Liang Bua dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama sesuai
dengan tempat ditemukannya, yaitu di Liang Bua, Flores.

Adapun ciri ciri Homo sapiens yang ditemukan di Flores sebagai berikut:

 Kepala dan badan mempunyai ukuran kecil;


 Ukuran otak juga kecil;
 Volume otak sekitar 380 cc;
 Rahang menonjol atau berdahi sempit;
 Berat badan sekitar 25 kilogram;
 Tinggi badan sekitar 1,06 meter.

Pengelompokan Homo floresensis sebagai manusia modern masih menjadi perdebatan banyak
ahli. Sebagian menyimpulkan jenis ini adalah hasil evolusi Pithecantropus, tetapi ahli lain
menduga Homo floresensis hidup berdampingan atau bahkan satu zaman dengan Homo sapiens.

Manusia purba ini mirip hobbit, ras manusia karangan J.R.R Tolkien dalam film The Lord of the
Ring dan The Hobbit. Para ilmuwan menduga Homo floresiensis cebol karena pengaruh
lingkungan. Posisi mereka yang terkurung di Pulau Flores selama ribuan tahun membuat
keturunan mereka semakin lama semakin kecil.

Anda mungkin juga menyukai