7 Manusia Purba yang Ditemukan di Indonesia – Manusia purba adalah manusia yang hidup pada
era praaksara, yaitu saat tulisan belum ditemukan. Bagaimanakah cara untuk mengetahui kehidupan
manusia pada zaman tersebut? Setidaknya, ada dua cara untuk mengetahui kehidupan manusia zaman
praaksara.
Pertama, yaitu melalui sisa manusia, tumbuhan, dan hewan yang sudah membatu atau yang disebut
sebagai fosil. Kedua, yaitu melalui benda peninggalan sebagai hasil budaya manusia pada saat itu,
misalnya alat rumah tangga, bangunan, artefak, perhiasan, senjata, dan fosil manusia purba yang
sudah ditemukan.
Manusia purba diperkirakan hidup pada zaman Pleistosen. Pleistosen adalah era yang berlangsung
2.580.000 hingga 11.700 tahun yang lalu. Era pleistosen dibagi lagi menjadi tiga, yakni Pleistosen
awal (lapisan bawah), Pleistosen tengah, dan Pleistosen akhir (lapisan atas).
Para peneliti menemukan berbagai fosil manusia yang hidup di masing-masing periode itu. Ada
beberapa jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia. Manusia-manusia purba yang ditemukan
di Indonesia kerap disebut sebagai Java man atau Manusia Jawa.
Manusia Purba di Indonesia
Kehidupan manusia purba tersebar di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Fosil peninggalan zaman
purbakala banyak ditemukan di Nusantara. Fosil tersebut meliputi tengkorak, badan, dan kaki. Fosil
tengkorak dan kapasitas tempurung kepala bisa menunjukan kemampuan berpikir manusia pada saat
itu dibandingkan dengan manusia modern. Hal tersebut juga berlaku untuk bentuk tulang rahang,
lengan, dan kaki yang bisa dibandingkan dengan bentuk tulang manusia modern atau dengan kera.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa manusia purba memiliki perbedaan dengan manusia modern
saat ini. Namun, untuk jenis manusia purba tertentu ada yang mempunyai tingkat kecerdasan lebih
tinggi dibandingkan kera.
Setidaknya, terdapat beberapa fosil manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia. Berikut
ulasannya.
1. Meganthropus palaeojavanicus
Fosil tulang rahang bawah Meganthropus palaeojavanicus ditemukan oleh peneliti kelahiran Jerman-
Belanda bernama Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1941 di dekat Desa Sangiran,
Lembah Sungai Bengawan Solo. Meganthropus temuan von Koeningswald berasal dari masa
Pleistosen awal (lapisan bawah). Meganthropus atau kerap disebut dengan Manusia Sangiran adalah
manusia purba tertua yang ditemukan di Indonesia.
Ciri manusia purba ini yaitu memiliki badan besar, kening menonjol, dan tulang pipi menebal.
Rahang dan giginya besar. Kira-kira hampir sama ukurannya dengan rahang gorila. Berdasarkan
umur lapisan tanah tempat penemuan, diperkirakan fosil yang ditemukan itu berumur 1.000.000–
2.000.000 tahun. Meganthropus diperkirakan hidup dengan food gathering (mengumpulkan
makanan). Makanan utamanya tumbuh-tumbuhan. Sebab, mereka belum mengenal api.
Berikut ciri-ciri Meganthropus:
Berbadan tegap dengan tonjolan tajam di belakang kepala;
Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok;
Tidak berdagu;
Otot kunyah, gigi, dan rahang besar dan kuat.
Dalam genus manusia, spesies ini dinamai Meganthropus paleojavanicus, yang berarti manusia besar
tertua yang berasal dari Jawa. Mega artinya besar, anthropus berarti manusia, palaeo berarti tua,
dan javanicus artinya Jawa. Namun, banyak juga ahli yang kemudian mengklasifikasikannya
sebagai Homo erectus paleojavanicus.
2. Pithecanthropus mojokertensis
Jenis manusia purba lainnya yang juga ditemukan di Indonesia adalah Pithecanthropus
robustus dan Pithecanthropus mojokertensis. Manusia purba ini ditemukan oleh Tjokrohandojo atau
Andojo yang bekerja di bawah Ralph von Koenigswald pada 1936 di Lembah Sungai Brantas.
Manusia purba ini merupakan generasi lebih muda dibandingkan Meganthropus palaeojavanicus.
Jenis manusia purba ini dianggap mirip kera, sehingga disebut pithe yang artinya kera.
Andojo awalnya mengira tengkorak itu milik orang utan, sehingga dinamai Pithecanthropus atau
manusia kera. Namun, von Koeningswald mengenali fosil itu sebagai tengkorak manusia purba. Fosil
tersebut berasal dari Pleistosen awal (lapisan bawah) dan dinamai Pithecanthropus mojokertensis.
Jenis ini adalah Pithecanthropus yang tertua.
Berdasarkan umur lapisan tanah, yakni lapisan bawah dan tengah,
diperkirakan Pithecanthropus hidup antara 30.000 sampai 2.000.000 tahun
lalu. Pithecanthropus hidup secara berkelompok dan hunting and food gathering (berburu,
menangkap ikan, dan mengumpulkan makanan).
Pithecanthropus sudah menggunakan alat untuk mencari makan. Alatnya sangat sederhana, yakni
batu atau kayu yang ditemukan. Beberapa contoh alat dari batu yang
digunakan Pithecanthropus adalah kapak genggam, kapak perimbas, dan kapak penetak. Alat-alat ini
banyak ditemukan di Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Kendati sudah menggunakan alat,
mereka belum mengolah atau memasak makanan.
3. Pithecanthropus erectus
Kelompok manusia praaksara ini ditemukan oleh Eugene Dubosi pada 1890–1892 di Desa Trinil,
Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Pithecanthropus erectus diketahui hidup sekitar 1 juta
sampai 600.000 tahun lalu. Berdasarkan temuan Dubosi itu, dapat diketahui ciri-ciri manusia purba
ini, yaitu:
Berbadan tegap dengan alat pengunyah yang kuat;
Tinggi badan berkisar 165–170 sentimeter dengan berat badan sekitar 100 kilogram;
Berjalan tegak;
Makanannya masih kasar dengan sedikit pengolahan;
Mempunyai kemampuan berpikir yang masih rendah;
Volume otak kepala masih sebesar 900 cc, sedangkan volume otak manusia modern
sudah lebih dari 1000 cc dan volume otak kera tertinggi hanya 600 cc.
Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus. Mereka bahkan telah layak disebut
sebagai homo (manusia). Diperkirakan, makhluk ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus
mojokertensis atau Homo mojokertensis.
5. Homo wajakensis
Sementara itu, Homo wajakensis ditemukan oleh Von Rietschoten di Desa Wajak pada 1888 dan
Eugene Dubois pada 1889. Manusia purba ini hidup sekitar 60.000 sampai 25.00 tahun lalu. Manusia
Wajak diduga sebagai nenek moyang bangsa asli Australia (bangsa Aborigin). Kedua jenis manusia
purba ini disebut homo karena memiliki kesamaan seperti manusia modern saat ini. Volume otaknya
juga sudah berkembang, bahkan mencapai 1300 cc.
Fosil yang ditemukan berupa tulang paha, rahang atas, rahang bawah, tulang kering, dan fragmen
tengkorak dengan volume sekitar 1.600 cc. Temuan Rietschoten ini digolongkan sebagai Homo
sapiens pertama di Asia. Fosil tersebut kemudian diteliti oleh Eugene Dubois.
Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa manusia purba ini sudah bisa membuat alat dari batu dan
tulang. Tak hanya itu, Homo wajakensis juga diketahui sudah mengetahui cara memasak.
Dari segi fisik, ciri-ciri Homo sapiens ini sebagai berikut:
Wajah datar dan lebar;
Hidung lebar dengan bagian mulut menonjol;
Berat badan sekitar 30–150 kilogram;
Tinggi badan kurang lebih 130–210 sentimeter;
Otak sudah lebih berkembang;
Tengkorak dari Homo wajakensis diketahui mempunyai persamaan dengan tengkorak masyarakat asli
Aborigin di Australia, sehingga E. Dubois memperkirakan jenis Homo sapiens ini dikelompokan
dalam manusia modern yang masuk ras Australoide. Fosil dari Homo wajakensis mempunyai
persamaan dengan manusia Niah di Sarawak (Malaysia) dan manusia Tabon di Palawan (Filipina).
Berbicara tentang Homo wajakensis, kita akan selalu diingatkan pula kepada Eugene Dubois, seorang
dokter asal Belanda yang memiliki keinginan keras untuk datang ke Hindia Belanda (Indonesia)
untuk membuktikan atau mencari bukti-bukti akan teori evolusi Charles Darwin seperti yang tertuang
dalam bukunya berjudul The Origin Of Species, walaupun saat itu masih sarat akan polemik-
akademik.
Dengan mendaftar sebagai tentara Belanda untuk tenaga medis, bersama istri dan anaknya, Dubois
akhirnya dikirim
ke Sumatra. Dubois selalu mencari waktu untuk melakukan “misi utamanya”, yaitu mencari fosil dan
sisa-sisa nenek moyang manusia di sela-sela waktunya bertugas sebagai dokter tentara Belanda.
Sayangnya, ekspedisi Sumatra rupanya belum berhasil dan dia mengalihkan perhatiannya ke Jawa.
Hal ini juga dipicu adanya informasi tentang temuan fosil tulang-belulang manusia di Desa
Campurdarat, Kabupaten Tulungagung yang kemudian dikenal sebagai fosil Wajak I. Berdasarkan
data tersebut, Dubois melakukan penggalian di sekitar tempat penemuan fosil Wajak I dan berhasil
menemukan fosil manusia Wajak II.
Selain tulang-belulang dari Campurdarat di atas, temuan penting Eugene Dubois selama penelitiannya
di Jawa adalah beberapa fosil tulang hominid yang dia pastikan sebagai makhluk nenek moyang
manusia yang selama ini dicari-cari oleh para pengikut teori evolusi Darwin. Temuan spesies hominid
yang dinamakan Pithecanthropus erectus yang kemudian disebut Homo erectus inilah missing
link yang berhasil ditemukannya di Trinil, Madiun, Jawa Timur, tidak jauh dari aliran Bengawan
Solo.
Temuan yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah fosil cranium, femur,
dan gigi hominid yang dipastikan dari satu individu yang sama. Sebagai seorang ahli anatomi,
Dubois berhasil merekonstruksi dan menyimpulkan bahwa cranium, gigi, dan tulang paha tersebut
milik hominid yang telah berjalan tegak, walaupun bentuk muka menyerupai kera. Dalam
publikasinya disebutkan bahwa hominid tersebut adalah makhluk manusia kera yang berjalan tegak.
Manusia Wajak ras Australomelanesid sisa-sisanya masih ditemukan di Australia. Inilah yang
menyebabkan sampel yang digunakan untuk menelitinya adalah kepulauan Melanesia, satu kawasan
di Pasifik yang dekat dengan Benua Australia. Kepulauan Melanesia meliputi beberapa kelompok
pulau, yaitu Papua Nugini, Britania Baru, Kepulauan Bismarck, Pulau Irlandia Baru, Kepulauan
Solomon, Kepulauan Fiji, serta pulau-pulau kecil lainnya yang seluruhnya berjumlah sekitar 341
gugusan.
Pembagian wilayah antara Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia adalah berdasarkan ciri budaya atau
kulturalnya. Secara kultural, di antara ketiga wilayah tersebut Melanesia yang paling dekat dengan
Indonesia. Oleh karena itu, di dalam mengkaji prasejarah Melanesia, kita tidak akan lepas dari
konteks proses migrasi bangsa-bangsa yang sekarang ini mendiami beberapa wilayah seperti Asia
Tenggara, Oseania, dan Australia.
6. Homo mojokertensis
Manusia purba yang ditemukan di Indonesia berikutnya yaitu Homo mojokertensis. Kelompok
manusia ini ditemukan oleh Ralph von Koenigswald pada 1936 di Mojokerto. Fosil yang ditemukan
adalah tengkorak anak-anak yang usianya di bawah lima tahun. Penemu manusia purba ini
memperkirakan fosil Homo mojokertensis sebagai fosil dari anak-anak Pithecanthropus.
7. Homo floresiensis (Manusia Liang Bua)
Homo floresiensis ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada September 2003.
Manusia Liang Bua dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama sesuai
dengan tempat ditemukannya, yaitu di Liang Bua, Flores.
Adapun ciri ciri Homo sapiens yang ditemukan di Flores sebagai berikut:
Kepala dan badan mempunyai ukuran kecil;
Ukuran otak juga kecil;
Volume otak sekitar 380 cc;
Rahang menonjol atau berdahi sempit;
Berat badan sekitar 25 kilogram;
Tinggi badan sekitar 1,06 meter.
Pengelompokan Homo floresensis sebagai manusia modern masih menjadi perdebatan banyak ahli.
Sebagian menyimpulkan jenis ini adalah hasil evolusi Pithecantropus, tetapi ahli lain menduga Homo
floresensis hidup berdampingan atau bahkan satu zaman dengan Homo sapiens.
Manusia purba ini mirip hobbit, ras manusia karangan J.R.R Tolkien dalam film The Lord of the
Ring dan The Hobbit. Para ilmuwan menduga Homo floresiensis cebol karena pengaruh lingkungan.
Posisi mereka yang terkurung di Pulau Flores selama ribuan tahun membuat keturunan mereka
semakin lama semakin kecil.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai manusia purba yang ditemukan di Indonesia. Melalui
pemaparan di atas, dapat diketahui jika manusia purba memiliki perbedaan dengan manusia modern
saat ini. Namun, untuk jenis manusia purba tertentu ada yang mempunyai tingkat kecerdasan lebih
tinggi dibandingkan kera.