Anda di halaman 1dari 6

Ahli paleoantropologi di dunia tentu tak akan ragu sedikitpun, ketika menyimpulkan

Pulau Jawa ialah salah satu tempat tinggal bagi spesies manusia yang paling awal
di dunia. Konon, lebih dari satu juta tahun yang lampau, bisa dipastikan di pulau ini
pernah hidup manusia purba.

Sebaran penemuan fosil hominid (manusia purba) tercatat cukup banyak. Di


sepanjang Sungai Bengawan Solo berikut anak sungainya, dari daerah Sangiran di
Jawa Tengah hingga beberapa daerah di Jawa Timur, boleh dikata bagaikan
“tambang” bagi penemuan fosil.

Ngandong, Sangiran, Sambungmacan, Trinil, ialah contoh-contoh situs


ditemukannya fosil hominid. Di antara situs-situs artefak purbakala di Indonesia,
nama Sangiran barangkali paling sohor.

Ini karena di sana bisa ditemukan jejak peninggalan kala Pleistosen yang paling


lengkap dan utuh. Di sini para ahli paleoantropologi bisa dipastikan bakal lebih
mudah merangkai sebuah benang merah sejarah manusia purba secara berurutan.
Tak aneh jikalau sejak 1996, Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Situs
Warisan Dunia.

Terletak lima belas kilometer di sebelah utara kota Surakarta, kemasyhuran


Sangiran sebenarnya telah bergema dan terekam dalam jurnal-jurnal ilmiah
masyarakat dunia sejak akhir abad ke-19. Laporan penemuan fosil pertama dari
Sangiran muncul di tahun 1864. PEC Schmulling menemukan fosil vertebrata. Tak
kecuali Eugene Dubois, juga sempat tercatat melakukan eksplorasi di Sangiran pada
1893.

Di tahun 1932 pemetaan geologi di kawasan Sangiran juga telah dilakukan oleh LJC
van Es. Menindaklanjuti pemetaan itu, dua tahun kemudian GHR von Koenigswald
juga melakukan eksplorasi di sana. Koeningswald berhasil menemukan fosil hominid
pada kisaran 1936. Dan hingga tahun 1941, dia terlihat semakin intensif melakukan
eksplorasi. Dari Sangiran pulalah sejumlah fosil Homo erectus semakin banyak
ditemukan.

Bicara popularitas Sangiran memang lebih lekat dengan nama Koeningswald


daripada Dubois. Ya, Dubois sendiri menemukan fosil hominid di Trinil, Ngawi, pada
kisaran 1891-1892. Namun demikian momen penemuan Dubois, bagaimanapun
ialah merupakan tonggak sejarah penting bagi dunia paleoantropologi dan bagi
Indonesia.
Artikel berjudul “Hurrah for the Missing Link!: a History of Apes, Ancestors and a
Crucial Piece of Evidence” karya Peter C Kjaergaard (2011) mencatat, bukan saja
temuan fosil hominid di Trinil menggemparkan dunia, itu juga menyulut kontroversi
terkait hipotesa Dubois. Terinspirasi oleh hipotesa Alfred Russel Wallace, Dubois
meyakini asal-usul manusia modern terletak di Asia Tenggara, dan mengukuhkan
hipotesa itu melalui fosil temuannya di Trinil.

Menariknya, di tahun 1898 hipotesa Dubois kemudian diangkat menjadi materi


diskusi dalam kongres internasional zoologi keempat di Universitas Cambridge,
Inggris. Saat itu, banyak orang setuju dan tiba pada kesimpulan yang sama.
Menariknya lagi, sepanjang 1895-1900 tercatat 80 buah publikasi ilmiah telah ditulis
orang untuk membahas fosil temuan Dubois dan tafsirannya sebagai isu utama.

Walhasil, bicara kontroversi hipotesa Dubois tentu saja juga berdampak pada
terjadinya gelombang pasang popularitas Jawa (Hindia Belanda).

Missing Link Theory

Seperti diketahui, Charles Darwin  (1809-1882) menulis buku berjudul The Origin of


Species (1859) dan The Descent of Man (1871). Melalui karya itu ia memaparkan
teori evolusi. Menurutnya, semua jenis makhluk hidup yang ada sekarang, termasuk
manusia, berasal dari satu jenis makhluk bersel satu. Melalui mekanisme seleksi
alam, lambat laun berkembanglah beraneka ragam jenis makhluk hidup.

Binatang paling maju ialah sejenis kera. Mengalami proses survival of the fittest,
sedikit demi sedikit mengalami perubahan dan loncatan kemajuan. Perubahan
secara gradual ini pada akhirnya mencapai fase kesempurnaannya dan muncullah
spesies Homo sapiens atau manusia modern.

Sayangnya, Darwin ketika itu belum menemukan bukti teoritisnya. Saat itu belum
ditemukan fosil hominid yang menunjukkan evolusi ke arah spesies Homo sapiens.
Kelemahan mendasar teori evolusi ialah adanya mata rantai yang hilang (missing
link), antara fase sejenis binatang menyerupai kera dan sekaligus menyerupai
manusia menuju fase Homo sapiens.

Ernst Haeckel (1834 – 1919), ilmuwan Jerman terkemuka dan pengikut Darwinian
menulis Naturliche schopfungsgeschichte (1889). Meskipun saat itu ilmu
paleoantropologi sebenarnya masih kurang bukti, Haeckel mencoba membangun
pohon geneologi spesies manusia. Menurut Haeckel ada 22 tahapan, dari fase
organisme yang masih sangat primitif hingga manusia modern.

Seturut Haeckel, asal usul tahap manusia didasarkan pada pemerolehan


kemampuan untuk berdiri tegak dan berbicara. Juga disandarkan pada asumsi
meningkatnya kapasitas volume otak. Lebih jauh, Haeckel mengemukakan hipotesa,
jika benar manusia berevolusi dari sejenis binatang menyerupai kera, maka pasti
pernah ada suatu fase manusia yang mirip kera atau kera yang mirip manusia.

Pada titik inilah berbekal fosil temuannya dari Jawa, Eugene Dubois menerbitkan
monografi pertamanya yang sangat terkenal. Berjudul Pithecanthropus erectus. Eine
menschenaehnliche Uebergangsform aus Java, Dubois mendalilkan fosil temuannya
ialah jawaban atas problem ‘the missing link’ tersebut.

Dinamainya Pithecanthropus erectus atau “manusia kera berjalan tegak”, Dubois


mengklaim fosil ini ialah fosil yang selama ini dicari-cari oleh banyak ilmuwan, dan
sekaligus jadi jawaban problem ‘missing link’ dari teori evolusi Darwin. Fosil yang
sering disebut “Manusia Jawa” ini diklaim sebagai tahap perantara (intermediary
stage), yang menghubungkan mata rantai evolusi antara spesies kera ke spesies
manusia.

Implikasinya, sejak itulah nama Jawa-Indonesia kemudian termahsyur di dunia


paleoantropologi dan sekaligus menjadi ladang perburuan fosil hominid.

Homo Erectus

Setelah penemuan Dubois, pada 1907-1908 sebuah ekspedisi besar-besaran


dipimpin oleh E Selenka berlangsung di lokasi yang sama, Trinil. Walaupun banyak
sekali menemukan fosil vertebrata, dia gagal menemukan fosil hominid.

Pada 1931, peneliti Jerman, Koenigswald, tiba di Hindia Belanda dan langsung
melakukan penelitian lapangan. Antara 1932-1933 dia melakukan penggalian untuk
penyelidikan paleoantropologi di daerah Ngandong, Blora, Jawa Tengah, dan
menemukan fosil hominid yang diberi nama Homo erectus soloensis.

Antara 1934-1941, penelitian selanjutnya Koeningswald dilakukan di Sangiran, Jawa


Tengah. Di sana dia menemukan fosil hominid dalam jumlah cukup besar dan
bervariasi. Ada puluhan fosil. Dari gigi rahang milik spesies Homo modjokertensis,
tengkorak spesies Pithecanthropus erectus, hingga rahang atas dan bawah milik
spesies Meganthropus palaeojavanicus.
Menurut Tobias (1984), fosil-fosil penemuan Koeningswald kini tersimpan di
Museum Senckenberg, Jerman, kecuali fosil tengkorak Ngandong dan fosil anak
kecil dari Mojokerto dikembalikan ke Indonesia. Publikasi ilmiah Koeningswald
berjumlah lebih 300 judul, sebagian besar di antaranya membahas tentang hasil
penemuannya di Jawa.

Pada 1920-an, sebuah tengkorak ditemukan di dekat Peking (sekarang Beijing),


Tiongkok. Fosil hominid ini populer disebut “Manusia Peking”. Selain
memperlihatkan banyak persamaan ciri dengan fosil Manusia Jawa, fosil ini usianya
juga lebih tua. Namun hingga Dubois meninggal di 1940, ia masih bersikukuh pada
hipotesanya dan menolak kesimpulan yang ditarik dari temuan fosil hominid China.

Tak kecuali juga temuan fosil hominid di Afrika Timur (Kenya, Etiopia, Tanzania),
Afrika Utara (Aljazair dan Maroko), dan Afrika Selatan, pun memiliki banyak
persamaan ciri dengan Manusia Jawa. Pada 1976 sebuah tengkorak Homo
erectus lengkap ditemukan di Afrika Timur. Umurnya 1,5 juta tahun, satu juta tahun
lebih tua dari yang ditemukan di Jawa dan Peking.

Artinya, sekalipun fosil hominid Dubois ialah fosil Homo erectus yang pertama


ditemukan di dunia, secara usia fosil ini jauh lebih muda dibandingkan temuan fosil
di China maupun di Afrika.

Walhasil, bukan saja akhirnya pada 1950 klasifikasi dan taksonomi Pithecanthropus


erectus diubah dan diseragamkan jadi Homo erectus, lebih jauh bicara paradigma
asal usul manusia modern juga bergeser dari Asia ke Afrika. “Out of Afrika”,
demikianlah kesimpulan sementara perihal asal usul Homo erectus dan Homo
sapiens. Sebuah interpretasi ilmiah berbasis validasi temuan fosil ini sejalan dengan
asumsi yang pernah diandaikan oleh Charles Darwin.

Nusantara Pusat Pembauran

Hampir selama empat dekade terakhir, bicara asal usul Homo sapiens atau manusia
modern seolah terang benderang. Tapi kini, sejalan dengan capaian kemajuan ilmu
genetika untuk melacak DNA manusia, riwayat Homo sapiens tampaknya jauh lebih
kompleks dan rumit.

Asumsi paradigmatik tentang alur evolusi manusia modern secara linier—yaitu dari
spesies Homo ergaster menurunkan Homo erectus, Homo
erectus menurunkan Neandertal, dan dari Neadertal bermuara menjadi Homo
sapiens—mungkin kini harus ditinjau ulang. Model linier memberi kesan, pada satu
kurun waktu tertentu hanya ada satu tipe manusia (homo) yang menghuni bumi.

Padahal, faktanya dari sekitar 2 juta tahun hingga 10 ribu tahun lalu, dunia
sebenarnya menjadi hunian bagi beberapa spesies manusia (homo) pada waktu
yang bersamaan. Bukti-bukti baru paling menggelitik berasal dari analisis atas
sampel-sampel DNA kuno.

Penelitian menunjukkan, telah terjadi interaksi antara Homo sapiens—yaitu manusia


modern seperti Anda dan saya dan manusia “lama”
seperti Neanderthal, Denisovan, Homo erectus, Homo florensiensis yang notabene
sekarang semuanya telah punah, ternyata bukan sekadar soal pergantian
sederhana.

Kini semua tahu, sebenarnya banyak ditemukan kelompok spesies manusia purba
hidup dalam periode waktu bersamaan, sebelum kelompok Homo sapiens jadi satu-
satunya spesies manusia yang mengisi bumi seperti hari ini.

Apa yang sebenarnya terjadi tampaknya kelompok manusia modern dan kelompok
manusia lama saling membaur, kawin-mawin sekerabat, juga berperang, dan
berinteraksi dengan banyak sekali cara yang hingga kini masih menyimpan banyak
enigma.

Indonesia, tak terkecuali, juga masih menyimpan banyak teka-teki. Sebagai


lapangan riset ilmu paleoantropologi tampaknya masih jauh dari kata selesai. Dalam
beberapa dekade terakhir, penelitian dari lapangan Indonesia kembali menggeliat
dan menghasilkan beberapa penemuan yang mencengangkan.

Di antaranya ialah temuan fosil Homo floresiensis di Flores; penemuan fosil kulit


kerang di Trinil, Jawa Timur, yang memperlihatkan daya kreativitas Homo erectus;
dan paling menarik ialah penemuan lukisan gua di Maros, Sulawesi Selatan, sebagai
satu jejak seni Homo sapiens tertua di dunia.

Tapi, tak hanya itu. Penelitian yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman
dengan dan beberapa peneliti sejumlah negara menemukan fakta yang tak kalah
mencengangkan. Dari riset pemetaan genetika yang mereka lakukan baru-baru ini,
terungkap pembauran leluhur manusia modern (Homo sapiens) dan manusia purba
lainnya paling intensif terjadi di Papua.
Nenek moyang leluhur orang Papua ialah kelompok migran pertama Homo
sapiens yang keluar dari Afrika dan tiba di kawasan ini sejak 70 ribu tahun lalu.
Sebelum kedatangan Homo sapiens ke Papua, kawasan ini telah dihuni oleh
manusia purba Denisovan. Jejak ini terlihat pada DNA orang Papua kini, yang
memiliki gen Denisovan berkisar 3 – 5 persen.

Riset Eijkman menyimpulkan, pusat keanekaragaman kuno bukan berada di Eropa


atau di Asia utara yang beku, melainkan justru terjadi di kepulauan tropis yang
hangat di Asia Tenggara. (W-1)

Anda mungkin juga menyukai