Pulau Jawa ialah salah satu tempat tinggal bagi spesies manusia yang paling awal
di dunia. Konon, lebih dari satu juta tahun yang lampau, bisa dipastikan di pulau ini
pernah hidup manusia purba.
Di tahun 1932 pemetaan geologi di kawasan Sangiran juga telah dilakukan oleh LJC
van Es. Menindaklanjuti pemetaan itu, dua tahun kemudian GHR von Koenigswald
juga melakukan eksplorasi di sana. Koeningswald berhasil menemukan fosil hominid
pada kisaran 1936. Dan hingga tahun 1941, dia terlihat semakin intensif melakukan
eksplorasi. Dari Sangiran pulalah sejumlah fosil Homo erectus semakin banyak
ditemukan.
Walhasil, bicara kontroversi hipotesa Dubois tentu saja juga berdampak pada
terjadinya gelombang pasang popularitas Jawa (Hindia Belanda).
Binatang paling maju ialah sejenis kera. Mengalami proses survival of the fittest,
sedikit demi sedikit mengalami perubahan dan loncatan kemajuan. Perubahan
secara gradual ini pada akhirnya mencapai fase kesempurnaannya dan muncullah
spesies Homo sapiens atau manusia modern.
Sayangnya, Darwin ketika itu belum menemukan bukti teoritisnya. Saat itu belum
ditemukan fosil hominid yang menunjukkan evolusi ke arah spesies Homo sapiens.
Kelemahan mendasar teori evolusi ialah adanya mata rantai yang hilang (missing
link), antara fase sejenis binatang menyerupai kera dan sekaligus menyerupai
manusia menuju fase Homo sapiens.
Ernst Haeckel (1834 – 1919), ilmuwan Jerman terkemuka dan pengikut Darwinian
menulis Naturliche schopfungsgeschichte (1889). Meskipun saat itu ilmu
paleoantropologi sebenarnya masih kurang bukti, Haeckel mencoba membangun
pohon geneologi spesies manusia. Menurut Haeckel ada 22 tahapan, dari fase
organisme yang masih sangat primitif hingga manusia modern.
Pada titik inilah berbekal fosil temuannya dari Jawa, Eugene Dubois menerbitkan
monografi pertamanya yang sangat terkenal. Berjudul Pithecanthropus erectus. Eine
menschenaehnliche Uebergangsform aus Java, Dubois mendalilkan fosil temuannya
ialah jawaban atas problem ‘the missing link’ tersebut.
Homo Erectus
Pada 1931, peneliti Jerman, Koenigswald, tiba di Hindia Belanda dan langsung
melakukan penelitian lapangan. Antara 1932-1933 dia melakukan penggalian untuk
penyelidikan paleoantropologi di daerah Ngandong, Blora, Jawa Tengah, dan
menemukan fosil hominid yang diberi nama Homo erectus soloensis.
Tak kecuali juga temuan fosil hominid di Afrika Timur (Kenya, Etiopia, Tanzania),
Afrika Utara (Aljazair dan Maroko), dan Afrika Selatan, pun memiliki banyak
persamaan ciri dengan Manusia Jawa. Pada 1976 sebuah tengkorak Homo
erectus lengkap ditemukan di Afrika Timur. Umurnya 1,5 juta tahun, satu juta tahun
lebih tua dari yang ditemukan di Jawa dan Peking.
Hampir selama empat dekade terakhir, bicara asal usul Homo sapiens atau manusia
modern seolah terang benderang. Tapi kini, sejalan dengan capaian kemajuan ilmu
genetika untuk melacak DNA manusia, riwayat Homo sapiens tampaknya jauh lebih
kompleks dan rumit.
Asumsi paradigmatik tentang alur evolusi manusia modern secara linier—yaitu dari
spesies Homo ergaster menurunkan Homo erectus, Homo
erectus menurunkan Neandertal, dan dari Neadertal bermuara menjadi Homo
sapiens—mungkin kini harus ditinjau ulang. Model linier memberi kesan, pada satu
kurun waktu tertentu hanya ada satu tipe manusia (homo) yang menghuni bumi.
Padahal, faktanya dari sekitar 2 juta tahun hingga 10 ribu tahun lalu, dunia
sebenarnya menjadi hunian bagi beberapa spesies manusia (homo) pada waktu
yang bersamaan. Bukti-bukti baru paling menggelitik berasal dari analisis atas
sampel-sampel DNA kuno.
Kini semua tahu, sebenarnya banyak ditemukan kelompok spesies manusia purba
hidup dalam periode waktu bersamaan, sebelum kelompok Homo sapiens jadi satu-
satunya spesies manusia yang mengisi bumi seperti hari ini.
Apa yang sebenarnya terjadi tampaknya kelompok manusia modern dan kelompok
manusia lama saling membaur, kawin-mawin sekerabat, juga berperang, dan
berinteraksi dengan banyak sekali cara yang hingga kini masih menyimpan banyak
enigma.
Tapi, tak hanya itu. Penelitian yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman
dengan dan beberapa peneliti sejumlah negara menemukan fakta yang tak kalah
mencengangkan. Dari riset pemetaan genetika yang mereka lakukan baru-baru ini,
terungkap pembauran leluhur manusia modern (Homo sapiens) dan manusia purba
lainnya paling intensif terjadi di Papua.
Nenek moyang leluhur orang Papua ialah kelompok migran pertama Homo
sapiens yang keluar dari Afrika dan tiba di kawasan ini sejak 70 ribu tahun lalu.
Sebelum kedatangan Homo sapiens ke Papua, kawasan ini telah dihuni oleh
manusia purba Denisovan. Jejak ini terlihat pada DNA orang Papua kini, yang
memiliki gen Denisovan berkisar 3 – 5 persen.