Anda di halaman 1dari 9

 Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Di Indonesia, temuan purba terdiri atas jenis Meganthropus, Pithecanthropus, dan


Homo. Penemuan berbagai jenis manusia purba tidak terlepas dari penelitian yang dilakukan
para ahli paleontologi Belanda, di antaranya Eugene Dubois (1858 – 1940) dan G.H.R von
Koenigswald (1902 – 1982).

Secara khusus, kedatangan Eugene Dubois ke Indonesia berawal dari keyakinannya


bahwa manusia purba menyukai hidup di daerah tropis seperti Indonesia. Mula-mula, ia ke
Sumatra lalu ke Jawa. Daerah tropis diyakini sebagai daerah yang keadaan alamnya cukup stabil
baik pada zaman glasial maupun zaman pascaglasial. B. Asal

Secara umum, asal usul manusia-manusia purba sampai sekarang masih menjadi
kontroversi. Jawaban atas asal-usul manusia purba itu tidak pernah jelas dan tuntas. Para
peneliti, seperti Moh. Yamin, J. Crawford, K. Himly, dan Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat
bahwa manusia purba yang menghuni wilayah Nusantara berasal dari wilayah Indonesia sendiri.
Pandangan tersebut menentang pandangan yang mengatakan bahwa manusia-manusia purba
berasal dari luar wilayah Indonesia. Pandangan mereka yang lazim disebut teori Nusantara,
didasarkan pada alasan-alasan berikut.

 Bangsa Melayu dan bangsa Jawa mempunyai tingkat peradaban yang tinggi.
Taraf ini hanya dapat dicapai setelah perkembangan budaya yang lama. Hal ini
menunjukkan orang Melayu berasal dari dan berkembang di Nusantara.
 Terhadap pandangan yang mengatakan bahwa bahasa Melayu serumpun dengan
bahasa Champa (Kamboja) sehingga manusia-manusia praaksara tersebut
berasal dari luar Nusantara, K. Himly berpendapat bahwa kesamaan antara
kedua bahasa tersebut bersifat kebetulan saja.
 Menurut Moh. Yamin, fakta banyaknya fosil dan artefak tertua yang ditemukan
di Indonesia, seperti fosil Homo soloensis dan Homo wajakensis, menunjukkan
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia (Melayu) berasal dari Indonesia sendiri
(Jawa)
 Bahasa yang berkembang di Nusantara, yaitu rumpun bahasa Austronesia,
sangat jauh bedanya dengan bahasa yang berkembang di wilayah lain di Asia.

Ada juga pandangan lain, yaitu teori Yunan. Menurut teori ini, manusia purba yang
mejadi nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan (Tiongkok). Mereka masuk ke
Indonesia setelah tinggal cukup lama di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, terutama Vietnam
(Dong Song).

Namun, belakangan ini, para ahli berpendapat bahwa teori ini bukan mengacu pada asal
usul manusia purba yang disebutkan sebelumnya, melainkan pada bangsa Melayu Austronesia
dari Mongoloid yang datang ke Nusantara dari Yunan (Tiongkok) dalam dua golongan, yakni
gelombang pertama pada sekitar tahun 1500 SM dan gelombang kedua pada sekitar tahun 300
SM. Orang-orang Yunan inilah yang sering disebut sebagai nenek moyang bangsa Indonesia.
Ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai manusia modern atau Homo sapiens.

Teori yang pupuler namun juga dianggap kurang meyakinkan adalah teori Afrika.
Menurut teori ini, manusia purba yang pertama kali mendiami Nusantara datang dari Afrika.
Manusia pruba muncul dan berkembang pertama kali di Afrika sekitar 200.000 tahun yang lalu.
Mereka kemudian menyebar ke berbagai tempat dengan berbagai variasi dan karakteristik yang
khas, sesuai kondisi lingkungan, kemampuan beradaptasi, dan sebagainya.

Proses persebaran manusia tersebut berlangsung sangat lambat dan lama. Sejak tahun
200.000 SM hingga 60.000 SM, menyebar keseluruh wilayah di Afrika. Tahun 60.000 SM,
manusia mulai menyebar ke Timur Tengah Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia.

Faktor apa yang memungkinkan manusia purba sampai di Indonesia? Pada saat itu, suhu
bumi menurun hingga menyebabkan terbentuknya es di bagian utara bumi, yaitu di Eropa dan
Amerika Utara (zaman es atau glasial). Hal tersebut menyebabkan tinggi permukaan air laut
menurun dan membentuk banyak daratan baru sehingga mampermudah manusia berpindah-
pindah, meski harus menempuh jarak yang sangat jauh.
Teori Afrika kemudian diragukan kebenarannya, terutama sejak ditemukan tulang-
belulang manusia di serangkaian gua di Spanyol pada tahun 1941, yang di sebut Homo
Neanderthalensis. Berdasarkan hasil temuan tersebut, makhluk ini telah menyebar di wilayah
Eurasia sejak sekitar 200.000 tahun yang lalu lenyap pada sekitar 15.000 tahun yang lalu. Ciri-
cirinya sudah sangat mendekati ciri-ciri manusia modern atau Homo Sapiens.

Selain itu, teori Afrika juga dilakukan kesahihannya karena berdasarkan penelitian,
manusia purba pertama di Nusantara, yaitu jenis Megantropus, sudah mendiami Nusantara
sejak 1,9 juta tahun yang lalu manusia Afrika baru muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu.

Di Nusantara, Megantropus diyakini berevolusi menjadi Phitekantropus, kemudian


berevolusi lagi menjadi Homo (Homo wajakensis, Homo soloensis, dan Homo floresiensis).
Dalam tiap-tiap tahap evolusinya, otak manusia purba terus mengalami kemajuan. Hal tersebut
terbukti dari kemampuan mereka membuat alat alat sederhana dari batu untuk bertahan
hidup.

 Perkembangan Makhluk Hidup


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kehidupan muncul pertama kali pada masa
Paleozoikum, lalu berkembang pada masa Mesozoikum. Selanjutnya, pada masa Neozoikum,
tepatnya pada kala Pleistosen, manusia purba mulai muncul. Bahkan pada kala Holosen (masa
Neozoikum), manusia purba telah berkembang lebih sempurna lagi, yaitu dengan munculnya
jenis Homo sapiens yang ciri-cirinya mirip dengan manusia sekarang.
Bumi berkembang (berevolusi) sedemikian rupa sehingga memungkinkan munculnya
makhluk hidup. Terdapat banyak teori tentang munculnya kehidupan di bumi. Salah satunya
teori Harold Urey. Menurut teori ini, kehidupan terjadi pertama kali di udara (atmosfer). Pada
perkembangannya, terbentuk atmosfer yang kaya akan molekul-molekul, seperti CH 4, NH3, H2,
dan H2O. Hal ini karena adanya loncatan listrik akibat halilintar dan sinar kosmik. Terbentuklah
asam amino yang memungkinkan adanya kehidupan.
Akan tetapi, teori-teori yang muncul tentang asal-muasal serta perkembangan makhluk
hidup, termasuk manusia, tidak sepopuler teori yang dikemukakan oleh ilmuwan
berkebangsaaan Inggris, Charles Darwin (1809-1882), atau dikenal dengan teori Darwin. Dalam
pandangan Darwin, semua kehidupan memiliki leluhur yang sama. Ia membayangkan, sejarah
kehidupan di bumi mirip sebuah pohon yang sangat besar, yang awalnya adalah batang tunggal
berupa sel-sel pertama yang sederhana. Spesies-spesies baru bercabang dari batang tunggal itu
dan terus terbagi menjadi dahan-dahan, atau famili tumbuhan dan binatang, lalu menjadi
ranting-ranting, yakni semua spesies dalam famili tumbuhan dan binatang yang hidup sekarang.
Salah satu spesies binatang, yaitu kelompok mamalia, berevolusi lagi sehingga menghasilkan
“binatang” yang berakal budi, yaitu manusia.
Hal ini terjadi dalam proses yang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang,
hingga jutaan tahun, yang disebut proses evolusi. Dalam proses itu, terjadi apa yang disebut
sistem seleksi alam (survival of the fittest), yaitu hanya makhluk yang mampu beradaptasi
dengan lingkunganlah yang bertahan hidup dan berkembang.

 Manusia Purba di Indonesia

Penelitian tentang sejarah kehidupan di bumi, termasuk hewan dan tumbuhan, pada zaman
lampau yang telah menjadi fosil di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Eugene Dubois.
Berpijak dari dugaan kuatnya bahwa manusia purba pasti lebih suka hidup di daerah tropis,
pada tahun 1887 ia berangkat ke Indonesia (pada waktu itu Hindia Belanda).

Mula-mula ia menyelidiki gua-gua di Sumatra Barat. Mendengar adanya penemuan


tengkorak manusia di Wajak, Tulungagung, Kediri (Jawa Timur) pada tahun 1889, ia
memindahkan kegiatannya ke Pulau Jawa. Akhirnya ia menemukan sisa manusia purba di
Kedungbrubus dan Trinil (Jawa Timur).

Temuan Dubois yang pertama diumumkan adalah fosil atap tengkorak Pithecanthropus
erectus dari Trinil yang ditemukan pada tahun 1891.

1) Meganthropus
Fosil manusia yang paling primitive yang ditemukan di Indonesia disebut Meganthropus
paleojavanicus. Meganthropus paleojavanicus sering disebut manusia raksasa dari Jawa
karena memiliki tubuh yang besar dan berbadan tegap. Manusia purba yang kemudian
berkembang atau berevolusi menjadi Pithecanthropus ini, diyakini sebagai jenis
Australopithecus. Fragmen-fragmen rahang atas serta gigi-gigi lepas ditemukan oleh G.H.R.
von Koenigswald antara tahun 1936-1941 di Sangiran, Jawa Tengah. Fragmen rahang
bawah lain ditemukan oleh Marks pada 1952 di tempat yang sama.
Sebagian gigi geraham yang tersisa dari makhluk ini menunjukkan ia hanya memakan
tumbuh-tumbuhan. Dilihat dari ukuran kepalanya, volume otaknya masih kecil sehingga
kemampuannya membuat alat sangat terbatas. Ukuran gerahamnya lebih besar daripada
jenis manusia purba lainnya. Diperkirakan Meganthropus merupakan manusia tertua di
Indonesia.
Adapun ciri-ciri Meganthropus paleojavanicus adalah sebagai berikut.
 Tulang pipi tebal.
 Otot kunyah kuat.
 Tonjolan kening mencolok.
 Tonjolan belakang tajam.
 Tidak memiliki dagu.
 Perawakan tegap.
 Memakan jenis tumbuhan.

Menurut para ahli, manusia dengan jenis yang sama juga ditemukan di Jurang Olduvai,
Afrika timur. Manusia jenis ini mereka sebut Homo habilis yang diidentifikasi mampu
membuat alat. Manusia jenis ini diperkirakan hidup pada 1,9 juta tahun yang lalu.

2) Pithecanthropus
Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah Pithecanthropus. Fosil
manusia purba jenis ini ditemukan oleh Eugene Dubois di Desa Trinil, Kabupaten Ngawi,
Jawa Timur, pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus menjelaskan karakteristik
utama manusia purba ini, Pithecanthropus berasal dari kata pithecos yang berarti, “kera”,
anthropus yang berarti “manusia”, dan erectus yang berarti berjalan tegak. Jadi, secara
harfiah berarti manusia kera yang berjalan tegak.
Sisa-sisa tulang-belulangnya ditemukan di Perning, Kedungbrubus, Trinil, Sangiran,
Sambungmacan, dan Ngandong. Hidupnya di lembah-lembah atau di kaki-kaki pegunungan
dekat perairan darat di Jawa Tengah dan Jawa Timur (sekarang), dahulu mungkin
merupakan padang rumput dengan pepohonan yang jarang.
Adapun ciri-ciri umum Pithecanthropus adalah sebagai berikut.
 Tinggi badan berkisar antara 165-180 cm dengan tubuh dan anggota badan yang
tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus.
 Alat-alat pengunyah juga tidak sekuat Meganthropus, demikian pula otot-otot
tengkuk.
 Geraham besar, rahang kuat, tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari
pelipis ke pelipis, dan tonjolan belakang kepalanya nyata.
 Dagu belum ada.
 Hidung lebar.
 Perkembangan otak belum menyamai Homo. Perkembangan kulit otak masih
kurang, terutama pada bagian-bagian yang berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi dan koordinasi otot yang cermat. Oleh karena itu, muka terlihat menonjol ke
depan, dahi miring ke belakang, bagian terlebar pada tengkorak masih terdapat di
dekat dasar tengkorak dan belakang kepalanya masih membulat.
 Volume otak berkisar antara 750-1.300 cc.

Fosil manusia purba jenis ini juga ditemukan di daerah Perning, Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur oleh G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1936, yang diberi nama
Pithecanthropus mojokertensis. P. mojokertensis merupakan jenis Pithecanthropus tertua.

Di Tiongkok, di temukan juga fosil manusia jenis ini yang diberi nama Pithecanthropus
pekinensis (Manusia Peking). Sementara itu di Eropa, jenis ini dinamakan Manusia Piltdown
dan Manusia Heidelbergensis.
3) Homo
Fosil manusia dari genus Homo adalah Homo wajakensis, Homo soloensis, dan Homo
floresiensis. Dibandingkan dua fosil yang disebut pertama, kesimpulan ilmiah terkait hobbit
dari Flores yang disebut Homo floresiensis masih menjadi kontroversi sampai sekarang.
Genus Homo diyakini sebagai hasil evolusi dari Pithecanthropus.
Temuan genus Homo di Nusantara mengisyaratkan bahwa sekitar 40.000 tahun yang
lalu, Nusantara sudah dihuni Homo sapiens. Homo mempunyai ciri-ciri yang lebih progresif
daripada Pithecanthropus. Volume otaknya bervariasi antara 1.000-2.000 cc, dengan nilai
rata-rata antara 1.350-1.450 cc. Badannya juga lebih tinggi, yaitu antara 130-210 cm,
demikian pula berat badannya, yaitu antara 30-150 kg.
Otaknya lebih berkembang, terutama kulit otaknya, membuat bagian terlebar tengkorak
terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang
tengkorak membulat dan tinggi otak kecil sudah berkembang lebih jauh. Selain itu, otak
tengkuk sudah mengalami banyak reduksi karena tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran
besar. Hal ini disebabkan alat mengunyah sudah menyusut sehingga gigi mengecil, begitu
pula rahang serta serta otot kunyah, dan muka tidak begitu menonjol ke depan. Letak
tengkorak di atas tulang belakang sudah seimbang. Berjalan serta berdiri tegak sudah lebih
sempurna dan koordinasi otot sudah jauh lebih cermat.
Rangka Homo wajakensis yang pertama ditemukan dekat Campurdarat, Tulungagung
(Jawa Timur) oleh B.D. van Rietschoten pada tahun 1889. Rangka ini merupakan fosil
manusia pertama yang dilaporkan ditemukan di Indonesia. Temuan ini kemudian diselidiki
oleh Dubois, dengan rangka berupa tengkorak, fragmen rahang bawah, dan beberapa buah
ruas leher.
Rangka Wajak kedua ditemukan pada tahun 1890 di tempat yang sama dan terdiri atas
fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang
kering. Fosil ini digolongkan sebagai Homo sapiens.
Sementara itu, fosil Homo soloensis ditemukan di Ngandong, Blora, di Sangiran dan
Sambungmacan, Sragen, oleh Ter Haar, W.F.F Oppenoorth, dan von Koenigswald pada
tahun 1931-1933. Hasil temuan berupa sebelas fosil tengkorak, tulang rahang dan gigi. Saat
pertama kali ditemukan, fosil manusia purba ini digolongkan sebagai Homo sapiens dan
diberi nama Homo (Javanthropus) soloensis oleh W.F.F. Oppenoorth. Homo soloensis
diperkirakan hidup sekitar 900.000 sampai 300.000 tahun yang lalu. Menurut von
Koenigswald, makhluk ini lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan Pithecanthropus
erectus.
Adapun ciri-ciri Homo soloensis adalah sebagai berikut.
 Volume otak antara 1.000-1.200 cc.
 Tinggi badan antara 130-210 cm.
 Otot tengkuk mengalami penyusutan.
 Muka tida menonjol ke depan.
 Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna.

Selanjutnya, Homo floresiensis atau “Manusia Flores” adalah nama yang diberikan oleh
kelompok peneliti terhadap kerangka hobbit yang ditemukan di Liang Bua, sebuah gua
kapur di Ruteng, Manggarai, Pulau Flores pada tahun 2001. Di gua tersebut, para peneliti
menemukan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari
sembilan individu.

Kesembilan sisa-sisa tulang menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia


modern, sekitar 100 cm dengan volume otak 380 cc. Usia kerangka-kerangka ini
diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.

Selain sisa-sisa tubuh yang belum membatu itu, ditemukan berbagai mamalia, seperti
gajah purba stegodon, biawak, serta tikus besar. Kemungkinan hewan-hewan tersebut
menjadi bahan makanan mereka. Ditemukan pula alat-alat batu, seperti pisau, beliung,
mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradapan
penghuninya.

Pemberian nama tersebut berangkat dari keyakinan bahwa Homo floresiensis bukan
manusia modern, melainkan spesies yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian
bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) dan
Manusia Neanderthal. Dua publikasi pada 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen
kerangka Homo floresiensis lebih primitif daripada Homo sapiens dan berada pada wilayah
variasi Homo erectus.

Namun, pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia (modern)
ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, seperti Prof.
Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua.
Homo floresiensis berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang menderita gangguan
pertumbuhan yang disebut mikrosefali (kepala kecil). Jadi, manusia jenis ini merupakan
nenek moyang dari manusia modern. Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua
merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores
dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang
Bua itu tersebut menderita mikrosefali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.

≫ Historia
Para ahli mengelompokkan hasil temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia ke dalam tiga
kala, yaitu kala Pleistosen Atas, kala Pleistosen Tengah, dan kala Pleistosen Bawah. Semakin
bawah lapisannya, semakin tua usianya.

Homo wajakensis
Pleistosen Atas

Homo soloensis

Kala Pleistosen
Pleistosen Tengah Pithecanthropus
erectus

Pleistosen Bawah Meganthropus


paleojavanicus

Anda mungkin juga menyukai