Anda di halaman 1dari 11

PERDEBATAN PITHECANTHROPUS HOMO ERECTUS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak Charles Darwin meluncurkan bukunya The Origin of Species di tahun 1859, paham
tentang evolusi berkembang. Pemikiran Darwin dianggap sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan
tentang evolusi, bahwa terbentuknya berbagai kelompok organisme adalah dari perubahan secara
terus menerus dari kelompok organisme lain yang lebih rendah/ sederhana. Banyak orang tidak
menyadari bahwa teori Darwin ini masih menantikan bukti -bukti dari fakta penemuan fosil.
Sebab sejauh ini, bukti fosil menunjukkan sebaliknya: mayoritas fosil menunjukkan keadaan
yang: 1) statis: bahwa species tidak menunjukkan perubahan ciri yang signifikan semasa
hidupnya di dunia, dan 2) kemunculan yang tiba-tiba: species tidak muncul secara bertahap
melalui perubahan yang terus menerus, namun muncul secara tiba-tiba dalam bentuk yang
sempurna (lih. Stephen J Gould, The Panda's Thumb, 1980, p. 181-182).

Namun demikian, kini di banyak buku sains, evolusi disajikan seolah-olah sudah menjadi
suatu fakta, bahkan dengan menampilkan gambar-gambarnya. Termasuk juga gambaran
peralihan dari semacam kera menjadi manusia (umum disebut: manusia purba), yang salah
satunya konon bahkan ditemukan di pulau Jawa di tahun 1891, sehingga disebut Java man atau
Pithecanthropus erectus. Namun di balik klaim penemuan-penemuan tersebut, terlihat adanya
keterlibatan asumsi sang peneliti, sehingga dapat terjadi klaim penemuan seorang ilmuwan
kemudian dibantah oleh ilmuwan yang lain, atau bahkan dikoreksi sendiri oleh sang penemu.
Sayangnya, hal ini nampaknya tidak diketahui secara meluas oleh publik, sehingga klaim
penemuan fosil manusia purba sepertinya sudah dianggap sebagai bukti kunci yang mendukung
teori evolusi.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimanakah perdebatan antara pithecanthropus ke Homo Erectus yang sebenarnya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pithecanthropus

Pithecanthropus disebut juga manusia kera. Berdasarkan fosil-fosil yang


ditemukan Pithecanthropus merupakan jenis manusia purba yang paling banyak jenisnya di
Indonesia. Fosil Pithecanthropus ditemukan di Trinil, Perning daerah Mojokerto, Sangiran,
Kedung Brubus, Sambung Macan, dan Ngandong.

Dengan cara stratigrafi, diketahui Pithecanthropus berada pada lapisan pucangan dan
kabuh. Berdasarkan umur lapisan tanah, diperkirakan fosil Pithecanthropus sangat bervariasi
umurnya antara 30.000 sampai dengan dua juta tahun.

A. Ciri-ciri Pithecanthropus

1. Tinggi tubuhnya kira-kira 165-180 cm.


2. Badannya tegap, namun tidak setegap Meganthropus.
3. Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.
4. Otot kunyah tidak sekuat Meganthropus.
5. Volume otaknya 900 cc.
6. Hidung lebar dan tidak berdagu.
7. Makanannya bervariasi, yaitu tumbuhan dan daging hewan buruan.

B. Jenis-jenis Pithecanthropus

1. Pithecanthropus mojokertensis
Pithecanthropus mojokertensis berarti manusia kera dari Mojokerto. Fosil ini diteliti dan
ditemukan oleh von Koenigswald tahun 1936-1941 di daerah Perning, Mojokerto. Hasil
penemuan Von Koenigswald berupa tengkorak anak-anak yang diperkirakan tengkorak anak-
anak tersebut berasal dari anak anaknya Pithecanthropus.

2. Pithecanthropus soloensis
Pithecanthropus soloensis merupakan Pithecanthropus yang bertahan hidup sampai
dengan akhir pleistosen tengah. Fosil pertama ditemukan di Ngandong, di tepi Sungai Bengawan
Solo pada sekitar tahun 1931-1934. Para peneliti Pithecanthropus soloensis diantaranya Von
Koenigswald, Oppernooth dan Ter Haar.

Hasil penemuan manusia purba dari Solo ini di lapisan plesistosen tengah mempunyai arti
penting, karena menhasilkan satu seri tengkorak berjumlah besar dalam waktu singkat pada satu
tempat. Hasil penemuan itu berupa bagian atas tengkorak, tulang dahi, fragmen tulang
pendinding, dan tulang kering. Dari penemuan tersebut dapat diperkirakan jenis kelamin, usia,
dan bahkan kapasitas otaknya.

3. Pithecanthropus erectus

Pithecanthropus erectus adalah manusia kera yang sudah dapat berjalan tegak. Fosil
manusia purba jenis ini ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 di Trinil, lembah sungai
Bengawan Solo, berasal dari pleistosen tengah.

Penelitian ini didasarkan pada penemuan tulang rahang, dua geraham, bagian atas
tengkorak, dan tulang paha kiri. Volume otaknya berada di antara volume otak kera dan manusia.
Tulang paha menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berjalan tegak. Itulah sebabnya Eugene
Dubois menyimpulkan bahwa hasil temuannya itu disebut Pithecanthropus erectus, yang berarti
manusia kera yang sudah berjalan tegak.
Penemuan fosil ini sangat terkenal dan menggemparkan dunia ilmu pengetahuan pada
waktu itu. Bahkan, penemuan tersebut dihubungkan dengan teori evolusi Charles Darwin. Bila
dihubungkan dengan teori Darwin, Pithecanthropus erectus dianggap sebagai missing link atau
makhluk peralihan dari kera ke manusia.

Penemuan fosil ini merupakan penemuan yang paling banyak dan paling luas
penyebarannya di Indonesia. Fosil Pithecanthropus di Asia ditemukan di gua daerah Chou-Kou-
Tien, Cina yang dikenal dengan sebutan Pithecanthropus (sinanthropus) pekinensis (manusia
kuno dari Peking/Beijing).
Pithecanthropus di Afrika ditemukan di Kenya yang dikenal dengan sebutan
Australopithecus africanus. Di Eropa Barat dan Eropa Tengah disebut manusia Piltdown dan
Heidelberg. Menurut para ahli, jenis makhluk ini kemudian berevolusi menjadi Homo
neanderthalensis. Menurut Teuku Jacob Pithecanthropus sudah bisa bertutur.

2.2. Homo Erectus

Banyak kreasionis mengklaim kalau manusia purba dari jawa, yang ditemukan oleh
Eugene Dubois pada tahun 1893, tidaklah ilmiah. Gish (1985) mengatakan kalau Dubois
menemukan dua tengkorak manusia di dekat Wajak pada kedalaman yang sama dan
menyembunyikan fakta ini; lalu Dubois kemudian memutuskan Homo Wajakensis adalah gibbon
raksasa; dan bahwa tulang belulang tidak berasal dari individu yang sama. Sebagian orang akan
merasa klaim Gish mengejutkan; tengkorak-tengkorak Wajak ditemukan 100 kilometer jauhnya
di pegunungan dari lokasi penemuan manusia jawa. Begitu juga untuk “kedalaman” yang sama:
tengkorak wajak ditemukan dalam endapan gua di pegunungan, sementara manusia Jawa
ditemukan dalam endapan sungai di dataran banjir (Fezer, 1993). Tidak benar kalau Dubois
menyembunyikan keberadaan tengkorak Wajak karena pengetahuannya akan menyanggah
manusia jawa. Dubois melaporkan secara singkat mengenai tengkorak Wajak dalam tiga
publikasi terpisah tahun 1890 dan 1892. Walaupun diperbaiki dalam sebuah perdebatan tahun
1982 dan dalam percetakan (Brace, 1986), Gish terus membuat klaim ini walaupun sepertinya
tidak pernah membaca laporan Dubois bahwa ia tidak pernah menyebutkan tengkorak Wajak
(Feezer, 1993).
Lubenow memang mengetahui keberadaan makalah-makalah Dubois, namun
berpendapat bahwa karena laporan birokrasi tidak ditujukan untuk masyarakat ilmiah, Dubois
masih bersalah menyembunyikan tengkorak Wajak. Hal ini juga salah; jurnal ilmiah tempat
penerbitan makalah Dubois, walaupun kabur, tersebar di Eropa dan Amerika, dan adalah bagian
dari literatur ilmiah. Ia tersedia di banyak perpustakaan besar dan sering dirujuk oleh peneliti
modern (Brace, 1996).

Berdasarkan teorinya sendiri mengenai bagaimana otak berevolusi dan pikiran berharap,
Dubois memang mengklaim kalau manusia Jawa adalah “genus raksasa yang berkaitan dengan
gibbon” namun ini bukan berarti, seperti diklaim kreasionis, merupakan penarikan klaim
sebelumnya Dubois bahwa ini merupakan perantara antara kera dan manusia. Dubois juga
menunjukkan kalau ia bipedal dan ukuran otaknya “Sangat terlalu besar untuk kera antropoid”
dan ia tidak pernah berhenti percaya kalau ia telah menemukan leluhur manusia modern
(Theunissen, 1989; Gould, 1993; Lubenow, 1992).

Kreasionis benar atas satu hal. Sebagian besar ilmuan modern setuju kalau femur lebih
muda daripada tudung tengkorak, dan merupakan milik manusia modern. Sebagian gigi yang
ditemukan di dekat daerah tersebut sekarang juga ditemukan berasal dari seekor orangutan,
bukannya Homo erectus.

Penting untuk mendengarkan pernyataan Gish (1993) mengenai kualitas kemiripan


tudung tengkorak dengan kera:
“Sekarang kita melihat kalau tudung tengkorak ini sangat mirip kera; perhatikan kalu tidak ada
kening, sangat datar, ciri khas kera. Perhatikan tonjolan alis yang besar, juga ciri khas kera”.

Walau begitu, tudung tengkorak ini bukan milik kera manapun, dan khususnya bukan
gibbon. Ia jauh terlalu besar (940 cc, bandingkan dengan gibbon yang hanya 97cc), ia sama
dengan banyak sekali fosil Homo erectus yang telah ditemukan. Salah satunya adalah fosil
Sangiran 17, juga ditemukan di Jawa. Tengkorak ini, yang tidak pernah disebutkan oleh para
kreasionis, merupakan tengkorak yang nyaris lengkap dan jelas merupakan manusia primitif.
Yang lainnya adalah fosil Bocah Turkana dan ER 3733,keduanya disebut kreasionis sebagai fosil
manusia.

Bila anda mencoba memilih apakah manusia jawa itu kera atau manusia, pilihan terbaik
adalah menyebutnya manusia, namun Lubenow (1992) tampaknya satu-satunya manusia yang
mengatakan demikian. Walau begitu, ia berusaha menyingkirkan Manusia jawa sebagai manusia
primitif dengan menggunakan bukti fauna untuk menunjukkan ia berusia yang sama dengan
tengkorak Wajak. Lubenow memberi kutipan berikut dari Hooljer (1951):
“Tapirus indicus, diduga punah di Jawa sejak Pleistosen Tengah, terbukti ada dalam koleksi
Dubois dari situs Wajak, Jawa Tengah, yang berusia zaman Pleistosen akhir.”

Lubenow mengatakan kalau karena spesies tapir ini ditemukan di Trinil (situs Manusia
Jawa ditemukan) dan fauna Wajak, fosil-fosil ini mungkin berusia sama. Kesimpulan ini
dipaksakan oleh tiga kutipan lain dari Hooljer, semuanya menunjukkan kesulitan dalam
menggunakan metode fauna untuk menandai usia fosil Jawa. Argumen Lubenow runtuh atas
sejumlah alasan.

Bahkan bila metode fauna sepenuhnya tidak sah, ia tidak mendukung bukti Manusia
Wajak dan Manusia Jawa berusia sama. Yang paling bisa diklaim adalah usia keduanya tidak
diketahui. Walau begitu Hooljier tidak pernah mengatakan kalau metode fauna tidak berguna
atau kalau fauna Wajak dan Trinil itu sama.

Sejauh ini resolusi paling sederhana keberadaan tapir tersebut adalah, dikatan Hooljer,
Tapirus indicus bertahan lebih lama daripada yang diduga sebelumnya di Jawa (Lubenow
memang mengakui kemungkinan ini). Hal ini konsisten dengan sisa bukti lainnya. Fauna wajak
adalah modern, dan karenanya manusia Wajak diduga kurang dari 50 ribu tahun, dan lebih
mungkin sekitar 100 ribu tahun usianya. Fauna Trinil mengandung lebih banyak spesies punah,
dan karenanya lebih tua.

Pada dasarnya, Lubenow berpendapat kalau Manusia Wajak dan Manusia Jawa berusia
sama karena satu spesies tapir ada pada kedua fauna, mengabaikan kalau ada banyak spesies
lainnya yang tidak ada pada kedua fauna sekaligus, dan bahwa spesies punah hanya ada di fauna
Trinil.

Lubenow mengklaim kalau Dubois menyembunyikan fosil Wajak karena keberadaan


tapir akan bertentangan dengan klaimnya bahwa Manusia jawa lebih tua dari Wajak. Hal ini
sepertinya tidak mungkin karena Dubois adalah salah satu kolektor terawal di Jawa, dan
informasi detail tentang fauna Jawa belum disusun hingga berpuluh tahun kemudian (Hooljer,
1951).
Tapir itu mungkin tidak disingkirkan untuk disebutkan oleh Hooljer karena ia adalah
anomali, seperti yang diduga Lubenow. Ia mungkin menarik karena spesies tapir ini masih hidup
di Asia Tenggara, dan tidak punah, seperti diklaim Lubenow. (Hooljer hanya mengatakan kalau
ia telah punah di Jawa, bukan di tempat lain).

2.3. Perdebatan Antara Pithecanthropus Ke Homo Erectus

Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi


manusia yang dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu
seperti berikut. Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun
1894 dalam berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois
menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera
ke manusia. Kera merupakan moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi
perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan
tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu Sementara orang menduga bahwa
tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan
tulang pahanya milik manusiamodern Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi
tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar,
akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang
sangat berkerut-kerut.

Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan


penemuan tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan
dalam pameran publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu
banyak ahli yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan
semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz
Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu
paleoantropologi telah lahir di Indonesia.

Teori itu terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesa
dan heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori foetalisasi yang sangat
terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan
modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui
perpanjangan perkembangan fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari
Heackle yang sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat
dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs
Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang diberi
nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut
menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.

Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan


memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda
dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah
Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya
perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus
harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan
Homo erectus. Maka berakhirlah debat pandang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam
sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima
sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pithecanthropus Erectus merupakan makhluk yang kedudukannya di antara manusia dan


kera, tetapi sudah dapat berjalan tegak.

Dalam kehidupan sehari -hari Pithecanthropus Erectus sudah dapat membuat alat
sederhana dari bebatuan, seperti kapak perimbas (chopper), kapak penetak (chopping tool), atau
alat penyerpih (flake). Kehidupan Pithecanthropus Erectus sangat tergantung pada sumber alam
yang tersedia. Mereka juga berburu dan mengumpulkan makanan dan juga hidupnya berpindah-
pindah untuk mengikuti pengembaran hewan-hewan buruan, atau untuk mencari sumber
makanan di tempat lain. Mereka tampaknya juga sudah mulai mengembangkan tata masyarakat
yang sederhana. Kaum lelaki bekerja sama memburu hewan, dan para wanita mengumpulkan
tumbuhan atau buah-buahan.

Setelah penemuan-penemuan itu Eugene mengambil kesimpulan, tengkorak atau batok


kepala dan kaki itu adalah milik satu orang yang sama. Dan orang itu adalah nenek moyang dari
manusia yang ada sekarang. Dengan kata lain, tulang belulang dari pertengahan mata rantai teori
evolusi milik Darwin.
Pada tahun 1894 Eugene Dubois membuat semacam makalah yang berisi laporan hasil
penelitiannya. Ia menamakan fosil itu sebagai “manusia kera yang berdiri” atau manusia Jawa.
Belakangan, dunia arkeolog menyebutnya dengan Pithecanthropus Erectus.

Setelah penemuan itu dipublikasikan, timbullah pertentangan yang hebat di kalangan para
ilmuwan di masa itu. Teori manusia berasal dari daratan Eropa yang selama ini membuai para
ilmuwan, seakan terbantah oleh penemuan yang luarbiasa dari Eugene Dubois.

Para ilmuwan yang mendukung teori manusia dari Eropa dibuat gelisah dan tak bisa duduk
dengan tenang. Mereka pun menyatakan tidak percaya dengan penemuan Eugene dan
mencurigainya. Beberapa di antara para ilmuwan malah berasumsi bahwa fosil yang ditemukan
Eugene di Indonesia adalah sepotong tulang dari kera atau hewan sejenis. Sedangkan yang
lainnya menganggap fosil itu adalah tulang belulang manusia cacat.

Sayangnya, selain manusia Jawa temuan Eugene, tidak ada penemuan lain di benua Asia maupun
benua Afrika. Akibatnya, di tengah kerasnya bantahan para ilmuwan Eropa, laporan Eugene
lenyap. Sehingga teori yang dilontarkan Eugene hilang selama kurang lebih 30 tahun lebih.
DAFTAR PUSTAKA

http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2014/09/3-jenis-pithecanthropus.html

http://www.faktailmiah.com/2011/03/11/homo-erectus-manusia-purba-dari-jawa.html

http://updatetugassekolah.blogspot.com/2014/09/jelaskan-perdebatan-antara.html

http://benerpost.blogspot.com/2012/12/homo-erectus-paleojavanicus-atau.html

Anda mungkin juga menyukai