Anda di halaman 1dari 16

Peninggalan Benda Bersejarah dan Fosil Homo Wajakensis di Museum Daerah

Tulungagung

Nama: Shiera Nada Nasuha

NIM: 126209211041

Kelas: TIPS 3C

PENDAHULUAN

Tulungagung, Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang terkenal sebagai penghasil
marmer di Indonesia. Selain dikenal sebagai daerah penghasil marmer berkualitas, Tulungagung
juga memiliki berbagai macam potensi bersejarah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
peninggalan berupa candi yang tersebar pada beberapa kecamatan di Tulungagung antara lain
Candi Gayatri, Candi Dadi, Candi Penampihan, Candi Sanggrahan, dan Candi Ngampel, terdapat
juga peninggalan manusia purba berjenis Homo Sapiens Wajakensis yang ditemukan di daerah
Wajak-Besuki, Kabupaten Tulungagung. Manusia purba ini ditemukan pertama kali oleh B. D.
Van Rietschoten pada tahun 1889 kemudian Eugine Dubois melanjutkan penelitian manusia purba
di tempat yang sama dan memberikan pendapat bahwa tengkorak manusia purba jenis ini
berkelainan dengan tengkorak bangsa Indonesia umumnya. Tengkorak ini lebih banyak
kesamaannya dengan penduduk asli Benua Australia sekarang. Eugine Dubois kemudian
menyimpulkan Homo Wajakensis termasuk bangsa Australoid1.

Museum daerah Tulungagung memiliki koleksi etnografi berupa benda-benda tradisional


peninggalan zaman terdahulu yaitu peralatan pertaian, permainan, serta perkakas masa silam.
Sedangkan koleksi arkeologi meliputi arca, yoni, lapik, batu relief, prasasti dan kemuncak. Koleksi
tersebut di dapat melalui empat cara yaitu dari penyelamatan, temuan, hibah, dan jual beli. Koleksi
etnografi dan arkeologi yang ada berasal dari masa klasik atau masa sejarah sedangkan fosil Homo
Wajakensis berasal dari masa prasejarah. Masa prasejarah merupakan masa dimana manusia

1
M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi
Kemerdekaan (Jakarta: PT Mita Aksara Panaitan, 2010), hlm. 4.
belum mengenal tulisan masa prasejarah berakhir ketika manusia sudah mengenal tulisan dan
dapat dibuktikan dengan adanya prasasti.

Museum wajakensis dimanfaatkan sebagai wisata edukasi dengan tujuan untuk menunjukkan
peningkatan kepedulian masyarakat terutama pelajar akan peninggalan sejarah kebudayaan
manusia dari masa prasejarah hingga masa sejarah. Nama wajakensis di sematkan pada museum
ini karena Tulungagung pernah mendunia sebanyak dua kali sejak ditemukannya fosil wajak satu
dan wajak dua. Selain digunakan sebagai wisata edukasi museum juga berfungsi sebagai
penyimpanan, yang didalamnya meliputi kegiatan: (1) pengumpulan benda untuk menjadi koleksi
(2) Pencatatan koleksi ke dalam buku registrasi dan inventarisasi; (3) Sistem penomoran; (4)
Penataan koleksi di dalam ruang pameran, kegiatan perawatan, meliputi kegiatan untuk mencegah
dan menanggulangi kerusakan koleksi yang dilakukan oleh ahli, kegiatan pengamanan, meliputi
kegiatan perlindungan untuk menjaga koleksi dari gangguan atau kerusakan yang disebabkan oleh
faktor alam dan ulah manusia2.

Koleksi Pada Zaman Prasejarah

Zaman prasejarah merupakan zaman sebelum adanya sejarah (pra artinya sebelum) atau sering
juga dikenal sebagai zaman nirleka (nir artinya tidak ada dan leka artinya tulisan). Zaman
prasejarah ditandai dengan tidak adanya bukti-bukti atau keterangan-keterangan tertulis yang
mengungkapkan suatu peristiwa terjadi pada masa itu3. Masa prasejarah berakhir dengan ditandai
adanya peninggalan berupa tulisan. Dengan kata lain akhir dari zaman prasejarah adalah ketika
manusia sudah mengenal tulisan penemuan bukti sejarah berupa tulisan dapat ditemukan pada
batu, tulang, daun, dan kayu.

Koleksi yang ada di museum daerah Tulungagung pada masa prasejarah adalah fosil manusia
purba berjenis Homo Sapiens Wajakensis. Fosil manusia purba ini ditemukan pada lokasi galian
tambang marmer, tambang marmer di daerah Tulungagung sudah terkenal sejak zaman kolonial.
Ketika proses penambangan dilakukan B. D. Van Rietschoten menemukan sebuah batu yang unik
ketika dikaji dan diteliti ternyata sebuah fosil tengkorak manusia purba. Tercatat Tulungagung

2
Dedi Asmara, “Peran Museum Dalam Pembelajaran Sejarah”, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset
Humaniora, Vol.2 No.1 (Juni 2019), hal.14.
3
M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi
Kemerdekaan (Jakarta: PT Mita Aksara Panaitan, 2010), hlm. 1.
tidak menemukan secara utuh fosil manusia prasejarah karena telah hancur oleh penambangan
batu marmer. Koleksi yang dipajang dalam museum daerah Tulungagung hanyalah sebuah replika
manusia purba Homo Wajakensis berupa tengkorak dan manusia purba secara utuh. Fosil yang
utuh tersebut hanya praduga atau perkiraan dari ahli jika fosil manusia purba Homo Wajakensis
ditemukan secara utuh.

Gambar 1. Replika Fosil Homo Wajakensis

Gambar 2. Replika Fosil Tengkorak Homo Wajakensis


Fosil homo wajakensis ditemukan oleh B. D. Van Rietschoten pada tahun 1889 di daerah
Tulungagung bagian selatan tepatnya di Desa Wajak. Manusia purba ini ditemukan pada sisi
selatan Tulungagung diduga karena sumber makanannya terdapat di daerah tersebut. Homo
wajakensis merupakan jenis manusia prasejarah sapiens yaitu manusia purba dengan usia termuda.
Karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) memiliki muka datar dan lebar


2) memiliki hidung lebar dan bagian mulut menonjol
3) berat badan sekitar 30 – 150 kg
4) tinggi badan sekitar 130 -210 cm
5) volume otaknya lebih berkembang dan hampir menyerupai manusia modern4

Pada tahun 1890 Eugine Dubois menemukan fosil ditempat yang sama pada penemuan
sebelumnya. Setelah pencarian fosil tersebut Eugine Dubois menemukan bahwa struktur
tengkoraknya berbeda dari struktur tengkorak bangsa Indonesia. Homo Wajakensis memiliki
kemiripan dengan penduduk asli Benua Australia sekarang. Oleh karena itu Eugine Dubois curiga
bahwa Homo Wajakensis mempunyai sebuah silsilah keluarga dengan penduduk Australia yang
termasuk bangsa Australoid.

Koleksi Pada Masa Sejarah

Awal mula masa sejarah adalah ketika peralihan dari masa prasejarah ke masa sejarah yang
merupakan pintu menuju periode sejarah. Sedangkan sejarah merupakan masa dimana manusia
telah mengenal tulisan, pengaruh terbesar yang masuk ke Indonesia pada zaman sejarah berasal
dari India antara lain berupa aksara, agama (Hindu-Buddha), dan organisasi sosial (misalnya
lembaga kerajaan)5. Diperkirakan pengaruh agama Hindu masuk ke Indonesia sejak abad ke 4 dan
Buddha masuk pada abad ke 7 masehi yang dibawa oleh para Resi maupun para Biksu. Menurut
umat Hindu dalam Kitab Purana, Buddha Gautama merupakan salah satu awatara (inkarnasi) ke
sembilan dari sepuluh awatara Dewa Wisnu. Umat Budha menolak karena dalam ajaran Buddha
Gautama tidak mempercayai Tuhan sang pencipta. Amatara Wisnu cenderung kepada orang yang

4
Hasnawati, Persamaan dan Perbedaan Manusia Purba Dengan Manusia Modern, (Direktorat SMA,
Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN: 2020), hlm. 13.
5
Endang Sri Hardianti, “Peradaban Nusantara Pada Awal Masa Sejarah”, Prajnaparamita: Jurnal Museum
Nasional, (2013) hlm.33.
telah punya darma atau membantu sesama seperti Krisna. Aliran Buddha di Asia Tenggara yang
paling banyak dianut adalah Buddha aliran Mahayana.

Peninggalan dalam museum daerah Tulungagung pada masa klasik atau masa sejarah sebagai
berikut:

a.) Arca Buddha Aksobya

Gambar 3. Arca Buddha Aksobya

Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media religius, pemujaan kepada
Tuhan atau dewa-dewi. Arca berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni
dimaksudkan sebagai sebuah keindahan yang ditujukan sebagai simbol Tuhan arca dipuja
selayaknya Tuhan6.

Dalam Pantheon Agama Budha dikenal 3 macam Budha yaitu

1. Manusia Budha yaitu Budha yang menjelma dalam bentuk manusia.


2. Dhayani Budha yaitu Budha yang bersifat badari halus.

6
Wella Princa Rahmawati, “Arti Simbolis Arca Buddha Maha-Aksobhya (prasasti 1289) Sebagai Media
Pencegahan Perpecahan Kerajaan Singhasari”, Avatara e-journal Pendidikan Sejarah, Vol.5 No.3,(
Oktober 2017), hlm. 606.
3. Dhayani Bodisatva yaitu Budha sebagai makhluk kahyangan.

Ketiga macam Budha tersebut di arcakan sangat sederhana tanpa memakai perhiasan. Adapun
ciri-ciri pokoknya yaitu: Usnisha (rambut dari sanggul), Uma (bulatan di tengah dahi), telinga
panjang serta mudra yaitu sikap tangan yang membedakan arca Budha satu dengan lainnya.

b.) Arca Dwarapala

Gambar 4. Arca Dwarapala

Arca Dwarapala merupakan sebuah arca dengan dua kepala sebagai penjaga pintu masuk
dalam candi. Arca Dwarapala terletak pada pintu masuk bagian kiri dan kanan (berpasangan)
sebagai penjaga pintu (Dwarapala) dapat digambarkan sebagai mahluk yang ganas untuk
mengusir kejahatan dan menjauhkan bahaya7. Selain itu Arca Dwarapala juga berfungsi sebagai
penghancur roh karena pada zaman terdahulu serangan yang ditujukan tidak berupa fisik saja
tetapi juga serangan non fisik (supranatural). Dalam ajaran Siwa dan Buddha Arca Dwarapala
berbentuk manusia atau monster sedangkan di Jawa, Dwarapala diwujudkan sebagai raksasa.

7
Rr. Sri Wahyu Sarjanawati, “Arca Dwarapala Pada Candi-candi Buddha di Jawa Tengah”, Jurnal
Paramita Vol.12 No.2, (Juli 2010) hlm. 160.
c.) Patung Dewi Parwati

Gambar 5. Patung Dewi Parwati

Patung Dewi Parwati merupakan salah satu koleksi di Museum Daerah Tulungagung yang
tidak diketahui tahun dan tempat patung tersebut ditemukan. Ketika ditemukan patung ini berdiri
samabanga (sikap berdiri tegak) di atas padmasana gada (tahta/singgasana). Pada bagian belakang
arca terdapat stela sebatas leher arca, sisi kiri dan kanan hilang. Bagian belakang kepala terdapat
Prabha. Wajahnya sudah rusak dengan rambut terurai sebahu, memakai giwang (anting-anting),
kalung dua buah, kelat bahu, ikat dada, upawita, uncal dan gelang kaki dua buah, arca bertangan
empat kondisi tangan belakang rusak, dan kedua tangan depan tinggal sebatas lengan.

Menurut kepercayaan pemeluk agama Hindu Dewi Parwati merupakan salah satu dewi yang
dianggap sebagai sosok pasangan ke dua dari Dewa Siwa yang merupakan dewa pelebur dan
penghancur. Dewi Parvati memiliki delapan tangan dan menunggangi harimau atau macan
sebagai tempat duduknya. Dalam mitologi Hindu Parwati adalah seorang puteri dari raja gunung
Himalaya yang bernama Himawan dan seorang apsara yang bernama Mena.
d.) Arca Ganesha

Gambar 6. Arca Ganesha

Dalam kepercayaan umat Hindu Dewa Ganesha merupakar putra dari Dewa Siwa dan Dewi
Parwati. Ganesha seringkali digambarkan sebagai manusia berkepala gajah, berlengan empat dan
berbadan gemuk. Ganesha dikenal sebagai dewa “pelindung seni dan ilmu pengetahuan” dan
Dewa “kecerdasan dan kebijaksanaan”

e.) Arca Nandi

Gambar 7. Arca Nandi


Dalam mitologi Hindu Nandi atau nama lainnya Nandiswara merupakan kendaraan Dewa Siwa
yang digambarkan sebagai lembu jantan dengan posisi mendekam diatas lapik, kaki bagian kanan
depan ditekuk ke depan dada, sedangkan kaki belakang ditekuk ke depan. Nandiswara juga
dilambangkan sebagai lembu kekayaan, milik Bagawan Wasista, konon terlahir dari Surabhi, sang
lembu kemakmuran yang muncul ketika samudra8.

f.) Arca Skanda

Gambar 8. Arca Skanda

Skanda merupakan dewa perang yang memimpin para dewa memiliki kemampuan terbang dan
meloncat jauh. Dalam kepercayaan umat Hindu Skanda dianggap sebagai anak dari Dewa Siwa
dan Dewi Parwati. Karena kemampuannya Skanda memiliki simbol yang selalu berkaitan dengan
burung merak atau ayam jantan. Kedua jenis unggas tersebut dikenal mempunyai kepandaian
meloncat dan terbang apabila sedang bertarung. Dalam ikonografinya Dewa Skanda sering
digambarkan sebagai sosok laki-laki muda dengan atribut tombak dan kapak perang.

8
I Nyoman Adi Tiaga, “Adaptasi Pola Tata Ruang Arsitektur Ashram Lembah Bayam Dalam Bentuk
Arsitektur Ashram Vrata Wijaya”, Imaji Jurnal Seni dan Pendidikan Seni, Vol.11 No.2 (2013)
g.) Arca Kera

Gambar 9. Arca kera

Arca Kera pada museum daerah Tulungagung ini ditemukan di sekitar sungai Song, Desa
Pucangan, Kecamatan Kauman pada hari Rabu, 23 Mei 2012 oleh Bapak Jasmuni dalam timbunan
tanah berbatu. Menurut para ahli sejarah dan arkeologi arca ini tergolong langka dan unik karena
baru pertama kali sebuah arca kera ditemukan dengan wujud berdiri sendiri di Indonesia pada
umumnya kera terdapat di relief candi. Arca kera yang biasa ditemukan di luar Indonesia
khususnya India sebagai perlambangan tokoh dalam pewayangan Ramayana yakni Hanoman. Di
Indonesia sendiri tidak ditemukan sejarah adanya penyembahan terhadap arca kera para ahli
menduga bahwa Arca Kera memiliki keterkaitan dengan penemuan sebelumnya yaitu patung
Dewi Parwati. Namun belum dapat memperkirakan asal muasal Arca kera jika melihat dari
bahannya yang berupa batu pasir dapat dipastikan bahwa arca ini merupakan peninggalan
purbakala. Hingga saat ini Arca Kera masih dalam penelitian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya
Trowulan-Mojokerto.
h.) Kala

Gambar 10. Kala

Kala biasanya terdapat pada pintu masuk candi yang berfungsi sebagai penolak roh jahat
berbeda dengan Dwarapala Kala menangkal roh jahat yang ada di dalam bangunan candi. Kala
ini ditemukan pada makam di desa Sidorejo. Pada umumnya dalam satu candi terdapat enam Kala
dua buah Kala sudah ada di museum, kala yang ketiga berada di lokasi, dan yang satunya masih
belum ditemukan.

i.) Yoni

Gambar 11. Yoni


Dalam bahasa Jawa Yoni merupakan kemaluan wanita Yoni berfungsi sebagai simbol dari
kesuburan, dapat juga digunakan sebagai batas suatu wilayah pegunungan Yoni tersebut
berpasangan dengan Lingga. Di daerah Tulungagung bagian selatan Lingga dan Yoni banyak
ditemukan.

j.) Jobong Sumur

Gambar 12. Jobong Sumur

Jobong sumur ditemukan di daerah Ngujang dua yang memiliki usia sekitar 800 tahun
lebih. Pada zaman dahulu jobong sumur digunakan sebagai alat rumah tangga untuk sarana
upacara tradisional. Jobong sumur terbuat dari terakota atau tanah liat yang dibakar.
Koleksi Etnografi

Koleksi etnografi pada museum daerah Tulungagung menyajikan benda-benda peninggalan


hasil budaya pada masa silam. Benda-benda etnografis tersebut berupa peralatan hidup, mainan
yang digunakan pada masa lampau dan bersifat tradisional.

Gambar diatas merupakan koleksi etnografi berupa permainan tradisional dan perangkat
kehidupan masa lalu yaitu:

a. Banggalan/glangsingan/kekean adalah mainan tradisional yang terbuat dari kayu yang


tahan akan paku dan dibentuk sedemikian rupa. Bagian bawah diberi paku sebagai alat
untuk mematuk agar glangsingan dapat diputar hingga mendesing. Tujuannya pada saat
dipatuk lawannya glangsingan tetap berputar. Siapa yang glangsingannya berhenti
terlebih dahulu akan kalah. Uwet (bahasa jawa) merupakan alat untuk memutar biasanya
terbuat dari lulup kayu pohon waru.
b. Pada gambar kedua terdapat mainan tradisional yang bernama Bendan bahannya terbuat
dari batu berjumlah 2 buah yang satu berukuran besar dengan berat kurang lebih 1,5 kg.
dicarikan batu lain yang dapat berdiri tegak. Batu yang kedua agak kecil tujuannya untuk
dilemparkan ke pasangan batu yang besar tadi. Apabila kena maka yang menjaga harus
menggendong atau siap jadi kudanya dengan jarak yang telah ditentukan terlebih dahulu
oleh pemain yang menang.
c. Gambar selanjutnya adalah setrika arang pada zaman itu setrika arang sangat popular.
Bahannya terbuat dari macam-macam ada yang terbuat dari logam, kuningan, ataupun
baja anti karat. Setrika tersebut membutuhkan arang sebagai sumber panasnya.
d. Sen bolong merupakan uang koin China yang memiliki lubang di tengahnya. Model uang
tersebut juga digunakan di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Uang
tersebut berbahan dasar dari tembaga dan digunakan pada masa enam periode cetakan
yaitu pada tahun 1937, 1938, 1939, 1942, dan 1945.
e. Keris tilam sari memiliki filosofi keluarga Sakinah, mawadah, warahmah, dalam Islam
empat lambang keris tersebut disebut sebagai doa sapu jagat. keris tudung mediun
merupakan pusaka Kota Mediun pusaka tundung mediun wara hitam bermakna kejayaan,
kepribadian serta penolak bahaya. Kinangan pada gambar tersebut terbuat dari kuningan
yang merupakan komponen beberapa tempat untuk bahan-bahan orang menginang.
f. Mangkuk porselin China merupakan keramik China model Ming dari abad XIII – XIV
masehi mangkuk ini digunakan sebagai alat makan keluarga bangsawan di Jawa berwarna
hijau seladon, bermotif pecah seribu dengan bagian bawah dihiasi motif kelopak Teratai.
Sedangkan mangkuk porselin Thailand berwarna putih susu dengan glasir bening terbuat
dari keramik Swatow (Thailand) keramik tersebut masuk ke Indonesia bersamaan dengan
hangatnya hubungan dagangantar kerajaan di Jawa dengan China yang antara lain barter
kain sutra, keramik dari China ditukar dengan rempah-rempah dari Indonesia.
Kesan dan Pesan

Museum daerah Tulungagung atau lebih popular dengan nama Museum Wajakensis merupakan
salah satu wisata edukasi yang wajib dikunjungi oleh pelajar khususnya mahasiswa yang bergelut
pada bidang sejarah. Karena di dalamnya terdapat peninggalan-peninggalan yang cocok digunakan
sebagai materi pembelajaran, terutama penemuannya di lokasi daerah sekitar kita sendiri. Belajar
di luar kelas seperti ini memiliki sensasi yang berbeda, lebih seru, tidak membosankan, dan sangat
menyenangkan ketika dapat melihat peninggalan sejarah secara langsung. Wisata edukasi di
museum wajakensis sangat cocok bagi kalangan pelajar karena tidak memerlukan banyak biaya,
juga lokasinya dekat dengan kampus.

Harapan kedepannya museum daerah Tulungagung lebih dikenal oleh masyarakat luas bukan
hanya warga lokal Tulungagung melainkan dari luar daerah Tulungagung. Apabila museum ini
dapat dikenal oleh banyak orang maka akan memberikan manfaat kepada Tulungagung sendiri
yaitu menjadi tujuan pariwisata dan memberikan kesempatan kerja bagi warga sekitar. Koleksi
yang terdapat pada museum sangat banyak namun lokasinya kurang besar diharapkan kedepannya
museum wajakensis dapat semakin berkembang dan memperbaiki tatanan seluruh koleksinya.
Referensi

Anshori, M. J. (2010). Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi
Kemerdekaan . Jakarta: PT Mita Aksara Panaitan.

Asmara, Dedi. (2019). Peran Museum Dalam Pembelajaran Sejarah. Jurnal Pendidikan Sejarah
dan Riset Humaniora.

Hardianti, Endang. Sri. (2013). Peradaban Nusantara Pada Awal Masa Sejarah. Prajnaparamita:
Jurnal Museum Nasional.

Hasnawati. (2020). Persamaan dan Perbedaan Manusia Purba Dengan Manusia Modern.
Direktorat SMA, Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN.

Rahmawati, Wella. Princa. (2017). Arti Simbolis Arca Buddha Maha-Aksobhya (prasasti 1289)
Sebagai Media Pencegahan Perpecahan Kerajaan Singhasari. Avatara e-journal
Pendidikan Sejarah.

Sarjanawati, Roro. Sri. (2010). Arca Dwarapala Pada Candi-candi Buddha di Jawa Tengah. Jurnal
Paramita .

Tiaga, I. Nyoman. (2013). Adaptasi Pola Tata Ruang Arsitektur Ashram Lembah Bayam Dalam
Bentuk Arsitektur Ashram Vrata Wijaya. Imaji Jurnal Seni dan Pendidikan Seni.

Anda mungkin juga menyukai