Anda di halaman 1dari 17

SITUS GUA PRASEJARAH DI KOMPLEK SITUS BATURAYA:

MELAWAN ANCAMAN DAN UPAYA KONSERVASI


Oleh: Andika Arief Drajat Priyatno

ABSTRAK
Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat yang terletak di Kalimantan Timur
memiliki beberapa sub kawasan. Tiap sub-kawasan tersebut memiliki keunikan
tersendiri, baik dari tinggalan gambar cadasnya, maupun pada pemanfataan
lingkungan di sekitar situs. Tak terkecuali pada komplek Baturaya yang
merupakan sisi paling Barat pada kawasan karst raksasa ini. Komplek situs-situs
prasejarah pada kawasan yang cenderung terisolasi ini ternyata masih
mengalami berbagai ancaman langsung maupun yang sifatnya masih berupa
potensi yang mengancam bagi kelestarian. Identifikasi ancaman untuk
selanjutnya dilakukan upaya konservasi berupa tindakan preventif perlu untuk
dilakukan secara dini, agar pengelolaan di kemudian hari dapat berjalan secara
maksimal dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
dikemudian hari.
Kata kunci: Baturaya, ancaman, upaya konservasi.

PENDAHULUAN

Setiap upaya pelestarian Cagar Budaya yang ada di Indonesia tidak akan terlepas
dari pengelolaan sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Sebuah benda atau situs
yang telah ditetapkan sebagai sebuah Cagar Budaya, tentunya memiliki sebuah nilai penting
yang seharusnya memberikan manfaat yang dapat digunakan oleh masyarakat luas.
Paradigma memang harus diubah sekarang adalah sebuah Cagar Budaya yang harus dapat
memberikan peran secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat, karena
merekalah sebenarnya pemilik dari Cagar Budaya itu sendiri.
Pada kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat yang memiliki luas 1,8 juta hektare,
sebaran gua-gua prasejarah yang memiliki tinggalan berupa gambar cadas maupun yang
memiliki indikasi sebagai tempat hunian, berbagi tempat dengan pemanfaatan lahan oleh
manusia pada masa kini. Sebagian besar masih berupa hutan tertutup, dengan vegetasi dan
ekosistem yang masih cukup terjaga. Sebagian lainnya sudah merupakan daerah garapan
manusia seperti kebun sawit, ladang penduduk, tambang mineral, hingga yang secara
langsung memanfaatkan hasil hutan seperti hewan buruan, madu hutan, hingga sarang
burung walet. Interaksi manusia dengan gua-gua yang menyimpan gambar cadas sedikit
banyak akan mempengaruhi kualitas dari gambar tersebut.
Sub kawasan Baturaya yang merupakan salah satu lokasi yang memiliki beberapa
tinggalan gua-gua prasejarah. Lokasinya yang cukup susah diakses seharusnya menjadikan
lokasi ini sebagai lokasi paling strategis untuk melestarikan gambar cadas. Namun, perilaku
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya membuat semua tempat di kawasan ini pun
tidak akan luput darinya. Pada beberapa lokasi di kawasan ini memang sebagai surganya
para pemburu sarang burung walet pada era tahun 1960 – 1980an. namun seiring
berjalannya waktu, justru merekalah yang menemukan dan mengetahui keberadaan pasti
gua-gua yang mengandung temuan arkeologis. Hingga kemudian beberapa diantaranya
dapat menjadi pemandu jalan untuk peneliti yang ingin melihat tempat tersebut.
Baturaya merupakan sebuah jajaran pegunungan karst yang membentang dari Utara
ke Selatan, dengan vegetasi sedang hingga rapat membentuk sebuah hutan primer dan
hutan sekunder. Hutan primer adalah hutan tua asli yang dapat dibedakan dari banyaknya
pohon yang sangat besar dan semak-semak yang cenderung tipis. Pada hutan sekunder
hanya terdapat sedikit pohon besar, serta semak-semak (King, 2013: 14-15). Secara umum
berjalan di hutan primer tanpa harus membuka jalur sangat memungkinkan, tapi hal ini
jarang bisa dilakukan pada hutan sekunder.
Ancaman yang nyata bagi kelestarian gambar cadas prasejarah bukan hanya datang
dari faktor manusia, namun juga terjadi secara alami. Kondisi lingkungan alam yang terus
berputar untuk membuat keseimbangan memberikan efek secara langsung kepada lukisan-
lukisan tersebut. Apalagi jika terjadi perubahan lingkungan secara drastis karena berbagai
sebab. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai klasifikasi ancaman, potensi
ancaman yang mungkin akan terjadi, serta bagaimana upaya pelestariannya.
PEMBAHASAN

SITUS - SITUS PRASEJARAH


Komplek Situs Baturaya merupakan salah satu bagian dari Kawasan Karst
Sangkulirang-Mangkalihat yang berada pada bagian sisi Barat. Tipe karst nya berupa
menara karst yang menjulang hingga ketinggian 400-an meter dari permukaan tanah.
Kawasan ini merupakan salah satu penyumbang cadangan air yang sangat potensial baik
pada musim kemarau maupun pada musim hujan dengan adanya Sungai Marang yang
mengalir sepanjang tahun. Pun menyimpan banyak sekali potensi gua-gua hunian manusia
prasejarah maupun gambar cadas prasejarah.
Secara umum komplek situs prasejarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu situs
yang berada pada sisi Timur dan pada sisi barat, dengan jalur pendakian Ilas Kenceng yang
merupakan patahan lembah sebagai penghubungnya.
Situs gua prasejarah yang menjadi kajian pada tulisan ini semuanya berada pada
wilayah administratif Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur.
Lokasinya dapat ditempuh melalui rute Hambur Batu – Pondok Anus II dengan menaiki
perahu selama 8 jam perjalanan melalui Sungai Marang, kemudian dilanjutkan dengan
berjalan kaki selama kurang lebih 2 jam sampai ke Camp Tebo. Namun apabila musim
kemarau tiba dan hujan turun sangat jarang, perahu tidak akan dapat melewati Sungai
Marang karena debit airnya terlalu dangkal. Pada lokasi ini merupakan lembah yang
berukuran sedang dimana terdapat sebuah sedepan atau tempat keluarnya air sungai
Marang dari dalam gua.
1. Liang Tebo Atas
Liang Tebo Atas berada dekat dengan Camp Tebo, berada pada koordinat 1° 06'
58,8˝ LU dan 117° 18' 54,3˝ BT. Arti nama Tebo sendiri menurut masyarakat sekitar
berarti lubang air. Lokasinya memang dekat dengan sumber air yaitu sekitar 100 m.
Situs yang memiliki orientasi Timur Laut dengan ketinggian 120 mdpl ini, memiliki
beberapa tinggalan arkeologis berupa gambar cadas. Temuan gambar cadas yang ada
berupa cap tangan negatif yang berwarna merah dan kehitaman. Namun jumlah cap
tangan yang dijumpai di situs ini jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya terdapat 18 buah
cap tangan. Beberapa cap tangan tersebut tersebar di beberapa ruang gua.
Foto (1) Suasana ruangan Liang Tebo Atas.

Secara keruangan Liang Tebo mempunyai ruangan yang luas, cukup terkenan
paparan sinar matahari sehingga tidak lembab, serta mendapatkan pencahayaan yang
bagus sepanjang hari. Liang Tebo berbentuk seperti sebuah terowongan yang cukup
luas. Ruang seperti ini sangat cocok bagi hunian manusia, apalagi di dalam ceruk ini
terdapat sebuah kolam air kecil, selain sumber air lainnya berupa sedepan Tebo yang
mengalir sepanjang tahun.

(2) (3)

Foto (2) Cap tangan Liang Tebo Atas


(3) Gambar cadas yang mulai pudar

Paparan sinar matahari yang berlebihan dan ruang berbentuk terowongan


menyebabkan angin dapat berhembus kencang menyapu dinding gua, yang secara
langsung dapat mempengaruhi kondisi gambar cadas yang ada pada situs ini. Hal ini
apabila tidak segera ditanggulangi dapat mengakibatkan semakin rusaknya gambar
cadas yang ada pada situs tersebut.
2. Lubang Wanadri
Lubang Wanadri berada pada gugusan perbukitan Baturaya, tepat berada di lereng
sebuah gunung yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Gunung
Kristal. Nama lokal dari situs ini adalah Lubang Payau 1, dimana sekitar lokasi ini
terdapat sebuah lubang yang dulunya dipakai sebagai tempat penjagaan sarang burung
walet, yakni Lubang Berak. Situs ini memiliki ketinggian 281 mdpl, serta terletak pada
koordinat 01o 06’ 16.7” LU dan 117o 19’ 34,1” BT.
Situs ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri punggungan dan lembah
dari Liang Tebo Atas dengan mendaki selama kurang lebih 3 jam. Mulut gua tepat
menghadap ke arah Barat, sehingga pada sore hari memberikan pemandangan
matahari tenggelam yang sangat indah. Situs ini memiliki beberapa ruang yang dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruangan yang terkena paparan sinar matahari dan
ruang yang sama sekali tidak terdapat cahaya. Memiliki dua mulut gua, yakni mulut gua
utama yang berada pada lantai 1 dan mulut gua kedua yang menghubungkan dengan
sebuah ceruk atau Liang Payau 2 yang berukuran cukup besar.

Foto (4) Suasana mulut gua Lubang Wanadri

Tinggalan arkeologis pada situs ini berupa gambar cadas berbentuk cap tangan
dewasa dan anak-anak, binatang, motif sulur-suluran, perahu, dan gambar yang diduga
sebagai bentuk sarang tawon. Seluruh temuan gambar cadas tersebut berada pada
ruang utama yang mendapat paparan cahaya matahari, serta berada pada bagian
dinding atas dan atap yang dapat dibagi menjadi tiga panel gambar karena
penempatannya yang berdekatan. Ada pula sebuah panel yang terletak pada sebuah
lubang kecil di bagian dinding atap yang sangat susah untuk dijangkau, yang berisikan 5
buah gambar cap tangan negatif.

Gambar (1) Denah Lubang Wanadri

Bentuk ancaman yang sangat nyata pada situs ini terjadi pada masa keemasan
sarang burung walet, dimana lokasi ini juga digunakan sebagai tempat untuk menjaga
sarang tersebut, sehingga pada situs ini ditemukan pula sisa-sisa tempat tampungan air
yang terbuat dari terpal. Mungkin digunakan untuk menampung air yang menetes dari
dinding gua mengingat di sekitar lokasi tidak ditemukan sumber air. Para penjaga yang
menunggu di tempat ini melakukan vandalsime dengan memberikan coretan tulisan
bahkan gambar pada dinding gua yang sebenarnya banyak terdapat gambar cadas.
Selain ancaman tersebut, beberapa gambar yang terletak pada mulut gua
mengalami keausan dan pudarnya warna diduga karena paparan matahari sore secara
langsung dan hembusan angin lembah yang berhembus pada siang hari. Ada pula lebah
gua dan serangga yang membuat jalurnya dengan menutup beberapa gambar cadas,
hingga membuat lapisan karst yang menempel dapat dengan mudah terkelupas.
(5) (6)

Foto: (5) Vandalisme pada pilar


(6) Vandalisme pada dinding dan sarang serangga

3. Lubang Jupri
Lubang Jupri ditemukan pada tahun 2002. Lubang ini berada pada tegalan karst
puncak Baturaya. Tegalan ini pada musim kemarau hanya berupa kolam karst, namun
saat musim hujan bisa membanjiri seluruh tegalan. Nama lain dari situs ini adalah Gua
Gala. Situs ini terletak pada koordinat 01o 07’ 14.0” LU dan 117o 20’ 11.3” BT, dengan
ketinggian 268 mdpl dan memiliki arah dapat ke Timur. Situs ini berada pada bagian
Timur dan paling selatan gugusan perbukitan Baturaya, yang memiliki temuan arkeologis
sampai saat ini.
Jalur untuk menuju situs ini dapat melewati Sungai Marang menuju Camp Tebo,
dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Ilas Kenceng dari sisi Barat Baturaya untuk
menyebrangi sisi Timur. Kemudian dilanjutkan menyusuri beberapa sumber air kecil
pada lembah yang terletak diantara Baturaya dan kaki Gunung Beriun. Selain itu jalur ini
dapat ditempuh melalui jalur logging melalui Ds. Perondongan yang masuk dalam
wilayah Kec. Karangan, Kab. Kutai Timur. Pada bagian bawah Lubang Jupri terdapat
sebuah gua horizontal yang besar hingga beberapa kilometer dalamnya, dan masih
dimanfaatkan oleh penjaga sarang burung walet karena hasilnya yang masih bagus.
Dikenal dengan Lubang Sedepan, tempat ini merupakan jalur menuju Lubang Jupri pada
bagian atasnya.
Gambar (2) Denah Liang Jupri

Situs terletak pada lereng bukit yang sangat terjal dan susah untuk dijangkau. Akses
untuk menuju ke lokasi adalah merayap ke tebing dengan bantuan tali dan batuan
pijakan yang sangat rapuh. Meski aksesnya yang sangat susah, tinggalan arkeologis
yang terdapat pada situs ini sangat banyak dan beragam. Terdapat 122 buah gambar
cadas yang terdiri dari beberapa motif, yaitu cap tangan, gambar binatang berupa babi
dan rusa, sosok antromorfik, satu gambar yang menyerupai daun atau tanaman, gambar
geometris, serta gambar rusa yang tertancap anak panah. Gambar-gambar tersebut ada
yang berwarna merah maupun hitam. Beberapa cap tangan memiliki motif garis dan titik.
Selain itu terdapat pula bentuk antomorphik yang sosoknya dilebih-lebihkan dari ukuran
sebenarnya. Ada pula yang menggambarkan adegan berburu rusa. Gambar cadas
tersebut ada yang saling tindih satu sama lain, mengindikasikan bahwa telah terjadi
penumpukan gambar oleh masyarakat pendukungnya pada masa lampau.
Kondisi gambar cadas yang terdapat pada Liang Jupri sebagian besar masih cukup
terawat, namun pada beberapa panel gambar terdapat lukisan yang tertutup oleh larutan
karst atau travertin. Kondisi ini mungkin disebabkan karena batuan karst yang ada masih
mengalami proses karstifikasi, sehingga air masih dapat menembus celah batuan dan
dapat menutupi gambar cadas yang ada. Sama dengan kondisi situs lainnya, Liang Jupri
pun tidak terlepas dari incaran pencari sarang burung walet. Tidak ditemukan adanya
vandalisme pada situs ini, namun terdapat beberapa sisa kayu yang digunakan untuk
mengambil sarang burung di ketinggian.
Situs ini menghadap ke arah Timur, sehingga terkena paparan cahaya matahari
langsung pada pagi hari. Namun karena mulut Liang Jupri yang tidak terlalu besar,
banyak gambar cadas yang berada pada tempat remang-remang dengan kondisi udara
yang justru cenderung lembab. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya lumut yang dapat
menutup gambar cadas yang ada pada situs ini.

4. Lubang Sahak
Lubang Sahak masih berada pada sisi Timur komplek Baturaya, berdekatan dengan
Lubang Ham dan Jeriji Saleh. Situs ini memiliki ketinggian 165 mdpl, dengan lokasi
koordinat berada pada 01o 07’ 37.7” LU dan 117o 20’ 14.9” BT. Situs ini dapat ditempuh
dari Liang Jupri selama satu jam berjalan kaki. Tidak terlalu tinggi dan terjal akses untuk
menuju ke situs ini, namun tetap diperlukan peralatan keamanan mengingat jalan
masuknya tepat berada pada bibir tebing.
Situs ini merupakan sebuah gua horisontal yang memiliki mulut gua yang cukup
lebar menghadap ke arah timur, hampir sejajar dengan Liang Jupri. Secara keruangan
dapat dibagi menjadi beberapa ruang berdasarkan intensitas cahaya, yakni terang,
remang-remang dan gelap. Tinggalan arkeologis berupa gambar cadas pada situs ini
berada pada ruang yang memiliki intensitas cahaya yang gelap dan terang. Bahkan
ditemukan pula pada atap gua dan sebuah cekungan kecil yang harus merayap untuk
melihat gambar tersebut.
Temuan gambar cadas pada Lubang Sahak berjumlah 171 buah, yang didominasi
oleh cap tangan negatif, baik dewasa maupun anak-anak. Semuanya tersebar pada
seluruh ruang utama, mengingat ruang ini cukup luas dan terang. Pada mulut gua,
terdapat sebuah ruang kecil sebagai jalur masuk menuju Lubang Sahak, yang ternyata
juga memiliki beberapa gambar cadas, namun tampak pudar karena tekena paparan
sinar matahari langsung dan terpaan angin lembah. kasus ini banyak ditemukan pada
gambar cadas yang terletak pada dinding yang terang dan terkena angin secara
langsung. Selain temuan gambar cadas, di situs ini ditemukan pula beberapa batu rijang
yang masih merupakan bahan dasar dan konsentrasi sisa cangkang gastropoda yang
mengalami pengupasan pada ujungnya.

Nampaknya situs ini juga dimanfaatkan oleh para pemburu sarang walet dengan
menjaga lubang ini. Hal ini terkait dengan temuan sisa-sisa kayu yang digunakan untuk
mengambil sarang. Dampaknya adalah adanya vandalisme yang ditemukan pada situs
ini, bahkan ada yang menutupi beberapa gambar cadas. Ancaman lain yang terdapat
pada situs ini adalah tumbuhnya lumut pada gambar yang berada pada ruang dengan
intensitas cahaya remang-remang, dinding karst yang terkelupas, dan adanya travertin
yang menutupi beberapa gambar cadas.

POTENSI ANCAMAN DAN UPAYA KONSERVASI


Komplek Situs Baturaya memang cukup jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga
seharusnya kawasan ini memiliki tingkat kelestarian yang cukup bagus. Meskipun demikian,
jauhnya akses untuk menuju kesana tidak menyurutkan hasrat manusia untuk berupaya
sekuat tenaga dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Adanya pemanfaatan hasil hutan
dengan kegiatan perburuan, mengambil madu hutan, berladang, hingga mencari sarang
burung walet yang terdapat di gua-gua karst dengan resiko tinggi tak jarang mereka
lakukan.
Selain masyarakat yang secara langsung memanfaatkan kawasan ini, terdapat
banyak pihak yang tentunya memiliki kepentingan secara langsung maupun tak langsung
pada kawasan ini. Penggunaan lahan hutan dapat dimanfaat secara luas baik yang terlihat
di permukaan maupun yang terkandung di dalamnya, bahkan dalam hal ini termasuk
tinggalan budaya yang secara arkeologis memiliki nilai penting bagi pemanfaatan kawasan
ini pada masa lampau.
Situs-situs prasaejarah di Baturaya mendapatkan dampak ancaman kelestarian
secara , maupun yang masih bersifat sebagai potensi untuk merusak. Ancaman yang
ditemui pada kawasan ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: ancaman oleh makhluk
hidup (biotik); serta ancaman yang berasal dari faktor alam (abiotik).
1. Ancaman Biotik.
Ancaman maupun potensi ancaman yang terjadi pada situs-situs prasejarah di
kawasan ini berasal dari makhluk hidup yang secara langsung melakukan interaksi
dengan gua-gua prasejarah yang mengandung tinggalan gambar cadas.
2. Ancaman Abiotik
Ancaman maupun potensi ancaman ini dapat terjadi karena faktor alam yang
mempengaruhi secara mikro, messo dan makro pada gua-gua prasejarah.
Beberapa ancaman dan potensi ancaman biotik yang dapat dilihat di komplek situs
Baturaya yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Vandalisme
Ancaman manusia berupa vandalisme pada situs-situs di komplek Baturaya umum
dilakukan, apalagi pada situs yang mengandung sarang burung walet. Perilaku ini
terjadi karena aktualisasi diri yang dilakukan dengan kurangnya pengetahuan tentang
gambar cadas yang tersebar pada dinding gua.
b. Pencemaran Lingkungan
Hal ini dapat terjadi karena situs-situs prasejarah kadang juga digunakan sebagai
tempat tinggal sementara dengan mendirikan gubuk sederhana atau tempat untuk
beristirahat. Seperti yang terlihat pada Lubang Wanadri dan Lubang Sahak, banyak
sisa-sisa kayu, terpal, dan sampah bungkus makanan yang mencemari kawasan ini.
Selain itu sisa perapian yang berada dekat dengan dinding juga dapat memberikan
dampak langsung dengan asap pembakaran yang dapat membuat gambar cadas
menjadi gelap atau pudar.
c. Debu
Pada beberapa situs yang memiliki ruang luas dan kering seperti Liang Tebo Atas,
Lubang Sahak, Lubang Ham, dan Jeriji Saleh, memiliki lantai yang tertutup oleh debu.
Kunjungan manusia pada situs-situs tersebut secara berlebihan dapat mengakibatkan
debu yang ada pada lantai gua dapat beterbangan ke seluruh ruangan dan
menempel pada dinding gua, yang secara langsung juga dapat menutupi permukaan
gambar cadas. Meskipun pada masa sebelum manusia hal ini juga kemungkinan
dapat terjadi disebabkan oleh faktor angin, namun intensitas yang tinggi dapat
menyebabkan kerusakan.
d. Tumbuhnya Lumut atau Alga
Lumut dan alga sangat terkait adanya air, suhu, serta kelembapan udara. Pada situs-
situs prasejarah yang ada, lumut tumbuh pada dinding gua yang kondisinya lembab,
dimana terkadang terdapat gambar prasejarah pada dinding tersebut. Namun
kemungkinan tumbuhnya lumut disebabkan pula oleh faktor alam lainnya, mengingat
gambar cadas pasti tidak akan dibuat pada dinding gua yang cenderung basah atau
lembab. Berarti kemungkinan telah terjadi perubahan kondisi pada dinding gua yang
disebabkan oleh banyak faktor.
e. Tumbuhan
Munculnya tumbuhan di dalam gua memang sangat jarang ditemukan, namun pada
beberapa situs yang memiliki mulut gua cukup terbuka, tanaman semak belukar
merambat dapat tumbuh dengan baik. Selain itu, adanya tumbuhan besar yang
berada pada dinding bagian luar terkadang memiliki akar yang masuk menembus
batuan hingga dapat memecahkan batuan karst. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi
gambar cadas pada dinding karst, meskipun kasusnya jarang ditemukan.
f. Serangga
Hewan kecil ini banyak memanfaatkan ruangan di dalam gua yang cenderung kering
sebagai sarang mereka. Banyak dijumpai semut, lebah gua, maupun rayap yang
menbuat sarang mereka menutupi dinding gua yang memiliki gambar cadas. Hal ini
dapat mengakibatkan tertutupnya gambar, maupun hal yang lebih parah adalah
mengelupasnya permukaan dinding gua.

Selain ancaman biotik, ancaman abiotik juga memberikan andil yang cukup signifikan
terhadap kondisi kelestarian gambar cadas. Beberapa ancaman abiotik yang ditemui pada
komplek situs Baturaya antara lain:
a. Sinar Matahari
Paparan sinar matahari secara langsung, meskipun hanya beberapa saat dapat
memberikan dampak pada kelestarian gambar cadas. Gambar cadas yang terletak di
bagian dinding luar situs biasanya langsung menghadap arah terbit atau arah
tenggelamnya matahari, dan hal ini setidaknya telah berlangsung selama ribuan
tahun lamanya. Namun pada era pengaruh manusia pada saat ini dengan isu
pemanasan global yang semakin kuat, paparan sinar matahari nampaknya
memberikan pengaruh yang lebih besar, terutama dalam menciptakan suhu ruangan
dan kelembapan udara secara mikro. Hal ini dapat terlihat pada pudarnya gambar
cadas di Lubang Wanadri dan Lubang Sahak yang terpapar langsung cahaya
matahari.
b. Angin
Hembusan angin juga dapat memberikan pengaruh secara langsung pada gambar
cadas yang terletak dekat lubang angin seperti mulut gua atau jendela ruang gua.
Paparan angin lembah yang berhembus pada siang hari dipengaruhi pula oleh sinar
matahari dan suhu udara pada kawasan, sehingga intensitas yang terlalu sering
dapat membuat pudar gambar cadas.
c. Kelembapan Udara
Kelembapan udara yang dipengaruhi oleh cahaya matahari, suhu ruangan, dan air
menciptakan kondisi udara yang dipenuhi dengan titik-titik air, kemudian menempel
pada dinding gua. Hal ini dapat menyebabkan dinding karst yang meskipun tidak
terkena aliran air secara langsung menjadi cenderung basah. Hal ini dapat memicu
tumbuhnya lumut pada dinding gua.
d. Karstifikasi
Proses pembentukan batuan karst atau karstifikasi merupakan proses alam dimana
air yang terlarut pada batuan karst menciptakan sebuah morfologi di dalam gua. Hal
ini biasanya dicirikan dengan adanya tetesan air pada stalagtit yang menandakan
gua tersebut masih aktif prosesnya. Celah dalam batuan karst dapat mengalirkan air
yang merembes dan membawa lapisan karst yang baru pada dinding gua. Hal ini
menyebabkan terjadinya gejala travertin yang seingkali menutupi gambar cadas
hingga dapat menjadi hilang seutuhnya.

Hal-hal diatas memang dapat mempengaruhi kelestarian gambar cadas yang


merupakan tinggalan budaya pada lokasi ini. Perlu dilakukan kajian secara ilmiah untuk
menanganinya. Hal yang biasanya sering dilakukan untuk kasus ancaman cagar budaya
seperti ini dengan menggunakan pendekatan Cultural Research Management (CRM).
Pendekatan CRM ini biasanya digunakan pada sistem kawasan, dimana tidak hanya cagar
budaya saja yang berpengaruh, namun terdapat pemangku kepentingan lainnya (Nashrudin,
2014 ). Namun dalam hal ini, pendekatan awal CRM dapat dilakukan kepada masyarakat
yang bergantung secara langsung pada kawasan Baturaya, terutama pada pencari sarang
burung walet, para pemburu, bahkan para masyarakat yang biasa dijadikan pemandu
(porter) oleh para peneliti. Merekalah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam upaya
pelestarian gambar cadas prasejarah, karena merekalah yang tau tentang kondisi
sebenarnya di lapangan.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ancaman situs-situs
prasejarah pada kawasan ini adalah tindakan konservasi, dalam artian sebuah tindakan
konservasi yang berupa tindakan pencegahan agar ancaman yang ada tidak terjadi lagi
maupun tidak bertambah parah. Pengertian konservasi dalam arti luas sendiri adalah segala
macam upaya untuk melestarikan cagar budaya termasuk perlindungan, pemanfaatan dan
pengembangan. Dengan demikian konservasi dalam arti luas memiliki cakupan yang sangat
luas, atau bisa diartikan sebagai preservasi atau pelestarian itu sendiri. Sedangkan
konservasi dalam arti sempit adalah usaha-usaha untuk mempertahankan kelestarian
material benda cagar budaya termasuk nilai-nilai yang terkandung yang mencakup tindakan
pada kegiatan teknis yang melibatkan material cagar budaya dan bahan-bahan kimia
konservasi (Cahyandaru, 2010).
Upaya konservasi preventif atau pencegahan dapat dilakukan pada kawasan ini,
mengingat lokasi yang cukup terisolasi dari dunia luar. Beberapa upaya pelestarian yang
dapat dilakukan untuk mengatasi ancaman biotik maupun abiotik pada kawasan ini antara
lain yaitu:
1. Memberikan pengetahuan tentang nilai penting yang terkandung pada tinggalan
gambar cadas prasejarah. Nilai penting ini seharusnya juga dapat dikelola
sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat secara langsung pada kesejahteraan
masyarakat. Para pemandu lapangan yang biasanya berperan sebagai pencari
sarang burung walet, perlu diberikan pengetahuan yang cukup, jangan sampai
mereka kemudian justru memberikan ancaman secara langsung kepada benda
cagar budaya. Memberikan mereka pandangan bahwa potensi tinggalan budaya ini
dapat menjadi mata pencaharian yang menjanjikan di masa yang akan datang.
2. Membuat papan larangan atau peringatan sebagai salah satu langkah yang tegas
terhadap pengrusakan atau pemanfaatan yang tidak sesuai dengan UU No. 10
Tahun 2011.
3. Melakukan penanaman vegetasi hutan tertutup pada daerah di sekitar situs untuk
menjadi pengahambat secara alami intensitas cahaya dan angin yang masuk ke
dalam ruangan situs. Namun melakukan penanaman di sekitar area situs juga
memiliki kelemahan, yakni apabila terjadi kebakaran hutan tanaman tersebut dapat
menyebar ke dalam situs dan akan berdampak pada gambar cadas itu sendiri.
4. Melakukan pembatasan kunjungan ke dalam situs untuk mengurangi akumulasi debu
yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Atau dapat dilakukan pemahaman terlebih
dahulu terhadap pengunjung situs sebelum memasuki area situs akan dampak yang
dapat ditimbulkan oleh debu tersebut.
5. Melakukan pembasmian serangga dan lumut atau alga yang menempel pada
gambar cadas, namun bahan yang digunakan haruslah berbahan alami dan bukan
bahan kimia buatan. Penggunaan bahan tersebut dikhawatirkan dapat
mempengaruhi kondisi gambar cadas maupun dinding yang menjadi dasarnya.
KESIMPULAN

Bagi masyarakat masa lampau yang hanya menggunakan lahan hutan sebagai
tempat sumber makanan dengan berburu dan meramu, berkembang ke tahap lanjut yakni
pemanfaatan lahan secara menetap maupun berpindah. Hal ini pastinya mengubah pola
pikir manusia untuk mengeksplorasi lahan secara maksimal, namun jarang memperhatikan
dampak yang akan terjadi pada kemudian hari. Dampak yang dilihat dari sisi cagar budaya
tentunya pada permasalahan yang menyangkut benca cagar budaya itu sendiri, baik yang
disebabkan oleh faktor biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang disebabkan oleh makhluk
hidup pada dasarnya masih dapat ditangani, karena pelaku maupun perilakunya masih
dapat dilihat. Sedangkan faktor abiotik yang disebabkan oleh kondisi alam, kita harus dapat
secara bijak menentukan tindakan yang perlu untuk dilakukan semaksimal mungkin.
Yang menjadi pusat perlindungan dalam kasus ini adalah benda cagar budaya nya,
namun bukan hanya itu, perlindungan preventif menekankan pada perlindungan nilai
penting yang terkandung dalam benda tersebut. Preventif adalah perlindungan yang bersifat
pencegahan. Melakukan tindakan pencegahan adalah hal yang lebih utama dibandingkan
pengobatan (tindakan kuratif) pada cagar budaya. Sehingga dalam melaksanakan sebuah
upaya konservasi preventif, observasi terhadap kondisi lingkungan mikro dan makro sangan
diperlukan untuk mengambil tindakan yang tepat pada pelestarian benda cagar budaya.
Hal diatas dapat diterapkan pula pada kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat
pada umumnya, maupun pada sub-kawasan Baturaya secara khusus. Penanganan yang
tepat secara terperinci menjadi sebuah kewajiban bersama untuk menjaga kelestarian
benda cagar budaya, serta lingkungan penunjangnya. Kesadaran masyarakat juga harus
terus dibangun untuk menumbuhkan sifat memiliki terhadap benda cagar budaya, bahkan
nilai penting yang terkandung di dalamnya akan turut berperan langsung terhadap
kesejahteraan mereka.
Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat yang digadang menjadi sebuah world
heritage tentunya harus dipersiapkan sedemikian rupa dalam rangka pengelolaan situs-situs
cagar budaya yang ada. Hal ini tentunya penting dilakukan agar tercipta sebuah manajemen
cagar budaya yang terintegrasi dan dapat mengakomodasi kepentingan dari berbagai pihak.
Masyarakat setempat secara khusus harus mendapatkan perhatian yang lebih, terutama
dalam rangka peningkatan kesejahteraan mereka, para penjaga garis depan.
DAFTAR PUSTAKA
King, Victor T. 2013. Kalimantan Tempoe Doloe. Depok: Komunitas Bambu (Hal. 14-150)

Cahyandaru, Nahar. 2010. Dasar-Dasar Konservasi. Magelang: Balai Konservasi


Borobudur.

Nashruddin. 2014. PENGELOLAAN INTEGRATIF CAGAR BUDAYA DI KAWASAN KARST


SANGKULIRANG, KUTAI TIMUR. Dalam Buletin Kundungga Vol. 3 / 2014 – BPCB
Samarida

Mulyadi, Yadi. 2015. CAGAR BUDAYA UNTUK MASYARAKAT: REFLEKSI


PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA INDONESIA,Dalam Buletin Pelestarian Cagar
Budaya Kundungga. BPCB Samarinda Wilayah Kerja Kalimantan: Samarinda.

Prof. Dr. Su Ritohardoyo, M.A. 2013. PENGGUNAAN DAN TATA GUNA LAHAN. Penerbit
Ombak: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai