Anda di halaman 1dari 123

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA


PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN:
POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Flavianus Setyawan Anggoro

NIM: 054314005

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

MOTTO

“Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup”


(NN)

iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini Aku Persembahkan untuk:


Yang Maha Penyayang
Kedua Orangtua Ku
Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto
Serta semua orang yang menyayangiku

v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK
(Indonesia)
Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan
Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu
Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan
skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang
munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika wacana kebudayaan yang
tersaji dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, dan 3) wacana kebudayaan Indonesia
yang muncul setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945.
Landasan teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori dialektika
dari G. W. F. Hegel dan teori ruang publik yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas.
Sedangkan metode penelitiannya adalah Studi Pustaka, Analisis Data, dan
Historiografi. Langkah terakhir dari penelitian ini, yakni historiografi, akan disajikan
dengan metode historis kronologis, peristiwa-peristiwa sejarah yang dibahas akan
disusun sesuai dengan urutan waktu terjadinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) munculnya peristiwa Polemik
Kebudayaan dilatarbelakangi oleh munculnya “Cita-cita ke-Indonesiaan”, 2) Polemik
Kebudayaan merupakan perdebatan tentang cara merealisasikan “Cita-cita ke-
Indonesiaan”, dan 3) wacana kebudayaan Indonesia yang muncul setelah Polemik
Kebudayaan adalah konsensus tentang Kebudayaan Nasional Indonesia dalam rangka
pembentukan Undang-Undang Dasar tahun 1945.

vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Abstract
(Inggris)

Thesis titled "Cultural Discourse Indonesia At The Independence Movement:


Polemic Culture (1935 - 1939)" This is a study of Science History of pewacanaan
culture that has ever happened in Indonesia. Writing this thesis aims to describe and
analyze: 1) background of the emergence of the Cultural Polemics events, 2) the
dynamics of cultural discourse presented in the Cultural Polemics events, and 3) the
discourse of Indonesian culture that emerged after the Cultural Polemics until 1945.
Theoretical basis used in this paper is a dialectical theory G. W. F. Hegel and
the “Public Sphere” theory propounded by Jurgen Habermas. While the research is to
study methods References, Analisis Data, and Historiography. The final step of this
research will be presented with a chronological historical method, historical events
discussed will be arranged in order of time occurrence.
The results showed that: 1) the emergence of background events in the
emergence of the Cultural Polemics Goals The Indonesiaan, 2) Polemic of Culture is
a debate about how to realize the Goals The Indonesiaan, and 3) the discourse of
Indonesian culture that emerged after the Cultural Polemics is a consensus about
Indonesia's National Culture in order formation of the Constitution of 1945.

viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan

tangannya kasih-Nya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi

berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan

Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)”.

Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan dari

berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua bantuannya

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pada kesempatan ini

penulis dengan penuh ketulusan hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu

Sejarah.

2. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan perhatian dan meluangkan waktunya, serta dengan sabar

membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan kepada penulis,

sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Dr. I. Praptomo Bayardi, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Sastra.

4. Dosen-dosen pembimbing akademik seperti: Bapak (almarhum) Prof. P.J.

Soewarno, S.H., Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., Bapak Dr. St.

Sunardi, Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ., Romo Dr. G. Budi Subanar

SJ., Bapak Dr. Anton Haryono M. Hum., Drs. H. Purwanta M. A., Ibu Dra.

Lucia Juningsih M. Hum., dan yang berkenan menjadi pengajar dan

ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

membimbing kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa

di Universitas Sanata Dharma.

5. Karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, atas kerja

sama yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada semua keluargaku

7. Rekan-rekan angkatan 2005: Dominikus Bondan Pamungkas, Agung Eko

Ariestiya, Sr. Magdalena Nimat, Yohana, Hafen Hafidzulah, dan Tom.

8. Rekan-rekan mahasiswa di Jurusan Ilmu Sejarah (Wilhelmus Ruperno, dkk).

9. Teman-teman kos: Yus, Lipen, Lazarus, Valentinus Ola Beding, Triantoro,

Aci, Iber, Budi, Odon, Siweng (Boss), Hanu, Somat, I’ut, Ino (Cen), dan Jack.

10. Teman-teman di Forum Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sekadau dan

masih banyak lagi teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu

namanya di sini (ma’af ya..?).

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena

terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati

dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

untuk penyempurnaan dan pengembangan skripsi ini lebih lanjut.

x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………………….. iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………………… vi
ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii
ABSTRACY…………………… …………………………………………………………….. viii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………... iv
KATA PENGANTAR…………………………………….. ……………………... ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………………………………………...... xi
DAFTAR ISI……… ……………………………………………………………... xii

PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….... 1
B. Identifikasi Masalah………………………………………………………... 5
C. Rumusan Masalah………………………………………………………….. 6
D. Hipotesa……. ……………………………………………………………... 7
E. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. 7
F. Manfaat Penelitian ………………………………………………………... 7
G. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………... 8
H. Landasan Teori ……………………………………………………………..10
I. Metodologi Penelitian…….. …………………………………………….. 14
J. Sistematika Penulisan ……………………………………………………... 15

BAB II: DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN……. .. 16


A. Masyarakat Intelektual Indonesia…………………………………………. 16
B. Munculnya Cita-cita ke-Indonesiaan ……………………………………… 23
B.1. Organisasi Budi Utomo ……………………………………………… 23
B.2. Perguruan Taman Siswa……………………………………………… 29
B.3. Sumpah Pemuda ……………………………………………………... 33

BAB II: DINAMIKA PERDEBATAN KEBUDAYAAN INDONESIA


TAHUN 1935 – 1939……………………………………………………………… 37
A. Ruang Perdebatan Kebudayaan …………………………………………... 37
A.1. Majalah Pujangga Baru ………………………………………………. 37
A.2. Surat Kabar Pewarta Deli ……………………………………………. 42
A.3. Harian Suara Umum …………..……………………………………... 44
A.4. Majalah Wasita ………………………………………………………. 45
B. Aktor-aktor dibalik Perdebatan Kebudayaan Tahun 1935 – 1939……….. 47
B.1. Sutan Takdir Alisjahbana …………………………………………….. 47
B.2. Sanusi Pane …………………………………………………………... 49

xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.3. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka ……………………………… 51


B.4. dr. Soetomo ………………………………………………………….. 54
B.5. Tjindarboemi …………………………………………………………. 55
B.6. Djamaluddin Adinegoro ……………………………………………... 56
B.7. Ki Hadjar Dewantara …………. ……………………………………... 58
B.8. dr. Mohammad Amir ………………………………………………… 61
C. Perdebatan Kebudayaan Indonesia Tahun 1935 – 1939 …………………... 63
C.1. Perdebatan Tahap Pertama….. ……………………………………... 63
C.2. Perdebatan Tahap Kedua……………………………………………… 70
C.3. Perdebatan Tahap Ketiga …………………………………………….. 82
D. Memaknai Polemik Kebudayaan ………………………………………….. 85
D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur ………………….. 85
D.2. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kebangsaan ………………………….. 88

BAB IV: DINAMIKA PERUMUSAN KEBUDAYAAN NASIONAL


INDONESIA …………………………………………………………... 91
A. Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia ………………………… 91
B. Perumusan Kebudayaan Nasional ……………………………………… 93
C. Kebudayaan Nasional Indonesia ……………………………………….. 99

BAB V: PENUTUP………………………………………………………………. 101


A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 101
B. Saran ……………………………………………………………………. 103

DAFTAR PUSTAKA

xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekitar tahun 1935 – 1939, ranah kebudayaan Indonesia mengalami gejolak.

Pada saat itu terjadi perdebatan tertulis di beberapa media cetak, seperti Majalah

Poedjangga Baroe, Majalah Wasita, Surat Kabar Pewarta Deli, dan Harian Soeara

Oemoem. Perdebatan yang terjadi melibatkan beberapa intelektual pribumi Indnesia,

seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi

Poerbatjaraka, dr. Soetomo, Tjindarboemi, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr.

Mohammad Amir.

Perdebatan di tahun 1930-an itu diawali oleh sebuah tulisan Sutan Takdir

Alisjahbana berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia – Prae-

Indonesia” yang dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe.1 Dalam tulisannya itu,

Takdir membagi sejarah Indonesia ke dalam dua periode, yakni Jaman Prae-

Indonesia: jaman sebelum abad ke-20, jaman yang hanya mengenal sejarah VOC,

sejarah Mataram dan sejarah Banjarmasin. Sementara jaman setelahnya disebut oleh

Takdir sebagai jaman Indonesia: jaman yang dimulai pada abad ke-20.

Bertolak dari pandangannya itu, Takdir kemudian menegaskan bahwa jaman

Indonesia adalah jaman baru, bukan sambungan dari jaman sebelumnya. Oleh sebab

1
Alisjahbana, Sutan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru,
Indonesia – Prae-Indoneia”, Poedjangga Baroe, Tahun III, No. 2, Agustus 1935.
Lihat juga, Achdiat Karta Mihardja, Polemik Kebudayaan (Pustaka Jaya, Jakarta
1977) Cetakan ke. 4.

1
2
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

itu, dalam tulisannya, Ia menyatakan bahwa pada saat itu perkataan Indonesia telah

mengalami kekacauan makna karena setiap peristiwa yang pernah terjadi di

kepulauan Indonesia disebutkan oleh sebagian besar orang sebagai sejarah Indonesia.

Takdir selanjutnya menyatakan bahwa yang harus dilakukan oleh bangsa

Indonesia saat itu adalah berusaha menjadi sebuah bangsa yang mampu dan dapat

berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. “Untuk dapat

mewujudkan cita-cita tersebut, maka bangsa Indonesia harus belajar pada bangsa

Barat”, dengan meniru kebudayaan Barat yang telah maju, maka bangsa Indonesia

akan maju pula, tegasnya.2

Beberapa hari setelah dimuat, tulisan Takdir mendapat tanggapan dari Sanusi

Pane dan Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Ketiga intelektual itu pun saling

beradu pendapat tentang kebudayaan Indonesia. Perdebatan kemudian meluas dan

melibatkan intelektual lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu dr.

Soetomo, Adinegoro, Tjindarboemi, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.

Tulisan-tulisan dari para intelektual yang terlibat perdebatan di tahun 1930-an

itu kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja, seorang sastrawan, pada

tahun 1948. Ia kemudian menerbitkannya menjadi buku dan memberikan judul

“Polemik Kebudayaan”. Demikianlah sampai saat ini perdebatan itu dikenal.

Dikenal dengan nama “Polemik Kebudayaan”, silang pendapat yang terjadi di

kalangan pemikir kebudayaan pada saat itu seringkali dipahami sebagai debat antara

2
Achdiat Karta Mihardja. Ibid., hal. 18.
3
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kubu modernis dan tradisionalis, atau kubu Pro- Barat dan Pro-Timur.3 Selain itu,

adapula yang menyatakannya sebagai debat Sutan Takdir Alisjahbana versus4Sanusi

Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi Peorbatjaraka, dr. Soetomo, Adinegoro, Tjindarboemi,

Ki hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.5 Dengan lain perkataan, peristiwa

yang terjadi pada saat itu adalah penentangan terhadap pemikiran kebudayaan dari

Sutan Takdir Alisjahbana oleh intelektual lainnya.

Perdebatan yang terjadi di tahun 1930-an tersebut, tidak berlangsung secara

terus-menerus dari tahun 1935 – 1939, melainkan secara bertahap. Ada tiga tahapan

perdebatan, sebagaimana disusun oleh Achdiat Karta Mihardja dalam bukunya. 6 Pada

tahap pertama perdebatan terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan

Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Perdebatan berlangsung dalam bulan Agustus

– September 1935 dan dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe dan Harian Soeara

Oemoem. Perdebatan tahap pertama ini membahas tentang kebudayaan sebagai

haluan bagi Bangsa Indonesia melangkah ke depan, ke masa yang akan datang.

Perdebatan tahap kedua terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, dr. Soetomo,

Tjindarboemi, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.

3
Alexander Supartono, “Lekra VS Manikebu: Perdebatan Kebudayaan
Indonesia 1950 – 1965”, (Skripsi Sarjana, STF Driyarkara, Jakarta, 2000), Hlm. 109
– 110.
4
Versus: melawan
5
http://www.psp.ugm.ac.id/publikasi/artikel/101-menuju-politik-kebudayaan-
nasional.html (data diakses dalam bulan April 2011)
6
Achdiat Karta Mihardja, Op.Cit.
4
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Perdebatan berlangsung dalam bulan Oktober 1935 – bulan April 1936. Tulisan dari

para intelektual yang terlibat perdebatan tahap kedua itu dimuat dalam Majalah

Poedjangga Baroe, Harian Soeara Oemoem, Surat Kabar Pewarta Deli, dan Majalah

Wasita. Perdebatan tahap kedua itu membahas tentang persoalan pendidikan bagi

Bangsa Indonesia. Sedangkan perdebatan tahap ketiga terjadi antara Sutan Takdir

Alisjahbana dan dr. Mohammad Amir. Perdebatan berlangsung dalam bulan Juni

1939. Tulisan dari kedua intelektual itu dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe dan

Surat Kabar Pewarta Deli. Perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan dr.

Mohammad Amir membahas tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia.

Dalam penulisan Sejarah Indonesia, Polemik Kebudayaan yang terjadi dalam

tahun 1930-an itu masuk ke dalam wilayah periodesasi Sejarah Pergerakan

Kemerdekaan Indonesia. Masuknya peristiwa Polemik Kebudayaan ke dalam wilayah

periodesasi sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia karena peristiwa itu terjadi

dalam lingkup waktu dan ruang (temporal dan spasial) jalannya sejarah pergerakan

kemerdekaan Indonesia. Periodesasi untuk telaah sejarah ini seringkali dimulai dari

tahun 1908 – 1945, yakni dari berdirinya organisasi Budi Utomo sampai pada

diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, maka munculnya

perdebatan di kalangan intelektual dalam tahun 1930-an itu tidak dapat dilepaskan

dari gencarnya semangat pergerakan kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia pada

saat itu.

Munculnya perdebatan di ranah kebudayaan Indonesia pada tahun 1930-an

tersebut, selain menambah daftar panjang peristiwa penting yang mewarnai sejarah
5
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pergerakan kemerdekaan Indonesia, juga sekaligus membuka babak baru dalam

strategi pergerakan kemerdekaan. Pergerakan yang biasanya terjadi di ranah politik

bergeser ke ranah kebudayaan. Salah satu faktor terjadinya pergeseran pergerakan

tersebut dilatarbelakangi oleh tindakan refresif dari pihak pemerintah Hindia-Belanda

terhadap aktivitas politik golongan nasionalis Indonesia.7

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa Polemik

Kebudayaan merupakan perdebatan tentang Kebudayaan Barat dan Kebudayaan

Timur. Kedua kebudayaan ini yang akan dijadikan sebagai haluan bagi bangsa

Indonesia untuk melangkah ke depan, menjadi sebuah bangsa yang mampu berdiri

sejajar dan bersaing dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Dengan demikian,

maka perdebatan yang terjadi dalam tahun 1930-an itu dapat dinyatakan sebagai

usaha mencari jalan untuk merealisasikan “cita-cita ke- Indonesiaan”, yakni cita-cita

bahwa di kemudian hari Indonesia adalah sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar

dan bersaing dengan bangsa maju lainnya di dunia. Selain itu, Polemik Kebudayaan

juga dapat dikatakan sebagai sebuah usaha pergerakan kemerdekaan yang terjadi di

ranah kebudayaan Indonesia, sebuah pemikiran tentang cara mencari haluan bagi

jalannya sebuah bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka peristiwa ini penting

7
Menurut Moedjanto, pergeseran pergerakan tersebut dilatarbelakangi oleh
krisis pergerakan nasional. Lihat, Moedjanto, Indonesia Abad ke- 20: 1, dari
Pergerakan Nasional sampai Linggajati, (Penerbit Kanisius, Cetakan I, Yogyakarta,
1988), Hlm. 57 – 58.
6
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

untuk diketahui dan dipelajari. Akan tetapi, sampai saat ini peristiwa tersebut belum

mendapatkan banyak penjelasan atau dengan kata lain kurang mendapatkan perhatian

baik dari kalangan sejarawan maupun akademis lainnya. Kurangnya penjelasan

tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini terutama mengenai latar belakang

kemunculannya.

Selain akan mengaitkan munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dengan

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan”, dalam skripsi ini juga akan diungkapkan

bagaimana perdebatan kebudayaan yang terjadi pada saat itu akan mendapatkan

sintesanya pada rumusan kebudayaan nasional Indonesia dalam Undang-Undang

Dasar tahun1945.

C. Rumusan Masalah

Dari uraian identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan tiga

permasalahan pokok yang menjadi fokus penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana latar belakang munculnya Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an?

2. Bagaimana dinamika wacana yang tersaji dalam Polemik Kebudayaan?

3. Bagaimana dinamika wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik

Kebudayaan hingga tahun 1945?


7
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

D. Hipotesa

Berdasarkan uraian latar belakang di muka, maka dapat diajukan jawaban

sementara atas rumusan masalah yang telah ditetapkan dalam penulisan skripsi ini:

pertama, munculnya Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an dilatarbelakangi oleh

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan” di alam pikiran rakyat Indonesia pada abad ke-

20.

Kedua, dinamika wacana kebudayaan yang tersaji dalam Polemik

Kebudayaan adalah pertentangan pemikiran mengenai kebudayaan Barat dan

kebudayaan Timur yang akan digunakan sebagai jalan merealisasikan “cita-cita ke-

Indonesiaan”.

Ketiga, dinamika wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik

Kebudayaan adalah perumusan kebudayaan nasional yang dilakukan oleh Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam usaha merumuskan Undang-

Undang Dasar negara Indonesia pada tahun 1945.

E. Tujuan Penelitian

1. Akademis

Secara Akademis, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk

mendeskripsikan dan menganalisis munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan di

tahun 1930-an.
8
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

2. Teoretis

Secara teoretis, penulisan ini dimaksudkan untuk melakukan pengkajian

sebuah wacana tentang kebudayaan melalui sudut pandang Ilmu Sejarah. Selain itu,

tulisan ini juga berusaha memaparkan terjadinya suatu peristiwa sejarah yang

berbasiskan kontinuitas.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Secara Akademis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan penulisan sejarah di Indonesia pada umumnya, dimana

penulisan sejarah semakin marak diusahakan, baik oleh kaum akademis dari berbagai

universitas maupun dari kalangan sejarawan profesional.

2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman baru

tentang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an. Disamping

itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang

strategi kebudayaan Indonesia, demi mencapai keadaaan bangsa Indonesia yang telah

lama dicita-citakan kemandirian dan kesejahteraan dalam perjalanan sejarahnya.

G. Tinjauan Pustaka

Beberapa tulisan dan buku yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka dalam

penulisan skripsi tentang Polemik Kebudayaan ini adalah:


9
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Buku karya Achdiat Karta Mihardja, dengan judul “Polemik Kebudayaan”,

Pustaka Jaya, Jakarta 1977, cetakan ke-4. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari

masing-masing tokoh yang terlibat dalam perdebatan di tahun 1930-an. Di sini

Achdiat Karta Mihardja bertindak sebagai pengumpul, sebab dalam bukunya ini Ia

tidak menjelaskan bagaimana peristiwa Polemik Kebudayaan dapat muncul pada

ranah kebudayaan Indonesia. Achdiat Karta Mihardja tidak menjelaskan bagaimana

latar belakang munculnya peristiwa tersebut, maupun latar belakang perbedaan

pemikiran dari masing-masing tokoh yang terlibat perdebatan.

Skripsi karya Alexander Supartono, Lekra VS Manikebu: Perdebatan

Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyarkara. Jakarta 2000. Sesuai

dengan judulnya, skripsi ini membahas tentang perdebatan yang terjadi antara

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dalam

tahun 1950 – 1965. Sementara “Polemik Kebudayaan” dalam skripsi ini dijelaskan

sebagai sejarah perdebatan kebudayaan di Indonesia. Selain itu, Polemik Kebudayaan

dinyatakan oleh Alexander Supartono sebagai perdebatan yang muncul dalam

semangat Sumpah Pemuda dan sebagai peristiwa yang muncul dalam semangat

menyongsong masyarakat baru, Indonesia. Akan tetapi, skripsi ini tidak membahas

secara rinci mengenai latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan.

Buku karya S. Abdul Karim Mashad, Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik

Kebudayaan Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta 2006. Buku ini merupakan kumpulan tulisan, atau semacam bunga

rampai dari banyak penulis tentang pemikiran kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana
10
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

selama hidupnya, termasuk pemikiran kebudayaannya yang muncul pada saat

terjadinya Polemik Kebudayaan. Buku ini juga tidak menyajikan tentang munculnya

peristiwa Polemik Kebudayaan.

Ketiga tulisan yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka tersebut, baik yang

berupa buku maupun skripsi, semuanya tidak membahas secara khusus bagaimana

latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan. Terutama dengan melihat

situasi dan kondisi wacana tentang kebudayaan yang ada pada masa pergerakan

kemerdekaan Indonesia, maupun mengaitkannya dengan munculnya “cita-cita ke-

Indonesiaan” di kalangan rakyat Indonesia pada abad ke- 20. Beberapa hal inilah

yang akan dibahas khusus dalam skripsi ini.

H. Landasan Teori

Sebelum menguraiakan landasan teori untuk penulisan tentang peristiwa

Polemik Kebudayaan ini, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa istilah penting

yang berkaitan dengannya, yaitu:

1. Polemik adalah perang pena, perdebatan lewat tulisan (dalam media cetak

atau surat kabar).8

2. Kebudayaan, dalam penulisan ini mengacu pada definisi menurut E. B.

Taylor yaitu: kompleks keseluruhan yang mencakup pengetahuan,

8
Dendy Sugono (Pimpinan Redaksi), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), Hlm. 1198.
11
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

keyakinan, seni, moral, hukum, adat, serta segala macam kemungkinan

dan kebiasaan yang dicapai oleh manusia sebagai anggota masyarakat.9

3. Wacana adalah a) ucapan, percakapan, tutur, b) keseluruhan perkataan

atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan, c) satuan bahasa terlengkap,

realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku,

atau artikel pada pidato atau kotbah, d) pertukaran ide secara verbal.10

Wacana juga dapat diartikan sebagai diskusi dan dialog.11

4. Dinamika adalah gairah, gelora, gerak, dan semangat.12

5. Cita-Cita13 Ke-Indonesiaan adalah suatu keinginan akan keadaan bahwa

bangsa Indonesia di kemudian hari adalah sebuah bangsa yang sama

seperti bangsa maju lainnya di dunia, bangsa Indonesia dapat bersaing

dengan bangsa-bangsa maju.

Polemik Kebudayaan merupakan sebuah perdebatan tentang kebudayaan yang

terjadi di antara beberapa intelektual pribumi Indonesia pada tahun 1930-an. Dalam

9
Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Kanisius, Yogyakarta,
2001), Hlm. 24.
10
Dendy Sugono, Op.Cit., Hlm. 1804.
11
Dendy Sugono, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta 2008), Hlm. 553.
12
Ibid., Hlm. 134.
13
Cita-cita, secara umum dapat diartikan sebagai keinginan yang selalu ada di
dalam pikiran. Dendy Sugono, Op.Cit., Hlm. 286.
12
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

perdebatan tersebut terjadi pertentangan pendapat mengenai cara merealisasikan

“cita-cita ke-Indonesiaan”, yakni cita-cita agar bangsa Indonesia di kemudian hari

adalah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan beraing dengan bangsa-bangsa maju

lainnya di dunia. Untuk menjelaskan mengenai pertentangan yang terjadi dalam

peristiwa Polemik Kebudayaan ini digunakan teori dialektika yang dikemukakan oleh

G. W. F. Hegel.14

Menurut teori dialektika, sebuah perkembangan pemikiran berlangsung secara

dialektik dengan ritme tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam dialektik itu, pemikiran

tesis berseberangan dengan pemikiran antitesis, selanjutnya kedua pemikiran yang

saling bertentangan tersebut akan didamaikan dalam pemikiran sintesis. Pemikiran-

pemikiran yang berharga, baik pada tesis maupun pada antitesis kemudian dirawat

dalam sintesis.

Penerapan teori dialektika tersebut ke dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut: pemikiran tesis dalam peristiwa Polemik Kebudayaan diwakili oleh

pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, yakni pemikirannya tentang mempelajari

kebudayaan Barat sebagai haluan untuk bangsa Indonesia merealisasikan “cita-cita

ke-Indonesiaan”. Pemikiran antitesis akan diwakili oleh pemikiran dari para

intelektual yang menginginkan mempelajari kebudayaan Timur sebagai haluan untuk

merealisasikan “cita-cita ke-Indonesiaan”. Salah satu intelektual yang menganjurkan

mempelajari kebudayaan Timur dalam Polemik Kebudayaan adalah dr. Soetomo.

14
Lihat misalnya, Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah
Filsafat Pengetahuan. (Kanisius, Yogyakarta, 2006), Hlm. 71 – 72.
13
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Pemikiran sintesis yang muncul dari pertentangan pemikiran di antara para

intelektual dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an tersebut akan dikemukakan

sendiri oleh penulis. Pemikiran sintesis dari pertentangan pemikiran itu akan

dikaitkan dengan wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik Kebudayaan,

yakni usaha perumusan Undang-Undang Dasar negara Indonesia pada tahun 1945.

Sementara untuk melihat secara keseluruhan jalannya peristiwa Polemik

Kebudayaan dalam tahun 1930-an itu, penulisan ini menggunakan konsep “Ruang

Publik” yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Menurut Habermas, suatu

diskursus atau perdebatan15 terbuka dapat terjadi apabila tersedia suatu tempat atau

ruang yang dinamakan “Ruang Publik” atau “Public Sphere”. Ruang Publik dapat

berupa berbentuk media masa seperti media cetak. Ruang Publik berupaya

menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda itu sehingga mampu

dipertemukan dan berdiskursus untuk mencapai konsensus bersama.16 Dengan

demikian, maka munculnya perdebatan kebudayaan pada tahun 1930-an antara

beberapa intelektual pribumi Indonesia itu tidak dapat dilepaskan dari pentingnya

“Ruang Publik”. Dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, Ruang Publik yang menjadi

tempat bagi perdebatan pada saat itu adalah media cetak, yakni Majalah Poedjangga

Baroe, Surat Kabar Pewarta Deli, Harian Soeara Oemoem, dan Surat Kabar Pewarta

15
Untuk seterusnya istilah diskursus yang dikemukakan oleh Jurgen
Habermas dalam teorinya, dalam penulisan ini akan diganti dengan istilah
perdebatan.
16
Reza A. A. Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2007) Cetakan I. Hlm. 126.
14
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Deli. Selain itu, Habermas juga menyatakan bahwa sebuah perdebatan tertentu,

khususnya yang terjadi secara terbuka seperti di media masa, akan mencerminkan

demokrasi apabila terjadi tanpa adanya tekanan dari pihak luar terhadap para aktor

yang terlibat di dalamnya.

I. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan untuk melakukan penulisan tentang

peristiwa Polemik Kebudayaan ini adalah Studi Pustaka, Analisis Data, dan

Historiografi. Studi Pustaka dalam peneleitian ini digunakan untuk mendapatkan

sumber-sumber atau bahan-bahan yang dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan

ini. Adapun pustaka-pustaka yang dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi

ini adalah buku-buku, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan lainnya, baik yang berupa

Koran atau Surat Kabar, maupun jurnal-jurnal penelitian, yang memiliki keterkaitan

dengan topik penulisan ini. Selainitu, sumber-sumber yang dijadikan sebagai data

dalam penulisan skripsi ini juga diperoleh dari situs-situs di internet (website).

Setelah data-data diperoleh dari Studi Pustaka, selanjutnya dilakukan analisa

terhadap data-data tersebut (analisis data). Proses analisa data ini dilakukan dengan

cara memverifikasi atau mengkritik data-data yang telah ada, sehingga dapat

diketahui memadai atau tidaknya data-data tersebut. Analisis data dilakukan dengan

cara membaca semua data yang telah dikumpulkan, sehingga dapat diketahui apakah

data-data tersebut memiliki keterkaitan atau hubungan dan sesuai dengan topik

penelitian dari skripsi ini. Setelah data dianalisis, selanjutnyan dilakukan


15
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

interpretasi.17 Data-data yang telah diinterpretasikan kemudian dijadikan sebagai

bahan historiografi dalam penelitian ini. Penyajian historiografi dalam penulisan ini

dilakukan dengan cara historis kronologis, yaitu penyajiannya akan disusun secara

berurutan sesuai urutan kurun waktu dari munculnya atau terjadinya peristiwa-

peristiwa sejarah. Historiografi dalam penelitian ini penyajiannya seperti dijelaskan

dalam bagian Sistematika Penulisan.

J. Sistematika Penulisan

Bab I dalam tulisan ini berisikan: Latar Belakang Masalah, Identifikasi

Masalah, Rumusan Masalah, Hipotesa, Tujuan Penelitian (Akademis dan Teoretis),

Manfaat Penelitian (Akademis dan Praktis), Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian,

Landasan Teori, dan Sistematika Penulisan.

Bab II dalam tulisan ini membahas tentang munculnya “cita-cita ke-

Indonesiaan, dengan sub bab sebagai berikut: A. Lahirnya Masyarakat Intelektual

Indonesia, B. Munculnya Cita-Cita Ke-Indonesiaan: 1) Organisasi Budi utomo, 2)

Perguruan Taman Siswa, 3) Sumpah Pemuda, dan C. Cita-Cita Ke-Indonesiaan.

Bab III dalam tulisan ini berisikan tentang dinamika perdebatan kebudayaan

Indonesia pada tahun 1935 – 1939, dengan sub bab sebagai berikut: A. Ruang

Perdebatan Kebudayaan, B. Aktor-Aktor Dibalik Perdebatan Kebudayaan, C.

Jalannya Perdebatan Kebudayaan, D. Memaknai Polemik Kebudayaan tahun 1935 –

17
Langkah-langkah metodologi penelitian sejarah dapat dilihat dalam
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2001), hlm.
91.
16
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

1939; D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur; D.2. Kebudayaan,

Pendidikan, dan Kebangsaan.

Bab IV dalam tulisan ini berisikan tentang wacana kebudayaan Indonesia

setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945, dengan sub bab sebagai berikut: A.

Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia, B. Perumusan Kebudayaan Nasional

Indonesia, C. Rumusan Kebudayaan Nasional Indonesia.

Bab V dalam tulisan ini merupakan bagian penutup yang berisikan:

Kesimpulan dan Saran.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB II
DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN

A. Masyarakat Intelektual Indonesia

Lahirnya masyarakat intelektual Indonesia pada abad ke-20, tidak dapat

dilepaskan dari munculnya pemikiran simpatik terhadap kehidupan masyarakat

pribumi oleh pemerintahan di negeri Belanda. Pemikiran simpatik terhadap

kesejahteraan kehidupan pribumi Indonesia tersebut kemudian dirumuskan ke dalam

sebuah program yang dikenal dengan sebutan “Etische Politiek” atau “Politik Etis”.18

Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia-Belanda mengalami kebangkrutan

akibat peperangan besar di Pulau Jawa yang dikenal dengan Perang Diponegoro

(1825 – 1830). Selain itu, Negeri Belanda juga menghadapi perang kemerdekaan

Belgia (1830 – 1839) yang menelan biaya cukup besar. Kedua perang besar yang

dihadapi oleh Negeri Belanda tersebut pada akhirnya memicu permasalahan ekonomi

yang sangat berat. Oleh sebab itu, maka pemerintahan di Negeri Belanda

mengirimkan seorang bernama Van Den Bosch untuk menjadi Gubernur Jenderal di

Hindia-Belanda dan ditugaskan melakukan tindakan eksploitasi baru untuk

memulihkan perekonomian Negeri Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch

kemudian menerapkan kebijakan Tanam Paksa di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan

18
Tentang situasi dan kondisi yang melahirkan “Politik Etis” dapat dilihat
dalam Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jilid 2; PT Gramedia, Jakarta,
1990), Hlm. 30 – 33, dan, Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal: Mencari Identitas
Kebangsaan, (LKiS, Yogyakarta, 2008) Hlm. 97 – 106.

17
18
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

untuk meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia, yang komoditinya laku di

pasaran internasional, seperti kopi, teh, tembakau, dan tebu. Dalam pelaksanaannya,

kebijakan Tanam Paksa ini mewajibkan setiap petani Indonesia menyerahkan

seperlima dari lahan pertaniannya, untuk ditanami komoditas pasaran internasional

tersebut. Dalam peraturan lain disebutkan juga bahwa kegagalan panen yang

disebabkan oleh bencana alam ditanggung oleh pihak pemerintah, tanah yang

diserahkan kepada pemerintah dibebaskan dari pajak, kelebihan hasil panen yang

telah ditentukan diserahkan kepada petani, jangka waktu untuk mengerjakan lahan

pertanian tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, dan petani yang tidak

memiliki lahan pertanian diwajibkan bekerja selama 66 hari dalam setahun pada

pemerintah. Kebijakan ini memberikan dampak yang luar biasa bagi Negeri Belanda.

Sekitar tahun 1860-an, kas Negeri Belanda mengalami surplus dan berhasil menutup

segala kerugian perang yang salah-satunya disebabkan oleh Perang Diponegoro (1825

– 1830).

Dalam pelaksanaan kebijakan Tanam Paksa tersebut, terjadi berbagai

penyimpangan yang menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat pribumi Indonesia.

Penyimpangan-penyimpangan itu diantaranya seperti irigasi yang hanya diterapkan

untuk perkebunan pemerintah, akibatnya lahan pertanian milik petani Indonesia

mengalami kekeringan dan gagal panen. Selanjutnya, penerapan transmigrasi,

terutama pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain, seperti ke Pulau

Sumatera. Penerapan transmigrasi ini berhasil menanggulangi kepadatan penduduk di

Pulau Jawa, akan tetapi penduduk yang dipindahkan itu diperkerjakan sebagai buruh
19
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

di perkebunan pemerintah, dengan upah yang sangat rendah. Oleh sebab itu, maka

pada tahun 1870, kebijakan Tanam Paksa secara berangsur-angsur dihapuskan dan

diganti dengan sistem perekonomian terbuka. Dalam tahun yang sama, Pemerintah

Hindia-Belanda membuat Undang-Undang Agraria yang bertujuan untuk melindungi

tanah petani dari pihak penguasa dan pemodal asing. Selain itu, Undang-Undang

Agraria juga ditujukan untuk memberi kesempatan pemodal asing agar dapat

menyewa lahan pertanian masyarakat Indonesia.

Dihapuskannya kebijakan Tanam Paksa oleh Pemerintah Hindia-Belanda di

Indonesia itu, tidak dapat dilepaskan dari masuknya paham liberalisme ke Negeri

Belanda. Paham liberalisme menekankan pentingnya perhatian moral kepada

manusia, terutama menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar

seperti hak untuk kesejahteraan hidup.19 Paham liberalisme ini mengalami

perkembangannya di Eropa pada abad ke-19, berawal dari Revolusi Amerika dan

Revolusi Prancis, kemudian menyebar hingga ke Negeri Belanda.

Pada tahun 1899, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah

tinggal di Indonesia (dari tahun 1880 – 1890), menerbitkan sebuah artikel berjudul

“Een Ereschuld”, “Suatu Hutang Kehormatan”, di dalam jurnal Belanda De Gids.20

Dalam tulisannya itu, Ia menjelaskan bahwa kekosongan kas Negara Belanda akibat

19
Lihat misalnya Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran
Politik Bung Hatta, (Penerbit Buku Kompas, Jakarta April 2010), Hlm. 99 – 100.
20
Mc. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Sebelas Maret
University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995) Cetakan
I. Hlm. 230.
20
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia telah diisi oleh orang

Indonesia.21 Oleh karena itu, menurutnya, “hutang budi” tersebut harus dibayar

dengan meningkatkan kesejahteraan pribumi Indonesia, yakni melalui program

irigasi, edukasi, dan emigrasi.22 Program irigasi ditujukan untuk meningkatkan

kesejahteraan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Program edukasi ditujukan

untuk menghapus buta huruf di kalangan pribumi Indonesia. Sementara program

emigrasi ditujukan untuk menaggulangi peningkatan kepadatan penduduk Indonesia,

terutama di kawasan Pulau Jawa.

Selain dari C. Th. Van Deventer, pemikiran simpatik akan kesejahteraan

hidup pribumi Indonesia juga terdengar dari parlemen Negara Belanda. Dalam sidang

Pembukaan Parlemen pada tanggal 17 September 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina

Helena Pauline Maria, menyampaikan bahwa Pemerintah Belanda berhutang moral

kepada rakyat pribumi Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan wilayah

koloni yang telah mengisi kas Negara Belanda. Oleh sebab itu, Ratu Belanda tersebut

menyatakan bahwa perlunya diadakan program Trias Politika, yakni irigasi, edukasi,

dan emigrasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi Indonesia.

Pada saat dirumuskan dalam sidang Pembukaan Parlemen, progam Trias

Politika yang disampaikan oleh Ratu Belanda tersebut menimbulkan sikap pro dan

kontra, baik dari kalangan intelektual, politisi, maupun rohaniwan di Negeri Belanda.

21
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, dari Budi Utomo sampai
Proklamasi 1908 – 1945, (Pustaka Pelajar) Hlm. 16.
22
Lihat, Ibid.
21
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Sikap yang menentang program Trias Politika ini sebagian datang dari Parlemen

Belanda. Sementara yang setuju menganggapnya sebagai kewajiban moral atas negeri

jajahan. Meskipun mendapatkan banyak tantangan, program Ratu Belanda tersebut

tetap dilaksanakan dan dikenal dengan nama Politik Etis.

Adanya kemiripan antara pemikiran C. Th. Van Deventer tentang “Hutang

Kehormatan” dan pemikiran Ratu Wilhelmina Helena Pauline Maria tentang “Hutang

Moral” yang harus dibayarkan kepada rakyat pribumi Indonesia, kemudian

menimbulkan banyak pendapat. Selain dianggap sebagai orang yang pertama kalinya

mencentuskan tentang pemikiran simpatik terhadap kesejahteraan kehidupan pribumi

Indonesia, C. Th. Van Deventer juga dianggap sebagai pelopor lahirnya Politik Etis.

Dijalankannya Politik Etis oleh Pemerintah Belanda di Indonesia, berhasil

mengubah tatanan masyarakat Indonesia. Program Politik Etis kemudian melahirkan

golongan masyarakat baru, yakni golongan masyarakat terpelajar atau sering disebut

dengan kaum intelektual. Pada awalnya tatanan masyarakat Indonesia cenderung

terdiri dari golongan bangsawan, golongan pedagang, dan golongan rakyat biasa.

Pada dekade pertama abad ke-20, ketika di Indonesia mulai tercipta kaum

intelektual, maka muncul pula pemikiran-pemikiran penting mengenai perubahan

kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, maka munculnya

pemikiran untuk melepaskan bangsa Indonesia dari tangan penjajahan tidak dapat

dihindarkan lagi. Intelektual pribumi pun mulai melakukan berbagai cara untuk

memajukan kehidupan masyarakat di tempat mereka berada, misalnya dengan

mendirikan organisasi yang ditujukan untuk memajukan bidang ekonomi dan


22
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pendidikan. Selain kedua bidang tersebut, bidang politik pun diusahakan untuk

dikembangkan, sebab terdapat pemikiran bahwa politik merupakan jalan yang tepat

untuk mencapai kemerdekaan. Munculnya pemikiran di kalangan intelektual untuk

melepaskan rakyat pribumi Indonesia dari tangan penjajahan itu dapat disebut dengan

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan”.

Cita-cita ke-Indonesiaan yang dilahirkan oleh kaum intelektual semakin

terlihat ketika di tahun 1908 berdiri Organisasi Budi Utomo. Organisasi ini

menginginkan kemajuan taraf hidup masyarakat pribumi di Pulau Jawa dan Madura,

terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu, oraganisasi ini juga menginginkan

kemajuan dalam bidang kebudayaan.

Setelah beberapa tahun organisasi Budi Utomo berdiri, “cita-cita ke-

Indonesiaan” yang dikumandangkan olehnya semakin mendapatkan penekanan ketika

Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922. Melalui

perguruannya itu Ki Hadjar Dewantara menginginkan peningkatan taraf hidup

pribumi Indonesia melalui bidang pendidikan. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga

mengharapkan bahwa Perguruan Taman Siswa dapat dijadikan sebagai persemaian

atau regenerasi bagi golongan nasionalis Indonesia. Dalam perguruannya tersebut Ki

Hadjar Dewantara memasukan bidang kebudayaan sebagai salah satu pelajaran

penting kepada anak didiknya. Dengan demikian, Ia mengharapkan bahwa golongan

nasionalis yang diciptakan oleh Perguruan Taman Siswa adalah golongan nasionalis

menguasai ilmu pengetahuan dan mengerti tentang kebudayaan.


23
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Pada tahun 1928, para pemuda Indonesia mengumandangkan sebuah sumpah

yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Dalam sumpah tersebut, para pemuda

mengikatkan diri dengan menyebutkan bahwa semua pemuda yang ada di Indonesia

adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yakni Indonesia. Dengan

demikian, maka sumpah tersebut mencerminkan bahwa di Indonesia pada saat itu

telah muncul suatu kesadaran kolektif di kalangan rakyat pribumi Indonesia, menuju

ke arah kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, Sumpah Pemuda ini semakin memperkuat

gema “cita-cita ke-Indonesiaan” yang telah dikumandangkan oleh organisasi Budi

Utomo dan Perguruan Taman Siswa.

B. Munculnya Cita-Cita Ke-Indonesiaan

Terbentuknya “cita-cita ke-Indonesiaan” di alam pikiran masyarakat pribumi

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari terciptanya masyarakat intelektual pada awal

abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat intelektual merupakan faktor

terpenting bagi lahirnya pemikiran-pemikiran tentang perubahan kehidupan

masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik, terlebih lagi ke arah mencapai

kemerdekaan. Berikut ini akan diuraikan proses terbentuknya “cita-cita ke-

Indonesiaan” yang diwakili oleh berdirinya organisasi Budi Utomo, Perguruan

Taman Siswa, dan munculnya peristiwa Sumpah Pemuda, yaitu:


24
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.1. Organisasi Budi Utomo

Pada awal abad ke-20, setelah diterapkannya Politik Etis, pihak pemerintah

kolonial Belanda semakin giat memperhatikan bidang pendidikan bagi masyarakat

pribumi Indonesia. Akan tetapi perhatian tersebut belum mampu menggapai seluruh

masyarakat pribumi Indonesia. Pendidikan pada saat itu hanya dapat dinikmati oleh

sebagian golongan masyarakat, yakni golongan masyarakat menengah ke atas atau

golongan masyarakat yang tergolong mampu dalam segi ekonominya. Faktor utama

yang menyebabkan keadaan tersebut adalah tingginya biaya pendidikan yang

ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Keadaan seperti ini kemudian berakibat pada

rendahnya tingkat kesadaran akan pendidikan dari masyarakat pribumi Indonesia.

Banyak pemuda Indonesia pun tidak dapat mengenyam bangku pendidikan, baik di

jenjang pendidikan rendah maupun pendidikan tinggi.

Melihat keadaan tersebut, seorang dokter Jawa bernama Wahidin tergerak

hatinya untuk mencari beasiswa pendidikan. Antara tahun 1906 – 1907, Wahidin

melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa untuk mempropagandakan pentingnya

beasiswa pendidikan bagi pemuda pribumi Indonesia yang kurang mampu dalam

kehidupan ekonominya. Perjalanan propaganda yang dilakukan oleh Wahidin tersebut

ditujukan untuk membiayai pendidikan pemuda pribumi Indonesia agar dapat

mengenyam bangku pendidikan.

Pada awalnya, perjalanan propaganda yang dilakukan oleh Wahidin tidak

berjalan lancar, seperti yang diharapkannya. Berikut ini gambaran perjalanan

Wahidin oleh Nagazumi, seorang sejarawan dari negeri Jepang:


25
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

“Wahidin mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya
para bupati yang kaya dan berpengaruh, tetapi tidak banyak di antara mereka
itu yang menaruh minat pada usahanya, walaupun juga tidak keberatan
terhadap diperluasnya pendidikan Barat. Di sana-sini terkadang Wahidin
harus menghadapi tantangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya
hendak mengguncang ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku;
setengahnya lagi berpaling muka semata-mata oleh karena kedudukan rendah
Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana
senior saja; dan golongan lain pun karena memang tidak senang terhadap
perubahan apapun”.23

Meskipun banyak mendapatkan tantangan yang berat, Wahidin tidak berhenti

melakukan usaha propagandanya. Ketika pertama kali dilakukan, usaha propaganda

beasiswa pendidikan yang dilakukan oleh Wahidin telah mendapatkan dukungan dari

beberapa petinggi rakyat, salah satunya adalah Pangeran Ario Noto Dirojo24.

Pada tahun 1908, Wahidin melanjutkan propagandanya ke School Tot

Opleiding Van Inlandsche Arsten (STOVIA).25 Pidato propaganda Wahidin di

STOVIA berhasil memukau beberapa murid sekolah tersebut, diantaranya adalah

Soetomo dan Suraji, dua calon dokter yang pada saat itu berusia sekitar 20-an tahun.

Soetomo dan Suraji yang tertarik mendengar pidato propaganda Wahidin di

sekolah mereka, kemudian tertarik untuk melakukan kegiatan di bidang pendidikan.

Pada tahun 1908, bersama rekan-rekannya di STOVIA, Soetomo dan Suraji

mendirikan organisasi bernama Budi Utomo. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi

23
Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 –
1918, (Grafiti Pers, Jakarta, 1989), Hlm. 52.
24
Pangeran Ario Noto Dirojo adalah seorang putera dari Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo atau Pakualam V (1878 – 1900).
25
STOVIA adalah sekolah didirikan oleh pemerintah Belanda untuk mendidik
anak-anak pribumi Indonesia menjadi dokter.
26
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Budi Utomo dinyatakan telah resmi berdiri, meskipun belum mendapatkan

pengakuan dari pihak pemerintah Hindia-Belanda. Tujuan utama didirikannya

organisasi Budi Utomo adalah untuk mengusahakan perubahan hidup bagi masyrakat

pribumi di Pulau Jawa dan Madura ke arah yang lebih baik.

Pada tanggal 2 – 5 Oktober 1908, organisasi Budi Utomo menyelenggarakan

kongres pertamanya. Kongres diadakan di gedung Pendidikan Guru di kota

Yogyakarta. Dalam kongres tersebut terjadi pertentangan pendapat mengenai arah

dan bentuk organisasi Budi Utomo. Di satu sisi, sebagian anggotanya menginginkan

agar organisasi Budi Utomo berjalan beriringan atau berkerjasama dengan

Pemerintahan Hindia-Belanda. Organisasi Budi Utomo diharapkan dapat melakukan

kerjasama dalam bidang pendidikan dan bidang perekonomian bersama pemerintah.

Sementara di sisi lain, ada beberapa anggota yang menginginkan agar organisasi Budi

Utomo menjadi organisasi politik. Salah satu penganjur terkuat yang menginginkan

organisasi Budi Utomo menjadi organisasi politik adalah Tjipto Mangunkusumo.

Ketika kongres pertama organisasi Budi Utomo diselenggarakan, Tjipto

Mangunkusumo mendapatkan kesempatan untuk berpidato di muka umum. Pada saat

berpidato, Tjipto Mangunkusumo menyampaikan tentang perlunya ditekankan

pendidikan bagi seluruh masyarakat di Hindia Timur Belanda. Menurutnya,

pendidikan Barat merupakan alat yang tepat untuk menghapus sistem hierarki

tradisional yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Hal itu dikemukakannya dengan

alasan bahwa hierarki tradisional telah menghambat perkembangan kehidupan


27
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

masyarakat Jawa. Dari pernyataannya tersebut, Tjipto Mangunkusumo sangat jelas

menginginkan perkembangan masyarakat Jawa ke arah modern.

Dalam kongres pertama organisasi Budi Utomo tersebut, dr. Radjiman juga

mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan umum. Dalam pidatonya, Ia

menyanggah pernyataan Tjipto Mangunkusumo soal pendidikan Barat. Menurut dr.

Radjiman, untuk mengembangkan masyarakat Jawa yang dibutuhkan adalah

keseimbangan pengetahuan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur.

Memperingatkan kemungkinan yang timbul dari pemujaan terlalu besar terhadap

kebudayaan Barat, yang mungkin mengakibatkan disintegrasi kebudayaan Jawa lebih

jauh, sikap dr. Radjiman sama seperti sikap tradisional para priyayi dalam

menghadapi pengaruh kebudayaan asing.26 Sikap yang ditunjukkan oleh dr. Radjiman

ini menunjukkan bahwa Ia tidak mau bangsanya menjadi seperti bangsa Barat,

dengan tingkat kemajuannya yang pesat bangsa Barat telah melahirkan kolonialisme.

Pada akhir tahun 1908 diumumkan susunan program organisasi Budi Utomo.

Terdapat dua versi tentang program organisasi, yaitu: pertama, berupa laporan tangan

oleh penulis tak dikenal berinisial AK tertanggal 17 Desember 1908, dan dikirim

bersama kliping-kliping surat kabar kepada Menteri Tanah Jajahan; dan kedua,

26
Ibid., Hlm. 76.
28
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

berupa sebuah daftar termasuk di dalam ceramah Eyken bulan Maret 1909.27 Laporan

itu meliputi:28

1. Permohonan kepada pemerintah:

a. Menyempurnakan pendidikan di Kweekschool dan OSVIA.

b. Mempertahankan mutu pendidikan di STOVIA.

c. Mendirikan sekolah-sekolah Frobel untuk anak pribumi laki-laki dan

perempuan, dan membuka pinti-pintu sekolah-sekolah dasar Eropa bagi

anak-anak pribumi, walaupun mereka tidak memahami bahasa Belanda,

atau jika tidak, mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi

serupa dengan sekolah-sekolah Belanda-Cina.

d. Mendirikan sekolah-sekolah dagang untuk pribumi, termasuk untuk kaum

perempuan.

e. Menyediakan lebih banyak tanah untuk sekolah-sekolah pertanian.

f. Memberikan beasiswa kepada murid-murid pribumi.

g. Member ijin penyelenggaraan undian (dengan tujuan mengumpulkan dana

beasiswa, dan lain-lain).

h. Memberi ijin Budi Utomo mendirikan sekolah-sekolah desa.

2. Langkah-langkah yang diambil Budi utomo:

a. Mendirikan sekolah-sekolah perempuan sebanyak-banyaknya.

27
Ibid., Hlm. 87.
28
Ibid.
29
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

b. Mendirikan yayasan untuk peminta-minta tua dan muda.

c. Berjuang melawan riba.

d. Membuka perpustakaan rakyat.

e. Menggunakan sebagian anggaran untuk beasiswa pribumi.

f. Akhirnya ditambahkan agar sebuah program dicantumkan untuk

memulihkan ujian masuk ke STOVIA, sehingga tidak lagi diserahkan

pada kebijakan residen (Verbaal 3 November 1909, no. 53).

Beberapa tahun kemudian tersusunlah anggaran dasar organisasi Budi Utomo,

yakni sebagai berikut:

Secara khusus organisasi akan akan mencurahkan perhatian pada:29

1. Kepentingan pendidikan dalam arti seluas-luasnya.

2. Perbaikan pertanian, peternakan, dan perdagangan.

3. Perkembangan tehknik dan industry.

4. Menumbuhkan kembali kesenian dan tradisi pribumi.

5. Menjunjung tinggi cita-cita umat manusia pada umumnya.

6. Hal-hal lain yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa

(Lampiran IV, Pas 3).

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1916 – 1917, organisasi Budi

Utomo turut membantu dalam usaha membentuk Dewan Perwakilan Rakyat bagi

pribumi Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat pribumi tersebut ditujukan sebagai

29
Ibid., Hlm. 91.
30
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

wadah untuk menyampaikan berbagai kepentingan pribumi kepada pemerintahan

Hidia-Belanda. Salah satu perwakilan dari organisasi Budi Utomo yang duduk dalam

dewan perwakilan tersebut Dwijosewojo.

Pada awalnya organisasi Budi Utomo mengkhususkan kegiatannya di Pulau

Jawa dan Madura. Dengan tujuan mengembangkan bidang pendidikan dan

kebudayaan bagi masyarakat pribumi di dua wilayah tersebut. Meskipun demikian,

berdirinya organisasi Budi Utomo ini telah mencerminkan bahwa di Indonesia telah

tercipta suatu kesadaran akan kesejahteraan kehidupan bangsa. Selain itu, berdirinya

organisasi Budi Utomo juga mencerminkan kesadaran ke arah kemerdekaan dari

penjajahan. Hal ini tercermin dari pemikiran-pemikiran tentang perlunya menghindari

kerusakan kebudayaan jawa akibat penetrasi kebudayaan asing.

B.2. Perguruan Taman Siswa

Pada tahun 1920-an, kehidupan masyarakat pribumi Indonesia semakin

terpuruk. Hal ini diperparah lagi dengan semakin gencarnya pihak pemerintah

Hindia-Belanda melakukan tindakan eksploitasi, terutama di bidang ekonomi.

Melalui sektor pertanian, masyarakat pribumi Indonesia diperkerjakan dengan upah

yang sangat rendah, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan masyarakat pribumi

Indonesia masih rendah.

Situasi dan kondisi masyarakat yang demikian itu, menggugah pemikiran

seorang kerabat istana Paku Alam bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Pada

saat itu, Ia sedang berada di negeri Belanda, menjalani masa pengasingan akibat
31
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

keaktifannya dalam sebuah organisasi politik bernama Indische Partij30, bersama

Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Setelah pulang dari pengasingannya,

pada tahun 1922 Raden Mas Suwardi Suryaningrat mendirikan sebuah perguruan

yang diberikan nama Taman Siswa. Nama lengkap perguruan ini adalah National

Onderwijs Instituut Taman Siswa.31 Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu

sistem pendidikan yang berdasar pada suatu sintesa realistis dari kebudayaan

Indonesia dan kebudayaan Barat yang kelak bias mendidik pemuda Indonesia untuk

berdikari dan mengembangkan dalam diri mereka suatu tanggung jawab untuk

menyelesaikan masalah-masalah praktis yang mereka hadapi.32 Prinsipnya ialah

bahwa pendidikan harus bertujuan “konstruksi suatu peradaban dari bawah, mula-

mula dari Jawa, kemudian Indonesia” bukan “tiruan budaya Barat”.33 Dengan

demikian, maka yang diinginkan oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat adalah

30
Indische Partij adalah sebuah organisasi politik yang didirikan oleh E.F.E.
Douwes Dekker, yang kemudian lebih dikenal dengan nama dr. Setiabudi, pada
tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini keanggotaannya terdiri dari campuran
orang indo dan pribumi Indonesia. Organiasi Indische Partij merupakan kelanjutan
dari organisasi bernama Indische Bond yang didirikan pada tahun 1898. Douwes
Dekker selanjutnya melakukan kerjasama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Raden
Mas Suwardi Suryaningrat. Ketiga tokoh ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan
“Tiga Serangkai”. Lihat misalnya, Suhartono, Op.Cit., Hlm. 38.
31
Lihat misalnya, H. M. Nasaruddin Anshory, Pendidikan Berwawasan
Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme, (LKiS, Yogyakarta,
2008), Hlm. 69.
32
G. Mc. T. Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia, (Sebelas Maret University Press berkerjasama dengan
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995), Cetakan I. Hlm. 133.
33
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia. PT Gramedia.
Jakarta. Cetakan II, edisi terjemahan. Hal. 427.
32
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menciptakan generasi baru masyarakat pribumi Indonesia yang memiliki cirri-ciri

Indonesia sendiri, berbeda dari bangsa-bangsa lain, bukan bangsa Barat atau pun

bangsa lainnya. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Mas Suwadi

Suryaningrat tersebut dipelajarinya dari sistem pendidikan di negeri India yang

pelopori oleh Rabindranath Tagor. Raden Mas Suwardi Suryaningrat memepelajari

sistem pendidikan dari Rabindranath Tagor ini ketika sedang berada di

pengasingannya di negeri Belanda.

Dalam kurun waktu yang sama, Raden Mas Suwardi Suryaningrat kemudian

mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dilakukannya supaya

dapat memasuki atau berinteraksi dengan masyarakat pribumi biasa, bukan semata-

mata berinteraksi dengan kalangan kerajaan. Dengan demikian, Ki Hadjar Dewantara

mengharapkan bahwa pendidikan dapat dirasakan oleh masyarakat pribumi Indonesia

dari kalangan yang kurang mampu.

Didirikannya perguruan Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara pada saat

itu, menimbulkan berbagai macam sikap dari orang-orang di sekitarnya. Menurut

Nasaruddin Anshory, sikap-sikap tersebut ada tiga macam:341) ada yang tertarik, lalu

menjadi keluarga Taman Siswa, 2) ada yang tidak cocok, sebagian besar Guru

Pemerintah. Mereka marah-marah mengatakan Ki Hadjar Dewantara memundurkan

kemajuan Oderwijs, 3) sebagian besar orang Pemerintah menamakan Taman Siswa

sekolah Komunis. Meskipun mendapatkan berbagai macam reaksi, perguruan Taman

34
H. M. Nasaruddin Anshory, Op.Cit., Hal. 69.
33
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Siswa tetap berjalan dan semakin dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi

bentuk pendidikan nasional.

Perguruan Taman Siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional

merupakan alat untuk membuat persemaian golongan nasionalis.35 Dengan demikian,

maka perguruan ini diharapkan mampu menghasilkan golongan nasionalis baru

bersama dengan sekolah-sekolah swasta lain. Selain mengembangkan bidang

pendidikan, perguruan Taman Siswa juga berusaha membangkitkan dan

mengembangkan kebudayaan daerah di tempat perguruan ini didirikan. Apabila

perguruan Taman Siswa didirikan di Pulau Jawa, maka kebudayaan Jawa akan

dibangkitkan dan kembangkan, serta diajarkan kepada murid-muridnya. Hal ini

menunjukkan bahwa perguruan Taman Siswa tidak semata-mata ingin menciptakan

golongan nasionalis yang mengerti tentang ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus

menciptakan golongan nasionalis yang mengetahui tentang kebudayaan asalnya.

Dalam perjalanannya, perguruan Taman Siswa dibekali semboyan pendidikan

yang tegas dari pendirinya, Ki Hadjar Dewantara. Seboyan tegas tersebut terdiri dari

tiga pokok pemikiran, yaitu: tut wuri handayani, ing madya mangunkarsa, dan ing

ngarsa sung tulada.36 Salah satu dari tiga semboyan tegas perguruan Taman Siswa

35
G. Mc. T. Kahin . Op.Cit., Hal. 66.
36
Secara lengkap tentang asas perguruan Taman Siswa diungkapkan oleh Ki
Hadjar Dewantara dalam tulisannya berjudul ”Pangkal-pangkal Roch Taman Siswa”
dalam buku Peringatan 30 Tahun Taman Siswa tahun 1922 – 1952”, Percetakan
Taman Siswa, Yogyakarta 1981. Hal. 354 – 360.
34
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

tersebut, yakni tut wuri handayani, sampai ini masih digunakan sebagai semboyan

Pendidikan Nasional Indonesia.

Perguruan Taman Siswa mengalami perkembangan yang sangat pesat, pada

tahun 1940 tercatat bahwa telah berdiri 250 sekolah di seluruh Kepulauan

Indonesia.37 Keadaan seperti ini dikhawatirkan oleh pemerintah karena dengan

dibiarkannya sekolah swasta berarti member peluang kepada perluasan nasionalisme

Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme dari

Indonesia.38 Pada tahun 1932, Pemerintahan Hindia-Belanda mengeluarkan Undang-

Undang Sekolah Liar (Wilde Schoolen Ordonantie) untuk menjerat laju

perkembangan perguruan Taman Siswa. Akan tetapi setahun Undang-Undang

tersebut segera dicabut oleh pemerintah karena banyak perguruan yang

menentangnya. Meskipun tidak mendapatkan dana pendidikan dari pemerintah,

perguruan Taman Siswa tetap dijalankan dan dikembangkan dengan anggaran dari

para pendirinya.

Dari usaha-usaha yang dilakukan oleh perguruan Taman Siswa, seperti

mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan

dan tidak lupa mengajarkan tentang kebudayaan di tempat sekolahnya didirikan,

perguruan ini telah berusaha menciptakan sebuah masyarakat Indonesia dengan cirri-

ciri sendiri, yakni Indonesia. Selain itu, perguruan Taman Siswa juga telah

37
Bernard H. M. Vlekke, Op.Cit., Hlm. 428.
38
Akira Nagazumi, Op.Cit., Hlm. 188 – 210. Lihat juga, Suhartono, Op.Cit.,
Hlm. 66.
35
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menciptakan “cita-cita ke-Indonesiaan”, yaitu sebuah bangsa dengan masyarakat

Indonesia yang memiliki keterampilan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Dari hal ini kemudian dapat dimengerti bahwa perguruan Taman Siswa ingin

menciptakan bangsa Indonesia, dengan lain perkataan lepas dari tangan penjajahan.

B.3. Sumpah Pemuda

Cita-Cita Ke-Indonesiaan yang telah dikumandangkan oleh organisasi Budi

Utomo dan perguruan Taman Siswa, pada decade pertama abad ke-20 juga merasuki

kalangan muda Indonesia. Setelah berdiri organisasi Budi Utomo dan perguruan

Taman Siswa, para pemuda Indonesia pun seperti tidak ingin tertinggal dalam hal

mendirikan organisasi. Pada mulanya bentuk organisasi-organisasi pemuda bersifat

kesukuan atau kedaerahan, yang mengutamakan ikatan antara sesama pelajar

sedaerah serta membangkitkan perhatian terhadap kebudayaan daerah masing-

masing.39 Beberapa diantara organisasi pemuda yang didirikan pada saat itu adalah

Jong Bataks Bond (1916), Jong Sumatera (1917), dan Jong Java.

Organisasi-organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan tidak berjalan lama,

sebab dalam masing-masing organisasi mucul pemikiran bahwa perlunya diadakan

persatuan untuk dapat mendirikan sebuah bangsa yang kuat. Hal ini juga berarti

39
R. Z. Leirissa, at all., Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), Hlm. 2.
36
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

bahwa organisasi-organisasi pemuda pada saat itu telah memikirkan tujuan yang

ingin dicapai oleh segenap pemuda Indonesia adalah satu, yakni Indonesia merdeka.

Pada tahun 1926, para pelajar dan mahasiswa dari berbagai organisasi pemuda

yang ada pada saat itu mulai bergabung dalam satu wadah bersama bernama

Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).40 Dalam tahun yang sama,

perhimpunan pemuda tersebut pun meyelenggarakan kongres pertamanya, dengan

tujuan mempererat tali persatuan dari segenap pemuda yang ada di kepulauan

Indonesia. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1928, perhimpunan pemuda

tersebut kembali meyelenggarakan kongres yang kedua. Dalam kongres kedua ini

hadir beberapa tokoh politik pada saat itu, seperti Soekarno, Sartono, dan Soenarjo.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, kongres pemuda kedua tersebut

mengumandangkan sebuah sumpah yang dikenal dengan Sumapah Pemuda,

selengkapnya sumpah itu berbunyi sebagai berikut:41

1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,

Tanah Indonesia.

2. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa

Indonesia

3. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu, Bahasa

Indonesia.

40
Lihat misalnya Suhartono, Op.Cit., Hlm. 78.
41
Ibid., Hlm. 79.
37
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dalam kongres pemuda kedua tersebut, selain mengumandangkan Sumpah

Pemudan, juga diperkenalkan lagu kebangsaan, yakni lagu dengan judul “Indonesia

Raya”. Lagu ini diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman. Meskipun pada saat itu

lagu ini tidak dinyanyikan, melainkan diperdengarkan dengan instrument biola, hal

ini sangat mengharukan bagi peserta kongres. Pada saat yang sama juga

dipertunjukkan bendera kebangsaan Indonesia dengan dua warna, yakni merah pada

bagian atas dan putih pada bagian bawahnya.

Peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928

mencerminkan suatu kesadaran kolektif dari pemuda-pemuda pribumi Indonesia saat

itu. Kesadaran kolektif tersebut dapat diartikan ke dalam berbagai bidang kehidupan,

baik kebudayaan maupun bidang-bidang lainnya. Terjadinya Sumpah Pemuda juga

menunjukkan bahwa pada saat itu telah muncul “cita-cita ke-Indonesiaan” yakni cita-

cita bahwa di kemudian hari pemuda-pemuda tersebut adalah pemuda bangsa

Indonesia. Dengan demikian, maka Sumpah Pemuda telah menciptakan suatu

pemikiran bangsa dan Negara, yakni Indonesia.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB III
DINAMIKA PERDEBATAN KEBUDAYAAN INDONESIA
TAHUN 1935 – 1939

A. Ruang Perdebatan Kebudayaan

Perdebatan yang terjadi secara terbuka dan tertulis di hadapan sekian banyak

sidang pembaca, tidak akan terlaksana tanpa adanya ketersediaan suatu wadah,

tempat, atau ruang yang bernama “Ruang Publik”. Ruang tersebut akan menjadi

tempat yang mempertemukan berbagai kepentingan yang saling berbeda untuk dapat

merumuskan sebuah consensus atau kesepakatan bersama. Ruang Publik yang

menjadi tempat perdebatan kebudayaan Indonesia pada tahun 1935 – 1939 adalah

media cetak, yaitu Majalah Poedjangga Baroe, Majalah Wasita Surat Kabar Pewarta

Deli, dan Harian Soeara Oemoem. Selanjutnya akan dibahas secara mendasar

mengenai keempat media cetak tersebut, yakni sebagai berikut:

A.1. Majalah Poedjangga Baroe

Majalah Poedjangga Baroe didirikan pada bulan Juli 1933 oleh Sutan Takdir

Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Ketiga intelektual muda ini pada saat

itu berusia berturut-turut Sutan Takdir Alisjahbana 25 tahun, Armijn Pane 25 tahun,

dan Amir Hamzah 22 tahun. Sebenarnya usaha menerbitkan suatu majalah

38
39
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kesusasteraan sudah muncul pada tahun-tahun 1921, 1925, dan 1929, tetapi selalu

gagal.42

Diterbitkannya Majalah Poedjangga Baroe oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan

kedua rekannya itu, dimaksudkan sebagai reaksi atas terlalu banyaknya sensor yang

dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis para sastrawan pribumi saat itu.

Melalui Balai Pustaka, pemerintah Hindia-Belanda melakukan sensor terhadap karya

sastra yang mempropagandakan semangat nasionalisme, atau kesadaran kebangsaan

di kalangan pribumi Indonesia. Pemerintah beralasan bahwa hal tersebut dapat

mengancam kolonialisme di Indonesia.

Reaksi keras atas tindakan yang dilakukan oleh Balai Pustaka tersebut

tercermin dalam semboyan penerbitan Majalah Poedjangga Baroe. Tahun 1933,

Majalah Poedjangga Baroe bersemboyan “sebagai wadah kesusasteraan dan bahasa

serta kebudayaan umum”.43 Semboyan “sebagai wadah kesusasteraan” secara jelas

memperlihatkan bahwa Majalah Poedjangga Baroe ingin mewadahi karya tulis-karya

tulis sastrawan Indonesia pada saat itu, tanpa memandang kepentingan-kepentingan

atau tujuan dari karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan pribumi yang

dianggap oleh Pemerintah Hindia-Belanda sebagai karya sastra yang

mempropaggandakan nasionalisme. Sedangkan semboyan “sebagai wadah bahasa

serta kebudayaan umum” menunjukkan bahwa Majalah Poedjangga Baroe

42
Yudiono. K. S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Penerbit Grasinsdo,
Jakarta, 2007), Hlm. 78.
43
Mudji Sutrisno, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, (Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2006), Hlm. 165.
40
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

mencerminkan kesadaran persatuan bagi bangsa Indonesia, tanpa memandang

perbedaan kebudayaan yang ada di Indonesia saat itu.

Pada tahun 1935, Majalah Poedjangga Baroe mengubah semboyan

penerbitannya menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusasteraan, seni

kebudayaan, dan soal masyarakat umum”.44 Perubahan semboyan penerbitan yang

kedua ini secara jelas memperlihatkan bahwa Majalah Poedjangga Baroe ingin

membawa dan membuat suatu perubahan besar dalam penulisan karya sastra

Indonesia pada saat itu. Pada saat itu, semangat modernisasi sangat jelas

diperlihatkan, Sutan Takdir Alisjahbana menyerukan agar gaya penulisan sastrawan

Indonesia lebih banyak belajar kepada gaya penulisan sastrawan asing, terutama pada

gaya penulisan sastrawan Barat. Pada saat itu, Takdir seringkali memuat tulisan-

tulisannya yang berhubungan dengan dunia sastra, diantaranya seperti: Puisi

Indonesia Zaman Baru; Djiwa Bernyanyi (Poedjangga Baroe, Th. II, no. 3, September

1934), Puisi Indonesia Zaman Baru; Bahasa Baru (Poedjangga Baroe Th. II, no. 5,

November 1934), dan Puisi Indonesia Baru; Irama Baru (Poedjangga Baroe, Th. II,

no. 4, Oktober 1934).45

Dalam tahun yang sama, tahun 1935, bertepatan dengan peristiwa Polemik

Kebudayaan, semboyan penerbitan yang dilontarkan oleh Majalah Poedjangga Baroe

semakin bernada tegas, yakni “sebagai pembimbing menuju masyarakat dan

44
Ibid.
45
Daftar karya tulis Sutan Takdir Alisjahbana dapat dilihat dalam
alisjahbana.org/karangan_sastera.html
41
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kebudayaan baru”. Dari semboyan tersebut sangat jelas bahwa Malajah Poedjangga

Baroe ingin melakukan perubahan-perubahan besar dalam gaya penulisan sastrawan

dan kebudayaan Indonesia. Perubahan-perubahan yang ingin dilakukan oleh Majalah

Poedjangga Baroe tersebut juga diperlihatkan dengan jelas oleh Sutan Takdir

Alisjahbana dalam tulisan yang memicu perdebatan pada saat itu, yakni tulisannya

yang berjudul “menuju masyarakat dan kebudayaan baru, Indonesia – prae-

Indonesia”.46 Dalam tulisannya tersebut, Sutan Takdir Alisjahbana mengajak

masyarakat Indonesia untuk belajar pada bangsa Barat, agar bangsa Indonesia mampu

seperti bangsa Barat yang dianggapnya telah maju dalam segi kehidupannya.

Selain semboyan-semboyan penerbitan yang telah diuraikan di atas,

penerbitan Majalah Poedjangga Baroe juga disertai dengan manifestonya, yakni

sebagai berikut:47

“Kami jakin sejakin2-nja, semangat kebangoenan inilah jang kelak


akan menjelmakan masjarakat Indonesia jang sampoerna, jang akan dapat
disandingkan di sisi negeri jang lain dimoeka boemi ini. Dan dalam
masjarakat Indonesia jang sampoerna, jang sekarang telah melambai2 itoe,
pastilah segala bahagiannja baroe sampoerna poela. Demikian masing2 ra’jat
Indonesia, jang telah insyaf akan peroebahan jang mahabesar jang terjadi
setiap saat disekelilingnja itoe, haroes beroesaha, bahkan membanting tulang
oentoek menjempoernakan jang berdasar sosial, menjempoernakan bahagian
sosial, mereka jang berdarah politik menjelenggarakan bahagian politik,
mereka jang berdarah seni membimbing bahagian seni dan seteroesnja.

46
Alisjahbana, Sutan Takdir, Op.Cit., Lihat juga, Achdiat Karta Mihardja,
Op.Cit.
47
E. Ulrich Kratz (ed), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX.
(Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000), Hlm. 16f, seperti dikutip oleh
Dhaniel Dakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003), Hlm. 142 – 143.
42
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Seni jang sejati mengoejoedkan cita-cita, perjoeangan, penderitaan


masjarakat tempat timboelnja, dan sebagainja. sejarah dan ilmoe masjarakat
menoendjoekkan poela, bahwa seni itoelah penggerak masjarakat baroe,
pembangoen sesoeatoe bangsa dalam perjalanannja ke arah kebesaran dan
kemoeliaan.
Di tengah2 kebangoenan bangsa kita seoemoemnja dan semangat
kebangoenan seni bangsa kita pada choesoesnja, semakin hari setara
kedoedoekan kesoesasteraan. Satoe-persatoe timboel pengarang dan penjanji
menjanjikan lagoenya, selaras dengan getar semangat disekelilingnja: roman,
koempoelan sadjak, koepasan, pemandangan kesoesasteraan makin sehari
makin banjak memperlihatkan dirinja. Dan benarlah kata dr. Soetomo pada
kongres Indonesia Raja kira2 setahoen jang soedah: kesoesasteraan Indonesia
jang baroe soedah timboel”.

Dari manifesto Majalah Poedjangga Baroe tersebut, dapat ditarik kesimpulan

tentangnya, yakni: Majalah Poedjangga Baroe diterbitkan untuk membuat suatu

perubahan ke arah modernisasi, baik dalam bidang kesusasteraan maupun dalam

bidang kebudayaan. Majalah ini juga dimaksudkan sebagai tempat bagi para

pengarang atau sastrawan pribumi Indonesia untuk menyalurkan berbagai karya

sastra mereka, dan sekaligus sebagai tempat belajar berbagai jenis karya sastra asing.

Selain itu, Majalah Poedjangga Baroe juga diterbitkan sebagai sarana pembawa

semangat nasionalisme di Indonesia pada saat itu.

Penerbitan Majalah Poedjangga Baroe yang dilakukan oleh Sutan Takdir

Alisjahbana, Armijn Pane dan Amir Hamzah mendapatkan sambutan hangat dari

sejumlah pelajar pada saat itu. Beberapa pelajar itu seperti: Adinegoro, Ali Hajsmy,

Amir Sjarifoeddin, Aoh K. Hadimadja, H. B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.

E. Tatengkeng, Karim Halim, L. K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka,


43
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Selasih, Soemanang, Soetan Sjahrir, dan W. J. S. Poerwadarminta.48 Namun,

penerbitan Majalah Poedjangga Baroe mendapatkan kritikan keras dari kalangan

bangsawan Melayu yang setia kepada Pemerintah kolonial Belanda. 49 Kalangan

bangsawan Melayu berdalih dengan mengatakan bahwa majalah tersebut akan

merusak kasanah bahasa Melayu dengan memasukan bahasa daerah dan bahasa asing.

Pada masa pendudukkan Jepang di Indonesia, yakni pada tahun 1942 – 1945,

Majalah Poedjangga Baroe dilarang terbit. Pemerintah Jepang beralasan bahwa

majalah tersebut mempropagandakan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat

pribumi Indonesia. Selain itu, pemerintah Jepang juga mengatakan bahwa majalah

tersebut terlalu progresif dan ke-Barat-baratan. Akan tetapi, setelah Indonesia

merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949 – 1953 di bawah kendali Sutan

Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat Karta

Mihardja, Asrul Sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi S.

Hartowardojo, dan Rivai Avin.50

Ketika diterbitkan kembali pada tahun-tahun pertama setelah Indonesia

merdeka, Majalah Poedjangga Baroe telah mengusung semangat yang sangat

berbeda dari saat pertama kali diterbitkan. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial,

politik, dan kebudayaan yang sudah sangat berbeda.

48
Yudiono. K. S, Op.Cit., Hlm. 79.
49
Ibid.
50
Ibid.
44
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

A.2. Surat Kabar Pewarta Deli

Diterbitkan pertama kali di Kota Medan pada tahun 1920, Surat Kabar

Pewarta Deli dipimpin oleh Dja Endar Muda. Surat kabar ini diterbitkan dan dicetak

oleh perusahaan pribumi bernama Sjarikat Tapanuli. Pada tahun 1911, kepemimpinan

redaksi Surat Kabar Pewarta Deli diserahkan kepada Adinegoro (Jamalludin) karena

Dja Endar Muda keluar dan menerbitkan Surat Kabar Bintang Atjeh.

Pada tahun-tahun pertama diterbitkan, Surat Kabar Pewarta Deli lebih banyak

memuat tulisan yang berisikan kritik terhadap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda

di Sumatera. Ketika diberlakukannya kebijakan Poenale Sanctie, sebuah tulisan

berjudul “Nasibnya Koeli Contract di Soematra Timoer” dari seorang bernama

Omega dimuat dalam Surat Kabar Pewarta Deli edisi 18 Desember 1912. Tulisan

tersebut mengkritik soal eksploitasi terhadap para kuli (buruh) yang didatangkan oleh

pemerintah dari Cina, India, dan Pulau Jawa. Para kuli tersebut diperkerjakan di

kebun-kebun milik pemerintah dengan upah yang sangat rendah.

Pada tahun 1916, Surat Kabar Pewarta Deli memuat kembali sebuah tulisan

yang merupakan kritik atas tingkah-laku seorang pejabat pemerintah Hindia-Belanda

berjudul “Seorang Ambtenaar Jang Pemaboek”, dalam edisi tanggal 22 Nopember.

Selain memuat tulisan yang judulnya secara terang-terangan mengkritik, surat kabar

ini juga memuat tulisan kritikan yang judulnya bergaya fiksi dan cerita bersambung.

Tulisan yang bergaya fiksi tersebut pernah diterbitkan pada tahun 1912, sebuah
45
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

tulisan berjudul “Kerajaan Mandolnati” dari seorang bernama Flora. Tulisan ini

berisikan kritikan terhadap sistem Tanam Paksa dari pemerintah kolonial Belanda.51

Surat Kabar Pewarta Deli, dalam penerbitannya tidak semata-mata

memberitakan tentang persoalan sosial dan ekonomi yang sering dihadapi oleh

masyarakat pribumi di Sumatera, tetapi memberitakan juga mengenai persoalan

politk. Pada saat terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh partai komunis di

tahun 1926 – 1927, surat kabar ini memuat sebuah tulisan yang menyatakan bahwa

“pemerintah harus memberikan kedudukan dalam pemerintahan kepada para aktivis

komunis, agar pemberontakan tidak terjadi lagi”.

A.3. Harian Soeara Oemoem

Harian Soeara Oemoem diterbitkan pertama kali pada bulan Oktober 1931 di

Kota Surabaya, dimaksudkan sebagai alat propaganda semangat kemerdekaan di

kalangan masyarakat pribumi Indonesia saat itu, khususnya masyarakat di Pulau

Jawa. Harian ini diterbitkan oleh Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) di bawah

pimpinan dr. Soetomo. Harian Soeara Oemoem Surabaya ini menyediakan rubrik

khusus untuk menyiarkan tentang berita-berita kemerdekaan.52

Pada awalnya Harian Soeara Oemoem diterbitkan dalam dua rubrik, yakni

rubrik berbahasa Jawa dan rubrik berbahasa Indonesia. Rubrik berbahasa Indonesia

51
Hasballah Tahib (ed), Prof. Chairuddin P. Lubis dalam Pandangan Ulama
dan Cendikiawan, (USU Press, Medan, 2009), Hlm. 29 – 31.
52
P. J. Suwarno, Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942 – 1974, (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994), cetakan ke- 1, Hlm.
159.
46
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

diterbitkan untuk kalangan masyarakat yang sudah mengerti dan dapat berbahasa

Indonesia. Sementara rubrik berbahasa Jawa diterbitkan secara khusus untuk

masyarakat di Pulau Jawa yang belum mengerti dan tidak dapat berbahasa Indonesia.

Kedua rubrik ini terbagi lagi ke dalam beberapa halaman, yakni: rubrik berbahasa

Indonesia sebanyak delapan (8) halaman dan rubrik berbahasa Jawa sebanyak 4

halaman. Harian Soeara Oemoem ini terbit satu kali dalam seminggu, dengan 12

halaman.

Pemisahan rubrik berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa yang dilakukan

pada Harian Soeara Oemoem ini kemudian menimbulkan kekacauan. Pada tanggal 2

September 1933, rubrik berbahasa Jawa memisahkan diri, kemudian berganti nama

menjadi “Penjebar Semangat”, di bawah pimpinan Imam Supardi. Semetara rubrik

berbahasa Indonesia tetap digunakan sebagai alat propaganda bagi organisasi

Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan di bawah pimpinan dr. Soetomo.

Ketika dipimpin oleh Tjindarboemi pada tahun 1931, Haian Soeara Oemoem

mengalami perkembangan yang sangat pesat, dengan pengertian bahwa harian ini

telah dibaca dan menyebar sampai ke luar negeri, khususnya ke Eropa. Pada saat itu

Tjindarboemi memuat tulisannya tentang pemberontakan kapal Zeven Provincien,

dimana pemeberitaannya menyebar sampai ke Eropa. Pemerintahan Hindia-Belanda

pada saat itu merasa sangat terganggu oleh pemberitaan tersebut, sebab akan merusak

pandangan dunia luar atas kedudukan Belanda di Indonesia. Dalam tahun yang sama,

pihak pemerintahan Hindia-Belanda kemudian memberi teguran keras kepada

Tjindarboemi.
47
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Setelah mendapatkan teguran keras dari pemerintah Hindia-Belanda,

Tjindarboemi kemudian ditangkap. Ia dipenjarakan di penjara Kalisolok yang terletak

di sebelah Utara Kota Surabaya. Selanjunya, pemerintah pun memerintahkan supaya

Harian Soeara Oemoem dilarang terbit, karena telah memuat tulisan dari

Tjindarboemi.

A.4. Majalah Wasita

Majalah Wasita merupakan majalah pendidikan yang diterbitkan untuk

pertama kalinya pada bulan Oktober 1928, di Yogyakarta. Penerbitan majalah ini

ditujukan sebagai alat propaganda pentingnya pendidikan oleh Perguruan Taman

Siswa kepada masyarakat pribumi Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Majalah

Wasita diterbitkan dan dipimpimpin oleh Ki Hadjar Dewantara.

Pada edisi pertama Majalah Wasita, Ki Hadjar Dewantara menuliskan tujuan

penerbitannya, yakni sebagai berikut:

“Adapoen Wasita itoe berkehendak mendjadi balai soeara dan


panggoeng tamasja (balairoeng = siti inggil) oentoek segala kaoem pendidik
dan pengadjar, kaoem iboe-bapa dan sekalian orang, jang ingin mengetahoei
ataoe toeroet memperhatikan roepa-roepa daja oepaja goena kesehatan roch
dan toeboeh anak, ialah anak-anak kita, jang kelak akan mengganti kita djadji
ra’iat Indonesia”.53

Dari tulisan Ki Hadjar Dewantara tersebut, jelas dapat diketahui bahwa tujuan

penerbitan Majalah Wasita adalah sebagai wadah belajar umum bagi masyarakat

pribumi Indonesia pada saat itu. Pada penerbitan pertamanya, Majalah Wasita dibagi

53
http://jangan-bungkamhendaru.blog.friendster.com/. Data diakses pada
tanggal 13 Juni 2011.
48
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ke dalam beberapa rubrik, yaitu: rubrik pendidikan dan pengajaran, rubrik babad dan

ceritera, rubrik pengetahuan umum, rubrik arsip nasional, dan rubrik kesehatan dan

sport (olah raga). Pembagian majalah ini ke dalam beberapa rubrik dimaksudkan oleh

para redaksinya agar pembaca mudah memilih berita atau informasi sesuai dengan

kebutuhan masing-masing. Selain itu, Majalah Wasita juga diharapkan dapat berguna

sebagai referensi (panduan) pagi para pengajar atau guru-guru di Perguruan Taman

Siswa khususnya dan para pengajar di Indonesia secara umumnya.

B. Aktor-aktor di balik Perdebatan Kebudayaan Tahun 1935 - 1939

Buah pemikiran seseorang atau aktor yang dituangkannya melalui berbagai

media atau sarana seperti buku, majalah, surat kabar, dan sarana-sarana tulisan

lainnya, tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan, kepercayaan atau keyakinan,

dan pendidikan yang pernah ditempuh semasa hidupnya. Artinya, pemikiran

seseorang tersebut tercipta melalui suatu situasi dan kondisi yang menjadi latar

belakang dimana pemikir tersebut berada dan dibesarkan. Hal ini juga berlaku bagi

para aktor atau para intelektual yang terlibat dalam perdebatan di tahun 1930-an,

perdebatan yang lebih dikenal dengan peristiwa Polemik Kebudayaan yang dibahas

dalam tulisan ini.

Di bawah ini akan diuraikan bagaimana latar belakang dari para aktor atau

para intelektual yang terlibat dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, yakni sebagai

berikut:
49
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.1. Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, pada tanggal 11

Februari 1908 dan meninggal pada tanggal 17 Juli 1944. Semasa hidupnya, Sutan

Takdir Alisjahbana dikenal sebagai seorang budayawan, penulis, sastrawan, dan lain

sebagainya. Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang yang berdarah campuran, sebab

ibunya seorang keturunan Sumatera dan ayahnya seorang keturunan Jawa bernama

Raden Alisjahbana gelar Sultan Arbi.54

Pada tahun 1915, Sutan Takdir Alisjahbana disekolahkan oleh keluarganya di

sekolah dasar Hollandsch Inlandsche (HIS), di Bengkulu. Setelah menyelesaikan

pendidikan dasarnya pada tahun 1921, Ia kemudian melanjutkan ke Kweekschool,55 di

Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim. Pada saat menempuh pendidikan di Kweekschool,

Sutan Takdir Alisjahbana mendirikan sebuah organisasi pemuda Sumatera, yakni

Jong Sumateranen Bond, cabang Muara Enim dan sekaligus menjadi ketuanya. Di

Kweekschool ini, Sutan Takdir Alisjahbana lulus pada tahun 1925 dan kemudian

melanjutkan pendidikannya di Hogere Kweekschool, di Bandung.

Pada saat menempuh pendidikan di Bandung, Sutan Takdir Alisjahbana

diangkat menjadi sekretaris dan wakil ketua Jong Sumateranen Bond cabang

Bandung. Setelah lulus pada tahun 1928 di Hogere Kweekschool, Ia kemudian

54
Lihat misalnya, Flobertina Aning. S (penyusun), 100 Tokoh Yang Mengubah
Indonesia, (Penerbit Narasi, Yogyakarta, September 2007), cetakan ke- 3, Hlm. 231.
55
Kweekschool adalah sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia-
Belanda. Sekolah ini merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi
guru, dengan bahasa pengatarnya menggunakan bahasa Belanda.
50
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kembali ke Sumatera dan menjadi guru di Palembang selama setahun. Dalam tahun

yang sama, Ia juga berpartisipasi sebagai penerbit dan redaktur Malajah Mingguan

Semangat Muda di Palembang.

Pada tahun 1931 – 1933, Sutan Takdir Alisjahbana mengikuti kursus di

Hofdacte Cursus (kualifikasi tertinggi pada saat itu untuk menjadi kepala sekolah di

sebuah perguruan).56 Dari tahun 1930 – 1937, Ia menjadi redaktur kepala Majalah

Panji Pustaka dan sekaligus berkerja sebagai freelance journalist untuk Surat Kabar

Pewarta Deli, Medan, dan Harian Soeara Oemoem, Surabaya. Pada tahun 1937, Ia

melajutkan pendidikannya di Rechtscogeschool, Fakultas Hukum di Universitas

Indonesia, Jakarta. Pada tahun 1938, Ia mencetuskan gagasan pentingnya

menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia. Dalam tahun yang sama, kongres pun

diselenggarakan untuk pertama kalinya di Kota Solo. Pada tahun 1942, Ia

menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia dan mendapatkan gelar

sarjana hukum.

Di masa mudanya, Sutan Takdir Alisjahbana banyak membuat karya tulis,

baik dalam bentuk buku, esai, paper, maupun novel. Beberapa diantara karya tulisnya

tersebut yaitu: Tak Putus Dirundung Malang (1929), Aliran Semangat Muda (1929),

Dian Jang Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega (1935), dan Layar

Terkembang (1937).

56
Tentang Hofdacte Cursus ini dapat dilihat dalam Slamet Muljana,
Kesadaran Nasionalisme dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, (Penerbit LKiS,
Yogyakarta, 2008), Hlm. 325.
51
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.2. Sanusi Pane

Sanusi Pane lahir pada tanggal 14 November 1905 di Muara Sipongi,

Sumatera Utara. Ia meninggal pada tanggal 2 Januari 1968 di Jakarta. Semasa

hidupnya, Sanusi Pane dikenal sebagai seorang sastrawan dan wartawan. Selain itu,

Ia juga dikenal sebagai tokoh kebudayaan terkemuka dalam sejarah kebudayaan

Indonesia. Ia adalah anak dari Sutan Pangarubaan Pane, seorang yang dikenal sebagai

pengarang daerah pada jamannya.57

Pada tahun 1922, Sanusi Pane disekolahkan oleh keluarganya di Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),58 Padang. Ia kemudian pindah ke sekolah

yang sama di Jakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Sanusi Pane

kemudian melanjutkan ke Kweekschool Jakarta. Di sekolah ini, Ia lulus pada tahun

1925 dan kemudian diangkat menjadi guru. Tatkala sekolah tersebut dipindahkan ke

Lembang dan kemudian menjadi Hogere Kweekschool (HIK),59 Ia juga mengajar

pada sekolah tersebut.60 Dari sekolahnya itu, Sanusi Pane diberi kesempatan untuk

57
A. G. Pringgodigdo (pimpinan redaksi), Ensiklopedi Umum, (Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2008), cetakan ke- 16, Hlm. 783.
58
MULO adalah sekolah dasar yang didirikan oleh Pemerintah Hindia-
Belanda, dan dikenal dengan “pendidikan dasar lebih luas”, dengan bahasa
pengantarnya menggunakan bahasa Belanda. Pada akhir tahun 1930-an, MULO
sudah ada hampir di setiap ibu kota kabupaten di Pulau Jawa.
59
Hogere Kweekschool merupakan sekolah pendidikan guru tingkat atas,
dengan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Belanda.
60
Ibid., Hal. 783.
52
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

mengikuti kuliah etnologi di Sekolah Hakim Tinggi.61 Pada tahun 1929 – 1930,

Sanusi Pane pergi ke India untuk mempelajari kebudayaan Hindu.

Kepergian ke India tersebut sangat mempengaruhi alam pikiran Sanusi Pane.

Setelah pulang, Ia banyak membuat karya tulis yang berhubungan dengan

kebudayaan Hindu, diantaranya seperti: naskah drama Kertajaya (1932) dan naskah

drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933). Selain itu, Ia juga menerjemahkan

kakawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang berbahasa Jawa Kuno pada tahun

1940. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pendapat bahwa alam pikiran Sanusi

Pane lebih condong ke dunia Timur dalam menciptakan karya sastra.

Pada tahun 1931 – 1933, Sanusi Pane ditunjuk sebagai redaktur Majalah

Timboel.62 Selanjutnya pada tahun 1936, Ia memimpin Surat Kabar Kebangoenan63

dan ditunjuk menjadi redaktur Majalah Balai Pustaka64 pada tahun 1941. Selain

61
Ibid.
62
Majalah Timboel diterbitkan pertama kali pada tahun 1930, edisi
pertamanya diterbitkan dalam bahasa Belanda. Namun, setelah Sutan Takdir
Alisjahbana diangkat menjadi direkturnya pada tahun 1932, Majalah Timboel
menerbitkan edisi berbahasa Indonesia.
63
Surat Kabar Kebangoenan diterbitkan dengan tujuan sebagai propaganda
atas bahaya fasisme Jerman. Lihat misalnya, Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam
Pusaran Politik. Trans Media Pustaka. Jakarta 2008. Hal. 517.
64
Balai Pustaka merupakan Komisi Bacaan Rakyat yang didirikan oleh
Pemerintah Hidia-Belanda pada tanggal 14 September 1908. Balai Pustaka disebut
juga sebagai Ejaan Van Ophuijsen. Balai Pustaka didirikan dengan tujuan untuk
mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Indonesia, seperti bahasa Jawa,
bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura. Selain itu, Balai Pustaka juga
melakukan penerjemahan karya sastra Eropa, dengan tujuan agar masyarakat pribumi
Indonesia tidak mengetahui atau buta akan informasi yang berkembang di Indonesia.
53
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

berkerja, Sanusi Pane juga banyak membuat karya sastra, diantaranya seperti:

Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927),

drama berbahasa Belanda dengan judul Airlangga (1928) dan Eenzame Caroedalueht

(1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada

tahun 1931.

B.3. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka

Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka lahir di Surakarta pada tanggal 1 Januari

1884 dan meninggal pada tanggal 25 Juni 1964. Semasa hidupnya, Poerbatjaraka

dikenal sebagai seorang budayawan, ilmuwan, dan ahli sastra Jawa Kuno. Ketika

kecil, Poerbatjaraka dipanggil dengan nama Lesya. Ia adalah anak Raden

Toemenggoeng Poerbadipoera, seorang abdi dalem kesayangan Sunan Pakubuwana

X, di keratin Kasunanan Surakarta. Ayah Lesya juga dikenal sebagai seorang

sastrawan kerajaan, biasanya ditugaskan untuk menulis kisah perjalanan Sunan

Pakubuwana X.

Lesya mengenyam pendidikan pertamanya di Hollandsch Indische School

(HIS), sekolah untuk anak-anak Belanda yang dapat dimasuki oleh anak-anak

pribumi yang orangtuanya tergolong mampu dalam segi perekonomiannya. Semasa di

HIS, Lesya mempelajari beberapa ilmu pengetahuan, seperti bahasa Melayu, bahasa

Belanda, dan pengetahuan dasar lainnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di HIS, Lesya melanjutkan

pendidikannya ke Europesche Lagere School (ELS), sekolah dasar untuk anak-anak


54
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Eropa, di Kota Solo. Di sekolahnya ini, Lesya sangat pandai dalam berbahasa

Belanda. Bekal bahasa Belanda dari ELS itulah yang digunakannya untuk memahami

buku-buku mengenai naskah Jawa klasik karya para sarjana Eropa, seperti Kern,

Cohen Stuart, dan Brandes yang terdapat di perpustakaan ayahnya. 65 Kepandaian

Lesya dalam ilmu sastra Jawa Kuno pada saat itu menarik perhatian Residen

Surakarta. Pada tahun 1910, Ia dikirim oleh Residen Surakarta untuk berkerja di

Dinas Purbakala, Museum Gajah, di Batavia (Jakarta).

Pada saat berkerja di Museum Gajah, Lesya dianugerahi sebuah nama

“Perbatjaraka” oleh Kasunanan Surakarta. Nama Poerba adalah sebuah gelar seperti

yang terdapat pada nama ayahnya, yakni Poerbadipoera. Sementara nama Tjaraka,

dalam aksara Hanacaraka berarti duta atau utusan. Dengan demikian, maka nama

Poerbatjaraka dapat diartikan sebagai seorang utusan dari Kasunanan Surakarta. Pada

saat yang sama, Lesya juga diberikan gelar kebangsawanannya, yakni Raden

Ngabehi.

Pada tahun 1921, Lesya, yang sudah dikenal dengan nama Poerbatjaraka,

pergi ke negeri Belanda untuk belajar di Universitas Leiden. Di universitas ini, Ia

ditugaskan untuk menjadi asisten Profesor Dr. Hazeu, seorang ahli dalam karya sastra

Jawa. Bersama Profesor Dr. Hazeu, Poerbatjaraka kemudian diperkenankan

berpromosi untuk mendapatkan gelar doctor di Universitas Leiden. Pada tahun 1926,

65
Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung-Menyambung menjadi Satu.
Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta 2002. Hal. 206.
55
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Poerbatjaraka mengajukan disertasinya yang berjudul “Agastya in den Archipel”.66

Setelah menyelesaikan tugasnya bersama Profesor Dr. Hazeu, Poerbatjaraka

kemudian kembali ke Jakarta dan berkerja untuk Museum Gajah. Di museum ini,

Poerbatjaraka langsung ditugaskan sebagai kurator naskah manuskrip dan

mengkatalogisasikan semua naskah Jawa.

Beberapa tahun berselang, Poerbatjaraka kembali mendapatkan gelar

kebangsawanannya, yakni Raden Mas. Gelar tersebut didapatkannya dengan

menikahi seorang wanita bangsawan yang bergelar Raden Ayu. Dengan demikian,

maka secara lengkap nama Poerbatjaraka adalah Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka.

B.4. dr. Soetomo

dr. Soetomo lahir pada tanggal 30 Juli 1888, di Ngepeh, Loceret, Nganjuk,

Jawa Timur, dan meninggal pada tanggal 30 Mei 1938, di Surabaya, Jawa Timur.

Semasa hidupnya, dr. Soetomo dikenal sebagai pendiri organisasi Budi Utomo,

organisasi pergerakan kebangsaan pertama di Indonesia.

Ketika muda, dr. Soetomo disekolahkan oleh keluarganya di School Tot

Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA), Batavia (Jakarta), pada tahun 1903.

Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1911, dr. Soetomo berkerja sebagai

66
Disertasi Poerbatjaraka ini menceritakan tentang seorang tokoh pendeta,
murid kesayangan Siva yang menyebarkan agama Hindu-Saiva di Nusantara bernama
Agastya, melalui perjalanan laut. Sekitar abad ke-7 – 9, kedudukan Agastya dalam
ritus pemujaan Hinudisme disebutkan telah mencapai puncak kejayaannya. Agastya,
dalam abad-abad tersebut disejajarkan dengan dewa Siva dan Durga. Lihat,
Poerbatjaraka, Agastya di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta 1992. Edisi
terjemahan.
56
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

dokter pemerintah di beberapa daerah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, seperti di

Semarang, Tuban, Malang, dan Lubuk Pakam (Sumatera Timur). Pada tahun 1917, Ia

menikahi seorang perawat yang berasal dari negeri Belanda. Setelah menikah, dr.

Soetomo melanjutkan pendidikan kedokterannya di negeri Belanda dari tahun 1919 –

1923.

Sekembalinya dari negeri Belanda, dr. Soetomo kemudian berkerja sebagai

guru di Nederlandsch Indische Artsen (NIAS),67 di Surabaya. Pada tahun 1924, Ia

mendirikan Indonesische Studie Club atau Kelompok Belajar Indonesia. Kelompok

Belajar Indonesia tersebut pada tahun 1931 berganti nama menjadi Persatuan Bangsa

Indonesia (PBI).68

Semasa hidupnya, selain aktif dalam bidang pendidikan dan kedokteran, dr.
Soetomo juga aktif dalam bidang jurnalisme. Ia pernah berkerja sebagai wartawan
dan mendirikan beberapa media cetak, seperti: Harian Soeara Oemoem, Soeloeh
Indonesia, dan Soeloeh Ra’jat Indonesia. dr. Soetomo juga seringkali membuat karya
tulis berupa artikel yang dimuat dalam surat kabar, di samping membuat berbagai
brosur tentang masalah pendidikan.

B.5. Tjindarboemi

Tjindarboemi lahir pada tanggal 28 November 1902, di Gunung Sugih,

Lampung, Sumatera. Semasa hidupnya, Tjindarboemi dikenal sebagai seorang

67
Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) merupakan sekolah
kedokteran Hindia-Belanda yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1913, di
Surabaya.
68
Lihat misalnya, Tim Media Pusindo, Pahlawan Indonesia, (Penerbit Media
Pusindo, Puspa Swara Group, Jakarta 2008), cetakan ke-1, Hlm. 51.
57
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

perintis pers Nasional Indonesia. ketika muda, Ia mengenyam pendidikan pertamanya

di Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS), di Surabaya.

Meskipun sebagai seorang lulusan sekolah kedokteran, Tjindarboemi justru

memilih berkerja sebagai wartawan. Pada tahun 1931, Ia menjadi pemimpin redaksi

pada Surat Kabar Soeara Oemoem milik dr. Soetomo. Dalam bulan Januari 1933, Ia

menulis dan memuat tulisannya tentang pemberontakan Kapal Zeven Provincien

dalam surat kabar tersebut. Akibat keberaniannya tersebut, Ia harus mendekam di

dalam penjara Kalisolok yang terletak di sebelah Utara kota Surabaya, atas perintah

Gubernur Jenderal De Jonge. Selain pernah berkerja sebagai redaktur pada Surat

Kabar Soeara Oemoem, Tjindarboemi juga pernah menerbitkan Harian Fajar

Soematera bersama Kamaroeddin Gelar Soetan Ratoe Agoeng Sempoernadjaja, pada

tahun 1939.

Selama berkerja di bidang jurbnalistik, Tjindarboemi dikenal sebagai seorang

kritikus yang tajam terhdap pemerintah. Hal ini seperti yang ditunjukkannya pada

saat terjadinya pemberontakan kapal Zeven Provincien. selain itu, Ia juga dikenal

gigih dalam mengusahakan perkembangan pers Nasional Indonesia.

B.6. Djamaluddin Adinegoro

Djamaluddin Adinegoro lahir pada tanggal 14 Agustus 1904, di

TalawiSawahlunto, Sumatera Barat dan meninggal pada tanggal 8 Januari 1967, di

Jakarta, dalam usia 62 tahun. Semasa hidupnya, Ia dikenal sebagai seorang sastrawan

dan wartawan. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin


58
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Gelar Datoek Maradjo Sutan.69 Djamaluddin Adinegoro merupakan saudara satu ayah

dan lain ibu dengan Muhammad Yamin, seorang sastrawan. Ayah Djamaluddin

Adinegoro bernama Usman Gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadaridjah.

Sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Djamaluddin Adinegoro

memiliki istri bernama Alidas, berasal dari Sulit Air, X Koto Diatas, Solok, Sumatera

Barat.70

Pada tahun 1918, Djamaluddin Adinegoro sekolah di School Tot Opleiding

Van Indische Artsen (STOVIA). Setelah menamatkan sekolahnya pada tahun 1925,

setahun kemudian Ia belajar ke negeri Jerman dan negeri Belanda, untuk

memperdalam pengetahuan jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik, hingga

tahun 1930.71 Djamaluddin Adinegoro mengawali pekerjaannya sebagai wartawan

pada Majalah Tjaja Hindia. Di majalah ini, Ia ditugaskan sebagai pembantu tetap

yang setiap minggunya menuliskan berita tentang masalah-masalah luar negeri. Pada

saat yang sama, Ia juga berkerja sebagai freelance journalist untuk Harian Bintang

Timur.

Sekembalinya di tanah air pada tahun 1931, Ia berkerja untuk Majalah Panji

Pustaka dan kemudian memimpin Harian Pewarta Deli di Medan.72 Djamaluddin

69
A. G. Pringgodigdo, Op.Cit., Hlm. 281.
70
Ibid.
71
Lihat misalnya, Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia,
(Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2000), Cetakan ke-1, Hlm. 16.
72
A. G. Pringgodigdo, Op.Cit., Hlm. 281.
59
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Adinegoro kemudian memimpin Surat Kabar Soematra Shimboen. Pada tahun 1948,

Ia mendirikan dan menerbitkan Majalah Mimbar Indonesia bersama Profesor Dr.

Soepomo hingga tahun 1950. Pada tahun 1951, Ia kemudian memimpin Yayasan Pers

Biro Indonesia, di samping berkerja pada Kantor Berita Nasional (sekarang LKBN

Antara).

Selama berkarier di bidang jurnalistik, Djamaluddin Adinegoro banyak

membuat karya tulis, baik berupa buku maupun artikel. Beberapa diantara karya

tulisnya itu adalah Darah Muda (1931), Asmara Jaya (1932), Ilmu Karang-

mengarang, Falsafah Ratu Dunia, Melawat ke Barat (1950), Revolusi dan

Kebudayaan (1954), Es Kopyor (1961), Etsuko (1961), Lukisan Rumah Kami (1963),

dan Nyanyian Bulan April (1963).

B.7. Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889, di Yogyakarta dan

meninggal pada tanggal 29 April 1959. Nama asli Ki Hadjar Dewantara adalah Raden

Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia adalah putera dari Pangeran Soerjaningrat, putera

bangsawan yang sejak dewasa tidak mau lagi menggunakan atribut

kebangsawanannya, berganti nama Ki Hadjar Dewantara.73

Ki Hadjar Dewantara dibesarkan dalam lingkungan istana kerajaan

Yogyakarta, dimana suatu bentuk adat dan tradisi Jawa sangat dijunjung tinggi oleh

73
Tauchid, Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan dan Pelopor Pendidikan,
(Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 1968), Hlm. 14.
60
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

masyarakatnya. Di lingkungan tersebut pula, Ia diperkenalkan dengan berbagai

macam tradisi Jawa seperti musik tradisional, gamelan, lagu-lagu tradisional, dan

tradisi kesusastraan kerajaan. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga mengagumi

kemahiran ayahnya dalam menuliskan karya sastra kerajaan Jawa.

Pada tahun 1904, Ki Hadjar Dewantara berhasil menyelesaikan pendidikannya

di Europesche Lagere School (ELS), sekolah yang memeperkenalkannya pada istilah

”colonial system”. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Kweekschool, di

Yogyakarta. Di sekolah guru ini, Ki Hadjar Dewantara belajar selama satu tahun.

Setelah lulus dan mendapatkan beasiswa, Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di

School Tot Opleideing Van Indische Artsen (STOVIA), pada tahun 1905. Pada tahun

1908, Ia masuk menjadi angota organisasi Budi Utomo dan diberikan jabatan sebagai

kepala bagian propaganda.

Pada tahun 1910, Ki Hadjar Dewantara keluar dari School Tot Opleiding Van

Indische Artsen (STOVIA) karena tidak naik kelas dan beasiswanya dicabut. Pada

saat yang sama, Ia juga menderita sakit selama empat bulan. Meskipun telah keluar,

Ia mendapatkan surat keterangan istimewa dari Direktur STOVIA karena

kepandaiannya dalam berbahasa Belanda.74

Setelah keluar dari STOVIA, Ki Hadjar Dewantara kemudian belajar sebagai

polenter di laboratorium Pabrik Kalibagor, Banyumas.75 Pada tahun 1911, Ia menjadi

74
Ibid.
75
Ibid.
61
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pembantu apoteker di apotik Ratknaf, Yogyakarta. Di samping itu, Ia juga membantu

surat kabar-surat kabar seperti: Sedyo Tomo (bahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden

Java (bahasa Belanda) di Yogyakarta, dan De Express (bahasa Belanda) di Bandung,

pada tahun 1912.76 Melalui dunia pers itulah Ki Hadjar Dewantara menguraikan

perbagai pemikiran dan persoalan yang dihadapi oleh bangsanya.77

Pada tanggal 6 September 1912, Ki Hadjar Dewantara masuk menjadi anggota

Indische Partij (IP). Setahun kemudian, Ia bersama Tjipto Mangoenkoesoemo

mendirikan Komite Bumi Putera di Bandung. Komite ini bertugas untuk memprotes

perayaan kemerdekaan Belanda dari Inggris yang akan diselenggarakan pada tanggal

15 November 1913 di Indonesia. dalam tahunyang sama, Ki Hadjar Dewantara

mempublikasikan tulisannya yang terkenal dengan judul “Als ik een Nederlander

was” (Andai aku seorang Belanda). Tulisannya itu memprotes pesta kemerdekaan

negeri Belanda yang penyelenggaraannya akan meminta bantuan biaya kepada rakyat

jajahannya di Indonesia. Tulisan Ki Hadjar Dewantara tersebut dianggap

menyinggung oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Ia kemudian ditangakap dan

diasingkan ke Pulau Bangka. Ki Hadjar Dewantara ditangkap bersama Tjipto

Mangoenkoesoemo (dibuang ke Banda Neira) dan Douwes Dekker (dibuang ke

76
Ibid.
77
Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, (Rumah Belajar
YAKIBAS, Yogyakarta, Oktober 2008), cetakan ke-1, Hlm. 47.
62
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Timor Kupang). Selanjutnya, ketiga tokoh itu sepakat untuk minta dipindahkan ke

negeri Belanda.78

Pada saat berada di negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara mendirikan kantor

berita “Indonesische Persbureau”, ini untuk pertamakalinya nama Indonesia

digunakan dalam surat kabar di negeri tersebut.79 Selain melakukan kegiatan dalam

persuratkabaran, Ki Hadjar Dewantara juga memikirkan tentang bagaimana

pendidikan yang sesuai untuk bangsanya yang sedang dijajah. Ia pun mempelajari

sistem pendidikan yang diterapkan oleh Rabindranath Tagor di India. Setelah kembali

dari pengasingan, pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan

Perguruan Taman Siswa dan sekaligus menjadi gurunya. Padan tahun 1927, Ia

bersama Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Pada tahun 1945, Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang. Dalam tahun

yang sama, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indoensia

(Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) dalam cabinet pertama Indonesia.

pada tahun 1957, Ia diberikan gelar doctor kehormatan (Doctor Honoris Causa atau

Dr. H. C.) oleh Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Setelah meninggal, Ki Hadjar

Dewantara kemudian dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia,

melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305, Tahun 1959.

78
Ibid. hal. 18.
79
Ibid.
63
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.8. dr. Mohammad Amir

dr. Mohammad Amir lahir pada tanggal 27 Januari 1900, di Talawi,

Sawahlunto, Sumatera Barat dan meninggal pada tahun 1949, di Amsterdam,

Belanda. Ia adalah anak dari pasangan suami istri bernama Mohammad Joenoes

Soetan Malako dan Siti Alamah. Ketika kecil, dr. Mohammad Amir dibawa oleh

pamannya, Mohammad Jaman Gelar Radjo Endah, untuk disekolahkan di Hollandsch

Inlandsche School (HIS), di Palembang. Akan tetapi, sebelum menamatkan

sekolahnya, dr. Mohammad Amir pindah ke Batavia (Jakarta). Setelah tiba di

Batavia, dr. Mohammad Amir disekolahkan di Europesche Lagere School (ELS). dr.

Mohammad Amir berhasil menamatkan pendidikannya di ELS pada tahun 1914. Ia

kemudian melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Di sekolah ini, Ia tamat pada tahun 1918, kemudian melanjutkan ke School Tot

Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA).

Pada tanggal 8 Desember 1917, dr. Mohammad Amir bersama rekan-

rekannya yang berasal dari Pulau Sumatera mendirikan perhimpunan pemuda

bernama “Jong Sumatranen Bond”. Perkumpulan ini didirikan dengan tujuan

mempersiapkan sendiri sebagai penggerak dalam upaya memperbaikin kehidupan

masyarakat di daerah asal mereka. dr. Mohammad Amir kemudian memimpin

perhimpunan ini hingga tahun 1922.

Ketika berada di Batavia, dr. Mohammad Amir bersama rekan-rekannya

seperti Mohammad Hatta, Djamaloeddin Adinegoro, Mohammad Jamin, dan Badher

Djohan, bergabung ke dalam perkumpulan teosofi yang bernama Dienaren Van Indie
64
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

(Hamba-hamba Hindia).80 Dari perkumpulan teosofi ini dr. Mohammad Amir

kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke negeri

Belanda, setelah tamat dari STOVIA pada tahun 1924. Di negeri Belanda, dr.

Mohammad Amir belajar dalam bidang psikiatri (ilmu penyakit jiwa) di Fakultas

Kedokteran, Universitas Utrecht. Setahun kemudian, Ia ditunjuk sebagai Komisaris

Pengurus Indische Vereniging yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan

Indonesia, pada tanggal 11 Januari 1925.

Pada tahun 1928, dr. Mohammad Amir berhasil menamatkan pendidikannya

di Universitas Utrect dan pulang ke Indonesia. Setibanya di Indonesia, dr.

Mohammad Amir kemudian menikah dengan Lien Fournier, seorang keponakan dari

ketua gerakan teosofi. Pada tahun 1934, dr. Mohammad Amir pindah ke Medan dan

berkerja sebagai dokter pemerintah. Pada akhir tahun 1940-an, bersama keluarganya,

dr. Mohammad Amir pindah ke Utrect, Belanda.

C. Perdebatan Kebudayaan Indonesia Tahun 1935 – 1939

Perdebatan kebudayaan di tahun 1930-an yang terjadi antara Sutan Takdir

Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, dr. Soetomo,

80
Dienaren Van Indie atau Theosophical Society merupakan perkumpulan
teosofi, sekaligus lembaga beasiswa yang didirikan oleh Madame Helena Petrovna
Blavatsky, seorang wanita bangsawan yang berasal dari Rusia, bersama Henry Steel
Olcott, seorang ahli hukum dan penganut kebatinan, di New York, pada tahun 1875.
Di Indonesia, pada tahun 1920-an, perkumpulan ini dibina oleh P. Fournier. Lihat
Mohammad Hatta, Untuk Negeriku, (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Januari 2011),
Hlm. 199, dan, Herry Nurdi, Kebangkitan Freemason dan Zionis di Indonesia: Di
Balik Kerusakan Agama-Agama, (Penerbit Cakrawala, Jakarta, 2006), Hlm. 146 –
147.
65
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Adinegoro, Tjindarboemi, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir, seperti

yang telah disebut pada bagian pendahuluan skripsi ini, tidak berlangsung secara

terus menerus dari tahun 1935 – 1939, melainkan secara bertahap. Tahapan-tahapan

dari perdebatan kebudayaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

C.1. Perdebatan Kebudayaan Tahap Pertama

Perdebatan kebudayaan tahap pertama di mulai pada bulan Agustus 1935.

Dalam bulan Agustus itu, Sutan Takdir Alisjahbana membuat sebuah tulisan berjudul

“Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia – Prae-Indonesia” yang

kemudian dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe. Dalam tulisannya itu, pertama-

tama Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa perkataan Indonesia pada saat itu

telah mengalami perubahan makna. Menurutnya, perubahan makna tersebut terjadi

karena “segala yang terdapat dan terjadi, segala yang pernah terdapat dan terjadi di

lingkungan kepulauan kita ini diberi orang nama Indonesia”. 81 Padahal, menurut

Takdir:

“Perkataan Indonesia seperti yang timbul di kalangan bangsa kita, tiada dapat
kita lepaskan dari perasaan, dari semangat keindonesiaan. Dan semangat
keindonesiaan itu adalah ciptaan abad kedua puluh, ialah kebangunan jiwa
dan tenaga”.82

81
Achdiat Karta Mihardja. Op.Cit., Hlm. 15.
82
Ibid.
66
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dari pernyataan Sutan takdir Alisjahbana tersebut, dapat diketahui bahwa Ia

menganggap istilah Indonesia adalah ciptaan abad ke-20. Dengan demikian, maka

jaman sebelumnya bukan bagian dari Indonesia. Berikut ini pernyataan Takdir:

“Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dalam abad
kedua puluh, ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara
ini, yang dengan insyaf menghendaki suatu jalan yang baru bagi bangsa dan
negerinya. Jaman sebelum itu, jaman sehingga penutup abad kesembilan
belas, ialah jaman prae-Indonesia, jaman jahilliah keindonesiaan, yang hanya
mengenal sejarah Osch Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh,
sejarah Banjarmasin dan lain-lain.83

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah berjalan bersama waktu,

menurut Takdir, jaman Indonesia bukan sambungan yang biasa dari jaman

sebelumnya, sebab kedua jaman tersebut memiliki arti dan makna yang sangat

berbeda. Berikut ini pernyataan Takdir:

“Sesungguhnya kemauan bersatu yang dikandung semangat Indonesia bukan


sekali-kali berurat berakar di masa yang silam, tetapi sebaliknya di masa yang
akan datang dalam harapan akan bersama-sama berdiri di sisi bangsa-bangsa
yang lain di kemudian hari, yang berdasar atas keyakinan yang diharapkan
dan dicita-citakan itu hanya mungkin tercapai dengan pekerjaan bersama-
sama, dengan bersatu”.84

Dalam pernyataannya tersebut, Takdir menegaskan bahwa ikatan persatuan

dalam masyarakat Indonesia seharusnya berakar ke masa yang akan datang, bukan

pada masa sebelum istilah Indonesia muncul, atau secara kasarnya berakar pada

sejarah. Dengan meyakini bahwa bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang

mampu berdiri sejajar dan bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia, Takdir

83
Ibid., Hlm. 16.
84
Ibid., Hlm. 18.
67
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kemudian menuliskan pernyataan yang sangat kontroversial pada jamannya, yakni

sebagai berikut:

“Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang


dynamisch yang teristimewa sekali kita cari di negeri dynamisch pula susunan
masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri
yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi
seperti sekarang: Eropa, Amerika, Jepang. Dan sekarang ini tiba waktunya
kita mengarahkan mata kita ke Barat”.85

Tulisan Takdir yang dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe tersebut,

kemudian ditanggapi oleh Sanusi Pane. Dalam tulisannya yang berjudul “Persatuan

Indonesia”, Sanusi Pane membantah pernyataan Takdir mengenai hubungan jaman

pra-Indonesia dan jaman Indonesia. Berikut ini pernyataan Sanusi Pane:

“Tuan S. T. A. rupanya tidak cukup mewujudkan dalam pemandangan


hidupnya akan kenyataan, bahwa sejarah ialah rantai ketika-ketika, yang
timbul dari yang di belakangnya. Jaman sekarang ialah terusan yang dahulu.
Manusia tidak sanggup mengadakan dewasa yang baru sama sekali. Hal
demikian itu sekiranya sama dengan mengadakan barang dari yang tidak
ada”.86

Sanusi Pane menyadari bahwa hubungan antara sejarah dan waktu tidak dapat

ditiadakan. Menurutnya, semangat ke-Indonesiaan sudah terdapat di dalam jaman

pra-Indonesia maupun jaman Indonesia, tetapi yang belum ada adalah natie-nya87

Indonesia. selanjutnya, Ia menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia tidak perlu

dirubah, melainkan diperbaharui, agar sesuai dengan semangat jamannya. Sanusi

85
Ibid.
86
Pane, Sanusi, “Persatuan Indonesia”. Soeara Oemoem, No. 276, 4
september 1935, dan Achdiat Karta Mihardja, Ibid., Hlm. 22.
87
Istilah yang digunakan oleh Sanusi Pane.
68
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Pane pun menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak perlu belajar pada bangsa Barat.

Menurutnya, di benua Barat, orang terpaksa menaklukkan alam, sehingga melahirkan

intelektualisme, individualisme, dan materialisme. Sedangkan di Timur, menurut

Sanusi Pane, orang tidak perlu menaklukkan alam, sebab alamnya berbeda dari Barat,

sehingga intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak diperlukan. Ia

kemudian menyatakan bahwa yang harus dicari pada saat itu adalah garis yang dapat

ditempuh oleh semua bangsa di dunia, baik bangsa Barat maupun bangsa Timur.

Sanusi Pane kemudian mengusulkan tentang garis tersebut, yakni sebagai berikut:

“Barat, seperti sudah kita lihat, mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan
jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan alam. Ia bersifat Faust, ahli
pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.
Timur, mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya
dipakainya mencari jalan mempersatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna
yang bertapa di Indrakila. Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dan
Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualism dengan
spiritualisme dan kolektifisme”.88

Dari pernyataan Sanusi Pane tersebut, dapat diketahui bahwa Ia menghendaki

bangsa Barat dan bangsa Indonesia berjalan beriringan atau berdampingan, menuju ke

arah kehidupan yang lebih baik. Dalam tulisannya, Ia juga menegaskan bahwa untuk

memperbaharui kebudayaan Indonesia diperlukan pengetahuan tentang kebudayaan

Barat dan kebudayaan Indonesia pada masa lampau. Dengan demikian, menurutnya,

keinginan agar bangsa Indonesia di kemudian hari menjadi bangsa yang mampu

bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia dapat terrealisasikan atau terwujud.

Dalam tulisannya yang lain, dengan judul “Mengembalikan Kebudayaan Timur”,

88
Achdiat Karta Mihardja, Ibid., Hlm. 26.
69
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Sanusi Pane menyerukan agar bangsa Indonesia kembali kepada kebudayaan Timur.

Menurutnya, Ke-Indonesiaan dan Ke-Timuran harus memancar lagi di dalam

masyarakat dan kesenian bangsa Indonesia.89

Tanggapan yang diberikan oleh Sanusi Pane kemudian dijawab oleh Sutan

Takdir Alisjahbana melalui tulisannya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan

Kebudayaan Baru”. Dalam tulisannya itu, Takdir menyatakan bahwa jaman pra-

Indonesia dan jaman Indonesia tetap tidak dapat dipersatukan, sebab di antara kedua

jaman tersebut terdapat perbadaan yang sangat besar dalam hal semangat ke-

Indonesiaan. Berikut ini pernyataan Takdir mengenai semangat ke-Indonesiaan:

“Apakah semangat Indonesia itu? Semangat Indonesia ialah kemauan yang


timbul pada abad kedua puluh ini di kalangan rakyat yang berjuta-juta ini
untuk bersatu dan dengan jalan demikian hendak berusaha bersama-sama
menduduki tempat yang layak di sisi bangsa-bangsa lain. Kemauan dan cita-
cita yang dijunjung dengan insyaf dan sadar serupa ini tidak pernah terdapat
di lingkungan kepulauan ini selama abad kedua puluh”.90

Menurut Takdir, ke-Indonesiaan yang terdapat pada jaman pra-Indonesia ialah

ke-Indonesiaan yang belum insyaf. Ke-Indonesiaan seperti itu menurutnya terdapat

juga di Filipina, Malaka, dan daerah lainnya di luar Indonesia. sementara mengenai

persoalan bangsa Barat dan bangsa Timur, menurutnya kedua bangsa tersebut sama-

sama mementingkan jasmani dan rohani, akan tetapi bangsa Timur kalah

dibandingkan bangsa Barat dalam seoal jasmaninya.

89
Lihat Sulung Siti Hanum dan Prima Hariyanto, Susastra 7, Jurnal Ilmu
Sastra dan Budaya, (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia), Hlm. 167.
90
Achdiat Karta Mihardja, Op.Cit., Hlm. 27 – 28.
70
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Sanusi Pane kemudian menuliskan sebuah catatan untuk menanggapi tulisan

Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam catatannya, Sanusi Pane menegaskan bahwa Ia

tidak akan merubah pendapatnya mengenai persoalan kebudayaan Barat dan

kebudayaan Timur. Berikut ini pernyataan Sanusi Pane:

“Dari hal soal Timur dan Barat itu saya tidak melihat sebab mengubah
pendapatan saya. Supaya jangan salah tampa saya terangkan lagi, bahwa saya
sama sekali bukan menyebut, bahwa Timur lebih tinggi daripada Barat atau
sebaliknya. Kedua-duanya sama belum hidup dengan cara yang sebaiknya
menurut pikiran saya”.91

Dari catatan Sanusi Pane tersebut, dapat diketahui bahwa Ia menganggap cara

hidup bangsa Barat dan bangsa Indonesia belum sempurna. Oleh sebab itu, Ia

kemudian memberikan sebuah cara agar bangsa Barat dan bangsa Indonesia (Timur)

dapat mencapai kehidupan yang lebih baik adalah dengan mengharmoniskan atau

menyatukan kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur.

Perdebatan yang terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane

mengundang perhartian Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Dalam tulisannya

yang berjdudul “Sambungan Jaman”, Poerbatjaraka menyatakan bahwa Sanusi Pane

dan Sutan Takdir Alisjahbana tidak konsisten dalam pernyataannya. Poerbatjaraka

menganggap kedua intelektual itu terkadang mengiyakan dan terkadang membantah

mengenai perhubungan antara jaman pra-Indonesia dan jaman Indonesia. Sedangkan

Poerbatjaraka berpendapat bahwa kedua jaman tersebut tidak dapat dipisahkan.

91
Ibid., Hlm. 28.
71
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Poerbatjaraka kemudian menyatakan pendapatnya mengenai persoalan kebudayaan

Barat dan kebudayaan Timur, yakni sebagai berikut:

“Dengan pendek kata: janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi jangan


mabuk kebaratan juga; ketahuilah kedua-duanya, pilihlah mana yang baik dari
kebudayaan itu, supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari
yang akan datang kelak. Inilah taak seberat-beratnya buat penganjur yang
suka memperhatikan nasib bangsa kita, bangsa Indonesia kelak”.92

Poerbatjaraka adalah seorang budayawan, dengan demikian, Ia mengetahui

akibat yang akan terjadi apabila terdapat suatu pemujaan yang terlalu tinggi terhadap

kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Oleh sebab itu, menurutnya, perlu

dilakukan suatu pemilahan yang mendalam sebelum mempelajari kedua bentuk

kebuayaan tersebut.

Sutan Takdir Alisjahbana kemudian menuliskan sebuah catatan untuk

menjawab tanggapan dari Poerbatjaraka atas tulisannya. Dalam catatannya itu, Takdir

membatah pernyataan yang disebutkan oleh Poerbatjaraka. Berikut pernyataan

Takdir:

“Saya tidak pernah berkata bangsa kita harus selalu mengejar Barat dari
belakang. Bukan sekali-kali pekerjaan kita, membeo pada Barat. Kita hanya
mesti selekas-lekasnya memperoleh sifat dynamisch Barat yang melahirkan
kebudayaan Barat yang dynamisch. Bangsa kita hanya mungkin mempunyai
harapan untuk masa yang akan datang, apabila segala yang dicapai Barat itu
dalam berabad-abad, dapat kita jadikan kepunyaan kita dalam waktu yang
sependek-pendeknya. Sesudah itu pastilah kita akan mencari jalan sendiri,
bersama-sama atau tidak dengan bangsa lain di muka bumi ini”.93

92
Ibid., Hlm. 28.
93
Ibid.
72
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Sutan Takdir Alisjahbana menginginkan agar bangsa Indonesia dapat

mengambil atau meyerap segala bentuk sifat dinamis bangsa Barat agar dapat

bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. selain itu, Ia juga menegaskan bahwa

pekerjaan generasi muda bangsa Indonesia adalah melihat ke depan, mengejar cita-

cita yang diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan melihat ke masa lalu, masa

yang lampu atau masa yang telah ditinggalkan. Ia juga menyatakan supaya generasi

muda bangsa Indonesia harus terbebas dari ikatan kebudayaan lama dan mengetahui

sebanyak mungkin kebudayaan-kebudayaan lain yang ada di dunia. Catatan dari

Sutan Takdir Alisjahbana sekaligus menjadi penutup perdebatan tahap pertama.

Perdebatan tahap pertama yang terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana,

Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka merupakan perdebatan mengenai haluan yang akan

ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk melangkah ke masa depan, agar dapat menjadi

sebuah bangsa yang mampu berdiri di sisi dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di

dunia. Oleh sebab itu, pemikiran dari masing-masing intelektual yang terlibat pada

saat itu merupakan suatu pilihan jalan yang dapat diambil oleh bangsa Indonesia,

apakah bangsa Indonesia akan meniru kebudayaan Barat atau mempertahankan dan

mengembangkan kebudayaan Timur.

C.2. Perdebatan Kebudayaan Tahap Kedua

Pada bulan oktober 1935, tidak lama setelah menutup perdebatan kebudayaan

tahap pertama, tulisan Sutan Takdir Alisjahbana berjudul “Semboyang Yang Tegas”

dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe. Tulisan Takdir ini meruapakan tanggapan
73
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

dan penilaiannya atas pernyelenggaraan Kongres Permusyawaratan Perguruan

Indonesia. Dalam tulisannya itu, Takdir menyetakan bahwa kongres perguruan yang

berlangsung pada tanggal 8,9, dan 10 Juni di Kota Solo tersebut, cukup berhasil untuk

mendirikan sebuah badan perguruan. Akan tetapi, menurutnya, dalam kongres

tersebut sebagian pembicaranya terlalu bersikap berhati-hati dalam menentukan

langkah pendidikan bagi bangsa Indonesia. Berikut ini pernyataan dari Takdir:

“Kehati-hatian yang saya maksud berhubung dengan ini ialah tendens anti-
intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme yang
terdapat dalam pidato sebagian dari pembicara itu, pada yang seorang tentulah
lebih dari yang lain. Tuan Drs. Sigit menunjukkan bahaya anggapan, bahwa
pengetahuan ialah kekuasaan, bahaya anarchisme yang dilahirkan pikiran
liberal, bahaya pendidikan yang individualistisch, bahaya terlampau
mengemukakan haknya individu”.94

Menurut Takdir, beberapa hal penting yang ditakutkan oleh sebagian

pembicara dalam kongres tersebutlah yang seharusnya diserap dan diambil oleh

bangsa Indonesia. Berikut ini pernyataan Takdir:

“Indonesia sekarang perlu akan putra yang tajam pikirannya, individu yang
mempunyai pikiran, pemandangan dan perasaan sendiri, yang tahu
mengemukakan dan mempertahankan kepentingan haknya, yang senantiasa
berdaya upaya memperbaiki kehidupan dan penghidupnya lahir batin. Untuk
mencapai sekaliannya itu maka suara negatief yang terdengar pada Kongres
Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo itu.
Anti-intelektualisme
Anti-individualisme
Anti-egoisme
Anti-materialisme
Harus ditukar dengan semboyan positief yang gembira berapi-api:
Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat!
Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya!
Keinsyafan akan kepentingan diri harus disedarkan sesedar-sedarnya!

94
Ibid., Hlm. 38.
74
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak-


banyak munbgkin!
Ke segala jurusan bangsa Indonesia harus berkembang!”.95

Tanggapan yang diberikan Takdir terhadap penyelenggaraan Kongres

Perguruan Indonesia di Kota Solo, kemudian dijawab oleh dr. Soetomo, salah satu

pemicara dalam kongres tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul “Nationaal –

Onderwijs – Congres, Menyambut Pemandangan Tuan S. T. A”, dr. Soetomo

menyatakan bahwa tujuan diadakannya kongres tersebut adalah untuk merancang

strategi perguruan yang tepat untuk bangsa Indonesia.

Dalam tulisannya tersebut, dr. Soetomo juga menegaskan bahwa perkataan

tendens negatif yang disebutkan oleh Takdir terhadap sebagian pembicara dalam

kongres perguruan di Solo, tidak memiliki alasan yang masuk akal. Menurut dr.

Soetomo, semua pembicara dalam kongres perguruan itu mengerti dan mengakui

kehebatan cara pendidikan Barat. Berikut ini jawaban dr. Soetomo atas pernyataan

Takdir mengenai tendens anti-Barat terhadap sebagian pembicara dalam Kongres

Perguruan Indonesia di Solo:

“Saya kira tidak lain karena mereka prae-adviseur menunjukkan buahnya


intelectualisme itu, kalau dengan cerdasnya akal itu lain-lain alat kemanusiaan
tidak bersama dikembangkannya. Kalau kecerdasan lain-lain alat
kemanusiaan itu jauh di belakang daripada kecerdasan intelectualisme tadi.
Kesalahan itu kiranya bagi kita yang baru berkembang sebagai bangsa,
janganlah mengenai diri kita. Janganlah terjadi yang kita juga akan menderita
juga beberapa kesedihan dan kesakitan masyarakat, seperti di Benua Eropa,
yang waktu ini sedang sibuk mencari jalan baru, guna menlenyapkan
pengaruh intelectualisme, yang sungguh destructief wujud dan akibatnya. Di
dalam kecerdasan internasional kita adalah terbelakang sekali. Hal ini dapat
95
Ibid., Hlm. 42.
75
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menguntungkan kembangan kita juga, asal saja keawasan dan kebijaksanaan


menjadi sifat kita. Bukankah di dalam evolutie kita, dapat meloncati beberapa
ontwikkelings-phasen, tingkat kecerdasan itu, yang di Barat harus diwujudkan
dengan pahit dan getirnya? Andainya kita sebagai bangsa sudah kuasa
membikin atau membeli kapal udara umpamanya, tentu kapal yang modern
sama sekali akan menjadi kepunyaan kita, sedang ballast kesusahan dan
kecelakaan dengan kapal udara yang kuno, tidak menjadi pengalaman dan
risico kita”.96

Dalam tulisannya, dr. Soetomo juga menyatakan bahwa bahwa pendidikan

harus disusun dan dirancang dengan teliti, agar tidak terjadi berbagai kesalahan seprti

pendidikan cara Bangsa Barat. Oleh sebab itu, maka dr. Soetomo tidak menginginkan

mempelajari secara menyeluruh tentang pendidikan cara Bangsa Barat, melainkan

dipertimbangkan terlebih dahulu mengenai kebaikan dan keburukannya. Selanjutnya

dr. Soetomo menyatakan bahwa contoh perguruan yang tepat untuk mendidik bangsa

Indonesia adalah Perguruan Taman Siswa. Berikut ini pernyataan dr. Soetomo

tentang tujuan penyelenggaraan Kongres Perguruan Indonesia dan contoh perguruan

yang tepat untuk mendidik bangsa Indonesia:

“Maksud prae-adviseurs di dalam advies-nya, tidak lain hanya berseru kepada


bangsa kita: Marilah Saudara kita menyusun perguruan Nasional, yang lebih
sempurna sifatnya daripada perguruan di Benua Barat, daripada yang
berlaku di negeri kita ini, yang oleh ahli-ahli pendidik Bangsa Eropa pun
diakui, kekurangan dan kesalahannya. Guna memenuhi kekurangan itu
Taman Siswa di antara lain menunjukkan salah satu sifat perguruan itu, yang
berarti penambahan perguruan, yaitu kecakapan muridnya menunjukkan
perasaan yang elok, yang berwujud berupa menari atau menyanyi yang merdu
yang mendekatkan perasaan kita kepada bangsa, sehingga timbullah dengan
sendirinya kecintaan pada Tanah Air dan Bangsa itu, hiduplah kemauan akan
bekerja dengan gembira, rela, suci dan tulus hati untuk kemegahan Nusa dan
Bangsa itu”.97

96
Ibid., Hlm. 44 – 45.
97
Ibid., Hlm. 45.
76
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

dr. Soetomo selanjutnya mengakui pernyataan tendens anti-materialisme yang

dituduhkan oleh Takdir kepada sebagian pembicara dalam Kongres Perguruan

Indonesia di Solo. Menurutnya, bangsa Indonesia harus dididik oleh para kiyai yang

hidupnya sederhana dan para guru kaya batinnya, berjiwa baik dan memiliki jiwa

yang indah. Selain itu, dr. Soetomo juga menyerukan agar anak-anak Bangsa

Indonesia dididik dengan cara didikan pesantren. Menurutnya, lingkungan pesantren

mencerminkan suatu kondisi persatuan yang dibangun tanpa membedakan latar

belakang dari masing-masing muridnya. Berikut ini pernyataan dr. Soetomo:

“Perguruan Nasional kita harus mempunyai guru-guru yang sedemikian


sifatnya, perguruan kita harus menyiapkan pemuda-pemuda yang suka akan
menyediakan dirinya bagi Zendingsarbeid itu, guna menuntun dan menerangi
masyarakat kita. Kalau kita tidak sanggup akan menyediakan obor kemajuan
dan keadaan seperti itu, janganlah mengharap akan datangnya Indonesia
Merdeka yang mulai. Jangan mengharap akan Indonesia Merdeka – sekarang
juga”.98

Tanggapan dari dr. Soetomo selanjutnya dijawab kembali oleh Takdir melalui

tulisan yang berjudul “Sekali lagi Semboyan yang Tegas”. Dalam tulisan itu, Takdir

sekali lagi menyatakan bahwa Bangsa Indonesia harus berlajar pada Bangsa Barat.

Berikut ini pernyataannya:

“Masyarakat kita sekarang kurang intellect. Asahlah intellect setajam-


tajamnya mungkin”…..
“Masyarakat kita kekurangan individu yang hidup. Hidupkanlah individu
sehidup-hidupnya mungkin”…..
“Dalam masyarakat kita orang kurang kuat dan kurang berani mengemukakan
kepentingan dirinya. Bangunkanlah keinsyafan akan kepentingan diri”…..

98
Ibid., Hlm. 51.
77
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

“Dalam masyarakat kita orang kurang giat mengumpulkan dan memakai harta
dunia. Didiklah bangsa kita mengumpulkan dan memakai harta dunia yang
teruntuk bagi segala umat”.99

Dalam tulisannya tersebut, Takdir juga menyatakan bahwa Bangsa Barat

dapat menjadi dinamis karena telah menguasai dan memiliki intelektualisme,

individualisme, dan materialisme. Menurutnya, jika yang diinginkan oleh Bangsa

Indonesia adalah menjadi bangsa yang dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan

bangsa-bangsa lain di dunia, maka harus belajar kepada Bangsa Barat.

Perdebatan yang terjadi antara Takdir dan dr. Soetomo pada saat itu

mengundang perhatian Tjindarboemi. Ia pun menanggapi perdebatan tersebut dengan

tulisannya yang berjudul “Mencari Verhouding”. Dalam tulisannya itu, Tjindarboemi

mengatakan bahwa Takdir selalu mengkritik soal kebudayaan Timur dan tidak

menunjukkan jalan yang harus ditempuh, atau pun bagaimana seharusnya Bangsa

Indonesia dididik. Ia pun menyatakan bahwa tidak seharusnya Bangsa Indonesia

dididik menjadi tiruan Bangsa Barat, sebab tidak mungkin mendidik anak-anak

Indonesia menjadi een tweede De Ruyter, een tweede Coen, dan een tweede Van

Heutz.100

Tulisan dari Tjindarboemi kemudian ditanggapi oleh Takdir. Dalam

tulisannya yang berjudul “Didikan Barat dan Didikan Pesantren, Menuju ke

Masyarakat yang Dynamisch”, Takdir menyatakan bahwa didikan cara pesantren

99
Ibid., Hlm. 53.
100
Ibid., Hlm. 58.
78
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

tidak akan dapat menghidupkan intelektualitas murid-muridnya, sebab ada seorang

kiyai yang memikirkan jalan hidup yang harus ditempuh mereka. Hal ini sangat

berbeda dari didikan cara Bangsa Barat yang Ia kagumi. Menurut Takdir, didikan

cara Bangsa Barat dapat dan mampu menciptakan intelektualisme, individualisme,

dan materialisme. Berikut ini pernyataan Takdir mengenai didikan cara Bangsa Barat:

“Ahli-ahli Barat mengatakan, bahwa golongan bangsa kita yang mendapat


didikan Barat ontworteld, terlepas dari masyarakat sendiri. Bagi saya ucapan
itu bukan hinaan, tetapi pujian. Sebab hanya mereka yang dapat melepaskan
dirinya dari yang lama, akan mungkin dengan keyakinan yang sepenuh-
penuhnya membangunkan yang baru. Dan sesungguhnya bukan kebetulan,
bukan toevallig pemimpin-pemimpin Bangsa Indonesia yang terbesar dalam
waktu yang akhir ini semuanya product didikan cara Barat yang diejekkan
memecah belah masyarakat. Sebabnya didikan cara Barat mengajar mengajar
mereka berpikir sendiri, mengajar mereka mengeritik dan menyangkal kiyai
dan memberanikan mereka melemparkan segala adat dan taditie yang
mengikat kaki dan tangan bangsa kita untuk berlomba-lomba dengan bangsa
yang lain”.101

Menurut Takdir, hasil didikan cara Bangsa Barat dan cara Pesantren sangat

berbeda. Didikan cara Bangsa Barat menghasilkan para pemimpin yang memiliki

pemikiran luas dan terbuka. Sedangkan didikan cara Pesantren akan menghasilkan

para pemimpin yang patuh kepada kiyai. Dengan demikian, didikan cara Pesantren

tidak akan dapat menciptakan para pemimpin yang bebas berpikir sendiri, tegas

Takdir. Ia kemudian mengkritik pernyataan dari dr. Soetomo. Berikut ini

pernyataannya:

“dr. Soetomo mengatakan, bahwa orang-orang seperti dr. Satiman, Cipto,


Hatta dan lain-lain itu uitzonderingen, kecualian. Tetapi saya berkata, apabila
didikan cara pesantren itu dahulu rata-rata procentsgewijs sebanyak didikan

101
Ibid., Hlm. 65.
79
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Barat dalam 30 tahun ini menghasilkan pemimpin, maka pasti keadaan


Bangsa Indonesian tidak serupa sekarang ini”.102

Dari pernyataan tersebut, Takdir meyakini bahwa didikan cara Bangsa Barat

yang telah melahirkan pemimpin-pemimpin Bangsa Indonesia pada saat itu. Hal ini

berbeda dari keyakinan dr. Soetomo yang menyatakan bahwa didikan cara Pesantren

akan lebih baik, sebab didikannya akan menghasilkan persatuan yang teguh di

kalangan masyarakat Indonesia. Menurut dr. Soetomo, pesantren mendidik murid-

muridnya (santri-santri) dengan cara mempersatukannya di rumah pesantren, tanpa

membedakan latar belakang murid-muridnya, baik sosial maupun ekonomi. Takdir

selanjutnya menyatakan bahwa:

“Dalam usaha untuk menjajarkan bangsa kita di sisi bangsa-bangsa yang lain
di muka bumi sekarang ini. Pada pikiran saya janganlah kita terlampau
banyak mengambil teladan pada waktu jatuhnya bangsa kita. Mengambil
teladan contoh pada waktu negeri kita jatuh dan tidak berarti, itu pun
perbuatan yang negatief. Kita harus mengambil contoh dan teladan bagaimana
Eropa, Amerika, dan Jepang mencapai derajat yang terkemuka sekarang ini.
Pendirian yang demikian ialah pendirian positief. Ia linea recta menuju
tempat yang dituju. Janganlah kita melihat ke belakang, tetapi hendaklah kita
menuju ke depan”.103

Tulisan dari Takdir kemudian ditanggapi oleh dr. Soetomo. Dalam tulisannya

yang berjudul “Perbedaan Levenvisie”, dr. Soetomo menegaskan bahwa sikapnya

tidak berubah. Ia tetap meyakini bahwa didikan cara Pesantren akan lebih baik

daripada didikan cara Bangsa Barat. Menurutnya, didikan cara Pesantren akan

melahirkan pemimpin-pemimpin Indonesia yang berjiwa bersih dan berbudi luhur. dr.

102
Ibid.
103
Ibid.
80
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Soetomo kemudian menegaskan kepada Takdir, tentang pentingnya melihat ke

belakang atau ke masa lalu. Berikut ini pernyataannya:

“Di dalam kemajuan apa pun juga, di dalam apa pun juga kemajuan baru
tercapai, dapat berjalan terus, dapat meninjau ke depan dengan selamat dan
bahagia, kalau lebih dahulu menengok ke belakang”.104

Selain menyatakan tentang pentingnya melihat ke belakang atau ke masa lalu

tersebut, dalam tulisannya, dr. Soetomo juga menyatakan bahwa pedebatannya dan

Sutan Takdir Alisjahbana tidak akan berlanjut lagi. Hal ini disebabkan adanya

perbedaan pandangan atau levenvisie antara Ia dan Takdir, tegas dr. Soetomo.

Takdir kemudian menjawab tanggapan dr. Soetomo melalui sebuah tulisan

berjudul “Kata Penutup, Kepada Tuan dr. Soetomo”. Dalam tulisannya ini, Tadkir

pertama-tama menyayangkan berakhirnya pertukaran pendapat yang telah Ia lakukan

dengan dr. Soetomo. Ia kemudian menyatakan kesalahan yang telah dilakukan oleh

dr. Soetomo selama berdebat. Menurutnya, dr. Soetomo telah mengambil pemikiran

pembicara lain dalam Kongres Perguruan Indonesia di Solo menjadi pemikirannya.

Selanjutnya Takdir menyatakan bahwa keyakinannya tetap pada didikan cara Bangsa

Barat, agar Bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang maju dan dapat bersaing

dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Perdebatan yang terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana dan dr. Soetomo,

selain mengundang perhatian Tjindarboemi, juga mengundang perhatian Adinegoro.

Ia kemudian memberikan tanggapan atas perdebatan tersebut melalui tulisannya yang

berjudul “Kritik Atas Kritik”. Dalam tulisannya itu, Adinegoro menyatakan bahwa
104
Ibid., Hlm. 74.
81
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

yang perlu diperhatikan dalam perdebatan antara Takdir dan dr. Soetomo adalah arti

kata cutuur dan civillitatie. Menurutnya, cultuur suatu bangsa tidak dapat

dipindahkan, hanya civillitatie yang dapat dipindahkan. Adinegoro mencontohkan hal

tersebut pada Bangsa Jepang. Menurutnya, Bangsa Jepang telah mengambil

civillitatie Bangsa Barat, sehingga bangsa ini dapat maju seperti Bangsa Barat dan

cultuur-nya tetap Timur. Berikut ini pernyataan Adinegoro mengenai kata cultuur:

“Kultur ialah rapi melekat kepada jiwa bangsa-bangsa dan jiwa bangsa itu
terbukti dalam karakternya, dalam tabiat dan itu tidak dapat diubah-ubah turut
barang tiruan, akan tetapi pengetahuannya, tehkniknya, cara penghidupannya
sudah jelas sekali kelihatan bisa dirubah-rubah, perhatikan sajalah hal keadaan
bangsa kita sekarang yang sudah bisa pula makan dengan sendok, sudah bisa
naik motor, kemudikan motor sendiri, pakai pakaian yang mentereng dan bisa
jalankan perusahaan-perusahaan yang besar-besar, akan tetapi kita tetap
tinggal dalam lingkungan perasaan Timur juga. Intelek Barat, keperluan
secara Barat, hati Timur”.105

Adinegoro selanjutnya menyatakan bahwa yang perlu dilakukan oleh Bangsa

Indonesia adalah merubah civillitatie, bukan cultuur-nya. Hal inilah yang diyakini

oleh Adinegoro untuk merealisasikan cita-cita Bangsa Indonesia seperti yang

diungkapkan oleh Takdir.

Kritikan yang diberikan oleh Adinegoro selajutnya dijawab oleh Takdir.

Melalui tulisannya yang berjudul “Synthese Antara Barat dan Timur, Menjawab

Tuan Adinegoro, Jiwa Dibelakang Techniek Barat, Jiwa Indonesia dan Jiwa Jepang,

Semboyan Lepas dari India”, Takdir menyatakan kepada Adinegoro bahwa setiap

bangsa memiliki masalahnya masing-masing. Berikut ini pernyataannya:

105
Ibid., Hlm. 85.
82
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

“Supaya terang, baik kita kiaskan ini kepada populair. Bangsa Indonesia
sekarang harus memasak nasi. Seoal yang pertama ialah menghidupkan api.
Bagi Bangsa Barat nasi sudah masak, api sudah bernyala-nyala. Soal bagi
Barat ialah bagaimana menjaga, seupaya nasi jangan hangus. Sebaliknya
daripada membesarkan api, soal Barat ialah bagaimana mengurangkan api.
Kalau Bangsa Indonesia sekarang memecahkan otaknya memikirkan
bagaimana mengurangkan api (baca intelektualisme, individualisme, egoisme,
materialisme), maka saya takut nasi Indonesia tiada akan masak-masaknya,
sebab apinya tidak hidup”.106

Pernyataan Takdir tersebut, selain ditujukan kepada Adinegoro, juga

ditujukan kepada pembicara-pembicara dalam Kongres Perguruan Indonesian di Solo,

yang Ia anggap terlalu bersikap anti terhadap didikan cara Bangsa barat. Takdir

selanjutnya menjelaskan tentang ilmu pengetahuan dan tehknik Barat. Berikut ini

pejelasannya:

“Ilmu pengetahuan dan techniek itu sesuatu yang tidak dapat diceraikan dari
jiwa, dari pendirian hidup, dari levenshouding Barat. Barat melepaskan
dirinya dari alam dan dirinya yang terlepas dari alam ini hendak menguasai
alam, hendak memakai alam bagi dirinya. Pendirian yang serupa ini berasal
dari Bangsa Semiet (agama Yahudi, Nasrani, dan Islam). Sebaliknya filsafat
India hendak menyatukan diri, hendak meleburkan diri dalam alam. Orang
yang hendak bersatu, mencari harmonie dengan alam, tidak berdaya upaya
hendak menguasai alam. Selama pendirian hendak menguasai alam belum
menjadi darah daging bangsa kita, selama itu ilmu pengetahuan dan techniek
itu tiada akan subur hidupnya di negeri kita ini”.107

Takdir selanjutnya menyatakan bahwa Bangsa Indonesia harus melepaskan

diri dari filsafat India. Berikut ini pernyataannya:

“Hanya satu jalan yang terbuka bagi bangsa kita untuk maju ke depan, yaitu:
lepas dari bedwelming filsafat India yang menimbulkan jiwa yang nerimo.
Bukan harmonie dengan alam, bukan melebur aku dalam jiwa alam harus

106
Ibid., Hlm. 89.
107
Ibid., Hlm. 91.
83
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menjadi tujuan. Bangsa kita harus mengambil levenshouding baru: menguasai


alam, berjuang dengan alam. Tujuan itu dapat dikejar dengan menghidupkan
Islam yang nutcher atau dengan mengambil levenshouding Barat yang pada
hakikatnya bersaudara dengan levenshouding Islam (Semiet).108

Perdebatan yang berlangsung antaraTakdir, dr. Soetomo, Tjindarboemi, dan

Adinegoro, ditanggapi oleh dr. Mohammad Amir. Dalam tulisannya yang berjudul

“Pertukaran dan Pertikaian Pikiran, Antara Tn-Tn S. T. Alisjahbana, Adinegoro, dan

dr. Soetomo Tentang Soal Peradaban dan Kemajuan Bangsa Kita Zaman Depan”, dr.

Mohammad Amir menyatakan bahwa Takdie belum jelas dalam mengemukakan

pendapatnya mengenai jalan mana yang harus ditempuh untuk mendidik anak-anak

Bangsa Indonesia. Selain itu, dr. Mohammad Amir juga menyatakan tentang jalannya

peradaban sebuah bangsa yang selalu menuju kepada dua arah, yakni: Nasional dan

Internasional. Berikut ini pernyataannya:

“Bagi mereka yang takut akan momok kebaratan itu sebab boleh jadi
memusnahkan kenasionalan, boleh saya beri pujukkan bahwa perjalanan
peradaban di kebanyakan negeri di dunia sekarang ialah ke dua jurusan, sekali
jalan: ke haluan nasional dan ke haluan internasional. Selama cita-cita
nasional hidup di dunia Timur, perjalanan ke Barat itu tidak akan
berbahaya”.109

Perdebatan tahap kedua ini ditutup oleh tulisan dari Ki Hadjar Dewantara

yang berjudul “Pembaharuan Adab, Opgedragen Kepada Tuan-Tuan S. T. A, dr.

Soetomo, dan Sns. Pane”. Dalam tulisannya itu, Ki Hadjar Dewantara menyatakan

108
Ibid., Hlm. 96.
109
Ibid., Hlm. 114.
84
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh alam di mana Ia tinggal atau

hidup di dalamnya. Berikut ini pernyataannya:

“Buah perlawanan kita terhadap pergantian adat itu amat bergantung pada
beberapa keadaan, yang boleh diringkas menjadi dua, yaitu Zamandan Alam
atau dengan perkataan yang sering dipakai Tijd en Ruimte. Di dalam
pemandangan ini haruslah kita peringati, bahwa kemauan kemauan kita
manusia itu tidak lain ialah sebagian dari alam. Boleh dibilang beberapa alat
atau mesin kecil daripada mesin alam yang maha besar. Kita bergerak itu
sungguhpun merasa kemauan kita sendiri, akan tetapi dalam hakekatnya gerak
kita bahkan kemauan kita yang subjectief itu, tidak lain ialah sebagian dari
lakunya alam, yang seluruhnya dan bagian-bagiannya berlaku menurut wet-
alam, yang dinamakan wet van oorzak en gevolg, juga bernama Wet-
Karma”.110

Ki Hadjar Dewantara juga menyatakan dalam tulisannya bahwa perdebatan

yang telah berlangsung antara ketiga intelektual yang disebutkan dalam judul

tulisannya tersebut, bukanlah sebuah perdebatan yang tidak sehat. Perdebatan itu

berlangsung dengan kejujuran dan kesucian, tegasnya.111 Dengan demikian, maka

dapat diketahui bahwa perdebatan yang berlangsung pada saat itu tidak mendapakan

tekanan dari luar dan dilakukan demi kemajuan Bangsa Indonesia.

C.3. Perdebatan Tahap Ketiga

Pada tahun 1939, sebuah tulisan Sutan Takdir Alisjahbana berjudul

“Pekerjaan Pembangunan Bangsa Sebagai Pekerjaan Pendidikan” dimuat dalam

Majalah Poedjangga Baroe dan memicu tanggapan dari dr. Mohammad Amir. Dalam

110
Ibid., Hlm. 116.
111
Ibid., Hlm. 117.
85
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

tulisannya itu, Takdir menyatakan bahwa pendidikan merupakan jalan yang tepat

untuk mengantarkan Bangsa Indonesia ke arah kemajuan. Selain itu, Ia juga

menyatakan tentang kekurangan-kekurangan yang ada pada Bangsa Indonesia.

Berikut ini pernyataannya:

“Kekurangan kecakapan bangsa kita dalam ilmu techniek dan berperang,


maka bangsa kita dapat ditaklukkan oleh Bangsa Barat, kekurangan
kesanggupan dan keuletan bangsa kita tentang ekonomi, maka kita dapat
dikalahkan oleh Bangsa Eropa dan Bangsa Tionghoa di lapangan ekonomi,
kekurangan nafsu untuk menyelidiki dan mengetahui, maka bangsa kita
bangsa kita tercecer dalam ilmu pengetahuan”.112

Takdir meyakini bahwa Bangsa Indonesia pada saat sangat memerlukan

pendidikan, terutama dengan mempelajari kebudayaan Barat, agar Bangsa Indonesia

dapt maju seperti Bangsa Barat. Dengan mengutip Rene Fulop-Muller, seorang

sejarawan Belanda, Takdir kemudian memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Dan dalam sinar cita-cita, harapan, mimpi serupa ini maka perkataan
Indonesia mendapat arti yang nyata dan berharga. Indonesia ialah nama
manusia baru, yang dalam keinsyafannya akan kedudukkannya sebagai
makhluk yang terpilih oleh Tuhan, berhak dan wajib menguasai, memakai dan
mengatur alam sekelilingnya dan yang oleh karena kecakapannya berpikir
yang menjadi kelemahannya atas makhluk yang lain dapat menceraikan
dirinya menjadi subject dan object dan dengan jalan demikian senantiasa
dapat menimbang menyelidiki dan mempermulia dirinya dan perbuatannya,
dan oleh karena itu mungkin terjadi kepadanya kemajuan yang tiada habis-
habisnya. Indonesia ialah nama kebudayaan baru yang dilahirkan oleh
manusia baru itu, padu dan bersatu melingkungi seluruh lapangan kehidupan
dan penghidupan manusia dan yang dalam garis-garisnya yang besar
bersamaan dengan kebudayaan internasional sekarang. Indonesia adalah nama
negeri tempat manusia Indonesia dan kebudayaan Indonesia, sebagai suatu
etappe ke arah persekutuan dunia yang menjadi cita-cita segala orang yang
besar-besar dalam segala jaman”.113

112
Ibid., Hlm. 121.
113
Ibid., Hlm. 130.
86
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dalam tulisannya yang berjudul “ Menyambut Karangan S. Takdir

Alisjahbana”, dr. Mohammad Amir menguraikan beberapa pendapatnya tentang jalan

yang harus dilakukan oleh Bangsa Indonesia agar dapat menjadi bangsa yang maju di

kemudian hari. Berikut ini pernyataannya:

“Saya kunci pendapatan-pendapatan ini tentang cultuur-ontwikelling


dengan beberapa dalil:
1e. Setiap bangsa harus berikhtiar mempertahankan kebudayaan
sendiri yang telah berurat berakar dalam jiwanya.
2e. Ia hanya boleh memakai zat peradaban dunia atau peradaban Barat
yang serasi dengan jiwanya.
3e. Peradaban India telah memperngaruhi kita dan memberikan
beberapa zat pada peradaban dan perpustakaan kita, yang rasanya tidak layak
lagi dikeluarkan dan dilemparkan dari peradaban itu”.114

dr. Mohammad Amir menghargai jasa-jasa yang telah diberikan oleh

peradaban India bagi perkembangan Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Ia

menyayangkan apabila kebudayaan India yang telah tertanam di dalam masyarakat

Indonesia harus disingkirkan atau dibuang. Ia kemudian menyatakan bahwa

sebaiknya Bangsa Indonesia tidak mempelajari kebudayaan Barat secara keseluruhan,

melainkan dilakukan pemilahan terlebih dahulu terhadap zat-zat dari kebudayaan

Barat yang cocok untuk perkembangan Bangsa Indonesia. menurut dr. Mohammad

Amir, dengan demikian Bangsa Indonesia tidak akan mengulangi kesalahan-

kesalahan yang telah dilakukan oleh Bangsa Barat dalam perkembangannya.

Sutan Takdir Alisjahbana kemudian mengakhiri perdebatanya dengan dr.

Mohammad Amir, melalui tulisannya yang berjudul “Jiwa dan Penjelmaan, Isi dan

114
Ibid., Hlm. 134.
87
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Bentuk”. Dalam tulisannya itu, Takdir menyatakan bahwa peradaban Barat dan

peradaban Timur memiliki perbedaan yang sangat besar dalam hal “jiwa bangsa”.

Menurutnya, perbedaan tersebut ditunjukkan dalam ilmu pengetahuan dan teknik.

Takdir selanjutnya menjelaskan mengenai peradaban India, yakni sebagai berikut:

“Malahan hingga abad kedua puluh ini India yang sangat dipuja-puja oleh
sebagian Bangsa Indonesia masih ada 80.000.000 manusia yang ditindas dan
dihinakan sepertinya agak payah dicari bandingannya dalam sejarah
penjajahan Dunia Barat. Lupa pula orang, bahwa tecniek dan ilmu
pengetahuan Barat yang diingini itu tidak dapat sekali-kali diceraikan dengan
filsafat, kesenian, adat-istiadat, pendeknya sikap dan pemandangan hidup
Barat. Dalam semangat Gandhi, Tagore, dan lain-lain tidak akan mungkin
lahir mesin terbang, rumah sakit yang lengkap, bangsa yang rapi teratur,
pertanian yang rationeel. Siapa yang membaca perlawatan dr. Soetomo dari
semula sampai akhir, akan insyaf betapa kecewanya Ia (sebelum Ia pergi ke
Hindustan Ia amat gemar mengutip dari tulisan Vivekananda, Tagore, dan
lain-lain) ketika telah berkenalan dengan India, dimana-mana kekotoran,
keteledoran, sampai-sampai ke dekat kaum terpelajarnya dan pemimpin-
pemimpinnya”.115

D. Memaknai Polemik Kebudayaan Tahun 1935 – 1939

D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayan Timur

Perdebatan kebudayan yang terjadi antara tahun 1935 – 1939 merupakan

perdebatan haluan mana yang harus digunakan oleh Bangsa Indonesia agar dapat

merealisasikan cita-cita ke-Indonesiaan, yakni keinginan dari masyarakat Indonesia

agar bangsanya menjadi bangsa yang dapat berdiri sejajar dan mampu bersaing

dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Oleh Sutan Takdir Alisjahbana,

115
Ibid., Hlm. 145.
88
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

bangsa-bangsa yang telah maju tersebut dicontohkan dengan Bangsa Eropa, Amerika,

dan Jepang.

Intelektual-intelektual yang terlibat dalam perdebatan di tahun 1930-an itu

masing-masing mengemukakan pendapatnya tentang kebudayaan Barat dan

kebudayaan Timur yang pilihan tepat sebagai haluan melangkah bagi Bangsa

Indonesia. Sebagian intelektual, diwakili oleh pemikiran dari Sutan Takdir

Alisjahbana, menginginkan agar Bangsa Indonesia mempelajari kebudayaan Barat.

Menurut kelompok ini, agar dapat menjadi bangsa yang maju, maka Bangsa

Indonesia harus mempelajarinya dari bangsa-bangsa yang telah maju pula susunan

masyarakatnya, yakni Bangsa Eropa, Amerika, atau Jepang. Ketiga bangsa tersebut

dianggap oleh kelompok Takdir sebagai bangsa maju karena masyarakatnya telah

memiliki sifat intelektualisme, individualisme, dan materialisme. Dengan demikian,

maka ketiga bangsa itu dapat menguasai peradaban dunia. Sifat intelektualisme yang

dimiliki oleh Bangsa Barat mampu menciptakan ilmu pengetahuan untuk

mengembangkan kehidupan bangsanya. Dengan sifat individualismenya, Bangsa

Barat berani menunjukkan pada dunia bahwa bangsanya adalah bangsa yang mampu.

Sementara sifat materialism yang dimiliki Bangsa Barat menciptakan masyarakat

yang giat mengumpulkan harta dunia demi kemajuan hidup bangsa.

Selain harus meniru kebudayaan Barat yang telah maju, kelompok yang

diwakili oleh pemikiran Takdir tersebut juga menginginkan agar Bangsa Indonesia

melepaskan diri dari ikatan kebudayaan masa silamnya, sebab Bangsa Indonesia

adalah ciptaan abad ke-20. Dengan demikian, maka Bangsa Indonesia bukan
89
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

sambungan dari masa-masa sebelumnya, bukan sambungan kerajaan Mataram,

Banjarmasin, dan lain sebagainya. Menurut kelompok Takdir, apabila Bangsa

Indonesia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan masa lalunya, maka Bangsa

Indonesia akan tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain di dunia. selain itu, kelompok

ini juga menginginkan agar Bangsa Indonesia menciptakan kebudayaannya sendiri,

kebudayaan dengan cap kebudayaan Indonesia.

Akan tetapi, sebagian kelompok, diwakili oleh pemikiran dari dr. Soetomo,

menginginkan agar Bangsa Indonesia mempertahankan dan memperbaharui

kebudayaan Timur (kebudayaan Indonesia yang sudah ada). Kelompok ini beralasan

agar Bangsa Indonesia tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan

oleh Bangsa Barat. Menurut kelompok dr. Soetomo ini, kebudayaan dan kemajuan

Barat dilahirkan oleh lingkungan alam Benua Barat yang menuntutnya, demikian juga

sebaliknya dengan kebudayaan Timur yang dilahirkan oleh lingkungan alam di

Timur. Artinya, setiap kebudayaan bangsa dilahirkan oleh tempat di mana sebuah

bangsa tersebut berada. Oleh sebab itu, kelompok ini menganggap bahwa kebudayaan

Indonesia adalah kebudayaan Timur, apabila Bangsa Indonesia mempelajari

kebudayaan Barat, maka kebudayaan Indonesia adalah tiruan kebudayaan Barat.

Perdebatan yang terjadi di antara beberapa intelektual Indonesia dalam tahun

1930-an tersebut tidak hanya memunculkan dua kelompok pemikiran yang saling

berbeda pendapat. Dalam perdebatan tersebut juga muncul pemikiran mengenai jalan

atau haluan yang dapat diikuti oleh semua bangsa di dunia, agar menjadi bangsa yang

maju. Pemikiran mengenai jalan yang dapat ditempuh oleh semua bangsa di dunia itu
90
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

diwakili oleh pemikiran dari Sanusi Pane. Dalam tulisannya yang berjudul

“Persatuan Indonesia”, Sanusi Pane menyarankan agar kebudayaan Barat dan

kebudayaan Timur disatukan. Menyatukan Faust, yang mewakili sifat masyarakat

Barat, dan Arjuna, yang mewakili sifat masyarakat Timur (termasuk Indonesia),

menyatukan intelektualisme, individualisme, dan materialisme dengan spiritualisme

dan kolektivisme.116

Pada saat terjadinya perdebatan kebudayaan di tahun 1930-an tersebut,

Bangsa Indonesia saat itu sedang berusaha melakukan usaha mencapai kemerdekaan

dari tangan penjajahan negeri Belanda. Dengan demikian, maka tidak dapat diktahui

kelompok mana yang menjadi pemenang dalam perdebatan itu, apakah kelompok

yang menginginkan mempelajari kebudayaan Barat, kelompok yang menginginkan

mempertahankan kebudayaan Timur, atau pun kelompok yang menginginkan

menyatukan kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur sebagai haluan melangkah

bagi Bangsa Indonesia ke depan. Haluan atau jalan yang telah dipikirkan oleh

intelektual-intelektual yang terlibat perdebatan di tahun 1930-an tersebut akan

mendapatkan sintesanya ketika Bangsa Indonesia telah menjadi sebuah yang

merdeka, sebab bangsa yang merdeka akan menentukan sendiri jalan mana yang

harus ditempuhnya agar dapat menjadi sebuah bangsa yang mampu berdiri di sisi

bangsa-bangsa lainnya di dunia.

116
Lihat bab III, bagian C.1. Perdebatan Tahap I. hlm. 55.
91
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

D.2. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kebangsaan

Kebudayaan merupakan sebuah istilah yang memiliki banyak arti dan makna,

sehingga tidak mengherankan apabila sarjana-sarjana seperti A. L. Kroeber dan C.

Kluckhohn dalam penelitiannya menemukan lebih dari seratus definisi kebudayaan.117

Istilah kebudayaan dapat diartikan sebagai cara manusia menjalankan hidupnya.

Dalam menjalankan hidupnya tersebut, manusia melakukan berbagai macam

tindakan, seperti mencari makanan, mengolah tanah, bermasyarakat, membangun

rumah, dan lain sebagainya, demi mencapai derajat kehidupan yang lebih tinggi atau

lebih baik. Cara-cara yang ditempuh oleh manusia tersebut, pada akhirnya akan

bermuara menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi.

Sebuah bangsa merupakan sebutan untuk kelompok manusia yang hidup

secara bersamaan di dalam suatu daerah tertentu. Kelompok manusia tersebut, dalam

kehidupannya mempunyai kebudayaan sebagai cara menjalankan hidupnya. Oleh

sebab itu, maka kebudayaan dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya

memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam peristiwa Polemik Kebudayaan yang

terjadi di tahun 1930-an tersebut, tercerminkan bahwa kebudayaan merupakan faktor

yang sangat penting bagi jalannya Bangsa Indonesia.

Dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, selain membicarakan mengenai

permasalahan kebudayaan dan kebangsaan, juga menyajikan perdebatan mengenai

masalah pendidikan. Dalam peristiwa tersebut, pendidikan merupakan alat untuk

117
Lihat misalnya Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori
Kebudayaan, (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005), Hlm. 258.
92
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

mempelajari kebudayaan yang akan dijadikan sebagai haluan melangkah ke depan

bagi Bangsa Indonesia. Menurut Daod Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Indonesia tahun 1978 – 1983, pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena

pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup.118

Dalam dunia pendidikan inilah nilai-nilai penting dari suatu kebudayaan akan

ditanamkan dalam masyarakat, agar masyarakat mampu mengembangkan sebuah

bangsa.

Pendidikan bagi Bangsa Indonesia sangat penting, sebab akan berguna untuk

membentuk manusia Indonesia menjadi kelompok masyarakat yang siap

bersosialisasi dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang ada di seluruh

dunia. Oleh sebab itulah pendidikan merupakan jalan utama untuk dapat

merealisasikan “cita-cita ke-Indonesiaan” yang telah muncul sejak dasawarsa pertama

abad ke-20.

Daoed Joesoef, “Aspek-Aspek Kebudayaan Yang Harus Dikuasai Guru”.


118

Majalah Kebudayaan, No. 1. Tahun 1982 – 1982.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB IV
DINAMIKA PERUMUSAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA

A. Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia

Wacana tentang kebudayaan Indonesia yang tersaji dalam perdebatan di tahun

1930-an, yang diaktori oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya, “seakan-

akan” telah berhenti pada tahun 1939. Intelektual-intelektual yang terlibat pada saat

itu telah kembali kepada kesibukan mereka masing-masing. Ditambah pula, pada

tahun 1942, Jepang masuk dan menjadi penjajah baru bagi Bangsa Indonesia. Selama

pendudukan Jepang, beberapa media cetak yang menjadi media perdebatan

kebudayaan di tahun 1930-an (Harian Soeara Oemoem dan Surat Kabar Pewarta

Deli) ditutup oleh sang penguasa baru.

Penutupan terhadap beberapa media cetak yang dilakukan oleh pemerintah

Jepang tersebut, dilakukan dengan berbagai macam alasan, salah-satunya karena

pemerintah Jepang menganggap media cetak telah dijadikan alat propaganda bagi

perkembangan nasionalisme Indonesia. Hal itu tentu saja akan merugikan dan

menghambat proses kolonialisasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Jepang di

Indonesia.

Setelah lama tidak muncul ke permukaan, wacana tentang kebudayaan

Indonesia kemudian muncul dalam suasana yang sangat resmi, dikemukakan dalam

suasana persiapan menyongsong kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah Negara.

Wacana tersebut dimunculkan dalam usaha perumusan kebudayaan nasional

93
94
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Indonesia sebagai bagian dari perundang-undangan yang akan dijadikan sebagai

haluan bagi perjalanan melangkah ke masa depan.

Beberapa bulan menjelang diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia,

persiapan mengenai segala peraturan atau perundang-undangan untuk menjalankan

sebuah Negara pun dibuat. Persiapan tersebut dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) yang dilaksanakan melalui sidang yang berlangsung sekitar tiga

bulan, dari tanggal 28 Mei hingga tanggal 22 Agustus 1945.

Pada tahun 1944, kekhawatiran melanda pemerintahan Jepang yang tengah

melakukan kolonisasi di Indonesia. Dengan mendekatnya kekuatan Sekutu ke

Indonesia, dan meningkatnya perasaan anti-Jepang, para penguasa militer Jepang di

Pulau Jawa mulai mengambil langkah baru ke arah pembentukan suatu pemerintahan

Indonesia merdeka.119 Langkah yang dilakukan oleh pemerintah Jepang itu

memberikan harapan bagi golongan nasionalis Indonesia yang telah lama

mengharapkan hal tersebut.

Pada bulan Januari 1944, pemerintah Jepang membentuk suatu badan panitia

untuk menyelidiki sejauh mana usaha-usaha persiapan kemerdekaan yang telah

dilakukan di Indonesia. Badan panitia penyelidik itu beranggotakan 80 orang, terdiri

dari orang Indonesia dan orang Jepang. Setelah terbentuk, badan panitia itu tidak

berjalan seperti yang diharapkan oleh golongan nasionalis Indonesia, sebab lebih

119
G. Mc. T. Kahin, Op.Cit., Hlm. 152.
95
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

banyak diatur oleh orang-orang Jepang yang menjadi anggotanya. Oleh sebab itu,

maka pada tanggal 1 Maret 1945, pemerintah Jepang membentuk Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dengan kekuasaan dan

keanggotaan yang baru pula.

Badan penyelidik usaha kemerdekaan Indonesia yang baru tersebut dipimpin

oleh dr. Radjiman Wediodiningrat dan wakilnya seorang Jepang bernama

Inchibangase Iyoso. Selain itu, ditunjuk pula secara langsung oleh pemerintah Jepang

seorang wakilnya dari Indonesia bernama R. P. Soeroso.120 Keanggotaan panitia baru

ini, terdiri dari 60 orang, termasuk ketua dan wakilnya, disertai dengan 6 anggota

tambahan.121

B. Perumusan Kebudayaan Nasional Indonesia

Rumusan tentang kebudayaan nasional Indonesia pertamakalinya dibicarakan

dalam rapat besar BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 11 Juli 1945. Rapat

ini membahas tentang persiapan penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar

Negara dan pembentukan panitia penyususunnya. Rapat diselenggarakan di gedung

Tyuuoo Sangi-In, dipimpin oleh dr. Radjiman Wediodiningrat. Panitia pelaksana

penyusunan undang-undang yang dipilih adalah sebagai berikut: Soekarno sebagai

120
Ibid., Hlm. 152.
121
Secara lengkap daftar keanggotaan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut dapat dilihat dalam, Saafroedin Bahar,
dkk (Tim Penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Jakarta, 1995). Hlm. XXV – XXVI.
96
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ketua, dengan anggota-anggotanya: Maramis, Oto Iskandardinata, Poerbojo, Salim,

Soebardjo, Soepomo, Maria Ulfah Santoso, Wachid Hasjim, Harahap, Latuharhary,

Soesanto, Sartono, Wongsonagoro, Woerjaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Hosein

Djajadiningrat, Soekiman, dan Tuan Miyano sebagai anggota istimewa. 122 Setelah

terpilih, panitia penyusun undang-undang tersebut melaksanakan rapat pada jam

15.15 WIB. Dalam rapat dikemukakan perlunya diadakan dan dibentuk suatu panitia

yang lebih khusus untuk merancang Undang-Undang Dasar. Oleh sebab itu,

dibentuklah sebuah panitia dengan sebutan Panitia Kecil dan ditunjuklah Soepomo

sebagai ketuanya.

Pada tanggal 13 Juli 1945, panitia perancang Undang-Undang Dasar

mengadakan rapat untuk mendengarkan hasil rancangan Undang-Undang Dasar dari

Panitia Kecil yang dipimpin oleh Soepomo.123 Dalam rapat itu disampaikan bahwa

Undang-Undang Dasar teridiri dari 42 pasal. Peraturan mengenai kebudayaan

nasional diatur oleh pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pemerintah harus memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan bagi itu


memajukan kebudayaan dari masing-masing daerah, sebagai rukun dari
kebudayaan nasional itu”.124

122
Ibid. hlm. 204.
123
Soepomo lahir di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Semasa hidupnya, Soepomo
dikenal sebagai ahli hukum adat di Indonesia. Lihat misalnya J. B. Sudarmanta,
Jejak-Jejak Pahlawan : Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. (Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2007), Hlm. 111 – 114.
124
Ibid. hlm. 232.
97
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dari rumusan tesebut, dapat diketahui bahwa para anggota perancang

Undang-Undang Dasar pada saat itu sangat memahami bahwa Negara Indonesia

kelak adalah sebuah Negara yang terdiri dari banyak suku bangsa. Dengan demikian,

maka suatu keputusan yang tepat adalah mengakui dan berusaha memajukan setiap

kebudayaan yang terdapat dalam suku-bangsa yang ada tersebut.

Pada tanggal 15 Juli 1945, BPUPKI kembali mengadakan rapat besar, dengan

agenda membahas Rancangan Undang-Undang Dasar. Rapat diselenggarakan di

gedung Sangi-In, mulai dari pukul 10.20 – 21.55 WIB. Dalam rapat itu, panitia

perancang Undang-Undang Dasar menyampaikan hasil rancangannya kepada

BPUPKI. Panitia Kecil perancang undang-undang yang telah dibentuk oleh Soekarno

pun menyampaikan hasil rancangannya. Soepomo pun menjelaskan pasal demi pasal,

pengaturan tentang kebudayaan nasional Indonesia dirubah dari pasal 34 menjadi

pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 33: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pasal ini


tidak berarti, bahwa kita menolak adanya kebudayaan daerah. Bukan maksud
kami untuk menghapuskan misalnya kebudayaan Jawa, oleh karena dianggap
bukan kebudayaan Indonesia. Kebudayaan daerah harus dihormati, dijunjung
tinggi. Pasal 33 ini maksudnya ialah: Oleh karena kita menghendaki
persatuan, maka kita mengajar lahirnya kebudayaan nasional Indonesia.
bagaimana jalannya itu terserah kepada Negara dan masyarakat di kemudian
hari”.125

Setelah Panitia Kecil perancang Undang-Undang Dasar selesai menjelaskan

rancangannya, rapat pun memutuskan bahwa rancangan tersebut dapat diterima. Akan

tetapi, sebagian anggota rapat menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar yang telah

125
Ibid. hlm. 279.
98
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

dibuat pada saat itu harus bersifat sementara. Menurut sebagian anggota rapat,

Undang-Udang Dasar harus dapat dirubah mengingat situasi dan kondisi Indonesia di

kemudian hari akan sangat berbeda. Dengan demikian, maka Undang-Undang Dasar

pun akan mengalami perubahan menurut situasi dan kondisi yang sedang berlangsung

di Indonesia.

Pengaturann tentang kebudayaan nasional Indonesia, selain diatur dalam

Undang-Undang Dasar, juga diatur pada bagian ketiga Garis-Garis Besar Soal

Pendidikan dan Pengajaran, yakni sebagai berikut:

“Kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha


budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju kepada kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan
atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat
kemanusiaan Bangsa Indonesia”.126

Pada bagian ketujuh Garis-Garis Besar Soal Pendidikan dan Pengajaran yang

membahas tentang pelajaran bahasa dan kebudayaan disebutkan bahwa langkah untuk

memajukan kebudayaan nasional Indonesia dilakukan melalui pelajaran bahasa.

Dengan mengacu pada rumusan pasal 32 dan 36, serta Garis-Garis Besar Soal

Pendidikan dan Pengajaran, dijelaskan sebagai berikut:127

126
Ibid. hlm. 399.
127
Ibid. hlm. 401.
99
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

1. Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di segala sekolah di seluruh

Indonesia dan dipakai sebagai bahasa perantaraan, mulai di Sekolah

Rakyat sampai di Sekolah Tinggi.

2. Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh

rakyatnya dengan baik-baik, diwajibkan mengajar bahasa persatuan mulai

kelas 3 pada sekolah pertama, dengan jaminan akan cukup pandainya

anak-anak dalam bahasa Indonesia, bila mereka tamat belajar di Sekolah-

Sekolah Rakyat.

3. Bahasa Nippon (Jepang) sebagai bahasa asing yang terpenting di seluruh

Asia, baik untuk keperluan hubungan Negara-negara di Asia Timur Raya

maupun untuk mudah mengambil kebudayaan Nippon, yang dapat

memperkaya kebudayaan Bangsa Indonesia, diajarkan mulai kelas 5 di

Sekolah Rakyat, dengan jaminan akan cukup pandainya anak-anak dalam

bahasa itu, bila mereka duduk di sekolah menengah.

4. Di Sekolah Menengah Tinggi (SMA) bagian Budaya diajarkan bahasa

Arab dan bahasa Sanskerta.

5. Bahasa asing, yang kelak diakui sebagai bahasa perantaraan sedunia,

diajarkan mulai di Sekolah Menengah.

Rumusan bagian ketujuh dalam Garis-Garis Besar Soal Pendidikan dan

Pengajaran tersebut, dapat diartikan sebagai usaha untuk membentuk suatu Negara

Indonesia sebagai Negara dengan satu kebudayaan, yakni kebudayaan Indonesia.


100
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Usaha ini dilakukan dengan penyelenggaraan bahasa persatuan di seluruh wailayah

Indonesia merdeka. Selain itu, untuk memajukan kebudayaan Bangsa Indonesia maka

harus mempelajari kebudayaan-kebudayaan asing yang ada di seluruh dunia,

pertama-tama melalui pembelajaran bahasa asing seperti bahasa Arab dan bahasa

Jepang.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah teks Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia dibacakan, PPKI segera mengedarkan surat undangan untuk mengadakan

rapat besar pada tangaal 18 Agustus. Dalam surat edaran tersebut diagendakan bahwa

rapat akan membahas tentang beberapa hal penting yang menyangkut tata cara

pembentukan suatu Negara baru, yakni: 1) menetapkan Undang-Undang Dasar, 2)

memilih Presiden dan Wakil Presiden, 3) dan lain-lainnya.128 Setelah

diselenggarakan, rapat yang diadakan oleh PPKI tersebut menetapkan Undang-

Undang Dasar terdiri dari 16 bab dan 37 pasal. Beberapa ketetapan yang diatur dalam

bab-bab tersebut yaitu: Bentuk dan Kedaulatan Negara Indonesia, Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Hal Keuangan, Kekuasaan

Kehakiman, Warga Negara, Agama, Pertahanan Negara, Pendidikan, Kesejahteraan

Sosial, Bendera dan Bahasa, dan peraturan mengenai Perubahan Undang-Undang

Dasar. Selain itu, ditetapkan pula peraturan mengenai Aturan Peralihan dan Aturan

Tambahan, yakni suatu ketetapan yang akan mengatur perihal peralihan kekuasaan

dari pemerintahan Jepang kepada pemerintahan Indonesia, serta pegaturan tentang

menjalankan Undang-Undang Dasar. Setelah dilakukan rapat pada tanggal 18


128
Ibid. hlm. 509.
101
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Agustus, peraturan dan ketetapan mengenai kebudayaan nasional Indonesia

mengalami perubahan. Kebudayaan nasional Indonesia diatur dalam bab 13, pasal 32.

Meskipun demikian, isi dari ketetapan tersebut tetap sama.

Hasil rapat PPKI yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus 1945

tersebut, kemudian diterbitkan dalam surat kabar resmi Negara Indonesia, yaki Berita

Repoeblik Indonesia, pada tanggal 15 Februari 1946. Dalam surat kabar itu dimuat

beberapa berita penting seperti Teks Proklamasi Kemerdekaan, Undang-Undang

Dasar Negara Indonesia, Maklumat Pemerintah Republik Indonesia, dan Penjelasan

Undang-Undang Dasar.129

C. Kebudayaan Nasional Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia

dikumandangkan oleh Soekarno, didampingi oleh Mohammad Hatta. Dengan

demikian, maka Indonesia telah resmi menjadi sebuah Negara. Bangsa Indonesia

telah berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jepang. Sebagai sebuah Negara, maka

Indonesia harus mengatur dan memimpin ke arah mana masyarakatnya akan dibawa

untuk melangkah ke masa depan. Berbagai macam peraturan telah dibuat dan

disepakati, baik peraturan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dari segi kebudayaan, maka Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri dari

banyak suku bangsa yang akan melahirkan banyak kebudayaan pula. Oleh sebab itu,

129
Ibid. hlm. 124.
102
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

peraturan mengenai kebudayaan nasional harus dirumuskan dengan

mempertimbangkan hal-hal tersebut. Kebudayaan nasional Indonesia yang disepakati

dan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa kebudayaan

nasional adalah:

“Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan


di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan
persatuan denga tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri,
serta mempertinggi derajat kemanusiaan Bangsa Indonesia”.130

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Negara Indonesia adalah sebuah Negara

yang didalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa yang berdomisili di berbagai

pulau, diantaranya seperti di Pualu Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, Pulau

Papua, dan Pulau Sulamwesi, serta Kepulauan Maluku. Dari berbagai macam pulau

tersebut tinggal pula banyak suku bangsa, diantaranya seperti Suku Dayak, Suku

Jawa, dan berbagai macam suku lainnya. Berbagai macam suku bangsa tersebut tentu

akan memiliki berbagai macam kebudayaan pula. Oleh sebab itu, maka rumusan

ketetapan mengenai kebudayaan nasional harus mencakup aspek-aspek tersebut.

130
Ibid. hlm. 399.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan terlebih dahulu, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan tentang peristiwa “Polemik Kebudayaan” yang terjadi

dalam tahun 1935 – 1939, yakni sebagai berikut:

Pertama, peristiwa Polemik Kebudayaan muncul ke permukaan ranah

kebudayaan Indonesia dilatarbelakangi oleh munculnya Cita-cita Ke-Indonesiaan,

yakni keinginan dari sebagian besar kalangan nasionalis bahwa di kemudian hari

bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa

(maju) lainnya di dunia. Cita-cita tersebut diwakili oleh didirikannya Organisasi Budi

Utomo dan Perguruan Taman Siswa, serta terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda.

Ketiga peristiwa itu mewakili lahirnya cita-cita tentang suatu bangsa merdeka di

kalangan masyarakat pribumi Indonesia.

Dengan munculnya Cita-cita Ke-Indonesiaan, maka muncul pula pemikiran

tentang jalan untuk merealisasikan cita-cita tersebut. Polemik Kebudayaan

merupakan salah-satu dari banyak peristiwa yang muncul disebabkan oleh keadaan

yang demikian itu. Perdebatan yang terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi

Pane, Tjindarboemi, dr. Soetomo, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr.

Mohammad Amir, dalam peristiwa Polemik Kebudayaan merupakan sebuah usaha

103
104
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

untuk menemukan jalan supaya Cita-cita Ke-Indonesiaan dapat terrealisasikan atau

menjadi kenyataan di kemudian hari.

Kedua, Polemik Kebudayaan merupakan pertentangan pendapat mengenai

haluan kebudayaan yang akan digunakan oleh Bangsa Indonesia untuk melangkah ke

masa depan, apakah dengan mempelajari kebudayaan Barat atau mengembangkan

kebudayaan Timur. Akan tetapi, setelah perdebatan berhenti di tahun 1939, tidak

dapat diketahui kelompok mana yang menjadi pemenang dalam peristiwa itu.

Meskipun demikian, perdebatan mengenai kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur

yang terjadi pada saat itu akan mendapatkan sintesanya setelah Bangsa Indonesia

menjadi sebuah Negara merdeka. Sebagai sebuah Negara merdeka, Indonesia akan

menentukan sendiri jalan mana yang harus ditempuh atau haluan apa yang akan

dilakukan untuk melangkah ke masa depan.

Pada tahun 1945, kebudayaan Indonesia diwacanakan dalam rapat perumusan

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, sebuah konsensus atau kesepakatan

bersama untuk mengatur dan menjalankan sebuah Negara. Kebudayaan Nasional

Indonesia kemudian ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, bab 13 pasal 34 yang

berbunyi:

“Kebudayaan Nasional ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha


budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan
atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia”.
105
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dari rumusan tentang kebudayaan nasional Indonesia tersebut, dapat diketahui

bahwa haluan yang diambil oleh Negara Indonesia untuk melangkah ke masa depan

ialah pertama-tama mengakui seluruh kebudayaan lama dan asli yang telah terdapat

di Indonesia. Negara Indonesia tidak menolak kebudayaan-kebudayaan asing yang

masuk, sebab akan berguna untuk mengembangkan dan memperkaya kebudayaan

Indonesia. Selain dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar, kebudayaan nasional

Indonesia juga diatur dan dijelaskan dalam Garis-Garis Besar Pendidikan dan

Pengajaran.

Dalam Garis-Garis Besar Soal Pendidikan dan Pengajaran tersebut,

dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa-bahasa asing penting untuk memperkaya

pengetahuan tentang kebudayaan-kebudayaan asing. Oleh sebab itu, maka ditetapkan

bahwa bahasa-bahasa asing yang akan menjadi bahasa internasional harus diajarkan

di Sekolah-Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia.

Dari kedua rumusan tentang kebudayaan nasional Indonesia tersebut, maka

dapat diktakan bahwa Negara Indonesia melangkah ke depan menggunakan haluan

kebudayaan sendiri, yakni kebudayaan Indonesia. Haluan kebudayaan itu tidak

menolak segala macam bentuk kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, dengan

alasan akan membantu memperkaya dan mengembangkan kebudayaan serta derajat

kemanusiaan Indonesia.
106
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B. Saran

Penulisan tentang Sejarah Kebudayaan di Indonesia, sampai saat ini seringkali

dilakukan dengan menyentuh bagian hasil dari kebudayaan. Dengan perkataan lain,

penulisan tentang Sejarah Kebudayaan tersebut tertuju pada hasil dari kegiatan

kebudayaan yang berbentuk benda. Oleh sebab itu, jarang ada penulisan tentang

kegiatan pemikiran dari para pelaku kebudayaan.

Penulisan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini dimaksudkan oleh

penulis sebagai sebuah telaah tentang Sejarah Pemikiran Kebudayaan Indonesia.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan ini memiliki berbagai macam kekurangan,

terutama dalam metode penelitian dan sumber-sumber bacaan. Oleh sebab itu, bagi

peneliti-peneliti atau pun penulis-penulis lain yang berminat untuk melakukan

kegiatan penulisan serupa skripsi ini, diharapkan dalam melakukan kegiatannya,

memperhatikan latar belakang pemikiran dari para pelaku aktor yang memikirkan

tentang kebudayaan yang akan dibahas.


107
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Daftar Pustaka

Buku-buku:

Achdiat Karta Mihardja, Polemik Kebudayaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977. Cetakan
ke. 4.

Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan,


Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Trans Media Pustaka,
Jakarta, 2008.

Dendy Sugono (Pimpinan Redaksi), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.

______, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan


Nasional, 2008.

Dhaniel Dakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Flobertina Aning. S (penyusun), 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia, Yogyakarta:


Penerbit Narasi, September 2007, cetakan ke- 3.

Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Yogyakarta: Rumah Belajar


YAKIBAS, Oktober 2008, cetakan ke-1.

Hasballah Tahib (ed), Prof. Chairuddin P. Lubis dalam Pandangan Ulama dan
Cendikiawan, Medan: USU Press, 2009.

Herry Nurdi, Kebangkitan Freemason dan Zionis di Indonesia: Di Balik Kerusakan


Agama-Agama, Jakarta: Penerbit Cakrawala, 2006.

Kahin, G. Mc. T, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan


Revolusi di Indonesia, Jakarta: Sebelas Maret University Press berkerjasama
dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, Cetakan I.

Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka,
2000, cetakan ke-1.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001.


108
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Kratz, E. Ulrich (ed), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.

Leirissa, R. Z, dkk, Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda, Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989.

Moedjanto, Indonesia Abad ke- 20: 1, dari Pergerakan Nasional sampai Linggajati,
Jilid 1, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan I, 1988.

Mohammad Hatta, Untuk Negeriku, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2011.

Mudji Sutrisno, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006.

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta:


Penerbit Kanisius, 2005.

Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 – 1918,


Seri Terjemahan KITLV-LIPI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Nasruddin Anshoriy, H. M, Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan,


Yogyakarta: LKiS, 2008.

______, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis


Multikulturalisme, Yogyakarta: LKiS, 2008.

Poerbatjaraka, Agastya di Nusantara, Terj. Buku Obor. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 1992.

Pringgodigdo, A. G, (pimpinan redaksi), Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit


Kanisius, 2008, cetakan ke- 16.

Reza A. A. Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit


Kanisius, 2007.

Riclefs, Mc, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Jakarta: Sebelas Maret
University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, 1995, Cetakan I.

Saafroedin Bahar, dkk (Tim Penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI,
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
109
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Sartono Katodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan


Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2. Jakarta: PT
Gramedia, 1990.

Slamet Muljana, Kesadaran Nasionalisme dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan,


Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2008.

Soeratman, Buku Peringatan 30 Tahun Taman Siswa tahun 1922 – 1952,


Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1981.

Sudarmanta, J. B, Jejak-Jejak Pahlawan : Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia,


Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007.

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908
– 1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, cetakan ke-1.

Sulung Siti Hanum dan Prima Hariyanto, Susastra 7, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya,
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia.

Suwarno, P. J, Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta


1942 – 1974, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994, cetakan ke- 1.

Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung-Menyambung menjadi Satu, Jakarta:


Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.

Tauchid, Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan dan Pelopor Pendidikan, Yogyakarta:


Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1968.

Tim Media Pusindo, Pahlawan Indonesia, Jakarta: Penerbit Media Pusindo, Puspa
Swara Group, 2008, cetakan ke-1.

Vlekke, Bernard H. M, Nusantara: A History of Indonesia, terj. Samsudin Berlian.


Jakarta: PT Gramedia. Cetakan II, edisi terjemahan.

Yudiono. K. S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: Penerbit Grasinsdo,


2007.

Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,


Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
110
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Majalah:

Sutan Takdir Alisjahbana, Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia –


Prae-Indoneia, Poedjangga Baroe, Tahun III, No. 2, Agustus 1935.

Daoed Joesoef, Aspek-Aspek Kebudayaan Yang Harus Dikuasai Guru, Majalah


Kebudayaan, No. 1. Tahun 1982 – 1982.

Sanusi Pane, Persatuan Indonesia, Suaran Umum, No. 276, 4 september 1935.

Skripsi:

Alexander Supartono, Lekra VS Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950


– 1965, Jakarta: Skripsi Sarjana, STF Driyarkara, Jakarta, 2000.

Website:

http://www.psp.ugm.ac.id/publikasi/artikel/101-menuju-politik-kebudayaan-
nasional.html

www.alisjahbana.org/karangan.html

http://jangan-bungkamhendaru.blog.friendster.com. (Data diakses pada tanggal 13


Juni 2011).

Anda mungkin juga menyukai