Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Migrasi manusia pendukung masa prasejarah yang hidup di gua-gua pegunungan
kapur (karst) di pulau Sulawesi telah banyak dibuktikan dari berbagai penelitian, namun
sejauh ini masih terfokus di daratan bagian selatan. Pulau Sulawesi atau biasa dikenal dengan
sebutan Celebes, merupakan pulau terbesar keempat di kepulauan Asia Tenggara, dengan
luas 189.216 kilometer persegi, berbatasan dengan pulau Maluku di sebelah timur, Philipina
di sebelah utara, pulau Kalimantan di sebelah barat, dan kepulauan Nusa Tenggara di sebelah
selatan (Simanjuntak, 2008:215). Nur (2011:3) mengemukakan bahwa dengan posisi
geografis tersebut, pulau Sulawesi menjadi wilayah lintas budaya (cross culture) dari masa
plestosen sampai masa holosen. Hubungan darat yang terjadi kala waktu glasiasi surut
tersebut, menjadikan kelompok-kelompok manusia yang mendiaminya menjadi terpisah di
pulau-pulau yang berbeda (poesponegoro, 1993:22).
Adanya proses kehidupan yang panjang di dalam sebuah pulau menjadikan manusia
yang mendiami akan menimbulkan persebaran menjadi kelompok-kelompok kecil diberbagai
tempat untuk mempertahankan hidup dan menimbulkan perubahan-perubahan yang
evolusioner pada mereka, mulai dari merambah hutan, membuat peralatan, berburu dan
menghuni gua-gua. Dengan adanya arus persebaran ke berbagai wilayah, maka tidak
menutup kemungkinan Sulawesi Tenggara, khususnya dibagian Konawe Utara juga pernah
dihuni oleh manusia di masa lalu.
Penelitian arkeologi di wilayah Konawe Utara yang dilakukan Balai Arkeologi
Makassar sejak tahun 2009 hingga 2014, walau belum banyak mengungkap adanya jejak
manusia di masa prasejarah dari sejumlah temuan yang diperoleh, namun dengan adanya
situs-situs yang memiliki ciri hunian berdasarkan temuan permukaan tanah dan bentukan gua
semakin membuka peluang untuk mengungkap adanya aktifitas manusia di masa lalu. Situssitus gua yang berhasil ditemukan antara lain; Gua Tengkorak 1,2, dan 3, Gua Terowongan,
Gua Wacu Pinodo, Gua Rukuo dan Gua Pondoa.
Dalam rentang waktu yang bersamaan, Penelitian yang telah dilakukan oleh
kolaborasi tim peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan dan tim peneliti Australian

Research Council (ARC) tahun 2011-2014 di situs Routa dan situs Gua Sambangoala,
Sulawesi xxx menemukan adanya aktifitas manusia di masa 5.500 3.500 tahun yang lalu
berdasar pada penemuan fragmen tulang binatang baik yang utuh maupun yang terbakar,
selain itu dalam penelitian tersebut juga ditemukan artefak batu serpih (flakes) yang jika
dilihat dari ciri teknologi pembuatan serta bahan yang yang digunakan tidak jauh berbeda
dengan artefak yang ditemukan di gua Tengkorak 2 di Konawe Utara.
Penelitian lanjutan di gua tengkorak 2 yang dilakukan oleh tim peneliti Balai
Arkeologi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan universitas haluoleo kendari, terfokus pada
lapisan-lapisan budaya (stratigrafi) serta sebaran temuan yang ada dalam setiap lapisan
budaya yang ada di Gua Tengkorak 2 dengan membuka 3 (tiga) kotak ekskavasi untuk
menelusuri apakah lapisan tanah di teras gua tengkorak 2 masih intak atau telah terjadi proses
transformasi.

Hal

tersebut

dilakukan

untuk

menyempurnakan

penelitian-penelitian

sebelumnya.
I.2 Permasalahan
Jejak migrasi dan arus persebaran manusia selalu dikaitkan dengan karakter
lingkungan karena sangat berpengaruh pada pola aktifitas manusianya. Sulawesi Tenggara
memiliki kondisi geografis dan ekologi yang tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di
Sulawesi yang didominasi oleh rawa-rawa, pegunungan karst, lembah dan sungai.
Selanjutnya dari sudut letak geografis Sulawesi merupakan salah satu stimulus penting dalam
dinamasi budaya sebagai ruang antara (Zona Wallacea); Paparan Sunda di barat dan Paparan
Sahul di timur merupakan posisi yang sangat strategis. Oleh karena itu peranan Sulawesi
dalam konteks Asia dan Pasifik sangat besar sebagai jembatan dan proses silang budaya
(Hasanuddin, 2008: 4)
Lebih lanjut, diantara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara terdapat perbedaan
dari kondisi geologi, dalam hal ini bentuk material batuan yang digunakan manusia sebagai
perkakas batu untuk berburu. Tradisi serpih-bilah berkembang di beberapa daerah Asia
Tenggara. Di Indonesia sendiri, tradisi ini antara lain ditemukan di gua-gua daerah Sulawesi
Selatan (Heekeren, 1972:106). Diihat dari segi teknologi pembuatan artefak batu diantara
kedua daerah ini, tentunya tidak banyak memiliki perbedaan jika dilihat dari teknik
pemangkasannya namun berbeda dari segi bentuk.
Beranjak dari uraian diatas, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara masih satu
kesatuan kepulauan yang terhubung antara daratan dan pegunungan yang sangat menarik jika
2

dikaitkan dengan arus persebaran manusia yang belum banyak terungkap di wilayah tenggara
pulau Sulawesi, khususnya Konawe Utara.
Berdasarkan uraian diatas, dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan
Balai Arkeologi Sulawesi Selatan sejak tahun 2009-2014. Penelitian lanjutan yang dilakukan
tahun ini (2015), selanjutnya ada 2 (dua) pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam
penelitian ini, diantaranya;
1. Bagaimana keragaman temuan disetiap lapisan budaya di situs Gua Tengkorak 2.
2. Apakah Gua Tengkorak 2 pernah digunakan sebagai gua hunian.
I.3 Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran mengenai bentuk aktivitas manusia, berdasarkan ciri teknologi
temuan dan asosiasinya dalam matrix pengendapnya di situs Gua Tengkorak II
2. Memperoleh kejelasan mengenai dugaan adanya budaya manusia pendukung Gua
Tengkorak di masa lalu melalui lapisan budaya.
3. Untuk mendapatkan data komparasi antara satu situs dengan situs lainnya yang berada di
wilayah Konawe Utara dan untuk menelusuri hubungan dengan situs lainnya di luar
wilayah Konawe Utara.
I.4 Kerangka Konseptual
Bentuk dan karakteristik suatu situs dapat memberi gambaran tentang bagaimana
manusia di masa lalu dalam pemilihan lingkungan yang strategi dalam mempertahanan
kehidupannya. Sharer dan Ashmore (1979 : 73) mengatakan berdasarkan fungsi dan
keragaman jenis aktivitasnya, suatu situs arkeologi dapat dibedakan menjadi situs hunian,
situs pasar, situs perburuan, situs perbengkelan, situs penguburan, situs pemujaan, dan situs
penyembelihan hewan. Kondisi lingkungan yang beragam seperti di Konawe Utara sangat
berpotensi adanya kehidupan manusia di masa lalu. Dalam penelitian ini akan menggunakan
konsep adaptasi sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Hubungan antara manusia dengan lingkungannya dianggap sebagai proses adaptif
termasuk cara memanfaatkan sumber daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia, termasuk didalamnya mengenai pertimbangan ekologi yang digunakan manusia
masa lalu dalam berbagai tindakannya, baik yang berkenaan dengan perolehan makanan dan
perlindungan diri, maupun penempatan dirinya di muka bumi, meliputi cara memilih lokasi
sebagai tempat beraktivitas. Dalam arkeologi, hubungan tersebut dapat diamati melalui
peninggalan arkeologi berupa artefak, ekofak dan situsnya.
I.5 Metode Pengumpulan Data
3

Dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, dilakukan beberapa metode yang
umumnya digunakan dalam penelitian arkeologi, diantaranya ;
a.
Pengumpulan data kepustakaan:

Mengumpulkan laporan-laporan atau literature lainnya yang terkait dengan penelitian


yang dilakukan. Baik yang berhubungan langsung dengan situs yang diteliti maupun
sebagai bahan penunjang dan pembanding dengan situs-situs lainnya di Sulawesi.

Pengumpulan Data Peta Digital dan manual (topografi, geologi, dan titik-titik sebaran
situs yang berada di wilayah Sulawesi Tenggara)
Kajian literatur ini dilakukan untuk membantu dalam menentukan strategi penelitian

yang akan dilakukan, diantaranya untuk menentukan titik ekskavasi di situs gua Tengkorak
II.
b.

Pengumpulan Data Artefaktual.


Survey dan Ekskavasi dilakukan di Situs Gua Tengkorak II, di desa Wawontoaho, Kecamatan
Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Survey
Survey dilakukan dengan menelusuri lingkungan situs Gua Tengkorak 1,2 dan 3 serta
gua-gua lainnya yang berada dalam wilayah kecamatan (Dalam hal ini kecamatan
wiwirano) untuk melihat sejauhmana sebaran temuan selain di situs Gua Tengkorak 1,2

dan 3 dan
Ekskavasi
Ekskavasi dilakukan untuk merekam data yang terdeposit di dalam tanah, karena temuan
dalam hal ini artefak yang berada didalam tanah masih bersifat in-situ Sehingga
menghasilkan interpretasi yang lebih ilmiah dan terukur. Ekskavasi dilakukan dengan
menggunakan sistem spit dengan interval 10 cm (1 spit). Dalam setiap spit dilakukan
perekaman data dengan mendekskripsi semua yang tampak pada permukaan kotak, serta
melakukan penggambaran, pengukuran dan pemotretan. Di Situs Gua Tengkorak 2,
dibuka 3 (tiga) kotak gali yang masing-masing diberi kode U2 B2, S2 B2, dan S5 B7
berdasarkan grid hasil pemetaan.

I.6 Output
Data hasil penelitian ini diharap dapat memperkaya data arkeologi prasejarah tentang
persebaran manusia yang tidak hanya sampai di Sulawesi Selatan, tetapi lebih luas hingga ke
4

daratan bagian tenggara. Hasil penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi acuan dasar agar
situs-situs yang berada di kawasan prasejarah Wiwirano, Konawe Utara dapat dilestarikan
sebagaimana situs-situs lainnya di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharap dapat
berkontribusi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di pulau Sulawesi.

Anda mungkin juga menyukai