Anda di halaman 1dari 10

JUDUL

Perubahan Konsumsi Fauna pada Tiap Lapisan Budaya di Leang Jarie, Kabupaten Maros
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyaknya situs prasejarah di Pulau Sulawesi belum seimbang dengan jumlah kajian
terkait fauna yang telah dilakukan. Hal ini berbanding dengan jumlah data fauna yang tersedia
menurut Fagan (1980), pelajar atau penelitian dari di disiplin ilmu lain, misalnya zoologi,
geologi, botani dll dapat membantu mengungkap persoalan subsistensi dalam merekonstruksi
pola konsumsi manusia masa lampau
Peneliti pelopor, Clason (1976) telah menyimpulkan bahwa di situs Ulu Leang 1, Maros,
babi Sulawesi merupakan fauna yang paling banyak dikonsumsi pada periode pertengahan
sampai akhir holosen. Penelitian lainnya dilakukan oleh Bellwood (2000) di situs Paso yang
memiliki fase hunian berumur 7.530 ± 50 BP dan 7.360 ± 310 BP. Situs ini memiliki deposit
kerang air tawar berdiameter sekitar 30 meter dengan ketebalan 1 meter yang mengandung
tulang hewan seperti babi Sulawesi yang paling banyak dan sedikit tulang anoa, kuskus, monyet,
babi rusa, tikus dan dua spesies kuskus (Bellwood, 2000:274-277; Duli & Nur, 2016).
Beberapa penelitian lainnya seperti himpunan tulang binatang di Gua Panninge pada
lapisan Maros point yang berumur 7.000 BP menggambarkan dimana binatang darat menjadi
makanan utama sementara kerang tidak menjadi makanan yang diperhitungkan (Duli et al.,
2015). Pada situs Pangnganikang, Bantaeng memperlihatkan bahwa persentasi kehadiran kerang
(N=1149) lebih banyak dibanding dengan tulang (N=593) (Fahkri, 2017).
Penelitian lainnya terkait konsumsi fauna dilakukan di Gua Tenggera, Sulawesi
Tenggara. Menunjukkan ada dua perubahan pola makan yang terbagi dua fase yaitu Praneolitik
dicirikan oleh jaringan makanan yang belum luas meliputi hewan mamalia besar, reptilia, kerang
berumur sekitar 6.083 BP ± 25 hingga 10.455 BP ± 30 sedangkan untuk fase Neolitik berumur
sekitar 3.585 BP ± 27 hingga 4.050 BP ± 20 yang dicirikan dengan meluasnya jaringan makanan.
(Nur et al., 2017).
Zooarcaeology adalah hubungan antara manusia dan hewan dengan strategi subsistensi dalam
aktivitas pemenuhan makannya (Reitz dan Wing, 2008). Subsistensi ditekankan pada bentuk atau
pola hidup manusia dalam pemenuhan makan secara berkelompok atau individual.
Kehidupan manusia dan alam lingkungan tentunya saling berkesinambungan, keduanya
saling berinteraksi dan menghasilkan corak, baik terdapat kehidupan manusia maupun
lingkungan. Ketika kemampuan berpikir dan penguasaan teknologi masih terbatas, kehidupan
manusia sepenuhnya akan bergantung pada alam. Kondisi tersebut mempengaruhi proses
adaptasi manusia sehingga lingkungan cenderung mempengaruhi kehidupan manusia. Namun
seiring berjalannya waktu kemajuan pemikiran dan teknologi manusia mengalami peningkatan,
manusia mulai mengeksploitasi lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
Upaya eksploitasi lingkungan tentunya mengikuti kemampuan jelajah dalam pencarian bahan
makanan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi geografis. Selain itu ketersediaan sumber
makanan juga memengaruhi jangkauan jelajah (catchment area). Jika suatu lingkungan
menyediakan sumber makanan yang kaya, maka area lingkungan jelajah lebih terbatas,
begitupun sebaliknya, jika lingkungan sumber makanan terbatas, maka area lingkungan jelajah
cenderung luas.

1.2 Rumusan Masalah


Pada tahun 2018 dan 2019 telah dilakukan sebuah penelitian arkeologi di Leang Jarie,
Kabupaten Maros oleh Tim Balai Arkeologi Sulawesi Selatan. Penelitian tersebut untuk
mengetahui sebaran potensi situs Arkeologi serta Lapisan dan perkembangan budaya Prasejarah
di wilayah Maros. Pada tahun 2019, penulis berkesempatan mengikuti kegiatan ekskavasi di
Leang Jarie dalam rangka praktek lapangan dari salah satu mata kuliah Ekskavasi selama 7 hari.
Dari hasil temuan selama ekskavasi terdapat banyak tinggalan arkeologi salah satunya adalah
tulang fauna.Temuan sisa fauna dari hasil ekskavasi di Leang Jarie merupakan salah satu data
penelitian arkeologi yang sangat penting dalam menggambarkan aktivitas budaya manusia di
wilayah tersebut. Untuk bertahap hidup manusia cenderung mengeksploitasi lingkungan dalam
mencari sumber makanan seperti berburu binatang. Selain itu untuk mengetahui jenis fauna yang
pernah hidup berdampingan dengan manusia dengan manusia pendukung kebudayaan Leang
Jarie.

Leang Jarie dianggap cukup potensial dan data yang memadai untuk dijadikan tempat
penelitian oleh penulis. Situs ini pernah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain C.J. Fransen,
van Stein Callenfels dan van Heekern (Soejono, 1993: 128-162), Rustan, dan Budianto Hakim.
Namun penelitian tersebut belum ada yang menaruh perhatian khusus terhadap peranan fauna
sebagaimana kajian artefaktual lainnya

Penelitian yang mengangkat permasalahan terkait subsistensi masih sangat sedikit


ditemukan dalam kajian prasejarah di Sulawesi. Hal inilah yang mendorong penulis untuk
mencoba memberikan gambaran pola makan manusia yang menghuni Leang Jarie. Oleh
karenanya, penelitian ini sangat diperlukan untuk melengkapi ketersediaan data prasejarah yang
ada di Leang Jarie, Maros. Berdasar pada permasalahan yang diuraikan muncul pertanyaan
penelitian yang diajukan, yaitu :
1. Jenis fauna apa yang dikonsumsi oleh penghuni Leang Jarie pada tiap tahapan budaya?
2. Bagaimana perubahan konsumsi fauna pada tiap lapisan budaya di Leang Jarie?

1.3 Tujuan Penelitian


Situs Leang Jarie merupakan salah satu situs prasejarah yang memiliki potensi data arkeologi
dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Tujuan penelitian ini tidak
terlepas dari tujuan arkeologi itu sendiri. Tujuan tersebut untuk merekonstruksi cara-cara hidup
manusia masa lampau. Berdasarkan pertanyaan penelitian yang hendak dicapai maka tujuan dari
penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui kecenderungan masyarakat dalam memilih jenis fauna
2. Untuk mengetahui tingkat perbedaan jenis populasi fauna yang pernah menghuni Leang Jarie
3. Untuk mengetahui area jelajah manusia penghuni gua berdasarkan dari jenis fauna yang
ditemukan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data tambahan untuk menjelaskan subsistensi.
Mengingat pentingnya peranan fauna pada kelompok manusia pendukung kebudayaan
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut pada situs Leang Jarie. Selain itu
diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan sebagai referensi yang
dapat diakses baik dari kalangan akademisi maupun non akademisi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Zooarkeologi adalah studi tentang cara memahami hubungan antara manusia, hewan dan
lingkunganya melalui sisa-sisa tulang binatang yang berasal dari masa lalu (Reitz dan Wing,
2008). Studi ini dilakukan untuk merekonstruksi cara manusia terdahulu dalam memperoleh
sumber makanan berdasarkan sisa tulang binatang yang ditemukan di situs. Dalam Masyarakat
Prasejarah Subsistensi dan diet adalah hal paling mendasar dari semua kebutuhan manusia.
Subsistensi diartikan sebagai proses pencarian makan berdasarkan sampah yang ditinggalkan
dari hasil pengolahan makanan serta binatang (Ranfrew dan Bahn, 1991:233).
Manusia cenderung menggunakan cara yang dapat memudahkannya dalam mendapatkan
sumber makanan sebagai upaya dalam menghemat waktu dan energi mereka. Dari perspektif
ekologi Strategi subsistensi merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh berbagai nutrisi
secara teratur, untuk memastikan bahwa biaya yang diperlukan untuk menemukan, menangkap,
mengangkut, memproses, mendistribusi, dan menggunakanya tidak berlebihan (Reed 1963:209).
Peristiwa-peristiwa alam yang terjadi pada kala plestosen merupakan tantangan alam yang
harus dihadapi oleh manusia yang lama-kelamaan terus berevolusi. Dengan kemampuan yang
masih sangat terbatas, manusia berusaha mempertahankan hidupnya dengan berusaha mencari
makan dengan alat-alat yang masih sederhana. Alam telah menyediakan segala kebutuhan hidup.
Untuk menjaga kelangsungan hidup, semua makhluk harus makan. Manusia tentunya memiliki
kelebihan berupa akal budinya yang terus berkembang dibandingkan mahkluk lainnya seperti
hewan. Oleh karenanya dalam hal mendapatkan makanan, manusia tidak hanya menggunakan
indra fisiknya, melainkan ia banyak menggunakan akalnya.
Kebudayaan adalah alat adaptasi manusia terhadap lingkungan. Mereka memperoleh
makanan dari lingkungan untuk bertahan hidup dengan jalan mengubah dan mengeksploitasi
lingkungan tersebut (Jacob, 1982)... Kebudayaan Tingkat Perkembangan Masa Berburu dan
Mengumpul Makanan Tingkat Lanjut yaitu tradisi mesolitik dan ditandai dengan corak
kehidupan setengah menetap di gua-gua payung, tepi danau serta tepi-tepi pantai berlaut dangkal
serta berarus tenang. Di Indonesia budaya tradisi mesolitik pertama kali ditemukan di pantai
timur Sumatra Utara oleh J.H.Neumann pada tahun 1924 dikenal dengan kebudayaan sampah
dapur atau kjökkenmöddinger (Heekeren 1936:18). Ke-budayaan bercirikan tradisi mesolitik ini
ditandai dengan alat-alat batu dikenal dengan kapak-kapak Sumatraatau Sumatralith dan
kebudayaan ini ber-langsung antara 10.000-3.000 tahun yang lalau (Forestier, 2007:72-73).
Menurut Clason, ada lima alasan kajian tulang fauna menjadi penting. Pertama, studi tentang
tulang sebagai sisa peninggalan fauna akan memberikan informasi bagi kita tentang spesies yang
pernah ada diantara mereka dan saling berinteraksi dengan manusia di suatu wilayah. Kedua,
informasi tentang lingkungan, pemukiman dan vegetasi pada masa lampau dapat diperoleh dari
kajian data kehadiran atau bahkan ketidakhadiran spesies fauna pada habitat masing-masing
untuk hidup berdampingan dengan manusia. ketiga, kajian arkeofauna ini bisa memberi
informasi tentang pola makan dan system subsitensi manusia pendukung sebuah kebudayaan.
Hal ini dapat memberikan jawaban bagaimana keterampilan mereka memanfaatkan sumber
makanan di lingkunganya. Keempat, alasan selanjutnya ialah kajian arkeofauna dapat
memberitahukan kepada kita tentang bagaimana proses budaya dalam kegiatan perburuan,
memancing hingga teknik pengolahan fauna. Dan yang kelima, kajian ini memberikan informasi
terkait kapan periode awal spesies fauna mulai untuk dijinakkan dan didomestikasi serta
bagaiamana proses tersebut berlangsung (Clason, 1976).
Pada umumnya, sisa fauna diperoleh dari situs hunian masa prasejarah. Data tersebut menjadi
sangat penting untuk mengungkap bahwa apakah ada pola perburuan,maupun pemeliharan
hewan atau domestikasi binatang yang dipraktekkan oleh manusia pendukung situs tersebut.
Selain itu data fauna juga penting untuk mengetahui kondisi ekologi situs pada masa lalu
(Clason, A.T, 1976: 1). Dalam menganalisis sisa fauna diperlukan proses identifikasi, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Sisa fauna diidentifikasi paling tidak berdasarkan familinya.
Informasi yang dilaporkan antara lain total jumlah fauna yang diidentifikasi, jumlah tiap bagian
dari spesies yang dikenali, berat tiap-tiap sisa fauna dan jumlah total sisa fauna yang tidak dapat
diidentifikasi (Clark, 1967).
Binatang merupakan sumber bahan makanan utama disamping tumbuh-tumbuhan, oleh
karena itu temuan tulang-tulang binatang dianggap merupakan jenis temuan penting yang dapat
dipakai untuk merekonstruksi aktivitas manusia masa lalu, terutama yang berhubungan dengan
subsistensi (Childe, 1958).
Untuk lebih melihat dengan jelas serta men-gukuhkan kedudukan Prasejarah Indonesia dalam
konteks perkembangan Prasejarah Asia Tenggara, kami mengusulkan untuk membedah
kedudukan Prasejarah Indonsesia melalui kajian Arkeologi Post-Prosesssual dengan perkepektif
Strukturalime "Lévi-Strauss". Fokus kajian Arkeologi Pos-Prosesual yaitu mengedepankan
dimensi manusia, sehingga hal ini dapat diungkap tentang "jati diribangsa" Indonesia pada masa
prasejarah serta perang pentingnya dalam perkembangan Prase-jarah Asia Tenggara (Hodder,
2000:86-96). Sedangkan perspektif Strukturalisme "Levi-Strauss" akan mengungkap kognisi
“bangsa Indonesia" pa-da masa prasejarah, sehingga dapat diungkapkan tentang proses
kreativitas dalam kaitannya menghadapi proses difusi serta perkembangan bu-daya prasejarah
dari Daratan Asia Tenggara. Pada tahapan selanjutnya juga akan diketahui bagaimanakah peran
penting Prasejarah Indonesia dalam konteksperkembangan Prasejarah Melane-sia-Micronesia-
Polynesia (Bellwood, 1985). masyarakat prasejarah dimulai dari kegiatan manusia dalam
mencari dan mengumpulkan bahan-bahan untuk kebutuhan hidupnya. Bahan-bahan untuk
kebutuhan hidup itu telah disediakan oleh alam, tinggal mereka ambil dan manfaatkan dari
lingkungan alam sekitar mereka hidup. Lingkungan alam tersebut meliputi tumbuh-tumbuhan,
hewan, mineral, batu-batuan termasuk tanah, dan lai n sebagainya (Hole & Heizer 1965:187).
Dala m hal ini tumbuh-tumbuhan adalah merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, di samping hewan dan bahan-bahan kebutuhan lainnya.Distribusi tumbuh-tumbuhan
dan hewan tergantung pada ikli m setempat, sehingga ada tempat-tempat yang surplus dan ada
pula yang kekurangan. Tempat-tempat yang surplus biasanya merupakan tempat yang tinggi
tingkat kesuburannya. Manusia secara naluri akan memilih tempat-tempat yang subur itu atau
yang banyak menyediakan bahan-bahan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan
kondisi lingkung-an yang sedemikian itu maka akan terbentuklah masyarakat yang dapat
mencukupi kebutuhannya sendiri (affluent society) (Sahlins 1972:1). Namun distribusi tumbuhan
dan hewan ditentukan dan dibatasi oleh keadaan alam dan lingkungan. Manusia tidak dapat
menambah atau memindahkan bahan kebutuhan hidup tersebut dari keadaan dan lingkungan
aslinya sebelum mereka mengenal teknologi maupun cara-cara untuk mengembang-biakannya
(Hole & Heizer 1965:188). Meskipun alam telah menyediakan bahan-bahan untuk keperluan
hidup manusia, tetapi manusia itu sendiri membutuhkan pengetahuan untuk memanfaatkannya.
Manusia dituntut untuk menguasai teknik menangkap, membunuh, menguliti ataupun
menyiapkan hewan bagi makanannya. Demikia n pula manusia dituntut memilik i pengetahuan
untuk memilih jenis tumbuhan yang dapat dimakan dan diman-faatkan bagi kehidupannya. Pada
mulanya dalam menangkaphewanburuan.manusiatidakmenggunakan alat-alat seperti panah,
tombak atau perangkap. Mereka hanya mengejar dan menangkap binatang-binatang kecil ,
mengambil sisa-sisa makanan binatang pemakan daging dan membunuh hewan yang
terperangkap di dalam jurang atau lumpur. Dengan demikian faktor keberuntungan sangat
menentukan kehidupan mereka (Hole & Heizer 1965:188-189).
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan
Studi terkait zooarkeologi pernah dilakukan Rustan pada tahun 2003 di Situs Leang Jarie,
Kabupaten Maros, ia menggunakan data sisa-sisa cangkang moluska untuk mengetahui area
jelajah dan sistem perolehan moluska pada manusia pendukung Leang Jarie. Penelitian tersebut
berhasil menyimpulkan bahwa moluska air tawar lebih di gemari karena tidak membutuhkan
banyak energi untuk mendapatkannya, adapun pengumpulan moluska dari habitat air asin dan air
payau menjadi kegiatan penunjang.
Penelitian zooarkeologi terbaru pernah dilakukan oleh Fakhri di Gua Ballang Metti dan
Cappa Lombo yang terletak di Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Mengatakan bahwa
hewan mamalia besar penghuni gua kala holosen tidak jauh berbeda dengan hewan yang masih
hidup hingga saat ini. Sehingga tidak terjadi perubahan makan yang signifikan (Fakhri, 2018).
Hasil penelitian oleh tim Balai Arkeologi Makassar, menyebutkan bahwa manusia
pendukung kebudayaan Toala yang menghuni kawasan Batu Ejaya menjadikan ular, kuskus,
kalelawar, tikus, babi Sulawesi dan babi rusa, anoa, monyet Sulawesi dan kerang sebagai sumber
makanan penting, adapun tikus menjadi makanan yang paling digemari (Mahmud, 2017).
2.3 Kerangka Pemikiran
Dalam kerangka pikir penelitian yang dibangun di sini, hal-hal tersebut di atas akan
menjadi landasan berfikir untuk membentuk premis-premis, yang dijamin kebenarannya
baik secara empiris maupun secara teoritis. Untuk kerangka pemikiran secara umum pada
penelitian ini akan diterapkan strategi bernalar deduktif, namun tidak mutlak suatu penelitian
terpaku pada suatu strategi bernalar tetapi pada tahap-tahap tertentu membutuhkan bantuan
strategi bernalar yang sebaliknya, yaitu induktif.
Menurut Mundardjito (1986), metode penelitian induktif-deduktif memulai kegiatannya
dengan tahap-tahap penelitian induktif, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, sintesis
serta interpretasi, dan kemudian deskripsi. Hasil penelitian induktif tersebut dilanjutkan dengan
kegiatan tahap penelitian deduktif, yaitu perumusan masalah dan hipotesis yang didasarkan
pada data yang diperoleh secara induktif. Kemudian secara aktif mengumpulkan data,
membuat sintesis serta interpretasi dan diakhiri dengan eksplanasi (Mundardjito,1986: 200-
201). Demikianlah metode penggabungan induktif-deduktif menurut pandangan Mundardjito,
akan dijadikan pedoman dasar tentang pemahaman metode ini. Dalam penelitian ini, runutan
penalaran seperti yang tersebut di atas tidak harus benar-benar sama, tetapi akan dibuat
sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan penelitian sendiri.
Pada tingkat penelitian secara umum, akan diterapkan penalaran deduktif sebagai pedoman
yang berfungsi mengarahkan penelitian, dan untuk menentukan hipotesa penelitian. Untuk
menguji hipotesa penelitian, akan digunakan perangkat penalaran induktif. Pengujian terhadap
hipotesa akan menentukan apakah kesimpulan yang ditarik dari hasil deduksi benar atau tidak,
karena dalam hal ini penulis menggunakan salah satu premis yang digunakan dalam proses
deduksi sebagai hasil verifikasi pada tahap deduksi hipotesis.
Dalam penelitian ini pula, penulis akan menerapkan pendekatan ekologi yang sebagaimana
pandangan umum yang berlaku bahwa lingkungan memberikan pengaruh yang sangat
besar kepada proses perkembangan hidup dan proses pembentukan masyarakat-masyarakat
manusia. Kondisi tanah, iklim, tumbuh-tumbuhan dan alam binatang sekitar manusia hidup
memainkan peranan yang tidak bisa diabaikan dalam menentukan kebudayaan-kebudayaan
arkeologis. Kebudayaan arkeologis merupakan refleksi dari kondisi-kondisi lingkungan dan cara
manusia mengeksploitasinya (Soejono,1981:10). Pendekatan ini akan diterapkan untuk
selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar untuk membentuk jembatan penalaran (bridging
argument) untuk sampai pada proses deduksi pada kerangka penelitian deduktif yang dibentuk
untuk penelitian ini.
Sebagaiamana diketahui bahwa Pada waktu masyarakat prasejarah di Indonesia masih
berada dalam taraf kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan, yaitu pada Kal aPlestosin,
alam menyediakan cukup banyak bahan makanan berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan(Soejono
1976:2). Jenis-jenis binatang yang hidup pada waktu itu adalah: beruang, tapir, badak, rusa, dan
gajah, yaitu yang termasuk Fauna Trinil. Faun a ini disebut jug a Fauna Sino Melayu karenadi
antarafauna itu terdapat jenis-jenis yang dijumpai di Cin a tetapi tidak ada di India (Heekeren
1955:32; 1972:26). Manusiapada waktu itu menggantungkan hidup sepenuhnya pada lingkungan
alam, dengan memburu binatang serta mencari dan mengumpulkan makanan dari jenis umbi-
umbian atau buah-buahan. Mereka hidup di tempat-tempat yang cukup persediaan bahan-bahan
kebu-tuhan untuk kelangsungan hidupnya. Tempat-tempat yang sering dikunjungi binatang yaitu
tepi-tepi danau atau padang-padang rumput, menjadi tempat yang layak bagi ajang
perburuannya. Hewa n yang menjadi buruan mereka adalah berupa jenis-jenis kerbau, badak,
rusa, monyet dan lai n sebagainya. D i dalam kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan
ini , secara tidak langsung terjadi pembagian pekerjaan antara kaum lelaki di satu pihak dan
kaum perempuan serta anak-anak di lai n pihak. Kaum lelaki bertugas mencari makan dengan
berburu binatang, sedangkan orang-orang perempuan dan anak-anak mengumpulkan makanan
yang terdiri dari: umbi-umbian, buah-buahan, kerang dan lain-lain. Orang laki-laki berburu
sampai ke tempat-tempat yang jau h selama beberapa waktu lamanya (Hole & Heizer 1965:191)

Pada umumnya tingkah laku yang terbentuk pada kelompok masyarakat ini adalah
bentuk respon dan adaptasi terhadap lingkungan yang menyediakan sumberdaya untuk
dikonsumsi khususnya fauna. Tradisi inilah yang ditunjukkan oleh kelompok masyarakat
yang mendukung kebudayaan gua-gua di Sulawesi Selatan pada umumnya, meskipun ada
kemungkinan untuk menetap pada gua-gua dengan jumlah populasi yang relatif kecil.

Berkaitan dengan penelitian ini, adalah kenyataan bahwa keletakan Leang Jarie
cukup jauh dari pantai, sekitar 24 kilometer ke arah barat menuju pantai Selat Makassar. Dengan
demikian jarak pantai dengan situs menyediakan ruang darat yang luas dengan segala
variabelnya, di antaranya menyediakan ruang perairan darat yang dapat menyediakan
sumberdaya fauna yang berbagai macam yang memungkinkan berubahnya pola konsumsi sesuai
dengan jenis fauna, Selain itu bentuk dan kondisi bentang alam darat kemungkinan besar
menyediakan sumberdaya fauna yang lebih besar . Dengan demikian gambaran umum
lingkungan purba wilayah Maros dan jenis fauna adalah faktor penentu untuk mengetahui
perubahan konsumsi fauna pada tiap lapisan buday di leang jarie kabupaten maros.

Anda mungkin juga menyukai