Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 bab VI tentang Pemerintah

Daerah pada dasarnya mengadung ketentuan mengenai daerah yang harus

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah daerah

merupakan suatu pemerintah otonom dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang dimana Daerah-daerah itu bersifat autonoom (streek - dan

locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi 1. Pemerintah dituntut

untuk memberikan pelayanan yang prima atau yang sebaik-baiknya dalam

menyelenggarakan pelayanan publik kepada masyarakat, namun isu-isu yang

berkembang dimasyarakat bahwa pelayanan publik identik dengan korupsi, kolusi

dan nepotisme atau istilahnya maladministrasi.

Sementara itu, laporan Ombudsman Republik Indonesia tahun 2019

menunjukkan terdapat 9.859 laporan masyarakat terhadap maladministrasi dalam

pelayanan publik. Berdasarkan klasifikasi pihak yang terlapor, instansi pemerintah

daerah menduduki urutan pertama dengan 3.233 laporan masyarakat. Substansi

maladministrasi terbanyak yang dilaporkan masyarakat adalah penundaan berlarut,

1
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, dan penyalahgunaan

wewenang2.

Menurut Ombudsman Republik Indonesia (2017) yang merupakan

penyelenggara pengawasan atas pelayanan publik menyebutkan bahwa ciri-ciri

maladministrasi yaitu pelayanan tidak sesuai urutan/mendahulukan pihak tertentu,

pungutan diluar ketentuan, tidak ada tanda terima atas pembayaran,

memperpanjang/memperpendek prosedur, penyelesaian layanan tidak tepat

waktu, persyaratan pelayanan tidak jelas/tidak sesuai ketentuan3.

Sistem pengendalian intern adalah suatu sistem yang dapat diterapkan untuk

membantu organisasi mencapai tujuannya. Jika organisasi memiliki pengendalian

intern, organisasi dapat mengantisipasi berbagai perubahan lingkungan yang terjadi4.

Pengendalian intern berisi serangkaian prosedur dan aturan yang perlu

dijalankan oleh unsur-unsur organisasi dalam menjalankan tugasnya. Dalam

pelaksanaan pelayanan, pengendalian intern meyakinkan proses pelayanan dapat

berjalan secara efektif dan efisien, sehingga kualitas pelayanan terjaga. Pemerintah

telah mengeluarkan peraturan sebagai ketentuan penerapan pengendalian intern pada

instansi pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP merupakan adopsi dari COSO

Internal Control Framework dengan dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai

2
Ombudsman Republik Indonesia. (2019). Laporan tahunan 2017. Jakarta : Sekretariat
Jenderal Ombudsman Republik Indonesia.
3
Ombudsman Republik Indonesia. (2017). Laporan tahunan 2017. Jakarta : Sekretariat
Jenderal Ombudsman Republik Indonesia.
4
Djanegara, Moermahadi Soerja. 2008. Menuju Good Corporate Governance –
Suatu Kajian Empiris. Bogor: Kesatuan Press.
dengan kebutuhan dan karakteristik pemerintahan di Indonesia. Selain itu, mengacu

pada unsur SPIP yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai

negara. SPIP terdiri dari lima unsur, yaitu lingkungan pengendalian, penilaian risiko,

kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan5.

Lingkungan pengendalian adalah keadaan dalam instansi pemerintah yang

mempengaruhi efektivitas pengendalian intern. Lingkungan pengendalian merupakan

unsur dominan yang mempengaruhi unsur pengendalian lainnya. Lingkungan

pengendalian yang buruk memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada

kegagalan efektivitas komponen lainnya6.

Menurut Sujarweni (2015), sistem pengendalian internal adalah suatu sistem

yang dibuat untuk memberi jaminan keamanan bagi unsur-unsur yang ada dalam

perusahaan7. Sejalan dengan hal ini pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang

ketentuan penerapan pengendalian internal yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP memiliki

peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh instansi

pemerintah.

Menurut PP No 80 Tahun 2006 tentang SPIP, Inspektorat Kabupaten

atau/ Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung

jawab langsung kepada bupati atau / walikota. Pengawasan intern adalah

seluruh proses kegiatan audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan

5
Suwanda, Dadang. dan Dailibas. 2013. Panduan Penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Jakarta: PPM.
6
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2008. Lingkungan Pengendalian. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan.
7
Sujarweni, V. W. (2015a). Sistem akuntansi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam

rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah

dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan

efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata pemerintahan

yang baik8.

Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, secara lebih

teknis dilaksanakan berdasarkan Permendagri No. 8 Tahun 2009 tentang

Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses

kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah berjalan secara

efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan

perundangundangan. Artinya pengawasan sebagai salah satu upaya untuk

membangun pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa9.

Berkaitan dengan kegiatan pengawasan, di daerah lebih meningkatkan

peranan Inspektorat Daerah sebagai satu-satunya unit pengawas fungsional di

daerah. Hal ini tercantum didalam peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51

Tahun 2010 tentang Pedoman Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah Tahun 2011 yang menegaskan bahwa :10

“Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan


oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang meliputi Inspektorat Jenderal
Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian,

8
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah.
9
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
10
Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal, Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 330.
Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota sesuai fungsi dan
kewenangannya.”

Inspektorat daerah kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat dalam

menjalankan pengawasan yang berkualitas harus menjalankan SPIP yang sesuai

dengan aturan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2006 tentang

SPIP tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Kabupaten mamasa tidak

terlepas dari adanya kemungkinan terjadinya risiko-risiko seperti dugaan kecurangan

dan maladministrasi. Berdasarkan Indeks Persepsi Maladminitrasi (Inperma) Tahun

2019 oleh Ombudsman RI menunjukkan bahwa indeks persepsi maladminitrasi di

Sulawesi Barat berada dilevel maladministrasi rendah dengan skor 4,38, seperti

terlihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Sebaran Indeks Persepsi Maladministrasi

No Provinsi Indeks Persepsi Maladministrasi


1 Aceh 4,64
2 Kalimantan Utara 4,63
3 Maluku 4,61
4 Gorontalo 4,40
5 Sulawesi barat 4,38
6 NTB 4,27
7 Papua 4,16
8 Sulawesi Utara 4,09
9 Maluku Utara 3,97
10 D.I Yogyakarta 3,73

Keterangan :

1. ≤ 4,50 Maladministrasi Rendah

2. 4,51 – 5,50 Maladminitrasi Sedang menuju Rendah

3. 5,51 – 6,50 Maladministrasi Sedang menuju Tinggi


4. ≥ 6,51 Maladmintrasi Tinggi

(Sumber : Inperma Ombudsman RI, 2019)11

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa Sulawesi Barat berada dilevel

maladministrasi rendah, namun bukan berarti bebas dari adanya dugaan

maladminitrasi, Atas dasar fenomena-fenomena tersebut, perlu dibahas dan dikaji

lebih lanjut mengenai Impelemntasi kebijakan terhadap penindaklanjutan temuan

kasus maladministrasi pada sistem pengendalian intern pemerintah di kabupaten

mamasa dengan berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan terhadap penindaklanjutan temuan kasus maladministrasi

pada sistem pengendalian intern pemerintah di kabupaten mamasa ?

2. Apakah kendala dalam menerapkan kebijakan terhadap penindaklanjutan

temuan kasus maladministrasi pada sistem pengendalian intern pemerintah di

kabupaten mamasa?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebijakan terhadap penindaklanjutan temuan kasus

maladministrasi pada sistem pengendalian intern pemerintah di kabupaten

mamasa

11
Ombudsman Republik Indonesia. (2019). Laporan tahunan 2019. Jakarta : Sekretariat
Jenderal Ombudsman Republik Indonesia.
2. Untuk mengetahui kendala dalam menerapkan kebijakan terhadap

penindaklanjutan temuan kasus maladministrasi pada sistem pengendalian intern

pemerintah di kabupaten mamasa.

D. Manfaat Masalah

1. Manfaat”secara Teoritis”

a. Memperbanyak”wawasan ilmu pengetahuan tentang maladministrasi pada

sistem pengendalian intern pemerintah

b. Menambah wawasan dan”mengembangkan teori tentang maladministrasi

pada sistem pengendalian intern pemerintah.

2. ManfaatPsecara Praktis”

a. Bagi”Instansi Pemerintah”

c. Agar”kedisiplinan khususnya dalam mencegah terjadinya maladministrasi

pada sistem pengendalian intern pemerintah”

b. Bagi”Aparatur Sipil Negara”

Memberikan”informasi kepada semua pegawai dilingkup Pemerintah

Kabupaten Toraja Utara agar lebih”mematuhi kebijakan yang telah

diterapkan Pemerintah terkait kedisiplinan serta memberikan informasi

kepada semua pegawai mengenai maladministrasi pada sistem pengendalian

intern pemerintah
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Implementasi Kebijakan

1. Pengertian Implementasi

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Wahab (2008:64)

adalah: Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.

Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to

provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat

terhadap sesuatu)”12. Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to

implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan

penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau

akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak

atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan

peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam

kehidupan kenegaraan. Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas

dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi adalah

tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-

pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan13.

12
Abdul Wahab, Solichin (2008). Analisis Kebijaksaan dari formulasi ke implementasi
kebijaksanaan negara. Jakarta : Bumi Aksara

13
Carl Van Horn dan Donal Van Meter , 1975, Model-model dalam Kebijakan
Implementasi, yongyakarta
Mazmanian dan Sabatier juga mendefinisikan implementasi yang

merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk

Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-

keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan”.

Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier merupakan pelaksanaan

kebijakan dasar berbentuk Undang-Undang juga berbentuk perintah atau

keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan.

Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu

seperti tahapan pengesahan Undang-Undang, kemudian output kebijakan dalam

bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang

bersangkutan14.

2. Pengertian Kebijakan

Istilah kebijakan secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris “policy”.

Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa

disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati berdasarkan

tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata “wisdom”.

Peneliti berpandangan bahwa istilah kebijakan berbeda dengan istilah

kebijaksanaan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengertian

kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih lanjut,

14
Mazmanian, Daniel A and Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public
Policy, Scott Foresman and Company, USA.
sedangkan kebijakan mencakup peraturan-peraturan yang ada didalamnya

termasuk konteks politik.

Pendapat Wahab (2008), merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah

tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor

berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi.

Oleh karena itu, kebijaksanaan menurut Anderson merupakan langkah tindakan

yang sengaja dilakukan oleh aktor yang berkenaan dengan adanya masalah yang

sedang dihadapi. Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich (Leo Agustino,

2008:7) adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh

seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan

dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang

untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Kebijakan

mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan

tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan

tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang

untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal tersebut berarti

kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial

yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang

bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan

tersebut akan mendapat kendala ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu

kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat.


3. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart (Winarno, 2012:101-

102) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah alat administrasi hukum

dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-

sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang

diinginkan.

Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan

kebijakan. Akan tetapi Pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus

mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak

yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu

kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan

masyarakat.

Implementasi kebijakan menurut Nugroho (2003:158) terdapat dua

pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung

mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui

formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut. Oleh karena

itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua

pilihan dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk

program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.


Pengertian implementasi kebijakan di atas, maka George C. Edward III

(Nawawi, 2009:138) mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi

keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Comunication (Komunikasi)

2. Resources (Sumber Daya)

3. Disposition (Disposisi)

4. Bureaucratic Structure (Struktur Birokrasi).

Pertama, Komunikasi implementasi mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. komunikasi diartikan sebagai proses

penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Selain itu juga dalam

komunikasi implementasi kebijakan terdapat tujuan dan sasaran kebijakan yang

harus disampaikan kepada kelompok sasaran, hal tersebut dilakukan agar

mengurangi kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan. Komunikasi kebijakan

memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transformasi

(transmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency). Dimensi

transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat

ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran dan pihak lain yang

terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang

ditransmisikan kepada para pelaksana, target group dan pihak lain yang

berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat


diterima jelas sehingga dapat diketahui yang menjadi maksud, tujuan dan

sasaran.

Kedua, sumber daya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

terlaksananya keberhasilan terhadap suatu implementasi, walaupun isi kebijakan

sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, akan tetapi apabila

implementator kekurangan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan maka

tidak akan berjalan dengan efektif. Sumber daya yang dapat mendukung

pelaksanaan kebijakan dapat berwujud, seperti sumber daya manusia, dan

sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, sumber daya informasi dan

kewenangan. Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang

mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi. Implementasi sangat

tergantung kepada sumber daya manusia (aparatur), dengan demikian sumber

daya manusia dalam implementasi kebijakan di samping harus cukup juga harus

memiliki keahlian dan kemampuan untuk melaksanakan tugas, anjuran dan

perintah dari atasan (pimpinan). Oleh karena itu, sumber daya manusia harus ada

ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang

dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang di tanganinya.

Sumber daya anggaran merupakan sumber daya yang mempengaruhi

implementasi setelah adanya sumber daya menusia, terbatasnya anggaran yang

tersedia menyebabkan kualitas pelayanan terhadap publik yang harus diberikan

kepada masyarakat juga terbatas. Terbatasnya anggaran menyebabkan disposisi


para pelaku rendah bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan oleh

pelaku terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Sumber daya peralatan merupakan sumber daya yang mempengaruhi

terhadap keberhasilan dan kegagalan suatu implementasi, menurut Edward III

yaitu:

“Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk


operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,
tanah dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan
pelayanan dalam implementasi kebijakan”.

Terbatasnya fasilitas peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan

kebijakan menyebabkan gagalnya pelaksanaan kebijakan, karena dengan

terbatasnya fasilitas sulit untuk mendapatkan informasi yang akurat, tepat, andal,

dan dapat di percaya akan sangat merugikan pelaksanaan akuntabilitas. Sumber

daya informasi dan kewenangan juga menjadi faktor penting dalam

implementasi, informasi yang relevan dan cukup tentang berkaitan dengan

bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Informasi tentang

kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi

kebijakan, dimaksudkan agar para pelaksana tidak akan melakukan suatu

kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana cara

mengimplementasikan. Kewenangan juga merupakan sumber daya lain yang

mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan. Menurut Edward III

menegaskan bahwa kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat


keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi

lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Ketiga, disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh

pelaksana kebijakan. Disposisi itu seperti komitmen, kejujuran, dan sifat

demokratik. Apabila pelaksana kebijakan mempunyai karakteristik atau watak

yang baik, maka dia akan melaksanakan kebijakan dengan baik sesuai dengan

sasaran tujuan dan keinginan pembuat kebijakan.

Menurut Van Meter dan Van Horn (Widodo, 2007:105) terdapat tiga

macam elemen yang mempengaruhi disposisi yaitu pengetahuan (cognition),

pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap

kebijakan, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak

(acceptance, neutrality, and rejection), intensitas terhadap kebijakan”.

Elemen yang dapat mempengaruhi disposisi adalah pengetahuan, di mana

pengetahuan merupakan elemen yang cukup penting karena dengan pengetahuan

tinggi yang dimiliki oleh aparatur dapat membantu pelaksanaan implementasi

tersebut. Pemahaman dan pendalaman juga dapat membantu terciptanya dan

terlaksananya implementasi sesuai dengan tujuan yang akan di capai. Respon

masyarakat juga dapat menentukan keberhasilan suatu implementasi, karena

dapat menentukan sikap apakah masyarakat menerima, netral atau menolak.\

Keempat, struktur birokrasi merupakan suatu badan yang paling sering

terlibat dalam implementasi kebijakan secara keseluruhan. Struktur Organisasi


yang bertugas melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh besar terhadap

pelaksanaan kebijakan. Dalam struktur birokrasi terdapat dua hal penting yang

mempengaruhinya salah satunya yaitu aspek struktur birokrasi yang penting dari

setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard

operating procedures atau SOP). SOP ini merupakan pedoman bagi pelaksana

kebijakan dalam bertindak atau menjalankan tugasnya. Selain SOP yang

mempengaruhi struktur birokrasi adalah fragmentasi yang berasal dari luar

organisasi.

Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi menurut Edward III di atas,

maka Van Meter dan Van Horn (Wahab, 2008:79) juga mengemukakan

beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumber-sumber kebijakan

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan

pelaksanaan

5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik”

4. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan


Menurut Bambang sunggono, implementasi kebijakan mempunyai beberapa

faktor penghambat, yaitu:

a) Isi Kebijakan

Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi

kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,sarana-

sarana dan penerapan prioritas,atau program-program kebijakan terlalu umum

atau sama sekali tidak ada.

Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan.

Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasikan dapat juga menunjukkan

adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti.

Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu

kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang

menyangkut sumberdaya pembantu,misalnya yang menyangkut waktu,

biaya/dana dan tenaga manusia.

b) Informasi

Implemntasi kebijakan public mengasumsikan bahwa para pemegang

peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat

berkaitan untuk dapat memainkan peranya dengan baik. Informasi ini justru

tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.

c) Dukungan
Pelaksaan suatu kebijakan public akan sangat sulit apabila pada

pengimplementasiannya tidak cukup dukungan unutuk pelaksaan kebijakan

tersebut.

d) Pembagian potensi

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu

kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantaranya para

pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan

diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi

pelaksana dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian

wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas

atau ditandai oleh adnya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas.

Menurut James Andrson, faktor-faktor yang menyebabkan anggota

masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik, yaitu:

1) Adanya konsep ketidak patuhan selektif terhadap hukum, dimana

terdapat beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan

publik yang bersifat kurang mengikat individu-individu.

2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan

dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai

atau bertentangan dengan peraturan hokum dan keinginan pemerintah.

3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara

anggota masyarakat yang mencendrungkan orang bertidak dengan

menipu atau dengan jalan melawan hukum.


4) Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan

yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi

sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan publik.

5) Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan

system nilai yang dimuat masyarakat secara luas atau kelompok-

kelompok tertentu dalam masyarakat.

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan

mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata

lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus

sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Pemerintah atau Negara, sehingga

apabila prilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan

pemerintah atau Negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah

efektif.Pressman dan Wildavsky dalamtachjan mengemukakan:

“Implementasi as to carry out, acoumplish fill full, produce, complete,”

maksudnya: membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, dan

melengkapi. Jadi secara etimologi implementasi itu dapat dimaksudkan

sebagai suatu aktifitas yang berhubungan dengan penyelesaian suatu

pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.”

B. Maladministrasi

1. Pengertian Maladministrasi
Maladministrasi berasal dari gabungan dua kata, yaitu „mala‟ dan

„administrasi‟. Mala adalah kata adjektif yang dalam hukum Perancis

diartikan sebagai buruk atau salah. Bahasa Latin menyebutnya „male‟

yang berarti buruk.15 „Malum‟ dalam bahasa Latin dapat juga berarti

wrong in and of itself.16 Sementara kata „administrasi‟ berarti

pelaksanaan kewajiban pemerintah.17 Dengan demikian maladministrasi memilik

arti pelaksanaan kewajiban pemerintah yang salah atau buruk dan pelaksanaan

kewajiban pemerintah yang memiliki hubungan dengan pelayanan publik kepada

warga negara. Maladministrasi adalah pelayanan publik yang salah atau buruk.

Maladministrasi disebut pula dengan misadministrasi yang

memiliki arti wrong administration.18 Bryan Garner mendefinisikan

maladministrasi dengan regulasi atau manajemen yang tidak baik, seperti

misalnya karena kapasitas pegawai (poor management or regulation, especially

in an official capasity).19

K.C. Wheare mengemukakan bahwa maladministrasi ialah

persoalan yang sangat luas dan sering terjadi di suatu organisasi

sosial. Dimana terdapat organisasi sosial disitulah maladministrasi terjadi. 20

15
Bryan A Garner, Black‟s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul: Thomson West, 2004),
hlm. 975.
16
Daniel Oran, Oran‟s Dictionary of The Law, 3rd edition, (Canada: West Legal Studies Thomson
Learning, 2000), hlm.15.
17
Donna Batten, Gale Encyclopedia of American Law, 3rd edition, (Farmington HillL Gale
Cengage Learning, 2010), hlm.11. 2
18
Henry Campbell black, Black‟s Law Dictionary Definition of Term and Phrases of American
and English Jurisprudence, Ancient and Modern, ST. Paul Minn: West Publishing Co.
19
Bryan A. Garner (ed), Black‟s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul: Thomson West, 2004),
hlm. 976.
20
K.C. Wheare, Maladmininistration and its Remedies, (London: Stevens & Sons Publication,
1933), hlm.1.
Department for Work and Pensions tidak mendefinisikan arti dari

maladministrasi. Namun, istilah „maladministrasi‟ sesekali dipergunakan guna

menjelaskan ketika perbuatan kita atau ketika kita tidak berbuat apapun sehingga

mengakibatkan tidak sesuainya komitmen dengan pelayanan yang diberikan

kepada konsumen. Hal tersebut turut berlaku pada keadaan di mana kita tidak

melakukan suatu perbuatan dengan tepat maupun memberikan pelayanan yang

buruk.21

2. Bentuk-bentuk Maladministrasi

Umumnya jenis-jenis dari Maladministrasi adalah berupa

Penyalahgunaan wewenang, Penundaan berlarut, Pengabaian kewajiban hukum,

Penyimpangan prosedur, Kelalaian, Tidak transparan, Tidak profesional,

Diskriminasi, Tindakan sewenang-wenang, Ketidakjelasan informasi, Salah

pengelolaan, serta Ketidakpastian hukum.22 Secara sintaksis substansi Pasal 1

butir 3 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang memberikan

definisi tentang Maladministrasi dapat diurai sebagai berikut:

“Maladministrasi adalah:
1) Perilaku dan perbuatan melawan hukum,
2) Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang,
3) Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang itu,
4) Kelalaian,
5) Pengabaian kewajiban hukum,
6) Dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
7) Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan,
8) Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial,
9) Bagi masyarakat dan orang perseorangan.”
21
Departement for Work and Pension, Financial Redress for Maladministration, special payment
Scheme: Policy and Giding Principles, April 2012, hlm.5. 3
22
Hendra Nurtjahjo, Yustus Maturbongs, Diani Indah Rachmitasari, op.cit., hlm. 5. 3
Termasuk bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan yang

dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:23

1) Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan

dengan kepentingan kantor.

2) Deceitful practice yaitu praktek-praktek kebohongan, tidak

jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang

menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan

birokrat.

3) Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang

yang dimilikinya, termasuk didalamnya mempergunakan

kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan,

dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya

dirinya, orang lain kelompok maupun korporasi yang merugikan

keuangan negara.

4) Defective Policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir

dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-

komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-

undang atau pengesahan undang-

undang, tetapi tidak sampai ditindak lanjuti menjadi kenyataan.

5) Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:

a) Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu

kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah


23
Ibid., hlm. 12-13.
jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir

yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut

sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-

kasus yang di peti es kan.

b) Red Tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu

lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.

c) Cicumloution yaitu Penyakit para birokrat yang terbiasa

menggunakan katakata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak

ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak masa.

Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang

sifatnya bisa membingungkan masyarakat.

d) Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari

model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu

sendiri. Penyakit ini nampak, dalam pelayanan birokrasi yang

kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa

melihat kasus-perkasus.

e) Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk

menjilat pada atasannya. Ada gejala Asal Bapak senang.

Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan

melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan

loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.


f) Over staffing yaitu Gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk

pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi

efisiensi.

g) Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan

banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan,

tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya

fungsinya.

h) Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat.

Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada

pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabuhi.

Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek

keuangan.

C. Sistem Pengendalian Intern

1. Pengertian pengendalian intern

Pengendalian intern ialah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan

komisaris, manajemen, dan personil satuan usaha lainnya, yang dirancang untuk

mendapat keyakinan memadai tentang pencapaian tujuan dalam hal-hal berikut:

keandalan pelaporan keuangan, kesesuaian dengan undang-undang, dan

peraturan yang berlaku, efektifitas dan efisiensi operasi. Al Haryono Jusup

(2001:252).

Menurut Mulyadi (2001:163), “sistem pengendalian intern meliputi

struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk


menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data

akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan

manajamen.

Pengertian sistem pengendalian intern menurut AICPA ( American

Institute of Certified Public Accountants ) yang dikutip oleh Bambang Hartadi

menyebutkan, sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, semua

metode dan ketentuan-ketentuan yang terkoordinasi yang dianut dalam

perusahaan untuk melindungi harta kekayaan, memeriksa ketelitian, dan

seberapa jauh data akuntansi dapat dipercaya meningkatkan efisiensi usaha dan

mendorong ditaatinya kebijakan perusahaan yang telah diterapkan. Bambang

Hartadi (1987 : 121).

Sedangkan IAI (2001: 319.2) mendefinisikan Pengendalian intern

sebagai suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan

personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai

tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: (a) Keandalan laporan

keuangan, (b) Efektivitas dan efisiensi operasi, dan (c) Kepatuhan terhadap

hukum yang berlaku.

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami

bahwa pengendalian intern adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur

dan tidak terbatas pada metode pengendalian yang dianut oleh bagian akuntansi

dan keuangan, tetapi meliputi pengendalian anggaran, biaya standar, program

pelatihan pegawai dan staf pemeriksa intern.


2. Tujuan Pengendalian Intern

Menurut Arens (2008:316), tujuan pengendalian intern adalah :

1. Keandalan Laporan Keuangan. Manajemen memiliki tanggung jawab

hukum maupun profesional untuk meyakinkan bahwa informasi

disajikan dengan wajar sesuai dengan ketentuan dalam pelaporan

seperti General Accepted Accounting Prinsiple (GAAP).

2. Efesiensi dan efektivitas kegiatan operasi. Pengendalian dalam suatu

perusahaan akan mendorong penggunaan sumber adya perusahaan

secara efisien dan efektif untuk mengoptimalkan sasaran yang dituju

perusahaan.

3. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan. Perusahaan publik,

perusahaan non publik, maupun organisasi nirlaba diharuskan untuk

mematuhi beragam ketentuan hukum dan peraturan.

Jadi, tujuan utama dirancangnya pengendalian intern dari segi pandang

manajemen adalah untuk dapat diperolehnya data yang dapat dipercaya,

dipatuhinya kebijakan akuntansi, dan pengamanan aset perusahaan. Namun pada

umumnya tujuan pengendalian intern tersebut merupakan tujuan ideal yang

harus dicapai setiap perusahaan, tercapai atau tidaknya tujuan tersebut

tergantung pada kelengkapan unsur-unsur pengendalian intern yang

dilaksanakan oleh perusahaan serta hubungan yang saling menangani diantara

unsur-unsur tersebut.
3. Komponen pengendalian intern

Pengendalian intern mencakup 5 (lima) komponen dasar kebijakan dan

prosedur yang dirancang serta digunakan oleh manajemen untuk memberikan

keyakinan memadai bahwa tujuan pengendalian dapat dipenuhi.

Menurut IAPI (2011:319.8-10), komponen pengendalian intern terdiri dari :

1. Lingkungan Pengendalian

Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk semua komponen

pengendalian intern yang lain, menyediakan disiplin dan struktur.

Lingkungan pengendalian mencakup faktor-faktor berikut ini:

a. Integritas dan nilai etika merupakan produk dari standar etika


dan perilaku entitas, bagaimana hal ini dikomunikasikan, dan
ditegakkan dalam praktik. Standar tersebut mencakup tindakan
manajemen untuk menghilangkan atau mengurangi dorongan
dan godaan yang mungkin menyebabkan personel melakukan
tindakan tidak jujur, melanggar hukum, atau melanggar
etika.Standar tersebut juga mencakup komunikasi nilai-nilai dan
standar prilaku entitas kepada personel melalui pernyataan
kebijakan dan kode etik serta dengan contoh nyata.
b. Komitmen terhadap kompetensi Komitmen terhadap kompetensi
mencakup pertimbangan manajemen atas tinggkat kompetensi
untuk pekerjaan tertentu dan bagaimana tingkat tersebut
diteremahkan ke dalam persyaratan keterampilan dan
pengetahuan.
c. Partisipasi dewan komisaris dan komite audit
Atribut yang berkaitan dengan dewan komisaris atau komite
audit ini mencakup independensi dewan komisaris atau komite
audit dari manajemen, pengalaman dan tingginya pengetahuan
anggotanya, luasnya keterlibatan dan kegiatan pengawasan,
memadainya tindakan, tingkat sulitnya pertanyaan-pertanyan
yang diajukan oleh dewan atau komite tersebut kepada
manajemen, dan interaksi dewan atau komite tersebut dengan
auditor intern dan ekstern
d. Filosofi dan gaya operasi manajemen Falsafah dan gaya operasi
manajemen menjangkau tentang karakteristik yang meliputi
antara lain; pendekatan manajemen dalam mengambil dan
mamantau risiko usaha; sikap dan tindakan manajemen terhadap
pelaporan keuangan dan upaya manajemen untuk mencapai
anggaran, laba serta tujuan bidang keuangan dan sasaran operasi
lainnya.
e. Struktur organisasi Struktur organisasi suatu entitas memberikan
kerangka kerja menyeluruh bagi perencanaan, pengarahan, dan
pengendalian operasi. Selain itu, struktur organisasi harus
menetapkan wewenang dan tanggung jawab dalam entitas
dengan cara yang semestinya.
f. Pembagian wewenang dan tanggung jawab
Metode ini mempengaruhi pemahaman tehadap hubungan
pelaporan dan tanggung jawab yang ditetapkan dalam entitas.
g. Kebijakan dan praktik sumber daya manusia
Praktik dan kebijakan karyawan berkaitan dengan pemekerjaan,
orientasi, pelatihan, evaluasi, bimbingan, promosi, dan
pemberian kompensasi, dan tindakan perbaikan.
2. Penaksiran Risiko

Penaksiran risiko entitas untuk tujuan pelaporan keuangan merupakan

pengidentifikasian, analisis, dan pengelolaan risiko yang relevan

dengan penyusunan laporan keuangan yang disajikan secara wajar


sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Risiko dapt timbul atau berubah karena keadaan seperti berikut ini:

a. Perubahan dalam ingkungan operasi. Perubahan dalam lingkungan


peraturan dan operasi dapat mengakibatkan perubahan dalam
tekanan persaingan dan risiko yang berbeda dapat mengakibatkan
perubahan dalam tekanan persaingan dan risiko yang berbeda
secara signifikan.
b. Personel baru. Personel baru mungkin memiliki okus yang berbeda
atas atau pemahaman terhadap pengendalian intern.
c. Sistem informasi baru atau yang diperbaiki. Perubahan signifikan
dan cepat dalam sistem informasi dapat mengubah risiko berkaitan
dengan pengendalian intern.
d. Pertumbuhan yang pesat. Perluasan operasi yang signifikan dan
cepat dapat memberikan tekanan terhadap pengendalian dan
meningkatkan risiko kegagalan dalam pengendalian.
e. Teknologi baru. Pemasangan teknologi baru kedalam operasi atau
sistem informasi dapat mengubah risiko yang berhubungan dengan
pengendalian intern.
f. Lini produk, produk, atau aktivitas baru. Dengan masuk ke bidang
bisnis atau transaksi yang di dalamnya entitas belum memiliki
pengalaman dapat mendatangkan risiko baru yang berkaitan
dengan pengendalian intern.
g. Restrukturisasi korporat. Restrukturisasi dapat disertai dengan
pengurangan staf dan perubahan dalam supervise dan pemisahan
tugas yang dapat mengubah risiko yang berkaitan dengan
pengendalian intern.
h. Operasi luar negeri. Perluasan atau pemerolehan operasi luar negeri
membawa risiko baru atau seringkali risiko yang unik yang dapat
berdampak terhadap pengendalian intern, seperti risiko tambahan
atau risiko yang berubah dari transaksi mata uang asing.
i. Penerbitan standar akuntansi baru. Pemakaian prinsip akuntansi
baru, atau perubahan prinsip akuntansi dapat berdampak terhadap
risiko dalam penyusutan laporan keuangan.
3. Aktivitas Pengendalian

Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang

membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan telah

dilaksanakan untuk menghadapi risiko dalam pencapaian tujuan

entitas. Umumnya, aktivitas pengendalian yang mungkin relevan

dengan audit dapat digolongkan sebagai kebijakan dan prosedur yang

berkaitan dengan berikut ini:

a. Review kinerja. Aktivitas pengendalian ini mencakup review


atas kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran,
prakiraan, atau kinerja periode sebelumnya; menghubungkan
satu rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu
sama lian, bersama dengan analisis atas hubungan dan tindakan
penyelidikan dan perbaikan; dan review atas kinerja
fungsional atau aktivitas, seperti review oleh manajer kredit,
konsumen sebuah bank atas laporan cabang, wilayah, tipe
pinjaman, tentang persetujuan dan pengumpulan pinjaman.
b. Pengolahan informasi. Berbagai pengendalian dilaksanakan
untuk mengecek ketepatan, kelengkapan, dan otorisasi transaksi.
Dua pengelompokan aktivitas pengendalian informasi
(application control). Pengendalian umum biaanya mencakup
pengendalian atas operasi pusat data, pemerolehan dan
pemeliharaan perangkat lunak sistem, keamanan
akses, pengembangan dan pemeliharaan sistem aplikasi.
Pengendalian intern ini berlaku untuk mainframe, mini
komputer, dan lingkungan pemakaian akhir (end-user).
Pengendalian aplikasi berlaku untuk penggolahan aplikasi
secara individual. Pengendalian ini membantu
menetapkan bahwa transaksi, adalah sah, diotorisasi semestinya,
dan diolah secara lengkap dan akurat.
c. Pengendalian fisik. Aktivitas ini mencangkup keamanan fisik
aktiva, termasuk penjagaan memadai seperti fasilitas yang
terlindungi, dari akses terhadap aktiva dan catatan; otorisasi untk
akses ke program komputer dan data files; dan perhitungan
secara periodik dan perbandingan dengan jumlah yang
tercantum pada catatan pengendali. Luasnya pengendalian
fisik yang ditujukan untuk mencegah pencurian terhadap aktiva
adalah relevan keandalan penyusutan laporan keuangan, dan
oleh karena itu relevan dengan audit, adalah tergantung dari
keadaan seperti jika aktiva rentan terhadap perlakuan tidak
semestinya.
d. Pemisahan tugas. Pembebanan tanggung jawab ke orang yang
berbeda untuk memberikan otorisasi transaksi, pencatatan
transaksi, menyelenggarakan penyimpanan aktiva ditujukan
untuk mengurangi kesempatan bagi seseorang dalam posisi baik
untuk berbuat kecurangan dan sekaligus menyembunyikan
kekeliruan dan ketidak beresan dalam menjalankan tugasnya
dalam keadaan normal.

4. Informasi dan komunikasi

Sistem informasi yang relevan dengan tujuan pelaporan keuangan,

yang mencakup sistem akuntansi, terdiri dari metode dan catatan yang
dibangun untuk mencatat, mengolah, meringkas, dan melaporkan

transaksi entitas (termasuk peristiwa dan keadaan) dan untuk

menyelenggarakan akuntabilitas terhadap aktiva, utang, ekuitas yang

bersangkutan. Sistem informasi mencakup metode dan catatan yang

digunakan untuk:

a. Mengidentifikasi dan mencatat semua transaksi yang sah.


b. Menjelaskan pada saat yang tepat transaksi secara cukup rinci
untuk memungkinkan penggolongan semestinya transaksi untuk
pelaporan
keuangan.
c. Mengukur nilai transaksi dengan cara sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pencatatan nilai moneter semestinya dalam
laporan keuangan.
d. Menentukan periode waktu terjadinya transaksi untuk
memungkinkan pencatatan transaksi dalam periode akuntansi
semestinya.
e. Menyajikan transaksi semestinya dan pengungkapan yang
berkaitan dalam laporan keuangan.
5. Pemantauan

Pemantauan adalah proses penetapan kualitas kinerja pengendalian intern

sepanjang waktu. Pemantauan mencakup penentuan desain dan operasi

pengendalian tepat waktu dan tindakan perbaikan yang dilakukan. Dalam

banyak entitas, auditor intern atau personel yang melaksanakan fungsi


semacam itu, membantu untuk melakukan pemantauan atas aktivitas

entitas melalui evaluasi secara terpisah.

4. Keterbatasan pengendalian intern

Menurut Mulyadi (1998:173), keterbatasan pengendalian intern mencakup 5

(lima) hal, yaitu :

1. Kesalahan dalam pertimbangan.

Seringkali, manajemen dan personel lain dapat salah dalam

mempertimbangkan keputusan bisnis yang diambil atau dalam

melaksanakan tugas rutin karena tidak memadainya informasi,

keterbatasan waktu, atau tekanan lain.

2. Gangguan.

Gangguan dalam pngendalian yang telah ditetapkan dapat terjadi karenna

personel secara keliru memahami perintah atau membuat kesalahan

karena kelalaian, tidak adanya perhatian, atau kelelahan.

3. Kolusi.

Tindakan bersama beberapa individu untuk tujuan kejahatan disebut

dengan kolusi (collusion). Kolusi dapat mengakibatkan bobolnya

pengendalian intern yang dibangun untuk melindungi kekayaan entitas

dan tidak terungkapnya ketidak beresan atau tidak terdeteksinya

kecurangan oleh pengendalian intern yang dirancang.

4. Pengabaian oleh manajemen.


Manajemen dapat mengakibatkan kebijakan atau prosedur yang telah

ditetapkan untuk tujuan yang tidak sah seperti keuntungan pribadi

manajer, penyajian kondisi keuangan yang berlebihan, atau kepatuhan

semu.

5. Biaya lawan manfaat.

Biaya yang diperlukan untuk mengopersikan pengendalian intern tidak

boleh melebihi manfaat yang diharapkan dari pengendalian intern

tersebut.

D. Inspektorat Daerah

1. Otoritas pelaksanaan inspektorat daerah

Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007

tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah ditegaskan bahwa Pengawasan ataspenyelenggaraan pemerintahan

daerah dilaksanakan oleh AparatPengawas Intern Pemerintah (APIP) yang

meliputi Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga

Pemerintah NonKementerian, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat

Kabupaten/Kotasesuai fungsi dan kewenangannya.24

Inspektorat Daerah mempunyai tugas pokok melakukan kewenangan

kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) di bidang pengawasan fungsional

terhadap penyelenggaraan Pemerintah Daerah.Untuk melaksanakan tugas

24
Penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.23 Tahun 2007
tersebut diatas, Inspektorat Daerah mempunyai kewenangan penyelenggaran

fungsi :25

1. Pembinaan pelaksanaan tugas Pemerintahan Daerah di bidang

pengawasan

2. Pemeriksaan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

3. Pengusutan atas kebenaran laporan atas pengaduan terhadap

penyimpangan/penyalahgunaan dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah

4. Pelayanan teknis administratif dan fungsional

Salah satu inspektorat daerah adalah Inspektorat Kabupaten/Kota.

Adapun kedudukan inspektorat kabupaten/kota diatur dalam PeraturanMenteri

Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis organisasi Dan

Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada Pasal 1 ayat (2)

dinyatakan bahwa:

“Inspektorat Kabupaten / Kota adalah aparat pengawas fungsional yang

berada dibawah dan bertanggung jawab kepada bupati /

walikota”

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa:

25
Handriyas Putra, Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Fungsional Di Inspektorat Kota
Solok,Padang,2011,dalamhttp://repository.unand.ac.id/17421/1/PELAKSANAAN_FUNGSI_PENG
AWASAN_FUNGSIONAL_DI_INSPEKTORAT_KOTA_Makassar.pdf
“Inspektorat kabupaten/kota berkedudukan di bawah dan

bertanggungjawab kepadabupati/walikota dan secara teknis administratif

mendapat pembinaan dari sekretaris daerah kabupaten/kota.”

Inspektorat kabupaten/kota sebagai aparat pengawas intern di

daerah kemudian diatur pada PP SPIP atau Peraturan Pemerintah

Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal

Pemerintah Daerah.Berdasarkan ketentuan Pasal 47 PP SPIP dinyatakan:

1) Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota

bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem

Pengendalian Intern di lingkungan masing-masing.

2) Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem

Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a. pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi

Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan

negara; dan

b. pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pasal 48 ayat (1) menyatakan :

“Pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat

(2) huruf a dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.”

Kemudian Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa:

Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas:

a. BPKP;
b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional

melaksanakan pengawasan intern;

c. Inspektorat Provinsi;

d. Inspektorat Kabupaten/Kota.

Lebih lanjut di dalam Pasal 49 ayat (6) dinyatakan:

“Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap

seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi

satuan kerja perangkat kabupaten/kota yang dibiayai dengan

anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.”

Inspektorat kabupaten/kota juga diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (PP No.75 Tahun 2005).

Kedudukan inspektorat kabupaten/kota menurut Pasal 24 PP No. 79

Tahun 2005 adalah sebagai berikut :

1. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah

dilaksanakanoleh aparat pengawas intern pemerintah

berdasarkan fungsi dan kewenangannya;

2. Aparat pengawas intern pemerintah adalah inspektorat jenderal

kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah

nonkementrian,

inspektorat provinsi, dan inspektorat daerah;


3. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh pejabat pengawas

pemerintah;

4. Pejabat pengawas pemerintah ditetapkan oleh menteri/menteri

negara/pimpinan lembaga pemerintah non kementrian di

tingkat

pusat, oleh gubernur di tingkat provinsi, dan bupati/walikota di

tingkat kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;

5. Tata cara dan persyaratan pengangkatan, pemindahan,

pemberhentian dan peningkatan kapasitas pejabat pengawas

pemerintah daerah diatur dengan peraturan menteri.

Sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa

Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai salah satu Aparat

Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) maka tugas dan

fungsi

Inspektorat Kabupaten/kota yaitu membantu pimpinan

(Bupati/Walikota) dalam bidang pemeriksaan dan

pengendalian di bidang perencanaanprogram pengawasan,

perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan,pengusutan,

pengujian dan penilaian tugas pengawasan. Berdasarkan hal

tersebut, maka kewenangan Inspektorat Kabupaten/Kota

dalampengawasan fungsional adalah melakukan pengawasan


danmemeriksa terhadap jalannya pemerintah daerah yang

objektif,pengawasan terhadap keuangan daerah, pengawasan

meliputi semua dinas yang berada pada lingkungan pemerintah

Kabupaten/Kota

2. Fungsi Inspektorat

Inspektorat mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional

terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah danPengelolaan Badan Usaha

Milik Daerah serta Usaha Daerah lainnya.Disamping itu Inspektorat mempunyai

fungsi yaitu :

a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengawasan fungsional;

b. Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah oleh Perangkat Daerah dan pengelolaan Badan Usaha Milik

Daerah dan Usaha Daerah lainnya,

c. Pelaksanaan pemeriksaan, pengujian dan penilaian atas kinerja

Perangkat Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah serta Usaha

Daerah lainnya;

d. Pelaksanaan pengusutan dan penyelidikan terhadap dugaan

penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang baik berdasarkan

temuan hasil pemeriksaan maupun pengaduan atau informasi dari

berbagai pihak;
e. Pelaksanaan pemeriksaan, pengujian dan penilaian atas kinerja

Perangkat Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah serta Usaha

Daerah lainnya;

f. Pelaksanaan pengusutan dan penyelidikan terhadap dugaan

penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang baik berdasarkan

temuan hasil pemeriksaan maupun pengaduan atau informasi dari

berbagai pihak;

g. Pelaksanaan tindakan awal sebagai pengamanan diri terhadap

dugaan penyimpangan yang dapat merugikan daerah;

h. Pelaksanaan fasilitasi dalam penyelenggaraan otonomi daera

melalui pemberian konsultasi;

i. Pelaksanaan koordinasi tindak lanjut hasil pemeriksaan. Aparat

pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP);

j. Pelaksanaan pelayanan informasi pengawasan kepada semua

pihak;

k. Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan pihak yang

berkompeten dalam rangka menunjang kelan-caran tugas

pengawasan;

3. Fungsi Inspektorat Daerah

Inspektorat Kota mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang

pengawasan yang meliputi pemerintahan, pembangunan, sosial


kemasyarakatan serta keuangan dan kekayaan daerah. Selain itu perlu

diketahui bahwa selain Fungsi-fungsi Inspektorat Provinsi atau daerah,

meliputi :

1. Perencanaan program pengawasan

2. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan

3. Pembinaan dan pelaksanaan pengawasan meliputi bidang

pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan sertakeuangan

dan kekayaan daerah

4. Pemeriksaan, pengusutan pengujian dan penilaian tugas

pengawasan

5. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota/Bupati sesuai

dengan tugas dan fungsinya Sedangkan Inspektorat Kota/kabupaten

mempunyai kedudukan, tugas pokok dan fungsi yang hampir sama

tapi dalam konteks Kota/kabupaten masing-masing, yang diatur dan

ditetapkan dengan Perda masing-masing kota/kota sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh sebab itu, orang-orang yang akan ditempatkan pada lembaga

lembaga pengawasan perlu dipersiapkan secara matang melalui pola

pembinaan terpadu dan berkesinambungan.

4. Mekanisme Pengawasan Inspektorat Daerah

Pelaksanaan/Mekanisme pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

dilaksanakan berdasarkan pada Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT),


sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Permendagri Nomor 23 Tahun

2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, menyatakan :

1) Penyusunan rencana pengawasan tahunan atas penyelenggaraan

pemerintahan daerah Kabupaten dan Kota dikoordinasikan oleh

Inspektur Provinsi.

2) Rencana pengawasan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disusun dalam bentuk Program Kerja Pengawasan Tahunan

(PKPT) dengan berpedoman pada kebijakan pengawasan.

3) Penyusunan PKPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

didasarkan atas prinsip keserasian, keterpaduan, menghindari

tumpang tindih dan pemeriksaan berulang-ulang serta

memperhatikan efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan sumber

daya pengawasan.

4) Rencana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT), sebagaimana yang

diatur dalam ketentuan Pasal 6 Permendagri Nomor 23 tahun 2007, yang

menyebutkan :

a. PKPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 meliputi :

ruang lingkup;

b. sasaran pemeriksaan;
c. SKPD yang diperiksa;

d. jadwal pelaksanaan pemeriksaan;

e. jumlah tenaga;

f. anggaran pemeriksaan; dan

g. laporan hasil pemeriksaan yang diterbitkan.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 8 Permendagri 23 tahun 2007,

menyatakan :

1) Pejabat Pengawas Pemerintah melaksanakan pengawasan atas

penyelenggaraan pemerintahan daerah berpedoman pada PKPT.

2) Pejabat Pengawas Pemerintah dalam melaksanakan pengawasan

atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berkoordinasi dengan

Inspektur Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota.

Pejabat Pengawas Pemerintah, dalam melaksanakan pengawasan

penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui kegiatan

pemeriksaan,monitoring dan evaluasi. Kegiatan pemeriksaan

dilaksanakan berpedoman pada Daftar Materi Pemeriksaan (DMP).

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 Permendagri

Nomor 23 Tahun 2007, menegaskan :

1) Kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,

meliputi:

a. Pemeriksaan secara berkala dan komprehensif terhadap


kelembagaan, pegawai daerah, keuangan daerah, barang

daerah,urusan pemerintahan;

b. Pemeriksaan dana dekonsentrasi;

c. Pemeriksaan tugas pembantuan; dan

d. Pemeriksaan terhadap kebijakan pinjaman dan hibah luar

negeri.

2) Kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan berdasarkan Daftar Materi Pemeriksaan.Sasaran

pemeriksaan Rencana Pengawasan Tahunan (RPT) yang

dituangkan dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT),

sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 51

Tahun 2010 maka yang menjadi obyek pemeriksaan Inspektorat

Kabupaten/Kota meliputi :

1) Semua SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota.

2) Perusahaan Daerah, apabila Kepemilikan/Pengelolaan masih

dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

3) Kecamatan.

4) Desa/Kelurahan.

5) Pelaksanaan Tugas Pembantuan dari APBD Kabupaten/Kota

di Desa/Kelurahan.
6) Pelaksanaan Tugas Pembantuan dengan sumber anggaran dari

APBN dan/atau APBD Provinsi berdasarkan pelimpahan/Joint

Audit.

E. Penelitian Terdahulu

Ada”beberapa penelitian terdahulu yang”menjadi referensi yang relevan dengan

penelitian ini, antara”lain :

Tabel 1
Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Tahun Hasil Penelitian
1 Nuryani Tadeko Pengaruh Sistem 2019 Penerapan sistem
Pengendalian Intern pengendalian intern
Pemerintah Terhadap yang terdiri dan
Kualitas Pelayanan lingkungan
Pada Satuan Kerja pengendalian,
Perangkat Daerah penilaian risiko,
(Survey Pada kegiatan
Pemerintah Daerah pengendalian,
Kabupaten Banggai) informasi dan
komunikasi, serta
pemantauan dan
kualitas pelayanan
pada
SKPD Kabupaten
Banggai menunjukkan

hasil yang baik.


2 Magfirah Evaluasi Sistem 2020 Lingkungan
Rahman Pengendalian Intern pengendalian sudah
Pemerintah Atas sesuai dan
Pelayanan Perizinan dilaksanakan dengan
Pada Dinas Penanaman baik, aturan perilaku
Modal Dan diterapkan dengan
Pelayanan Terpadu baik, komunikasi yang
Satu Pintu Daerah kondusif antar
Provinsi Sulawesi pegawai, adanya
Utara pembentukan
struktur organisasi
dengan tugas dan
wewenang yang
sesuai dan selalu
dilakukan
pembinaan terhadap
pegawai.

F. Kerangka Konseptual

Merupakan”sebuah bentuk kerangka berfikir yang dapat digunakan sebagai

pendekatan dalam”memecahkan masalah.Biasanya kerangka penelitian ini mengunakan

pendekatan ilmiah”dan memperhatikan hubungan antara variabel dalam proses

analisisnya.”Adapun kerangka konseptual yang akan menjadi pondasi dari

penelitian”ini adalah Implementasi kebijakan terhadap penindaklanjutan temuan kasus

maladministrasi pada siste pengendalian intern pemerintah di kabupaten Mamasa.

Berdasarkan rumusan masalah yang pertama dan kedua dapat disimpulkan

bahwa Umumnya Maladministrasi berupa Penyalahgunaan wewenang, Penundaan

berlarut, Pengabaian kewajiban hukum, Penyimpangan prosedur, Kelalaian, Tidak

transparan, Tidak profesional, Diskriminasi, Tindakan sewenang-wenang,

Ketidakjelasan informasi, Salah pengelolaan, serta Ketidakpastian hukum

(Wheare,1933). Selain itu menurut IAPI (2011:319.8-10) menyebutkan bahwa

Pengendalian intern mencakup 5 (lima) komponen dasar kebijakan dan prosedur yang

dirancang serta digunakan oleh manajemen untuk memberikan keyakinan memadai

bahwa tujuan pengendalian dapat dipenuhi. Adapun 5 komponen yang dimaksud yakni
lingkungan pengendalian, penaksiran resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan

komunikasi serta pemantauan. Menurut teori Van Meter dan Van Horn (2008:79)

beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan,

yaitu (1) Ukuran dan tujuan kebijakan, (2) Sumber-sumber kebijakan (3) Ciri-ciri atau

sifat Badan/Instansi pelaksana (4) Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-

kegiatan pelaksanaan (5) Sikap para pelaksana, dan (6) Lingkungan Ekonomi, Sosial

dan Politik. Dengan indikator-indikator yang ada diatas dapat diketahui bahwa

Inspektorat Kabupaten/kota yaitu membantu pimpinan (Bupati/Walikota) dalam bidang

pemeriksaan dan pengendalian di bidang perencanaanprogram pengawasan, perumusan

kebijakan dan fasilitasi pengawasan,pengusutan, pengujian dan penilaian tugas

pengawasan. Berdasarkan hal tersebut, maka kewenangan Inspektorat Kabupaten/Kota

dalampengawasan fungsional adalah melakukan pengawasan danmemeriksa terhadap

jalannya pemerintah daerah yang objektif,pengawasan terhadap keuangan daerah,

pengawasan meliputi semua dinas yang berada pada lingkungan pemerintah

Kabupaten/Kota

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual

Maladministrasi

Bentuk Maladministrasi Komponen pengendalian


(Wheare,1993) intern
1. Penyalahgunaan (IAPI,2011)
wewenang 1.lingkunganpengendalian,
2. Penundaan berlarut 2. penaksiran resiko,
3. Pengabaian kewajiban 3. aktivitas pengendalian
hukum 4. informasi dan komunikasi
4. Penyimpangan prosedur 5. pemantauan
5. kelalaian
6. tidak transparan
7. tidak profesional Implementasi Kebijakan
8. Diskriminasi (George C. Edward III, 2008)
1. Comunication (Komunikasi)
2. Resources (Sumber Daya)
3. Disposition (Disposisi)
4. Bureaucratic Structure (Struktur
Birokrasi).
BAB III

METODEPPENELITIAN

A. Tipe”dan Dasar”Penelitian

Dalam”penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian”kualitatif.

Penelitian”kualitatif bertujuan untuk mengungkapkan informasi kualitatif sehingga

lebih menekankan pada masalah proses”dan makna dengan mendeskripsikan sesuatu

masalah.”Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui atau

menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti atau penelitian”perbandingan

atau menghubungkan dengan variabel lain”(Sugiono, 2009:11).

1. Tipe”Penelitian

Penelitian”deskriptif kualitatif merupakan salah satu”dari jenis penelitian yang

termasuk dalam”jenis penelitian kualitatif. Adapun tujuan dari penelitian ini

adalah”untuk mengungkapkan kejadian dan fakta, keadaan, fenomena, variabel

dan”keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung dengan menyuguhkan”apa


yang sebenarnya terjadi. Penelitian ini menafsirkan dan menguraikan data”yang

bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta”pandangan yang

terjadi di dalam suatu organisasi, pertentangan antara dua keadaan atau”lebih,

hubungan antar variabel yang timbul, perbedaan”antar fakta yang ada serta

pengaruhnya terhadap suatu kondisi dan”sebagainya.

2. Dasar”Penelitian

Dasar”penelitian merupakan suatu rancangan”kegiatan pengumpulan,

pengolahan, penyajian dan analisis”data yang dilakukan oleh kelompok atau

individu dan dilakukan”secara ilmiah, sistematis dan logis dalam rangka untuk

memahami dan”memahamkan serta memecahkan suatu masalah yang

akan”diteliti.

B. Lokasi”Penelitian

Penelitian ini”berlokasi di Kantor Inspektorat Kabupaten Mamasa Provinsi

Sulawesi Barat.

C. Sumber”Data

Dalam”penelitian ini data-data yang diambil dapat”digolongkan menjadi dua

bagian”yaitu :

1. Data”Sekunder
Dimaksudkan”untuk memperoleh data dan informasi mengenai objek yang

menjadi sasaran penelitian”berupa teori-teori, metode, konsep, dan lain-lain.

Unsur penelitian yang”diperoleh melalui revensi-revensi yang berhubungan

dengan penelitian.”Misalnya catatan, atau dokumentasi berupa absensi, daftar

gaji, laporan keuangan publikasi, laporan pemerintah,”data yang diperoleh

dari”majalah.

2. Data”Primer

Penelitian”lapangan yang dimaksud adalah penelitian yang dilaksanakan untuk

mengumpulkan data atau informasi”yang dapat di pertanggung jawabkan dengan

jalan observasi langsung ke lapangan.”Misalnya data yang diperoleh dari

responden, kelompok fokus, dan panel, atau juga data hasil wawancara peneliti

dengan”narasumber.

D. Informan

Menurut”Moleong (2004:132) bahwa informan adalah orang yang dimanfaatkan

untuk memberikan”informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan

yang dimaksud”disini adalah pihak-pihak yang dapat memberikan informasi

yang”terkait dengan implementasi kebijakan pada penindaklanjutan temuan kasus

maladministrasi pada sistem pengendalian intern

Dalam”menentukan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini penulis

menggunakan”teknik purposive sampling. Penentuan teknik ini agar didapati

infomasi dengan tingkat validitas”dan reabilitas yang tinggi. Tentang teknik


purposive sampling, Silalahi (2009:272) menjelaskan pemilihan sampel purposive

(bertujuan) atau”yang lasim disebut judgement sampling merupakan pemilihan

siapa subjek atau”orang-orang terpilih harus sesuai dengan ciri-ciri dan

kriteria”khusus yang dimiliki sampel tersebut atau pemahaman yang kuat terhadap

objek yang akan”diteliti.

Menurut”Spradley (Moleong, 2004:165) informan harus memiliki

beberapa”kriteria yang harus dipertimbangkan,”yaitu:

1. Informan”yang intensif menyatu dengan suatu kegiatan atau medan aktivitas

yang menjadi sasaran”atau perhatian penelitian dan ini biasanya ditandai oleh

kemampuan memberikan informasi diluar kepala tentang sesuatu

yang”ditanyakan.

2. Informan”masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan

yang menjadi sasaran”penelitian.

3. Informan”mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan untuk

dimintai”informasi.

4. Informasi”yang dalam memberikan tidak cenderung”diolah atau dikemas

terlebih dahulu dan mereka”relatif masih lugu dalam memberikan informasi.

Berdasarkan”kriteria informan yang dikatakan oleh Spradley diatas, peneliti

menentukan informan yang”memenuhi kriteria tersebut. Informan yang peneliti

tentukan merupakan”orang-orang yang terkait secara penuh di dalam kantor

inspektorat yang terdiri”dari:

1. Kepala”Inspektorat
2. Sekretaris”

E. Teknik”Pengumpulan”Data

Dalam”pelaksanaan penelitian ini, penelitian menggunakan teknik pengumpulan

data sebagai”berikut :

1. Observasi”(pengamatan)

Observasi”yaitu mengamati secara mendalam setiap bagian obyek yang diteliti

secara langsung,”dengan harapan memberikan bahan yang objektif dan akurat.

Adapun data”yang diteliti adalah laporan absensi sidik jari mengenai hasil

kinerja”pegawai.

2. Wawancara”(Interview)

Wawancara”yaitu penulis mengadakan tanya jawab secara langsung kepada

responden”yang telah ditentukan. Tanya jawab tersebut dilakukan dengan

berpedoman pada daftar”pertanyaan yang telah dibuat dengan sistematis.

Jawaban atas pertanyaan yang diajukan dicatat sendiri”oleh peneliti.

3. Observasi”Pustaka”(Literatur Review)

Peneliti Pustaka”(Literatur Review) yaitu penulis mengumpulkan data melalui

buku-buku, dokumen”atau bahan bacaan lain yang masih ada relevansinya

dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan”skripsi ini.

F. Teknik”Analisis”Data

Di”dalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan dan diseleksi

menggunakan teknik analisis dan”deskriptif yaitu data-data yang telah


dihimpun”dan dikumpulkan baik primer maupun sekunder, kemudian diambil

kesimpulan sebagai jawaban masalah”yang diteliti. Adapun mengenai teknik

analisis data diatas yang dikemukakan”oleh Miles dan Hubermen dalam Jam’an

Satori dan Aan Komariah (2010:39) dapat diterapkan melalui tiga alur penerapan

sebagai”berikut :

1. Reduksi”Data

Reduksi”Data adalah proses pemilihan, pemusatan, pemerhatian pada

penyederhaan, pengabstrakan dan transformasi”data kasar yang diperoleh dari

catatan lapangan. Dengan cara”mereduksinya dengan meringkas, memberi kode,

menelusuri tema memberi gugus-gugus dan menulis memo. Lebih lanjut Miles

dan”Huberman (Sigiono, 2010:338) mengatakan bahwa mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada”hal-hal yang

penting, dicari pola dan temanya dan membuang yang tidak”perlu.

2. Penyaji”Data

Penyajian”Data dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam

bentuk yang padu”dan mudah diraih. Misalnya dituangkan dalam berbagai jenis

matriks, grafik, jaringan dan bagan.”Lebih lanjut Miles dan Huberman (Sigiono,

2010:341) bahwa yang paling”sering digunakan untuk penyajian data dalam

penelitian”kualitatif adalah dengan teks yang bersifat”naratif.

3. Penarikan”Kesimpulan dan Verifikasi”Data

Penarikan”Kesimpulan merupakan kegiatan mencari arti, mencatat, keteraturan,

pola-pola, penjelasan”konfigurasi-konfigurasi yang mungkin sesuai dengan alur


sebab akibat,”dan proporsi. Kseimpulan juga diverifikasi, yaitu pemikiran

kembali yang melintas dalam pikiran penganalisis selama penyimpulan,”tinjauan

ulang pada catatan lapangan atau meminta respon atau komentar responden

yang”telah dijaring datanya untuk membaca”kesimpulan yang telah disimpulkan

peneliti, kecocokan dan”kekokohannya.

G. Deskripsi”Fokus dan Indikator”Penelitian.

Fokus”penelitian merupakan pedoman untuk mengambil data apa saja yang

relevan dengan permasalahan”penelitian. Fokus penelitian harus konsisten dengan

masalah dan”tujuan penelitian yang diterapkan terlebih dahulu. Fokus penelitian

juga berfungsi sebagai”pedoman dalam melakukan pembahasan terhadap”hasil

penelitian yang telah diterapkan (Moleong, 2006:92).

Berdasarkan”dengan hal tersebut, fokus penelitian ini mengarah pada

Efektvitas Penerapan Absensi”Finger PrintTerhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara

Pada Kantor Badan Pengelola”Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Toraja Utara

kemudian dijabarkan dengan indikator sebagai”berikut:

1. Komunikasi

Komunikasi implementasi mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan dalam proses penyampaian informasi

komunikator kepada komunikan. Selain itu juga dalam komunikasi

implementasi kebijakan terdapat tujuan dan sasaran kebijakan yang harus

disampaikan kepada kelompok sasaran, hal tersebut dilakukan agar

mengurangi kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan. Komunikasi kebijakan


memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transformasi

(transmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency).

2. Sumber Daya

Sumber daya yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan dapat

berwujud, seperti sumber daya manusia, dan sumber daya anggaran, sumber

daya peralatan, sumber daya informasi dan kewenangan. Sumber daya manusia

merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan

implementasi. Implementasi sangat tergantung kepada sumber daya manusia

(aparatur), dengan demikian sumber daya manusia dalam implementasi

kebijakan di samping harus cukup juga harus memiliki keahlian dan

kemampuan untuk melaksanakan tugas, anjuran dan perintah dari atasan

(pimpinan).

3. Disposisi

watak atau karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan.

Disposisi itu seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratik. Apabila

pelaksana kebijakan mempunyai karakteristik atau watak yang baik, maka dia

akan melaksanakan kebijakan dengan baik sesuai dengan sasaran tujuan dan

keinginan pembuat kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

struktur birokrasi merupakan suatu badan yang paling sering

terlibat dalam implementasi kebijakan secara keseluruhan. Struktur Organisasi

yang bertugas melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh besar terhadap


pelaksanaan kebijakan. Dalam struktur birokrasi terdapat dua hal penting yang

mempengaruhinya salah satunya yaitu aspek struktur birokrasi yang penting dari

setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard

operating procedures atau SOP).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal, Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 330.

Abdul Wahab, Solichin (2008). Analisis Kebijaksaan dari formulasi ke

implementasi kebijaksanaan negara. Jakarta : Bumi Aksara

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2008. Lingkungan Pengendalian.

Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan.

Carl Van Horn dan Donal Van Meter , 1975, Model-model dalam Kebijakan

Implementasi, yongyakarta

Djanegara, Moermahadi Soerja. 2008. Menuju Good Corporate Governance –

Suatu Kajian Empiris. Bogor: Kesatuan Press.


Mazmanian, Daniel A and Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public

Policy, Scott Foresman and Company, USA.

Suwanda, Dadang. dan Dailibas. 2013. Panduan Penerapan Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah. Jakarta: PPM.

Sujarweni, V. W. (2015a). Sistem akuntansi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Skripsi

Departement for Work and Pension, Financial Redress for Maladministration, special

payment Scheme: Policy and Giding Principles, April 2012, hlm.5. 3

Handriyas Putra, Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Fungsional Di Inspektorat Kota

Solok,Padang,2011,dalamhttp://repository.unand.ac.id/17421/1/PELAKSA

NAAN_FUNGSI_PENGAWASAN_FUNGSIONAL_DI_INSPEKTORA

T_KOTA_Makassar.pdf

Sumber Lain

Ombudsman Republik Indonesia. (2019). Laporan tahunan 2017. Jakarta : Sekretariat

Jenderal Ombudsman Republik Indonesia.

Ombudsman Republik Indonesia. (2017). Laporan tahunan 2017. Jakarta : Sekretariat

Jenderal Ombudsman Republik Indonesia.

Pandangan-pandangan

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah.
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah

Daerah.

Penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.23 Tahun 2007

Anda mungkin juga menyukai