Anda di halaman 1dari 14

TUGAS FINAL MATA KULIAH PRASEJARAH SULAWESI

NAMA : Aldisurya Rante Ta’dung

NIM : F071191055

1. Periode awal di Sulawesi (Lingkungan dan kehidupannya)


➢ Proses pembentukan pulau sulawesi
Uraian geologi dan sejarah geologi merupakan hal yang sangat
mendasar untuk memahami kebudayaan prasejarah suatu daerah. Seperti pulau-
pulau yang lain, jenis tanah, bentang alam, tumbuhan dan hewan di Sulawesi
ditentukan oleh geologi dan sejarah geologinya. Sekedar gambaran umum,
pulau Sulawesi yang ada sekarang tidaklah terbentuk seketika seperti bentuk
huruf k yang lasim kita jumpai dalam peta-peta populer tetapi mengalami proses
geologi yang panjang. Bentuk pulau Sulawesi seperti rupa sekarang terjadi pada
kala Pliosen Atas, tetapi proses pembentukannya berlangsung jauh sebelumnya.
Sulawesi Barat dan Sulawesi timur adalah dua fragmen daratan yang terpisah
pada kala miosen. Penyatuan kedua daratan tersebut merupakan peristiwa
paling dramatik dalam sejarah geologi Indonesia (Whitten,1987). Bergesernya
lempeng Australia ke utara kira-kira 80 km setiap sejuta tahun (Bellwood, 2000)
menyebabkan melengkungnya bagian timur lengkung Banda ke barat. Gerakan
ke arah barat ini digabung dengan desakan ke darat sepanjang sistem patahan
Sorong dari bagian barat Irian dengan arah timur-barat mengubah kedua massa
daratan yang kemudian menghasilkan bentuk khas Sulawesi seperti kita lihat
sekarang. Tabrakan tersebut terjadi 19-13 juta tahun yang lalu (Whitten,
1987:4). Kepulauan Banggai-Sula membentuk bagian teras (podium) di
Sulawesi sebelah timur.
Sebenarnya, uraian geologi pulau Sulawesi sudah digambarkan oleh
banyak ahli dan sangat sulit untuk diringkas. Relevansi yang paling
berhubungan dengan pembicaraan tentang prasejarah daerah ini adalah proses
penyatuan daratan Sulawesi barat dan timur yang telah menjadikan Sulawesi
memiliki campuran tumbuhan dan hewan yang berasal dari Asia dan Australia
(Bellwood,2000), tetapi masalah tersebut akan dibicarakan secara terpisah pada
bagian lain.
Sulawesi meliputi tiga propinsi geologi berbeda kemudian tergabung
menjadi satu oleh gerakan kerak bumi. Ketiga propinsi tersebut adalah propinsi
Sulawesi barat dan propinsi Sulawesi timur yang merupakan patahan utara-
baratlaut antara Palu dan Teluk Bone (patahan Palu-Koro) serta propinsi
Banggai-Sula yang mencakup daerah Tokala di belakang Luwuk dan
semenanjung baratlaut, kepulauan Banggai, pulau Buton dan kepulauan Sula
(Whitten,1987).
➢ Iklim Kala Plestosen
Kala Plestosen dicirikan oleh banyaknya permukaan bumi yang dilanda
lapisan es cukup tebal. Karena itu, zaman ini biasa juga disebut zaman es atau
zaman glasial. Es yang berada di puncak-puncak gunung tinggi meluas ke
lereng serta lembah-lembah sekitarnya.
Oleh para ahli, kronologi dan terminologi jaman Plestosen sampai
sekarang masih menjadi perdebatan. Yang digunakan di sini adalah terminologi
Orchiston dan Siesser (1982) serta para pakar Plestosen Afrika modern yang
merujuk masa antara 1,6 juta tahun sebagai masa awal, masa yang ditandai oleh
munculnya fauna Calabrian di daerah Laut Tengah dan berakhir pada 10.000
tahun lalu, kira-kira bersamaan dengan menjelang berakhirnya pemanasan
global setelah masa glasial (Bellwood,2000).
Selama 30 tahun terakhir, terjadi revolusi pengetahuan karena hasil-
hasil yang diperoleh dari penyelidikan inti-inti laut dalam dan dari kajian
lapisan-lapisan tanah yang mengandung serbuk sari (polen) maupun gastropoda
darat, memperlihatkan kesimpulan yang sangat berbeda. Sekarang diketahui
bahwa ada 20 masa glasial penuh dalam 2 juta tahun yang lalu dan jumlah
interglasial yang sama, ditambah beberapa masa perantara interstadia sepanjang
masa interglasial ini sendiri.
Akibat dari proses glasiasi di seluruh bumi adalah penurunan permukaan
air laut, zona tumbuhan dan suhu. Sebagai hasil dari perubahan tersebut, iklim-
iklim tropik pada daratan-daratan yang luas menjadi lebih kering, hutan-hutan
hujan menyusut luasnya, jembatan-jembatan daratan terbuka di kepulauan Indo-
Malaya, dan manusia, hewan serta tanaman berhadapan dengan proses
penggabungan dan pemisahan pulau yang terjadi silih berganti. Pada masa
Plestosen, Indonesia dapat dibagi tiga wilayah yaitu paparan Sunda, zona
Wallacea dan paparan Sahul.
➢ Manusia Pertama
Sebaran situs pengandung artefak batu di kab. Soppeng berada pada
kanan sungai Walanae yang mengalir di Depresi Walanae. Daerah tepi kanan
sungai ini memanjang dari arah selatan ke utara, antara Cabbenge dan
Sengkang. Ketinggiannya yang bertingkat-tingkat dari arah barat ke timur
menandakannya sebagai sisa-sisa undakan yang kini telah melapuk. Dari hasil
identifikasi diperoleh lima undakan, yang pertama dan kedua (kurang lebih 25
m di atas permukaan laut) merupakan undak-undak sungai, dan undak-undak
ketiga, keempat dan kelima (kurang lebih 50 m, 75 m dan 90 m di atas
permukaan laut) merupakan undak-undak danau lama. Undak-undak kelima
sampai ketiga terbentuk ketika Depresi Walanae tergenang air pada kala
Plestosen. Undak-undak ketiga dan keempat mengandung banyak sisa-sisa fosil
binatang dan alat-alat paleolitik serta bahan batuan kalsedon dan jaspis yang
ditemukan dalam lapisan kerakal dan pasir (Soejono,1991).
Setelah kita memperoleh kesimpulan bahwa deposit alat-alat batu
Cabbenge berasal dari masa Plestosen (sangat mungkin Plestosen akhir),
pembicaraan akan diarahkan pada hubungannya yang lebih luas dengan
penemuan di tempat lain terutama pulau jawa yang dokumentasi fosil Homo
erectus-nya telah mengundang perdebatan para ahli di dunia. Permasalahan
utama sekarang adalah apakah Homo erectus Jawa mewakili garis evolusi
manusia yang punah tanpa transmisi genetik ke populasi yang masih hidup, atau
merupakan bagian dari nenek moyang bagi populasi-populasi yang secara
anatomis modern terutama Australoid. Ketidakjelasan ini semakin
menggairahkan perdebatan dua pemikiran besar dalam antropologi biologi, Out
of Africa dan Multiregional. Yang menarik adalah pandangan Alan Thorne dan
Milford Wolpoff (1992) dua juru bicara yang mempertahankan evolusi
multiregional mengakui adanya kesinambungan morfologis yang jelas,
khususnya dalam hal kemoncongan wajah dan ukuran gigi belakang, antara
populasi erectus Jawa dan sisa-sisa sapiens Australia tertentu yang muncul
kemudian pada akhir masa Plestosen, khususnya yang berasal dari Kow Swamp
di Victoria (Wolpoff et al. 1984; Thorne dan Wolpoff 1981,1992; Wolpoff et
al. 1994; Bellwood, 2000).
Bila Alan Thorne dan Milford Wolpoff (1992) tidak keliru mengenai
kesinambungan populasi erectus Jawa dan sisa-sisa sapiens Australia, maka
hipotesis selanjutnya adalah alat-alat batu dari lapisan Plestosen di Sunda kecil
termasuk Sulawesi yang tidak dapat diabaikan kuantitas dan morfologinya
sangat mungkin merupakan mata rantai sebarannya. Jadi pendapat Barstra
(1991) yang mengatakan bahwa alat-alat batu Cabbenge merupakan hasil karya
Homo Sapiens, bukan Homo erectus adalah dukungan yang kuat.
➢ Pola Hidup
Rekonstruksi pola hidup manusia kala Plestosen di Cabbenge adalah
rekonstruksi sejarah paling rumit di Sulawesi Selatan. Kerumitannya
disebabkan karena budaya paleolitik Cabbenge merupakan kebudayaan tertua
dan karena itu asosiasi data yang jelas belum ditemukan sampai sekarang. Hal
tersebut sangat wajar karena proses transformasi data sudah berlangsung
puluhan ribu tahun. Untuk membicarakan pola hidup, hanya dua data pokok
yang dapat dijadikan referensi yaitu data alat-alat batu dan data lingkungan.
Peralatan dari batu yang banyak ditemukan di Cabbenge merupakan
gambaran teknologi manusia yang sangat sederhana dan merupakan bukti
pemahaman mereka terhadap mineral-mineral alam. Batu dipilih sebagai bahan
baku disebabkan oleh beberapa hal mendasar yaitu batu merupakan bahan yang
mudah didapatkan, bahannya yang tahan serta mudah dibentuk. Sebagian waktu
hidup diluangkan untuk mencari dan memilih jenis batu yang cocok lalu
memangkas dan membentuknya menjadi peralatan. Dari segi fungsi peralatan
yang didasarkan pada pola kerusakan tajaman, pada umumnya kemungkinan
berfungsi sebagai pemotong, penebas, penyerut dan pengiris.
Bila mempertimbangkan fungsi peralatan dan prosentase temuan, pola
pencarian makan yang paling mungkin adalah meramu makanan sebagai
aktivitas utama dan aktivitas perburuan sebagai aktivitas kedua. Meskipun
demikian, kita tidak boleh terlalu cepat memberi klaim karena beberapa hal,
pertama peralatan perburuan seperti mata panah selayaknya tidak ditemukan
pada areal pembuatan peralatan tetapi pada lokasi perburuan yang luas. Artinya,
kemungkinan untuk menemukan alat perburuan sangat kecil, berbeda dengan
peralatan meramu. Kedua, berdasarkan kondisi lingkungan fauna, binatang
yang diburu tidak selamanya harus menggunakan peralatan karena teknik
melumpuhkan binatang bukan hanya dengan menggunakan peralatan proyektil
tetapi banyak teknik lain.
Pola berpindah merupakan ciri khas kehidupan manusia paleolitik.
Hidup berkelompok dengan jumlah yang terbatas selalu dipertahankan agar
lebih efektif dalam mobilitas dan perburuan. Sulit untuk memperkirakan berapa
jumlah individu dalam kelompok atau keseluruhan manusia paleolitik
Cabbenge. Sebagai ilustrasi, perkiraan jumlah penduduk Pithecanthropus di
Jawa adalah setengah juta orang. Berdasarkan kuantitas dan distribusi alat batu,
jumlah manusia Cabbenge diperkirakan jauh lebih sedikit dibanding dengan
Jawa. Pemilihan tempat hunian berdasarkan data paleokologi memperlihatkan
kecenderungan yang sama dengan situs-situs lain di berbagai belahan dunia,
yaitu dekat dengan sumber air. Stratigrafi temuan alat batu dari endapan sungai
dan danau menegaskan pendapat ini. Selain untuk memenuhi kebutuhan akan
air, sumber air juga merupakan stimulan berkumpulnya binatang. Dengan
mudah binatang buruan dapat ditemukan dan dilumpuhkan pada sumber-
sumber air. Mungkin inilah pertimbangan yang paling utama dalam pemilihan
tempat hunian. Pertimbangan kedua, tempat yang dipilih harus memberi rasa
aman dari gangguan binatang buas. Secara garis besar, tingkat ketergantungan
manusia terhadap lingkungan sangat tinggi. Gejala-gajala alam yang
perubahannya sangat radikal pada masa Plestosen mungkin merupakan salah
satu penyebab kurang berkembangnya kemampuan membuat peralatan.
Meskipun tidak ditemukan tanda-tanda penggunaan api oleh manusia
Cabbenge, tetapi kemungkinannya sangat besar. Alasan yang paling masuk akal
adalah pendahulu manusia Cabbenge yaitu Pithecanthropus sudah mengenal
api. Penemuan bukti-bukti api di sekitar Pithecanthropus erectus di Trinil dalam
bentuk kayu yang sudah terbakar mungkin salah satu bukti kuat. Kelompok
pemburu dan pengumpul makanan tersusun dari keluarga kecil, dimana
pembagian kerja yang sangat sederhana sangat mungkin sudah dikenal. Laki-
laki mendapatkan tugas melakukan perburuan sedangkan perempuan
mengumpul makanan yang mungkin berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan-
hewan kecil karena tidak memerlukan pengeluaran tenaga terlalu besar. Di
samping itu, perempuan mengurus anak-anak.
2. Masa Paleolitik di Sulawesi (Budaya dan Faunanya)
Di Sulawesi, bangsa babi dan bangsa gajah merupakan binatang yang sudah ada
sejak masa akhir Pliosen hingga masa Pleistosen. Binatang ini ditemukan di Lembah
Walennae dengan usia tertua 2.5 Ma (Berg, 1999: 178) dan yang termuda 0.118 Ma
(Berg, 2016). Selain fosil, temuan arkeologi yang banyak ditemukan adalah artefak
batu. Artefak batu tersebut diperkirakan berasal dari akhir Pleistosen Tengah yang
memiliki kepimiripan dengan industri artefak batu Sangiran (Heekeren, 17972:69; 71).
Artefak yang ditemukan di Lembah Walennae berasosiasi dengan gravel, oleh Keates
dan Bastra menganggapnya bahwa artefak tersebut dibuat oleh homo sapien namun
kemudian lahir hipotesis yang sama dengan Heekeren bahwa artefak tersebut berasal
dari Pleistosen Tengah karena adanya temuan artefak yang insitu di anggota Beru
(Berg, 1999: 139). Usia ini yang menguatkan hipotesis jika artefak batu tersebut dibuat
oleh hominid.
Di Sulawesi, khususnya di Lembah Walennae, bukti arkeologi di mana artefak
batu ditemukan berada dalam posisi intak berasosiasi dengan fosil vertebrate di
temukan di situs Talepu. Usia temuan tersebut 118 kyr, ini yang kemudian menjadi
dasar bahwa pada masa itu manusiatelah mendiami Lembah Walennae (Berg, 2016:
210) dan telah hidup berdampingan dengan stegodon dan celebochoerus. Hasil ini
kemudian menjadi pembuktian atas hipotesisnya yang telah dibangun pada penelitian
sebelumnya. Meskipun temuan di situs Talepu dapat memberi tarik usia tentang
kehadiran hominid yang berdampingan dengan binatang vertebrata, namun tidak ada
bukti kuat yang mampu menjelaskan adanya aksi perburuan binatang stegodon dan
celebochoerus.
Di Lembah Walennae sebanyak 3000 spesimen fosil vertebrata telah dianalisis.
Dari jumlah tersebut sebanyak 2525 spesimen telah dianalisis sampai level genus (Berg,
1999: 142). Selanjutnya pada 2007 dan 2012 di situs Talepu di temukan sebanyak 270
artefak dengan fauna 1 molar bovidae, 3 spesimen yang tidak teridentifikasi dan gigi
susu molar stegodon (Berg dkk., 2016: 208, 209). Selanjutnya Balai Arkeologi
Sulawesi Selatan melakukan ekskavasi di situs Calio dengan temuan artefak batu dan
fosil kayu (2012). Dari keseluruhan temuan tersebut, belum ada yang menjelaskan
interaksi manusia terhadap fauna vertebrata tersebut.
Fauna vertebrata yang telah hidup di Lembah Walennae sejak masa Pliosen
hingga Pleistosen telah memberikan penjelasan sejarah evolusi dan migrasi fauna-fauna
besar di dunia. Di Lembah Walennae pada masa Pleistosen Tengah, fauna dan manusia
telah hidup berdampingan sekitar usia 200 kyr-118 kyr (berg 2016). Meskipun manusia
telah hadir dan membuat begitu banyak artefak batu, tetapi belum ditemukan adanya
praktik berburu atau mengumpul makanan dari fauna tersebut.
Di Sulawesi, spesifikasi binatang purba telah mengesankan dan menarik banyak
ahli untuk menelitinya lebih lanjut. Penemuan dua jenis binatang yang berbeda asalnya
telah membawa pemikiran para ahli pada kesimpulan “Sulawesi merupakan daerah
tujuan akhir di sebelah timur untuk fauna Asia dan daerah tujuan akhir di sebelah barat
untuk fauna Australia”. Di Sulawesi, dokumentasi binatang purba tersimpan di dua
tempat, pertama adalah Cabbenge, di lembah bekas sungai Walanae purba kabupaten
Soppeng dan kedua adalah di gua-gua kapur dekat Maros dan Pangkep. Seperti Fauna
tertua di Jawa, fauna Cabbenge mempunyai pertalian dengan fauna Siwa-Melayu dan
berisi spesies Stegodon dan gajah bersama dengan babi rusa spesies babi yang telah
punah. Monyet (macaque) dan anoa mungkin tiba di Sulawesi pada saat yang sama
tetapi tidak ditemukan di antara fauna dari Walanae. Penanda kronologi yang penting
dalam fauna ini adalah kura-kura raksasa (Geochelone atlas) yang tampaknya telah
menghilang dari Jawa kira-kira 1,2 juta tahun yang lalu (Berg et al. 1995a). Fauna
Cabbenge pernah diduga tiba di Sulawesi lewat satu jembatan darat melalui Pulau
sangihe dari Filiphina dan Cina, tetapi sekarang telah disepakati bahwa asalnya adalah
dari daratan Sunda. Para ahli sekarang sudah sepakat bahwa pada masa Plestosen,
jembatan darat yang menghubungkan daratan Sunda dengan Sulawesi tidak ada. Yang
paling memungkinkan adalah Sulawesi barat mungkin secara struktural menempel pada
daratan Sunda meskipun tidak ada daratan kering yang berkesinambungan
(Bellwood,2000).

3. Austronesia di Sulawesi
➢ Proses Masuknya
Studi yang telah dilakukan oleh para ahli terdahulu telah memposisikan
kedatangan kelompok Austronesia ke Sulawesi pada kisaran 3800 BP dengan bukti-
bukti arkeologis ditemukan di sepanjang aliran sungai Karama, Mamuju (Simanjutak
2008; Anggraeni 2012). Studi mengenai jejak kehadiran para ekspansi penutur
Austronesia di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat selama ini berfokus pada wilayah
Kalumpang, Mamuju (Simanjutak 2008;Angrraeni 2012; Fakhri dkk, 2015), wilayah
Maros (Simanjutak 2008; Hasanuddin 2018; 2019), sebagian kecil di wilayah Enrekang
(Hasanuddin. 2011; 2018) dan Toraja (Hasanuddin, 2003; Mahmud 2008) di
Bontocani, Bone (Fakhri, et al, 2019).
Terbentuknya pola-pola etnografi yang mapan pada Zaman Neolitik dianggap
sebagai pijakan dari perkembangan peradaban. Di Sulawesi Selatan, penutur
austronesia hadir sejak sekitar 3580 ±130 BP seiring kedatangannya dengan membawa
perubahan kebudayaan dan sistem adaptasi dengan lingkungan. Kemampuan
mengadaptasikan diri terhadap lingkungan sekitar memungkinkannya terus
berkembang hingga menciptakan berbagai jenis budaya dan tradisi yang bahkan tradisi
tersebut masih dianut oleh sebagian masyarakat hingga saat ini.
➢ Bukti Kebudayaan
Secara garis besar alat-alat yang termasuk dalam budaya Neolitik sebagaimana
para ahli membagi yang termasuk di Sulawesi, antara lain:
a) Beliung Persegi : penemuannya hampir diseluruh kepulauan Indonesua
terutama di bagian barat, ukurannya kira-kira 4-25 cm digunakan untuk
mengerjakan kayu, salah satunya di temukan di Sulawesi Barat tepatnya
di Kalumpang. Variasi yang ditemukan di Kalumpang yaitu berbentuk
beliung biola dan ditemukan pula lancipan. Di Sulawesi Selatan
tepatnya di Kab. Maros ditemukan beliung persegi dari situs Mallawa.
Pada umumnya, beliung persegi berbentuk memanjang dengan
penampang lintang persegi. Seluruh bagainnya diupam halus kecuali
pada bagian pangkal sebagai tempat ikatan tangkai.
b) Kapak Lonjong.
Kapak lonjong memilki bentuk umum lonjong dengan pangkal
agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah
dari dua arah dan menghasilkan bentuk tajaman yang simetris. Disinilah
yang menjadi pembeda dengan beliung persegi yang tidak pernah
memiliki tajaman simetris (setangkup). Kapak lonjong yang di temukan
di daerah Sulawesi terdapat di Situs Tallasa dan Situs Mallawa di Kab.
Maros, serta Batu asah dan kapak lonjong dari Situs Buttu Banua Kab.
Enrekang.
c) Mata panah
Mata panah yang bergerigi ditemukan di Sulawesi Selatan
disebut juga Lancipan Maros (Maros Point). Istilah tersebut dilatar
belakangi oleh tempat atau daerah dimana jenis alat semacam ini
ditemukan pertama kalinya, yaitu disekitar situs-situs gua prasejarah
maros. Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa temuan mata panah
bergerigi tidak saja terdapat di daerah maros, tetapi juga ditemukan di
gua-gua prasejarah di pegunungan kapur dalam wilayah Kabupaten
Pangkajene Kepulauan, Bone, dan di gua Sodong Kabupaten Soppeng
(Heekeren, 1939-1957; Soejono, 1984: 187). Bahkan jenis mata panah
bergerigi ditemukan pula disitus terbuka, seperti kalumpang (Mamuju)
dan situs Bukit Bikulung (Gowa). Adapun ciri-ciri mata panah typical
yang ditemukan di Sulawesi Selatan secara umum memperlihatkan
penampang yang berbentuk segi tiga dengan sisi tajaman dua arah
(bifasial), bergerigi, sejajar, bagian pantat atau dasarnya bersayap dan
cekung (untuk penempatan gagang).
d) Alat pemukul kulit kayu (Batu Ike)
Batu Ike adalah istilah masyarakat Kulawi dan Biromaru untuk
alat batu yang dipakau mengolah kulit kayu menjadi pakaian. Di
Sulawesi Selatan, alat ini ditemukan di situs Kamasi dan Minanga
Sipakka (Mamuju) dan di Mamuju Utara, Seko (Luwu Utara) serta situs
Buttu Banua dan Buttu Batu di Enrekang. Jumlahnya yang cukup
menonjol menegaskan bahwa pengolahan kulit kayu untuk membuat
pakaian dipakai secara komunal oleh populasi Neolitik.
e) Tembikar (Gerabah)
Penelitian arkeologi membuktikan bahwa tembikar telah dikenal
sejak masa bercocok tanam. Dikenalnya benda-benda dari tanah liat
membuktikan kemajuan teknologi manusia yang semakin tinggi karena
sudah dapat menghasilkan benda dengan pembakaran suhu yang tinggi.
Dari temuan sebaran tembikar, jelas terlihat bahwa teknologi
pembuatannya juga telah mengalami perubahan. Teknik pembuatan
tembikar pada masa awal dibuat dengan cara yang sangat sederhana
yaitu teknik tangan. Pembentukannya yang memakai tangan akan
menghasilkan bentuk yang tidak simetris dan cenderung kasar.
Teknologi pembuatan tembikar dari teknik tangan berubah dengan
menggunakan tatap batu dan pelandas, lalu teknik yang lebih maju lagi
dengan menggunakan roda pemutar. Di Sulawesi sendiri ada ditemukan
beberapa tembikar tepatnya di Kalumpang Sulawesi Barat, serta Tatap
dan pelandas yang ditemukan di Situs Buttu Banua Kab. Enrekang.
➢ Inovasi yang telah dicapai oleh Austronesia pada masa ini adalah :
• Alat-alat yang sudah diasah dan lebih dipertajam (sudah ada batu asah)
• Dimulainya seni ukir terutama pada benda-benda gerabah;
• Khusus gerabah selain digunakan sebagai alat untuk keperluan sehari-hari, juga
digunakan sebagai alat upacara, bekal kubur, maupun wadah penguburan
• Mulainya dikenal pakaian yang terbuat dari kulit kayu dengan ditemukannya alat
pemukul dari kulit kayu atau disebut Batu Ike.

4. Kebudayaan Megalitik
➢ Definisi
Secara harfiah Megalitik diartikan sebagai batu besar, mega berati besar dan lithos
berarti batu. Secara umum diartikan sebagai benda/bangunan dari batu (besar) yang intinya
berkaitan dengan leluhur. Megalitik yakni budaya yang memanfaatkan batu-batu besar
sebagai sarana aktivitas hidupnya, khususnya berhubungan dengan nenek moyang.
➢ Masuknya di Sulawesi
Masyarakat pendukung tradisi megalitik di Pulau Sulawesi ditandai dengan
kehidupan yang bersifat sakral dan profan yang tidak dapat di pisahkan dalam arti bahwa
sarana-sarana yang berkembang dengan kebutuhan sakral selalu berkaitan dengan
kebutuhan profan, misalnya tempat tinggal selalu ditemukan bersama-sama dengan tempat
pemujaan. Begitupun tradisi pendirian monumen megalitik selalu berdasarkan kepercayaan
akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama akan adanya pengaruh
yang kuat terhadap kesejahteraan hidup dan kesuburan tanaman. Olehnya itu jasa dari
seseorang yang telah meninggal diabadikan dengan mendirikan bangunan yang berupa batu
besar yang kemudian menjadi medium pemujaan, penghormatan, tempat persinggahan dan
sekaligus merupakan lambang si mati. Pola pemikiran semacam ini dapat ditemukan dalam
pembuatan bangunan-bangunan megalitik di Pangesoreng Kabupaten Maros Sulawesi
Selatan. Di Sulawesi Selatan, megalitik berkembang pada abad ke 2-4 Masehi (temuan
Rampi, Luwu Utara) berlanjut terus pada abad ke-13 (di Soppeng dan Wajo) bersamaan
dengan dimulainya masa kerajaan di Sulawesi Selatan. Hingga sekarang masih dilakukan
ritual-ritual untuk sebagian daerah seperti di Toraja, Enrekang, Soppeng dan Bantaeng.
➢ Jenis-Jenis Peninggalan
Adapun jenis-jenis peninggalan Megalitik yang ada di Sulawesi, antara lain :
• Peninggalan Megalitik di Sillanan Kabupaten Tana Toraja
Temuan yang didapatkan, adalah : menhir (benu tuk, tata letak,
komposisi berbeda), lumpang batu, lesung batu, altar batu, tahta batu, temu
gelang, umpak, batu angsa, teras berundak, pagar batu, karopik, batu batu
monolit, dan hang. Situs-situs tersebut berfungsi sebagai tempat pemujaan dan
tempat upacara kematian.
• Peninggalan Megalitik Lembah Besoa di Poso Sulawesi Tengah
Peninggalan situs megalitikum yang terdapat di lembah besoa
kabupaten Poso yaitu arca-arca batu, menhir dan dolmen. Contoh arca batu
yaitu situs tadulako, situs pokokea, situs bangkeluo,situs tempe, situs padang
maosora, dan kalamba yang terbuat dari batu alam. Kegunaan situs-situs
Megalit digunakan sebagai tempat penyimpanan air dan sebagai tempat
penyimpanan mayat yaitu situs pokokea, adapun arca berbentuk manusia
dianggap sebagai sebuah perwujudan terhadap pemujaan arwah nenek moyang
yang dimuliakan masyarakat setempat.
• Peninggalan Megalitik di Soppeng
- Situs sewo, berdasarkan survei yang dilakukan diperoleh temuan-
temuan arkeologi yang ditata di atas bukit yang disebut “Petta
Allangkanange” yaitu struktur berundak, batu pemujaan, dolmen,
dakon, batu dulang dan batu altar. Tempat tersebut digunkan sebagai
tempat untuk melepas nazar terutama dalam hubungannya dengan
aktivitas pertanian, khususnya menjelang musim tanaman dan
setelah panen.
- Situs Tinco, ditemukan berbagai jenis temuan masa lalu seperti
monumen-monumen megalit (lumpang batu, dakon, susunan batu
temu gelang, batu bergores/ bergambar, fragmen tembikar dan
tulang binatang) serta delapan menhir yang dijadikan sebagai nisan
makam. Jenis temuan yang mempunyai jumlah paling tinggi adalah
lumpang batu. Lumpang batu yang ditemukan di Tincoter buat dari
batu vulkanik yang mempunyai satu, dua dan tiga lubang dengan
ukuran lubang rata-rata yaitu kedalaman lubang 20 cm dan diameter
lubang 22 cm. Terdapat juga lumpang yang mempunyai lubang-
lubang dakon pada bagian yang sama dalam satu batu. Keseluruhan
lubang pada lumpang batu mempunyai permukaan lubang yang
halus. Keadaan ini disebabkan oleh lumpang batu tersebut sering
digunakan untuk menumbuk (Hasanuddin, 2015).
- Situs Goarie, di situs tersebut terdapat teras batu dan pada bagian
puncak terdapat enam altar batu yang disusun dan dilindungi dengan
bangunan beratap seng. Susunan altar-altar batu tersebut sebagai
tanda lokasi kedatangan tomanurung di Goarie. Di depan susunan
altar batu ditemukan beberapa jenis persembahan yang digunakan
dalam ritual seperti pedupaan, daun sirih, kapur, pinang dan telur
ayam.
- Umpungeng. . Salah satu Situs megalitik yang ada di umpungeng
adalah Possi tana. Posi tana adalah batu alam yang ditanam di tengah
susunan batu (batu melingkar/ temu gelang). Bagian possi tana yang
terlihat adalah hanya permukaannya saja. usunan bongkahan batu
alam yang mengelilingi possi tana (batu melingkar/temu gelang)
berdenah lingkaran tetapi tidak simetris. Kondisi lingkaran batu
masih terawat meskipun ada beberapa penggantian bongkahan batu
karena hilang. Panjang susunan batu dari bagian barat ke timur
adalah 15,6 meter sedangkan dari selatan ke utara 14 meter.
Posisinya berada pada puncak bukit.
- Lawo. Berbagai monumen megalit ditemukan seperti batu yang
mempunyai gambar bulat menyerupai roda, lumpang batu, batu
bergores dan batu dakon. Secara keseluruhan, artefak megalitik yang
ditemukan di Lawo merupakan bongkahan batu yang tersebar di
pinggir sungai yang nampaknya menggunakan sumber batuan yang
ada di sekitarnya. Hal itu dibuktikan dengan sebaran batu andesit di
sekitar permukiman penduduk di Daerah Aliran Sungai Lawo.

5. Masa Logam
Peninggalan zaman logam yang ada di Sulawesi, antara lain :
• Mamuju, Sulawesi Barat
Salah satu data terbaru mengenai masa logam di Sulawesi adalah data
pertanggalan ekskavasi yang dilakukan oleh tim penelitisn Balar Sulsel
tahun 2014 di daerah Sakkara, kecamatan Bonehau, Kabupaten
Mamuju, Sulawesi Barat berumur 2000 tahun yang lalu. Artefak logam
yang ditemukan di Sakkara, Mamuju berupa fragmen besi berbentuk
mata kail dan sisa peleburan bijih besi berupa iron slag (kerak besi) yang
ditemukan dalam satu konteks dan saling berasosiasi dengan masa yang
lebih tua yaitu temuan dengan ciri budaya masa Neolitik Akhir.
• Makassar, Sulawesi Selatan
Beberapa temuan lepas lainnya yang menarik dari logam perunggu di
Sulawesi Selatan adalah kapak corong dan nekara. Temuan kapak
corong dari Makassar, tidak jelas asal-usulnya, karena hanya merupakan
benda yang dibeli oleh para peneliti belanda. Namun, dari bentuk dan
stylenya, jelas kapak corong tersebut tidak dipergunakan sebagaimana
fungsi praktisnya, kemungkinan dipergunakan sebagai jimat, benda
keramat dan benda upacara. Pada bagian atasnya berbentuk corong,
tempat memasukkan gagang atau pegangan dari kayu.
• Selayar, Sulawesi Selatan
Di selayar ditemukan Nekara perunggu, kapak corong, Genta Perunggu,
Bejana dan perhiasan. Menurut Harun Kadir (1989) bahwa berdasarkan
ragam motif hias yang terdapat pada nekara selayar, dapat mengungkapkan
berbagai aspek tentang nekara tersebut. Misalnya motif hias gajah dan
burung merak, jelas merupakan fauna yang tidak lazim di sulawesi, dan
fauna tersebut berkembang biak di Asia Timur dan daratan Asia Tenggara.
Hal ini menunjukkan bahwa nekara tersebut bukan buatan setempat, dan
sampai sekarang juga belum pernah ditemukan belas cetakannya.
Bentuk kebudayaan logam selayar seperti kapak corong,kapak
perunggu, genta perunggu, bejana dan perhiasan berusia sekitar 600 tahun
SM- abad ke 3 M. Secara umum memiliki fungsi sosial, budaya, ekonomi
(perdagangan) dan religi.
• Luwu, Sulawesi Selatan
Ditemukan fragmen nekara. Temuan nekara tersebut berdasarkan hasil
survei OXIS di Kompo’ Kasa tepat ditepi sungai Kasa-Wotu (Luwu)
tahun 1999, berupa fragmen perunggu yang merupakan bagian
punggung (bahu) sebuah nekara (genderang perunggu).
• Soppeng, Sulawesi Selatan
Tradisi penempaan besi dalam masyarakat Bugis-Soppeng telah dikenal
sejak terjadinya hubungan penduduk bugis dengan masyarakat luwu
pada masa abad ke-14 sampai abad ke-15 M yang lebih dulu mengenal
teknik peleburan logam. Beberapa situs yang memiliki sejarah
penelitian penemuan benda logam yakni, ditemukan di situs Tinco, situs
Samoling dan situs Marioriawa.

SUMBER :

Materi pembelajaran (PPT) Neolitik, Megalitik, Masa Logam dari Bapak Dr. Hasanuddin,
M.A.

Materi alur pembelajaran mata kuliah Prasejarah Sulawesi di SIKOLA UNHAS

Hasanuddin, dkk. (2016). LEMBAH WALENNAE : Lingkungan Purba dan Jejak


Arkeologi Peradaban Soppeng. Yogyakarta : Ombak.

Tunggul Fahrul, Ibnu Sasongko, Mohammad Reza. PENGEMBANGAN SITUS


MEGALITIKUM UNTUK WISATA BUDAYA DI LEMBAH BEHOA KECAMATAN LORE
TENGAH KABUPATEN POSO.

Dwi Yani Yuniawati Umar. STRATEGI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN


PENELITIAN PENINGGALAN TRADISI MEGALITIK SULAWESI.

Akin Duli. Peninggalan Megalitik di Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Propinsi


Sulawesi Selatan, suatu rekonstruksi masyarakat atas dasar kajian Etnoarkeologi". Diakses
pada 7 Desember 2021 dari http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-73849.pdf

Ar-Rasyid Muhammad Rizky. (2017). Budaya Megalitikum di Indonesia. Diakses


pada 7 Desember 2021 dari https://id.scribd.com/document/365052282/Budaya-
Megalitikum-Di-Indonesia

Anda mungkin juga menyukai