NIM : F071191055
3. Austronesia di Sulawesi
➢ Proses Masuknya
Studi yang telah dilakukan oleh para ahli terdahulu telah memposisikan
kedatangan kelompok Austronesia ke Sulawesi pada kisaran 3800 BP dengan bukti-
bukti arkeologis ditemukan di sepanjang aliran sungai Karama, Mamuju (Simanjutak
2008; Anggraeni 2012). Studi mengenai jejak kehadiran para ekspansi penutur
Austronesia di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat selama ini berfokus pada wilayah
Kalumpang, Mamuju (Simanjutak 2008;Angrraeni 2012; Fakhri dkk, 2015), wilayah
Maros (Simanjutak 2008; Hasanuddin 2018; 2019), sebagian kecil di wilayah Enrekang
(Hasanuddin. 2011; 2018) dan Toraja (Hasanuddin, 2003; Mahmud 2008) di
Bontocani, Bone (Fakhri, et al, 2019).
Terbentuknya pola-pola etnografi yang mapan pada Zaman Neolitik dianggap
sebagai pijakan dari perkembangan peradaban. Di Sulawesi Selatan, penutur
austronesia hadir sejak sekitar 3580 ±130 BP seiring kedatangannya dengan membawa
perubahan kebudayaan dan sistem adaptasi dengan lingkungan. Kemampuan
mengadaptasikan diri terhadap lingkungan sekitar memungkinkannya terus
berkembang hingga menciptakan berbagai jenis budaya dan tradisi yang bahkan tradisi
tersebut masih dianut oleh sebagian masyarakat hingga saat ini.
➢ Bukti Kebudayaan
Secara garis besar alat-alat yang termasuk dalam budaya Neolitik sebagaimana
para ahli membagi yang termasuk di Sulawesi, antara lain:
a) Beliung Persegi : penemuannya hampir diseluruh kepulauan Indonesua
terutama di bagian barat, ukurannya kira-kira 4-25 cm digunakan untuk
mengerjakan kayu, salah satunya di temukan di Sulawesi Barat tepatnya
di Kalumpang. Variasi yang ditemukan di Kalumpang yaitu berbentuk
beliung biola dan ditemukan pula lancipan. Di Sulawesi Selatan
tepatnya di Kab. Maros ditemukan beliung persegi dari situs Mallawa.
Pada umumnya, beliung persegi berbentuk memanjang dengan
penampang lintang persegi. Seluruh bagainnya diupam halus kecuali
pada bagian pangkal sebagai tempat ikatan tangkai.
b) Kapak Lonjong.
Kapak lonjong memilki bentuk umum lonjong dengan pangkal
agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah
dari dua arah dan menghasilkan bentuk tajaman yang simetris. Disinilah
yang menjadi pembeda dengan beliung persegi yang tidak pernah
memiliki tajaman simetris (setangkup). Kapak lonjong yang di temukan
di daerah Sulawesi terdapat di Situs Tallasa dan Situs Mallawa di Kab.
Maros, serta Batu asah dan kapak lonjong dari Situs Buttu Banua Kab.
Enrekang.
c) Mata panah
Mata panah yang bergerigi ditemukan di Sulawesi Selatan
disebut juga Lancipan Maros (Maros Point). Istilah tersebut dilatar
belakangi oleh tempat atau daerah dimana jenis alat semacam ini
ditemukan pertama kalinya, yaitu disekitar situs-situs gua prasejarah
maros. Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa temuan mata panah
bergerigi tidak saja terdapat di daerah maros, tetapi juga ditemukan di
gua-gua prasejarah di pegunungan kapur dalam wilayah Kabupaten
Pangkajene Kepulauan, Bone, dan di gua Sodong Kabupaten Soppeng
(Heekeren, 1939-1957; Soejono, 1984: 187). Bahkan jenis mata panah
bergerigi ditemukan pula disitus terbuka, seperti kalumpang (Mamuju)
dan situs Bukit Bikulung (Gowa). Adapun ciri-ciri mata panah typical
yang ditemukan di Sulawesi Selatan secara umum memperlihatkan
penampang yang berbentuk segi tiga dengan sisi tajaman dua arah
(bifasial), bergerigi, sejajar, bagian pantat atau dasarnya bersayap dan
cekung (untuk penempatan gagang).
d) Alat pemukul kulit kayu (Batu Ike)
Batu Ike adalah istilah masyarakat Kulawi dan Biromaru untuk
alat batu yang dipakau mengolah kulit kayu menjadi pakaian. Di
Sulawesi Selatan, alat ini ditemukan di situs Kamasi dan Minanga
Sipakka (Mamuju) dan di Mamuju Utara, Seko (Luwu Utara) serta situs
Buttu Banua dan Buttu Batu di Enrekang. Jumlahnya yang cukup
menonjol menegaskan bahwa pengolahan kulit kayu untuk membuat
pakaian dipakai secara komunal oleh populasi Neolitik.
e) Tembikar (Gerabah)
Penelitian arkeologi membuktikan bahwa tembikar telah dikenal
sejak masa bercocok tanam. Dikenalnya benda-benda dari tanah liat
membuktikan kemajuan teknologi manusia yang semakin tinggi karena
sudah dapat menghasilkan benda dengan pembakaran suhu yang tinggi.
Dari temuan sebaran tembikar, jelas terlihat bahwa teknologi
pembuatannya juga telah mengalami perubahan. Teknik pembuatan
tembikar pada masa awal dibuat dengan cara yang sangat sederhana
yaitu teknik tangan. Pembentukannya yang memakai tangan akan
menghasilkan bentuk yang tidak simetris dan cenderung kasar.
Teknologi pembuatan tembikar dari teknik tangan berubah dengan
menggunakan tatap batu dan pelandas, lalu teknik yang lebih maju lagi
dengan menggunakan roda pemutar. Di Sulawesi sendiri ada ditemukan
beberapa tembikar tepatnya di Kalumpang Sulawesi Barat, serta Tatap
dan pelandas yang ditemukan di Situs Buttu Banua Kab. Enrekang.
➢ Inovasi yang telah dicapai oleh Austronesia pada masa ini adalah :
• Alat-alat yang sudah diasah dan lebih dipertajam (sudah ada batu asah)
• Dimulainya seni ukir terutama pada benda-benda gerabah;
• Khusus gerabah selain digunakan sebagai alat untuk keperluan sehari-hari, juga
digunakan sebagai alat upacara, bekal kubur, maupun wadah penguburan
• Mulainya dikenal pakaian yang terbuat dari kulit kayu dengan ditemukannya alat
pemukul dari kulit kayu atau disebut Batu Ike.
4. Kebudayaan Megalitik
➢ Definisi
Secara harfiah Megalitik diartikan sebagai batu besar, mega berati besar dan lithos
berarti batu. Secara umum diartikan sebagai benda/bangunan dari batu (besar) yang intinya
berkaitan dengan leluhur. Megalitik yakni budaya yang memanfaatkan batu-batu besar
sebagai sarana aktivitas hidupnya, khususnya berhubungan dengan nenek moyang.
➢ Masuknya di Sulawesi
Masyarakat pendukung tradisi megalitik di Pulau Sulawesi ditandai dengan
kehidupan yang bersifat sakral dan profan yang tidak dapat di pisahkan dalam arti bahwa
sarana-sarana yang berkembang dengan kebutuhan sakral selalu berkaitan dengan
kebutuhan profan, misalnya tempat tinggal selalu ditemukan bersama-sama dengan tempat
pemujaan. Begitupun tradisi pendirian monumen megalitik selalu berdasarkan kepercayaan
akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama akan adanya pengaruh
yang kuat terhadap kesejahteraan hidup dan kesuburan tanaman. Olehnya itu jasa dari
seseorang yang telah meninggal diabadikan dengan mendirikan bangunan yang berupa batu
besar yang kemudian menjadi medium pemujaan, penghormatan, tempat persinggahan dan
sekaligus merupakan lambang si mati. Pola pemikiran semacam ini dapat ditemukan dalam
pembuatan bangunan-bangunan megalitik di Pangesoreng Kabupaten Maros Sulawesi
Selatan. Di Sulawesi Selatan, megalitik berkembang pada abad ke 2-4 Masehi (temuan
Rampi, Luwu Utara) berlanjut terus pada abad ke-13 (di Soppeng dan Wajo) bersamaan
dengan dimulainya masa kerajaan di Sulawesi Selatan. Hingga sekarang masih dilakukan
ritual-ritual untuk sebagian daerah seperti di Toraja, Enrekang, Soppeng dan Bantaeng.
➢ Jenis-Jenis Peninggalan
Adapun jenis-jenis peninggalan Megalitik yang ada di Sulawesi, antara lain :
• Peninggalan Megalitik di Sillanan Kabupaten Tana Toraja
Temuan yang didapatkan, adalah : menhir (benu tuk, tata letak,
komposisi berbeda), lumpang batu, lesung batu, altar batu, tahta batu, temu
gelang, umpak, batu angsa, teras berundak, pagar batu, karopik, batu batu
monolit, dan hang. Situs-situs tersebut berfungsi sebagai tempat pemujaan dan
tempat upacara kematian.
• Peninggalan Megalitik Lembah Besoa di Poso Sulawesi Tengah
Peninggalan situs megalitikum yang terdapat di lembah besoa
kabupaten Poso yaitu arca-arca batu, menhir dan dolmen. Contoh arca batu
yaitu situs tadulako, situs pokokea, situs bangkeluo,situs tempe, situs padang
maosora, dan kalamba yang terbuat dari batu alam. Kegunaan situs-situs
Megalit digunakan sebagai tempat penyimpanan air dan sebagai tempat
penyimpanan mayat yaitu situs pokokea, adapun arca berbentuk manusia
dianggap sebagai sebuah perwujudan terhadap pemujaan arwah nenek moyang
yang dimuliakan masyarakat setempat.
• Peninggalan Megalitik di Soppeng
- Situs sewo, berdasarkan survei yang dilakukan diperoleh temuan-
temuan arkeologi yang ditata di atas bukit yang disebut “Petta
Allangkanange” yaitu struktur berundak, batu pemujaan, dolmen,
dakon, batu dulang dan batu altar. Tempat tersebut digunkan sebagai
tempat untuk melepas nazar terutama dalam hubungannya dengan
aktivitas pertanian, khususnya menjelang musim tanaman dan
setelah panen.
- Situs Tinco, ditemukan berbagai jenis temuan masa lalu seperti
monumen-monumen megalit (lumpang batu, dakon, susunan batu
temu gelang, batu bergores/ bergambar, fragmen tembikar dan
tulang binatang) serta delapan menhir yang dijadikan sebagai nisan
makam. Jenis temuan yang mempunyai jumlah paling tinggi adalah
lumpang batu. Lumpang batu yang ditemukan di Tincoter buat dari
batu vulkanik yang mempunyai satu, dua dan tiga lubang dengan
ukuran lubang rata-rata yaitu kedalaman lubang 20 cm dan diameter
lubang 22 cm. Terdapat juga lumpang yang mempunyai lubang-
lubang dakon pada bagian yang sama dalam satu batu. Keseluruhan
lubang pada lumpang batu mempunyai permukaan lubang yang
halus. Keadaan ini disebabkan oleh lumpang batu tersebut sering
digunakan untuk menumbuk (Hasanuddin, 2015).
- Situs Goarie, di situs tersebut terdapat teras batu dan pada bagian
puncak terdapat enam altar batu yang disusun dan dilindungi dengan
bangunan beratap seng. Susunan altar-altar batu tersebut sebagai
tanda lokasi kedatangan tomanurung di Goarie. Di depan susunan
altar batu ditemukan beberapa jenis persembahan yang digunakan
dalam ritual seperti pedupaan, daun sirih, kapur, pinang dan telur
ayam.
- Umpungeng. . Salah satu Situs megalitik yang ada di umpungeng
adalah Possi tana. Posi tana adalah batu alam yang ditanam di tengah
susunan batu (batu melingkar/ temu gelang). Bagian possi tana yang
terlihat adalah hanya permukaannya saja. usunan bongkahan batu
alam yang mengelilingi possi tana (batu melingkar/temu gelang)
berdenah lingkaran tetapi tidak simetris. Kondisi lingkaran batu
masih terawat meskipun ada beberapa penggantian bongkahan batu
karena hilang. Panjang susunan batu dari bagian barat ke timur
adalah 15,6 meter sedangkan dari selatan ke utara 14 meter.
Posisinya berada pada puncak bukit.
- Lawo. Berbagai monumen megalit ditemukan seperti batu yang
mempunyai gambar bulat menyerupai roda, lumpang batu, batu
bergores dan batu dakon. Secara keseluruhan, artefak megalitik yang
ditemukan di Lawo merupakan bongkahan batu yang tersebar di
pinggir sungai yang nampaknya menggunakan sumber batuan yang
ada di sekitarnya. Hal itu dibuktikan dengan sebaran batu andesit di
sekitar permukiman penduduk di Daerah Aliran Sungai Lawo.
5. Masa Logam
Peninggalan zaman logam yang ada di Sulawesi, antara lain :
• Mamuju, Sulawesi Barat
Salah satu data terbaru mengenai masa logam di Sulawesi adalah data
pertanggalan ekskavasi yang dilakukan oleh tim penelitisn Balar Sulsel
tahun 2014 di daerah Sakkara, kecamatan Bonehau, Kabupaten
Mamuju, Sulawesi Barat berumur 2000 tahun yang lalu. Artefak logam
yang ditemukan di Sakkara, Mamuju berupa fragmen besi berbentuk
mata kail dan sisa peleburan bijih besi berupa iron slag (kerak besi) yang
ditemukan dalam satu konteks dan saling berasosiasi dengan masa yang
lebih tua yaitu temuan dengan ciri budaya masa Neolitik Akhir.
• Makassar, Sulawesi Selatan
Beberapa temuan lepas lainnya yang menarik dari logam perunggu di
Sulawesi Selatan adalah kapak corong dan nekara. Temuan kapak
corong dari Makassar, tidak jelas asal-usulnya, karena hanya merupakan
benda yang dibeli oleh para peneliti belanda. Namun, dari bentuk dan
stylenya, jelas kapak corong tersebut tidak dipergunakan sebagaimana
fungsi praktisnya, kemungkinan dipergunakan sebagai jimat, benda
keramat dan benda upacara. Pada bagian atasnya berbentuk corong,
tempat memasukkan gagang atau pegangan dari kayu.
• Selayar, Sulawesi Selatan
Di selayar ditemukan Nekara perunggu, kapak corong, Genta Perunggu,
Bejana dan perhiasan. Menurut Harun Kadir (1989) bahwa berdasarkan
ragam motif hias yang terdapat pada nekara selayar, dapat mengungkapkan
berbagai aspek tentang nekara tersebut. Misalnya motif hias gajah dan
burung merak, jelas merupakan fauna yang tidak lazim di sulawesi, dan
fauna tersebut berkembang biak di Asia Timur dan daratan Asia Tenggara.
Hal ini menunjukkan bahwa nekara tersebut bukan buatan setempat, dan
sampai sekarang juga belum pernah ditemukan belas cetakannya.
Bentuk kebudayaan logam selayar seperti kapak corong,kapak
perunggu, genta perunggu, bejana dan perhiasan berusia sekitar 600 tahun
SM- abad ke 3 M. Secara umum memiliki fungsi sosial, budaya, ekonomi
(perdagangan) dan religi.
• Luwu, Sulawesi Selatan
Ditemukan fragmen nekara. Temuan nekara tersebut berdasarkan hasil
survei OXIS di Kompo’ Kasa tepat ditepi sungai Kasa-Wotu (Luwu)
tahun 1999, berupa fragmen perunggu yang merupakan bagian
punggung (bahu) sebuah nekara (genderang perunggu).
• Soppeng, Sulawesi Selatan
Tradisi penempaan besi dalam masyarakat Bugis-Soppeng telah dikenal
sejak terjadinya hubungan penduduk bugis dengan masyarakat luwu
pada masa abad ke-14 sampai abad ke-15 M yang lebih dulu mengenal
teknik peleburan logam. Beberapa situs yang memiliki sejarah
penelitian penemuan benda logam yakni, ditemukan di situs Tinco, situs
Samoling dan situs Marioriawa.
SUMBER :
Materi pembelajaran (PPT) Neolitik, Megalitik, Masa Logam dari Bapak Dr. Hasanuddin,
M.A.