Anda di halaman 1dari 23

Bab III

Masa Berburu dan Mengumpulkan


Makanan Tingkat Lanjut
Penjelasan representatif tentang prasejarah nusantara baik manusia
maupun budayanya di kala Holosen sangat terbatas dan secara umum masih
bersifat hipotetik. Kenyataan ini merupakan suatu tantangan, mengingat kala
Holosen merupakan rentang waktu yang sangat penting artinya dalam sejarah
peradaban. Temuan rangka dari Tamiang (Sumatera Utara), Sampung (Jawa
Timur) dan Leang Codong (kab. Soppeng) telah menegaskan bahwa transmisi
genetik manusia nusantara sekarang sudah jelas berasal dari masa Holosen awal
dan tentu saja, pola-pola etnografi sekarang juga berakar dari masa tersebut.
Untuk selanjutnya, budaya awal Kala Holosen tersebut kami sebut sebagai budaya
mesolitik dengan ciri pola ekonomi berburu dan mengumpul makanan tetapi sudah
mengalami kemajuan.
Proses peralihan dari kala Plestosen akhir ke Holosen awal, serangkaian
peristiwa geologis berupa kegiatan vulkanis, pengangkatan, dan penurunan
daratan berlangsung di Nusantara. Melelehnya es dari belahan bumi utara
menyebabkan naiknya permukaan air laut dan sebagai konsekuensi, komunikasi
antar pulau dengan Asia Daratan menjadi berkurang; daratan yang
bersinambungan antara Sumatera, Jawa dan Kalimantan tergenang. Setelah
memasuki kala Holosen, beberapa kalangan menyebutkan bahwa iklim di
kepulauan pada masa itu sama dengan sekarang; fauna resen sudah ada
walaupun beberapa spesies tertentu lebih besar dibanding sekarang. Bersamaan
dengan peristiwa tersebut, perkembangan budaya yang sangat cepat telah dicapai
dengan serangkaian inovasi di bidang teknologi, sosial, ekonomi maupun religi.
Kolonisasi kepulauan lewat rangkaian gelombang migrasi dilakukan oleh berbagai
ras Homo sapiens dengan melalui laut untuk antar pulau dan melalui sungai untuk
daerah pedalaman. Di kala itu, beberapa ras baru muncul menggantikan Homo
erectus, yaitu Paleo-melanesid, Negrito, dan Mongolid (Heekeren, 1972).

30
Untuk mesolitik di Indonesia, Heine Geldern (1945) berpendapat bahwa
bukan merupakan mata rantai genetis yang menghubungkan paleolitik dan neolitik,
tetapi lebih cenderung sebagai budaya paleolitik akhir yang berkembang sejak
Holosen. Ditambahkan bahwa budaya ini akhirnya dipengaruhi budaya neolitik
yang datang dari utara yang menyebabkan tidak adanya batasan yang jelas antara
Paleolitik Atas dan Neolitik Awal. Kalangan lain lebih memandang Mesolitik
sebagai Praneolitik yang didasarkan atas diperkenalkannya beberapa unsur
Neolitik ke dalamnya (Heekeren, 1972; Simanjuntak, 1992). Budaya ini dengan
demikian lebih tepat sebagai tingkat peralihan menuju Neolitik atau dengan
sebutan Neolitisasi.
Penelitian terhadap Mesolitik di Indonesia telah berlangsung sejak jaman
kolonial. Walaupun kurang lengkap, beberapa di antara peneliti tersebut adalah
dua bersaudara Paul dan Fritz Sarasin, van Stein Callenfels, W.J.A Willems, dan
van Heekeren. Para peneliti tersebut telah berjasa meletakkan perspektif mesolitik
Indonesia yang hingga kini masih dianut meskipun sebagian besar sudah
tergantikan oleh beberapa hasil penelitian arkeometri yang lebih maju.
Hasil penelitian selama ini memperlihatkan adanya beberapa kelompok
budaya mesolitik dengan ciri lokal yang berbeda satu dan lainnya.
Penggolongannya telah menjadi polemik beberapa ahli, tetapi secara garis besar
dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika populasi di Sumatera menggunakan
kapak Sumatralith yang juga populer dengan sebutan alat Hoabinhian, populasi di
Jawa mengembangkan teknologi tulang (bone culture) dan pada waktu yang
hampir bersamaan, populasi di Sulawesi mengembangkan alat serpih bilah dan
lukisan dinding gua. Walaupun kapak Sumatralith juga ditemukan di Jawa dan
sebaliknya demikian, tetapi lokasi perkembangannya pada tiga pusat tersebut.
3.1 Iklim Kala Holosen
Suhu pada kala Holosen 1 atau 2 C lebih tinggi daripada sekarang (pada
permukaan laut) dan air yang dilepaskan oleh tudung es dari kutub menyebabkan
naiknya permukaan air laut. Tidak ada bukti nyata bahwa garis pantai 6 m lebih
tinggi selama periode panas dalam zaman Holosen, tetapi pada zaman Plestosen

31
permukaan laut dapat mencapai 25 m di atas permukaan laut sekarang.
Permukaan laut maksimum yang berhasil terekam dari lepas pantai Semenanjung
Baratdaya adalah 4500 dan 1600 tahun yang lalu, ketika permukaan laut lebih
tinggi masing-masing 5 dan 2,5 m (periksa gambar no. 4) (de Klerk, 1983).
Dampak dari hal tersebut adalah terbentuknya garis pantai yang panjang di
Sumatera Timur dan Kalimantan Selatan, dan pemisahan kompleks lahan di kedua
belah sisi depresi Danau Tempe (Sartono, 1982; Whitten, 1987).

Gambar no. 4
Perubahan permukaan laut selama 700 tahun terakhir
(penelitian di Semenanjung Baratdaya, menurut de Klerk 1983)

6
5
4
3
m 2
1
0
-1
-2
8000 6000 4000 2000 0

(Sumber : Whitten, 1987)

Iklim kala Holosen secara garis besar dapat dikatakan sama dengan iklim
sekarang. Posisi Sulawesi pada bagian tengah tempat pertemuan dua arah mata
angin menjadikan iklim Sulawesi lebih mudah ditelusuri dengan mengacu pada
curah hujannya. Beberapa komponen iklim dapat disebutkan antara lain, suhu,
penyinaran, penguapan, kecepatan angin, dan kelembaban relatif konstan, atau
bila tidak terutama ditentukan oleh pola intensitas curah hujan.
Antara September dan Maret, angin baratlaut yang sejuk membawa kapal
sambil melintasi Laut Cina Selatan (antara Malaysia Timur dan Barat, Filipina dan
Vietnam) dan sampai di Sulawesi Utara melewati Laut Sulawesi dalam bulan

32
sekitar November, dan di pantai barat Sulawesi Selatan melewati Laut Jawa pada
akhir November, sampai permulaan Desember. Pantai barat bagian tengah
Sulawesi terlindung dari pengaruh angin-angin itu oleh Kalimantan. Setelah
periode ini, angin tenggara yang basah dan berubah-ubah meniup ke arah bagian
timur Sulawesi dan curah hujan tertinggi di pantai tenggara terjadi antara April dan
Juni, dan di pantai timurlaut agak kemudian. Angin tenggara dari daratan Australia
yang kering dan bermusim dingin bertiup semakin kencang dan angin kering ini
berpengaruh nyata terhadap semenanjung ujung selatan Semenanjung tenggara
dan barat daya. Manado mengalami musim kering pendek dari Agustus sampai
Oktober, tetapi Jeneponto di bagian selatan mengalami musim kering panjang
antara April dan November (Whitten, 1987).
Foto no. 4
Lingkungan karst gua-gua mesolitik Bellae, kab. Pangkep

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa wilayah-wilayah pantai barat


Sulawesi cenderung mempunyai curah hujan tertinggi dalam bulan Desember,
sedang wilayah di pantai timur bulan yang paling basah adalah sekitar Mei. Orang
dapat berharap menemukan daerah-daerah antara dengan dua musim kering

33
(suatu agihan dua pola) dan memang demikianlah kenyataannya. Pendolo dan
Pinrang di bagian tengah semenanjung baratdaya merupakan contohnya (Whitten,
1987).
3.2 Flora dan Fauna
Kepulauan Indo-Malaysia merupakan bagian dari apa yang disebut oleh
para pakar botani sebagai kawasan “Malesia” dengan kawasan khatulistiwa yang
senantiasa basah. Pada kawasan ini terdapat kira-kira 10% spesies, 25% genera,
dan lebih dari 50% famili dari seluruh tanaman yang ada di dunia. Lebih dari
25.000 spesies tanaman berbunga ada di kawasan itu, dan 11.000 di antaranya
terdapat di Borneo saja (Bellwood, 2000). Wilayah flora Malesia meluas dari garis
antara Kangar dan Pattani, masing-masing di Semenanjung Malaya bagian utara
dan Thailand bagian selatan, melintasi Indonesia, Filipina, sampai ke Kepulauan
Bismark di sebelah timur Irian (Whitten, 1987).
Spesimen-spesimen botani yang dikumpulkan dari Sulawesi lebih sedikit
dari pulau-pulau lain yang penting di Indonesia. Sampai sekarang, dari setiap 100
km2 hanya sekitar 23 spesimen yang ditempatkan di herbarium-herbarium, sedang
dari Jawa dikenal lebih dari 200 spesimen per 100 km 2.
Suatu analisis seluruh flora di Malesia pada tingkat marga menunjukkan
adanya tiga propinsi di Malesia. Dari ketiga propinsi, Malesia timur meliputi Irian,
Kepulauan Maluku dan Sulawesi (van Steenis, 1950). Pantai-pantai Sulawesi
bertepikan batu karang, hamparan lumpur, hutan bakau dan vegetasi yang
terdapat di pantai-pantai berbatu atau berpasir. Habitat-habitat air tawar
kebanyakan dalam dan agak miskin akan zat-zat hara dan akibatnya vegetasi air
tawar tidak berkembang baik. Hutan dataran rendah di Sulawesi mempunyai
jumlah jenis pohon yang paling banyak dari semua tipe hutan, tetapi hanya
mempunyai tujuh jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, sedang di
Sumatera dan Kalimantan terdapat 267 dan 106 jenis (Ashton,1982).
Data terbaru, analisis mengenai 4222 jenis flora Sulawesi mengungkapkan
bahwa flora Sulawesi itu berkerabat paling dekat dengan flora wilayah lain yang
relatif kering di Filipina, Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa. Tidak ada afinitas yang

34
jelas antara Sulawesi dan pulau-pulau di sebelah timur atau di sebelah baratnya.
Kira-kira 50% tumbuhan yang merupakan jenis endemik di Kalimantan tidak
terdapat di Sulawesi. Hal ini menunjukkan bahwa Selat Makassar pernah terbuka
untuk waktu yang sangat lama. Persepsi tersebut sangatlah lemah bila
diperhatikan adanya tumbuhan non endemik asal timur yang melintasi Selat
Makassar dari Sulawesi ke Kalimantan. Ternyata jalan paling mudah bagi jenis-
jenis tumbuhan untuk dapat memasuki Sulawesi adalah melalui Jawa, Nusa
Tenggara, Filipina dan Sangihe (Whitten, 1987).
Tabel no. 2
Tipe-tipe vegetasi alami di Sulawesi

Iklim Air tanah Lokasi Tanah Ketinggian Tipe vegetasi


Selalu basah Tanah kering Pedalaman Zonal Dataran rendah Hutan dataran
<1.000 m rendah
Pegunungan Hutan pegunungan
1.000-2.100 m bawah
Pegunungan Hutan pegunungan
2.100-3.250 m atas
Pegunungan Hutan Subalpin
3.250-3.450 m
Ultra Terutama dataran Hutan ultra lahan
basis rendah basis
Tanah Terutama dataran Hutan lahan kapur
kapur rendah
Pantai Hutan pantai

Air tanah tinggi Air tawar Gambut Hutan rawa gambut


(setidak-
tidaknya
berkala) Organik Hutan rawa air
(muck) tawar
Air payau Lempung Hutan air payau
asin
Air asin Lempung Hutan bakau
asin

Kekurangan Zonal Dataran rendah Hutan musim


air tahunan dataran rendah
yang jelas Ultra Terutama dataran Hutan musim lahan
basis rendah ultra basis
Tanah Terutama dataran Hutan musim lahan
kapur rendah kapur

Sumber : Whitten, 1987

35
Seperti biasanya, vegetasi alami yang tumbuh di daerah tertentu
bergantung pada berbagai faktor seperti kimia tanah, air tanah, iklim, tinggi di atas
permukaan laut, jarak dari laut dan jarak dari daerah yang mempunyai kondisi
serupa. Untuk lebih mudah memahami garis besar vegetasi alami Sulawesi,
perhatikan tabel berikut (van Steenis 1950 dan Whitmore 1984) tetapi klasifikasi
yang lebih terperinci telah disusun oleh Kartawinata (1980).
Agihan ruang tumbuhan seperti disebut di atas juga berlaku dalam dunia
fauna. Sebagai akibat terputusnya wilayah Indonesia dari daratan Asia dan
terbentuknya pulau-pulau di Indonesia pada akhir kala Plestosen, Hewan-hewan
yang hidup di pulau-pulau kecil kemudian hidup terasing, dan terpaksa
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, dan beberapa di antaranya
kemudian mengalami evolusi lokal (Soejono, 1991). Sejarah geologi yang lebih
muda, tercermin dalam agihan jenis marga tertentu misalnya monyet Sulawesi.
Monyet-monyet itu mungkin berkembang dari nenek moyang monyet berekor-babi
Macaca nemestrina (sekarang ditemukan di Sumatera dan Kalimantan) yang
menyeberang ke Sulawesi, mungkin dalam pertengahan Plestosen (Whitten,
1987).
Tabel no. 3
Presentase jenis hewan menyusui, burung dan hewan melata
yang endemik untuk wilayah utama di Indonesia
Hewan menyusui Burung Hewan melata
Sumatera 10 2 11
Jawa 12 7 8
Kalimantan 18 6 24
Sulawesi 69 31 26
Nusa Tenggara 12 30 22
Maluku 17 33 18
Irian 58 52 35
Sumber : Whitten, 1987

Pada kala Holosen, fauna Sulawesi merupakan yang paling khas di seluruh
Indonesia terutama pada hewan-hewan yang menyusui (Tabel 3). Dari 127 jenis
hewan menyusui asli, 79 (62%) bersifat endemik (hanya terdapat di Sulawesi) dan
persentasenya meningkat sampai 98% jika kelelawar tidak dihitung.

36
Salah satu jenis hewan endemik dari Sulawesi adalah babi rusa. Babirusa
merupakan hewan yang mengandung teka-teki seperti namanya “rusa seperti
babi” (atau babi seperti rusa). Hewan ini mempunyai kerapatan bulu pada kulitnya
yang berbeda-beda, warna rambut yang berbeda-beda, dan warna mata yang
berbeda-beda pula, dan ciri-ciri itu tidak satu pun tampak kaitannya dengan jenis
kelamin. Walaupun demikian, mungkin terdapat kecenderungan geografi tentang
ciri-ciri tersebut tetapi terlalu sedikit spesimen dengan data lokasi terinci yang
tersedia. Babirusa biasanya dikelompokkan menjadi satu dengan babi hutan, tetapi
mereka tidak mempunyai nenek moyang yang sama sejak zaman Oligosen (± 30
Ma) (Whitten,1987).
Selain babi rusa, dua kerbau kerdil atau anoa, Bubalus depressicornis dan
Bubalus quarlesi, masing-masing ditemukan di dataran-dataran rendah dan di
gunung-gunung (Groves,1969) juga merupakan hewan endemik. Kuskus beruang
Phalanger urbisus yang berukuran paling besar dan kuskus yang paling kecil
Phalanger celebensis juga memperkaya hewan endemik Sulawesi.
Untuk jenis burung, dikenal 328 burung yang 81 (25%) di antaranya
berpindah-pindah. Di antara burung yang menetap, 88 (27%) jenis bersifat
endemik bagi Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya. Jenis endemik itu mencakup
burung yang aneh atau indah seperti misalnya pemakan lebah berwarna hijau tua
(Meropogan forseni), burung rangkok yang besar dengan warna cerah (Rhyticeros
cassidix), jalak Sulawesi (Basilornis celebensis) dan jalak paruh besar
(Scissirostrum dubium) dengan sejumlah besar sarang-sarangnya dalam lubang-
lubang yang dibuat pada pohon-pohon tinggi yang telah mati. Burung dari
Sulawesi yang paling dikenal adalah maleo Macrocephalon maleo yang menggali
liang dalam tanah yang panas untuk menetaskan telurnya.
Bila di Kalimantan terdapat 100 jenis amfibi, sampai sekarang dari Sulawesi
hanya dikenal 29 jenis tetapi 19 jenis (66%) bersifat endemik. Prosentase ini
meningkat menjadi 76% bila keempat jenis yang habitatnya seringkali bersama-
sama dengan manusia tidak ikut dihitung, karena mungkin sekali jenis-jenis ini
tanpa sengaja terbawa oleh manusia (Whitten,1987).

37
Untuk kadal, Sulawesi memiliki 40 jenis yang dikenal dari daratan utama
dan 13 di antaranya bersifat endemik. Hewan melata yang paling khas meskipun
juga ditemukan di Maluku ialah kadal soa-soa Hydrosaurus amboinensis yang
biasanya ditemukan di dekat air. Hewan ini boleh dikatakan merupakan satu-
satunya kadal pemakan tumbuhan yang hidup di pohon di wilayah Indo-Malaya
(Rand,1978). Sedangkan hewan yang dikenal lebih baik adalah ular, 64 jenis telah
dikumpulkan dari daratan utama dan perairan pantai. 15 jenis di antaranya
endemik dan satu marga monotipik rabdion. Anehnya, pulau kecil tanah Jampea
pulau Selayar hanya mempunyai dua jenis ular dan keduanya endemik “ilyssia”
Jampea Cylindrophis isolepis dan ular tanah Jampea Trimeresurus fasciatus (de
Rooij,1917).
Di Sulawesi tidak ada ikan air tawar yang benar-benar asli. Yang ditemukan
di sungai-sungai dan telaga adalah jenis ikan air asin yang toleran terhadap air
tawar, jenis yang didatangkan. Sedangkan untuk jenis kupu-kupu ekor sriti besar
yang biasanya sangat menarik dan 11 (29%) dua di antaranya bersifat endemik.
Yang patut dicatat adalah serangga dalam jumlah yang banyak pada waktu-waktu
tertentu. Berdasarkan percobaan, serangga lebih mempunyai perasaan untuk arah
dari pada untuk tempat (Baker,1982).
3.3 Manusia
Dari hasil penemuan beberapa rangka manusia masa mesolitik, dapat
disimpulkan bahwa ada dua ras penghuni nusantara yaitu ras Australomelanesid
yang hidup di pulau Jawa, Sumatera dan Irian sedangkan ras kedua adalah ras
Mongoloid di Sulawesi. Ras Mongoloid yang dominan di Sulawesi sangat mungkin
disebabkan karena posisi Sulawesi sebagai pintu nusantara dari jalur utara lewat
Filipina. Bersamaan dengan itu, populasi Australomelanesid tetap dominan di
Jawa, Sumatera dan Irian. Dominannya pengaruh Mongoloid sejak awal
menyebabkan populasi manusia di Sulawesi memperlihatkan ciri Mongoloid yang
kuat sampai sekarang. Di Jawa dan Sumatera, ciri Mongoloid lebih menguat pada
masa neolitik, sekaligus membuktikan bahwa populasi Mongoloid masuk ke Jawa

38
dan Sumatera lebih belakangan. Populasi Mongoloid tidak menggantikan
penduduk asli tetapi lebih berbaur dengan mereka (Jacob, 1967).
Sisa-sisa manusia Holosen di Sulawesi Selatan ditemukan di beberapa
tempat. Dalam gua-gua dekat Lamoncong Kabupaten Bone, yaitu gua Cakondo,
Ululebba, dan Balisao ditemukan sisa-sisa manusia berupa tulang-belulang dan
gigi. Di tempat lain ditemukan beberapa belas jumlahnya, termasuk pada Bola
Batu, leang Karrasa dan Leang Codong juga ditemukan rangka manusia. Tinggi
badan rangka-rangka tersebut tidak besar dan gigi-giginya juga kecil.
Penemuan yang paling representatif adalah di leang Codong, Citta
Kabupaten Soppeng. Sekitar 2700 buah gigi lepas yang digali pada tahun 1937
mewakili sekurang-kurangnya 267 orang. Populasi ini memperlihatkan ciri
Mongoloid yang menonjol. Misalnya banyaknya gigi seri dan taringnya
menembilang. Sebagian besar gigi atasnya menunjukkan gigitan yang tepat
menimpa gigi bawah. Gigi-giginya lebih kecil. Penyakit gigi juga terdapat di
kalangan penduduk leang Codong.
Beberapa ciri fisik populasi Mongoloid adalah variasi badan tidak selebar
pada ras Australoid, dan rata-rata lebih kecil sedikit. Tengkoraknya bundar atau
sedang, dengan isi tengkorak rata-rata lebih besar. Dahinya lebih membulat dan
rongga matanya biasanya tinggi atau persegi. Mukanya lebar dan datar (dalam
arah muka-belakang) dengan hidung yang sedang atau lebar; akar hidungnya
dangkal. Hanya bagian mulutnya yang menonjol ke depan sedikit bersama dengan
gigi muka. Reduksi alat pengunyah telah melanjut, tempat perlekatan otot-otot lain
mulai kurang nyata (Soejono,1991).
3.4 Industri Serpih-Bilah Toala
Tradisi serpih-bilah berkembang di beberapa daerah di Asia Tenggara,
terutama di Indonesia tradisi ini menonjol pada kala Holosen. Teknik pembuatan
alat-alatnya melanjutkan teknik pada masa sebelumnya, tetapi bentuk alat-alatnya
tampak lebih maju dalam berbagai corak untuk bermacam kegunaan. Bellwood
(2000) menyebutkan bahwa hingga kini terdapat dua jenis industri dalam
teknokompleks alat serpih bilah yang dapat diketahui, yaitu industri bilah yang

39
tidak diretus di Filipina dan Kepulauan Talaud di Indonesia timur laut, dan industri
alat serpih berpunggung serta mikrolit yang disebut Toalean di Sulawesi Selatan.
Industri alat serpih bilah Toala di Sulawesi Selatan tampaknya mulai muncul
selama milenium kelima Sebelum Masehi dengan berbagai bentuk mikrolit (alat
serpih kecil berpunggung dan berbentuk geometris) yang unik bagi Kepulauan
Indo-Malaysia (Bellwood, 2000). Bahan batuan yang dipakai adalah kalsedon,
gamping kersikan, chert, jasper dengan tingkatan kekerasan 5 – 8 skala Mohs.

Gambar no. 5
Illustrasi pembuatan alat batu

Teknik pemukulan
Teknik pemukulan
langsung
tidak langsung

Teknik tekan
Teknik tekan

Sumber : Oakley, 1972

Himpunan alat serpih bilah Toala telah digali sejak tahun 1902, dimulai oleh
dua orang bersaudara bangsa Swiss, Fritz dan Paul Sarasin di gua Cakondo,
Ululeba dan Balisao. Pada umumnya ditemukan serpih-bilah, di samping mata
panah yang bergerigi dan alat-alat tulang. Selama tahun 1930-an dan 1940-an,
Stein Callenfels (1939) dan Heekeren (1949) mencoba menyusun urutan
perkembangan alat batu Toala menurut bentuknya. Dalam risalah utama yang
terakhir disusun oleh Heekeren, terdapat tiga macam lapisan budaya, yaitu :

40
Toala awal : Serpih dan bilah yang agak kasar, dan besar; di antaranya ada
serpih berujung cekung, dan bilah bergagang.
Toala tengah : Bilah, mata panah berpangkal bundar dan alat-alat mikrolit.
Toala akhir : Mata panah bersayap dan bergerigi, lancipan Muduk, serut
kerang, dan gerabah.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di gua-gua prasejarah Maros,
terutama di Leang Burung 2 dan Ulu Leang 1, diketahui adanya himpunan alat
batu yang berkembang lebih awal.
Leang Burung 2 menghasilkan serpih yang tidak diretus dan batu inti
berukuran kecil dari bahan rijang dengan beberapa dataran pukul. Lapisan ini
bertarikh 29.000 dan 17.000 berdasarkan radiokarbon atas cangkang kerang air
tawar. Temuannya berupa serpihan mempunyai tajaman bergilap, menunjukkan
pernah dipakai untuk memotong batang atau daun tanaman. Selain itu, terdapat
empat bilah batu dengan dataran pukul berfaset-faset. Alat batu ini amat penting
karena menunjukkan kesadaran untuk menyiapkan batu inti, dengan penyerpihan
awal dalam proses pembuatan alat batu.
Penemuan teknik menyiapkan batu inti itu mungkin terjadi tanpa pengaruh
dari tempat-tempat lain, dan tampaknya tidak berlangsung terus sampai Kala
Holosen di situs-itus Sulawesi. Di Leang Burung 2 juga ditemukan potongan-
potongan oker, tetapi tidak ada lancipan tulang, sebagaimana juga tulang ikan dan
kerang laut karena mungkin laut jauh sekali pada saat itu. Industri ini berlanjut
sampai ke lapisan-lapisan bawah situs Ulu Leang 1 yang bertarikh Holosen Awal,
berisi sedikit kerang muara sungai yang mungkin diperoleh dari pantai yang
menjelang 6.000 tahun lalu mendekat sampai 35 km dari situs ini (Glover, E.
1990).
Ulu Leang 1 mempunyai lapisan-lapisan budaya yang paling lengkap. Alat
batu Toala terdapat pada lapisan-lapisan yang lebih atas dan bertarikh 6.000 tahun
lalu. Alat-alat batu ini sebenarnya ada dalam tradisi industri alat serpih dan
lancipan tulang yang terus berlangsung. Jenis alat batu yang terpenting adalah
serpih atau bilah yang ditumpulkan pada satu sisinya secara tegak atau sedikit

41
miring dan sering dilakukan pada sekitar bagian pangkalnya (mirip dengan „bilah
berpunggung” dalam terminologi Australia). Banyak dari alat batu berpunggung ini
yang mempunyai bentuk yang jelas seperti sabit atau trapesium dan umumnya
disebut sebagai mikrolit geometris, dan terdapat kecenderungan untuk menyebut
bilah berpunggung atau yang geomteris, sebagai “mikrolit” (Bellwood, 2000).
Artefak lain pada Ulu Leang adalah alat serpih bilah bergilap, batu inti bipolar kecil,
lancipan tulang, dan serut dari kerang bivalva (Willems, 1939).
Foto no. 5
Mata panah bergerigi dari kab. Maros

Sumber : Bellwood, 2000

Alat batu yang muncul belakangan dalam lapisan Toala adalah lancipan
Maros, yang bentuknya bersayap dan bergerigi pada sisi-sisinya. Kemungkinan
besar dipakai sebagai ujung anak panah atau ujung tombak dan menjadi umum
setelah 4.000 tahun lalu. Pada waktu itu tembikar sudah muncul di gua-gua Toala.
Dalam perspektif regional, ada kemungkinan lancipan Maros dipakai oleh para
pemburu pribumi yang hidup berdampingan dan melakukan pertukaran dengan
kelompok masyarakat Austronesia yang telah bercocok tanam sederhana. Tidak
jelas apakah lancipan Maros mewakili inovasi pribumi dalam keseluruhan

42
teknokompleks Toala atau mewakili teknologi yang diambil oleh para pemburu dari
teknokompleks lain. Kalau yang terakhir yang terjadi, sumbernya tidak diketahui
(Bellwood, 2000).
Gambar no. 6
Peralatan batu Toala dari Ulu Leang

(a,b) lancipan Maros; (c-h) alat serpih kecil dan bilah berpunggung tumpul
(i) batu inti kecil bipolar; (j) bilah dengan tepi bergilap; (k) serut diretus;
(l,m) lancipan tulang. (Sumber: Bellwood, 2000)

Situs Leang Burung 1 tarikhnya lebih muda lagi dibandingkan Ulu Leang,
dan endapan tampaknya berumur dua milenium terakhir Sebelum Masehi. Seluruh
situs-situs ini mempunyai tembikar, yang berarti mereka mungkin sejaman dengan
penyebaran kelompok yang telah bercocok tanam di seluruh kawasan tersebut.

43
Seperti lapisan atas di Ulu Leang 1, mikrolit dan lancipan Maros juga didapatkan
pada Leang Burung 1. dalam kronologi Toala van heekeren, lapisan budaya di Ulu
Leang 1 secara keseluruhan merupakan tahap kedua dan ketiga dalam tahapan
Toala (yaitu mikrolit berpunggung diikuti oleh munculnya lancipan Maros), tetapi
situs itu tidak mempunyai tahap bilah sederhana yang lebih awal.
Foto no. 6
Bilah berpunggung dari Bellae kab. Pangkep

Pertanyaan tentang ada tidaknya pembuatan bilah secara sengaja pada


situs-situs Toalean telah menjadi perdebatan oleh beberapa ahli. Chapman (1986)
merasa bahwa pembuatan bilah dilakukan di Leang Burung 1 dan sekitar 10% dari
alat serpih itu adalah bilah, meskipun tidak ditemukan batu intinya yang biasanya
berbentuk mengerucut. Heekeren (1972) juga menggambarkan beberapa bilah
dari situs Panganreang Tudea (Bantaeng). Namun, Glover dan Presland (1985)
menyangkal adanya teknologi bilah di Ulu Leang. Setelah menganalisis alat-alat
batu dari situs Leang Burung 2 yang jauh lebih tua, bersama alat-alat batu dari Ulu
Leang, Presland (1980) menyimpulkan bahwa keberadaan teknologi bilah tidak
jelas di situs-situs Maros ini, meskipun ia mengamati ukuran rata-rata alat serpih
telah semakin mengecil sekitar 20% selama tahap ini (lebih dari 20.000 tahun).
Namun, tidak ada yang menentang pentingnya kemunculan yang begitu tiba-tiba
alat batu jenis baru berbentuk mikrolit itu pada sekitar 6.000 tahun yang lalu
(Bellwood, 2000).

44
Industri Toalean berlanjut terus sampai memasuki tahap tembikar pada
sebagian besar situs yang digali, tetapi tidak memberi bukti yang jelas tentang
keberadaan ekonomi pertanian yang dapat dipastikan telah berkembang di
beberapa bagian Sulawesi setelah 2.000 SM. Bisa jadi adanya kegiatan pertanian
tercermin dari munculnya lancipan-lancipan Maros. Bahkan pada 1000 M pun
serpih yang diretus dan bergilap masih terdapat di Batu Ejaya Bantaeng
(Chapman, 1986), meskipun kebanyakan mikrolit menjelang waktu itu sudah hilang
dan lancipan Maros yang bergerigi sudah diganti oleh bentuk-bentuk mata panah
berdasar bundar yang lebih sederhana (Bellwood, 2000).
3.5 Lukisan Dinding Gua
Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang mengandung temuan lukisan
dinding gua terpenting di Indonesia. Penemuan pertama kali dilakukan oleh C.H.M
Heeren-Palm pada tahun 1950 di Leang PettaE kabupaten Maros dengan temuan
cap-cap tangan latar belakang cat warna merah. Lukisan seekor babi-rusa yang
sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya juga ditemukan. Mungkin
lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil
dalam usaha berburu di hutan. Babi-rusa tadi digambarkan dengan garis-garis
berwarna merah (Soejono,1991).
Di luar Indonesia, lukisan karang atau dinding gua, ditemukan di Eropa
misalnya di Perancis dan juga Afrika, beberapa tempat di daratan Asia seperti
India dan Thailand serta juga ditemukan di Australia. Salah satu gua yang paling
terkenal di Perancis adalah Gua Lascaux. Hampir seluruh dindingnya yang
keputih-putihan itu, bahkan sampai ke langit-langit, dipenuhi dengan berbagai
lukisan binatang dan dengan berbagai warna (polychrome) (Grand, 1967; Laming,
1969; Nougier, 1974). Jenis-jenis binatang yang digambarkan antara lain bison,
lembu, kuda dan rusa, dengan menggunakan warna-warna yang semarak, yaitu
merah, hitam, kuning dan coklat. Penempatan suatu adegan iringan kuda pada
dinding gua yang bergelombang misalnya, telah memberikan kesan yang aktif dan
dinamis, seolah-olah kuda-kuda itu memang hidup dan sedang berlari kencang. Di

45
tempat-tempat ini seni lukis ternyata berasal dari masa yang lebih tua (paleolitik
akhir) dari pada yang ditemukan di Indonesia.
Ada spekulasi yang tampaknya sangat kuat dianut, seni lukis lahir pertama
kali ketika manusia mulai diliputi rasa iseng dan juga rasa takut terhadap
lingkungannya, lebih-lebih setelah mereka tinggal di dalam gua atau ceruk.
Mengenai rasa iseng, mungkin diawali dengan usaha meniru bekas garukan kuku
binatang pada dinding gua atau ceruk tempat tinggalnya, yang kemudian tanpa
disadari telah menghasilkan bentuk-bentuk yang dikehendaki antara lain model
binatang yang menjadi angan-angan sebelumnya (Oakley, 1972).

Foto no. 7
Lukisan cap tangan dengan jari telunjuk terpotong
dari gua Cammingkana kab. Pangkep

Bila kita berusaha mendekati makna lukisan gua dengan memberdayakan


data etnografi, mungkin betul pendapat di atas. Masyarakat Bugis Makassar
sampai sekarang masih membuat cap tangan pada tiang dan dinding rumah
panggung. Maksud dari penempelan cap tangan tersebut adalah penolak bahaya.
Tidak diketahui kapan tradisi ini dimulai, tetapi beberapa sarjana lebih sepakat

46
menyebut cap tangan tersebut sebagai terobosan (intrusi) ide prasejarah yang
masih dapat dijumpai sekarang. Anggapan bahwa lukisan cap tangan merupakan
lukisan yang paling tua setidaknya juga merupakan interpretasi yang lebih masuk
akal dibanding interpretasi lain.
Mengenai cap tangan yang terpenggal satu atau dua jari pada beberapa
sampel gua yang kuantitasnya tidak dapat diabaikan, penelitian etnografi di Irian
jaya memandu kita untuk memahami bahwa maksudnya adalah sebagai tanda
berkabung. Biasanya, pemenggalan jari dilakukan apabila salah seorang anggota
kelompok mati atau hilang dalam perburuan.

Foto no. 8
Lukisan babirusa dengan latar cap tangan
dari gua Sakapao kab. Pangkep

Bila perbandingan dilakukan, Roder dan Galis (1959) yang menyelidiki


lukisan-lukisan di Irian Jaya berhasil sampai pada kesimpulan bahwa lukisan-
lukisan itu bertalian dengan upacara-upacara penghormatan nenek moyang,
upacara kesuburan, inisiasi dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun, untuk
meminta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang penting.
Sangat mungkin, tujuan-tujuan tersebut juga telah menjadi alasan pembuatan
lukisan dinding di Sulawesi Selatan.

47
Bila pemetaan bentuk lukisan dinding gua di Sulawesi Selatan dilakukan,
kita akan sampai pada kesimpulan bahwa lukisan dinding gua sangat
berhubungan dengan lingkungan sekitar gua. Dapat dicontohkan misalnya lukisan
dinding gua di daerah Labbakkang kab. Pangkep yang dekat dengan daerah
pantai, lukisan yang terpenting adalah lukisan ikan meskipun tidak dapat
diidentifikasi spesies dan daerah asalnya. Kedekatannya dari areal pantai
menggiring interpretasi bahwa ikan yang dilukis tersebut sangat berhubungan
dengan pengalaman hidup artisannya. Tidak diketahui apakah lukisan ikan
tersebut memiliki arti totemistik (simbol nenek moyang) atau lebih berhubungan
dengan kehidupan sosial ekonomi. Temuan tulang ikan pada sampah-sampah
dapur bercampur dengan tulang babi (suidae) dan cangkang moluska lebih
menguatkan interpretasi terakhir.

Foto no. 9
Lukisan manusia dari gua Sapiria kab. Pangkep

Pada daerah yang jauh dari laut atau daerah pedalaman, ditemukan lukisan
babi rusa yang cukup signifikan. Sekali lagi, kita lebih baik menyebutnya sebagai

48
ekspresi seni yang menggambarkan bagaimana kehidupan ekonomi siartisan.
Deposit sampai dapur dalam berbagai jenis sisa makanan termasuk tulang babi
(suidae) menguatkan interpretasi tersebut. Meskipun terdapat kekecualian pada
beberapa sampel gua tetapi gejala tersebut yang lebih dominan.
Jenis lukisan yang cukup menarik adalah lukisan perahu dan manusia.
Beberapa sarjana menyebut perahu tersebut sebagai kendaraan arwah bagi nenek
moyang. Tetapi apabila kita kembali pada jenis-jenis peralatan hidup populasi
Mongoloid, perahu merupakan alat transportasi mereka menyebar di nusantara.
Dominannya lukisan yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi sangat
meragukan interpretasi di atas. Interpretasi lain yang lebih masuk akal adalah
perahu dilukis bersama orang yang mengendarainya mungkin hanya sebuah
rekaman peristiwa yang mereka lakoni sehari-hari. Jadi tidak harus memandang
semua lukisan sebagai refleksi dari kehidupan religius mereka.
Cap telapak kaki yang berukuran kecil (sangat mungkin bayi) yang
ditemukan di leang Pattennung kab. Pangkep lebih menggambarkan bahwa
lukisan tersebut adalah simbol kelahiran anggota kelompok. Kurangnya sampel
lukisan ini membuat kita masih terlalu cepat untuk memberikan interpretasi lebih
jauh. Selain jenis-jenis lukisan di atas, cukup banyak lukisan yang tidak dapat
diidentifikasi. Selain rusak karena faktor alami, bentuknya memang terlihat aneh
dan menyulitkan kita untuk membandingkannya dengan lukisan dari luar Sulawesi.
Lukisan dinding gua di Sulsel dibuat dengan dua jenis warna yaitu merah
dan hitam. Bahannya sangat mungkin diambil dari hematit (mineral batuan yang
berwarna merah) dan getah tumbuh-tumbuhan. Sedangkan teknik melukis dapat
dibagi dua, pertama dengan cara menyemprot sehingga biasanya lukisannya
negatif. Teknik kedua adalah teknik oles sehingga terlihat kurang anatomis dan
kurang proporsional.
3.6 Pola Hidup
Gambaran pola hidup pada masa mesolitik lebih jelas bila dibandingkan
dengan masa paleolitik. Paling tidak, ada dua aspek yang memungkinkan yaitu
tinggalan arkeologis pada masa paleolitik hanya dijumpai pada areal sungai dan

49
danau purba dimana proses transformasinya jauh lebih ekstrim sedangkan pada
situs-situs mesolitik, banyak ditemukan di dalam gua atau ceruk alam. Gua dan
ceruk yang teduh telah memungkinkan beberapa temuan lebih awet dan masih
dapat diidentifikasi sampai sekarang. Aspek kedua adalah waktu, paleolitik adalah
masa yang jauh lebih tua sedangkan mesolitik berkembang sekitar 5.000 tahun
sebelum Masehi. Rentang waktu merupakan faktor yang sangat signifikan
berpengaruh terhadap keawetan temuan.

Foto no. 10
Gua Bulo Ribba dan vegetasinya kab. Pangkep

Temuan dari situs gua-gua Toala terutama di Maros, Pangkep, Bone dan
Soppeng telah memungkinkan kita untuk mengetahui gambaran pola hidup pada
masa mesolitik. Pola hidup populasi mesolitik masih dipengaruhi oleh cara hidup
pada masa sebelumnya. Faktor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan
keadaan binatang, amat berpengaruh dan menentukan cara hidup mereka sehari-
hari. Hidup mereka masih sepenuhnya tergantung kepada lingkungannya. Berburu
dan mengumpul makanan adalah cara hidup yang pokok pada masa mesolitik.

50
Kemajuan yang sangat penting artinya adalah adanya keinginan untuk
menghuni gua. Deposit sisa makanan memberikan petunjuk akan lamanya proses
penghunian sebuah gua. Meskipun bervariasi, beberapa sampel gua seperti 20
gua di Belae kab. Pangkep, sisa makanan kadang didapatkan dalam kuantitas
yang tersemented cukup tebal. Bahkan ada yang mencapai tinggi 2-3 meter
dengan luas 4 sampai 6 meter persegi.
Letak tumpukan sisa makanan memiliki pola tersendiri yaitu di depan mulut
gua. Tumpukan sisa makanan cukup memberikan gambaran adanya
pertimbangan sanitasi. Lapisan cangkang moluska dari gua Kassi di Pangkep juga
memberikan gambaran adanya pola pencarian makanan secara musiman
(seasonal). Di gua Jarie, kita mendapatkan petunjuk tentang prosentase
pengkonsumsian kerang dari penelitian Rustan (2001). Dari 1334 sampel
cangkang yang terdiri dari 3 habitat, kita memperoleh kesimpulan bahwa moluska
air tawar dalam prosentase tertinggi (78%). Moluska air asin 20% dan moluska air
payau hanya 2%, menunjukkan bahwa jarak sangat berpengaruh dalam pemilihan
jenis makanan. Lingkungan karst yang memiliki daya tampung air dan
mengeluarkannya secara konstan mengakibatkan banyaknya sungai-sungai di
sekitar gua. Dari sungai-sungai tersebut, moluska diperoleh sementara laut yang
jaraknya cukup jauh merupakan alternatif kedua.
Dari situs Ulu Leang yang berumur lebih muda setelah 500 M, kita
menemukan butir-butir padi yang telah terkarbonasi (Bellwood, 2000). Sisa-sisa
tumbuhan yang ditemukan di endapan Ulu Leang adalah biji teki-tekian, rumput
Panicum (Gram.) liar, ara (lo), kenari, dan kenikir Bidens (Comp.), terna. Sisa-sisa
sekam padi juga ditemukan dalam endapan tungku (perapian), yang diduga telah
merupakan bentuk budidaya penting pada waktu itu (Glover, 1979, 1985). Juga
mungkin sekali bahwa penduduk mengumpulkan umbi-umbian permukaan yang
besar (sampai 35 kg) dari suatu jenis ubi Dioscorea alata (Dios.) (Whitten, 1987).
Sisa-sisa hewan dari Ulu Leang menunjukkan bahwa mangsa yang
terpenting adalah babi dan babi rusa, diikuti oleh anoa, monyet, dan hewan kecil
seperti ular, kelelawar, hewan pengerat, kuskus, kadal, kura-kura dan bajing.

51
Mengherankan bahwa sisa-sisa burung dan ikan adalah langka. Hewan sumber
pangan lain yang melimpah dikumpulkan di sekitar gua adalah siput Brotia
perfecta. Lebih dari 90%-nya mempunyai ujung cangkang (rumah siput) yang
ujungnya dipatahkan, sehingga daging yang tidak seberapa banyak dapat disedot
ke luar (Heekeren, 1972). Siput-siput itu masih ditemukan di sungai-sungai sekitar
gua yang menunjukkan bahwa lingkungan tidak berubah secara dramatik dalam
zaman yang bersangkutan (Whitten, 1987).
Uraian jenis makanan yang dikonsumsi di atas menunjukkan bahwa
perburuan masih tetap dilakukan. Temuan mata panah bergerigi dengan bagian
pangkal yang cekung merupakan bukti yang sangat kuat. Selain perburuan dan
pencarian makanan, pencarian batu yang ideal, memangkas dan membentuknya
menjadi peralatan adalah salah satu kegiatan yang frekuensinya cukup tinggi.
Jumlah artefak batu, baik yang telah digunakan maupun buangan (waste product)
serta alat pembuat (fabricator) yang sangat banyak memaksa kita untuk berasumsi
demikian. Penelitian sampai sekarang belum sampai pada kesimpulan bahwa
pola aktivitas telah diatur berdasarkan jenis kelamin. Penelitian masa depan
dengan perangkat arkeometri yang lebih lengkap diharapkan dapat
mengungkapkan aspek ini.
Kebiasaan melukis sebagai ekspresi naluri seni telah dimulai pada masa
mesolitik. Dengan menganalisis bentuk-bentuk lukisan dinding gua yang ada,
kesimpulan yang dapat ditarik adalah lukisan tersebut memiliki arti penting dalam
kehidupan mereka. Keletakan lukisan pada dinding dan langit-langit gua yang
cukup tinggi menegaskan bagaimana pentingnya lukisan tersebut. Terdapat
spekulasi yang mengatakan bahwa lukisan mereka bermakna religius dan totem.
Ada pula yang memandangnya sebagai hanya merupakan rekaman peristiwa
sehari-hari. Yang sangat jelas adalah terlihat kesungguhan yang luar biasa dalam
pembuatan tersebut. Lukisan dinding gua tidak hanya sebatas aspek tersebut.
Lebih jauh, pencarian bahan pewarna dan teknik melukis adalah sesuatu yang
rumit dan membutuhkan energi dan waktu.

52

Anda mungkin juga menyukai