Anda di halaman 1dari 4

FENOMENAL GLASIASI TERAKHIR

Masa paruh kedua pleitosen atas merupakan tonggak baru evolusi manusia dan perkembangan
budaya dinusantara,fenomena besar yang menandai pada masa periode ini adalah fluktuasi iklim
dan muka laut serta munculnya manusia modern awal.Fluktuasi iklim dan muka laut mrnjadi
factor pemicu perubahan karena menimbukan tantangan pada kali itu karna keduanya saling
mengait yang mana pada saat itu perubahan muka laut dipengaruhi kondisi iklim,sementara
kondisi iklim dipengaruhi oleh perubahan beberapa parameter astronomi mengenai posisi bumi
terhadap matahari.Pada periode Glasial dengan temperature yang dingin,air menjadi terkumpul
dalam bentuk es di kutub dan pegunungannya sehingga kandungan air laut berkurang dan
membuat penurunan muka laut. Pada periode Interglesial dengan temperatur yang panas es
kutub dan pegunungan mencair hingga menambah volume air laut.

Pada masa pleistosen iklim dan air laut sangat berfluktuasi yang dimulai dari periode
Interglasial Riss-Wurm (130.000-120.000BP[ before present] dengan muka laut yang sama
dengan sekarang.Muka laut yang terendah tercatat pada sekitar 18.000 tahun dengan penurunan
muka laut dikawasan sunda dan sahul mencapai 130 m, kemungkinan mencapai 180 m dibawah
mukalaut yang sekarang, dari hasil kenaikan diatas pasti akan mempengaruhi lingkungan dan
pola adaptasi manusia. Perubahan pada luas daratan dapat mempengaruhi adanya sumber daya
lingkunga,perubahan lingkungan juga terjadi pada lingkungan yang aslinya pedalaman menjadi
lingkungan pantai.Kenaikan air laut yang menenggelamkan daratan mendorong manusiadan
fauna mencari lahan baru sehingga mengakibatkan terjadinya imigrasi.

Penurunan muka air laut dapat menjadikan terbentukya jembatan darat yang dapat
menghubungkan jarak antar pulau-pulau.Penurunan pada muka laut pada periode glasial
menyebabkan perubahan pada paleogeografi kepulaun yang mana bagian barat tebentuk daratan
yang disebut Paparan Sunda (Sahuland),dimasa Sumatera,Jawa,Kalimantan dan pulau disekitar
yang menyatu di benua Asia.Dari sudut pandang geologi peristiwa Interglasial Riss-Wurm dan
Glasial Wurm telah menyebabkan naik tunnya permukaan cekungan sedimentasi laut.Bukti dari
ini semua terdapat pada Pegunungan Kendeng (Jawa Timur),memanjang dari wilayah Desa
Kabuh di Jombang hingga Perning di Mojokerto.Awal dari Glasium Wurm bersamaan dengan
berakhirnya pengendapan formasi kabuh didaerah pegunungan Kendeng dan akhir pengendapan
formasi lidah dizona Pegunungan Rembang.

LINGKUNGAN FLORA DAN FAUNA

Perubahan geomorfologi pada kala Pleistosen Atas yang terjadi sekitar 150.000 tahun yang
lalu tentu saja memberikan dampak yang besar bagi lingkungan flora dan fauna diwilayah Asia
Tenggara kepulauan, termasuk Indonesia.Pada masa Glasial suhu yang terjadi lebih rendah serta
keadaan kelembapan dan curah hujan pun berkurang ,sedangkan pada masa Interglasial hutan
tropis dengan pepohonan yang lebat menjadi dominan dan mengisi daerah yang sebelumnya
merupakan sabana,perubahan ini mau tidak mau dialami oleh fauna dan manusia yang hidup
dikawasan itu sehingga terjadinya banyak kepunahan hewan-hewan tertentu baik itu dari local
maupun abadi yang terbukti karena ketidakmampuan untuk beradaptasi dan bertahan hidup dan
fenomena ini memang banyak terjadi pada masa glasiasi.

Perubahan iklim dan vegetasi sejak sekitar 35.000 tahun yang lalu sampai berakhir masa
Glasial terakhir (sekitar 11.800 tahun lalu) memberikan dampak yang sangat buruk bagi
kehidupan fauna dikawasan nusantara ini maupun dikawasan bagian lain juga dan salah satu
fenomenanya yaitu kepunahan binatang-binatang besar seperti Elephas maximus (gajah),Tapirus
indicus (tapir),Panthera tigris (harimau),Urnus malayanus (beruang).Akan tetapi para ahli
mempunyai pendapat yang berbeda yang mana mereka berpendapat bahwa kepunahan ini terjadi
karena pada akhir kala Pleistosen hingga Holosen dan juga ada yang berpendapat yang mana
mereka merujuk pada kepunahan yang disebabkan oleh manusia yang memburu hewan –hewan
yang pada umumnya lamban dan para ahli juga belum sepakat pada keputusan ini dikarenakan
kurang valid bukti-buktinya .
PERKEMBANGAN BUDAYA

Perkembangan budaya sejak periode ini terlihat kecenderungan eksploitasi gua-gua dan
ceru alam walau tidak tertutup kemungkinan tertentu kehidupan sepenuhnya di alam. Bukti-bukti
pemanfaatan gua sejauh ini ditemukan di Leang burung 2 di Sulawesi Selatan dan song Keplek
di Gunung Sewu. Penemuan dari song terus memperlihatkan pertanggalan tertua di kawasan asia
tenggara yaitu di sekitar 45.000 tahun lalu sedikit lebih tua dari pertanggalan terbaru dari gua
niah 44.000 sampai (43.000 BP) dan Ceruk Lang Rongrien di Thailand Selatan. Bukti okupasi
gua di Jawa terpusat pada penelitian dalam dasawarsa terakhir di wilayah gunung Sewu
khususnya dari beberapa gua yang saat ini masih dalam proses penelitian wilayah yang terdiri
dari ribuan bukit-bukit karst berbentuk kerucut dan setengah bulatan ini tegaknya telah menjadi
sasaran eksploitasi intensif Homo sapiens sejak Pleistosen atas.

Di kawasan Asia Tenggara Daratan dan kepulauan gua-gua okupasi Pleistosen atas
Holosen sejauh ini ditemukan di Ceruk lang Rogrien di Thailand Selatan ,gua niah di Sarawak
Malaysia, ceruk nguom dan ceruk tham khoung di vietnan. Berdasarkan pertanggalan yang
tersedia sejauh ini Benua Australia memperlihatkan sisa okupasi yang lebih tua dibanding Asia
Tenggara dan Melanesia Barat. Pertanggalan tertua dengan metode thermoninascence berasal
dari situs malaku nanja Ii dari sekitar 60.000 - 50.000 BP.

POLA HUNIA DAN SEBARAN

Fenomena memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan periode sebelumnya jika pada
periode tertua manusia purba cenderung memilih alam terbuka sebagai tempat hunian dan
pengembaraan sebagaimana ditambahkan oleh keberadaan situs-situs terbuka maka menjelang
Pleistosen atas tampak kecenderungan Homo sapiens memanfaatkan gua dan ceruk sebagai
tempat hunian. Hunian di alam terbuka keberadaan situs-situs terbuka di samping situs-situs gua
di luar Indonesia merupakan fenomena yang menarik karena memperlihatkan keberagaman
dalam pola hunian. Di lingkungan mereka hidup dalam komunitas-komunitas kecil dalam suatu
lingkungan eksploitasi mereka berdiam secara sementara dengan memanfaatkan berbagai sumber
daya yang tersedia dikala lingkungan tidak lagi menyediakan sumber daya yang dibutuhkan
mereka berpindah ke lingkungan yang baru. Diduga mereka membangun gubuk-gubuk
sederhana dari bahan organik sebagai tempat perlindungan sementara bentuk kubus sulit
diketahui karena sudah hancur termakan waktu.
Gua sebagai pusat okupasi yang menjadi ciri utama kehidupan modern awal di
kepulauan. Kehidupan di gua akan lebih terlindung dari beberapa kondisi cuaca panas dingin
hujan dan badai di dalam gua penghuninya dapat menyalakan api unggun untuk menghangatkan
ruangan dan mengatasi kelembaban sekaligus sebagai alat penerangan dan pengolah bahan
makanan. Pemanfaatan gua sebagai pusat kegiatan tentu berkaitan dengan aktivitas kehidupan
sehari-hari tapi bersifat sementara. Pada gua bravolo dan song Keplek dengan peralatan litik
menunjukkan gua juga dimanfaatkan sebagai tempat penyembelihan binatang buruan. Sedangkan
dibuat Tabuhan memperlihatkan gua juga dimanfaatkan sebagai bengkel tempat pembuatan
peralatan. Pengelolaan lingkungan pada periode ini aktivitas manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tampaknya tidak membawa dampak yang berarti pada kerusakan
lingkungan sistem mata pencaharian yang lebih didasarkan pada perburuan cenderung tidak
menimbulkan kerusakan berarti bagi lingkungan. Di situs pea Bullok memang ditemukan bukti-
bukti erosi tetapi bukan oleh manusia melainkan oleh proses alam

Anda mungkin juga menyukai