Anda di halaman 1dari 31

MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN

MAKANAN TINGKAT LANJUT

MAKALAH

Dosen Pengampu:
Drs. Kayan Swastika, M.Si.

OLEH:

KAHFINDO ARYA BUANA

(160210302066)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Masa
Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut dengan baik meski
banyak kekurangan didalamnya. Saya juga berterimakasih kepada Bapak .Kayan
Swastika, M.Si selaku dosen matakuliah Sejarah Indonesia I yang telah
memberikan materi ini kepada saya.

Saya sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah


wawasan pengetahuan kita mengenai Masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat lanjut. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna dan banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu saya berharap adanya
kritik, saran, serta usulan demi perbaikan makalah yang saya buat.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya dan berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya.
Saya mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon
kritik dan sarannya yang membangun.

Jember, 19 Oktober 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa berlangsungnya hidup berburu dan mengumpulkan makanan


tingkat lanjut di kala Pasca-Plestosen atau yang biasa disebut Holosen, corak
hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan
mengumpulkan bahan-bahan makanan yang terdapat di alam sekitar dilanjutkan.
Ini terbukti dari bentuk alat-alat nya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit
kerang.

Kegiatan tektonis berupa pengangkatan yang aktif dan sangat kuat di akhir
kala Pleistosen Tengah masih berlanjut pada kala Pleistosen atas hingga Holosen.
Tapi intensitas nya sudah melemah. Proses pengangkatan tersebut telah
membentuk undak-undak pantai (laut) berupa endapan terumbu koral yang hingga
kini dapat diamati di sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Proses
pengangkatan juga membentuk undak-undak sungai, seperti yang dapat diamati
pada sungai-sungai besar.

Selain kegiatan tektonis, pada masa ini kegiatan gunung api semakin
meningkat sebagai akibat subduksi, yaitu pergerakan lempeng samudera yang
menyusup ke bawah lempeng benua. Kegiatan tersebut hampir terjadi di seluruh
kepulauan Indonesia

Penurunan muka laut sebagai akibat glasiasi menjelang akhir kala Pleistosen
membawa dampak terhadap perubahan iklim di Indonesia. Pada akhir masa
glasiasi, temperature bumi berubah secara perlahan menjadi lebih hangat,
menyebabkan terjadinya pencairan sebagian es di Kutub Utara dan Kutub selatan
maupun di Pegunungan. Akibatnya terjadi penambahan volume air dan

4
menyebabkan naiknya permukaan laut, dan penjelasan selanjutnya akan dijelaskan
di bab pembahasan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah tersebut


adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana lingkungan alam pada kala Holosen?


2. Apa saja jenis manusia yang hidup pada masa itu?
3. Bagaimana pola hunian dan sebaran pada masa itu?
4. Bagaimana pola subsistensi pada masa itu?
5. Bagaimana teknologi yang digunakan pada masa itu?
6. Bagaimana Seni dan konsepsi religi pada masa itu?
1.3 Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui dinamika kehidupan


manusia pada Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut, dan
memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Drs. Kayan Swastika, M.Si.

1.4 Manfaat

Setelah membaca makalah ini diharapkan kita dapat memahami serta


mengetahui dinamika kehidupan manusia pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat lanjut

5
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Lingkungan Alam pada masa Holosen

Pada perganian masa Pleistosen ke masa Pra-Pleistosen atau masa


Holosen, lingkungan alam pada masa Holosen juga ikut berubah. Lingkungan
alam pada masa Holosen yang meliputi keadaan paleografi dan paleoklimatologi
yang menjelaskan bagaimana keadaan bumi termasuk keadaan iklim, dan flora
fauna yang hidup pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.
Akibat pergantian lingkungan alam, flora dan fauna pada masa holosen
mengalami evolusi lokal.

2.1.1 Paleografi dan Paleoklimatologi

2.1.1.1 Paleografi

Paleografi pada masa Holosen, kegiatan gunung api, gerakan


pengangkatan dan pelipatan masih terus berlangsung. Pengendapan sungai-sungai
dan letusan-letusan gunung api masih terus membentuk endapan-endapan alluvial,
dan bentuk topografi Kepulauan Indonesia tidak banyak berbeda dengan topografi
sekarang. Pada masa holosen proses glasiasi sudah berakhir yang sebagian besar
es di kutub mencair dan air laut semula turun dan membentuk daratan yang
menjembatani imigrasi hewan, menjadi naik dan menutupi daratan, contohnya
Paparan Sunda yang semula menyatukan dengan Asia yang sekarang menjadi
dasar lautan, dan Paparan Sahul yang dahulu menghubungkan sebagian wilayah
Indonesia dengan Australia. Fenomena ini juga menyebabkan terputusnya
hubungan antara kepulauan Indonesia dengan Asia Tenggara.

2.1.1.2 Paleoklimatologi

6
Perubahan yang terjadi pada masa Pasca-Pleistosen atau masa Holosen
adalah berubahnya iklim. Berakhirnya masa glasiasi menyebabkan berakhirnya
juga musim dingin yang kemudian menjadi musim panas. Akibatnya sebagian es
di kutub mencair dan semua daratan yang semula terbentuk karena turunnya
permukaan air laut, kemudian tertutup kembali oleh air laut, contohnya Paparan
Sunda dan Paparan Sahul.

Fluktuasi iklim dan muka laut menjadi factor pemicu perubahan karena
menimbulkan tantangan baru bagi manusia pada kala itu. Keduanya saling
mengait satu sama lain, perubahan muka laut sangat dipengaruhi oleh kondisi
iklim, sementara kondisi iklim sangat dipengaruhi oleh perubahan beberapa
parameter astronomi mengenai posisi bumi terhadap matahari.

Pada masa Pasca-Pleistosen atau masa Holosen iklim di daerah tropis dan
di Indonesia khususnya menunjukkan persamaan dengan iklim sekarang, yaitu
Iklim tropis.

2.1.1.3 Flora dan Fauna

Akibat terputusnya wilayah Indonesia dari daratan Asia pada akhir masa
glacial berakhir, terputus pula jalan hubungan hewan antar kedua daerah tersebut
yang sebelumnya dapat dilalui dengan bebas untuk migrasi dari daerah satu ke
daerah lainnya. Hewan yang hidup di pulau-pulau kecil tersebut hidup terasing,
dan terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru.

Jenis fauna yang ditemukan di penggalian purbakala di beberapa gua di


Jawa, Sulawesi Selatan, Flores, Timor, dan situs terbuka di Sumaera Utara
menunjukkan persamaan dengan hewan sekarang, seperti Gajah, banteng, tapir,
harimau, babi rusa, dan jenis burung lainnya walaupun beberapa spesies tertentu
menunjukkan bentuk-bentuk yang lebih besar daripada hewan pada masa
sekarang.

Setidaknya ada 17 jenis hewan yang ada pada masa sebelumnya menjadi
punah. Sebaliknya, muncul setidaknya 10 jenis hewan baru di kawasan ini,
diantaranya yang paling menonjol yaitu orangutan dan siamang.Keberadaan jenis

7
hewan ini menunjukkan kondisi iklim yang lebih basah dan lembab sehingga
hutan tropis meluas bahkan hingga ke Jawa.

Fauna yang ditemukan beraneka ragam, yang pertama yaitu Fauna


sampung yang ditemukan dalam suatu penggalian yang dilakukan oleh Stein
Callenfels pada tahun 1928-1931. Fauna Sampung tergolong dalam fauna Indo-
Malaya muda, dan fauna tersebut terdiri atas berbagai jenis. Beberapa spesies di
antaranya hewan berkuku yang terdiri dari gajah, macan tutul, kerbau, rusa dan
banteng. Yang selanjutnya yaitu fauna Besuki, yang ditemukan dalam penggalian
Gua Petpuruh dan Gua sodong oleh Heekeren antara tahun 1931-1935. Fauna
besuki terdiri atas Monyet, banteng, kerbau, kijang dan sejenis babi hutan. Jenis
selanjutnya yaitu Fauna Punung yang ditemukan dalam suatu penggalian di Gua
Songterus di daerah Punung Pacitan oleh Soejono dan Basuki pada tahun 1953.
Fauna punung yang terdiri dari beruang, harimau, gajah, badak jawa, tapir,
sambar, kambing, kerbau, babi, monyet, siamang, orang utan, dan landak. Pada
saat penemuan itu ditemukan tulang-tulang hewan yang termasuk dalam fauna
Toala. Hasil penyelidikan tulang hewan Toala menurut Hoojier meliputi Jenis
Hewan menyusu, Hewan pemakan serangga,sejenis monyet dan kera, dan hewan
pengerat. Selanjutnya yaitu Fauna Flores yang ditemukan dalam penggalian di
Gua Toge dekat Warukia (Flores Barat) oleh Heekeren pada tahun 1954. Hasil
penyelidikan tulang hewan dari flores menurut Hooijer adalah hewan yang sejenis
kalong, monyet yang berekor panjang, banyak spesies tikus besar, landak, dan
jenis babi.

Para ahli punya pendapat yang berbeda mengenai penyebab kepunahan


hewan-hewan tersebut. Banyak ahli yakin bahwa kepunahan ini disebabkan
perubahan iklim yang amat drastis pada kala holosen. Namun beberapa ahli lain
cenderung menunjuk kepunahan itu disebabkan oleh ulah manusia yang memburu
hewan-hewan yang pada umumnya bergerak lamban. Apalagi berburu
menggunakan api yang merusak habitat mereka

Flora pada masa Holosen, pada masa glasiasi berakhir hutan tropis dengan
pepohonan yang lebat menjadi lebih dominan dan mengisi daerah-daerah yang

8
sebelumnya merupakan sabana.perubahan ini mau tidak mau harus dihadapi oleh
fauna dan manusia yang hidup di kawasan tersebut. Adaptasi baru dibutuhkan
agar merkeka dapat bertahan hidup. Namun, hewan-hewan tertentu terbukti tidak
lagi mampu bertahan sehingga menghadapi kepunahan, baik kepunahan lokal
maupun kepunahan abadi.

Tentang keadaan flora di Indonesia bagian Timur diperoleh dari


rekonstruksi lingkungan di Australia utara dan Papua. Penelitian di Queensland,
Australia, menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya
suksesi hutan di daerah itu. Sekitar 79.000 tahun lalu terjadi pergantian dari hutan
hujan yang didominasi pepohonan berbunga (angiosperm) menjadi hutan
berpohon jarang dengan dominasi pepohonan berbuah kerucut (kornifera)
primitive dari genus Araucaria. Selanjutnya pada periode antara 38.000-26.000
tahun yang lalu daerah ini banyak ditumbuhi oleh pepohonan berdaun keras yang
terhimpun menjadi kantong-kantong hutan berpohon jaranag. Baru pada sekitar
10.000 tahun lalu ini kembali dihuni oleh hutan hujan yang dicirikan dengan
pepohonan berbunga dan sedikit pepohonan berbiji tanpa bunga. Di masa glasiasi
berakhir hutan tropis di Papua mengalami penyebaran hingga ke pantai utara dan
timur laut Queensland. Saat glasiasi berakhir sekitar 18.000 tahun yang lalu,
tanaman pakis menjadi dominan di kawasan itu. Dominasi tanaman pakis menjadi
tanda mulai menghangatnya suhu bumi.

Untuk flora atau tumbuh-tumbuhan pada masa holosen di Indonesia ada


baiknya memperhatikan temuan-temuan di luar Indonesia seperti di Thailand,
Formosa, pedalaman Irian, dan Australia. Kesimpulan tentang penemuan-
penemuan yang diperoleh dalam suatu penggalian yang amat teliti disertai dengan
metode penelitian serbuk sari akan memberikan hasil yang akurat. Pada intinya
flora pada masa Holosen hampir sama dengan masa sekarang, susah untuk
mendapatkan bukti fosil flora karena flora mudah terurai dalam tanah.

2.2 Manusia

9
Manusia pada sejak awal holosen pengunian Nusantara memperlihatkan
perkembangan yang cukup signifikan, seperti dilihat pada penemuan sisa manusia
yang menempati sebaran geografis yang lebih luas di berbagai bagian Nusantara.
Manusia yang hidup pada masa itu merupakan evolusi dari manusia modern awal,
walaupun tidak menutup kemungkinan adanya proses migrasi yang baru yang
memasuki Indonesia setelah berakhirnya masa glasiasi. Untuk membedakannya
dari manusia modern awal, manusia yang hidup pada periode ini dinamakan
mansia moden yang lebih kemudian.

2.2.1 Ras Pokok

Semenjak sekitar 10.000 tahun lalu, ras manusia yang kita kenal sekarang
sudah mulai ada di Indonesia dan sekitarnya. Di masa holosen ada dua ras di
Indonesia, yaitu Australomelanesid dan Mongolid.

Australomenaseid beradaban lebih tinggi meskipun variasinya cukup


besar, dahi yang agak miring, bagian pelipisnya tidak membulat benar.
Tengkoraknya lonjong atau sedang, dan di bagian belakang kepalanya, tengkorak
menonjol seakan-akan sanggul, lebar muka sedang dengan bagian rahang agak
dalam, gigi-gigi nya tergolong besar di kalangan Homo sapiens.

Pada ras mongolid, variasi tinggi badannya tidak setlebar pada


Australomelanesid, dan rata-rata lebih kecil sedikit. Tengkoraknya bundar atau
sedang, dengan isi tengkorak rata-rata lebih besar. Dahi nya lebih membulat dan
rongga matanya biasanya tinggi dan persegi. Mukanya lebar dan datar dengan
hidung yang sedang atau lebar.

2.2.2 Penduduk

Sisa manusia dari bukit-bukit remis di Sumatera ditemukan di Aceh Timur


(Langsa dan Tamiang) dan Sumatera Timur. Rangka-rangka yang ditemukan di
Binjai, Tamiang, mempunyai cirri-ciri Australomelanesid. Selain di Selat Malaka,
bukit remis yang serupa terdapat di tepi timur selat tersebut, yaitu Gua Kepah,
Paya Keladi, Lahar Tuan Said, Toksoh, Lahar Ikan Mati, dan Pematang Tiga

10
Ringgit. Di Sumatra juga ditemukan sebuah rangka di Bukit Kerang Sukajadi,
Langkat yang terdapat unsur Australomelanesid.

Penduduk pantai Selat Malaka pada saat itu terutama hidup dari hasil laut.
Pada masa ini sumber daya laut mulai dimanfaatkan. Mereka juga memakan ikan
dan kerang sehingga mereka meninggalkan sampah dapur yang disebut dengan
kjokkenmoddinger. Penduduk pantai tersebut sudah memakai dan membuat api
juga untuk mengolah makanan mereka, dan budaya mereka juga tidak begitu
kompleks.

Di masa yang sama di Jawa Timur hidup kelompok-kelompok manusia


yang mendiami gua-gua. Pertemuan pertama di Sampung terjadi dalam tahun
1926 oleh seorang geologi bernama L.J.C. van Es telah menemukan bekas-bekas
hunian manusia prasejarah di Gua Lawa, salah satu gua hunian di Sampung,
Ponorogo, Jawa Timur. Dan selanjutnya disusul oleh van Stein Callenfels pada
tahun 1928-1931, eskavasi ini dianggap sebagai penggalian ilmiah pertama yang
ada dilakukan di Jawa. Tiga buah rangka ditemukan dalam penggalian tersebut,
tapi diantaranya tidak lengkap. Ciri-cirinya identik dengan Australomelanisid
seperti tengkoraknya lonjong atau sedang dan tinggi, hidung yang lebar dan busur
yang nyata, bagian mulut menonjol ke depan dan gigi nya besar-besar termasuk
akarnya, tulang punggung nya lebih kasar daripada mongolid

Gigi-gigi yang besar juga ditemukan di gua-gua Prajekan, Tuban, dan


Petpuruh. Tengkoraknya menunjukkan cirri-ciri Australomelanesid. Pemburu-
pemburu dari Jawa Timur ini hidup di Gua-gua, dan berburu hewan-hewan seperti
kerbau, rusa, gajah, dan badak.

Manusia Song keplek ditemukan sisa-sisa manusia nya di kawasan


Gunung Sewu, ditemukan pada tahun 1992 di Song Keplek (Kecamatan Punung,
Kabupaten Pacitan ketika komponen tengkorak ditemukan di dalam gua dalam
lapisan abu dengan konteks serpih dan tulang binatang. Manusia Song keplek
punya banyak variasi tulang-tulang, sehingga ada yang tergolong ke ras
Australomelanesid ada juga yang tergolong k eras Mongolid.

11
Manusia Braholo ini ditemukan di Gua Braholo, sisa manusianya dibagi
menjadi delapan individu, sebagian menunjukkan penguburan primer dengan
bagian tubuh yang tergolong lengkap dan dalam susunan anatomis, sebagian
lainnya merupakan sisa penguburan sekunder dengan bagian tubuh yang terbatas.

Braholo 1, merupakan sisa manusia pertama yang ditemukan pada lapisan


perapian, keadaan rangka masih cukup lengkap dan dalam hubungan anatomis
menunjukkan penguburan primer. Kuburnya lebih tua 3000 tahun dari kubur Song
Keplek. Rangka ditemukan dalam posisi terlentang dengan kedua kaki terlipat ke
atas.

Braholo 2, ditemukan dalam lapisan perapian. Sisa yang ditemukan


terbatas pada tengkorak dan pinggul, mengindikasikan teknik penguburan
sekunder. Ditemukan dalam posisis terbalik.

Braholo 3, merupakan konsentrasi tulang-tulang panjang yang bercampur


dengan tulang-tulang macaca sp. Keletakan tulang yang terpencar dan tidak
lengkap menyulitkan untuk menentukan status penguburan, apakah penguburan
sekunder atau primer. Tidak jauh dari konsentrasi tersebut ditemukan fragmen
tulang paha (femur) manusia yang sudah terpecah, dan tampaknya tulang ini
merupakan tulang individu lain yang dikuburkan di Gua Braholo.

Braholo 4, sisa individu ini terdiri dari beberapa komponen tulang


belakang dan tulang-tulang anggota badan yang relatif masih dalam susunan
anatomis, dan agaknya merupakan penguburan primer. Dibandingkan dengan
individu pertama, komponen tulang-tulang individu ini lebih kecil dan ramping.

Braholo 5, terdiri dari sebuah kranium, empat buah vertebrae cervucalus


masih melekat pada dasar tengkorak. Bagian antara tengkorak dan mandibula
masih terkonservasi baik, demikian juga bagian muka mengonservasi bagian orbit
mata, tulang pipi, dan juga rahang atas beserta gigi-giginya. Braholo 5 ini ternyata
adalah individu perempuan.

Braholo 6, ditemukan berua konsentrasi pecahan tengkorak dan sebagian


tulang tengkorak dan sebagian tulang panjang. Orientasi tengkorak adalah utara-

12
selatan, bagian frontal berada di utara. Di bawah tengkorak ditemukan ruas tulang
jari tangan. Posisi itu mengarah kepada penguburan primer berlipat. Braholo 6 ini
menunjukkan cirri-ciri ras Australomelanesid

Braholo 7, ditemukan sebagian besar terdiri dari ruas tulang belakang


antara vertebrae thoracicae dan lombasus yang dilengkapi dengan sakrum.
Braholo 7 jauh lebih ramping dibanding dengan individu 1 dan sebanding dengan
manusia lokal

Braholo 8, sisa manusia ini diwakili oleh telapak kaki kiri, terdiri atas
phalanx, metatarsal, ossa tarsi, thallus, dan calcaeus.

Kalimantan, data baru yang merupakan sisa-sisa manusia dari kawasan


Gunung Batubuli, bagian dari gunung meratus, Kalimantan Selatan. Himpunan
manusia dari Gua Babi terdiri atas fragmen tengkorak, mandibula, dan gigi-gigi.
Situasi temnuan sisa manusia yang fragmentaris dan tersebar tersebut, terutama di
bagian teras gua, menyebabkan sulitnya identifikasi ras manusianya. Rangka
manusia selanjutnya dari Gua Tengkorak yang berciri Australomelanesid dan
merupakan individu perempuan berusia 40-60 tahun

Di Sulawesi, meskipun gua-gua hunian yang teridentifikasi merupakan


hunian dari awal Holosen, tampaknya data sisa manusia yang diperoleh dari
Sulawesi sangatlah minim, Sarasin bersaudara Paul dan Fritz, para naturalis dari
Swiss di gua-gua Sulawesi tidak berhasil menemukan sisa-sisa manusia
pendukung budaya Toala. Ini juga dialami oleh van Stein Callenfels, yang mulai
meneliti sejak tahun 1933, yang ditemani oleh H.D. Noone dan A.A. Cense.
MEskipun Callenfels dapat menemukan berbagai unsur budaya yang penting di
Leang Tomatua Kucicang, tidak satu pun laporan yang diterbitkan, demikian juga
ekskavasi di Leang Sebang di daerah yang sama. Baru pada saat van Heekeren
melakukan penelitian di Sulawesi Selatan ini, beberapa sisa manusia berhasil
ditemukan.

Dari Gua Uleleba yang berada di bagian tengah Sulawesi Selatan,


ditemukan artefak dengan sisa manusia yang fragmentaris dari dua individu. Sisa-

13
sisa ini terdiri atas 12 fragmen kranial, sebuah fragmen rahang atas kanan dengan
2 prageraham, 5 buah geraham lepas, 4 gigi susu milik anak-anak, dan satu buah
gigi seri. Juga terdapat Hueus yang utuh, yang mengindikasikan milik ras dengan
postur kecil. Ada pula Gua Karassa, salah satu situs budaya Toala tertua dari
zaman Glasiasi selesai atau pasca-glasial.

Di Flores, Nusa Tenggara Baarat, juga ditemukan sisa-sisa manusia


pertengahan pertama di masa Holosen. Th. Verhoeven, seorang misionaris, telah
melakukan penelitian arkeologis di Flores, yang antara lain menemukan sejumlah
alat-alat serpih di beberapa gua. Salah satu situs yang penting adalah Liang Toge,
tempat telah ditemukan sebuah rangka yang paling lengkap di daerah ini, yang
terdiri atas tengkorak, mandibula, pelvis, tulang-tulang anggota badan, dan
beberapa vertebrae yang telah diumumkan sebagai bagian ras Proto-Negrito.
Dalam analisisnya, Jacob menyatakan bahwa rangka ini merupakan milik individu
wanita berusia 30-40 tahun, dengan aspek kranial yang menunjukkan kesamaan
dengan ras Australomelanesid. Sisa-sisa manusia lain dari Flores ditemukan juga
di Liang Momer.

2.3 Pola Hunian dan Sebaran

Berakhirnya glasiasi di awal masa Holosen telah membawa perubahan


besar di berbagai bidang kehidupan. Kenaikan muka laut telah merubah
paleogeografi di kala itu. Daratan yang dulunya luas menjadi sempit dan berubah
menjadi pulau-pulau yang terisolasi oleh air laut. Kondisi lingkungan pun turut
mengalami perubahan, yang semula termasuk lingkungan pedalaman oleh
kenaikan muka laut berubah menjadi lingkungan pantai. Kenaikan muka laut juga
mendorong perpindahan manusia dan makhluk lainnya ke wilayah yang lebih
tinggi untuk kemudian mengadaptasikan diri pada lingkungan yang baru. Proses
adaptasi sebagai jawaban atas tantangan yang dihadapi telah membawa dampak
perubahan yang luas. Perubahan tersebut semakin ditunjang oleh kondisi iklim
yang lebih stabil yang memberi dampak pada ketersediaan sebagai sumber daya
lingkungan. Hal itu justru mengembangkan unsur-unsur budaya yang telah
dimulai pada periode sebelumnya, yaitu di bidang hunian. Kita dapat melihat

14
kesinambungan budaya dari masa Pleistosen atas dengan masa Holosen. Upaya
pengembangan tersebut terlihat cukup signifikan hingga menjadikan budaya pada
periode ini lebih tepat sebagai pengayaan budaya. Kegiatan okupasi atau hunian
gua yang telah dimulai pada kehidupan manusia modern awal dilanjutkan oleh
manusia modern yang lebih, kemudian pada periode ini dengan kegiatan yang
semakin intensif dan ekstensi geografis yang semakin meluas. Pada periode ini
gua telah dihuni secara intensif dengan berbagai kegiatan terkait di dalamnya.

Berbagai perkembangan memperlihatkan adanya upaya-upaya ke arah


kehidupan yang lebih mapan yang akan terus dikembangkan hingga periode
berikutnya. Periode ini sering dipandang sebagai periode transisi menuju
kehidupan menetap, tidak berpindah-pindah, tapi bukan mereka selamanya
menetap, hanya jarang berpindah-pindah, yang dikenal sebagai Zaman Neolitik.
Atas dasar keterkaitannya yang erat dengan periode sesudahnya, maka periode ini
sering disebut sebagai Zaman Preneolitik yaitu periode yang menuju proses
Neolitik.

2.3.1 Hunian Gua dan Ceruk

Di akhir masa glasiasi memunculkan semakin maraknya serta intensifnya


hunian gua dan ceruk di kepulauan. Kenaikan muka laut agak nya mendorong
manusia untuk menyebar ke berbagai pulau di Nusantara dengan memanfaatkan
gua dan ceruk yang terdapat pada lingkungan-lingkungan karst. Bukti
menunjukkan bahwa hunian gua dan ceruk tidak hanya ditemukan di pulau-pulau
besar, tetapi juga menjangkau pulau-pulau kecil yang terpencil. Di wilayah
Sumatera kelompok-kelompok hunian gua dari periode ini tersebar di wilayah
Bangko (Jambi) dan Baturaja (Sumatera Selatan). Baru-baru ini tim kerja sama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Institut de Recherche pour Le
Developpement (IRD) menemukan sisa hunian di Gua Togindrawa di dekat
Gunung Sitoli, Nias.

Wilayah bagian Timur Jawa, sejauh ini telah ditemukan tujuh kelompok
hunian gua, yaitu kelompok Tuban yang menempati Pegunungan Semanding

15
(meliputi Gua Gede, Kandang, Kecil, Bale, Pawon, Bagong, Peturon, Butol,
Panggang, dan Song Perahu), kelompok Bojonegoro (Gua Lawang dan Gua
Kramat), kelompok Sampung (Gua Lawa, Gua Tutup, Ceruk Layah, Ceruk Sulur,
dan Ceruk Ngalen), kelompok Tulungagung (Song Gentong 1 dan 2), kelompok
Puger (Gua marjan, Gua Sodong, Gua Gelatik, Gua Macan), dan kelompok
Situbondo (Gua Petpuruh). Kelompok ketujuh dan yang paling besar adalah
kelompok Gunung Sewu yang meliputi wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Di wilayah ini terdapat sekitar enam
puluh gua dan ceruk dan hampir semuanya mengandung sisa hunian.

Di Kalimantan kelompok hunian gua terdapat di wilayah Tabalong


(Kalimantan Selatan), Tanjung Mangkalihat dan Sangkulirang (Kalimantan
Timur). Kelompok hunian gua yang tergolong luas terdapat di Sulawesi Selatan
yang meliputi wilayah Kabupaten Maros, Pangkep, dan Bone. Beberapa di
antaranya adalah Gua Cakondo, Uleleba, Balisao, Tomatua Kacicang, Leang
Karassa, Leang Sarippa, Panisi Tabuttu, Cadang, Batu Ejaya, Bola Batu, dan
Panganreang Tudea. Kelompok lain terdapat di Kepulauan Muna (Sulawesi
Tenggara). Lebih jauh ke Utara kelompok hunian gua terdapat di wilayah Sangir-
Talaud.

Flores juga mempunyai sebaran gua-gua hunian yang merata, khususnya


di bagian Barat dan Tengah. Beberapa di antara gua yang telah diteliti adalah
Liang Toge, Liang Momer, Liang Bajo, Liang Boto, Liang Bua, Liang Rundung,
Goa Soki, Liang Alu, dan Liang X. Kelompok lainnya berada di wilayah Timor
Barat seperti yang ditemukan di Gua Oelnaek, Timor Barat. Lebih ke timur lagi
hunian gua ditemukan di Pulau Gebe (Gua Golo), Kepulauan Aru (Leang
Lemdubu). Di Papua hunian gua ditemukan di Pulau Gebe Kepala Burung (Gua
Toe dan Gua Kria) dan di wilayah Jayapura.

Banyaknya hunian gua dan ceruk pada periode ini banyak ditunjang oleh
ketersediaan sumber daya lingkungan. Pada masa ini pemanfaatan gua dan ceruk
sudah berkembang sebagai ruang multifungsi untuk kegiatan hunian,
penyembelihan binatang buruan, bengkel pembuatan peralatan, penguburan,

16
tempat mengolah makanan dan ekspresi keindahan. Pusat kegiatan telah
berpindah dari alam terbuka ke dalam gua dan ceruk. Kehidupan dalam gua sudah
mulai mengenal tata ruang dalam pemanfaatan gua. Contoh yang Khas ditemukan
di situs Song Keplek (Kabupaten Pacitan, Jawa Timur), bagian depan ruangan gua
difungsikan sebagai tempat pembuatan perkakas, sementara bagian yang
menyudut di dekat dinding gua sebelah barat dan yang lebih lembab dan gelap
dimanfaatkan sebagai lokasi penguburan. Bagian tengah ruangan cenderung
dimanfaatkan sebagai tempat tinggal. Penemuan kerangka rusa yang tergolong
lengkap di Gua Braholo dan Song Keplek (Gunung Sewu) yang berasosiasi
dengan peralatan litik menandakan gua juga dimanfaatkan sebagai tempat
penyembelihan hewan hasil buruan. Fungsi lain dari gua adalah sebagai tempat
perapian. Abu pembakaran yang selalu ditemukan pada lapisan hunian gua
membuktikan api sangat berperan dalam lungkungan hunian. Penemuan tulang-
tulang terbakar pada lapisan perapian menandakan pemanfaatan dalam mengolah
makanan.

2.3.2 Hunian Bentang Alam Terbuka

Pola hunian pada periode ini cenderung pada pemanfaatan gua dan ceruk,
muncul sebuah kelompok budaya yang masih mempertahankan pola hunian
terbuka. Kelompok ini memperlihatkan karakter budaya yang masih
mempertahankan pola hunian terbuka. Kelompok ini memperlihatkan karakter
budaya Hoabinh (Hoabinhian), sebagai bagian dari kelompok budaya yang
berkembang di Asia Tenggara. Situs-situs Hoabinian ditemukan diseluruh daratan
Asia Tenggara dengan persebaran mencapai wilayah Burma di bagian barat,
wilayah selatan Cina dan Taiwan di bagian utara, di samping Indonesia di wilayah
kepulauan. Kronologi yang paling rinci tentang situs Hoabinhian diketahui dari
Gua Hantu (Spirit Cave), Thailand baratlaut, dengan lapisan yang paling tua
bertarikh 11.690 560 BP dan yang paling muda adalah 7.622 300 BP.
Pertanggalan terhadap situs Hoabinhian lain ditunjukkan oleh situs Gua Kechil di
Malaysia, yang berdasarkan analisis tulang menunjukkan tarikh termuda 4.800

17
800 BP. Di Ceruk Leang Spean, yang terletak dekat Battambang (Khmer), sisa
budaya Hoabinhian diberi tanggal dari sekitar 6.240 70 BP.

Di wilayah Asia Tenggara daratan pendukung Hoanbinhian tinggal pada


dua jenis ekosistem, yaitu di lingkungan terbuka di tepi pantai atau tepi sungai,
dan lingkungan pedalaman di dalam gua atau ceruk. Di Hunian tepi pantai lebih
mengandalkan subsistensi pemanfaatan biota air, lingkungan pegunungan lebih
bertumpu pada subsistensi perburuan binatang darat yang hidup di lingkungannya.
Tinggalan hoabinhian di wilayah pesisir ditunjukkan oleh situs bukit-bukit kerang
yang terletak di tepi-tepi sungai, misalnya, di Samrong Sen (Kamboja), Da But
(Vietnam), dan Cagayan (Filipina). Adapun situs bukit-bukit kerang yang terletak
di wilayah pesisir, antara lain di Quynh Van (Vietnam) dan Gua Kepah
(Malaysia). Selain bukti-bukti tentang Hoabinhian di tepi sungai maupun pesisir,
hasil penelitian Matthews pada tahun 1961 di sejumlah gua di Malaysia seperti di
Gua Cha, Gua Chero, Hua Kajang Gua Toolon, Gua Madu, Kota Tonkat, Bukit
Chitamani, dan Bukit Cuping menunjukkan bahwa wilayah ini sarat dengan unsur
Hoabinhian.

Lalu bagaimana dengan pola sebaran dan hunian Hoanbinhian di


Indonesia yang hidup di alam terbuka? Sejauh ini situs hoanbinhian ditemukan
terbatas di pesisir timur Sumatera-Aceh, di sepanjang 130 km antara
Lhokseumawe (Aceh) dan Percut, Merdan (Sumatera Utara), dalam bentuk bukit-
bukit kerang atau sampah dapur yang disebut dengan Kjokkenmoddinger.
Beberapa diantaranya adalah situs bukit kerang Langsa (Aceh), Bulu Cina,
Tandem Hilir, Desa Baru, Paya Rengas dan Sukajadi (Sumatera Utara). Pada
umumnya situs-situs tersebut telah rusak menjadi danau yang terisi air oleh
penggalian-penggalian untuk menambang cangkang untuk pembuatan kapur. Situs
hunian alam terbuka lainnya yang tidak mencirikan Hoanbinhian juga terlihat di
dataran tinggi Bandung.

2.4 Pola Subsistensi

18
Subsistensi sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
pada awal Holosen dalam hal tertentu masih melanjutkan subsistensi Akhir
Pleistosen, khususnya perburuan hewan. Namun jika dilihat dari intensitas sisa
fauna yang jauh melebihi periode sebelumnya, sepertinya perburuan pada masa
ini semakin intensif dengan jenis hewan yang lebih bervariasi macamnya.
Subsistensi lainnya yang pada periode sebelumnya kemungkinan sudah dilakukan
tetapi sulit untuk dipastikan karena keterbatasan data adalah pemanfaatan biota air
dan pemanfaatan biji-bijian. Ketiga jenis subsistensi ini umumnya secara
bersama-sama berlangsung di setiap aktivitas hunian, walaupun dengan intensitas
yang berbeda-beda, tergantung pada ketersediaanya dalam lingkungan.

2.4.1 Perburuan dan Pemanfaatan Biota Air

Sisa fauna yang banyak ditemukan pada lapisan hunian di dalam gua-gua
maupun di alam terbuka menunjukkan aktivitas perburuan binatang menjadi
subsistensi pokok dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keberadaan sisa berbagai
jenis hewan yang menonjol dalam himpunan temuan menandakan hasil kegiatan
perburuan yang semakin meningkat seiring dengan tingkat kemajuan teknologi.
Data temuan menunjukkan bahwa aktivitas perburuan tidak diarahkan pada
binatang tertentu, tetapi cenderung disesuaikan pada jenis-jenis binatang yang
tersedia di lingkungannya. Meskipun demikianm di situs-situs tertentu terlihat
dominasi sisa binatang tertentu. Sebagai contoh, temuan ekskavasi di wilayah
Gunung Sewu (Khususnya Song Keplek) menunjukkan bahwa jenis monyet
(Macaca sp.) merupakan binatang buruan yang dominan.

Berbeda dengan situs-situs gua yang lebih mengutamakan sumber


makanan binatang darat, pada situs-situs alam terbuka eksploitasi biota air lebih
menonjol. Haisl penelitian pada situs-situs alam terbuka di pesisir Timur
Sumatera menunjukkan bahwa kerang dari kelas Gastropeda dan Pelecypoda
merupakan makanan utama mereka. Walaupun kerang-kerangan sangat dominan
pada situs-situs alam terbuka, perlu diingat bahwa bukan berarti satu-satunya jenis
binatang yang dikonsumsi, melainkan juga jenis binatang lain yang hidup di darat.

19
Bukti-bukti terdapat sisa binatang darat berupa monyet, badak, beruang, gajah,
dan rusa.

2.4.2 Pemanfaatan Biji-Bijian dan Umbi-Umbian

Disamping perburuan sebagai subsistensi pokok dalam memenuhi


kebutuhan hidupnya, komunitas pada awal Holosen merupakan masyarakat
holtikultura yang belum mengenal sistem budidaya tanaman. Mereka masih
menggantungkan hidupnya pada ketersediaan bahan makanan tanaman di alam
sekitarnya, seperti umbi-umbian (keladi), buah-buahan dan biji-bijian. Pada
kenyataanya sangat sulit untuk mendapatkan bukti-bukti tentang jenis tumbuhan
sebagai bahan makanan, mengingat kondisinya yang mudah hancur dimakan
waktu. Akan tetapi, jika melihat masyarakat tradisional yang memanfaatkan
umbi-umbian, buah-buahan dan biji-bijian, tidak dapat dipungkiri bahwa
komunitas di kala itu telah memanfaatkan tanaman sebagai bahan makanan yang
tersedia di lingkungannya.

2.4.3 Pengelolaan Lingkungan

Sistem mata pencaharian yang mendasarkan pada perburuan untuk


memenuhi kebutuhan tampaknya belum membawa dampak kerusakan pada
lingkungan. Dampak aktivitas manusia terhadap kerusakan lingkungan baru
tampak ketika terjadi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan pertanian.
Aktivitas pembakaran hutan sudah muncul pada awal masa Holosen bahkan telah
terjadi pada masa sebelumnya. Perilaku pembakaran hutan ini tampaknya
dilakukan dalam upaya mengeksploitasi lingkungan untuk pemanfaatan lahan
perladangan.

2.5 Teknologi

Perkembangan yang paling menonjol sejak awal masa Holosen di


Indonesia adalah menyangkut teknologi peralatan atau persenjataan yang

20
menggunakan diversifikasi bahan. Selain menggunakan bahan berbagai jenis
batuan yang yang merupakan pengembangan dari periode sebelumnya, terdapat
peralatan dari bahan lain, seperti tulang, tanduk, dan cangkang kerang. Pembuatan
peralatan dari bahan organic lainnya seperti bamboo dan kayu tentunya sudah
semakin maju seiring dengan kemahiran teknologi, tetapi sifat bahan yang mudah
hancur menyulitkan peneliti untuk mengenal jenis-jenis peralatan dari bahan-
bahan tersebut.

Teknologi lainnya yaitu di bidang perapian yang tampaknya memegang


peran penting dalam kegiatan hunian. Keberadaan abu sisa perapian yang selalu
berasosiasi dengan kegiatan bertempat tinggal dan bahkan sering eksklusif
membentuk lapisan yang tebal, tidak diragukan lagi pemanfaatan api untuk
berbagai kepentingan di kala itu. Kehadirran sisa api ini menunjukkan bahwa api
sangat berperan dalam kegiatan humanian di kala itu.

2.5.1 Teknologi Litik

Perkembangan teknologi litik pada masa awal Holosen di Nusantara


dicirikan dengan kebaradaan tiga kelompok teknologi dengan jenis-jenis peralatan
yang khas untuk masing masing kelompok. Kelompok pertama dengan persebaran
yang paling luas merupakan kelompok alat-alat serpih. Kelompok ini memiliki
keterkaitan yang erat, bahkan merupakan pengembangan lanjut dari teknologi alat
serpih Pleistosen atas. Kelompok kedua adalah yang disebut teknologi Hoabinhian
dengan wilayah persebaran yang lebih terbatas dan cenderung sebagai pengaruh
luar. Kelompok ketiga merupakan kelompok alat-alat mikrolit (batu-batu kecil)
dan alat-alat dari obsidian dengan sebaran yang lebih terpencar dan bersifat lokal.
Kelompok ini lebih tepat sebagai produk inovasi lokal, dan untuk alat yang
terakhir, keberadaannya ditunjang oleh ketersediaan bahan baku batu obsidian
sebagai bahan pembuatan

2.5.2 Industri Alat-Alat Serpih

Pada periode ini produk teknologi litik lebih didominasi oleh alat-alat
serpih. Alat batu inti yang tidak terpolakan lama-lama ditinggalkan untuk

21
akhirnya pada periode ini hilang sama sekali. Alat batu inti yang masih berperan
pada periode ini adalah batu pukul yang berfungsi sebagai alat pemangkas.
Sebagai gantinya berkembang alat serpih melalui teknik-teknik peretusan yang
menghasilkan berbagai jenis dan tipe alat serpih.

Untuk kelompok pertama, serpih sering berbentuk tidak teratur sehingga


kurang memungkinkan untuk digunakan atau dibentuk menjadi alat. Pecahan-
pecahan yang yang terlepas tidak sengaja akibat benturan di kala pemangkasan.
Pecahan-pecahan seperti ini umumnya memiliki bentuk dan ketebalan yang tidak
teratur dengan ukuran yang bervariasi

Untuk kelompok kedua, merupakan kelompok yang unik karena setelah


dilepaskan dari bahannya langsung digunakan tanpa melalui proses peretusan.
Biasanya merupakan serpihan-serpihan yang bentuknya teratur dengan sisi yang
tajam sehingga tidak lagi membutuhkan penyempurnaan bentuk atau pembuatan
sisi tajaman.

Kelompok ketiga merupakan himpunan serpih yang sengaja dilepaskan


melalui persiapan untuk dijadikan alat. Si pembuat telah memiliki konsep
pembuatan tentang bentuk yang akan dihasilkan dan teknik-teknik pembuatan
untuk menghasilkannya. Berdasarkan bentuk-bentuk dan ukuran yang telah
terpolakan, himpunan alat dalam kategori ini dibedakan dalam berbagai tipe.
Masing-masing tipe memiliki karakter morfo-teknologi tertentu yang
membedakannya dari alat lain. Jika pada kelompok kedua kesamaan alat lebih
bersifat kebetulan, maka pada kelompok ini lewat teknik-teknik pemangkasan dan
peretusan.

Beberapa alat serpih yang paling menonjol pada periode ini adalah antara
lain serut, lancipan, mata panah, pisau, dan bor. Serut dicirikan dengan
keberadaan retus bersambung menutupi keseluruhan atau sebagian dari sisi alat.
Beberapa tipe alat serut yang paling umum adalah serut cekung, serut gigir, serut
samping, dan serut ujung. Morfologi serut juga ikut memperkaya tipologi serut,
antara lain serut dengan ujung meruncing, serut berpunggung tinggi, dan serut

22
membulat. Serut merupakan jenis alat yang paling umum dan selalu ditemukan di
himpunan alat-alat serpih pada kelompok-kelompok gua di Indonesia

Bor dicirikan dengan keberadaan lancipan yang umunya terletak di bagian


distal melalui pembentukan secara sengaja. Meskipun demikian, suatu bor
acapkali sudah mempunyai bentuk dasar meruncing sebagai hasil pangkasan daru
batu inti. Bentuk dasar itu disempurnakan dengan cara meretus bagian sisi atau
membuat cekungan pada kedua sisi runcingan. Bentuk dan keletakan runcingan
dapat melahirkan berbagai tipe, seperti bor dengan runcingan menyudut dan
menyilang pada sumbu morfologi alat, bor dengan runcingan di gabian tengah
distal melalui peretusan pada kedua sisi hingga membentuk runcingan simetris,
atau bor dengan peretusan pada salah satu sisi yang lebih intensif dari sisi lainnya
untuk membentuk runcingan melengkung. Alat bor juga termasuk umum
ditemukan dalam himpunan alat serpih hunian gua.

Mata panah secara morfologis digolongkan ke dalam lancipan, namun


sering dibedakan karena mempunyai karakter teknologi yang lebih rumit melalui
peretusan intensif di berbagai bagian alat. Secara umum mata panah jauh lebih
halus dibandingkan dengan lancipan, baik dari segi kerampingannya, kehalusan
permukaan, maupun keteraturan bentuk.

Pisau batu umunya dikerjakan dari sebuah serpih panjang dengan salah
satu atau kedua bidang lateral diretus bersambung. Sering bidang dorsal masih
tertutup korteks, ini menunjukkan bahwa serpih dihasilkan dari pemangkasan
primer.

Disamping jenis alat-alat serpih di atas, masih ada alat yang khas yang
disebut bilah. Alat ini dicirikan dnegan bentuknya yang persegi dengan kedua sisi
yang sejajar dan mempunyai panjang dua kali bahkan lebih. Pencapaian bentuk
yang teratur semacam ini memerlukan persiapan bahan yang matang dan teknik
pemangkasan khusus.

2.5.3 Teknologi Alat Tulang

23
Penggunaan tulang sebagai bahan alat bermula dari pemanfaatan hewan
hasil-hasil buruan untuk bahan makanan. Tulang sebagai bahan yang penting dari
hewan mengandung sumsum di dalamnya. Manusia berupaya memecahkan
tulang-tulang untuk mengambil sumsum tersebut untuk dimakan. Pecahan-
pecahan yang dihasilkan dapat dalam berbagai bentuk dan umumnya memiliki
sisi-sisi yang tajam atau ujung yang runcing. Secara spontan timbul keinginan
memanfaatkan bentuk-bentuk semacam itu untuk peralatan. Pengalaman tersebut
memunculkan pemikiran untuk memanfaatkan serpihan tulang sebagai alat.
Selanjuttnya mulailah pengambilan dan penyeleksian tulang dari hewan buruan
untuk dikerjakan menjadi berbagai macam bentuk alat.

Kemunculan alat tulang awalnya bukan pada periode ini, tetapi diduga
sudah dimulai pada kehidupan homo erectus. Walaupun masih dalam perdebatan
tentang keabsahannya, keberadaan alat-alat tulang dilaporkan di Ngandong dan
dihubungkan sebagai produk Homo Soloensis, manusia purba dari tingkatan
evolusi termuda di Indonesia. Keberadaan alat-alat tulang tersebut melahirkan
terminologi Industri Ngandong, namun keabsahan industry ini masih diragukan.

Industri alat tulang dan tanduk yang lebih meyakinkan dimulai sekitar
awal Holosen pada Hunian gua dan ceruk. Bersamaan dengan kemunculannya,
marak pula alat-alat dari cangkang moluska yang selalu berasosiasi dengan alat-
alat litik. Peneuan alat-alat tulang dan tanduk pertama kali di Gua Lawa, Sampung
(Ponorogo), melahirkan terminology Industri tulang Sampung. Ekskavasi yang
dilakukan oleh van Stein Callenfels di situs ini menemukan lapisan hunian setebal
2 meter yang terdiri dari tiga lapisan. Lapisan paling bawah dicirikan sebagai
mata panah batu berdasar membulat atau bersayap, tetapi tidak ada yang bergerigi.
Lapisan tengah dicirikan dengan sudip dan lancipan dari tulang dan tanduk rusa.
Pada lapisan atas ditemukan batu pelandas, beliung persegi yang diasah seperti
empat mata kail dari tulang ditemukan dekat dengan permukaan tanah. Industri
alat tulang umum ditemukan di bagian timur Jawa pada kelompok-kelompok
hunian gua yang terdapat di bukit-bukit karst Gunung Sewu, Tuban, dan Puger.
Selain gua-gua di Jawa Timur, alat tulang ditemukan pula di beberapa tempat di

24
Nusantara, tapi secara umum tidak semenonjol di Jawa TImur. Penemuan terbaru
mengenai alat tulang ditemukan di wilayah Gunung Sewu yang mencakup situs-
situs song Keplek, Gua Braholo, dan Gua Tritis.

Industri alat tulang di Jawa Timur merupakan kegiatan yang sangat


eksklusif dan mempunyai karakter lokal tersendiri. Kelompok Sampung sebagai
contoh, dicirikan dengan bentuk-bentuk alat tulang yang sebagian besar berupa
spatula dengan teknologi yang cukup bagus. Dimungkinkan alat tersebut
berfungsi sebagai pembersih dan pengupas kulit untuk makanan dan jenis umbi-
umbian. Lebih menarik lagi adalah temuan dii Gua Braholo (Gunung Sewu). Di
samping spatula-spatula yang menyerupai kelompok Sampung, di situs ini juga
sangat menonjol industri alat tulang berbentuk lancipan kecil (jarum) dengan
tajaman ganda yang merupakan cirri khas produk lokal.

Di Indonesia alat tulang secara umum berbentuk spatula, lancipan, dan


jarum. Spatula dibuat dari tulang yang dibelah memanjang, dan salah satu
bagiannya digosok pada sisi pecahan rongga tempat sumsum hingga rata.
Tajaman lebar dibentuk dengan cara menggosok ujung bagian dalam atau luar
tulang sehingga membentuk lereng landai kearah distal. Lebar tajaman umumnya
mempunyai bentuk sama dengan lebar badan atau pangkalnya. Alat ini
dimungkinkan berfungsi sebagai pembersih dan pengupas kulit untuk makanan
dari jenis umbi-umbian.

Alat lancipan tulang dicirikan dengan bagian ujung (distal) yang


meruncing dan dihasilkan secara sengaja melalui pemangkasan dan penggosokan.
Jenis lancipan dapat dibedakan menurut bentuk penampangnya, yaitu cembung-
cekung atau pipih dan elips.

Mengenai fungsi lancipan sampai saat ini belum dapat dipastikan, namun
setidaknya ada tiga asumsi penggunaanya. Pertama, berfungsi seperti alat
pencungkil jenis makanan kerang, kedua sebagai alat penangkap ikan atau
berfungi sebagai mata tombak untuk menangkap ikan, dan yang ketiga sebagai
alat jahit atau pelubang. Jarum merupakan alat khusus yang secara morfologis

25
memiliki kesamaan dengan lancipan. Perbedaannya terletak pada ukurannya, yaitu
bahwa lancipan mempunyai ukuran relative lebih besar daripada jarum yang kecil.
Pembuatan lancipan maupun jarum dilakukan lewat penggosokan longitudinal
miring ke arah ujung, dalam beberapa hal akan menghasilkan lancipan simetris.

Jenis alat tulang yang sering ditemukan di Indonesia adalah spatula dan
lancipan. Khusus pada daerah beberapa gua di Sulawesi Selatan ditemukan
lancipan dengan runcingan ganda. Pada kenyataanya alat tersebut mempunyai
banyak fungsi, antara lain untuk menangkap ikan, membuat pakaian, dan
menggores perhiasan tembikar dan hiasan hidung pada suku Papua dan Aborigin.

2.5.4 Alat Cangkang Kerang

Di Indonesia alat-alat dari cangkang kerang muncul pada kala Holosen.


Teknologi cangkang pada umumnya menghasilkan alat-alat yang secara umum
berbentuk serut dan penusuk. Serut dari cangkang dicirikan dengan keberadaan
retus bersambung yang menutupi seluruh atau sebagian sisinya. Umumnya retus
terletak pada sisi cembung cangkang kerang. Ciri-ciri lainnya berbentuk
konkoidal (oval) sesuai dengan bentuk utuhannya, atau bahkan bulan sabit mealui
proses fraktur dengan salah satu sisinya yang tebal sebagai bagian pangkal,
sedangkan sisa yang tipis berfungsi sebagai tajaman.

Adapun alat penusuk mempunyai karakter morfologis berupa peruncingan


pada bagian tertentu. Walaupun demikian, seringkali alat penusuk ini telah
mempunyai bentuk dasar meruncing sesuai dengan fraktur cangkang kerangnya.
Bentuk dasar ini kemudian disempurnakan baik dengan penajaman maupun
penggosokan sehingga menimbulkan kilapan dan runcingan yang jelas pada sisi-
sisi tajamannya.

Pengamatan terhadap jenis artefak kerang menunjukkan bahwa bentuk


serut merupakan temuan yang paling umum dan banyak ditemukan di sejumlah
gua di kawasan Indonesia. Contohnya, pada gua-gua kelompok Tuban, Gunung
Sewu, Puger, Sampung, Maros-Pangkep, dan Flores. Pada umunya alat ini dipakai
untuk mengerjakan kulit, baik kulit binatang maupun kulit pohon. Fungsi lainnya

26
adalah untuk menghaluskan alat-alat yang dibuat dari kayu, tulang, ataupun
tanduk. Bahkan dalam upacara-upacara kematian, serut kerang juga dipergunakan
sebagai alat untuk mencukur rambut sebagai tanda berkabung. Serut kerang juga
sering dimanfaatkan untuk mengeruk dan mengelurkan sagu dari dalam
batangnya.

2.5.5 Perhiasan

Perhiasan sebagai pelengkap kebutuhan manusia mulai muncul pada


periode ini. Cangkang-cangkang kerang selain dimanfaatkan menjadi perkakas,
seringkali juga digunakan sebagai perhiasan. Walaupun demikian, dibandingkan
dengan perkakas kerang, perhiasan dari cangkang kerang dibuat dalam kuantitas
yang lebih jarang. Selain cangkang-cangkang tersebut, tulang maupun gigi hewan
mempunyai peranan penting pula dalam penciptaan bentuk-bentuk perhiasan.
Kehadiran cangkang-cangkang kerang, sisa-sisa tulang, maupun gigi memberikan
inspirasi bagi komunitas Holosen awal dalam melahirkan aksesoris, yang
kemudian menjadi cikal bakal bentuk-bentuk perhiasan sampai sekarang ini.

2.6 Seni dan Konsepsi Religi

Konsepsi kepercayaan dan seni merupakan fenomena baru yang muncu


pada periode ini. Berbeda dengan periode sebelumnya, ketika pola hunian masih
berpindah-pindah, manusia lebih banyak menghabiskan waktunya dalam
mobilitas untuk pemenuhan kebutuhan. Sejak awal holosen mereka mulai hidup
menetap pada gua-gua dan ceruk, manusia mulai memiliki waktu untuk merenung
dan memikirkan dirinya. Di kala itulah mulai muncul pemikiran tentang hal-hal
yang supernatural yang melahirkan konsepsi kepercayaan, dan akhirnya
dimanifestasikan dalam praktik-praktik sistem penguburan. Muncul pula ide-ide
tentang keindahan dan yang kemudian dimanifestasikan dalam karya-karya seni.
Salah satu karya seni tersebut diwujudkan dalam bentuk seni cadas.

2.6.1 Seni Sebagai Manifestasi Konsep Estetika dan Non-Estetika

Seni pertama kali muncul pada permukaan dinding-dinding cadas, baik


dalam bentuk lukisan (rock art), goresan (rock engraving), maupun pahatan (rock

27
carving). Di samping mengandung makna estetika, yaitu sebagai ungkapan
ekspresi keindahan, seni juga memberikan makna yang lebih mendalam dari alam
piker masyarakat pendukungnya menyangkut ide-ide, lambing, aspek geografi,
lingkungan, sosial budaya, maupun konsepsi kepercayaan mereka.

Di Australia ada tiga kategori lukisan cadas, yaitu satu warna, dua warna,
dan multiwarna

Seni cadas di Indonesia muncul pada awal Holosen, untuk sementara


termasuk dalam konteks budaya Toalian. Situs-situs seni cadas di Kalimantan
Barat, yaitu yang pertama yaitu situs Batu Cap, mempunyai teknik oles atau
sapuan penuh, sketsa, motif berupa manusia, hewan, perahu, dan geometri. Yang
kedua yaitu Desa Sungai Sungkang (Gua Tengkayu, Batu Bakil, dan Batu Kadok)
berupa teknik gores dan sapuan, motif lukisannya berupa senjata, perkakas, hewan
dan manusia. Yang ketiga yaitu Liang Kaung, mempunyai teknik sapuan dan
sketsa, motif lukisannya berupa matahari, senjata, hewa, antropomorfik,
gendering, dan geomteris. Lukisan-lukisan pada batu, dinding gua, dan karang di
Indonesia menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi dan kepercayaan
masyarakat pada waktu itu.

Seni lukis kelompok Muna mempunyai bentuk-bentuk yang unik. Disini


terlihat adanya bentuk manusia dengan berbagai profesi manusia burung, dan
motif berbentuk kelamin wanita

Menurut Roder, lukisan cadas di wilayah TelukBerau (Papua) dapat


dibedakan berdasarkan warna, yaitu warna merah (gaya Tabulinetin, Manga,
Arguni, dan Ota I), hitam (gaya Ota II atau sossoraweru, dan putih.

2.6.2 Sistem Penguburan sebagai Manifestasi dan Konsepsi Kepercayaan

Di wilayah Asia Tenggara konsepsi kepercayaan mulai dikenal sejak


Zaman Preneolitik. Bukti-bukti konsepsi kepercayaan tersebut dimanifestasikan
dalam bentuk penguburan yang ditujukan di beberapa situs. Data tentang pola
penguburan di Luar Indonesia membuktikan adanya sistem penguburan primer
dan sekunder. Penguburan primer dilakukan dengan cara menanam mayat

28
langsung setelah meninggal ke dalam tanah dengan posisi lurus terlentang atau
terlipat. Penguburan sekunder umumnya ditunjukkan oleh adanya pengunuran
terhadap bagian rangka yang dipilih secara selektif, seperti tengkorak, baguan dari
tengkorak, dan terkadang bagian dari anggota badan.

Di Indonesia munculnya konsepsi kepercayaan telah dimulai pada masa


awal Holosen, yang dimanifestasikan dalam bentuk sistem penguburan.
Munculnya sistem penguburan diawali dengan adanya pola penguburan sederhana
yaitu penguburan mayat dekat dengan tempat tinggal sehingga bercampur dengan
peninggalan-peninggalan lain. Indikator yang dapat dijadikan petunjuk adanya
sistem penguburan didasarkan pada temuan sisa rangka, baik yang berada di
lingkungan alam terbuka maupun di gua-gua atau ceruk.

Sistem penguburan yang ditemukan di bukit-bukit kerang di pesisir


timurlaut Sumatera menunjukkan adanya penguburan primer sederhana dengan
tanda-tanda adanya taburan bahan pewarna merah (Hematit) pada bagian rangka
tersebut.

Selain penguburan sederhana yang ditunjukkan di Sumatera, hadirnya


penguburan primer secara utuh dapat diketahui di gua-gua di wilayah Jawa Timur,
D.I. Yogyakarta, dan Flores. Umumnya cara peletakan mayat diatur dengan pola
membujur dan terlipat.

Adapun cara penanganan mayat yang paling umum ditemukan adalah


dalam posisi terlipat. Secara umum penguburan terlipat dapat dibedakan menjadi
setengah terlipat (semi-flexed) dan terlipat (flexed). Kubur setengah terlipat
dicirikan dengan tungkai yang terlipat dengan paha serta lutut ditarik agak ke atas.
Kubur terlipat dicirikan dengan tungkai dan betis yang merapat ke paha dan
dilipat ke arah dada.

Masing-masing kubur yang ditemukan dalam posisi terlipat menunjukkan


adanya sejumlah variasi dalam pengaturan sikap tangan atau posisi badan,
demikian pula dengan perlakuan terhadap si mati. Sebagai contoh, pada kubur
terlipat di Gua Marjan (Jember) terdapat perlakuan terhadap si mayat, yaitu

29
bagian atas kubur ditindih dengan bongkahan batu, terutama pada bagian dada dan
perut. Perletakan batu di atas mayat diperkirakan untuk melindungi si mayat dari
gangguan binatang buas, sebagai pertanda kubur, atau merupakan symbol untuk
mencegah rohnya meninggalkan jasad.

Konsep tentang bekal kubur sebagai objek penyerta bagi seseorang yang
telah meninggal sudah dikenal pada periode ini. Konsep kepercayaam tentang
hidup sesudah mati agaknya kurang berkembang di kala itu. Oleh sebab itu,
terdapat kebiasaan bagi keluarga si mati untuk menyertakan bekal berupa benda-
benda tertentu dalam kubur atau melakukan ritual tertentu dalam proses
penguburan, itu bertujuan untuk membekali si mati dalam kehidupan yang baru.
Bekal kubur itu berupa bubukan hematite yang ditaburkan di sekitar badan si mati
dan sebuah bungkal hematite berbentuk bola di dekat kakinya. Warna merah dari
hematite ini dapat melambangkan kehidupan sehingga penaburannya pada mayat
diduga sebagai symbol kehidupan-kembali di dunia lain

30
BAB 3

31

Anda mungkin juga menyukai