MAKALAH
Dosen Pengampu:
Drs. Kayan Swastika, M.Si.
OLEH:
(160210302066)
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Masa
Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut dengan baik meski
banyak kekurangan didalamnya. Saya juga berterimakasih kepada Bapak .Kayan
Swastika, M.Si selaku dosen matakuliah Sejarah Indonesia I yang telah
memberikan materi ini kepada saya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Kegiatan tektonis berupa pengangkatan yang aktif dan sangat kuat di akhir
kala Pleistosen Tengah masih berlanjut pada kala Pleistosen atas hingga Holosen.
Tapi intensitas nya sudah melemah. Proses pengangkatan tersebut telah
membentuk undak-undak pantai (laut) berupa endapan terumbu koral yang hingga
kini dapat diamati di sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Proses
pengangkatan juga membentuk undak-undak sungai, seperti yang dapat diamati
pada sungai-sungai besar.
Selain kegiatan tektonis, pada masa ini kegiatan gunung api semakin
meningkat sebagai akibat subduksi, yaitu pergerakan lempeng samudera yang
menyusup ke bawah lempeng benua. Kegiatan tersebut hampir terjadi di seluruh
kepulauan Indonesia
Penurunan muka laut sebagai akibat glasiasi menjelang akhir kala Pleistosen
membawa dampak terhadap perubahan iklim di Indonesia. Pada akhir masa
glasiasi, temperature bumi berubah secara perlahan menjadi lebih hangat,
menyebabkan terjadinya pencairan sebagian es di Kutub Utara dan Kutub selatan
maupun di Pegunungan. Akibatnya terjadi penambahan volume air dan
4
menyebabkan naiknya permukaan laut, dan penjelasan selanjutnya akan dijelaskan
di bab pembahasan.
1.4 Manfaat
5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.1.1 Paleografi
2.1.1.2 Paleoklimatologi
6
Perubahan yang terjadi pada masa Pasca-Pleistosen atau masa Holosen
adalah berubahnya iklim. Berakhirnya masa glasiasi menyebabkan berakhirnya
juga musim dingin yang kemudian menjadi musim panas. Akibatnya sebagian es
di kutub mencair dan semua daratan yang semula terbentuk karena turunnya
permukaan air laut, kemudian tertutup kembali oleh air laut, contohnya Paparan
Sunda dan Paparan Sahul.
Fluktuasi iklim dan muka laut menjadi factor pemicu perubahan karena
menimbulkan tantangan baru bagi manusia pada kala itu. Keduanya saling
mengait satu sama lain, perubahan muka laut sangat dipengaruhi oleh kondisi
iklim, sementara kondisi iklim sangat dipengaruhi oleh perubahan beberapa
parameter astronomi mengenai posisi bumi terhadap matahari.
Pada masa Pasca-Pleistosen atau masa Holosen iklim di daerah tropis dan
di Indonesia khususnya menunjukkan persamaan dengan iklim sekarang, yaitu
Iklim tropis.
Akibat terputusnya wilayah Indonesia dari daratan Asia pada akhir masa
glacial berakhir, terputus pula jalan hubungan hewan antar kedua daerah tersebut
yang sebelumnya dapat dilalui dengan bebas untuk migrasi dari daerah satu ke
daerah lainnya. Hewan yang hidup di pulau-pulau kecil tersebut hidup terasing,
dan terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru.
Setidaknya ada 17 jenis hewan yang ada pada masa sebelumnya menjadi
punah. Sebaliknya, muncul setidaknya 10 jenis hewan baru di kawasan ini,
diantaranya yang paling menonjol yaitu orangutan dan siamang.Keberadaan jenis
7
hewan ini menunjukkan kondisi iklim yang lebih basah dan lembab sehingga
hutan tropis meluas bahkan hingga ke Jawa.
Flora pada masa Holosen, pada masa glasiasi berakhir hutan tropis dengan
pepohonan yang lebat menjadi lebih dominan dan mengisi daerah-daerah yang
8
sebelumnya merupakan sabana.perubahan ini mau tidak mau harus dihadapi oleh
fauna dan manusia yang hidup di kawasan tersebut. Adaptasi baru dibutuhkan
agar merkeka dapat bertahan hidup. Namun, hewan-hewan tertentu terbukti tidak
lagi mampu bertahan sehingga menghadapi kepunahan, baik kepunahan lokal
maupun kepunahan abadi.
2.2 Manusia
9
Manusia pada sejak awal holosen pengunian Nusantara memperlihatkan
perkembangan yang cukup signifikan, seperti dilihat pada penemuan sisa manusia
yang menempati sebaran geografis yang lebih luas di berbagai bagian Nusantara.
Manusia yang hidup pada masa itu merupakan evolusi dari manusia modern awal,
walaupun tidak menutup kemungkinan adanya proses migrasi yang baru yang
memasuki Indonesia setelah berakhirnya masa glasiasi. Untuk membedakannya
dari manusia modern awal, manusia yang hidup pada periode ini dinamakan
mansia moden yang lebih kemudian.
Semenjak sekitar 10.000 tahun lalu, ras manusia yang kita kenal sekarang
sudah mulai ada di Indonesia dan sekitarnya. Di masa holosen ada dua ras di
Indonesia, yaitu Australomelanesid dan Mongolid.
2.2.2 Penduduk
10
Ringgit. Di Sumatra juga ditemukan sebuah rangka di Bukit Kerang Sukajadi,
Langkat yang terdapat unsur Australomelanesid.
Penduduk pantai Selat Malaka pada saat itu terutama hidup dari hasil laut.
Pada masa ini sumber daya laut mulai dimanfaatkan. Mereka juga memakan ikan
dan kerang sehingga mereka meninggalkan sampah dapur yang disebut dengan
kjokkenmoddinger. Penduduk pantai tersebut sudah memakai dan membuat api
juga untuk mengolah makanan mereka, dan budaya mereka juga tidak begitu
kompleks.
11
Manusia Braholo ini ditemukan di Gua Braholo, sisa manusianya dibagi
menjadi delapan individu, sebagian menunjukkan penguburan primer dengan
bagian tubuh yang tergolong lengkap dan dalam susunan anatomis, sebagian
lainnya merupakan sisa penguburan sekunder dengan bagian tubuh yang terbatas.
12
selatan, bagian frontal berada di utara. Di bawah tengkorak ditemukan ruas tulang
jari tangan. Posisi itu mengarah kepada penguburan primer berlipat. Braholo 6 ini
menunjukkan cirri-ciri ras Australomelanesid
Braholo 8, sisa manusia ini diwakili oleh telapak kaki kiri, terdiri atas
phalanx, metatarsal, ossa tarsi, thallus, dan calcaeus.
13
sisa ini terdiri atas 12 fragmen kranial, sebuah fragmen rahang atas kanan dengan
2 prageraham, 5 buah geraham lepas, 4 gigi susu milik anak-anak, dan satu buah
gigi seri. Juga terdapat Hueus yang utuh, yang mengindikasikan milik ras dengan
postur kecil. Ada pula Gua Karassa, salah satu situs budaya Toala tertua dari
zaman Glasiasi selesai atau pasca-glasial.
14
kesinambungan budaya dari masa Pleistosen atas dengan masa Holosen. Upaya
pengembangan tersebut terlihat cukup signifikan hingga menjadikan budaya pada
periode ini lebih tepat sebagai pengayaan budaya. Kegiatan okupasi atau hunian
gua yang telah dimulai pada kehidupan manusia modern awal dilanjutkan oleh
manusia modern yang lebih, kemudian pada periode ini dengan kegiatan yang
semakin intensif dan ekstensi geografis yang semakin meluas. Pada periode ini
gua telah dihuni secara intensif dengan berbagai kegiatan terkait di dalamnya.
Wilayah bagian Timur Jawa, sejauh ini telah ditemukan tujuh kelompok
hunian gua, yaitu kelompok Tuban yang menempati Pegunungan Semanding
15
(meliputi Gua Gede, Kandang, Kecil, Bale, Pawon, Bagong, Peturon, Butol,
Panggang, dan Song Perahu), kelompok Bojonegoro (Gua Lawang dan Gua
Kramat), kelompok Sampung (Gua Lawa, Gua Tutup, Ceruk Layah, Ceruk Sulur,
dan Ceruk Ngalen), kelompok Tulungagung (Song Gentong 1 dan 2), kelompok
Puger (Gua marjan, Gua Sodong, Gua Gelatik, Gua Macan), dan kelompok
Situbondo (Gua Petpuruh). Kelompok ketujuh dan yang paling besar adalah
kelompok Gunung Sewu yang meliputi wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Di wilayah ini terdapat sekitar enam
puluh gua dan ceruk dan hampir semuanya mengandung sisa hunian.
Banyaknya hunian gua dan ceruk pada periode ini banyak ditunjang oleh
ketersediaan sumber daya lingkungan. Pada masa ini pemanfaatan gua dan ceruk
sudah berkembang sebagai ruang multifungsi untuk kegiatan hunian,
penyembelihan binatang buruan, bengkel pembuatan peralatan, penguburan,
16
tempat mengolah makanan dan ekspresi keindahan. Pusat kegiatan telah
berpindah dari alam terbuka ke dalam gua dan ceruk. Kehidupan dalam gua sudah
mulai mengenal tata ruang dalam pemanfaatan gua. Contoh yang Khas ditemukan
di situs Song Keplek (Kabupaten Pacitan, Jawa Timur), bagian depan ruangan gua
difungsikan sebagai tempat pembuatan perkakas, sementara bagian yang
menyudut di dekat dinding gua sebelah barat dan yang lebih lembab dan gelap
dimanfaatkan sebagai lokasi penguburan. Bagian tengah ruangan cenderung
dimanfaatkan sebagai tempat tinggal. Penemuan kerangka rusa yang tergolong
lengkap di Gua Braholo dan Song Keplek (Gunung Sewu) yang berasosiasi
dengan peralatan litik menandakan gua juga dimanfaatkan sebagai tempat
penyembelihan hewan hasil buruan. Fungsi lain dari gua adalah sebagai tempat
perapian. Abu pembakaran yang selalu ditemukan pada lapisan hunian gua
membuktikan api sangat berperan dalam lungkungan hunian. Penemuan tulang-
tulang terbakar pada lapisan perapian menandakan pemanfaatan dalam mengolah
makanan.
Pola hunian pada periode ini cenderung pada pemanfaatan gua dan ceruk,
muncul sebuah kelompok budaya yang masih mempertahankan pola hunian
terbuka. Kelompok ini memperlihatkan karakter budaya yang masih
mempertahankan pola hunian terbuka. Kelompok ini memperlihatkan karakter
budaya Hoabinh (Hoabinhian), sebagai bagian dari kelompok budaya yang
berkembang di Asia Tenggara. Situs-situs Hoabinian ditemukan diseluruh daratan
Asia Tenggara dengan persebaran mencapai wilayah Burma di bagian barat,
wilayah selatan Cina dan Taiwan di bagian utara, di samping Indonesia di wilayah
kepulauan. Kronologi yang paling rinci tentang situs Hoabinhian diketahui dari
Gua Hantu (Spirit Cave), Thailand baratlaut, dengan lapisan yang paling tua
bertarikh 11.690 560 BP dan yang paling muda adalah 7.622 300 BP.
Pertanggalan terhadap situs Hoabinhian lain ditunjukkan oleh situs Gua Kechil di
Malaysia, yang berdasarkan analisis tulang menunjukkan tarikh termuda 4.800
17
800 BP. Di Ceruk Leang Spean, yang terletak dekat Battambang (Khmer), sisa
budaya Hoabinhian diberi tanggal dari sekitar 6.240 70 BP.
18
Subsistensi sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
pada awal Holosen dalam hal tertentu masih melanjutkan subsistensi Akhir
Pleistosen, khususnya perburuan hewan. Namun jika dilihat dari intensitas sisa
fauna yang jauh melebihi periode sebelumnya, sepertinya perburuan pada masa
ini semakin intensif dengan jenis hewan yang lebih bervariasi macamnya.
Subsistensi lainnya yang pada periode sebelumnya kemungkinan sudah dilakukan
tetapi sulit untuk dipastikan karena keterbatasan data adalah pemanfaatan biota air
dan pemanfaatan biji-bijian. Ketiga jenis subsistensi ini umumnya secara
bersama-sama berlangsung di setiap aktivitas hunian, walaupun dengan intensitas
yang berbeda-beda, tergantung pada ketersediaanya dalam lingkungan.
Sisa fauna yang banyak ditemukan pada lapisan hunian di dalam gua-gua
maupun di alam terbuka menunjukkan aktivitas perburuan binatang menjadi
subsistensi pokok dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keberadaan sisa berbagai
jenis hewan yang menonjol dalam himpunan temuan menandakan hasil kegiatan
perburuan yang semakin meningkat seiring dengan tingkat kemajuan teknologi.
Data temuan menunjukkan bahwa aktivitas perburuan tidak diarahkan pada
binatang tertentu, tetapi cenderung disesuaikan pada jenis-jenis binatang yang
tersedia di lingkungannya. Meskipun demikianm di situs-situs tertentu terlihat
dominasi sisa binatang tertentu. Sebagai contoh, temuan ekskavasi di wilayah
Gunung Sewu (Khususnya Song Keplek) menunjukkan bahwa jenis monyet
(Macaca sp.) merupakan binatang buruan yang dominan.
19
Bukti-bukti terdapat sisa binatang darat berupa monyet, badak, beruang, gajah,
dan rusa.
2.5 Teknologi
20
menggunakan diversifikasi bahan. Selain menggunakan bahan berbagai jenis
batuan yang yang merupakan pengembangan dari periode sebelumnya, terdapat
peralatan dari bahan lain, seperti tulang, tanduk, dan cangkang kerang. Pembuatan
peralatan dari bahan organic lainnya seperti bamboo dan kayu tentunya sudah
semakin maju seiring dengan kemahiran teknologi, tetapi sifat bahan yang mudah
hancur menyulitkan peneliti untuk mengenal jenis-jenis peralatan dari bahan-
bahan tersebut.
Pada periode ini produk teknologi litik lebih didominasi oleh alat-alat
serpih. Alat batu inti yang tidak terpolakan lama-lama ditinggalkan untuk
21
akhirnya pada periode ini hilang sama sekali. Alat batu inti yang masih berperan
pada periode ini adalah batu pukul yang berfungsi sebagai alat pemangkas.
Sebagai gantinya berkembang alat serpih melalui teknik-teknik peretusan yang
menghasilkan berbagai jenis dan tipe alat serpih.
Beberapa alat serpih yang paling menonjol pada periode ini adalah antara
lain serut, lancipan, mata panah, pisau, dan bor. Serut dicirikan dengan
keberadaan retus bersambung menutupi keseluruhan atau sebagian dari sisi alat.
Beberapa tipe alat serut yang paling umum adalah serut cekung, serut gigir, serut
samping, dan serut ujung. Morfologi serut juga ikut memperkaya tipologi serut,
antara lain serut dengan ujung meruncing, serut berpunggung tinggi, dan serut
22
membulat. Serut merupakan jenis alat yang paling umum dan selalu ditemukan di
himpunan alat-alat serpih pada kelompok-kelompok gua di Indonesia
Pisau batu umunya dikerjakan dari sebuah serpih panjang dengan salah
satu atau kedua bidang lateral diretus bersambung. Sering bidang dorsal masih
tertutup korteks, ini menunjukkan bahwa serpih dihasilkan dari pemangkasan
primer.
Disamping jenis alat-alat serpih di atas, masih ada alat yang khas yang
disebut bilah. Alat ini dicirikan dnegan bentuknya yang persegi dengan kedua sisi
yang sejajar dan mempunyai panjang dua kali bahkan lebih. Pencapaian bentuk
yang teratur semacam ini memerlukan persiapan bahan yang matang dan teknik
pemangkasan khusus.
23
Penggunaan tulang sebagai bahan alat bermula dari pemanfaatan hewan
hasil-hasil buruan untuk bahan makanan. Tulang sebagai bahan yang penting dari
hewan mengandung sumsum di dalamnya. Manusia berupaya memecahkan
tulang-tulang untuk mengambil sumsum tersebut untuk dimakan. Pecahan-
pecahan yang dihasilkan dapat dalam berbagai bentuk dan umumnya memiliki
sisi-sisi yang tajam atau ujung yang runcing. Secara spontan timbul keinginan
memanfaatkan bentuk-bentuk semacam itu untuk peralatan. Pengalaman tersebut
memunculkan pemikiran untuk memanfaatkan serpihan tulang sebagai alat.
Selanjuttnya mulailah pengambilan dan penyeleksian tulang dari hewan buruan
untuk dikerjakan menjadi berbagai macam bentuk alat.
Kemunculan alat tulang awalnya bukan pada periode ini, tetapi diduga
sudah dimulai pada kehidupan homo erectus. Walaupun masih dalam perdebatan
tentang keabsahannya, keberadaan alat-alat tulang dilaporkan di Ngandong dan
dihubungkan sebagai produk Homo Soloensis, manusia purba dari tingkatan
evolusi termuda di Indonesia. Keberadaan alat-alat tulang tersebut melahirkan
terminologi Industri Ngandong, namun keabsahan industry ini masih diragukan.
Industri alat tulang dan tanduk yang lebih meyakinkan dimulai sekitar
awal Holosen pada Hunian gua dan ceruk. Bersamaan dengan kemunculannya,
marak pula alat-alat dari cangkang moluska yang selalu berasosiasi dengan alat-
alat litik. Peneuan alat-alat tulang dan tanduk pertama kali di Gua Lawa, Sampung
(Ponorogo), melahirkan terminology Industri tulang Sampung. Ekskavasi yang
dilakukan oleh van Stein Callenfels di situs ini menemukan lapisan hunian setebal
2 meter yang terdiri dari tiga lapisan. Lapisan paling bawah dicirikan sebagai
mata panah batu berdasar membulat atau bersayap, tetapi tidak ada yang bergerigi.
Lapisan tengah dicirikan dengan sudip dan lancipan dari tulang dan tanduk rusa.
Pada lapisan atas ditemukan batu pelandas, beliung persegi yang diasah seperti
empat mata kail dari tulang ditemukan dekat dengan permukaan tanah. Industri
alat tulang umum ditemukan di bagian timur Jawa pada kelompok-kelompok
hunian gua yang terdapat di bukit-bukit karst Gunung Sewu, Tuban, dan Puger.
Selain gua-gua di Jawa Timur, alat tulang ditemukan pula di beberapa tempat di
24
Nusantara, tapi secara umum tidak semenonjol di Jawa TImur. Penemuan terbaru
mengenai alat tulang ditemukan di wilayah Gunung Sewu yang mencakup situs-
situs song Keplek, Gua Braholo, dan Gua Tritis.
Mengenai fungsi lancipan sampai saat ini belum dapat dipastikan, namun
setidaknya ada tiga asumsi penggunaanya. Pertama, berfungsi seperti alat
pencungkil jenis makanan kerang, kedua sebagai alat penangkap ikan atau
berfungi sebagai mata tombak untuk menangkap ikan, dan yang ketiga sebagai
alat jahit atau pelubang. Jarum merupakan alat khusus yang secara morfologis
25
memiliki kesamaan dengan lancipan. Perbedaannya terletak pada ukurannya, yaitu
bahwa lancipan mempunyai ukuran relative lebih besar daripada jarum yang kecil.
Pembuatan lancipan maupun jarum dilakukan lewat penggosokan longitudinal
miring ke arah ujung, dalam beberapa hal akan menghasilkan lancipan simetris.
Jenis alat tulang yang sering ditemukan di Indonesia adalah spatula dan
lancipan. Khusus pada daerah beberapa gua di Sulawesi Selatan ditemukan
lancipan dengan runcingan ganda. Pada kenyataanya alat tersebut mempunyai
banyak fungsi, antara lain untuk menangkap ikan, membuat pakaian, dan
menggores perhiasan tembikar dan hiasan hidung pada suku Papua dan Aborigin.
26
adalah untuk menghaluskan alat-alat yang dibuat dari kayu, tulang, ataupun
tanduk. Bahkan dalam upacara-upacara kematian, serut kerang juga dipergunakan
sebagai alat untuk mencukur rambut sebagai tanda berkabung. Serut kerang juga
sering dimanfaatkan untuk mengeruk dan mengelurkan sagu dari dalam
batangnya.
2.5.5 Perhiasan
27
carving). Di samping mengandung makna estetika, yaitu sebagai ungkapan
ekspresi keindahan, seni juga memberikan makna yang lebih mendalam dari alam
piker masyarakat pendukungnya menyangkut ide-ide, lambing, aspek geografi,
lingkungan, sosial budaya, maupun konsepsi kepercayaan mereka.
Di Australia ada tiga kategori lukisan cadas, yaitu satu warna, dua warna,
dan multiwarna
28
langsung setelah meninggal ke dalam tanah dengan posisi lurus terlentang atau
terlipat. Penguburan sekunder umumnya ditunjukkan oleh adanya pengunuran
terhadap bagian rangka yang dipilih secara selektif, seperti tengkorak, baguan dari
tengkorak, dan terkadang bagian dari anggota badan.
29
bagian atas kubur ditindih dengan bongkahan batu, terutama pada bagian dada dan
perut. Perletakan batu di atas mayat diperkirakan untuk melindungi si mayat dari
gangguan binatang buas, sebagai pertanda kubur, atau merupakan symbol untuk
mencegah rohnya meninggalkan jasad.
Konsep tentang bekal kubur sebagai objek penyerta bagi seseorang yang
telah meninggal sudah dikenal pada periode ini. Konsep kepercayaam tentang
hidup sesudah mati agaknya kurang berkembang di kala itu. Oleh sebab itu,
terdapat kebiasaan bagi keluarga si mati untuk menyertakan bekal berupa benda-
benda tertentu dalam kubur atau melakukan ritual tertentu dalam proses
penguburan, itu bertujuan untuk membekali si mati dalam kehidupan yang baru.
Bekal kubur itu berupa bubukan hematite yang ditaburkan di sekitar badan si mati
dan sebuah bungkal hematite berbentuk bola di dekat kakinya. Warna merah dari
hematite ini dapat melambangkan kehidupan sehingga penaburannya pada mayat
diduga sebagai symbol kehidupan-kembali di dunia lain
30
BAB 3
31