Anda di halaman 1dari 11

ZAMAN BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN

TINGKAT AWAL / SEDERHANA

Fitriatul Maulidiah (220210302008)


Devina Damayanti (220210302017)
Fransisca Berliana Dewi Ramadhan (220210302029)
Ulfiyatus Soleha (220210302032)
Ana Rifki Jamil (220210302041)

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember
Jl. Kalimantan 37, Jember 68121

ABSTRAC
The era of hunting and gathering food at the early/simple level is human life which is
only focused on efforts to defend oneself in the midst of challenging nature, with limited
abilities. Human activities at this time are hunting and gathering food with simple equipment,
made of stone, wood and bone, essentially human life is very dependent on the surrounding
environment and often moves from place to place. The environmental conditions at that time
were not yet stable while humans had not been able to create tools to facilitate their lives.
Keywords: prehistory, early humans, natural environment.

ABSTRAK

Zaman berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal/sederhana adalah


kehidupan manusia yang hanya terpusat pada upaya mempertahankan diri ditengah-tengah
alam yang penuh tantangan, dengan kemampuan yang masih terbatas. Kegiatan manusia pada
zaman ini adalah berburu dan mengumpulkan makanan dengan peralatan yang masih
sederhana, yang terbuat dari batu, kayu dan tulang, intinya kehidupan manusia sangat
bergantung pada lingkungan sekitarnya dan sering berpindah pindah tempat. Keadaan
lingkungan pada zaman itu belum stabil sementara manusia belum mampu menciptakan alat
untuk mempermudah hidupnya.

Kata kunci : prasejarah, manusia purba, lingkungan alam.


PENDAHULUAN

Zaman berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal/sederhana adalah


kehidupan manusia yang hanya terpusat pada upaya mempertahankan diri ditengah-tengah
alam yang penuh tantangan, dengan kemampuan yang masih terbatas. Kegiatan manusia pada
zaman ini adalah berburu dan mengumpulkan makanan dengan peralatan yang masih
sederhana, yang terbuat dari batu, kayu dan tulang, intinya kehidupan manusia sangat
bergantung pada lingkungan sekitarnya dan sering berpindah pindah tempat. Keadaan
lingkungan pada zaman itu belum stabil sementara manusia belum mampu menciptakan alat
untuk mempermudah hidupnya.
Kehidupan sosial zaman ini menggantungkan kehidupannya pada kondisi alam.
Daerah sekitar tempat tinggalnya harus dapat memberikan persediaan air dan makanan yang
dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Mereka hidup berkelompok dengan pembagian
tugas laki-laki ikut kelompok berburu sedangkan perempuan mengumpulkan makanan dari
tumbuhan dan hewan-hewan kecil. Mereka juga berkerja sama dalam menanggulangi
serangan binatang buas maupun adanya bencana alam.
Kehidupan manusia purba homo erectus telah berlangsung sejak awal Pleistosen-
sekitar 1,8 juta tahun yang lalu hingga 100.000-80.000 tahun yang lalu. Fenomena alam
seperti glasial, paleoklimatologi, gejala tektonis dan vulkanis, dll yang terjadi pada periode
ini menyebabakan perubahan lingkungan dan paleogeografi Indonesia, hal ini berpengaruh
pada dinamika hunian dan budaya.
Pada akhir Pleistosen-awal Holosen, kepulauan Indonesia selain mengalami
pengangkatan dan kegiatan gunung api juga mengalami perubahan iklim global yang
menyebabkan terjadinya penurunan muka laut. Pada saat itu daratan menjadi semakin luas,
dengan keadaan geografi seperti sekarang ini, yaitu sebagai wilayah tropis yang terletak di
wilayah khatulistiwa. Dengan kondisi tersebut perairan yang luas telah menyebabkan
terjadinya penguapan air laut yang besar sehingga mengakibatkan curah huajn dan
kelembapan yang tinggi. Pada kala itu Indonesia menjadi salah satu wilayah tropis yang
sangat subur untuk tumbuhnya berbagai vegitasi. Jadi tidak heran Indonesia memiliki hutan
tropis yang sangat lebat dan luas, dihuni oleh berbagai fauna yang berasal dari daratan Asia
yang kemudian hidup secara endemik.
PEMBAHASAN

1. Lingkungan Alam
Pada masa Pleistosen, keadaan lingkungan dan geografi ditentukan oleh banyak
faktor, seperti perubahan iklim dan muka laut, kegiatan tektonis, gunung api, gempa bumi,
dan tsunami. Fluktuasi merupakan salah satu fenomena yang menonjol pada saat itu.
Klimatologi, tektonis dan orbital force merupakan penyebab terjadinya perubahan muka laut.
Pengangkatan dan penurunan sedimentasi merupakan akibat dari kegiatan tektonis. Saat
sedimentasi, akan menyebabkan majunya garis pantai ke arah daratan.

Faktor iklim juga sangat berperan terhadap perubahan muka laut, iklim yang
dimaksud adalah iklim dalam periode yang cukup panjang dengan perubahan dari dingin ke
panas atau sebaliknya. Masa penurunan temperatur disebut periode pengesan /glasial. Pada
periode itu keadaan udara menjadi kering dan tidak lembab karena hampir semua partikel air
di udara membeku menjadi partikel es. Sedangkan masa kenaikan temperatur ini disebut
zaman antar-es/integrasial. Pada periode itu keadaan menjadi lembab karena kandungan
partikel air di udara menjadi semakin tinggi akibat pencairan es, penguapan air laut , dan
curah hujan yang bertambah besar. Faktor lain yang menyebabkan perubahan muka laut
adalah kondisi kehitaman force bumi terhadap matahari. De Boer dan Smith berpendapat
bahwa genital force inilah sebenarnya yang bertanggung jawab atas terjadinya perubahan
iklim serta perubahan muka laut.
Pada akhir kala pliosen yang diperkirakan sekitar 1,8 juta tahun yang lalu terjadi
kegiatan tektonis global Plio-Pleistosen yang sangat kuat. Aktifnya pergerakan lempeng di
Asia Tenggara menyebabkan sebagian besar cekungan lautan terangkat menjadi daratan.
Pengangkatan tersebut diikuti oleh kegiatan gunung api yang aktif dibawah laut, maupun di
daratan. Gunung-gunung tersebut membentuk rangkaian daratan dan pulau-pulau yang
membentang mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Halmahera,
hingga Filipina dan Jepang.
Pada akhir Pleistosen-awal Holosen, selain mengalami pengangkatan dan kegiatan
gunung api Kepulauan Indonesia juga mengalami perubahan iklim global yang menyebabkan
terjadinya penurunan muka laut. Dikala itu daratan menjadi semakin luas, dengan keadaan
geografi yang sudah seperti sekarang, yaitu sebagai wilayah tropis yang terletak di wilayah
khatulistiwa.
2. Flora dan Fauna
Penurunan muka air laut pada masa glasial pleistosen telah menjadikan paleogeografi
Indonesia terbagi dalam tiga bagian. Di sebelah barat terbentuk dataran tinggi Sunda,
sedangkan di bagian timur terbentuk paparan sahul. Diantara kedua dataran tinggi tersebut
merupakan zona kepulauan karena dibatasi oleh laut dalam. Daerah ini lebih dikenal sebagai
wilayah holasea, diambil dari nama pencinta alam Alfred Russel Wallace. Dialah yang
menerbitkan pada tahun 1863 yaitu garis pembatas fauna yang memanjang dari selat Lombok
melalui selat Makassar ke arah utara. Kumpulan fauna yang berada di sebelah barat garis
pemisah ini disebut Indo Malayan region dan di sebelah timur disebut australo Malayan
region.
Batas timur dari penyebaran fauna asal daratan Asia yang menempati daerah paparan
Sunda disebut garis Wallace. Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan pulau kecil serta kawasan laut
dangkal disekitarnya merupakan kelanjutan atau pinggiran dari benua Asia pada garis kontur
kedalaman (batimetri) -180 m. Fauna di wilayah ini memperlihatkan afinitas yang sangat
dekat dengan benua Asia. Penyatuannya dengan benua Asia pada periode-periode glasial
telah memudahkan perpindahan fauna ke wilayah ini. Diperkirakan fauna seperti, badak,
harimau, kuda Nil, orang tua., Siamang, kera, Rusa, dan tapir berpindah dari benua Asia ke
Indonesia di kala itu.
Dermitzakis dan Soondar membedakan migrasi fauna dalam beberapa cara, yaitu
dengan cara pergerakan bebas, pergerakan fauna dapat terjadi pada jalur daratan yang luas.
 Rute perpindahan terpilih.
Pola seperti ini dapat terjadi di kala perpindahan melalui jalur yang berpenghalang
seperti keberadaan semenanjung, selat sempit atau daratan yang terhalang oleh
faktor lingkungan.
 Rute perpindahan ayunan.
Pada jenis perpindahan ini terdapat sedikit penghalang, seperti selat yang sempit
 Rute perpindahan berpenghalang titik pola.
Perpindahan jenis ini dapat terjadi jika terdapat tempat asal dan tempat tujuan yang
signifikan, misalnya contoh berupa jalur perpindahan tinggi.
Pengaruh lingkungan terhadap evolusi fauna
 Endemisme
Endemisme adalah kondisi pada daerah tertentu di mana terdapat jenis binatang
yang memiliki ciri-ciri fisik yang khas dan tidak ditemukan di daerah lain.
 Pengerdilan
Suatu wilayah yang terisolasi menyebabkan sumber makanan terbatas dan fauna
yang hidup di wilayah tersebut harus bertahan hidup dengan cara pengerdilan.
 Paralelisme
Paralelisme adalah kecenderungan persamaan evolusi antara fauna yang hidup di
tempat asal dan tempat baru.

Biostratigrafi Jawa dan sebaran fosil vertebrata di Indonesia


 Biostratigrafi Von Koeningswald
Sebaran fosil vertebrata di Jawa memiliki wawasan tentang evolusi fauna yang
hidup di pulau ini selama jutaan tahun. Von Koeningswald yang pertama
menyusun bio stratigrafi Jawa yang secara kronologis membaginya atas tujuh unit
fauna. Fauna cisande, fauna kaliglagah,fauna jetis, fauna Trinil, fauna ngandong,
fauna Sampung. Konsep baru bios stratigrafi vertebrata Jawa.
Pada dasarnya bios stratigrafi ini memiliki beberapa kelemahan, salah satunya
adalah setiap unit fauna tidak didasarkan pada fauna suatu situs dan pada tingkat
stratigrafi tetapi pada kumpulan fauna dari beberapa situs. Koeningswald juga
terkesan mencampuradukkan bio- stratigrafi dengan list litostratigrafi. Kelemahan lain
adalah perbandingan langsung Jawa dengan siwalik dan China berdasarkan fosil
pemandu, padahal kondisi geografis Jawa sangat berbeda dengan daratan Asia.
Setelah sekitar 50 tahun setelah biostratigrafi Koeningswald, pada penemuan
data baru, Sonder mengusulkan konsep biostratigrafi fauna vertebrata untuk Jawa
terdiri dari 7 unit fauna. Unit tersebut dari yang tua ke yang muda adalah sebagai
berikut, fauna Satir, fauna Cisaat, fauna Trinil HK, fauna Kedungbrubus, fauna
Ngandong, fauna Punung, dan fauna Wajak.

Sebaran fosil vertebrata di Indonesia.


Selain situs yang merupakan lokasi jenis fauna di atas, masih ada situs lain
dengan fosil vertebrata yang relatif besar. Situs dengan tanggal yang lebih tepat
termasuk situs Sangiran, Kontakmacan dan Patiayam. Selain fosil fauna, pada situs ini
ditemukan fosil manusia purba dan artefak.
Azis menamakan kumpulan fosil fauna dari daerah walanae ini Wallanae fauna
yang terdiri dari fauna yang ditemukan secara insitu dari daerah sekitar lembah
walanae. Situs utama tempat temuan fauna Wallace yaitu di Alupang, Sompo, Beru,
Bulu Cepo, Calio, Lakibong, Londrong, Merale, Padaki, Paroto dan Sare Batue.
Beberapa di antara koleksi tersebut merupakan fosil vertebrata endemik seperti gajah
kerdil.

3. Manusia
Teori evolusi
Pada abad 19, Charles R. Darwin (1809-1882), mengemukakan sebuah teori yang
disebut teori evolusi. Dalam usaha untuk memahami asal usul manusia, dia mengambil tiga
konsep dasar evolusi, yaitu adaptasi, spesies dan evolusi. Dalam bukunya yang berjudul The
Origin of Species (1859), Darwin mengemukakan teori yang berdasarkan banyak bukti dari
kehidupan masa lalu. Kesimpulannya adalah bahwa makhluk hidup yang ada sekarang adalah
hasil dari evolusi yang panjang dan seleksi alam menjadi faktor yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup.
Pemikiran ini didukung oleh Thomas H. Huxley dalam bukunya Man's Place in Nature
(1863). Huxley membandingkan manusia dengan kera-kera Afrika. Dia menyatakan bahwa
pertumbuhan dan anatomi pada manusia dan simpanse hampir sama.
Kesimpulan dari kedua evolusionis tersebut kemudian disalahartikan oleh masyarakat.
Pada saat itu banyak masyarakat dan bahkan ilmuwan yang menafsirkan bahwa manusia
adalah keturunan langsung dari kera.
Dalam buku The History of Natural Creation (1814), yang dikarang oleh Ernst Haeckel.
Dinyatakan bahwa manusia awalnya muncul dengan bentuk primitif, Homo primigenius,
sejenis manusia yang mirip dengan monyet yang disebut Pithecanthropus alalus (bisu),
dikarenakan tidak memiliki artikulasi Bahasa.

Evolusi fisik manusia purba di dunia


Sekitar 65 juta tahun lalu, pada kala paleosen, waktu itu bumi masih beriklim hangat,
dengan banyak hutan tropis yang membentang. Populasi prosimia saat itu hampir semuanya
menggantungkan diri pada pepohonan. Jenis prosimia ini telah berevolusi dalam bentuk kera
dan monyet sejak 40 juta tahun lalu. Meskipun bukti fosil-fosil primata yang ditemukan
sangat sedikit, hampir pasti sekitar 35 juta tahun lalu, primata-primata tertua masih hidup
sepenuhnya diatas pohon (arboricole).
Manusia purba di Indonesia
• Sangiran
Situs ini berada di Solo. Pada tahun 1864, P.E.C. Schemulling menemukan fosil
vertebrata pertama, semenjak itu situs ini seolah dilupakan dan pada 1934 saat G.H.R
von Koeningswald menemukan artefak litik di sebelah barat laut Sangiran. Semenjak
itu, situs ini menjadi terkenal dengan ditemukannya fosil-fosil Homo erectus.
Pada tahun 1996 situs ini secara resmi dimasukkan dalam warisan dunia, dalam
nomor 593 Daftar Warisan Dunia UNESCO. Ada beberapa formasi di situs ini yaitu:
1. Formasi Pucangan
2. Grenzbank
3. Formasi Kabuh.
4. Formasi Notopuro
• Kedungbrubus
Situs ini terkenal sejak abad 19 karena penemuan fosil-fosil vertebrata yang
ditemukan oleh penduduk setempat. Dubois nemukan fosil disini, ia menemukan
fargmen rahang yang pendek dan kekar. Rahang ini memiliki ciri bagian bawah yg
lebar, berbeda dengan manusia modern dan mempunyai ciri yang sangat arkaik.
Diduga fragmen rahang tersebut milik hominid dan bukan gigi kera. Temuan ini
dinamakan Pithecanthropus A.
• Trinil
Eugene Dubois banyak menemukan sisa-sisa manusia yang menjadi sangat penting
bagi dunia pengetahuan. Di lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus
erectus dan beberapa tulang paha yang menunjukkan pemiliknya berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus yang ditemukan disini sangat pendek, dan memanjang
ke belakang. Volume otak sekitar 900 cc.
• Perning
Pada 1936 ditemukan atap tengkorak anak-anak yang berusia sekitar 3-5 tahun. Ciri-
ciri dari tengkorak ini yaitu dengan penyempitan tulang kening dengan bagian
occipitalyang runcing, ciri kuat Homo erectus. Meskipun aspek fisik dari fosil ini
belum ditemukan, tapi aspek tengkorak ini jelas menunjukkan ciri-ciri Homo
erectus. Umur fosil ini diperkirakan sekitar 1,81 juta tahun. Jika hasil tersebut benar,
maka individu ini merupakan individu Homo erectus paling tua di Indonesia.
• Ngandong
Ter Haar pada tahun 1931 menemukan lapisan yang mengandung fosil-fosil
vertebrata. Setelah itu, dia menemukan dua atap tengkorak. Selanjutnya, pencarian
oleh Oppenoorth dan von Koeningswald menemukan beberapa tengkorak lain,
beberapa fosik itu adalah 11 tengkorak manusia, sebuah pecahan parietal dan 5
tulang infra-tengkorak. Temuan ini kemudian dinamakan Homo soloensis.
Manusia Ngandong diperkirakan berumur 300.000 - 100.000 tahun.
Tengkorak manusia ngandong rata-rata bervolume 1000 cc. Lebih besar daripada
fosil yang ditemukan di Trinil. Dengan bentuk otak yang lebih tinggi dan lebih
bundar. Jika dihubungkan dengan tingkat evolusi di Indonesia, manusia ngandong
merupakan Homo erectus yang paling maju.
• Sambungmacan
Pertama kali ditemukan fosil di daerah ini pada tahun 1973 oleh penduduk setempat
yang akan menggali sungai dan menemukan fosil tengkorak. Beberapa fosil manusia
yang ditemukan di daerah ini yaitu tiga tengkorak dan satu tulang kaki. Fosil homo
erectus sambungmacan hampir sama dengan homo erectus ngandong.
• Patiayam
Temuan fosil di daerah ini pertama kali pada tahun 1978, fosil ini terdiri dari gigi
dan pecahan tengkorak homo erectus. Ditemukan oleh tim dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional dan tim dari Jurusan Teknologi ITB. Fosil itu menunjukkan
umur 0,85-0,02 juta tahun.
• Ngawi
Ditemukan tengkorak yang lengkap dengan dasar tengkoraknya di pinggir bengawan
solo pada 1987. Temuan ini dinamakan Ngawi 1, meniliki kesamaan dengan
tengkorak ngandong dan sambung-macan.

4. Pola Hunian dan Sebaran


Karena letak geografis dan keadaan lingkungannya pola hunian purba terbagi menjadi
dua kelompok yaitu dekat dengan sumber air dan berada di alam terbuka. Hal tersebut di
buktikan dengan adanya situs-situs di beberapa aliran di begawan solo contohnya Sangiran,
sambungmacan, Trinil, Ngawi dan ngandong. Kebutuhan akan air membuat para manusia
purba memilih bertempat tinggal di dekat sungai, keberadaan aliran air sangat berguna untuk
menunjang kehidupan mereka salah satunya untuk bercocok tanam dan mendapatkan hewan
buruan. Pola hunian di dekat aliran sungai tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga
terdapat di seluruh dunia. Dengan di temukannya beberapa situs-situs yang dekat dengan
sumber air contohnya, situs zaman Paleolitik awal dari Pra- Acheulean dan Acheulean di
Afrika, situs pantai di obock di Jibouti dan Sidi Abderrachman di Maroko, Lembah Nil di
Mesir dan Sudan serta lain sebagainya membuktikan bahwa para manusia purba memang
menempati daerah-daerah aliran sungai di masalalu.
Sedangkan pola hunian di alam terbuka di buktikan dengan adanya sebaran sisa
peralatan, fosil-fosil fauna dan manusia di sekitar aliran sungai karena mereka cenderung
memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di alam terbuka. Mereka masih jarang
menempati gua- gua karena beberapa alasan ,adanya kemungkinan gua belum terbentuk atau
bahkan masih baru dan tidak terdapat sumber daya alam yang di butuhkan membuat mereka
lebih memilih menghuni alam terbuka.
Tetapi beda halnya dengan gua-gua yang terdapat di Afrika, Eropa, dan China, di
sana masih di temukan situs-situs peninggalan sejarah. Perbedaan tersebut kurang lebih di
sebabkan oleh kondisi iklim.
Namun ketergantungan dengan alam membuat para manusia purba cenderung hidup
tidak menetap di satu tempat melainkan berpindah-pindah untuk mencari sumber daya alam
lainnya yang tersedia. Hal ini terlihat dari di temukannya beberapa bekas gubuk tempat
tinggal salah satunya penemuan di Gua lazaret, dekat Kota Nice di Perancis Selatan yang
terdapat jejak-jejak gubuk dengan bentul oval yang berukuran sekitar 7- 15 m yang di bangun
dengan tongkat dan cabang pohon serta batuan yang berada di sekitarnya.

5. Subsistensi
Kehidupan manusia dan lingkungannya tidak dapat dipisahkan, karena memiliki
timbal balik antar keduanya dan saling berpengaruh satu sama lain. Pada masa lampau saat
kemampuan berpikir masih terbatas, penguasaan teknologi juga terbatas, yang menjadikan
manusia masih bergantung kepada alam.
Seiring majunya kemampuan pola pikir dan teknologi manusia, manusia mulai tidak
bergantung sepenuhnya kepada alam, mereka mulai mengeksploitasi alam untuk memenuhi
kebutuhannya. Eksploitasi berlebihan terhadap alam dapat dapat mengakibatkan kerusakan
lingkungan dan punahnya spesies tertentu. Pada masa lampau, lingkungan secara geografi
memengaruhi cara hidup dan peralatan manusia purba, terlebih lagi dengan sumber daya
yang tersedia. Misalnya perbedaan lingkungan antara pegunungan dan perbukitan
memberikan sumber daya alam yang berbeda pula. Seperti pegunungan dengan hutan lebat
menyediakan binatang-binatang arboreal (hidup diatas pohon), dataran dengan padang
rumput dan semak belukarnya menyediakan binatang pemakan rumput (herbivora), daerah
pesisir juga menyediakan biota air (ikan,moluska, dll.)
Perbedaan lingkungan dan sumber daya alam juga memengaruhi sistem mata
pencaharian, seperti perburuan cenderung dilakukan oleh manusia pada lingkungan
pegunungan, sementara menangkap ikan cenderung dilakukan oleh manusia pada lingkungan
pesisir.
Di Indonesia, manusia purba diperkirakan hidup secara nomaden untuk
mengumpulkan bahan makanan pada suatu lingkungan. Mereka hidup dalam berkelompok
(komunitas) kecil dengan mobilitas yang tinggi. Lama mereka menetap di suatu lingkungan
eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan, sehingga mereka berpindah ke
lingkungan yang baru ditepian sungai untuk membuat persinggahan baru.
Luas lingkungan dan kondisi geografis juga memengaruhi kemampuan menjelajah
dalam mencari makanan, seperti lingkungan pegunungan dan lingkungan dataran rendah.
Sistem mata pencaharian pokok manusia purba adalah berburu binatang, yang diperkuat
dengan penemuan fosil-fosil fauna dalam lapisan okupasi menunjukkan bukti keterkaitan erat
antara manusia dan binatang. Fosil-fosil yang ditemukan dapat menggambarkan konsidi
jenis-jenis fauna yang hidup pada masa itu. Dalam berburu, diperkirakan mereka
menggunakan berbagai peralatan batu, kayu, bambu, dll.
Seperti alat pelempar, kapak perimbas, kapak penetak, dan berbagai jenis lainnya
yang dapat digunakan untuk memukul dan memotong serta keperluan lainnya. Selain
kegiatan berburu, manusia purba diduga mempunyai sistem mata pencaharian lainnya seperti
menangkap ikan, mencari kerang-kerang dalam lingkungan air tawar. Manusia purba juga
diperkirakan mengumpulkan bahan makanan lainnya (meramu) seperti umbi-umbian, biji-
bijian, atau buah-buahan.

6. Teknologi
Teknologi pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, hanya
mengutamakan segi praktis sesuai dengan tujuan penggunaannya saja, namun lama kelamaan
ada penyempurnaann bentuk. Di Indonesia dikenal dua macam teknik pokok, yaitu teknik
pembuatan perkakas batu yang disebut tradisi kapak perimbas dan tradisi serpih. Pada
perkembangan berikutnya ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk. Movius
menggolongkan alat-alat dari batu sebagai perkakas zaman pra aksara, yaitu kapak perimbas,
kapak penetak, pahat genggam, proto kapak genggam, dan kapak genggam. 4 Kehidupan
sosial Manusia purba semenjak Pithecanthropus hingga Homo Sapiens dari Wajak,
menggantungkan kehidupannya pada kondisi alam. Daerah sekitar tempat tinggalnya harus
dapat memberikan persediaan makanan dan air yang dapat menjamin kelangsungan
hidupnya. Mereka hidup berkelompok dengan pembagian tugas, bahwa yang laki-laki ikut
kelompok berburu dan yang perempuan mengumpulkan makanan dari tumbuhan dan hewan-
hewan kecil.

Anda mungkin juga menyukai