BERWAWASAN BUDAYA
(Typikal Pola – Pola Kebudayaan Sulawesi dan Gorontalo)
OLEH:
TIARA FELIS (E1B120020)
JURUSAN S1 ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI
2022
SEJARAH DAN TYPICAL POLA – POLA KEBUDAYAAN SULAWESI
a. Kebudayaan Prasejarah
1. Kebudayaan Agraris
Perjanjian Bungaya tidak hanya merugikan para pedagang dan pelautGowa,
melainkan juga Wajo, Lamuru, Tosora dan Mandar. Oleh karena itu pada tahun 1671
mereka bangkit kembali melakukan perlawanan, tetapi dapat dibinasakan oleh pasukan
gabungan Bone dan voe. Dengan demikian masyarakat Sulawesi Selatan dihadapkan
pada dua alternatif pilihan yaitu merantau atau tetap tinggal di tanah kelahirannya
sebagai petani. Para pelaut dan pedagang pada umumnya memilih alternatif yang
pertama, sehingga banyak kisah-kisah petualangan mereka di kawasan barat dan
selatan nusantara. Namun dapat diperkirakan bahwa sebagian dari mereka memilih
alternatif kedua. Hal ini berarti Sulawesi Selatan berkembang menjadi agraris.
Perkembangan inijuga merupakan akibat, meski tidak secara langsung, Bone sebagai
pihak yang menang dalam perang lebih berorientasi dan berbasis pada penghidupan
agraris.
Perlu dikemukakan bahwa kehidupan agraris setelah perjanjian Bungaya berbeda
dengan masa sebelumnya. Bila dahulu mereka bercocok tanam selain memenuhi
kebutuhan sendirijuga untuk kepentingan ekspor, maka sesudah itu semata-mata hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sulawesi Selatan kembali pada tingkat ekonomi
subsistensi.
2. lslamisasi, Sufisme dan Gerakan Sosial
lslamisasi di Sulawesi telah terjadi pada awal abad ke-16. Jatuhnya kerajaan
Malaka kepada Portugis pada tahun 1511 telah mendorong bagi terjadinya migrasi para
pedagang ke kota-kota pelabuhan niaga di sepanjang rute perdagangan laut di
Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan. Kedatangan para pedagang muslim itu
diterima dengan senang hati, karena akan meningkatkan penghasilan kerajaan yang
dapat dipungut lewat bea cukai di pelabuhan. Raja Gowa Karaeng Tunipallangga (
1546-1565) menyambut kehadiran mereka dengan mendirikan mesjid di Mangallekara.
Pada tahun 1532, ketika kerajaan Gowa berkembang dengan pesat di bawah pimpinan
Raja Tumaparisi Kalonna, Anakhoda Bonang (seorang saudagar muslim dari Jawa)
mewakili para pedagang Melayu (termasuk di dalamnya pedagang dari Pahang, Patani,
Campai, Minangkabau, Johor) pindah dari kerajaan Siang (Pangkajene) ke Somba Opu,
ibukota kerajaan Gowa. Para pedagang ini diterima dengan baik oleh Tumaparisi
Kalonna.
Islamisasi di Sulawesi Tenggara telah terjadi lebih awal yang terjadi di Sulawesi
Se Iatan. Raja Buton telah memeluk agama Islam pada tahun 1540.)a di Islamkan oleh
Syekh Abdul Wahid, seorang Mubaligh Melayu yang datang dari Johor. Raja yang
pertama yang masuk Islam bernama Mulae. Islamisasi selanjutnya diperluas oleh
peggantinya yaitu La Kilaponto yang bergelar Sultan Murhum. Islam
dinyatakanseba&ai agama resmi kerajaan.
3. Misi dan Zending
Agama Kristen, di beberapa tempat di Sulawesi, telah diterima penduduk, pada
pertengahan abad ke-16. Hal ini mendahului penyebaran agama Islam. Penyebaran
agama Kristen itu dilakukan oleh para misionaris Portugis. Pada mulanya oleh para
imam dari ordo Fransiskan kemudian oleh ordo Yesuit. Di Sulawesi Utara Kristenisasi
juga dipengaruhi oleh Spanyol yang b~rkedudukan di Filipina.
Orang-orang Portugis dan Spanyol itu menyiarkan agama katolik Roma, yang
bersifat hirarkis. Maksudnya, wewenang dan kekuasaan penyiaran agama dikoordinasi
Paus yang membawahi para uskup yang memimpin sejumlah imam. Orang awam tidak
memikiki kebebasan menyatakan pendapat dalam gereja. Para pemimpin agama itu
pada mulanya dididik dalam biara yang memisahkan dirinya dari kehidupan keluarga
dan meninggalkan berbagai aktivitas ·komersial. Kehidupan mereka secara ekonomis
banyak disokong oleh negara yang berada di bawah pengaruh gereja. negara
berkewajiban melindungi gereja dan mendukung penyiaran agama.
Kedatangan Portugis ke Indonesia diawali dengan perang suci ( sal ib) melawan
kekhalifaan Kordova di semenanjung Iberia yang terletak di Eropa Barat Daya, yaitu
kekhalifaan muslim bangsa Arab dan Berber. Perang ini, meski tidak terjadi secara
terus menerus, berlangsung hampir selama satu setengah abad, akliirnya meluas
menjadi perang melawan kekhalifaan Turki yang pada masa itu memperluas
wilayahnya di Timur Tengah termasuk pantai utara Afrika. Selain itu juga tidak dapat
diingkari bahwa pelayaran Portugis ke Indonesia adalah dalam rangka mencari
kekayaan dengan cara memonopoli perdagangan di Asia dan Eropa.
d. Pengaruh Barat
1. Sulawesi Utara
a. Kebudayaan
Di daerah Minahasa di Propinsi Sulawesi Utara; konsep mapalus adalah sangat
menonjol dan sangat terkenal. Konsep mapalus ini diterapkan pada setiap pekerjaan
berat apapun, di mana orang saling membantu untuk meringankan pekerjaan, seperti
pekerjaan di bidang pertanian, pembuatan rumah baru dan lain-lain. Dalam pembuatan
rumah, mereka bekerjasama untuk penarikan kayu dari hutan. Di samping itu mereka
juga bekerjasama dalam pembuatan perahu dan peluncurannya ke laut'.
Di samping hal-hal tersebut di atas, mapalus juga dipraktekkan dalam menghadapi
hat-hat penting, seperti kematian, perkawinan dan perayaan lainnya, untuk kepentingan
rumah tangga dan komunitas, saling membantu dan kerjasama berdasarkan prinsip
repositas. Suatu bantuan yang diberikan dalam suatu kegiatan, berupa tenaga, barang-
barang ataupun uang, bersama dengan bentuk-bentuk penghormatan dan penghargaan,
harus selalu disadari dan diberikan balasannya; apabila seseorang melalaikan hak maka
ia diar.ggap orang yang 'tidak baik' dan bilamana ia pada suatu waktu mengalami suatu
hal yang memerlukan bantuan, maka orang lain tidak akan meu atau setengah hati
membantunya. Sifat istimewa dari mapalus ini, karena laki-laki dan perempuan sama-
sama bergerak dalam pelaksanaan sesuatu pekerjaan mapalus dalam mendirikan rumah
baru, misalnya mulai dari penebangan kayu sampai kepada mendirikan rumah, selalu
dalam keadaan harmonis dan gembira dengan ciri kas Minahasa . Demikian juga
mapalus dalam pertanian, seperti penanaman padi sampai kepada menuai hasilnya
selalu dalam keadaan harmonis dan gembira. Masyakarat Minahasa memang terkenal
periang dan gembira. Kegembiraannya selalu diiringi dengan nyanyian dan tari. Tari,
nyanyi dan makan minum menjadi sifat istimewa ketika mapalus dilaksanakan• Seperti
telah disebutkan di atas, bahwa kesadaran akan kesatuan tempat asal seperti sekarang,
sekampung, sekecamatan melahirkan berbagai bentuk perkumpulan sosial baik di
Menado maupun di kota-kota lain di luar Minahasa. Banyak dari organisasi sosial yang
seasal ini juga bersifat keagamaan, atau perkumpulan arisan atau kumpulan uang.
(Kalangie dalam Koentjaraningrat).
b. Arsitektur Minahasa
Arsitektur vernakular merupakan suatu desain bangunan yang terkait dalam gaya
hidup masyarakatnya, warisan budaya masyarakat setempat, sumber daya alam yang
ada juga kondisi iklim daerah tersebut.Faktor-faktor pembentuk dalam Arsitektur
Vernakular Minahasa tergambar melalui bentukan pada arsitektur rumah tradisional
Minahasa (Komposisi Rumah Tradisional Minahasa), yang teridentifkasi sebagai
berikut, yaitu aspek material yang tersedia, aspek iklim, aspek tapak dan topografi,
aspek ekonomi/mata pencaharian, aspek penguasaan teknologi (teknologi mendirikan
bangunan yang dikuasai oleh masyarakat Minahasa pada jaman dahulu sangatlah
terbatas dan sangat tergantung kepada material yang tersedia yang juga sangat
terbatas), aspek simbolisme dan makna (simbolisme yang terdapat pada bangunan
Minahasa teridentifikasi melalui ragam hias, yaitu suatu bentuk dekorasi baik dalam
bentuk seni ukir, seni lukis maupun seni anyaman), serta aspek kebiasaan dan tradisi
(pada zaman dahulu, tradisi masyarakat Minahasa dalam membangun rumah, bahannya
sudah terpilih). (Wuisang, 2014. Gosal. Holy. Pierre, 2015, Makarau. H.Vicky, 2015)
c. Keterkaitan kebudayaan dan kondisi alam terhadap arsitektur Minahasa
Arsitektur Vernakular Rumah Tinggal Masyarakat Etnik Minahasa
Perubahan perubahan yang terjadi dalam perwujudan rumah tinggal masyarakat
etnik Minahasa tidak tertutup kemungkinan diikuti dengan perubahan terhadap proses
perwujudannya. Hal ini perlu dideskripsikan sehingga dapat menerangkan dengan jelas
arsitektur vernakular dari pada rumah tinggal masyarakat etnik Minahasa. Hal tersebut
identik dengan ungkapan Rapoport (1969) bahwa cara menerangkan yang paling
berhasil tampaknya ada dalam istilah proses yakni bagaimana hal itu dirancang dan
dibangun. Selanjutnya dikatakan bahwa defenisi suatu vernakular dengan
melihat.Proses desain, dimana proses desain vernakular adalah salah satu dari model
dan pencocokan atau fariasi. Rumah tinggal masyarakat etnik Minahasa dalam
proses.perencanaan sampai dengan dibangun harus mengikuti persyaratan tidak tertulis
sebagai aplikasi budaya masyarakat setempat.Dimaksudkan dengan persyaratan tidak
tertulis dalam konteks ini yakni peraturan dan persyaratan yang harus dipatuhi oleh
pemilik rumah dalam proses pelaksanaan pembangunan rumah (Sumintardja,1981).
Aturan seperti itu pula yang mendasari masyarakat Minahasa dalam membangun
rumah, dimana dalam pelaksanaan pembangunan berbagai aturan harus di ikuti,seperti
yang dikatakan Saruan (1991) bahwa untuk membangun rumah tinggal.masyarakat
Minahasa (era alifuru) dilandasi sifat kebersamaan dan kekeluargaan yang dikenal
dengan sebutan Mapalus (gotongroyong tradisional). Selain metode kerja tersebut
pengambilan material rumah serta pemasangan hingga selesai dan akan dihuni,juga ada
aturan yang harus di ikuti. Hal tersebut secara turun temurun diberlakukan dalam
perwujudan rumah tinggal masyarakat etnik Minahasa. Selain hal tersebut masih ada
persyaratan lain yang perlu dilakukan dalam proses pembangunannya, walaupun
disadari dalam perkembangan keberadaan masyarakat ada terjadi perubahan yang tidak
dapat dihindari namun persyaratan yang ada harus tetap dipertahankan dalam proses
pelaksanaan pembangunan. Seperti yang diungkapkan oleh Walukow (2008) bahwa
masyarakat etnik Minahasa dalam membangun rumah tinggal terdapat beberapa hala
yang harus diperhatikan yakni (1) Cara memasang kayu bagian pangkal harus berada
dibagian bawah, (2) Dalam memasang balok balok berputar dari arah kanan ke kiri,
(3)memasang tiang raja (tiang kuda kuda) tidak.boleh terletak membelah pintu
(pepenet) dan jendela (pepenet oki), (4) Tata letak pepenet masuk dan keluar jika rumah
hanya menggunakan satu tangga maka dipasang saling berhadapan, (5) Jika rumah
menggunakan dua tangga posisinya saling berhadapan dan untuk tata letak pintu masuk
dan keluar tidak boleh segaris, (6)Penggunaan anak tangga harus berjumlah ganjil
(3,5,7,9 dst) dan tidak dibenarkan jumlah genap (4,6,8,10 dst), (7) Jika rumah
menggunakan parigi (sumur) tata letaknya tidak boleh segaris dengan tata letak wc
(jamban) dan (8) Jika didesa terjadi peristiwa duka maka tidak dibenarkan para tukang
(pekerja) melakukan proses pembuatan rumah. Selain aturan maupun persyaratan
tersebut di atas masih juga ada persyaratan lain yang harus diikuti sampai dengan
rumah tersebut digunakan oleh pemiliknya. Seperti halnya bagaimana.rumah tersebut
selesai dilaksanakan dan.untuk dihuni harus dilakukan upacara ritual yang dipimpin
oleh tua tua adat setempat dan diakhiri dengan tarian tradisional yaitutarian maramba
yang dilakukan di atas lantai rumah tersebut. Karakteristik tarian.maramba yakni kaki
dihentak secara bersamaan pada lantai papan rumah itu dilakukan secara berulang
ulang mengikuti irama yang dibuat, hal ini dilakukan untuk.menguji kekuatan dari pada
rumah yang akan dihuni. Masih ada persyaratan lain juga yang harus diikuti dalam
proses perwujudan rumah tersebut baik untuk fisik bangunan maupun untuk memilih
perletakan bangunan rumah pada suatu site/lokasi. Kesemuanyaini merupakan proses
arsitektur vernakular rumah tingga masyarakat etnik minahasa dalam keberadaannya
yang perlu dilestarikan sebagai suatu kearifan lokal bidang arsitektur yang ada di
propinsi Sulawesi utara.
2. Gorotantalo
a. kebudayaan
Ketaatan orang Gorontalo untuk mematuhi peraturan yang cukup besar dan budi
pekerti mereka yang baik. Pembunuhan dan penganiayaan sampai mati, jarang sekali
terjadi begitu pula pencurian. Keselamatan orang dan harta benda dapat dinikmati
dengan rasa puas. Perkakas rumah dan hasil tanaman dapat dihampiri oleh siapapun,
termasuk hewan seperti: kuda berjalan bebas di daratan. Orang jarang atau tidak pernah
mendengar bahwa ada sesuatu yang dicuri, lagi pula dalam tahun-tahun terakhir tidak
ada perkara yang dimajukan di kalangan Mahkamah Kerajaan yang mengadili
kejahatan besar°.
b. Arsitektur Gorontalo
Arsitektur vernakular Gorontalo merupakan arsitektur peninggalan masa lalu yang
terbentuk melalui proses akulturasi nilai-nilai budaya lokal Islam dan kolonial. Nilai-
nilai lokal adalah nilai-nilai yang lahir dari tradisi dan mengalami penguatan setelah
masuknya Islam di Gorontalo. Hal ini diperkuat dengan data sejarah tentang masuknya
Islam pada sekitar abad ke 15–16, dan kolonial abad ke-18 di Gorontalo.Tradisi bukan
sekedar adat atau kegemaran dan juga bukan suatu gaya sekejap yang mengisi suatu
periode waktu saja, tetapi sesuatu yang menerus, menyeluruh dan elemen utamanya
adalah “agama” (Nasr, 1973: 9-10). Arsitektur vernakular Gorontalo merupakan
pengembangan dari arsitektur rakyat memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan “alami”
karena mengacu pada kondisi, potensi Iklim-Budaya dan masyarakat lingkungannya.
Arsitektur rumah panggung Gorontalo secara langsung telah mendapatkan
“pengakuan” masyarakatnya karena tumbuh dan melewati perjalanan pengalaman
“trial and error“ yang panjang. Dimulai saat Gorontalo masih berupa lautan kemudian
muncul sebagai sebuah daratan yang dihuni oleh pendatang-pendatang yang berasal
dari Sulawesi Utara, Gowa dan Bone (saat terjadi pertikaian kerajaan Gorontalo dan
Limboto), sampai pada saat Gorontalo mencapai puncaknya dipimpin oleh Raja Eyato
yang berhasil mendamaikan 2 kerajaan yang bertikai, dan pada zaman ini agama Islam
resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo (abad 15-16). Pada akhirnya perlahan-
lahan sistem pemerintahan kerajaan diambil alih pemerintahan kolonial abad 18-
19.Perjalanan sejarah Gorontalo inilah yang mewarnai bentuk arsitektur vernakular
Gorontalo, yang mengandung muatan “local genius” dan nilai jati diri yang mampu
menampilkan rona asli, berbeda beda dan bervariasi. Arsitektur ini sangat dekat dengan
budaya lokal yang umumnya tumbuh dari masyarakat Gorontalo.Arsitektur vernakular
Gorontalo merupakan sosok lingkungan binaan yang lahir dari nilai-nilai tradisi yang
kemudian berkembang melalui proses akulturasi budaya-budaya luar (Belanda, Arab,
Cina, Bugis-Makassar, Sulawesi Utara) dan budaya lokal. Akulturasi budaya ini
terekspresi pada sosok bentuk arsitektur vernakular Gorontalo mulai dari bentuk
sampai pada penggunaan ornamen/ragam hias.
c. Keterkaitan kebudayaan dan kondisi alam terhadap arsitektur Gorontalo
Dalam konteks rumah tradisional, kearifan lokal yang menyertai proses
pembangunan rumah panggung Gorontalo sudah mengatur harmonisasi antara
kebutuhan teknologi, bahan bangunan, desain, tata letak,dengan kemampuan alam.
Harmonisasi dicapai oleh masyarakat Gorontalo dengan terlebih dahulu mengenal dan
memahami dengan baik kondisi lingkungannya. Masyarakat sangat menguasai konsep
ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi antara
makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga tercipta kehidupan
yang seimbang, serasi dan selaras. Sikap masyarakat Gorontalo ini akan memberikan
gambaran secara menyeluruh bagaimana orang Gorontalo dalam bertindak
bersikap,sikap inilah yang merupakan turunan dari falsafah hidupnya dengan segala
makna yang ada.Dalam kajian teori arsitektur makna ditempatkan sebagai aspek yang
utama dalam arsitektur selain fungsi dan bentuk. Makna menjadi bagian yang
fundamental dalam hidup manusia, karenanya manusia selalu membubuhkan makna
pada apapun yang diberikan kepadanya; manusia tidak pernah mendapatkan dalam
kesadarannya sesuatu yang tidak bermakna dan dirujuk di luar dirinya (Capon, 1999:
110). Dalam segitiga hubungan fungsi-bentuk-makna; aspek fungsi selalu berkaitan
dengan konteks, aspek bentuk berkaitandengan struktur dan makna berhubungan
dengan interpretasi dari fungsi dan bentuk arsitektur tersebut. Sehubungan dengan
penjelasan di atas secara keseluruhan sikap masyarakat Gorontalo dalam bersikap dan
bertindak melahirkan bentuk arsitektur rumah panggung Gorontalo yang di dalamnya
tersirat nilai-nilai yang mengatur relasi manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat dan
sebagai pribadi. Relasi manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat dan sebagai pribadi
masing-masing diterjemahkan dengan makna yang tersirat didalamnya. Makna ini
kemudian menghasilkan bentuk kegiatan dan wadahnya yang terwujud dalam
arsitektur vernakular Gorontalo dengan segala pelingkupnya. Sebagai bentuk
perwujudan dari sikap tersebut pada arsitektur vernakular Gorontalo sebagai hasil
terjemahan dari makna yang tersirat pada masing-masing relasi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Bagaimana masyarakat Gorontalo berelasi dengan Tuhan yang merupakan penyatuan
nilai-nilai luhur (kebaikan) terhadap diri manusia, sehingga bentuk dari penyatuan
nilai-nilai ini diwujudkan dalam bentuk pola ruang yang berbentuk segi empat pertanda
empat kekuatan alam yakni air, api, angin, dan tanah. Tidak ada aturan untuk jumlah
kamar kecuali pada saat awal mula pembangunan rumah tidak diperkenankan membuat
kamar lebih dari 3 kecuali rumah bangsawan, penambahan kamar dilakukan
belakangan setelah rumah itu dihuni. Angka tiga di masyarakat Gorontalo memiliki
makna filosofis tiga dimensi kehidupan manusia yaitu sistem tolo lenggota yang terdiri
atas lenggota bohuliyo (dimensi pertama) yang berarti dari tidak ada, lenggota
oluwoliyo (dimensi kedua) kemudian ada,dan lenggota otoluliyo (dimensi ketiga)
kembali kepada tiada. Hakekat dari tolo lenggota ini adalah mencari ketiga kehormatan
Sang Pencipta dengan tiga ilmu utama yaitu ilmu mengenal diri sendiri, ilmu mengenal
Tuhan (Sang pencipta alam semesta), dan yang terakhir adalah ilmu mengenal alam
ciptaan-Nya. Manivestasi dari kepercayaan masyarakat Gorontalo ini terlihat dari
adanya kamar pada bagian belakang yang umumnya berada pada petak peralihan,
difungsikan sebagai kamar tempat memandikan mayat dan tradisi ini tidak hanya
ditemui pada rumah panggung, tetapi juga pada rumah-rumah sekarang yang tidak
berbentuk panggung.
3. Sulawesi Tengah
a. Kebudayaan
Dalam kehidupan orang Kaili di Sulawesi Tengah. tergambar pada kebudayaan
kemasyarakatan kekeluargaan yang terjalin dalam peristiwa-peristiwa perkawinan atau
pilihanjodoh. Perkawinan yang membentuk keluarga batih menjadi peristiwa
kehidupan yang dipandang salah satu yang sangat penting dalam perjalanan kehidupan
sebagai To-Kaili. Peristiwa ini dipandang penting, karena berbagai hal dalam
kehidupan ikut ditentukan. Perasaan harga diri, martabat pribadi, keluarga dan
kelompok kaum ikut dipertaruhkan dalam penyelenggaraan perkawinan itu. Selain dari
itu, penampilan status dan kedudukan seseorang dalam masyarakat juga turut
ditampilkan. Acara perkawinan itu sering kali mewujudkan luapan perasaan dalam
persekutuan, sebagai bukti pentingnya perjodohan dalam kehidupan pribadi dan
kehidupan kelompok perkauman. Keberhasilan seseorang melaksanakan perjodohan
mewarnai kehidupan pribadinya sesuai dengan pola-pola yang terdapat dalam
kebudayaan persekutuan itu• Selanjutnya sejumlah ungkapan dalam bahasa Kaili
memperlihatkan begitu pentingnya masalah perkawinan itu dalam kehidupan orang
Kaili. Di antara ungkapan-ungkapan itu adalah :
a) Mombali Tanda Tuvu, berarti perkawinan itu memberi bukti tentang hidup.
Maksudnya perkawinan itu menghasilkan keturunan sebagai bukti bahwa
seseorang pemah hidup di dunia ini.
b) Mompakalue Posalara, berarti perkawinan itu memperluas jaringan
kekeluargaan.
c) Mompakabasaka Rante Ri Tambolo, artinya perkawinan itu melepaskan rantai
yang melilit leher orang tua,jadi arti perkawinan menunjukkan seseorang atau
sepasang suami istri pemah hidup di dunia yang dibuktikan dengan adanya
keturunan. Keturunan ini sebagai pelanjut tradisi kehidupan keluarga dan
mengembangkan jaringan kekerabatan.
b. Arsitektur Kaili
Karya arsitektur Kaili sebagai salah satu identitas dan pendukung kebudayaan,
merupakan endapan fenomena mendapat inspirasi dari alam. Pengaruh ini terlihat
antara lain pada atap yang menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan serta
berbagai macam ornamen di dinding yang mengekspresikan.kehidupan religius.
Sedangkan dinding dalam arsitektur modern, biasanya bukan dari bagian
konstruksi.yang mendukung atau menganut bagian bangunan lainnya, namun semata‐
mata sebagai bidang penutup untuk melindungi dari pengaruh iklim dan cuaca.
Arsitektur Kaili dalam proses pembuatan dan produknya.dapat dikatakan sebagai suatu
peninggalan arsitektur vernakular yang ada di kota Palu sebagai ibukota propinsi
Sulawesi Tengah.
Secara umum karakter arsitektur Kaili mempunyai beberapa kemiripan dan ikatan
benang merah dengan beberapa bangunan.arsitektur vernakular di beberapa daerah
seperti halnya : Bugis, Makassar dan Toraja.Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa
bentuk atap yang mirip, namun demikian arsitektur.vernakular mempunyai karakter
dan ciri khas yang cukup kuat dan beraneka ragam.Bangunan‐bangunan suku Kaili
berupa :rumah tinggal (Banuambaso/Sapo Oge/Banua Magau, Kataba, Tinjai Kanjai),
rumah tempat ibadah (Masigi), rumah tempat menyimpan (Gampiri), rumah tempat
musyawarah (Baruga). Rumah tinggal didasarkan atas stratifikas sosial penduduk Kaili
pada waktu itu. Rumah Kataba yaitu rumah tinggal yang digunakan golongan
menengah bangsawan, artinya “Kataba” berarti rumah papan yang terdiri dari bahan
papan semuanya. Rumah “Tinja Kanjai” yaitu rumah untuk golongan rakyat biasa,
“Tinja Kanjai” artinya rumah ikat. Rumah ibadah di Kaili disebut Masigi yang berarti
Masjid yang menandakan mayoritas penduduk Kaili adalah pemeluk agama Islam.
Rumah tempat musyawarah atau “Baruga”.biasa juga disebut sebagai rumah adat
tempat melakukan musyawarah atau melakukan beberapa pertemuan adat, yang biasa
juga dipakai sebagai tempat penyelenggaraan pesta perkawinan dan sebagainya.
Rumah tempat menyimpan / lumbung atau yang disebut dengan “Gampiri” yaitu
bangunan yang berbentuk rumah panggung persegi empat memanjang. Bentuk
sederhanadan tidak mempunyai jendela yang digunakan untuk menyimpan padi pada
saat panen.
c. Keterkaitan kebudayaan dan kondisi alam terhadap arsitektur Kaili
Ditinjau dari segi produk, arsitektur Kaili dapat dikatakan sebagai sebuah arsitektur
vernakular, ini dapat dilihat pada tingkat/derajat klasifikasi berdasarkan budaya
setempat yaitu budaya orang kaili yang diwujudkan dalam makna pada bentuk‐bentuk
bangunan rumah tinggalnya. Selain itu bentuk denah dan penataan ruangnya, serta
morfologi bentuknya yang sangat spesifik,mempunyai hubungan antar elemen yang
mempunyai kaidah kaidah tertentu. Pada penggunaan material, arsitektur kaili hanya
menggunakan material tertentu yang sangat sederhana, didominasi dengan pemakaian
bahan kayu yang banyak terdapat didaerah sekitar. Arsitektur Kaili tanggap terhadap
lingkungan serta iklim setempat yang dapat dilihat dari bangunan yang berbentuk
rumah panggung dan bentuk atap yang miring sesuai dengan iklim tropis.Bahan utama
yang digunakan adalah penggunaan bahan kayu yang banyak terdapat daerah lembah
Palu. Jenis kayu yang biasa digunakan yaitu jenis kayu daerah,Palapi dan kayu besi.
Dinding dibuat dari bahan papan kayu,lantai menggunakan bahan kayu, struktur tiang
dan struktur rumah panggung lainnya menggunakan bahan kayu, sedangkan bahan atap
pada bangunan awal menggunakan bahan atap rumbia setelah mengalami
perkembangan zaman bahan atap berubah menjadi bahan atap seng. Seperti yang
telah digambarkan pada falsafah arsitektur Kaili yang mempunyai tiga bagian utama
bangunan, yaitu Bagian Bawah (Sub Struktur), Bagian Tengah (Super Struktur) dan
Bagian Atas (Upper Struktur).Hingga adalah sistem konstruksi dan teknik mendirikan
bangunan dari bawah, tengah dan atas.
4. Sulawesi Selatan
a. Kebudayaan
Sebagaimana diketahui bahwa orang Toraja mendiami daerah Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, orang Toraja bertempat tinggal di Kabupaten
Tana Toraja, Kabupaten Luwu,Kabupaten Polewali-Mamasa dan Kabupaten Mamaju.
Kerukunan dalam kekeluargaan masyarakat Toraja masih sangat kuat. Hal ini kita
dapat lihat dalam upacara pendirian atau perbaikan Tongkonan mereka serta upacara
kematian. Persatuan dalam kekerabatan orang Toraja masih sangat kuat. Orang-orang
yang seketurunan bersatu di tongkonan mereka, terutama dapat dilihat pada upacara
rambu tuka (sukacita) dan upcara rambu solo' (dukacita). Jadi pada masa hidupnya
orang Toraja bersatu padaTongkonan dan ketika merekameninggal dunia, merekajuga
tetap bersatu di Liang (kuburan adat keluarga) yang biasa disebut Tongkonan
Tongmerambu atau Tongkonan Tak berasap . Konsep persatuan dan gotong royong
merupakan konsep ideal yang masih dipertahankan dengan kuat dalam masyarakt
orang Toraja sampai dewasa ini.
Selanjutnya konsep budaya ideal berupa sirik terdapat pada suku bangsa Bugis,
Makassar dan mandar. Konsep budaya sirik ini memberikan dampak aplikatifterhadap
segenap tingkah.laku nyata bagi segenap pemangku budayasiriktersebut. Tingkah laku
ini dapat diamati sebagai perwujudan kebudayaan dan konsep sirik ini merupakan inti
kebudayaan orang Bugis, Makassar dan Mandar. Sebagai inti kebudayaan ia
mengandung lima anasir (I) ade', (2) bicara, (3) warik, (4) q1ppang, dan (5) sarak.
Kelima anasir ini disebut pangngadereng (Bugis) dan Pangngadakkang (Makassar) dan
itulah yang menjadi sumber sekalian tingkah laku dalam membangun seluruh aspek
kebudayaan rohaniah dan kebudayaan fisik. Lebih jauh sirik merupakan sumber
motivasi yang mendorong seseorang anggota masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar
untuk pada suatu saat dalam hidupnya berbuat sesuatu yang sangat nekad dengan
memilih mengorbankan milik hidupnya yang terakhir, yaitu "nyawa", yang kerapkali
dikembalikan kepada konsep budaya sirik. la rela mengorbankan apa saja demi
tegaknya sirik. lni merupakan satu kesadaran tentang nilai "martabat" yang didukung
o'leh setiap orang dalam tradisi kehidupan orang Bugis, Makassar dan Mandar. la juga
merupakan kesadaran kolektif.yang sangat peka dan dibebankan kepada setiap orang
anggota persekutuan hidup untuk membangunnya, mempertahankannyam dan
menegakkannya. Dalam naskah (Lontaraq) Bugis-Makassar terdapat berbagai
ungkapan yang menunjukkan bahwa sirik bukan semata-mata berpangkal pada
peluapan emosi. Pada persekutuan hidup, desa, wanua, ataupun tana, terdapat orang
pertama tempat sirik itu harus dipelihara, dikembangkan dan dibela. Tiap-tiap anggota
persekutuan yang dipimpinnya, merasa dirinya bersatu dengan pimpinannya, karena
sirik yang dimiliki bersama. Antara pemimpin dan yang dipimpin terlihat oleh satu
kesatuan martabat diri yang menimbulkan sikap pesse (Bugis) atau pacce (Makassar)
yang dapat dinamakan solidaritas yang kuat.
Selain sirik sebagai sumber motivasi, sirik juga merupakan etos kebudayaan yang
berperan sebagai dinamisator dalam hidup sautu kebudayaan . Setiap kebudayaan ada
intinya yang memberi warna kepada tata kehidupan dalam persekutuan hidup
kemasyarakatan. Dalam pengertian ini, sirik mengandung nilai-nilai universal. Sirik
dimiliki oleh semua umat manusia yang membina kebudayaannya sepanjang sejarah
kemanusiaan dan dengan penamaannya masing-masing.
b. Arsitektur Bugis
Manusia sebagai hasil pengukuran dimensi secara antropometrik, berdasarkan
ukuran tubuh dan elemen tubuh manusia yaitu penghuni. Bentuk rumah tradisional
suku Bugis yang berbentuk rumah panggung dimana secara vertikal yang tersusun dari
tiga tingkatan yaitu ruang atas,ruang tengah dan bawah. Ini berdasarkan pandangan
bahwa alam raya ini (makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan yaitu alam atas
(langit), alam tengah (bumi) dan alam bawah (pertiwi). Dengan demikian rumah
merupakan kosmos lebih kecil (mikrocosmos).Bentuk rumah masyarakat Bugis
dibangun atas dasar sebuah pandangan yang berasal dari model kosmos struktur rumah
tersusun dari tiga tingkatan yaitu alam atas atau benua atas (oberWelt), benua tengah
(indekwelt) dan benua bawah (underWelt) yang dianggap berada di bawah air
(urwasser).Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang
umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya
di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah
tersebut berada di bawah atap (Sumatardja,1981) dalam Umar (2002). Selain itu rumah
Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan
pintu masuk, yang dinamakan tamping. Tamping ini biasanya disebut juga sebagai
tapping, merupakan bangunan tambahan pada setiap bangunan rumah adat suku Bugis
sesudah badan rumah.bangunan tambahan itu terletak di samping badan rumah dan
memanjang sepanjang badan rumah.
c. Keterkaitan kebudayaan dan kondisi alam terhadap arsitektur Bugis
Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, lalu
disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda
merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar, dan Makassar.Orang Bugis
mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusastraan tertulis sejak berabad-abad
lamanya yaitu lontara, yang berasal dari Sangsekerta. Lingkungan perkampungan suku
Bugis berbentuk mengelompok dan berbanjar merupakan bagian dari strategi
pemilihan lokasi. Alasan ekologi itu untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan untuk
komunikasi yang lancar.Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah
keluarga, antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya
berderet,menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-
rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu
tempat keramat (possi tama), dengan suatu pohon beringin besar, dan kadang-kadang
dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung
umumnya memiliki langgar atau mesjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya mengelompok padat dan menyebar.
Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat persawahan, pinggir laut
dan danau. Sedangkan pola menyebar, banyak terdapat di pegunungan atau
perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis dapat dibedakan berdasarkan
tempat pekerjaan, yaitu:
1) Pallaon ruma (kampung petani)
2) Pakkaja (kampung nelayan)
3) Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga
terdapat pasar kampung, kuburan, dan mesjid/mushallah. Filosofi bentuk rumah
tradisional yang bersegi empat senantiasa dibangun menghadap pada empat penjuru
angin , yaitu timur, barat, utara dan selatan. Orientasi arah rumah senantiasa
menghadap utara dan timur. Arah utara mengandung makna sumber kehidupan positif
dan arah timur merupakan sumber cahaya.Bentuk rumah masyarakat Bugis dibangun
atas dasar sebuah pandangan yang berasal dari model keseimbangan kosmos. Ini
berdasarkan pada falsafah yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat suku Bugis
yang memandang bahwa jagad raya berbentuk segi empat (sulapa eppa) yang terdiri
dari langit, bumi dan pertiwi. Bentuk denah persegi empat didasari pada pandangan
bentuk sulapa eppa dimana secara horizontal dianggap sebagai diri manusia yaitu ada
kepala, badan dan kaki. Pandangan ini diaplikasikan kedalam bentuk ruangan yaitu
ruang depan, tengah dan belakang. Pandangan ini tercermin pula pada bentuk, dinding
dan areal tanah yang ditempati semuanya bersegi empat yang berorientasi pada empat
unsur yaitu tanah, api,air dan angin. Mengandung makna semakin tinggi derajat
seseorang semakin kuat unsur tersebut menyatu.