Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

POLA HUNIAN MASYARAKAT PRA


AKSARA

Nama Kelompok :
1.
2.

3.
4.

Dwi Novi Rahmania


X AK
Eva Nur Wulandari
X
AK
Fita Mardiani
X AK
Natassyah Alya Putri W
X AK

SMK NU BAHRUL ULUM

TAHUN PELAJARAN
2014 2015

Pola Hunian Manusia Praaksara


Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa
Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat
lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan
hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal,
manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana
yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Tempat tinggal
yang pertama dihuni adalah gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter)
yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya
habis. Selain di gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal di tepi pantai,
hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang dan siput
dalam jumlah banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di
Sumatera Timur.
Kehidupan manusia pada masa prasejarah tergantung pada lingkungan
dan penguasaan teknologi. Sumber-sumber subsistensi dari lingkungan
ditambah dengan penguasaan teknologi pada masa itu, mengakibatkan
pola kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Selain itu, manusia
juga memanfaatkan bentukan alam untuk mempertahankan hidupnya.
Oleh karena itu, gua dan ceruk menjadi salah satu alternatif tempat
tinggal bagi manusia pada masa prasejarah.
Selain sumber daya yang memadai, aspek-aspek fisik lingkungan
merupakan faktor penting lainnya yang menentukan kelayakan suatu
lokasi untuk permukiman. Dalam kaitannya dengan hunian gua, faktorfaktor tersebut meliputi morfologi dan dimensi tempat hunian, sirkulasi
udara, intensitas cahaya, kelembaban, kerataan dan kekeringan tanah,
dan kelonggaran dalam bergerak.
Masyarakat pemburu dan pengumpul makanan menggunakan gua atau
ceruk untuk lokasi hunian, baik itu secara menetap maupun sementara.
Ketergantungan masyarakat tersebut terhadap sumberdaya
lingkungannya mengakibatkan ada pola yang berbeda-beda pada setiap
wilayah. Sumberdaya lingkungan dan morfologi gua yang berbeda-beda
mengakibatkan adanya tipe-tipe hunian yang bervariasi. Tipe yang
muncul menunjukkan adanya satu lokasi yang menjadi pusat (central

place) dari aktivitas dan mempunyai lokasi-lokasi lainnya sebagai


pendukung dalam melakukan aktivitas dan juga tempat beraktivitas.
Pola hunian manusia purba yang memperlihatkan 2 karakter khas:
1.kedekatan dengan sumber air
2.kehidupan di alam terbuka
Pola hunian tersebut dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta
kondisi lingkungannya. Contoh:
Situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo seperti Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong. Dari semua itu terlihat ada
kecenderungan manusia purba menghuni daerah pinggiran sungai.
Manusia purba mempunyai kecenderungan untuk menghuni lingkungan
terbuka disekitar aliran sungai. Manusia purba juga memanfaatkan
barbagai sumber daya lingkungan yang tersedia termasuk tinggal di guagua mobilitas . manusia purba yang tinggi tidak menghuni gua secara
menetap, bisa juga gua digunakan hanya untuk tempat persinggahan saja
sehingga tidak meninggalkan jejak pada kita.
Manusia purba di Indonesia diperkirakan sudah hidup menjelajah
atau Nomaden untuk jangka waktu yang lama. Mereka mengumpulkan
bahan makanan pada wilayah tertentu dan berpindah-pindah. Lama
hunian di suatu lingkungan eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan
bahan makanan jadi mereka akan berpindah tempat dan mencari tempat
tinggal lagi jika lingkkungan sekitar tidak menjanjikan bahan makanan
lagi.
Rumusan Masalah :
1. Mengapa manusia purba banyak yang tinggal ditepi sungai?
2. Mengapa manusia purba tinggal di gua-gua?
3. Jelaskan pola kehidupan nomaden manusia purba?
No
Soal

Jawaban

Karena air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.


Keberadaan air mengundang hadirnya berbagai binatang
juga memberikan kesuburan bagi tanaman

Melindungi diri dari alam (Hujan, terik Matahari)

Melindungi diri dari binatang buas

Untuk menyimpan bahan makanan

Mereka mengumpulkan bahan makanan dalam lingkup


wilayah tertentu dan berpindah-pindah.

Lama hunian disuatu lingkungan eksploitasi dipengaruhi


oleh ketersediaan bahan makanan, manakala lingkungan
sekitar sudah tidak menjanjikan bahan makanan mereka
berpindah ke lingkungan baru

CONTOH SITUS-SITUS POLA HUNIAN


Situs Gua Hunian Pra Sejarah Morotai Selatan, Kajian Fungsi dan
Artefaktual
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa
Mesolithikum (batu tengah)(Soekmono, 1996 : 46) atau masa berburu dan
meramu tingkat lanjut(Poesponegoro, 1993 : 125). Sebelumnya manusia
belum mengenal tempat tinggal dan hidupnomaden (berpindah-pindah).
Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan
menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang
ataupun kayu (Poesponegoro, 1993 : 135). Tempat tinggal yang pertama
dihuni adalah gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat
akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis. Selain di
gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal di tepi pantai, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah
banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di Sumatera Timur
(Poesponegoro, 1993 : 125).
Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan
untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan tulang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak
jaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang
berasal dari kayu sudah dibuat, namun dikarenakan sifat dari kayu yang
tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alatalat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan
menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu

memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh


bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja
dibuat permanen, tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu.
Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan
manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat
sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang
indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan
benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini
dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut.
Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal
kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan
lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 : 178 - 180). Bahkan di Papua
sampai sekarang kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin
dalam perkawinan adat.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman
Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan
sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun
Pasifik (Bellwood, 1996 : 278 -279). Bukti peninggalan manusia purba di
Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock
shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe.
Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai
Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak
14.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1996 : 280). Pada gua Tanjung Pinang
bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs
pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekasbekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari
situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas
mereka pada masa itu.
Fungsi Gua Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai
Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata
pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola
pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat
yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai,
namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur
dengan ketinggian 15 50 mdpl. Pada deretan perbukitan kapur inilah
terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra
sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km
sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai
juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang
terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di
daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan
(Poesponegoro, 1993 : 125). Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua

hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu
(Bellwood, 1996 : 280). Bahkan pada masa belakangan situs-situs
tersebut masih digunakan oleh manusia purba.
Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui
manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia
(Bellwood, 1996 : 124-125).
Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai tempat tinggal
Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan
manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin,
hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau
kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling
awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian),
kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan
spiritual lainnya (Sugiyanto, 2004). Pada awall-awal penghunian, tempat
hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan
teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang
membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk
mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan
pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan
kuburan.
b. Sebagai kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai
kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat,
yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi
dalam posisi di dalam rahim ibunya (Sugiyanto, 2004). Penguburan
manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa
penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang
atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan
tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa
Timur (Poesponegoro, 1993 : 160, Simanjuntak, 1998).

Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi


penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung
(second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak
menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan
keramik (guci), gerabah, ataupun paeti kayu dalam berbagai ukuran
(Sugiyanto, 2004). Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah
lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan
terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut
menekuk dibawah dagu dan tangan melipat dibagian leher atau kepala.
Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah

satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan


dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat
yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah
anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi
khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi
hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus
berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.
c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah
sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak
situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisasisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih
tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai
bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di
pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan
(Foreister, 2000 : 54-56). Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat
batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan
sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan
istilah chopper chopping tool kompleks (Poeponegoro : 95 100).
Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat
diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua
peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal
(hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya
temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang
manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang
dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi
mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa
aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya
sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang
merupakan makanan manusia penghuni gua) (Bellwood, 1996 : 124-125).

Keunikan Pola Permukiman Suku-Suku di Indonesia


Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki ragam budaya yang
variatif. Berbagai jenis suku melebur menjadi satu di dalamnya. di lihat

dari segi sosial masyarakat indonesia pada umumnya masih mempercayai


mitos-mitos yang telah turun temurun dan menjadi titik balik bagi
beberapa golongan masyarakat.
Pola pemikiran masyarakat indonesia juga berdampak pada aspek yang
lainya. Misalnya berdampak pada keberadaan tempat tinggal dari
masyarakat tersebut. Contoh yang sangat kental yaitu pola ruang
pemukiman masyarakat suku dayak,suku toraja,suku sumba,suku bali dan
suku jawa.
Corak yang terlihat dari pola permukiman suku dayak sangatlah kental
sesuai dengan struktur atau keadaan geografis keberadaanya. Biasanya
pemukiman suku dayak berada di pinggir sungai mengikuti alur sungai.
Rumah yang berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu bulat biasanya
menghadap ke sungai dan menghadap ke arah timur. Keduanya bermakna
sebagai sumber kehidupan yang bisa memberikan kekuatan, nafas, dan
kehidupan bagi manusia.Sungai memiliki multi-fungsi bagi orang Dayak.
Disamping dipercaya sebagai satu-satunya jalan yang ditempuh oleh rohroh orang yang sudah mati menuju ke surga baka, sungai juga berfungsi
sebagai prasarana transportasi, sumber lauk pauk(ikan), sumber air
minum dan sarana MCK. Namun seperti halnya orang Dayak Maanyan
yang tinggal di daerah dataran rendah dan jauh dari sungai besar, pola
permukiman mereka(kampung) umumnya berada di pinggir-singgir jalan
Negara tapi tetap tidak jauh dari sungai-sungai kecil sebagai sumber air
minum dan MCK. Konstruksi rumah mereka berada di kiri kanan jalan
Negara dan bagian depan rumah menghadap ke jalan raya.
Berdasarkan sejarah perkembangan dayak, pada zaman dahulu
masyarakat dayakdayak tinggal dengan permukiman bertipe konsentrik
dan linear dalam pola permukiman tepi sungai . Hal turut dipengaruhi oleh
peran besar sungai, dalam hal ini sungai arut, dalam kehidupan
masyarakat dayak. Menurut Joko (2002), pola memanjang sebagai pola
pembangunan mengikuti sungai merupakan dampak atas pentingnya
sungai sebagai sumber mata pencaharian maupun sumber kebutuhan
hidup sehari-hari seperti mandi, mencuci, masak, dan lain-lain.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat dayak modern cenderung
memilih pola permukiman yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal.
Hal ini berbeda dengan zaman dahulu yang masih mengandalkan perintah
kerajaan untuk tinggal berdasarkan asal usul, ataupun menjadi pola
interaksi dengan tinggal berdekatan dengan kerabat (homogen).
Masyarakat dayak mulai beralih kearah pola permukiman yang bersifat
heterogen dan mulai meninggalkan titah kerajaan untuk tinggal
berdasarkankan penempatan kerajaan pada zaman dahulu.

2.Suku Sumba
Selain suku dayak pola ruang permukiman yang sangat unik juga dapat di
temukan pada suku sumba. Tidak berbeda jauh dengan pola permukiman
suku dayak,pola permukiman suku sumba juga biasanya mengikuti
keadaan alam. Permukiman suku sumba bisa di temukan pada daerah
pinggiran sungai dengan mempunyai arti religius atau kepercayaan
tersendiri. Suku sumba yang biasa bermukim di sepanjang sungai di sebut
penduduk umalulu. Penduduk ini masih mempercayai roh-roh nenek
moyang mereka. Kebanyakan dari penduduk umalulu bermukim di
pedalaman pulau sumba.
Selain ituKeterbatasan pola susunan terhadap keamanan dan persatuan,
bahan dan teknologi, mobilitas, serta struktur sosial yang kaku
mempengaruhi luasan kampung adat. Tradisi dan budaya sangat
mempengaruhi suasana kampung yang diekspresikan secara religius
simbolik. Simbol tersebut digunakan untuk mengkomunikasikan makna
dan susunan yang mencerminkan hubungan antar penghuni rumah adat,
serta hubungan masyarakat dengan leluhurnya.
Pola kampung adat di Sumba berbentuk cluster atau tertutup dengan
hanya mempunyai satu gerbang yang menjadi akses keluar-masuk ke
dalam kampung adat. Dengan hanya memiliki satu akses ini dipercaya
akan menjadi suatu faktor keamanan dan pertahanan yang handal. Faktor
ini dianggap penting karena pada masa lalu, bahkan sampai saat inipun
konflik antar suku atau kabisu sangat sering terjadi. Pola ini
melambangkan bahwa kampung adat merupakan pusat bagi kegiatan dan
kehidupan masyarakat Sumba, sejak awal (lahir) hingga akhir
(meninggal). Oleh sebab itu setiap pribadi masyarakat Sumba meskipun
telah merantau keluar dari pulau Sumba, selalu berharap bila kelak tutup
usia akan dimakamkan di kampung adatnya.
Masyarakat Sumba dalam budaya bermukimnya mengenal atau memiliki
(tiga) jenis rumah, yaitu sebagai berikut: 1. Rumah Adat (Uma) yang
berfungsi sebagai pusat dan awal kehidupan, sehingga disinilah semua
kegiatan ritual kepercayaannya berlangsung;2. Rumah Dusun sebagai
tempat tinggal sehar-hari; dan 3. Rumah Kebun sebagai tempat tinggal
saat berkebun atau bercocok-tanam. Kampung adat pada masyarakat
Sumba pada umumnya berbentuk persegi atau lonjong (ellips atau oval)
yang dikelilingi oleh suatu tembok batu yang cukup tebal dan tinggi, yang
berfungsi sebagai batas sekaligus benteng pertahanan bagi kabisu dari
serangan kabisu yang lain. Bentuk dasar ini memang menjadi salah satu
ciri dari masyarakat prasejarah. Namun demikian, bentuk ini masih sangat
tergantung pada konteks alami lokasi (seperti kontur lahan ataupun faktor
alami lainnya) maupun terkait jumlah kabisu yang menghuni dan jumlah
rumahnya.

Pola kampung adat pada umumnya berorientasi ke arah utara selatan,


dengan arah selatan sebagai arah utama. Oleh sebab itu rumah adat
(uma) kepala kampung (kepala kabisu) terletak di selatan menghadap ke
utara, atau yang disebut sebagai uma katoda, rumah wakil kampung adat
(anak laki tertua dari kepala kabisu) atau disebut uma kere terletak di
sebelah utara (menghadap selatan), sedangkan deretan rumah adat
sebelah barat adalah bagi anak nomor urut genap dan deretan rumah
adat sebelah timur adalah bagi anak dengan nomor ganjil. Seluruh
bangunan rumah adat tersebut mengelilingi dan menghadap atau
berorientasi pada natar yang menjadi pusatnya. Apabila dalam satu
permukiman kampung adat terdapat lebih dari satu kabisu, maka itu akan
tercermin pada jumlahnatarnya, karena setiap kabisu pasti mempunyai
sebuah natar.
Arah selatan merupakan arah datangnya angin laut dan musim yang
mendatangkan kesuburan dan hasil laut yang melimpah bagi masyarakat.
Untuk menghormati anugerah alam, maka arah selatan memperoleh
penghargaan tinggi dan dijadikan sumbu utama dalam mewujudkan
permukiman kampung adat masyarakat Sumba. Pola orientasi kampung
adat utara selatan tersebut ternyata tidak berlaku di semua lokasi
kampung adat karena beberapa diantaranya telah berganti orientasi ke
arah timur barat, seperti pada kampung adat Kabonduk maupun
Pasunga. Hal tersebut terjadi karena pengaruh dan tekanan dari penjajah
Belanda ketika menguasai Pulau Sumba. Di tengah kumpulan bangunan
rumah adat di dalam permukiman terdapat natar yang menjadi pusat
orientasi. Natar menjadi penting karena di dalam natar inilah semua ritual
kepercayaan Marapu dilakukan termasuk menjadi tempat bagi batu
kubur dan muricana
3.suku toraja.
Keunikan lain dalam struktur pola ruang yang di bisa di temukan yaitu
pada suku toraja. Suku toraja merupakan suku asli yang berdominsili
pada pulau sulawesi. Suku ini tersebar di berbagai pelosok pulau
sulawesi. Pada suku toraja terbagi lagi menjadi beberapa golongan
masyarakat. Yang paling dari suku toraja adalah keberadaan kampung
kete kesu. Kampung tradisional suku toraja ini telah berusia lebih dari
400 tahun. Dan oleh pemerintah setempat telah menjadikan kampung ini
sebagai kawasan cagar budaya. Langkah yang di ambil oleh pemerintah
setempat sangatlah efektif,mengingat kampung adat ini memiliki potensi
yang sangat baik dalam mengembangkan lokasi pariwisata pada lokasi
yang berkaitan. Kembali lagi ke kampung adat kete kesu. Kampung yang
dimiliki oleh keluarga besar Tongkonan Kesu ini terdiri dari beberapa area
dan semuanya berhubungan dengan tradisi masyarakat suku Toraja yang
merupakan budaya lokal masyarakat suku Toraja, namun belum pernah
ada yang meneliti mengenai struktur dan pola ruang kampung tersebut

dan apa saja yang mengakibatkan terbentuknya struktur dan pola ruang
kampung yang ada di Toraja Utara. Kampung Kete Kesu merupakan milik
keluarga besar Tongkonan Kesu, sehingga mengakibatkan struktur dan
pola ruang kampung yang terbentuk menjadi tidak terencana.Kampung
Kete Kesu secara struktural memiliki bentuk yang homogen, serta
memiliki pola yang linear karena terletak dan berkembang di pinggir Jl.
Kete Kesu. Selain itu, karena kampung Kete Kesu telah ditetapkan
sebagai benda cagar budaya, maka perkembangan rumah-rumah tunggal
cenderung ke arah Jl.Kete Kesu. Secara fisik adanya area di kampung
Kete Kesu ini karena kebutuhan ruang masyarakat dalam melakukan
aktivitasnya sehari-hari dan tradisi mereka yaitu upacara-upacara adat
yang mereka lakukan berdasarkan kepercayaan mereka, yaitu Aluk
Todolo (Agama Leluhur) yang memandang alam sebagai falsafah dalam
ajarannya.

4. suku bali.
Selain beberapa suku di atas pola ruang permukiman yang unik juga
dapat kita temukan pada suku bali. Suku bali merupakan suku yang
berdominsili pada pulau bali. Mayoritas suku bali memeluk agama hindu.
Tidak sedikit dari penduduk suku bali tersebut yang masih mempercayai
benda-benda gaib seperti gunung,batu,hutan dan sungai. Masyarakat
suku bali sangat menghormati alam dan lingkunganya. Mereka memiliki
hubungan spritual yang sangat kuat terhadap alam di sekitarnya. Oleh
karena itu keadaan alam pada pulau bali sampai saat ini masih terjaga
kelestarianya. Keadaan itu sejalan dengan pemikiran suku bali yang
menganggap alam sebagai pusat kehidupan mereka.
Kepercayaan masyarakat suku bali juga di aplikasikan dengah pola
permukimanya sendiri. Pola permukiman suku bali memiliki tipologi yang
berangkat dari tatanan tradisi yang berdasarkan adat dan kepercayaan
yang di kenal sebagai pola hunian yang mewadahi suatu masyarakat yang
cukup ketat berpegang pada unsur sistem kebudayaanya. Hal yang paling
mencolok dari wujud konsep penataan ruang suku bali terdapat pada
desa adat ubud. Desa ubud menjadi daya tarik tersendiri bagi para
wisatawan yang berkunjung ke pulau bali. Sampai saat ini telah terjadi
pergeserab pola ruang pada kawasan tersebut yang di pengaruhi
berkembangnya sektor ekonomi jasa pariwisata. Pola tata ruang
permukiman serta gaya arsitektur tradisional desa adat ubud merupakan
salah satu bentuk pusaka budaya yang kaya akan nlai filosofi,seni dan
budaya sehingga perlu di lestarikan.
Selaras dengan keberadaan suku-suku di indonesia pembangunan
beberapa kawasan juga mengikuti filosofi dari keberadaan suku-suku di
indonesia yang memiliki tatanan struktur atau corak budayanya. Dapat di

simpulkan bahwa pembangunan pada negara indonesia sangat


bergantung pada struktur pola ruang dari suku-suku yang berada pada
negara indonesia sendiri.
Pola permukiman yang unik juga terdapat pada desa adat legian, Pola
Desa ini tergolong linear, desa ini membujur arah utara-selatan, dengan
batas di sebelah utara adalah Desa Adat Seminyak, dan di sebelah selatan
adalah Desa Adat Kuta. Di sebelah timur adalah Sungai Tukad Mati dan
persawahan, sedangkan di sebelah barat adalah laut (Samudera
Indonesia).
5.Pola permukiman dan bangunan Dusun Sade, Lombok Tengah
Permukiman di Dusun Sade dibatasi oleh pagar hidup berupa pohon dan
bambu, sehingga tampak jelas antara permukiman dengan lahan
pertanian penduduk. Pencapaian ke permukiman tersebut dapat melalui
jalan masuk sebelah utara (jeba bale) dan jalan masuk sebelah barat
(jeba bare). Pada awalnya, di permukiman ini terdapat tiga pintu
masuk dan keluar, yaitu dua pintu (jeba bale di sisi utara dan jeba
muri di sisi timur) digunakan untuk manusia, sedangkan satu pintu
digunakan untuk hewan ternak. Adanya tiga pintu ini dikaitkan dengan
kepercayaan masyarakatnya, dua pintu untuk manusia sebagai jalan
masuk dan keluar rohroh baik yang dipercaya membawa berkah dan
keselamatan, sedangkan pintu untuk hewan ternak dipercaya sebagai
jalan masuk rohroh jahat yang membawa kesengsaraan dan penyakit.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan
penambahan jumlah rumah maka pada tahun 1980 jeba muri terpaksa
ditutup, sedangkan jeba baledan jeba baremasih tetap digunakan
hingga kini. Dengan adanya kegiatan pariwisata di dusun Sade
mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi jeba bare dari jalan masuk
ternak menjadi jalan masuk bagi manusia, khususnya wisatawan yang
berkunjung ke dusun tersebut. Perubahan fungsi ini berdampak terhadap
kualitas jalan, yaitu dari jalan tanah menjadi jalan dengan perkerasan
batu. Permukiman di Dusun Sade terdapat bangunanbangunan
tradisional yang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaituBale
Kodong untuk pasangan yang baru menikah, Bae Tani untuk keluarga
yang sudah agak mapan, dan Bale Bontor untuk keluarga yang sudah
mapan. Letak rumahrumah di Dusun Sade berjajar membentuk pola linier
dengan sebagian besar berorientasi ke arah jalan setapak, yaitu arah
timur dan barat yang merupakan arah matahari dan dipercaya sebagai
pemberi berkah. Rumahrumah di Dusun Sade berpantangan untuk
menghadap utara dan selatan. Pola linier tersebut juga berkaitan dengan
adanya pengelompokan keluarga yang disebabkan oleh adat menetap
masyarakat Sasak.
Kesimpulan

Manusia purba sebenarnya hidup secara nomaden akan tetapi pada


saat mereka berpindah-pindah mereka selalu mencari tempat
perlindungan berupa goa-goa. Biasanya goa-goa yang mereka tempati
selalu dekat dengan sungai,laut,pantai atau tempat-tempat dimana
mereka dapat mencari makan dengan mudah.

Anda mungkin juga menyukai