Anda di halaman 1dari 221

GHOFIRUDDIN

Dialog
Secangkir
Kopi
DIALOG SECANGKIR KOPI
Kumpulan Cerita

oleh
Ghofiruddin

Penyunting: Ghofiruddin
Desain Sampul Buku: M. Andriyanto

Diterbitkan oleh:
Diandra Kreatif
Anggota IKAPI (062/DIY/08)
Jl. Melati No.171, Sambilegi Baru Kidul,
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Email: diandracreative@gmail.com
Telp. (0274) 4332233, 485222 (faks.)
Instagram: diandraredaksi, diandracreative
Twitter: @bikinbuku
Facebook: www.facebook.com/diandracreativeredaksi

Cetakan 1, Juli 2019


Yogyakarta, Diandra Kreatif 2019
vi + 213 hlm; 13x19 cm
ISBN: 978-602-336-986-7

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Isi di luar tanggung jawab percetakan


KATA PENGANTAR

Dialog Secangkir Kopi ini merupakan buku kumpulan


cerita pendek pertama yang saya tulis sebagian besar
antara kurun waktu tahun 2015 sampai 2016 pada saat
saya masih berada di semester-semester pertengahan
dalam menempuh pendidikan di prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Trenggalek.
Oleh karena itulah sebagian besar cerita mengambil latar
belakang dunia perkampusan, persekolahan, dan tentang
dunia pendidikan. Namun berangkat dari sebuah latar
belakang yang sempit tersebut diharapkan para pembaca
dapat mengambil sebuah intisari makna yang bersifat
lebih universal, lebih luas, seluas cakrawala pikiran,
perasaan dan kehidupan manusia itu sendiri.
Tidak lupa terima kasih saya ucapkan kepada siapa saja
dan apa saja yang telah menjadi inspirasi bagi
terciptanya karya-karya yang ada di dalam buku ini, juga
yang telah memberikan kontribusi di dalam pengadaan
buku ini, terutama saudara Muhammad Andriyanto yang
menyempatkan diri membuatkan sampul halaman buku

iii
GHOFIRUDDIN

ini di sela-sela aktifitas mengajar di sekolah sehari-hari,


dan juga pihak penerbit Diandra Kreatif Yogyakarta yang
telah memberikan layanan yang sangat baik.
Tentu buku ini masih terdapat banyak kekurangan-
kekurangan baik dalam hal penampilan, maupun dalam
hal isi yang disampaikan. Karena itu kritik dan saran dari
pembaca yang budiman sangat diharapkan sebagai
bahan pembelajaran dalam penciptaan karya-karya yang
lebih bermutu di masa yang akan datang.
Akhir kata, selamat membaca, dan semoga bermanfaat.

Penulis

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

Bagian Satu 1
Lamunan Sepeda Butut 3
Wulan 25
Bulan di Keremangan 43

Bagian Dua 71
Catatan Nomor 14 73
Sinar Rembulan 85
Godaan Cinta 99
Pragmatik 111
Sarjana Muda 125
In-telek So’sial 137

v
GHOFIRUDDIN

Bagian Tiga 165


Dialog Secangkir Kopi 167
Dancok 181
Pusing 191
Kembang Teratai 203

TENTANG PENULIS 213

vi
Bagian Satu
Lamunan Sepeda
Butut

Siang bolong yang begitu terik. Namun suhu


panas sudah tidak mampu membuat tubuhku
mengucurkan keringat lagi. Bahkan meneteskan setitik
pun tidak. Keringat dari dalam tubuhku telah terkuras
seperti hendak habis. Cairan asin yang keluar dari dalam
tubuh itu kini telah membekas pada kaos merah jersey
klub sepakbola terkemuka asal Italia yang saat ini aku
pakai. Cairan yang mulai dingin dan mengering itu
lambat laun berubah menjadi serbuk-serbuk kristal yang
bila dalam jumlah yang lebih banyak bisa digunakan
sebagai pengganti garam dapur. Serbuk-serbuk itu terasa
3
GHOFIRUDDIN

agak lengket di tubuhku dan mulai membuatku gatal-


gatal. Dalam keadaan seperti ini aku biasanya akan
segera mandi. Sayang, saat ini aku sedang tidak berada di
rumah dan aku juga tidak membawa sabun dan handuk
untuk mandi di salah satu kamar mandi yang ada di sini
yang airnya sangat jernih dan menyegarkan yang kadang
menggodaku untuk meminumnya.
Memang, seperti itulah keadaan sehabis
mengayuh sepeda di saat matahari sedang dalam posisi
ganas-ganasnya, walaupun hanya dengan kecepatan
sedang. Keringat yang telah mengering berubah menjadi
serbuk-serbuk kristal, dahaga pada tenggorokan terasa
mencekik dan juga napas yang terengah-engah.
Terkadang juga diselingi dengan kunang-kunang yang
menampakkan wujud-wujud remang pada pandangan
mata yang semakin buram. Tapi hal-hal seperti ini yang
merupakan tanda-tanda dehidrasi dan mulai
berkurangnya energi seringkali aku biarkan begitu saja.
Seringkali hanya dengan beberapa tarikan nafas panjang
dan dalam, penampakan-penampakan tersebut hilang
dengan sendirinya. Meskipun harus aku akui, ini hanya
bersifat sementara. Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
4
DIALOG SECANGKIR KOPI

memangnya apakah ada di dunia ini yang sifatnya tidak


sementara. Semuanya serba sementara.
Aku ini memang terbiasa ke mana-mana naik
sepeda, termasuk saat ngampus seperti yang kali ini aku
lakukan. Aku sering heran mendengar kawan-kawanku
takjub dengan kebiasaan bersepeda ke kampus ini. Bagi
mereka jarak 15 kilometer itu terlalu jauh untuk
ditempuh dengan sepeda. Padahal jarak ini sebenarnya
tidak terlalu istimewa dan bisa ditempuh dalam waktu
kurang lebih satu jam.
“Bro, ndak lelah bersepeda sejauh itu?” tanya
seorang kawan kampusku suatu hari di kantin kampus
yang sedang ramai-ramainya.
“Tentu saja lelah. Namanya juga bersepeda, pasti
beresiko mengalami yang namanya kelelahan,” jawabku.
“Kenapa ndak naik sepeda motor saja? Kan lebih
enak itu, lebih cepat lagi.”
“Ya adanya sepeda itu. Mau apalagi.”
“Alah mosok? Jaman sekarang masa ndak punya
sepeda motor. Aku kok ndak percaya. Sekarang itu kan
sudah mudah beli kendaraan bermotor. Kredit kan bisa,”
ujarnya mengutarakan pandangannya.
5
GHOFIRUDDIN

“Kredit kan juga tetap harus mengeluarkan uang


terlebih dulu. Lha bisa dapat uang darimana orang
seperti aku ini?” jengah juga aku dengan kawanku yang
mudah sekali menggampangkan urusan.
“Ya dari orang tuamu lah,” balasnya enteng.
“Wah, kalau minta orang tua terus bisa menjadi
beban mental. Orang tuaku lho baik sekali padaku. Setiap
bulan tanpa meminta aku ini dapat jatah uang.
Walaupun tidak banyak tapi cukuplah buat makan
sehari-hari. Belum lagi, sudah berapa banyak
pengorbanan yang mereka lakukan untukku sejak lahir
sampai sekarang. Tidak terhitung. Aku merasa tidak
nyaman bila harus menambahnya dengan permintaan-
permintaan yang bagiku itu tergolong kemewahan.”
Kawanku itu hanya diam mendengarkan sambil
sesekali mengisap rokok filter yang baru dibelinya.
“Lagipula,” aku melanjutkan. “Bersepeda kan jelas
lebih sehat. Bagiku bersepeda juga merupakan wujud
kepedulianku terhadap lingkungan. Inilah hal mudah
yang bisa aku lakukan.”
Dia tidak berkomentar apa-apa lagi selain hanya
terdengar bunyi O panjang namun begitu lirih yang juga
6
DIALOG SECANGKIR KOPI

dia konkretkan dalam hembusan-hembusan asap rokok


berbentuk lingkaran yang susul-menyusul keluar dari
mulutnya. Aku merasa puas membuat dia terdiam,
terlebih lagi setelahnya aku menyeruput kopi hitam
kental panas yang telah aku pesan sebelumnya. Rasanya
sungguh nikmat. Aku benar-benar puas.
Memilih bersepeda ke mana-mana berarti juga
harus siap untuk bersabar dengan para pengendara
kendaraan bermotor yang terkadang bersikap seenaknya.
Entah mengapa kebanyakan dari mereka itu gemar sekali
membunyikan klakson keras-keras ketika hendak
menyalip pengendara sepeda. Padahal jelas sekali
pengendara sepeda itu benar-benar mengendarai
sepedanya di bagian jalan beraspal yang paling tepi dan
tidak menghalangi laju mesin-mesin yang membuat
bising itu. Mereka seolah-olah menyuruh pengendara
sepeda itu untuk turun dari aspal, seolah-olah memberi
perintah kepada pengendara sepeda bahwa tempat
mereka adalah di jalanan tanah. Aku sering merasa
jengkel dengan sikap yang demikian, dan sering sekali
mengumpati orang-orang yang demikian meskipun

7
GHOFIRUDDIN

hanya dalam hati atau terkadang terucap lirih di lisan


tetapi hanya terdengar oleh diriku sendiri.
Lebih menjengkelkan lagi adalah ketika
pengendara mesin-mesin yang tak berhati itu
mendahului kendaraan mesin lainnya tanpa
mempertimbangkan pengendara sepeda yang ada di
depannya. Mereka bahkan mengancam pengendara
sepeda itu dengan mendongakkan lampu depannya yang
apabila malam bisa sangat menyilaukan, bahkan nyaris
membutakan. Mereka seperti hendak berkata ‘hoey,
minggir! Mau ditabrak!’. Bila sudah begini maka tidak
ada pilihan lain bagi pengendara sepeda itu untuk
minggir, lagi-lagi terjun dari jalan beraspal yang mulus
ke jalan tanah yang terkadang berpasir, terkadang
berkerikil dan berbatu atau terkadang ke tanah yang
lembek dan becek serta tergenang oleh air yang
memuakkan. Memang menjadi pengendara sepeda harus
siap dipinggirkan oleh kendaraan-kendaraan bermesin
yang lebih besar. Tidak jauh beda dengan wong cilik
yang senantiasa dipinggirkan oleh orang-orang yang
lebih berkuasa, baik yang menguasai modal atau orang-
orang yang berkuasa dengan jabatan.
8
DIALOG SECANGKIR KOPI

Resiko lain menjadi penunggang sepeda di masa


sekarang ini yang serba materialistis adalah diacuhkan
atau dipandang sebelah mata oleh para wanita. Tidak
peduli serupawan dan secerdas apapun seorang pria, jika
dia hanya mengendarai sepeda akan menjadi berkurang
nilainya di pandangan para wanita, terlebih jika tidak
mengenal kepribadian, terlebih lagi jika sepeda yang
dikendarai adalah sepeda butut yang mengeluarkan
bunyi berkeret. Seorang pengendara sepeda itu tidak bisa
diharapkan untuk mengantarkan mereka ke sana kemari,
menuruti hasrat untuk selalu berplesir menghamburkan
uang yang tidak bisa dipertahankan. Seorang pengendara
sepeda itu selalu tampak dekil, kumuh dengan bau tubuh
yang tidak menyenangkan akibat dari keringat yang
memang tidak bisa ditahan untuk terus keluar. Seorang
pengendara sepeda itu akan berada di urutan yang paling
belakang dari daftar incaran tembak para wanita yang
suka bermake-up tebal. Namun, aku sungguh tidak
peduli dengan itu. Aku cukup membiarkan waktu terus
berjalan dan lihat saja nanti.
Sepeda yang sering aku pakai ini adalah sepeda
pinjaman dari pamanku. Dia adalah seorang yang
9
GHOFIRUDDIN

berwajah agak kearab-araban dengan postur yang cukup


tinggi besar. Bulu-bulu di wajahnya tidak dia biarkan
tumbuh semaunya. Wajahnya selalu tampak bersih
seperti tanpa bulu. Mungkin hal itulah yang membuat
dia terlihat lebih muda dari usianya yang hampir
menginjak setengah abad. Dia juga selalu konsisten
dengan rambut model cepak ala tentara. Pendek kata,
segala hal yang ada pada penampilan fisiknya jelas
menunjukkan sebuah keteraturan pada kehidupan
sehari-harinya. Selain itu, pekerjaannya sebagai pegawai
kantor departemen pemerintahan dengan jabatan yang
lumayan tinggi pasti memaksanya untuk selalu teratur
dalam melakukan setiap rutinitas. Dan dia juga telah
berhasil menerapkan keteraturan tersebut kepada
seluruh anggota keluarganya.
Aku sangat berterimakasih kepadanya atas
pinjaman tersebut. Sebelumnya aku harus merogoh uang
kurang lebih delapanribu rupiah setiap hari untuk
ongkos naik bis pulang-pergi kampus. Satu bulan bisa
menghabiskan duaratus ribu lebih. Sedangkan aku hanya
mendapat jatah empatratus limapuluh ribu setiap
bulannya dari bapakku. Dengan adanya sepeda tersebut
10
DIALOG SECANGKIR KOPI

tentu saja aku jadi tidak perlu mengeluarkan uang


transport tersebut sehingga uangnya bisa aku gunakan
untuk membeli buku dan juga untuk lebih
mengenyangkan perutku.
“Ndak lelah mas?” sapa seorang wanita yang
sedang lewat di depan tempat aku duduk, yaitu di sebuah
bangku panjang warna coklat tua di teras gedung
pertemuan. Dia membuyarkan lamunanku.
“Ya lumayan,” jawabku beberapa saat kemudian
setelah menoleh ke arahnya. Alis mata kananku
mengencang dan mata di bawahnya menyipit. Aku
merasa tidak mengenalnya.
“Sampean siapa?” lanjutku kemudian.
“O iya. Saya Wulan mas,” jawabnya sambil
mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Saya Udin. Salam kenal,” jawabku sembari
menjabat uluran tangannya.
Tangannya begitu kecil dan ringkih, dan di balik
keringkihan itu aku bisa merasakan telapak tangannya
yang benar-benar halus. Jauh lebih halus daripada
telapak tanganku sendiri yang seharusnya sebagai
seorang lelaki bisa lebih kasar sedikit. Aku ingin
11
GHOFIRUDDIN

menikmati kelembutan itu sedikit lebih lama lagi, tapi


suara di pikiranku mengatakan kepadaku untuk menjaga
gengsi. Aku lepaskan genggamanku dan kurasakan
ternyata belaian angin yang menerpa tangan kananku
lebih lembut dari telapaknya. Hanya saja kelembutan
angin itu tidak menggetarkan dan juga tidak akan
membuat darah berdesir.
Tanpa dipersilahkan, dia duduk di sampingku
begitu saja. Sedikit mengambil jarak tentunya. Pikirku
berani juga wanita ini. Jarang sekali ada wanita yang
seperti ini di sini. Di sebuah daerah dengan kultur
pedesaan yang masih kentara, hampir tidak ada wanita
yang memulai berkenalan dengan seorang pria. Apalagi
jika setelah berkenalan langsung duduk di samping
seorang pria begitu saja seperti pasangan yang hendak
bermesraan. Aku mulai menerka-nerka, mungkin wanita
ini pernah merasakan budaya kota yang lebih liberal atau
mungkin dia memiliki sebuah kepentingan denganku.
“Oya mas, saya mau minta bantuannya. Bisa
kan?” katanya memulai setelah hening beberapa saat.

12
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Bantuan apa dulu?” jawabku balas bertanya.


“Kalau bisa, ya saya bantu. Kalau saya merasa tidak bisa,
ya maaf.”
“Jadi begini mas, saya mau pinjam beberapa buku
tentang sastra. Katanya, sampean punya banyak.”
“O, kalau cuma itu, saya bisa,” kataku
mengiyakan. Sebenarnya aku ingin sedikit basa-basi
dengan menanyakan dia tahu dari siapa, tapi yang
terlontar justru,“Besok tunggu saja di sini sekitar pukul
dua siang.”
“Terima kasih ya mas” katanya.
Aku cuma membalas ucapan terima kasihnya
dengan anggukan kepala dan senyuman yang agak
tertahan. Dia tidak segera pergi tetapi juga tidak
mengatakan sesuatu hal lagi. Dia mengeluarkan telepon
genggam dari dalam saku celananya dan terlihat
canggung untuk berbicara. Aku biarkan saja
kecanggungan itu menguasainya. Aku pura-pura tidak
tahu. Aku menghadap ke arah yang berseberangan
dengannya, memandang gedung perkuliahan dua lantai
yang dicat dengan warna oranye seperti seragam timnas
Belanda membujur kaku dari timur ke barat. Di sebelah
13
GHOFIRUDDIN

barat gedung itu mushalla kecil kampus bernama Baitur


Rahman yang tempat wudhunya dicampur baur antara
lelaki dengan perempuan tampak lengang. Jalanan
kampus di depannya yang beraspal kelabu dengan
beberapa titik lubang sering memaksa beberapa
pengendara untuk menurunkan kecepatan kendaraan
bermotornya. Lalu di sana tempat parkir mahasiswa yang
beratapkan seng sudah mulai dipenuhi oleh sepeda-
sepeda motor bermacam merek buatan luar negeri.
Beberapa saat lagi pasti sepeda-sepeda motor itu akan
tumpah ruah hingga jalan dan akan mempersempit
ruang laju kendaraan lain yang melintas. Aku teringat
sesuatu.
“Oya, tadi buku sastranya yang tentang apa?”
tanyaku sambil menghadap ke arah wajahnya yang
merona. “Tentang puisi, tentang prosa fiksi, tentang
drama atau buku-buku seputar teori dan kritik sastra?”
“Anu mas, tugasnya itu disuruh buat artikel
tentang analisis novel,” jawabnya dengan memandang
lekat ke arah mataku.

14
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Lha terus, novel apa yang bakal kamu analisis?”


tanyaku lagi. Kali ini darahku agak berdesir. Ternyata
Wulan ini semakin terlihat cantik bila terus dipandang.
“Belum tahu mas,” katanya singkat sambil
memalingkan matanya karena sorot tajam pandanganku.
“O ya sudah. Kalau begitu besok tak bawa dua
novel sekaligus. Yang satu serius, yang satu novel nyantai.
Juga beberapa buku tentang teori dan kritik sastra,”
kataku sambil mengalihkan pandangku ke arah sepedaku
yang parkir di area paling timur. Aku takut
kekagumanku terbaca.
“Sekali lagi terima kasih ya mas,” ucapnya sambil
menoleh kembali kepadaku dan menampakkan senyum
itu.
“Ya, sama-sama,” kataku dan kali ini aku balas
senyuman itu.
“Saya masuk kelas dulu mas.”
Dia mengakhiri pembicaraan kemudian beranjak
dan melangkah menuju salah satu ruang kelas di gedung
oranye itu. Mataku menurutkan pandang dari belakang,
menurutkan langkah-langkah kaki gemulai yang dibalut
dengan jins biru yang jelas menunjukkan lekuk yang
15
GHOFIRUDDIN

mengundang nafsu. Dia memakai kaos hitam polos


lengan panjang yang untung saja sedikit longgar
sehingga pori-pori tubuhnya masih memiliki ruang
untuk bernafas. Rambut hitam panjangnya yang sedikit
berombak menari-nari tertiup angin yang berhembus
cukup kencang dari arah bukit di sebelah utara.
Aku mencoba mengingat wajah yang sedang
berjalan menjauh itu. Wajahnya agak berbau oriental
dengan mata sipit yang dihiasi dengan celak hitam
melingkarinya. Bentuknya agak lonjong tapi agak terlihat
meruncing di dagu. Hidungnya sedang-sedang saja, tidak
mancung tetapi juga tidak bisa dikatakan pesek. Dan
yang paling memikat dari semuanya adalah bibirnya.
Warnanya merah muda alami tanpa lipstik. Bentuknya
mungil yang apabila tersenyum terlihat barisan gigi yang
berjajar rapi. Keindahannya alami. Tetapi sungguh
teramat sayang bedak yang dioleskan agar terlihat lebih
putih di wajahnya itu menjadi tabir yang mengurangi
kehalusan dan kemulusan kulit wajah yang murni.
Tetapi, sekali cantik tetaplah cantik. Namun, aku berpikir
akan sampai kapan kecantikan itu akan bertahan. Tidak
mungkin akan bertahan selamanya.
16
DIALOG SECANGKIR KOPI

Dia kini sudah tidak tampak lagi. Pasti sudah


masuk ke dalam kelas. Sedangkan aku masih di sini
mengamati hiruk pikuk keadaan kampus yang semakin
ramai. Tempat parkir pun sudah disesaki oleh sepeda-
sepeda motor mahasiswa. Aku lihat sepedaku di ujung
timur sana terjepit sendiri seperti merasa terasingkan di
antara kemewahan dan kegagahan di sekitarnya. Sepeda
bututku ini adalah jenis sepeda yang disebut orang-orang
dengan sepeda mini. Warna peraknya yang sudah
semakin memudar ditempeli oleh debu-debu jalanan di
setiap bagiannya. Kedua remnya sudah tidak berfungsi
sehingga setiap kali menurunkan kecepatan ketika akan
berhenti aku menyeretkan kedua kakiku. Tentu hal ini
berakibat pada semakin menipisnya bagian bawah selop
yang kupakai, bahkan sudah terlihat ada lubang kecil di
sana.
Sepeda butut dari pamanku ini sejelek apapun,
memiliki kenangan tersendiri dalam hidupku. Dulu,
sewaktu masih SMA sesaat setelah aku mampu
mengendarai sepeda (Ya, aku memang baru bisa
mengendarai sepeda ketika menginjak usia SMA), aku
meminjam sepeda pamanku ini untuk aku buat dolan-
17
GHOFIRUDDIN

dolan mengelilingi tempat-tempat di daerah sekitarku.


Selain untuk senang-senang tentu saja juga agar
kemampuan mengendarai sepedaku semakin baik dan
berkembang. Tidak tanggung-tanggung, sepeda mini
butut itu aku buat berkendara hingga ke kabupaten
tetangga yang berjarak kurang lebih limapuluhan
kilometer pulang pergi. Pernah juga aku memaksa sepeda
butut ini untuk naik gunung ke rumah temanku, meski
ketika menghadapi jalanan yang begitu menanjak aku
tidak kuat mengayuhnya dan harus turun untuk
kemudian menuntunnya perlahan-lahan.
Bersepeda hingga ke kabupaten tetangga yang
dulu sering aku lakukan itu bukan sekedar dolan-dolan
atau gowes saja. Tetapi memang ada tempat, bukan
tempat sebenarnya, lebih tepatnya adalah seseorang,
gadis tentunya yang ingin aku kunjungi. Dia adalah
teman masa kecil yang pernah menjadi pasanganku saat
karnaval SD. Aku masih ingat dulu kami berdua ditunjuk
untuk memeragakan pakaian adat khas Jawa, entah Jawa
bagian mana aku sudah lupa. Potret kami berdua saat itu
aku tidak ingat lagi di mana meletakkannya. Yang jelas
kenangan-kenangan itu masih banyak yang tergeletak
18
DIALOG SECANGKIR KOPI

dan berserakan di dalam otak dan sulit dihapuskan.


Bukan karena kami pernah menjalin hubungan asmara
yang bernama pacaran, tetapi karena dia begitu baik
kepada teman-temannya, bahkan kepada teman lama
yang mengunjunginya hanya dengan sepeda butut yang
tidak berharga.
Setiap kali aku mengunjungi gadis ini, aku selalu
mengajak kawanku yang bernama Polo. Sepeda yang dia
gunakan bahkan lebih butut lagi dari sepeda yang aku
pinjam dari pamanku ini. Sepeda milik Polo adalah
sepeda jengki berwarna hitam legam selegam kulit
pemiliknya yang harus bekerja membantu keluarganya
memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menjadi buruh
tani. Hari itu, kebetulan sedang bukan musimnya ke
sawah. Buruh tani seperti Polo ini akan diperas
keringatnya ketika musim tanam dan musim panen. Saat
itu, padi yang ditanam sedang pada masa pertumbuhan,
sedangkan untuk urusan pupuk-memupuk tidak perlu
dikerjakan oleh banyak orang sehingga dia punya waktu
nganggur.
“Bagaimana cak, jadi berangkat?!” kataku ketika
menyambangi rumahnya yang kecil dan sederhana.
19
GHOFIRUDDIN

“Ya jadi no. Ini sebentar tak lihat dulu mur sama
bautnya. Butuh nyiseti kelihatannya,” balasnya sambil
tersenyum menandakan semangat muda yang masih
membara.
“Ealah. Sekalian lihatkan punyaku, bisa?” pintaku.
“Gampang geng. Sik yo.”
Dia kemudian masuk ke dalam rumahnya yang
berlantaikan tanah, berdindingkan anyaman bambu yang
dicat dengan warna putih yang begitu pucat seperti
sekarat. Atap gentengnya terlihat sekali ada beberapa
bagian yang bercelah sehingga beresiko bocor ketika
hujan tiba.
“Sarapan geng. Itu di dalam rumah ada makanan.
Lek pingin” katanya ketika keluar dari rumah sambil
membawa obeng dan engkol.
“Peh, sebenarnya yo lapar ini. Belum sarapan ini
tadi. Wong omah wis podo sarapan belum cak?” tanyaku
dengan merasa tidak enak kalau saja pemilik rumah
malah belum ada yang sarapan.
“Wis geng podoan. Tenang ae,” katanya.
“Beneran cak. Aku ndak sungkan-sungkan lho,”
jawabku lalu masuk ke dalam rumah.
20
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Wis to iyo” katanya dengan menampakkan


wajah sumringah hingga tampak giginya yang bergisul.
Di dalam rumah sedang tidak ada siapa-siapa.
Tampaknya bapak dan mamaknya sedang pergi keluar
entah ke mana. Aku langsung saja menuju dapur. Aku
buka tudung saji di meja dan di sana sudah ada nasi yang
tampak sudah terkeruk menandakan ada seseorang yang
baru saja makan. Lalu ada tempe goreng lima potong dan
juga sambal teri sebagai pelengkap citarasa. Pikirku
begini saja sudah mantap dan sudah mencukupi untuk
mengenyangkan perut. Tetapi aku sendiri terkadang
bingung kenapa aku sering merasa tidak puas. Sudah
makan ini masih saja menginginkan yang itu. Sudah
mendapatkan ini, malah menjadi tertarik untuk
mendapatkan yang lain.
Selesai makan, aku keluar menghampiri Polo dan
mengucapkan terima kasih. Mantap sekali sambalnya,
kataku. Semuanya sudah tampak siap dan tanpa basa-
basi lagi kami naik dan menggenjot sepeda kami masing-
masing. Dengan perlahan-lahan awalnya. Tetapi semakin
terus bergerak kami semakin tertantang untuk terus
menambah kecepatan. Kami berpacu hingga batas
21
GHOFIRUDDIN

maksimum kemampuan kami. Tidak kami rencanakan


sebelumnya, kami memacu sepeda kami dan malah
balapan di jalanan. Ya, dua sepeda butut yang sedang
balapan dan tidak akan mungkin menjadi tontonan
orang-orang di pinggir jalan.
Telepon genggam yang kuletakkan di saku celana
jinsku sebelah kiri bergetar. Getarannya agak berlebihan
hingga membuat sekitar bagian itu merasakannya pula.
Dan, tentu saja getaran itu juga menyadarkanku dari
lamunanku tentang masa lalu yang telah menjadi
kenangan, yang tidak mungkin terulang kembali.
Ayo ngopi kang. Tempat biasa. Daripada
ngelamun ae, hehehe
Begitulah tulisan pesan masuk yang tertera di
layar telepon genggamku yang juga bisa dikategorikan
sebagai telepon genggam butut. Memang layarnya sudah
berwarna dan ada kameranya juga. Tapi, tetap saja butut
bila dibandingkan dengan telepon genggam milik
kawan-kawan kampusku yang sudah memiliki beragam
aplikasi canggih yang benar-benar sangat memudahkan
komunikasi dan mengakses berbagai macam informasi
melalui internet. Telepon genggamku tidak memiliki
22
DIALOG SECANGKIR KOPI

fitur-fitur secanggih itu. Aku belum membutuhkannya


saat ini. Untuk saat ini, asalkan sudah bisa digunakan
untuk telepon, SMS dan ada pemutar musiknya bagiku
sudah lebih dari cukup.
Baiklah, sekarang sudah cukup melamunnya.
Ngopi sebelum menerima perkuliahan yang
membosankan pasti nikmat. Setidaknya bisa membuat
mata ini melek sedikit sebelum nanti di dalam kelas
dibuai lagi dengan cerita-cerita masa lalu pak dosen.
Cerita-cerita yang bagaikan dongeng sebelum tidur.

23
Wulan

“Cewek itu tadi siapa?” tanya Tanto alias Kencur,


teman yang mengajakku ngopi. “Tumben-tumbenan
seorang kang Udin yang berwajah sangar duduk berdua
sama seorang cewek. Manis pisan.”
“Wulan Cur namanya,” jawabku seketika.
“Kenapa, terpesona ye awakmu? Kalau iya besok janjian
lagi aku sama dia. Mau titip salam?”
“Ndak usah kang. Buat awakmu saja. Kasihan
awakmu, obah sak obah sendiri,” sindirnya kepadaku
yang memang seorang penyendiri.
“Kayak awakmu ora wae,” balasku.
“Beda. Beda kang” katanya dengan gerak tangan
di depan dada seperti orang yang menghentikan sesuatu.
25
GHOFIRUDDIN

“Sendiriku itu. Wois, sendiri. Sendiriku itu tidak


memancarkan kegelisahan. Lha awakmu lho kang, dari
wajahmu saja sudah terbaca kalau awakmu itu terlalu
banyak berpikir. Dalam arti, terlalu banyak merenung.
Jadinya, awakmu itu seperti orang yang selalu tampak
sedih. Kalau sedih itu butuh penghibur. Nah, penghibur
terbaik seorang lelaki adalah seorang perempuan.”
“Penghibur?” tanyaku dengan nada meminta
penjelasan dari maksud kata tersebut.
“Iya, penghibur. Dalam arti penghibur bukan
dalam hubungan badan kang. Jangan salah paham.
Penghibur itu seorang teman. Seorang teman itu
menemani. Menemani tidak hanya dalam suka, tapi juga
saat berduka. Kalau ada teman maka hidup ini akan
tenang.”
“Wuih, canggih pemikiranmu malihan,” kataku
memuji. “Jan berkembang pesat. Tapi bukannya awakmu
itu juga temanku. Lagipula masalah tenang atau bahagia
itu bukan masalah ada teman atau tidak. Tapi masalah
bagaimana kita mengendalikan ini (menepuk dada dua
kali). Tapi aku setuju denganmu. Manusia itu memang
diciptakan untuk berkawan dan menjalin hubungan.
26
DIALOG SECANGKIR KOPI

Hanya saja sekarang itu susah sekali menjalin hubungan


yang diawali dengan ikatan perasaan. Rata-rata sekarang
itu hubungan itu terjalin karena dilandasi oleh materi
dan nafsu duniawi”
“Iya ya,” dia menghela nafasnya untuk jeda
sejenak. “Kenapa kok seperti itu ya? Aku sendiri
terkadang juga seperti itu, kalau tidak ada keuntungan,
dalam arti keuntungan yang bisa dilihat dengan mata,
aku kadang jadi malas berteman sama seseorang,”
katanya jujur menanggapi perkataanku.
“Lihat saja sekarang, kawan-kawan kita satu
angkatan. Bertemannya cenderung pilih-pilih. Yang
didekati kalau ndak yang pintar, ya yang berduit. Yang
ndak punya kelebihan seperti itu biasanya diacuhkan.
Malah bahkan dijadikan bahan olokan. Awakmu ngerti
kan Sunarto” timpalku agak merasa emosi.
“O iya kang,” ujarnya sambil sesekali menghisap
rokok putihan bermerk LA. “Kasihan banget kalau
terpikir tentang Sunarto. Di kelas itu dia seperti tidak
diorangkan. Terus diolok-olok dengan sebutan tuwek.
Bahkan, yang paling parah dibodoh-bodohkan. Aku ingat
omonganmu dulu kang. Seorang manusia itu pintar dan
27
GHOFIRUDDIN

bodoh sekaligus. Dan kalau mereka menyadari keadaan


ini, tentu tidak ada lagi yang namanya merendahkan
kekurangan orang lain.”
“Selain itu, juga tidak ada lagi yang berani untuk
sombong,” tambahku.
“Wah-wah. Serius temen lho ngobrolnya,” celoteh
Mbak Mijah, pemilik kantin yang bertubuh tambun,
setelah meletakkan dua cangkir kopi pesanan kami di
atas meja.
“Biasalah mbak, ngobrol bab manusia ndak bakal
ada habisnya,” jawabku.
“Ini lho mbak Mijah yang cantik,” ucap Kencur.
“Mas Udin ini tak bilangin supaya lekas-lekas cari teman.
Dalam arti pasangan hidup, mbak Mijah. Seorang cewek
tentunya. Biar ndak sendiri lagi. Kasihan.”
“Iya Din. Cewek di kampus kan banyak. Masa
ndak ada satupun yang menarik. Apa tak carikan?” bujuk
mbak Mijah.
Aku hanya diam, tersenyum, kemudian kopi
hitam yang masih panas itu aku sesap perlahan-lahan.
Aku cicipi antara rasa pahit kopi dan campuran gula
susu yang manis. Sayangnya, manis gula susunya terlalu
28
DIALOG SECANGKIR KOPI

mendominasi lidahku. Bahkan menyisakan segrak di


pangkal tenggorokanku. Aku hanya bisa diam dan
menahan ketidaknyamanan itu. Biar saja, pasti akan
hilang dengan sendirinya, pikirku.
“Kok diam. Piye?” cercanya meminta
penegasanku.
“Peh, ndak usah mbak. Terima kasih,” ujarku
berharap pembicaraan tentang comblang-menyomblang
ini segera berakhir.
“Aku wae mbak” sergah Tanto Kencur. “Carikan
seorang cewek, ndak cantik ndak apa-apa, yang penting
enak diajak ngobrol. Dalam arti ngobrol ini, yang serius
maupun yang nyantai. Kalau bisa yang begini (sambil
memeragakan gerak tangan meliuk-liuk simetris di
kedua sisi).”
Mbak Mijah tidak menanggapi gurauan itu. Dia
harus segera melayani pembeli lain yang telah mengantri
untuk membeli penthol atau cilok yang merupakan
makanan terlaris di kantin ini. Dia harus mondar-mandir
melayani semua pembeli itu sendiri. Seandainya ada yang
membantunya mungkin akan sedikit meringankan
bebannya. Sayangnya, lelaki seperti kami hanya bisa
29
GHOFIRUDDIN

kasihan. Kami masih terlalu gengsi untuk turun langsung


membantu meringankan pekerjaannya.
Sebenarnya dia berjualan di kantin kampus
bersama suaminya. Suaminya itu bernama Pak Mijan.
Namun dia hanya bisa menemani mbak Mijah di malam
hari karena sore-sore begini dia juga menjajakan cilok
dan pentholnya dengan berkeliling dari kampung ke
kampung. Dia pernah bercerita, dulu ketika di usia yang
lebih muda berjualan penthol atau cilok keliling ini dia
lakukan dengan mengendarai sepeda. Sekarang,
meskipun sudah mampu menyewa beberapa kios, salah
satunya yang ada di kampus ini, untuk berjualan
beraneka makanan, kegiatan berjualan penthol atau cilok
keliling ini tetap dia lakukan. Tetapi, tentu saja sekarang
menggunakan sepeda motor sehingga tidak terlalu
melelahkan.
“Oya kang, siapa nama cewek tadi kang?”
tanyanya lagi.
“Namanya Wulan, Cur. Wulan. W-U-L-A-N.
Anak semester tiga, prodi bahasa dan sastra Indonesia
juga,” jawabku terhadap pertanyaan yang telah dia
utarakan dua kali.
30
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Lalu, ada perlu apa denganmu kang?” tanyanya


benar-benar ingin tahu. “Kok tumben-tumbenan ada
cewek mau mendekati awakmu.”
“Ndak terlalu istimewa kepentingannya Cur”
jawabku. “Cuma ingin pinjam beberapa buku tentang
sastra. Katanya buat referensi mengerjakan artikel. Itu
katanya. Kalau ada hal lain yang disimpan, ya aku ndak
tahu.”
“Kalau menurutku kang. Ini pendapatku saja.
Perkiraan. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Coba
awakmu pikir. Kenapa lho harus pinjam awakmu? Lha di
perpustakaan, apa ndak ada? Pasti itu hanyalah akal-
akalan si.. siapa tadi? (aku menjawab,”Wulan”). Ya, si
Wulan untuk mendekati awakmu kang. Kesempatanmu
ini. Ya, itupun kalau awakmu suka,” cerocosnya panjang
lebar diikuti dengan hisapan panjang lagi dalam dan
diakhiri dengan hembusan asap rokok dari mulutnya
yang tampak jelas menenangkan pikirannya.
“Aku suka,” komentarku kemudian.
“Kecantikannya kan memang mempesona. Awakmu pasti
juga setuju. Hanya saja, apakah cukup kecantikan saja.
Kecantikan, dalam arti, kalau katamu itu, kecantikan
31
GHOFIRUDDIN

yang tampak mata saja untuk menjalin hubungan.


Kadang aku berpikir Cur. Benar sekarang kita terpesona,
berbicara dan seolah-olah merasakannya. Tapi apakah
nanti, ketika menjadi tua, ketika kemudian kulit mulus
itu semakin mengkeriput, hingga rupa semakin terlihat
jelek, apakah masih ada perasaan itu?”
“Ya, dicoba dulu saja dulu kang. Siapa tahu
cocok,” bujuknya kembali.
“Kalau cocok. Kalau ndak, terus bagaimana?”
ujarku. “Apa lantas kalau ndak cocok dibuang begitu saja
seperti barang rongsokan?”
“Haduh, ya ndak seperti itu kang.”
“Lha terus bagaimana?” aku terus mengejarnya.
“Begini kang” dia berhenti sekilas, sejenak
berpikir mengumpulkan kata-kata. “Kita itu, sebagai
manusia itu harus berusaha semaksimal mungkin untuk
mencapai apa yang kita inginkan. Bukankah begitu? (aku
mengangguk-angguk tapi mukaku jelas belum
menampakkan kepuasan). Sekarang begini saja. Masa
awakmu pingin selamanya sendiri? Masa awakmu ndak
pingin punya pendamping?”

32
DIALOG SECANGKIR KOPI

Akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan retoris


dari lisannya. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak
membutuhkan jawaban karena aku, seperti halnya
manusia yang lain, juga tidak ingin sendiri, aku jelas juga
mendambakan seorang pendamping. Hanya saja:
“Kalau pertanyaanmu, apakah aku pingin
selamanya sendiri, tentu saja tidak. Terus kalau awakmu
tanya, apakah aku ndak pingin punya pendamping, tentu
aku pingin punya pendamping. Hanya saja Cur, aku tidak
ingin terjebak oleh gaya hidup anak muda jaman
sekarang. Aku pribadi meragukan Cur, apakah di dalam
pacaran itu ada cinta.”
“Cinta…” ucapnya pelan dan penuh
penghayatan. “Menurutmu cinta itu apa sih kang?”
“Apa itu cinta?” aku malah balik bertanya.
Aku berpikir sejenak untuk menemukan kata-
kata yang tepat untuk mengungkapkan apa itu cinta.
Kepalaku pun mendongak ke atas di mana langit-langit
atap kantin bercat putih seperti menampakkan huruf-
huruf yang tidak terlihat oleh mata. Ibu jari tangan kiriku
yang menumpu dagu dan jari telunjuk yang menempel
pada bibir menandakan otakku sedang bekerja keras.
33
GHOFIRUDDIN

Sementara itu, lawan bicaraku menunggu kata-kata


dariku dengan setengah mendelikkan mata.
“Susah Cur untuk mendefinisikan secara akurat
apa sih itu cinta,” kataku kemudian. “Hanya saja cinta itu
bagiku adalah ketika kita sanggup memberi tanpa
meminta, kita tersakiti namun tidak pernah ingin
menyakiti, kita selalu memikirkan ketika yang lain
melupakan. Dan, cinta bukan sebatas hubungan kasih
antara dua sejoli. Cinta adalah kehidupan.”
“Wuuih, rancak sangat kang perkataanmu,”
komentarnya. “Ulangi kang, biar tak catat kata-katamu
tadi.”
“Lhah, buat apa dicatat barang?” ujarku.
“Disimpan saja di sini (sambil kusentuhkan jari
telunjukku ke dahi) dan di sini (kusentuh dadaku dengan
telapak tangan kananku).”
“Aku ini mudah lupa kang,” ungkapnya. “Kalau
dicatat seperti ini kan, sewaktu-waktu, bisa dibaca lagi.
Bisa dijadikan inspirasi kang kata-katamu itu tadi.
Ndang, apa tadi?”
Aku pun mengulangi kata-kataku tadi meskipun
redaksinya tidak sama persis. Dia sendiri mencatat satu
34
DIALOG SECANGKIR KOPI

per satu kata yang aku ucapkan seperti seorang murid


yang sedang mencatat penjelasan dari gurunya. Dia,
tampak dari raut mukanya, sedang merenungkan sebuah
makna sembari mencatat kata-kata yang dia dengar.
Jarang sekali temanku yang lain sesama mahasiswa
seperti ini. Kebanyakan hanya mencatat bukan untuk
memahami. Mereka mencatat hanya untuk mengikuti
tradisi lalu catatan tersebut nantinya bisa dimanfaatkan
untuk bahan contekan ketika ujian. Sungguh teramat
sayang perilaku yang demikian.
“Nulis apa Tan?” tanya Prastowo, seorang lelaki
pendek berkacamata berkulit gelap, yang baru saja
duduk nimbrung bersama kami berdua.
“Ini lho Pras, kata-kata mutiara dari mbah Odin,”
jawab Tanto. “Perkuliahan tentang filsafat cinta dan
kehidupan. Oeh, mening. Ya To?”
Tanto menunjukkan kata-kata yang baru
ditulisnya itu kepada Prastowo. Buku agenda warna
hitam yang menjadi tempat dia menulis kata-kata
tersebut kini telah berada di hadapan Pras yang langsung
membacanya. Pras membaca kata-kata itu sambil
tersenyum hingga dua gigi tengahnya yang besar-besar
35
GHOFIRUDDIN

nampak jelas. Jerawat di pipinya juga semakin merah


karena senyuman itu membentuk sudut-sudut yang
menghambat aliran darah di wajah.
“Apik iki,” komentarnya kemudian. “Bisa dibuat
status di facebook atau bahan untuk ngetwit.”
“Minta ijin kepada empunya dulu no,” potong
Tanto. “Dalam arti, kita itu kan mahasiswa. Ya to Pras?
Karena kita itu mahasiswa, maka kita itu, wajib
(mendapat penekanan), memiliki perilaku ilmiah. Jangan
sampai kita itu mencuri, meski hanya kata-kata yang
mungkin tidak berarti.”
“Injih mas” ujar Prastowo berbahasa tinggi
kepada Tanto. “Panjenengan tenang wae. Mbah Odin niki
tiyange penakan. Rak yo ngono mbah?” (Prastowo
menoleh kepadaku)
Percakapan kami bertiga kemudian masih
berlanjut di seputar kata-kata tadi, seputar apa itu cinta
dan tidak jauh-jauh dari urusan wanita. Percakapan
lebih didominasi oleh Tanto yang suka berpanjang lebar
dan sering memberikan petuah-petuah. Pras hanya
menanggapinya dengan kalimat-kalimat pendek dan
terkadang mengajukan pertanyaan-pertanyaan agar
36
DIALOG SECANGKIR KOPI

percakapan bisa terus berlangsung. Aku merasa


mengantuk mendengar percakapan yang terus berputar-
putar di topik yang sama.
“Oya Pras, buku kumpulan puisi kita itu
bagaimana?” tanyaku mengalihkan fokus pembicaraan.
“O iyo, jan hampir lupa saya,” tambah Tanto
Kencur. “Mestinya rak yo sudah jadi?”
“Gini,” Pras memulai. “Sebenarnya bukunya
sudah jadi. Sudah terkumpul semua sesuai dengan yang
kita pesan. Tapi, semua masih di Pak Sono. Inginnya
beliau itu, bukunya dibagikan saat launching resmi yang
bekerjasama dengan penerbit.”
“Launching?” kataku kembali. “Lha, terus…”
Kata-kataku terpotong oleh Tanto yang begitu
bersemangat:
“Bagus itu. Sekalian Pras, puisinya dipentaskan
satu per satu biar acara launchingnya lebih seru.”
“Rencanaku ya seperti itu nanti,” kata Pras
sependapat.
“Sebentar dulu,” sergahku. “Itu nanti, biaya
penyelenggaraan launchingnya darimana? Kalau disuruh
bayar lagi, konco-konco pasti banyak yang keberatan.”
37
GHOFIRUDDIN

“Kalau urusan dana mbah, sudah tak bicarakan


dengan penerbit, dedengkotnya langsung: Mas Putra,
sanggup membiayai launching buku puisi kita tersebut.
Tinggal menentukan waktunya saja kita,” tutur Pras
menjelaskan.
“Kalau bisa secepatnya,” desak Tanto. “Wis kebelet
aku pingin baca karya puisinya cah-cah itu seperti apa.”
“Pas acara bulan bahasa menurutku sip banget
Pras,” usulku. “Biar karya-karya kita itu diketahui banyak
orang. Tapi yo dirundingkan sik lah. Ngomong-ngomong
puisiku yang masuk antologi yang mana Pras?”
“Anu mbah, yang berjudul Kampusku Suap-
Suapan. Satunya lupa aku judulnya,” jawab Pras.
“Wuih, Sip Pras,” komentar Tanto. “Perlu sedikit
digoyang kampus ini memang. Digoyang dalam arti biar
racun-racunnya terekspos. Biar mau berobat dan ada
yang mau mengobati.”
“Aku membayangkan, puisi itu dibaca pas bulan
bahasa, didengarkan banyak mahasiswa, dosen-dosen
tambah orang-orang lembaga, terus dibedah maknanya
apa adanya. Penasaran aku iki malihan. Harus jadi ini
launchingnya,” ujar Pras.
38
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Duluan aku cah,” pamitku kemudian agak tiba-


tiba. “Pak Dalang sudah masuk kelas itu.”
Prastowo dan Tanto menoleh ke arah ruang kelas
yang aku pandang barusan. Mereka masih tenang-
tenang saja karena tampak di sana, di parkiran depan
kelas mereka, teman-teman sekelas mereka masih asyik
nongkrong di atas jok motor. Aku sendiri segera bangkit
dari tempat dudukku. Berdiri kemudian berjalan
menghampiri mbak Mijah yang sedang sibuk di balik
etalase yang berisi siomay, sosis, rokok-rokok bermerk,
mie instan, minuman-minuman kemasan, dan beberapa
macam buah sebagai bahan untuk jus yang segar.
“Sudah mbak,” kataku.
“Apa Din tadi?” tanya mbak Mijah menanyakan
apa yang kubeli.
“Kopi susu, sama kripik singkong dua,” jawabku.
“Tigaribu din,” kata mbak Mijah setelah beberapa
saat.
Aku memberikan uang pas kepada mbak Mijah.
Tigaribu pas dan memang hanya sejumlah itu uang yang
aku bawa hari ini.

39
GHOFIRUDDIN

“Terima kasih. Oya Din, dapat salam dirimu,” kata


mbak Mijah yang membuatku tertahan dan tidak segera
bergegas menuju ruang kelas.
“Siapa mbak?” tanyaku dengan tetap
menampakkan wajah dingin meski dalam hati sangat
penasaran.
“Dianya minta dirahasiakan. Malu katanya,”
jawab mbak Mijah.
“Lhah, rahasia yang sudah dibuka sedikit sekalian
dibuka blak-blakan mbak,” pancingku.
Mbak Mijah tidak menjawab. Dia tersenyum dan
tidak terpancing. Aku sangat menghargai itu. Karena itu,
aku segera meninggalkan mbak Mijah, supaya dia bisa
meneruskan kegiatan mencuci mangkok-mangkok,
gelas-gelas, sendok-sendok dan beberapa piring yang
tergeletak menumpuk di bak. Aku berpamitan kepada
kedua kawanku yang masih duduk santai sambil
menghisap dalam-dalam rokok masing-masing yang
ditemani dengan secangkir kopi susu di atas meja.
Mereka masih melanjutkan perbincangan tadi.
Berjalan menuju ruang kelas, aku termangu
dengan kejadian hari ini. Pertama, didekati seorang
40
DIALOG SECANGKIR KOPI

perempuan walaupun tujuannya hanya untuk meminjam


beberapa buku dariku. Aku agak terganggu dengan
gagasan yang dilontarkan oleh Tanto tadi bahwa pinjam
buku itu hanya sebuah cara untuk mendekatiku. Tapi
dekat yang dimaksud seperti apa? Apakah yang dimaksud
dengan dekat itu adalah dekat hingga terjalin sebuah
hubungan asmara. Ataukah, hanya untuk menambah
kenalan atau koneksi. Lalu yang kedua, dapat salam.
Meski mbak Mijah tidak mengatakan apakah yang
memberikan salam itu lelaki atau perempuan, namun
perasaanku mengatakan itu perempuan. Kalau dari
lelaki, tentu tidak perlu ada rahasia.
Huft, ada apa denganku? tanyaku.
Aku jawab:
Mungkin aku sudah tidak betah sendiri.

41
Bulan
di Keremangan

Mentari yang telah tenggelam masih menyisakan


cahaya jingga di horison barat, masih menampakkan
pijar kehangatan yang lambat laun menghilang,
digantikan oleh dingin dan hitam yang akan merengkuh
seluruh pemandangan. Bintang-bintang dengan latar
langit yang telah menghitam memancarkan kerlip sinar
yang tidak memberikan suatu kehangatan. Mereka hanya
menyajikan keindahan dalam gugusan-gugusan yang
bergerak secara beraturan dan entah mengapa mampu
memberikan ketenteraman dalam pikiran dan perasaan.
Ketenteraman yang didapat dari memandang langit yang
43
GHOFIRUDDIN

terhampar itu saling bertautan dengan kedamaian yang


dirasakan dari suara alam yang terdengar mengalun
pelan, membawakan harmoni yang memasuki relung-
relung hati terdalam.
Sementara itu, bulan di langit, tengah
bersembunyi dari keremangan malam. Namun, bulan
yang lain sedang berjalan. Dia berjalan dengan seorang
kawannya, seorang perempuan yang sudah dia anggap
sebagai saudara. Mereka baru saja selesai mengikuti
perkuliahan yang sangat membosankan. Pikiran mereka
sangat lelah karena harus bertahan untuk terus
mendengarkan selama hampir tiga jam. Mereka harus
terpaku di kursi tempat duduk mereka hingga otot-otot
di sekujur tubuh mereka mengalami kejenuhan. Mereka
merasa lega ketika dosen di jam kedua mengakhiri
perkuliahan. Mereka menikmati saat seperti ini, saat di
mana mereka berjalan pulang kembali ke rumah kos-
kosan mereka yang terletak di seberang jalan sambil
menceritakan sesuatu yang bisa diceritakan.
“Kiki,” Wulan memulai ceritanya. “Kamu tahu
tidak, senior kita semester lima, masnya yang berambut
gondrong itu?”
44
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Ya tahulah,” jawab Kiki. “Dia kan satu-satunya


pria gondrong yang ada di kampus ini. ndak ada yang
lain. Memang kenapa Wul?”
“Ndak ada apa-apa” kata Wulan. “Cuma dia itu
kok dingin banget ya orangnya? Gaya bicaranya, caranya
memandang. Semuanya bikin penasaran saja.”
“Lha emang kamu apa pernah ngobrol sama dia?”
tanya Kiki.
“Ya pernah,” jawab Wulan. “Tadi sebelum masuk
kuliah kan, aku menemuinya di depan gedung
pertemuan. Masnya itu memang seperti itu. Datang ke
kampus awal-awal banget lalu tiduran di kursi di depan
gedung pertemuan, malah kadang berbaring dengan
santainya di lantai.”
“Wah, tampaknya kamu paham bener
kebiasaannya. Jangan-jangan…,” goda Kiki.
“Apa sih?” sergah Wulan dengan agak tersipu
malu.
Mereka berhenti ketika hendak menyeberang
jalan. Mereka tetap menengok ke kiri dan ke kanan,
memastikan bahwa keadaan cukup aman untuk
menyeberang. Dan memang tidak butuh waktu lama
45
GHOFIRUDDIN

untuk memastikannya karena jalan raya di depan


kampus bukanlah jalan utama yang ramai oleh
kendaraan bermotor apalagi pada saat sehabis maghrib
seperti ini. Hanya saja, karena bukan jalan utama, justru
membuat para pengendara memacu kendaraan
bermotornya lebih cepat karena jalanan yang relatif
lengang. Untuk itulah mereka berdua tetap berhati-hati.
Mereka langsung memasuki pelataran rumah
kos-kosan mereka setelah sampai di seberang. Paving
berwarna merah berbentuk persegi enam yang menjadi
alas bagi pelataran rumah itu langsung menjadi pijakan
bagi langkah-langkah kaki mereka. Tidak ada sejengkal
tanah pun yang harus mereka lalui sehingga mereka
tidak perlu khawatir sepatu bagian bawah mereka akan
kotor. Di pelataran itu terdapat sebuah pohon mangga
yang sayang sekali buah-buahnya belum dalam keadaan
matang. Mereka melalui pohon itu, segera memasuki
rumah yang pintunya dibiarkan terbuka. Di ruang tamu,
mereka mendapati bapak Suwondo dan ibu Lastri,
pasangan pemilik rumah kos tersebut, sedang
berbincang-bincang hangat. Mereka menyapa pasangan
tersebut yang kemudian dibalas dengan senyuman dan
46
DIALOG SECANGKIR KOPI

kata-kata yang begitu hangat seperti halnya orangtua


yang menyambut kepulangan anak-anaknya.
Di mulut pintu kamar, mereka berhenti. Kiki
meraba-raba ke dalam tas-tangannya untuk mengambil
kunci kamar itu. Sedangkan, Wulan yang berdiri di
sampingnya terlihat mematung. Matanya tertuju pada
layar telepon genggam dan jari jemarinya sibuk beralih
dari satu karakter ke karakter lain yang tertera di layar.
Pikirannya sedang tidak berada pada tempat di mana
tubuhnya sekarang berada. Pikirannya sekarang berada
di dunia maya, di dunia blackberry messenger yang
memberikan wadah seluas-luasnya bagi seseorang untuk
saling berbagi. Dan dia sekarang sedang membagikan
kepada teman-teman di jaringannya sebuah foto paling
cantik yang baru dia ambil tadi sore sepulang kuliah.
Klik…
Bunyi itu menandakan bahwa kunci pintu telah
terbuka. Kiki segera masuk, meletakkan tasnya di meja,
kemudian merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya
segera terpejam dan suara-suara yang terdengar menjadi
semakin pelan. Dia telah tertidur sebelum sempat
berganti pakaian. Di mulut pintu, Wulan masih sibuk
47
GHOFIRUDDIN

bergaya. Dia yang mengetahui Kiki yang segera terpulas,


memanfaatkan keadaan tersebut sebagai sebuah latar
dari foto yang akan dia unggah berikutnya. Dia berpose
dengan menampakkan mata yang terlihat sayu dan satu
tangannya yang sedang menutupi mulutnya yang
menguap. Dia menambahkan tulisan sebelum
mengunggah foto tersebut.

Lelah bgt… istirahat dulu ya

Dia kemudian menutup pintu kamarnya,


meletakkan tas dan telepon genggamnya di meja yang
sama. Dia lalu segera melepas seluruh pakaian luarnya,
berganti dengan setelan kaos dan celana pendek sporty
yang lebih longgar. Dia mengamati wajah Kiki yang
bulat, rambutnya yang panjang penuh riak, mata yang
tertutup rapat, namun mulut yang menganga lebar. Dia
merasa geli dengan pemandangan tersebut dan terbersit
di dalam hatinya untuk memotret kemudian
membagikannya di dunia maya.
Cekrek

48
DIALOG SECANGKIR KOPI

Dia mengambil satu foto temannya yang tengah


tertidur. Dia ingin terbahak saat mengamati kembali foto
yang baru saja dia ambil. Dia telah masuk kembali ke
laman dunia maya. Kali ini facebook yang dia buka.
Namun, dia merasa ragu untuk mengunggah foto
tersebut. Dia memikirkan, akan semalu apa nanti Kiki
ketika mengetahui fotonya dengan pose yang sangat
memalukan itu beredar di dunia maya. Dia juga
memikirkan, apakah nanti Kiki tidak akan marah. Dan
kalau marah, akan semarah apa. Dia juga
membayangkan, bagaimana seandainya dia yang
mendapat perlakuan seperti itu. Apakah dia sanggup
tahan dengan berbagai macam olokan. Akhirnya dia
mengurungkan niatnya itu. Di statusnya, dia menuliskan:

Semoga sore besok lebih dari yang kuharapkan.

*
Kamar itu terlihat begitu nyaman dan lapang.
Springbed dengan ukuran 1,25x2 meter yang
diselubungi dengan seprei tebal berwarna biru langit
diletakkan berdekatan dengan dinding. Sebuah meja
49
GHOFIRUDDIN

belajar dengan warna kuning keemasan yang dilengkapi


dengan rak kosong tanpa ada sebuah buku pun
ditempatkan melekat juga dengan dinding kamar di sisi
yang lain. Lalu, sebuah lemari pakaian dua pintu di
sampingnya yang berjarak kurang lebih satu meter dari
engsel pintu tidak mengambil terlalu banyak ruang
sehingga suasana luas dan lapang tidak menghilang.
Kamar itu identik dengan warna putih. Dinding
yang mana di bagian seberang pintu dan di antara kasur
dan meja belajar terdapat jendela kaca berbingkai kayu
dicat dengan warna putih yang begitu merata. Keramik
yang dipasang pun juga berwarna putih meskipun masih
terdapat sedikit goresan motif aneh berwarna abu-abu.
Bohlam yang terletak tepat di tengah langit-langit kamar
akan lebih memancarkan warna putih itu ketika
dinyalakan. Namun, warna putih itu bukanlah apa-apa,
dia hanya akan menjadi bayang-bayang pada saat tidak
ada cahaya yang menyala. Warna putih itu hanya akan
menjadi sebuah hitam yang gelap dan begitu memikat.
Kamar itu terlihat begitu bersih, menandakan
bahwa penghuninya sangat mencintai kebersihan dan
keindahan. Debu-debu yang menempel di lantai maupun
50
DIALOG SECANGKIR KOPI

di perabot yang ada di kamar itu selalu mendapatkan


perhatian untuk disingkirkan. Namun, debu-debu itu
tidak pernah jemu untuk selalu datang, dan penghuni
kamar pun juga tidak pernah lelah untuk melakukan
pengusiran, menyapu debu-debu itu keluar ruangan.
Hanya pada saat penghuni-penghuni itu pulang
kampung saja, debu-debu itu memiliki keleluasaan.
Meskipun saat itu pintu dan jendela kamar telah tertutup
rapat, debu-debu itu tetap saja menemukan celah untuk
memasuki kamar.
Penghuni kamar itu adalah dua wanita tadi,
yakni Wulan dan Kiki. Keduanya berasal dari kecamatan
di kabupaten ini yang masuk kategori daerah dataran
tinggi atau boleh disebut juga pegunungan. Wulan yang
bernama lengkap Wulan Nurissa masih sering dan
senang pulang ke kampung halamannya setiap satu
pekan atau dua pekan sekali. Suasana dan udara segar di
pegunungan selalu bisa membuatnya tenang dan
tenteram, selain juga sangat baik untuk perawatan kulit
agar tetap terlihat cantik dan menawan. Sedangkan, Kiki
Maulida adalah kebalikan dari Wulan. Dia tidak suka
pulang kampung. Di kampungnya, dia tidak bisa
51
GHOFIRUDDIN

menikmati fasilitas-fasilitas seperti pusat perbelanjaan


dan pusat nongkrong yang masuk kategori gaul, sinyal
wifi gratis, pusat kebugaran dan pusat-pusat lain yang
bisa dimanfaatkan untuk menghamburkan uang. Dia
tidak suka ketenangan. Ketenangan baginya sama saja
dengan keangkeran, keseraman dan keadaan-keadaan
lain yang dapat menghantarkan rasa takut. Hingar bingar
itulah dirinya. Dia ingin sekali tinggal di kota besar,
merasakan nikmat dan indahnya dunia gemerlapan.
Baginya kota kecil ini belumlah cukup. Kota ini masih
terlalu sepi dan di sini dia masih terlalu terkekang untuk
mengekspresikan diri.

*
Merasa sendiri. Itulah frasa yang paling tepat
untuk mendeskripsikan keadaan Wulan saat ini. Teman
yang biasanya menjadi tempat untuk mencurahkan
segala beban pikiran dan perasaan kini telah tertidur
pulas. Mudah sekali dia terlelap seperti itu, pikirnya.
Padahal waktu belum juga menginjak waktu ‘Isya, belum
waktunya ini untuk beristirahat. Mungkin dia terlalu
lelah, pikirnya lagi sambil mengamati wajah dengan
52
DIALOG SECANGKIR KOPI

matanya yang sedang terpejam, tubuh yang berbaring


miring, yang menumpu pada paru-paru kiri dan juga
menghimpit lambung hingga terdesak dan merasa
kesulitan untuk memproduksi zat-zat untuk mencerna
makanan yang perlu diproses menjadi energi. Tapi lelah
karena apa? Wajah Wulan semakin menampakkan tanda
tanya. Dia itu tidak melakukan apa-apa sepanjang hari
ini, maksudnya melakukan sesuatu pekerjaan yang
menguras tenaga secara fisik maupun mental. Saat kuliah
pun tidak ada yang dipikirkan dalam-dalam atau
direnungkan kemudian diresapkan ke dalam jiwa. Ah,
desahnya di dalam hati, mungkin dia terlalu banyak
dolan seharian tadi, berduaan dengan pacarnya
bepergian ke tempat-tempat yang tidak jelas,
menghamburkan banyak uang.
Memikirkan tentang temannya itu, dia menjadi
merasa lapar. Suara di dalam perutnya telah mengetuk-
ngetuk minta untuk diisi. Dia ingat, dia terakhir makan
besar atau makan nasi lengkap dengan sayur dan lauk
pauknya adalah tadi pagi. Siang, dia tidak memasukkan
apa-apa ke dalam perutnya kecuali teh dalam kemasan
botol yang hanya menurunkan dehidrasi tubuhnya.
53
GHOFIRUDDIN

Wajar saja jika perutnya kini telah merengek-rengek


bersuara dengan begitu nyaring. Tapi makan apa ya
enaknya malam ini, gumamnya lirih. Kalau makan yang
itu-itu melulu, bosan, jawabnya sendiri dalam hati. Masa
setiap hari, lalapan, lalapan dan lalapan. Malam ini harus
berbeda. Em, nasi goreng pasti nikmat. Tapi di mana
belinya. Kalau harus ke perempatan sana, terlalu jauh,
malas rasanya. Tapi kalau tidak makan, bisa kambuh
nanti asam lambungku.
Suara adzan ‘Isya di sebuah langgar yang
mengalun lembut memecah lamunannya akan makanan.
Suara adzan itu kemudian disusul oleh suara-suara
adzan di musholla-musholla dan masjid-masjid yang
lain. Suara itu tidak menggetarkan kalbunya, tidak seperti
lagu-lagu galau dan romantis dengan suara instrumen
musik yang mendayu-dayu yang sering dia putar, yang
terkadang sanggup membuat dia menangis ketika dalam
kesendirian dan teringat akan sebuah kenangan.
Meskipun begitu dia yakin dan percaya bahwa suara
adzan itu suci atau sakral sehingga layak mendapatkan
penghormatan untuk selalu didengarkan.

54
DIALOG SECANGKIR KOPI

Dia benar-benar diam. Tubuhnya tidak bergerak


kecuali bagian dada yang kembang-kempis,
memasukkan dan mengeluarkan udara dari dan ke
dalam paru-paru secara berkala. Jantung dan denyut
nadinya juga terus bergerak, memompa dan mengalirkan
darah ke seluruh bagian tubuh, tidak pernah merasa
lelah, tidak seperti jiwanya yang benar-benar lemah,
yang benar-benar membutuhkan asupan dari alam
untuk menenangkan pikiran, membutuhkan sentuhan
untuk menentramkan perasaan yang mudah sekali
terguncang. Dia benar-benar diam sampai seluruh suara
adzan yang saling bersahutan itu selesai
dikumandangkan.

Allahu akbar Allahu akbar
Laa Ilaha illallah

Dia masih saja diam ketika suara itu telah


berakhir. Dia menajamkan pendengaran, memastikan
apakah masih ada sayup-sayup suara adzan dari
kejauhan. Lima detik, sepuluh detik, limabelas detik,
hingga duapuluh detik terlalui. Dan, suara itu sudah
55
GHOFIRUDDIN

tidak lagi terdengar. Suara itu sudah tidak ada bekasnya,


tidak diketahui maknanya oleh pikiran dan tidak
tersentuh hakikatnya oleh jiwa. Dia berjingkat bangun
dari duduknya, dari tepi kasur yang di bagian tengah
temannya itu sedang tidur melungker, memeluk dan
merapatkan lutut hingga hampir tercium oleh dagu yang
tidak lancip, begitu dia yakin pasti suara itu tidak ada
lagi. Dia berdiri dan lagi-lagi memperhatikan temannya
itu dan merasa kasihan. Bukankah dia belum makan
malam, katanya dalam hati. Sebaiknya aku bangunkan
dia.
“Ki- Kiki. Bangun Ki. Ayo cari makan,” katanya
sambil menggoyang-goyang pelan tubuh yang sedang
terpejam itu.
Tidak ada tanggapan dari Kiki. Dia masih saja
bertahan dari posisi tidur yang sepertinya sangat nyaman
baginya. Tentu, karena begitu pulasnya dia tidak
merasakan kejenuhan otot-otot di bagian yang dia tekuk
itu. Dia baru akan merasakan sakit itu ketika matanya
telah kembali terbuka, dan kesadaran telah sempurna
merasuk ke dalam pikiran yang saat ini tengah tenggelam
ke dalam bayang-bayang.
56
DIALOG SECANGKIR KOPI

Merasa usaha yang dia lakukan masih belum


membuahkan hasil, Wulan berusaha menggoyang-
goyangkan tubuh Kiki lebih kuat lagi. Tapi efek dari
usaha itu tetap masih jauh dari yang diharapkan. Kiki
hanya mengauh, dan malah mengerubuti seluruh
tubuhnya dengan selimut. Bahkan kepalanya pun juga
terkerubuti hingga kegelapan seolah juga menyelimuti
pikiran dan juga perasaan yang sudah tidak peduli
dengan kondisi diri. Wulan menggelengkan kepalanya
tanda tidak percaya bahwa temannya yang satu ini bisa
begitu betah terlelap dalam kondisi lapar. Dia sendiri
terkadang juga bisa seperti itu, setidaknya sebelum
penyakit asam lambung menyerangnya. Saat ini,
mengingat itu, dia sudah tidak mau. Dia tidak ingin
menyiksa diri sendiri. Dan dia juga tidak mau temannya
nanti akan tersiksa karena mengabaikan kebutuhan
tubuh yang juga butuh asupan makanan yang cukup
sebagai sumber tenaga.
Telepon genggam yang tergeletak di meja
berdering. Dering itu disertai dengan nada-nada dari
sebuah lagu yang sedang populer saat ini. Dering itu juga
disertai dengan getaran yang terdengar begitu ribut.
57
GHOFIRUDDIN

Tampak di layar telepon genggam tersebut, sebuah


simbol berupa gambar telepon yang di sampingnya
terdapat sebuah tulisan nama dari seorang yang sedang
memanggil. Dering itu bertahan selama satu menit lebih
sebelum sambungan panggilan itu terputus karena tidak
ada yang menjawab. Namun, dering itu kembali terulang.
Masih dengan tulisan nama yang sama tampak di layar.
“Kiki, ada telepon,” kata Wulan memberitahu
sambil mengguncang-guncangkan pundak Kiki untuk
membangunkannya.
Dari dalam kerubut selimut, Kiki mulai membuka
matanya perlahan. Di kegelapan selimut itu wajahnya
masih tampak begitu kusut, matanya sayu, dan ada
sebuah garis yang tergurat di pipi kiri. Suara nada dering
itu masih terdengar begitu pelan di dalam pikirannya
yang masih dalam proses pengaktifan seluruh fungsi
indera. Meski begitu, dia tahu dering itu berasal dari
telepon genggamnya. Perlahan dia mulai tersadar, dan
bertanya-tanya siapakah orang yang meneleponnya.
Mengganggu tidur saja, pikirnya. Pasti orang yang
sedang iseng. Terpikir hal tersebut, dia memejamkan
mata kembali, mengabaikan dering telepon yang masih
58
DIALOG SECANGKIR KOPI

terus berbunyi. Namun sekejap kemudian dia terpikir,


mungkin itu dari Yaris, pacarnya yang tadi siang setelah
memberikan kecupan berjanji untuk menelepon. Teringat
hal itu, tubuhnya seperti tersengat oleh getaran-getaran
yang membuat darahnya berdesir. Dia menjadi
bersemangat, segera membuka matanya, membuka
selimutnya dan segera berjingkat menuju telepon
genggamnya di meja.
Belum sempat menggapai telepon genggamnya di
meja, kemudian membuka percakapan dengan halo,
suara nada dering itu berhenti. Alangkah kecewanya Kiki
mengetahui panggilan telepon yang begitu dia harapkan
itu tidak sempat terjawab. Tapi dia tetap meraih telepon
genggamnya itu. Dan sambil berdiri dia membuka kunci,
memasukkan kode dengan menyentuh angka-angka
yang ada di layar hingga terbentuk sebuah garis
berwarna hijau yang menampakkan huruf Y.

2 missed calls

Klik. Dia membukanya. Wajahnya terlihat masam


dan sedikit tertekuk menunjukkan perasaan kecewa dan
59
GHOFIRUDDIN

jengkel karena dua panggilan tidak terjawab itu bukan


dari Yaris. Di layar tertulis nama Thiwul.
“Ayo makan,” ajak Wulan sebelum Kiki sempat
mengeluarkan kata-kata.
“Sudah lapar kan?” tanyanya lagi.
Kiki diam. Dia ingin sekali mengelak dari ajakan
teman baiknya itu. Namun dia tidak bisa. Perutnya
bergolak. Rasa lapar yang tidak dia rasakan pada saat
terlelap dalam tidur, kini begitu terasa.
“Sebentar,” katanya. “Tak cuci muka dulu.”

*
19:23.
Itulah kombinasi angka yang tertera di pojok
kanan atas layar ponselku. Kombinasi angka yang dibuat
oleh manusia untuk menandai waktu. Waktu yang
terhitung, mulai dari yang dinamakan detik, lalu menit
yang dalam ukuran satu sama dengan 60 detik, lalu satu
jam yang setara dengan 60 menit. Kemudian,
penggunaan istilah hari, bulan, dan seterusnya, dan
seterusnya yang membuat kehidupan manusia berjalan
lebih rapi dan teratur, meskipun tidak jarang justru
60
DIALOG SECANGKIR KOPI

membuat hidup itu sendiri menjadi terkotak-kotak dan


menekan jiwa bebas manusia hingga udara yang sejuk
pun akan terasa menyesakkan, air yang segar pun akan
terasa seperti mencekik kerongkongan.
Manusia begitu bangga dengan penandaan
waktu yang telah mereka temukan. Mereka menjadi
terlalu besar kepala seolah-olah mereka adalah sang
pencipta waktu itu sendiri. Mereka telah lupa bahwa
mereka hanyalah seonggok daging yang selalu
bergantung pada alam. Mereka tidak akan bisa menandai
waktu jika matahari tidak timbul dan tenggelam, jika
bulan tidak bersinar dan beredar sesuai dengan yang
ditentukan. Lalu, alam itu, apakah manusia yang
menciptakan? Tentu bukan. Ataukah, alam itu tercipta
secara kebetulan. Sungguh, alam semesta ini terlalu rapi
dan teratur jika hanya tercipta secara kebetulan.
19:24
Sudah saatnya bagiku untuk pulang. Aku hampiri
sepeda itu. Aku gosok sadel dari gabus keras berwarna
hitam dengan telapak tanganku untuk mengusir debu-
debu agar tidak menempel di pantatku. Aku naik, aku
pegang dua setir, kiri dan kanan. Jagang sepeda yang
61
GHOFIRUDDIN

masih menumpu di tanah, aku sendal dengan kaki kiriku.


Aku melaju. Dua pedal yang aku kayuh perlahan
mengeluarkan suara berkeretnya yang begitu khas. Velg
roda belakang yang tidak dipasang dengan cermat juga
menimbulkan suara seperti baling-baling helikopter
yang sedang berputar tapi dengan volume yang pelan. Di
bagian slebor depan, mur dan baut yang sudah
mengendur dari posisi seharusnya, membuat aluminium
melengkung putih yang menjadi topi bagi roda depan
bergetar dan bergoyang menghasilkan suara gemredek
ketika melintas di jalanan kampus yang tidak rata.
Semoga saja, mur dan baut itu tidak lepas di tengah jalan.
Karena jika itu terjadi akan sangat merepotkan.
Aku sudah merasa lelah dan kini harus berlelah-
lelah lagi untuk sampai di rumah. Lelah fisik itu sudah
menjadi kebiasaanku sehari-hari. Lelah fisik yang
membuatku begitu lapar dan mampu meningkatkan
nafsu makanku hingga berlipat ganda. Lelah fisik yang
mampu menyegarkan pikiran dan juga perasaan karena
alam menjadi begitu dekat. Lelah fisik yang
mengingatkan pada sebuah ketidaksempurnaan dan pada
pasti datangnya kematian. Lelah fisik yang mampu
62
DIALOG SECANGKIR KOPI

membuat tidur menjadi lelap dan istirahat melepas penat


dan kejenuhan pikiran pun menjadi nikmat.
19:25
Aku telah melewati gerbang kampus yang kedua
sisi pintunya tetap dibiarkan terbuka sepanjang hari.
Kedua sisi itu, pintu masuk dan pintu keluar, masing-
masing hanya memiliki lebar yang cukup untuk dilalui
badan bus. Di tengah pintu masuk dan pintu keluar itu,
terdapat pos jaga yang dilingkupi dengan satu pintu,
menghadap ke dalam, dan tiga jendela warna hitam yang
tidak tertembus pandang. Kaca itu justru memantulkan
kembali bayangan orang atau benda yang sedang
melintas keluar-masuk kampus.
Kini, roda sepedaku telah meluncur di aspal
jalanan. Jalanan depan kampus yang gelap dan
ditumbuhi rimbun pohon di kedua sisinya. Lampu-lampu
teras rumah saja yang membuat pemandangan sekitar
masih sedikit terasa bercahaya. Pemandangan yang terasa
suram dan mengerikan. Namun, aku sering menikmati
keadaan ini. Siluet bayang-bayang yang dihasilkan dari
cahaya malam yang temaram selalu menyajikan
keindahan kelabu yang tercampur dengan hitam.
63
GHOFIRUDDIN

Keindahan itu akan lebih terasa ketika panorama langit


malam menyuguhkan panorama cahaya rembulan dan
kerlip bintang-bintang yang bertaburan. Bagiku semua
itu lebih menentramkan, bila dibandingkan dengan
panorama-panorama yang telah mendapatkan sentuhan
manusia.
19:26
Jalanan depan kampus sudah aku lalui. Dan,
bayang-bayangnya itu sudah tidak mampu menangkap
keberadaanku. Jangkauan pandang patung orangtua
berkopyah dan berkacamata minus yang selalu setia
dengan mata sayu tidak bersemangatnya, bibirnya yang
cemberut, serta ekspresinya yang terlihat marah dan
putus asa, sudah tidak mampu mendeteksi posisiku yang
terus menjauh. Aku terus menjauh dan menjauh hingga
kampus itu sudah tidak lagi menusuk punggungku
dengan pandangan matanya.
19:27
Sialan, batinku. Kenapa aku terus menerus
memeriksa pergerakan waktu lewat angka-angka yang
tertera di telepon genggamku. Apa yang sebenarnya aku
tunggu. Apakah aku sudah benar-benar masuk ke dalam
64
DIALOG SECANGKIR KOPI

kotak-kotak yang berusaha menjerat kebebasan pikiran


dan jiwaku. Huhh, waktu, kenapa engkau tidak cukup
satu, tidak perlu tanda-tanda untuk mengenalmu karena
engkau hanya akan berlalu. Aku masukkan ke dalam tas
saja telepon genggam ini. Biar pikiran tidak terkurung
dan terbebani oleh angka-angka. Biar perjalanan pulang
ini berjalan dengan apa adanya.

*
Aku pelankan laju sepedaku saat lampu lalu
lintas di depanku menyala hijau. Perkiraanku, dengan
posisiku saat ini, aku tidak akan mampu, dalam waktu
kurang dari 20 detik untuk melintasi lampu lalulintas itu,
bahkan, bila aku kayuh sepedaku hingga batas kecepatan
maksimumnya. Aku tidak tahu secara akurat berapa
kecepatan maksimum dari sepeda ini. Tapi, aku tahu
batasku. Untuk itu, aku menunggu lampu lalulintas itu
kembali menyala merah. Setidaknya dengan berhenti
sejenak, aku bisa sedikit beristirahat, menggeliatkan
pantat yang sudah mulai terasa panas, menghirup udara
dalam-dalam untuk kembali mengisi paru-paru dengan

65
GHOFIRUDDIN

udara. Sayangnya, di malam hari, pepohonan lebih


banyak membebaskan karbondioksida ke udara.
Lampu lalu lintas di depanku menyala merah
sesuai dengan perkiraanku. Aku berhenti di dalam
marka, tepat di belakang garis pemberhentian yang
ditentukan. Roda depanku, tidak ada sekerat pun yang
menginjak marka pemberhentian itu, apalagi sampai
mencium zebra-cross yang diperuntukkan untuk
menyeberang. Malam ini, semua tampak rapi. Para
pengendara yang berhenti di ruas yang sama denganku
tidak ada yang melanggar batas marka. Padahal biasanya,
mereka tidak terlalu peduli dengan batasan itu. Mereka
dengan tenangnya, saat lampu menyala merah, berhenti
di bagian zebra-cross. Memang di sini orang-orang biasa
menyeberang di bagian jalan manapun. Tidak harus di
tempat khusus yang disediakan untuk menyeberang
seperti zebra cross ini.
Aku masih berhenti dan terus mengamati sorot
merah lampu lalu lintas yang ada di depanku. Lampu lalu
lintas itu dipasang di sebuah tiang berwarna kuning yang
cat kulit luarnya telah mengelupas. Ada satu tiang di sisi
kanan dan satu tiang lagi di sebelah kiri. Satu set lampu
66
DIALOG SECANGKIR KOPI

lagi tepat berada di tengah-tengah, menggantung di besi


yang tersambung secara horizontal dengan tiang sebelah
kiri. Besi yang rentan dengan guncangan saat ditiup oleh
angin yang cukup kencang.
Aku masih berhenti dan beralih mengamati
sekeliling. Di kanan seberang jalan, sebuah toko
kelontong yang menjual beraneka macam barang
kebutuhan sedang dalam keadaan ramai pembeli. Toko
itu telah berdiri cukup lama, tetap mampu bertahan dan
bersaing dengan toko-toko swalayan berskala nasional
yang digerakkan oleh modal raksasa. Bahkan jika dilihat
secara kasat mata, toko itu setiap harinya lebih banyak
dikunjungi oleh para pembeli daripada swalayan-
swalayan itu yang menjual barang dagangannya lebih
mahal karena terbebani dengan pajak yang cukup tinggi.
Tapi aku ragu, apakah perusahaan yang menaungi
swalayan-swalayan itu tertib membayar pajak.
Aku berpaling ke sebelah kiri, di arah yang lebih
dekat dengan posisiku saat ini. Di situ, ada sebuah apotek
yang begitu lengang. Tidak tampak seorang pembeli pun
di sana. Namun di depan apotek itu, sebuah warung
sedang sibuk-sibuknya. Seorang bapak berkopyah putih
67
GHOFIRUDDIN

berkumis bapang, dengan spatulanya sedang mengaduk-


aduk dan membolak-balikkan nasi yang memenuhi
wajan besar di depannya. Beberapa pembeli tampak
berada di situ. Ada beberapa yang berdiri, beberapa yang
nongkrong di atas sepeda motornya, dan ada pula yang
menunggu sambil duduk santai di depan teras apotek.
Aku memandang lekat kepada dua sosok perempuan
yang duduk di teras apotek itu. Lalu, lebih lekat kepada
satu sosok saja yang juga memandangku dengan hangat.
Siapa dia?
thinthin…thinthin
Sepeda motor dan sebuah mobil di belakangku
membunyikan klaksonnya keras-keras. Aku terkejut
kemudian aku dapati lampu lalu lintas di depanku telah
menyala hijau. Aku hentak pedal sepedaku dan langsung
melaju kencang, meskipun kecepatannya tidak akan
pernah menyamai kecepatan kendaraan-kendaraan
bermotor yang satu per satu mendahuluiku.

*
Aku ingat. Perempuan itu tadi, yang
memandangku hangat dan bahkan tersenyum adalah
68
DIALOG SECANGKIR KOPI

perempuan yang sama, yang mengajakku bicara tadi sore


di depan ruang pertemuan, Wulan. Aku tidak membalas
senyuman itu. Mataku terlalu lekat memandangnya
karena remang malam membuat pandanganku
mengabur. Butuh konsentrasi dan fokus mata lebih untuk
mengidentifikasi sesuatu. Butuh waktu juga untuk
mengingat siapa dia. Semoga, dia tidak menganggapku
sebagai orang arogan yang kini hanya menyuguhkan
punggung untuk membalas kehangatan pandang dan
senyuman yang dia berikan.

69
Bagian Dua
Catatan Nomor 14

Ada yang berubah di dalam diri Sisilia semenjak


menemukan buku harian bersampul coklat 16 hari yang
lalu di bawah pohon beringin besar di sebelah utara
alun-alun itu. Sebagian besar waktunya tercurah untuk
membaca buku itu, memahami kata-kata dan kalimat-
kalimat aneh yang cukup sulit dimengerti oleh pikiran
remajanya. Sehabis bangun tidur pagi ini, pikirannya
langsung tertuju kepada buku itu. Dia membaca catatan
bernomor 14 yang bercerita tentang lautan biru yang
penuh dengan ide-ide tersembunyi hingga dia terlupa
untuk sembahyang sampai pintu kamarnya diketuk oleh
ibunya.
Tentu saja dia lekas berjingkat, berjalan keluar
kamar dan menuju kamar mandi untuk bersuci. Doa-doa

73
GHOFIRUDDIN

dalam bahasa Arab yang dia lafalkan dengan lirih


berubah menjadi kata-kata dengan nuansa latin di dalam
pikirannya. Terbersit di dalam benaknya bahwa air yang
dia gunakan untuk bersuci itu merupakan bagian dari
laut biru di dalam buku bersampul coklat itu yang juga
memiliki ide-ide yang tersembunyi tentang
keberadaannya. Dia bersuci dengan cepat, kembali ke
kamar memakai mukenanya dengan cepat, dan
sembahyangnya yang hampir terlambat itu dia selesaikan
dengan cepat pula. Dia segera kembali kepada buku itu.
Sambil rebahan di kasur berseprei kain merah
muda dengan motif dua garis putih menyilang itu, Sisilia
menghabiskan hampir satu jam untuk membolak-balik
membaca catatan nomor 14. Dia penasaran dengan apa
itu laut biru di mana di palung terdalamnya terdapat
sebuah tinta-tinta berwarna hitam yang membentuk
sebuah kelopak bunga. “Bunga yang mekar di dasar
palung, ia adalah relung yang tenggelam dan tercenung.”
Sebuah kalimat ini dia baca dengan keras dan berulang-
ulang. Bibirnya yang mungil tertarik ke sudut-sudut yang
berjauhan untuk tersenyum. Sementara jidatnya tak

74
DIALOG SECANGKIR KOPI

berhenti mengernyit membentuk lipatan-lipatan tanda


dia sedang berpikir.
“Bunga yang mekar di dasar palung,” begitu
gumamnya dan dia mulai duduk.
Dia menyibak rambut hitam panjangnya yang
menutupi wajah ketika dia beralih ke posisi duduk.
Hidungnya yang mungil itu juga menghirup dan
menghela napas panjang sebab dia tidak juga kunjung
mendapatkan jawaban di dalam pikirannya tentang
maksud kalimat itu. Jari-jemarinya pun juga ikut
berpikir. Sementara tangan kirinya memegang buku itu
untuk tetap terbuka, jari-jemari tangan kanannya mulai
mengetuk-ngetuk lutut kanannya yang telanjang dengan
irama yang beraturan.
“Apa sih maksudnya?” kembali dia menggumam
sementara jari-jemari tangan kanannya pindah ke
dagunya yang lancip. Jari telunjuknya mengetuk dagu itu
dengan cukup keras dengan harapan sedikit rasa sakit
mampu memberikan setitik petunjuk tentang maksud-
maksud yang tersembunyi. Bibir atas dan bibir bawahnya
mengatup dan di antara lipatan yang tidak terlihat, lidah
di dalam rongga mulut bergerak-gerak membasahi bibir
75
GHOFIRUDDIN

bawah yang tengah menjorok ke dalam. Pikirannya telah


basah dengan gagasan-gagasan.
Bunga merupakan sebuah simbol perempuan.
Dan dia sedang dalam keadaan mekar, yaitu sedang
tumbuh menjadi seorang manusia dewasa baik secara
fisik maupun secara batin kepribadian. Tapi kenapa dia
mekar di dasar palung? Bukankah palung itu gelap sebab
cahaya tidak mampu menembus kedalaman sehingga
tidak mungkin ada organisme yang mampu berkembang
dengan baik di sana. Apa maksud dari palung? Kata ini
merupakan pengandaian dari apa? Seperti apa
sesungguhnya bentuk palung itu?
“Sil, ndak sekolah ta nduk?”
Lamat-lamat dari kamarnya Sisilia mendengar
suara teriakan pelan ibunya dari dapur ketika dia mulai
mengaitkan palung dengan relung. Namun karena
tersentak oleh teriakan ibunya, kepingan-kepingan
gagasan yang mulai menyatu di dalam benaknya
akhirnya harus tanggal satu per satu dan kata-kata di
dalam buku itu tiba-tiba menjadi buram di pandangan
matanya. Bayangan di dalam pikirannya berubah
menjadi sebuah gedung sekolah yang ruangan-
76
DIALOG SECANGKIR KOPI

ruangannya saling terpisah satu sama lain. Dan di sana,


dia akan bertemu dengan orang-orang yang kemarin.
“Huh, sekolah,” gumamnya dengan sebuah
keengganan yang tampak dari sudut di bibir kirinya yang
mengerucut. Dia mulai mengandaikan untuk bertemu
dengan pengalaman baru dan juga orang-orang baru.
Sekolah teramat membosankan dan dia telah
membayangkan pencarian untuk menemukan penulis
buku catatan bersampul coklat itu.
***
Pelajaran sekolah tidak memberikan tambahan
pengetahuan apapun kepada Sisilia. Ceramah guru
agama di depan kelas selama hampir dua jam pelajaran
penuh tidak mampu memberikan sedikit pun petunjuk
tentang maksud dari teka-teki kata-kata yang dibacanya
dari buku bersampul coklat itu. Eksperimen biologi
mendata nama-nama ilmiah tumbuhan yang hidup di
sekitar lingkungan sekolahnya juga tidak
membangkitkan antusiasme di dalam benaknya. Banyak
kata-kata dalam bahasa latin yang sedikit menarik
perhatiannya. Namun karena kata-kata yang ditulis di
sebuah kertas yang dipasang di setiap tumbuhan yang
77
GHOFIRUDDIN

hidup di sekolah itu telah ditunjukkan sekaligus nama


lokalnya, minatnya menjadi berkurang. Rahasia di dalam
kata-kata itu menjadi hilang hingga kekuatan mantra
puitisnya tinggal menjadi sebuah pengetahuan yang
kering, bukan sebuah pemahaman yang saling menyatu.
Dia serahkan tugas mendata nama tumbuhan itu
kepada teman-temannya satu kelompok. Dia sendiri
memilih mencari tempat paling sepi di sekolah itu yaitu
di pojok ruangan perpustakaan yang berisi buku-buku
sastra, sejarah dan filsafat sumbangan dari seorang
alumni yang juga merupakan seorang penyair yang
namanya tidak begitu dikenal di negara sendiri namun
memiliki reputasi yang baik di negara orang. Sicilia pun
tertegun. Baru sekarang ini, dia mampu menghargai
keberadaan buku-buku yang ada di perpustakaan ini.
Sebelumnya dia hanya kemari bersama teman-temannya
hanya untuk mencari referensi sebagai suplemen untuk
menyelesaikan tugas mata pelajaran tertentu. Setelah
selesai dan buku telah dikembalikan ke rak tempatnya
semula tidak pernah muncul sebuah perasaan rindu
untuk menjumpai untaian kata-kata di dalam sebuah

78
DIALOG SECANGKIR KOPI

buku untuk membangkitkan sebuah perasaan cinta yang


sesungguhnya.
Sicilia pun mengambil tempat duduk dekat
dengan jendela. Dibukanya jendela di sampingnya
supaya udara luar mampu mengganti kepengapan di
pojok ruangan itu. Dia buka dan baca kembali catatan
bernomor 14 yang subuh tadi sempat membuka harinya.
Dia kembali mendalami kata palung yang pada larik
berikutnya dijelaskan sebagai relung yang tenggelam dan
tercenung.
“Rima yang indah,” pikiran polosnya tersenyum
membaca persamaan bunyi /ng/ itu.
“palung-relung,” gumamnya lirih. “tenggelam
dan tercenung”.
Dia tenggelam dan tercenung cukup lama pada
kata-kata yang baru saja dia gumamkan itu dan dia
mulai mendapati ide-ide berkelebatan di dalam
pikirannya. Palung-relung. Palung di lautan, dan relung
adalah di dalam perasaan atau hati seperti yang sering
terdengar di lirik-lirik lagu asmara; relung hati yang
terdalam. Jadi hati seorang manusia itu diibaratkan
seperti lautan atau samudera yang mahaluas, yang setiap
79
GHOFIRUDDIN

ujung-ujungnya tidak terperi. Dan itu adalah yang


berada di permukaan, yang masih mendapatkan sinar
dari langit. Bagaimana dengan yang terdalam. Bagaimana
dengan relung yang berpalung? Apakah di sana ada
batas-batas yang mampu dijangkau oleh pikiran-pikiran
yang selalu mencoba mewaras-waraskan diri.
Sicilia menyipitkan mata kanannya. Dia merasa
ada yang aneh dari kata-kata yang baru saja muncul di
dalam pikirannya. Ini adalah pertama kali dia mampu
mengidentifikasi kata-kata yang menarik di dalam
pikirannya untuk dipikirkan ulang dengan sebuah proses
daur ulang yang semakin menajamkan pemahamannya.
Dia tutup sejenak catatan nomor 14 itu dan mengendusi
bau berdebu yang menguar dari sampul buku berwarna
coklat itu. Dia bahagia mendapati sebuah misteri. Misteri
yang konon semakin terpecahkan sebuah bagian darinya,
semakin muncul lagi pertanyaan-pertanyaan yang
menggiring kepada sebuah misteri-misteri baru yang
mengundang ketakjuban. Takjub, karena saat merasa
telah melampaui batas yang lama ternyata di depan sana
ada sebuah batas baru yang telah datang mengusik

80
DIALOG SECANGKIR KOPI

ketajaman akal pikiran. Namun, setelah itu ada apa di


luar batas itu.
Sicilia belum mencapai arah itu. Dia terperanjat
karena permenungannya terhadang oleh sentuhan yang
penuh kejut dari sebuah tangan yang menepuk bahunya
dari belakang.
“Tidak masuk ke kelas kamu?” sapa seorang pria
memakai seragam dinas berwarna coklat. “Sudah bel
lho?” kata pria yang juga merupakan petugas
perpustakaan itu sambil tersenyum.
Sicilia terperangah dan memandang ke jam
dinding di ruangan perpustakaan itu. Sudah jam masuk.
Dia tidak merasa keasyikannya membaca dan mencoba
memahami sebuah kedalaman makna puisi
melarutkannya ke dalam batas ketiadaan waktu. Ada
ketidaksadaran yang membimbingnya untuk menyadari
sebuah ketergilasan kesadaran. Dan saat dia menyadari
ketidaksadaran itu, tidak ada rasa panik dan tergesa-gesa
untuk segera melangkahkan kakinya menuju kelas. Dia
bangkit dari tempat duduknya dengan tenang,
mengucapkan terima kasih kepada petugas perpustakaan
itu, kemudian sambil berjalan menuju ruang kelasnya
81
GHOFIRUDDIN

yang terletak di pojok atas utara area sekolah itu, dia


menyempatkan membuka buku bersampul coklat itu
kembali dan muncul pertanyaan-pertanyaan yang
mencoba menyibak tabir dari kata-kata puitis di catatan
nomor 14.
Kenapa bunga mekar di dasar palung? Di
manakah dasar itu? Apakah ia dapat dikenali dengan
koordinat-koordinat angka seperti di dalam sebuah peta?
Dia pun juga bertanya-tanya tentang betapa tidak
logisnya kalimat itu. Bagaimana mungkin sebuah bunga
mekar di dasar palung? Kalau ada bunga apa itu? Namun
tidak ada yang salah dari semua itu. Dia kembali kepada
misteri yang merasukinya lewat kata-kata puisi itu, dan
keberadaan rasa misteri itu telah mampu memberikan
kenikmatan kepada pikiran jalangnya. Sebuah keindahan
yang terasa sia-sia, yang seolah tidak bermakna, yang
seolah bernuansa kebodohan dan pembodohan jika
hanya ditelaah bungkusnya memerlukan semacam
latihan kesabaran yang semestinya selalu diperbarui
untuk dapat menguak persamaan dalam perbedaan
ataupun untuk menyingkap perbedaan-perbedaan di
dalam suatu yang sama.
82
DIALOG SECANGKIR KOPI

Bersama dengan selesainya pemikiran baru yang


sempat menguasai pikirannya itu sampai pula Sicilia di
depan pintu ruang kelasnya. Dia mengetuk pintu dan
meminta izin masuk kepada seorang pria dewasa
berpakaian rapi atasan putih dan bawahan putih. Dia
tidak mengenal pria itu dan dia yakin dia bukan guru
Bahasa Indonesianya yang biasa. Dan meskipun dia
bertanya-tanya tentang siapakah pria itu, dia tidak
mencoba menanyakan identitas pria itu secara langsung.
Setelah dipersilakan, dia segera menuju tempat
duduknya di pojok belakang dekat jendela yang
menghadap ke arah jalan raya di utara. Dan setelah
menyimak beberapa saat perkataan-perkataan dari pria
muda yang berdiri di depan kelas itu yang ternyata
adalah seorang guru magang yang ditugaskan oleh
sebuah perguruan tinggi swasta lokal, Sicilia telah
merasakan kejemuan dengan basa-basi yang terlalu
banyak dipertontonkan. Dia sudah merasa rindu dengan
kata-kata puisi yang bahasanya tidak pernah terasa basi,
dan untuk itu tidak ada jalan lain selain kembali
membuka buku catatan bersampul coklat itu.
Masih di catatan nomor 14.
83
Sinar Rembulan

Di sebuah ruang kelas sebuah SMA Negeri,


duduklah di bangku paling pojok seorang pria berwajah
langsat. Hidungnya tidak mancung. Matanya sipit tajam
seperti mampu menusuk siapapun yang balik
memandangnya, terutama para gadis remaja. Alisnya
tebal dan bibirnya menawan. Rambutnya yang dimodel
jabrik menambah menarik penampilannya. Dia sedang
memandang keluar jendela kaca yang terletak di sebelah
kirinya. Padahal di sana hanya berdiri sebuah dinding
tembok sekolah yang sudah berlumut. Pandangannya
demikian jauhnya seolah ia mampu melihat apa yang ada
di balik tembok itu. Dia tengah begitu terhanyut hingga
seorang yang memanggil namanya keras-keras tiada
disahutnya. Sampai tiga kali namanya dipanggil baru ia
85
GHOFIRUDDIN

memberikan tanggapan setelah teman sebangkunya


menyikut lengan kirinya.
“Sasongko!”, panggil orang tadi untuk yang ketiga
kalinya.
“Saya pak”, sahutnya sambil mengangkat tangan
kanannya.
Ia menjawab panggilan tersebut dengan begitu
santai. Ia sangat tidak peduli padahal panggilan yang ia
terima barusan disertai dengan nada bentakan. Ia tidak
perlu merasa khawatir dengan apa yang sudah ia
lakukan. Ia tidak merasa bersalah walau mungkin sudah
membuat orang marah. Toh, ia hanya memandang keluar
jendela kelas. Ia sedang melamun dan tidak
memperhatikan jalannya pelajaran. Mungkin ia berpikir
saat itu masih pertemuan pertama. Seperti biasa,
pertemuan pertama hanyalah ajang perkenalan. Ajang
basa-basi semata.
“Sasongko, apa yang anda lihat di luar?
Bukankah hanya ada tembok berlumut di sana?”, cerca
orang tadi yang bernama pak Udin. Ia adalah guru
Bahasa Indonesia yang sedang mengajar di kelas itu.

86
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Ehm.. bukan apa-apa pak”, jawab Sasongko


masih dengan ketenangan yang sama.
Pak Udin hanya tersenyum mendengar jawaban
Sasongko. Dia tentu sudah maklum dengan apa yang
dilakukan Sasongko. Sebagai seorang guru, dia berusaha
untuk mengendalikan suasana. Ini sangat penting supaya
suasana kelas tidak membosankan.
“Oya, kalau boleh tahu, apa arti dari nama anda
tadi?”
“Sasongko berarti rembulan pak. Itu kata kakek
saya dulu”.
Pak Udin manggut-manggut dengan jawaban
Sasongko. Jadi Sasongko berarti rembulan. Itu pasti
berasal dari bahasa Sanskerta pikirnya. Nama yang
sangat indah dan mencerminkan orangnya. Rembulan
selalu bersinar di malam hari. Malam bisa sangat tenang
dan menenangkan. Persis seperti orang yang
menyandangnya. Namun, malam juga bisa kelam dan
menakutkan. Bahkan malam bisa sangat menyeramkan,
sekalipun saat itu rembulan sedang bersinar dengan
sepenuhnya.

87
GHOFIRUDDIN

Sebenarnya pak Udin masih ingin berlama-lama


dengan Sasongko ini. Tapi karena waktu yang terbatas,
dia harus segera beranjak ke nama berikutnya. Dari
daftar hadir yang ia baca, satu strip berikutnya adalah
Soenarto. Pak Udin begitu takjub tampaknya dengan dua
nama berturut-turut. Sasongko kemudian Soenarto.
Nama masing-masing hanya terdiri dari satu kata. Tidak
ada nama pendamping setelahnya. Orang tua mereka
tampak sangat hemat atau sangat pelit dalam
memberikan nama. Tidak seperti orang tua jaman
sekarang, yang kebanyakan begitu boros.
“Soenarto!”
Yang bersangkutan hanya mengangkat
tangannya dan menampakkan wajahnya yang
mengantuk. Soenarto ini plontos. Kulitnya sawo matang.
Namun raut mukanya menunjukkan sebuah kedalaman
jiwa yang kokoh tertempa.
Seperti sebelum-sebelumnya, pak Udin juga
menanyakan tentang arti dari nama Soenarto. Pak Udin
sebagai guru bahasa jelas sangat tertarik dengan makna
kata-kata, sekaligus sebagai satu cara untuk
mengendalikan suasana kelas supaya berjalan nyaman
88
DIALOG SECANGKIR KOPI

dan menyenangkan. Caranya tersebut tampak berhasil di


pertemuan pertama ini. Banyak siswa, walaupun
terkadang ngawur, mencoba menjawab pertanyaan
tentang makna dari namanya. Terkadang, pak Udin
melempar pertanyaan kepada siswa lain untuk
memberikan jawaban atau komentar dari nama-nama
tersebut. Beruntung, tidak ada siswa yang berusaha
menjadikan nama teman-temannya sebagai bahan
olokan.
“Saya tidak tahu pak”.
Selain tidak tahu, dia tampak tidak mau tahu.
Baginya apalah arti dari sebuah nama. Ia telah berkali-
kali menyaksikan tindak-tanduk orang yang begitu bejat,
sekalipun namanya demikian gemilang. Ia tidak peduli.
Yang penting baginya adalah sikap orang tersebut, bukan
namanya.
Kali ini tanpa diminta seorang siswi yang duduk
paling depan dekat meja guru mengacungkan tangannya.
Dia ingin sekali memberikan pendapatnya. Pak Udin pun
mempersilakannya.
“Soenarto berarti sinar atau cahaya, pak. Ini saya
baru buka internet lewat HP”.
89
GHOFIRUDDIN

Siswi tersebut menambahkan,”Jadi, jika Sasongko


adalah rembulannya, maka Soenarto adalah cahaya atau
sinarnya”.
Dua orang yang disebutkan itu saling pandang.
Sasongko dengan pandangan tajam bak mata elangnya
dan Soenarto yang balik memandang dengan ekspresi
orang malas. Sasongko memalingkan mukanya dan
dengan sinis ia mengejek Soenarto.
“Wajah buram gitu, apanya yang cahaya?
Peceren lebih tepatnya”.
Seisi kelas pun mendadak riuh. Ada yang tertawa
menyukai olok-olok dari Sasongko. Ada yang balik
memaki Sasongko untuk membela Soenarto. Tapi
Soenarto sendiri tetap diam. Ia masih menunjukkan muka
tidak antusiasnya. Walaupun sempat sedikit tersinggung,
ia menahan diri. Dia yakin, seiring dengan berjalannya
waktu, mereka yang menertawakannya akan mengenal
siapa sebenarnya dia, terutama Sasongko. Ia malah
tersenyum, tipis sekali.
Pak Udin mencoba menenangkan keadaan. Ia
menjadi agak kewalahan karena siswa-siswinya riuh
dalam olok-olokan. Ia khawatir jika situasi tambah
90
DIALOG SECANGKIR KOPI

memanas dan tidak bisa dikendalikan. Pak Udin agak


menaikkan suaranya setengah berteriak. Tidak terlampau
keras sebenarnya tapi mampu menciutkan nyali anak
didiknya. Pak Udin juga terbantu dengan diamnya
Soenarto. Jika Soenarto balik membalas Sasongko bisa
dipastikan suasana akan tambah kacau. Mungkin juga
suasana kelas sesudahnya juga tidak bisa akur karena
sedari awal sudah tercipta bibit permusuhan. Pak Udin
tentu tidak ingin itu terjadi. Apalah gunanya
bermusuhan, jika menjadi kawan lebih menyenangkan.
Sangat disayangkan memang. Begitu banyak pemuda
sekarang yang berkelompok untuk memusuhi kelompok
pemuda yang lain.
Pertemuan pertama itu akhirnya berakhir. Siswa-
siswa akan bersiap untuk menyambut matapelajaran
berikutnya. Mereka mengisi waktu jeda itu dengan
mengobrol dengan kawan-kawannya, mencoba
mengenal lebih dekat. Maka terciptalah keadaan yang
begitu ramai seperti layaknya di pasar. Sasongko
berbincang-bincang dengan kawan di sebelahnya dan
sesekali mencoba menggoda siswi yang duduk di
depannya. Soenarto sendiri masih mempertahankan diri
91
GHOFIRUDDIN

dengan malasnya. Dia mencoba memejamkan mata


dengan menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya
yang tertangkup di meja. Soenarto sangat tidak peduli
dengan keriuhan di sekitarnya. Biasanya dia tidak seperti
itu. Tapi hari ini lain. Tubuhnya terlalu lelah karena
semalam ia tidak bisa tidur. Latihan malam membuat ia
babak belur. Tidak hanya tubuh bagian luar namun juga
bagian dalamnya. Karena itulah ia ingin memulihkan diri
sejenak.
Dan memang sangat sejenak karena guru
matapelajaran berikutnya keburu hadir. Dia baru
memiliki waktu yang cukup ketika jam istirahat. Dia
menuju musholla sekolah dan tidur di sana. Dia tidur
begitu nyenyak hingga bel tanda masuk tidak
didengarnya. Teman-teman sekelasnya pun tidak ada
yang mencarinya ketika pelajaran telah dimulai kembali.
Sasongko tampak lingak-linguk. Dia heran kenapa
Soenarto tidak ketahuan rimbanya. Baginya Soenarto itu
misterius nan aneh.
“Ada yang tidak masuk hari ini?”, tanya guru di
depan kelas berbasa-basi setelah mengucapkan salam.
“Ada bu, Soenarto”, jawab seorang siswa.
92
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Ke mana dia?”


“Bolos bu, mungkin dia. Wajahnya itu suram
kalau sedang pelajaran. Ndak krasanan orangnya”, kata
seorang yang lain.
“Alah, paling kok yo turu. Nanti pasti kembali.
Lha itu lho tasnya masih di bangku”, sahut Sasongko
yakin.
“Dia mungkin sedang sakit bu. Dia tadi terlihat
lemas gitu”, komentar siswi yang tadi berkomentar
tentang arti nama dari Sasongko dan Soenarto.
Akhirnya Soenarto pun ditinggalkan. Di dalam
mushola yang udaranya begitu sejuk, dia begitu terlelap.
Tidurnya seperti mati. Tanpa suara dan tanpa gerakan
sedikitpun. Dia berbaring telentang sambil
menyedekapkan kedua tangannya di dada. Kaki
kanannya ditumpangkan di atas kaki kiri. Kepalanya
berada di utara, mirip seperti mayat yang hendak
disholatkan. Dia begitu menikmati tidurnya.
Dia baru terbangun saat pelajaran jam terakhir.
Dia membasuh mukanya di pancuran musholla,
memakai sepatu hitamnya, kemudian dengan langkah

93
GHOFIRUDDIN

santai menuju ruang kelasnya. Di bibir pintu, ia


mengetuk perlahan. Seisi kelas menoleh terpana.
“Boleh masuk pak?”
“Oh, silahkan, santai saja. Ngomong-ngomong
dari mana, kok baru masuk?”
“Dari musholla pak. Maaf, saya tadi ketiduran di
sana”.
Soenarto pun segera menuju ke tempat duduknya
yang berada di deret tengah, bangku nomor tiga dari
depan. Setiap kelas di sekolah itu, bangkunya diatur
sedemikian rupa. Empat bangku berderet dan setiap deret
terdiri dari lima bangku ke belakang. Tempat duduk
Soenarto adalah deret tengah atau deret kedua yang lebih
dekat dengan pintu masuk kelas. Meja guru sendiri
berada di seberang jauh dari pintu.
Pelajaran di kelas itu berjalan lancar, walaupun
sempat disela oleh kedatangan Soenarto. Guru yang
mengajar, pak Sulaiman, tidak ingin mempermasalahkan
keterlambatan Soenarto. Dia begitu bijak kendati di satu
sisi tidak menunjukkan ketegasan. Dia ingin pelajarannya
berjalan efektif dan efisien. Dengan mempersilakan
Soenarto untuk segera duduk, materi pelajaran yang
94
DIALOG SECANGKIR KOPI

telah dirancang sebelumnya bisa tuntas. Waktu pun juga


tidak banyak yang terbuang percuma.
Akhirnya bel berbunyi. Pelajaran untuk hari ini
pun usai. Siswa-siswa dari tiap-tiap kelas berhamburan
keluar. Mereka merasa penat telah lepas. Mereka akan
kembali kepada kehidupannya masing-masing di luar
sekolah.
Sasongko tampak berjalan gontai bersama
dengan banyak siswa lain menuju gerbang sekolah. Dia
hendak nongkrong di jembatan depan gerbang sekolah.
Dari sana, ia akan mencari tumpangan kepada siswa lain
yang searah dengannya. Namun, belum sampai ia keluar
gerbang. Seseorang menghentikan motor tepat di
hadapannya. Sasongko pun waspada.
“Nebeng aku piye?”, kata orang itu, yang ternyata
adalah Soenarto, teman sekelasnya sendiri menawarkan
boncengan.
Tapi Sasongko tidak segera menjawab. Ia
kelihatan curiga. Ia berpikir, jangan-jangan Soenarto
hendak membuat perhitungan atas olok-olokannya tadi.
Keramahan yang ditunjukkan Soenarto padanya,
mungkin hanya sebuah jebakan.
95
GHOFIRUDDIN

“Gimana Sas?”
Soenarto tersenyum,”Apa yang kamu pikirkan
Sas? Apa engkau mengira aku ini akan membuat
perhitungan atas olok-olokanmu tadi? Seandainya aku
ingin membuat perhitungan denganmu, apa kau akan
lari menghindar?”
Sasongko terbakar juga hatinya mendengarkan
penuturan Soenarto. Tanpa basa-basi ia segera meloncat
ke jok belakang motor Soenarto. Ia sudah tidak peduli
dengan apa yang akan terjadi. Baginya pantang untuk
lari. Dia telah memulainya dan dia juga akan segera
mengakhirinya walaupun kemungkinan tubuhnya akan
memar babak belur. Sasongko telah sangat siap jika
Soenarto menghendaki sebuah duel satu lawan satu.
Sasongko pun tidak akan menghindar, jika Soenarto
membawanya ke suatu tempat untuk dihajar secara
beramai-ramai. Namun, jauh di dalam hatinya juga
terbersit rasa takut yang berulang kali selalu ditepisnya.
Dia takut kemungkinan terburuk. Mati.
“Rumahmu mana Sas?”
Sasongko menunjukkan arah rumahnya yang
kebetulan searah dengan Soenarto. Hanya saja Soenarto
96
DIALOG SECANGKIR KOPI

harus memutar sedikit lebih jauh. Soenarto akhirnya


benar-benar mengantarkan Sasongko tepat di depan
sebuah rumah yang berbentuk joglo. Rumah itu memiliki
pelataran yang cukup luas. Ada dua pohon mangga yang
besar-besar karena sudah demikian tuanya. Pelataran itu
tanahnya tidak dipaving atau disemen seperti
kebanyakan pelataran rumah masa kini. Debu-debu
beterbangan dengan begitu liarnya tatkala angin
berhembus kencang. Sehabis hujan, pelataran itu akan
tampak begitu becek, tergenang air di beberapa bagian
yang agak cekung. Tanah pun menjadi licin sehingga
orang yang melintas harus berjalan hati-hati.
“Peh, terima kasih Nar. Maaf, aku berpikiran
yang tidak-tidak tentangmu”, kata Sasongko melepaskan
kelegaannya.
“Gak usah dipikirkan Sas. Oyo, jangan panggil
aku Nar. Nar itu kan berarti neraka. Panggil aku Sunar
atau cukup Son saja. Lebih sederhana”.
Sasongko tampak tertegun setelah mendengarkan
penjelasan Soenarto. Terbersit kekaguman di dalam diri
Sasongko terhadap Soenarto. Pikirnya tentu Soenarto
bukan orang sembarangan. Setidaknya dia memiliki
97
GHOFIRUDDIN

kedalaman jiwa dan ketenangan pikiran yang luar biasa.


Sekilas pandang, orang akan menganggap Soenarto
begitu lemah karena tubuhnya yang kurus. Tapi begitu
orang mengenal kepribadiannya, mereka akan terpukau
dan akan mengakui sebuah kekuatan mental dan pikiran
yang luar biasa. Dan itu membuat Soenarto begitu
disegani oleh kawan-kawannya. Hal inilah yang
sekarang terjadi pada Sasongko. Dia seperti tersihir
pikirannya. Tapi, dasar manusia, dia juga mudah curiga
kembali. Sasongko berpikir, mungkin dan sekali lagi
mungkin, kebaikan yang ditampakkan Soenarto hanyalah
jebakan. Pikirnya, Soenarto akan menjeratnya habis-
habisan setelah menunjukkan kebaikan yang berlipat-
lipat. Dia baru mengenal Soenarto dan ia memutuskan
untuk tetap waspada terhadap teman barunya itu.
Sasongko memang memiliki hati yang keras dan tidak
mudah percaya dan terbuai dengan kebaikan-kebaikan.
Mungkin saja kebaikan itu melenakan. Pengalaman
hidupnya telah membentuk sikapnya menjadi sedemikian
rupa.

98
Godaan Cinta

“Ya Tuhan, aku sungguh ingin menikahinya”,


bisik hatiku tatkala wajah itu berkelebat di dalam
pikiranku.
“Wah, wah, lagi kasmaran ini tampaknya”, timpal
sebuah suara yang berasal dari satu sisi di dalam
benakku. “Sampai ingin menikah segala. Ingat, engkau itu
tidak punya apa-apa. Kau itu tidak punya harta, tahta,
bahkan kau tidak punya rupa. Cobalah berkaca”.
Suara itu benar-benar menjatuhkan harapanku
hingga ke dasar lubang yang sedalam-dalamnya. Aku
pandangi rupa dan perawakanku pada kaca jendela yang
tidak jauh dari jangkauan tangan dekilku. Tersajilah di
sana wajah brewok menyeramkan ditemani rambut

99
GHOFIRUDDIN

gondrong yang elegan. Tapi, seelegan apapun itu justru


menambah rupaku semakin mengerikan. Apalagi, wajah
itu dihiasi bayangan hitam dan cekungan di bawah
kelopak mata yang membuat sorot pandangnya menjadi
dingin dan menakutkan. Seolah-olah seperti mayat yang
sudah tidak memiliki gairah akan kehidupan. Benar-
benar memupuskan harapan. Namun, suara itu memang
mendentangkan kebenaran yang tidak bisa disangkal.
“Sebenarnya kau itu tampan kawan”, imbuh
suara itu kemudian seolah-olah meralat cemoohannya
tadi. “Buatlah dirimu lebih rapi. Rambut itu potonglah
dengan gaya masa kini. Jenggot, jambang, dan brewokmu
itu kau usir saja pergi. Aku jamin wanita-wanita yang
kau cari dan kau idam-idamkan tidak akan pernah lari
lagi. Mereka akan terpesona dan secara serta merta
berbondong-bondong menghampirimu, merayumu
untuk mendapatkan cintamu. Aku jamin”.
Suara itu lagi-lagi mengungkapkan kebenaran,
menyatakan fakta yang bisa dibuktikan. Sebuah
kenyataan, memang, jika para wanita enggan. Semuanya
telah terbius dengan wajah-wajah rupawan yang sering
nampang di layar kaca. Wajah mulus, halus, tanpa
100
DIALOG SECANGKIR KOPI

sehelai bulu halus pun mengotorinya. Wajah-wajah


cerah yang dipoles sedemikian luar biasanya oleh
tangan-tangan handal yang begitu terampil. Wajah-
wajah manis yang selalu mendapatkan perawatan
maksimal setiap harinya. Ya, perawatan yang
membutuhkan pengeluaran biaya uang hingga berjuta-
juta. Dan, uang itu, aku tidak punya. Aku ini miskin tidak
berharta. Sungguh kecil hatiku memikirkannya. Suara itu
benar-benar menampakkan realita yang ada.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”, tanyaku
yang mulai terpengaruh dengan realita yang disuarakan
oleh si suara. “Aku ini sungguh-sungguh mencintainya.
Aku tidak tenang tanpa mendengar suaranya. Aku
merana tanpa memandang indah paras cantiknya. Aku
ingin memilikinya”, tambahku dengan sangat menggebu-
gebu, walaupun tidak akan pernah terdengar oleh
makhluk hidup manapun.
“Ah, tenang saja kawan. Dengarlah petuahku ini.
Camkan dalam hatimu baik-baik. Kemudian
laksanakanlah tanpa ragu!”, suara itu mulai memberikan
wajangan dengan semangat membara seolah-olah aku
telah berada di dalam genggaman tangannya.
101
GHOFIRUDDIN

“Pertama, perbaikilah dulu penampilanmu itu. Ini


adalah kunci kesuksesanmu. Kau harus tahu itu. Masalah
biaya, masalah uang, kau tidak perlu gusar seperti itu.
Tidak perlu kau mencontoh orang-orang terkenal itu.
Cukuplah kau datang ke salon-salon atau tukang cukur
rambut pinggir jalan yang cukup dengan harga limaribu
itu. Mereka akan melayanimu, memenuhi permintaanmu.
Mereka luar bisa, menurutku. Tentang perawatan
wajahmu, kau singkirkan dulu kebiasaan membeli buku.
Itu sangat menguras waktu dan uang belanjamu. Tentu,
ini semua terserah padamu. Hanya saja, mana yang lebih
kau pilih? Kau ingin wanita itu menjadi milikmu atau
hobi membeli buku itu menghancurkan harapanmu
untuk beroleh cinta dan kekasih hati. Maaf, kawanku,
hobimu itu sangat tidak bermutu. Kau jadi tidak punya
dana untuk bersenang-senang mengisi waktu”.
Sampai di situ, pidato tadi telah benar-benar
merasuk ke dalam sanubariku. Orasi tadi sungguh telah
meneguhkanku untuk mencapai tujuanku. Aku sungguh
telah terpengaruh. Kini, aku benar-benar bernafsu
karena jalan itu telah terbuka lebar untuk aku tuju.

102
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Tenanglah dulu, kawanku. Masih ada lagi”, kata


suara itu melanjutkan nasihatnya. “Itu tadi adalah solusi
yang murah. Jika kau menginginkan yang mahal dengan
kualitas ‘wah’, kau harus berani. Ini semua untuk
mencapai tujuan dan harapanmu itu. Jadi, jangan ragu-
ragu”.
“Harus berani? Apa maksudmu?” tanyaku
terheran-heran dengan nasihat itu.
“Aih, tampaknya aku harus menerangkan
padamu”, jawabnya mendesah, kemudian terdengar
tarikan dan hembusan nafas panjang seperti orang yang
tengah mengumpulkan kekuatan. Tampaknya, penjelasan
kali ini berisi muatan yang berat untuk dicerna. Dahiku
pun mengkerut, daun telingaku terbuka lebar bersiap
mendengar dan memahami semua yang akan
didengungkannya.
“Begini kawanku. Kau harus berani dan harus
jauh lebih berani. Seperti ini, kau itu tidak perlu sungkan
untuk meminta uang tambahan selain jatahmu dalam
sebulan. Aku yakin bapakmu pasti memberi. Kau hanya
perlu meminta. Jika bapakmu bertanya untuk apa,
cukuplah kau menjawab untuk kepentingan kuliah. Beres
103
GHOFIRUDDIN

perkara sudah. Aku yakin, kawan, seandainya kau


meminta uang untuk dandan, bapakmu pasti akan
memberi. Aku yakin itu”.
Semakin teranglah dalam jiwaku maksud kata
‘berani’ tadi. Semakin hilang pula keraguan yang sempat
melanda. Aku juga berpendapat yang sama. Bapakku itu
orang yang baik. Dan dia memang selalu baik. Ia pasti
memenuhi semua permintaanku, seberat apapun itu.
Tapi, permintaanku tidaklah berat. Lagipula ia
orangtuaku. Sudah sepantasnyalah begitu.
“Oya, satu lagi, kawan. Kau kan telah dipercaya
untuk membawa uang teman-temanmu. Kau bawa itu
uang kas kelasmu. Uang klub futsal kampungmu juga
dipercayakan kepadamu. Sedikit kecurangan, kurasa,
tidak akan mempengaruhi atau mengurangi reputasimu.
Kau, bolehlah, mengambil sedikit dari uang-uang itu
untuk keperluan dandanmu. Sekali lagi, kau itu tampan,
kawan. Kau hanya butuh sedikit polesan. Dan, semuanya
itu butuh uang. Anggap saja uang yang kau ambil itu gaji
atas kerja kerasmu. Beres sudah…”.
Aku terus menyimak petuah-petuah itu. aku
semakin terpana. Setiap kata begitu meresap ke dalam
104
DIALOG SECANGKIR KOPI

jiwa yang tengah dilanda cinta. Aku yakin akan


kebenarannya. Itu adalah langkah awal untuk
menundukkan dia, wanita yang aku puja. Langkah
pertama yang sempurna. Namun tiba-tiba
“Berhenti. Jangan kau dengarkan dia anakku”
terdengar sebuah suara yang lain dari sisi yang
berlawanan. Suara itu menggema dan menggetarkan
jiwa. Suara itu terdengar sangat bijaksana.
“Aku yakin engkau sendiri telah mengetahui dan
bahkan memahami serta meyakini bahwa itu semua
adalah kebusukan. Janganlah kau turuti dia anakku. Kau
telah tahu itu adalah dosa. Kau akan dihadapkan kepada
bencana bila kau sampai terjerumus ke dalamnya.
Bencana sedahsyat-dahsyatnya”.
“Alah omong kosong apa lagi ini”, ejek si suara
pertama yang begitu gerah tiba-tiba ketika mendengar
ceramah yang tidak disangka-sangka. “Lakukan saja apa
yang sudah aku katakan, kawan. Jangan kau bimbang
seperti itu. Tenang saja, masalah dosa kau tidak akan
sendiri. Kau memiliki banyak teman. Tentu, kau telah
mengetahui juga bahwa Tuhan itu maha pengampun.
Dia pasti akan mengampunimu, apalagi ini hanyalah
105
GHOFIRUDDIN

dosa kecil. Tidak perlu terlalu kau risaukan. Ingat, ini


semua demi tujuanmu, kawan. Di dunia ini, kita juga
butuh kesenangan, kawan.”
“Ingatlah anakku bahwa dosa-dosa kecil itu jika
biasa dilakukan akan mengeraskan hatimu. Semakin
keras hatimu akan semakin tertarik pula ia pada hal-hal
baru yang lebih menantang, yaitu dosa-dosa besar itu.
Wahai anakku, dengarlah suara hati nuranimu yang
telah kau pupuk semenjak dulu. Dialah yang akan
menuntunmu kepada kebenaran. Anakku, akankah kau
mengambil yang bukan hakmu. Akankah kau berpaling
dari hati nuranimu hanya karena cinta kepada seorang
wanita. Sungguh tidak mulia. Itu semua adalah nafsu
belaka”, kata suara kedua mengingatkan kealpaanku.
“Kau akan terhina, anakku. Sungguh-sungguh
terhina”, tambah suara kedua.
Kedua suara itu mulai berdebat dengan sengit.
Mereka saling berusaha berebut pengaruh pada diriku di
dalam kehidupanku. Mereka berdua tidak sendiri, satu
lawan satu. Mereka berdua membawa banyak sekali
sekutu. Genderang seperti ditabuh bertalu di dalam
pikiranku. Perang dunia akan terjadi di otakku, berebut
106
DIALOG SECANGKIR KOPI

pengaruh untuk sebuah pemikiran yang baru atau yang


dulu. Pusing terasa berdenyut-denyut di kepalaku.
Bukkk

“Aduh, sialan”, umpatku.


“Ngelamun apa kau? Dipanggil dari tadi tak ada
jawaban”, ujar seorang pria tinggi besar dengan berkilo-
kilo lemak di perut, tangan, paha, betis, pipi, dan sekujur
tubuhnya. Dia adalah temanku. Ibu jari tangannya
sebesar jempol kakiku, hanya saja lebih panjang. Jari-jari
itulah yang tadi memukul bahuku dan menyisakan sakit
pada ototku.
“Cinta”, jawabku sambil menoleh ke arahnya.
Kemudian,”Cinta kepada seorang wanita yang diserbu
oleh berjuta-juta pria. Dan aku adalah yang paling hina”.
“Kumat! Sok puitisnya kambuh lagi. Hadeh”,
komentar temanku itu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan dua orang teman wanita yang duduk di
bangku tepat di depanku menoleh dan tersenyum begitu
mendengar syairku. Mereka kagum atau terheran-heran,
atau menganggapku agak stress, aku tidak tahu. Dan,
tentu saja itu bukan urusanku.
107
GHOFIRUDDIN

Menit-menit pun berlalu. Orang-orang di dalam


ruangan ini sibuk berbicara apapun yang mereka mau.
Begitu juga dengan aku dan temanku. Kami melakukan
itu sekedar untuk mengisi waktu karena bosan
menunggu. Ya, kami memang sedang menunggu.
Menunggu seseorang yang tidak pernah tepat waktu.
Tapi, kami harus tetap menunggu karena orang itu akan
menyampaikan ilmu. Namun, sebenarnya kami hanya
ingin mengisi kolom-kolom tanda tangan di sebuah
buku. Ilmu biasanya hanya berlalu.
“Selamat sore, saudara-saudara”. Akhirnya orang
itu datang juga. Seorang wanita berumur kira-kira
limapuluh tahunan. Dia berkulit kuning langsat dengan
tinggi kurang lebih 160 sentimeter. Dia berkacamata dan
memakai jilbab warna hitam. Penampilannya itu begitu
serasi dengan seragam batik bercorak warna kuning dan
hitam yang dikenakannya. Perpaduan itu kian harmonis
karena ia juga memakai celana warna hitam.
“Assalaamu’alaikum warahmatullahi wa
barakatuh”. Wanita itu melontarkan salam dan kami pun
serentak menjawabnya.

108
DIALOG SECANGKIR KOPI

perkuliahan pun dimulai. Sebuah kegiatan yang


sangat membosankan. Cara penyampaiannya itu-itu saja.
Sangat tidak menyenangkan bagiku. Kami pun hanya
mendengarkan, mendengarkan, dan mendengarkan.
Seperti biasa, kami jarang mendapatkan giliran hingga
kami mengantuk karena semangat perlahan-lahan
menghilang. Seperti inilah perkuliahan yang biasa kami
dapatkan. Namun, karena hari ini hari senin, rasa bosan
ini bisa sedikit aku tahan. Ada sebuah pelampiasan yang
begitu menawan. Ya, wanita yang mengisi lamunanku itu
kini duduk di sana, di ruangan yang sama dengan aku
berada. Dan dia masih dalam jangkauan pandangan
mata. Sungguh mempesona. Pandanganku mataku
sempat beradu dengan tatapannya. Dia sungguh cantik
jelita. Namun, aku malah bertambah merana, kacau
karena cinta.

109
Pragmatik

Cahaya biru yang keluar dari LCD yang


tergantung di langit-langit menyorot ke arah dinding
yang tidak berkedip. Di dinding, cahaya itu
memproyeksikan sebentuk persegi dengan tulisan kecil di
pojok kiri bawah. Tulisan itu mengatakan: Untuk
Bantuan di baris pertama, Tekan di baris kedua,
kemudian diikuti dengan simbol X yang terperangkap di
dalam sebuah lingkaran hitam dengan tepi berwarna
hijau. Tidak jauh dari cahaya biru itu, berdirilah seorang
lelaki paruh baya dengan tinggi tidak lebih dari 160 cm
menghadap ke arah kursi-kursi yang sebagian telah terisi
oleh orang-orang yang juga menghadap balik dan
memperhatikannya. Namun sebagian besar kursi-kursi
111
GHOFIRUDDIN

itu kosong, hanya memangku beban berupa udara yang


sebentar diam dan sebentar kemudian bergerak.
Lelaki yang berdiri itu berambut pendek dengan
tatanan yang begitu rapi, disisir ke arah kanan yang
mungkin menurutnya adalah arah yang menunjukkan
kebaikan. Tampak di beberapa bagian, rambutnya itu
telah ada yang memutih, meskipun warna hitam masih
begitu dominan, masih menunjukkan semangat manusia
dewasa yang selalu taat kepada peraturan. Dia
tersenyum, menarik kedua ujung bibirnya melebar yang
di atasnya tersembul kumis tipis yang sudah mulai
beruban. Dia kemudian mengucapkan salam:
“Assalaamu’alaikum warohmatullohi wa-
barokatuh.”
Salam itu dijawab serempak oleh orang-orang
yang duduk di kursi. Sebagian besar dari mereka adalah
para wanita berjilbab, memakai baju yang memenuhi
standar kerapian sekaligus tampak resmi. Apalagi,
mereka semua mengenakan rok panjang berwarna hitam
yang terbuat dari katun yang lembut. Rok panjang itu
begitu ketat menghimpit kedua paha dan betis yang tidak
menyisakan ruang gerak dan tidak memberikan
112
DIALOG SECANGKIR KOPI

keleluasaan untuk bernafas bagi pori-pori kulit. Mereka


semua tampak anggun. Terlebih, mereka memakai sepatu
berhak, walaupun tidak terlalu tinggi, sehingga ketika
berdiri dan berjalan, dada mereka membusung, langkah
mereka tegap dan tampak begitu menawan. Hanya ada
dua orang lelaki di dalam ruangan itu selain dia, orang
yang memulai salam tadi. Mereka duduk di kursi paling
belakang, mencoba bersembunyi di balik punggung-
punggung para wanita dan menghindari arah pandang
dari depan yang memang tidak diinginkan. Mereka
berdua justru asyik berbicara sendiri satu sama lain pada
saat pembahasan sudah dimulai.
Di depan, cahaya di dinding yang tadi berwarna
biru berubah. Tampak sebuah kata dengan bentuk kapital
penuh dengan warna putih yang jelas sangat kontras
dengan warna hitam yang melatarinya. Kata itu:

PRAGMATIK

Apa itu sebenarnya pragmatik. Apa pentingnya


dengan pragmatik. Pertanyaan-pertanyaan itu
sekonyong-konyong muncul di benak beberapa orang
113
GHOFIRUDDIN

yang duduk di kursi. Meskipun jelas, sebagian besar


mereka tidak peduli. Lelaki yang berdiri di depan yang
seharusnya bertanggungjawab untuk menjelaskan kata
itu, justru sibuk untuk menyampaikan cerita-cerita masa
lalunya yang begitu sulit dicarikan benang merahnya
dengan kata yang tersaji di dinding itu. Dia bercerita
tentang masa mudanya dulu, masa di mana dia masih
menempuh pendidikan sarjana di salah satu perguruan
tinggi negeri di propinsi ini. Dia menceritakan saat dia
harus berangkat kuliah pagi-pagi sekali sehingga tidak
sempat sarapan. Dia mengatakan meskipun dia akan
begitu tersiksa, karena perkuliahan berikutnya akan
berlangsung secara estafet hingga tengah hari sehingga
dia tidak akan memiliki waktu luang untuk mengisi atau
sekedar mengganjal perutnya, dia bertekad untuk tidak
meninggalkan satu pun perkuliahan hari itu. Jelas, lelaki
itu berusaha memberikan contoh atau teladan bagi para
penonton yang duduk di kursi. Mereka semua duduk
diam dengan tenang mendengarkan kata per kata dari
lelaki yang berdiri di depan. Namun, sorot mata mereka
memperlihatkan sorot mata yang ingin terpejam. Terlebih
dua orang lelaki yang ada di belakang. Seorang dari
114
DIALOG SECANGKIR KOPI

mereka yang berkulit sawo matang dan berambut cepak,


terus memaksa mengarahkan pandangnya ke lelaki yang
ada di depan sembari menyandarkan kepalanya di
dinding. Dia sesekali menghela nafasnya dalam-dalam,
entah itu untuk menghirup kesegaran udara dari arah
bukit yang masuk melalui jendela ataukah merasakan
kejenuhan yang semakin menjadi-jadi. Seorang lagi, juga
duduk dengan begitu tenang. Namun, sesekali dia
menguap, tanpa menutup mulutnya yang mengeluarkan
bau dan bunyi huahh yang terdengar di seluruh ruangan.
Matanya yang sembap dan berkaca-kaca itu bahkan
meneteskan air mata, meskipun dia tidaklah menangis.
Perhatian mereka sedikit teralihkan setelah pintu
ruangan dibuka dari luar. Seorang lelaki gondrong
berwajah brewok muncul dari balik pintu itu. Dia
langsung memasuki ruangan dan mencari tempat duduk
setelah melakukan kontak mata dan melemparkan
senyuman kepada lelaki yang menjadi pusat perhatian
orang-orang. Meskipun, kontak mata dan senyum itu
hanya disambut dengan diam, lelaki gondrong itu tidak
peduli. Dia telah mengambil tempat duduk di samping
lelaki yang gemar menguap.
115
GHOFIRUDDIN

“Ngantuk kang?” kata lelaki gondrong setengah


berbisik.
“Peh, iya kang. Badanku seperti remuk ini.
Semalam mengerjakan tugas. Belum lagi buat RPP,
paginya mengajar sampai siang. Dan sekarang, di sini ini
kang.”
“Lha di sini kan ada obatnya kang,” tambah si
lelaki gondrong sambil melirik ke arah depan, ke arah
lelaki yang menjadi pusat perhatian.
“Obat apanya. Malah semakin membuatku
pusing kang.”
“Untung saja, ndak sampai munek-munek,”
timpal lelaki gondrong. “Kalau sampai, mesti kok
muntahkan di sini.”
“Yo tenan!” tegas lelaki penguap.

*
Aku dan juga seluruh mahasiswa penghuni
ruangan ini tidak pernah terbebas dari kejenuhan dan
rasa kantuk setiap kali pak Berta Yuwana, dosen
matakuliah Pragmatik mengisi kelas. Entah kenapa dia
suka bercerita, bercerita lalu bercerita. Dia tidak pernah
116
DIALOG SECANGKIR KOPI

sadar kalau suaranya itu terlalu lembut, tidak ada


tekanan, dan juga tidak ada intonasi. Dia tidak pernah
tahu nadanya itu terlalu datar. Bahkan dia tidak mampu
melafalkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas. Dia
tidak paham kalau dia itu tidak cocok menjadi pembawa
cerita. Dia tidak pernah belajar dari kemampuan seorang
dalang dalam menceritakan lakon-lakon dalam dunia
pewayangan yang sering dia tonton yang sanggup
menyajikan bermacam-macam karakter dalam satu
malam.
Dia juga mudah kehabisan bahan untuk
disampaikan kepada mahasiswa. Jika sudah seperti itu,
dia akan diam sejenak sebelum melangkah keluar
ruangan tanpa memberikan semacam tugas untuk
dikerjakan, seperti yang sedang terjadi saat ini. Aku tidak
tahu apa yang dia kerjakan di luar sana. Mungkin dia
juga mengamati kejenuhan yang terpancar dari wajah-
wajah mahasiswa yang lelah, wajah-wajah yang tidak
memancarkan gairah sehingga dia merasa kasihan dan
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
mengekspresikan kebebasan, lepas sejenak dari belenggu
yang terpasang karena kehadirannya. Atau mungkin dia
117
GHOFIRUDDIN

kasihan dengan dirinya sendiri. Ruang kelas yang


pengap, tenggorokan yang semakin mengering karena
terlalu banyaknya dia bercerita membuat dia
membutuhkan udara segar di luar untuk menyegarkan
pikirannya sendiri. Dia juga butuh minum untuk
membasahi tenggorokannya. Dan minuman itu, tersedia
banyak di kantin.
“Weh, di mana dosennya?” tanya si Rama,
seorang lelaki tambun yang baru masuk kelas. Dia diikuti
oleh tiga lelaki yang ramping-ramping.
“Nunggu kamu-kamu jenuh, ya ditinggal keluar,”
seloroh salah satu mahasiswa perempuan yang duduk
paling depan.
“Lalu, sudah diabsen?” tanya Iwan, salah satu di
antara tiga lelaki ramping yang paling pendek.
“Ya sudah no,” perempuan tadi berbohong.
“Kalian itu ndak usah masuk sekalian. Percuma,”
tambah seorang perempuan yang lain.
“Wis ndak usah dipikir cah,” komentar Lono,
lelaki ramping berambut jabrik. “Ayo, keluar ke kantin
saja maneh. Ngopi. Lanjutkan maneh tadi sevenane”

118
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Ayo lek ngono,” sambut lelaki berhidung


mancung dengan kumis tipis seperti kumis lele bernama
Tama.
Mereka berempat berlalu, melangkah ke arah
pintu. Iwan sembari menghisap rokoknya yang masih
setengah utuh, Tama sembari membanting puntung
rokoknya yang sudah tidak bisa dihisap lagi, dan Lono
yang sejenak berhenti di ambang pintu, menyulutkan
korek api ke puntung rokok yang dia apit dengan
bibirnya. Sedangkan Rama yang bukan perokok terhenti
di belakang Lono. Bibir pintu yang sempit tidak cukup
untuk dilalui oleh tubuhnya yang tambun, sementara di
situ masih ada Lono yang sedang bersusah payah
menghadang angin supaya ujung rokoknya bisa menyala.
“Berta Jul!” peringat Tama kepada Iwan.
“Alah wis, tinggal ae,” kata Iwan. “Pura-pura
tidak tahu. Tenang, ndak samar meneriaki orangnya.”
Mereka berdua berjalan dengan tenang tidak
peduli dengan mata yang memandang tajam ke arah
punggung mereka. Sorotan mata itu menampakkan
kemarahan, kejengkelan karena merasa tidak dihargai
sebagai dosen, tidak dihormati sebagai orang yang jauh
119
GHOFIRUDDIN

lebih tua. Dia terus berjalan, terus melangkah menuju


ruangan tadi, mengabaikan dua mahasiswa yang juga
tidak menghiraukannya. Sosoknya telah tampak di luar
jendela ruangan. Dia terus berjalan hingga tiba di
ambang pintu.
“Darimana kalian ini tadi?” tegurnya ketika
mendapati Rama dan Lono di ambang pintu.
Lono yang terkejut segera mencecakkan
rokoknya yang baru menyala di pahanya dan secara
cepat memasukkannya ke saku celana bagian belakang.
Dia meringis menahan panas di bagian pahanya.
Sementara itu, Rama dengan tenang menjawab:
“Maaf pak, ini tadi kami baru saja dari warnet
buat mencari materi untuk jam kedua sekaligus ngeprint
materi tersebut. Harus antri dulu tadi pak,” jawab Rama
bohong dengan mimik dan gestur yang meyakinkan.
“Lalu kenapa ini di sini?” cercanya. “Kenapa tidak
segera duduk?”
“Boleh Pak?” tanya Lono. “Kami terlambat
setengah jam lebih soalnya.”
“Baiklah, hari ini saya maafkan,” katanya pelan
dan penuh kesantunan. “Tapi, mbok ya jangan seperti ini.
120
DIALOG SECANGKIR KOPI

Kalian ini sudah semester lima, semestinya bisa bersikap


lebih dewasa sedikit.”
“Iya pak,” jawab mereka berdua bersamaan.
“Silahkan duduk!”
Mereka berdua berbalik, menghampiri kursi-
kursi yang masih kosong di belakang. Mereka berdua
memilih duduk di sampingku. Lono segera mengeluarkan
telepon genggam dari sakunya, membuka salah satu
menu, dan segera mengetik beberapa karakter yang
segera dia kirim dengan cepat. Sementara itu, Rama tidak
berkata apa-apa, bahkan tas hitamnya tetap dia biarkan
tergantung di pundaknya. Dia tidak mengeluarkan
sesuatu apapun dari dalamnya. Dia menumpukan
sikunya di meja kecil yang langsung bersambung dengan
lengan kursi, tangan kanannya yang mengepal menjadi
penyangga bagi kepalanya yang terasa berat.
Suasana menjemukan semakin terasa, pada saat
pak Berta Yuwana menampilkan slide berikutnya tentang
hakikat dan fungsi bahasa. Dia tidak menjelaskan apa-
apa, hanya memandang kata demi kata yang tertera,
mengucapkannya dengan tidak begitu jelas, tidak
memperhatikan wajah-wajah yang sudah merasa lelah.
121
GHOFIRUDDIN

Dia hanya menggunakan bahasa itu untuk


mengekspresikan dirinya. Dia tidak memberikan
kesempatan kepada kami menggunakan bahasa itu untuk
mengekspresikan siapa kami. Dia sangat puas pada saat
mahasiswa duduk diam, mendengarkan dan tanpa tanda
tanya mencatat setiap kata yang dia tampilkan.
Mahasiswa, baginya hanyalah seorang anak-anak yang
harus selalu mendengarkan perkataan orang tua tanpa
boleh menginterupsi. Mahasiswa, baginya hanyalah
seorang anak-anak yang harus senantiasa tunduk pada
keteraturan yang telah ditetapkan. Tidak boleh ada
perubahan. Perubahan dianggap hanya sebagai
pengganggu kestabilan, bukan dianggap sebagai
penggerak untuk mencapai kemajuan.
“Fur, wis diabsen ini tadi?” tanya Lono yang
benar-benar sudah tidak betah di dalam ruangan.
“Kayaknya belum,” jawabku tanpa menghadap
ke wajah penanya. “Tunggu sebentar e. Sebentar lagi
biasanya. Si bapak biasanya juga ndak betah lama-lama
di dalam kelas.”
Dan benar, belum sampai sepuluh menit, pak
Berta mulai mengakhiri kelas. Dia mengabsen kehadiran
122
DIALOG SECANGKIR KOPI

mahasiswa, memanggil mereka satu per satu, dan


berputar mengelilingi tempat duduk mahasiswa untuk
memeriksa pakaian mereka, apakah sudah sesuai dengan
standar yang dia tetapkan atau masih tampak seperti
muda-mudi yang masuk kelas untuk mejeng.
“Mas, besok-besok jangan pakai jeans lagi ya,”
todong pak Berta kepadaku dengan memasang wajah
ingah-ingih.
“Lho, kenapa pak?” kataku pura-pura belum tahu
dengan peraturannya.
“Ya…” dia mulai gugup dan menggaruk kepala
belakangnya. “Anda itu calon guru… jadi… sudah
sewajarnya… berpenampilan seperti layaknya guru.”
“Tenang saja pak,” aku berdiri dan menunjukkan
gestur yang menyoroti caraku berpenampilan dari ujung
kaki hingga ujung kepala. “Soal pakaian menurut saya
tinggal menyesuaikan. Saya rasa pakaian saya sekarang
sudah cukup sesuai untuk konteks mahasiswa di dalam
ruang kelas.”
“Ini masuk ke dalam penilaian lho mas,” dia
mengancam disertai dengan senyumannya.

123
GHOFIRUDDIN

“Iya, tidak apa-apa pak,” kataku sembari duduk


kembali. “Yang penting, jangan seperti semester kemarin,
yang panjenengan nilai semester kemarin kayaknya
hanya berdasarkan cara berpakaian dan kehadiran saja.”
“Wis to mas, jangan dibuat sulit,” dia mulai
merengut. “Ini demi kebaikan kita bersama.”
Dan bersama dengan kalimat itu, dia
melanjutkan memanggil nama-nama mahasiswa
berikutnya. Demi kebaikan bersama, kita harus rela
dengan kebodohan-kebodohan yang dijejalkan. Demi
kebaikan bersama, kita harus menjilatkan lidah-lidah
kita supaya di akhir semester bisa mendapat A. Ah, nilai
A. Buat apa nilai A, jika pikiran kita terkondisikan seperti
anak TK.

124
Sarjana Muda

Aku adalah seorang sarjana lulusan perguruan


tinggi swasta yang ada di kotaku. Semasa kuliah, aku
tergolong mahasiswa yang rajin. Aku selalu menghadiri
perkuliahan tepat pada waktunya. Seingatku, aku tidak
pernah sekalipun tidak masuk. Aku selalu hadir di kelas,
meskipun itu hanya untuk duduk dan mendengarkan,
tanpa memahami ilmu yang disajikan. Aku selalu
mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin dan tidak
pernah terlambat dalam hal pengumpulan. Aku selalu
bersikap seramah mungkin kepada para dosen, meskipun
terkadang mereka sangat menjengkelkan. Aku harus
bersikap seperti itu karena nilaiku ada di tangan mereka.
Dan sebab itulah nilai yang aku dapatkan selalu baik,
125
GHOFIRUDDIN

meskipun jujur, aku benar-benar tidak menguasai setiap


matakuliah yang diberikan.
Aku baru saja lulus satu tahun yang lalu. Saat
wisuda, para lulusan, termasuk aku, dan para orang tua
tampak berbinar wajahnya. Kami larut dalam prosesi
yang sangat sakral tersebut. Saat bapak rektor
menyampaikan pidatonya, kami semua diam. Kami, para
mahasiswa disanjung-sanjung setinggi langit atas
keberhasilan kami dalam menyelesaikan kuliah yang
disertai pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari segi
pikiran, fisik dan tentu saja uang. Bapak rektor
menyampaikan pidato sangat panjang yang aku hampir
tidak ingat semuanya. Yang teringat di kepalaku adalah
perkataan beliau bahwa kami, para lulusan, siap dan
layak dalam mengarungi persaingan dunia kerja yang
semakin ketat. Tentu saja, kami sangat siap. Tetapi
kenyataannya, banyak sekali lulusan kampusku ini,
termasuk aku, dianggap belum layak karena banyak
perusahaan menolak lamaran kami.
Karena itulah, hingga saat ini statusku masih
pengangguran. Sebenarnya, enak juga menjadi
pengangguran. Aku bisa bebas untuk bangun terlambat
126
DIALOG SECANGKIR KOPI

setiap pagi karena tidak ada beban pekerjaan yang harus


aku hadapi. Setiap sore, aku bisa nongkrong bersama
kawan-kawanku di jembatan selatan kampung sambil
menggoda gadis-gadis cantik yang melintas. Dan
malamnya, wajib bagiku untuk ngopi di warung kopi.
Rasanya hidup itu belum lengkap tanpa warung kopi.
Padahal, sebenarnya persediaan kopi di rumah juga
cukup banyak. Namun, lama-kelamaan, aku merasa tidak
enak juga kepada orang tuaku yang telah dengan susah
payah membiayai kuliahku. Terlebih lagi, mulut-mulut
tetangga mulai santer terdengar menggunjing status
pengangguranku. Ini membuat bapak dan ibuku
mendesakku untuk kembali mencari lowongan
pekerjaan.
“Saya ini sudah lelah, pak. Bapak sendiri tahu,
setahun ini, saya sudah ke sana kemari mencari
pekerjaan. Tapi hasilnya apa, pak. Nihil,” kataku suatu
hari menimpali desakan mereka.
“Mental tempe. Segitu saja sudah menyerah,”
ledek bapakku.
“Bapakmu dulu juga pontang-panting cari
nafkah. Pekerjaan apapun, bapak lakukan asal halal. Lha,
127
GHOFIRUDDIN

kamu. Kalau tidak jadi pegawai kantoran ndak mau,”


ibuku menambahi dengan nada yang begitu halus..
“Lha terus bagaimana bu? Masa lulusan
perguruan tinggi disuruh ke sawah atau ladang. Apa
ndak malah memalukan nanti?” jawabku.
“Kenapa harus malu?” sindir ibuku.
“Mbuh lah. Yang jelas, aku ini cocoknya jadi
pegawai. Kalau jadi petani ndak pawakan bu. Lagipula
bapak kan juga pegawai. Pegawai negeri malah. Pasti
punya banyak kenalan yang bisa ngasih pekerjaan.
Honorer ndak apa-apa lah. Siapa tahu nanti bisa
diangkat,” debatku sengit.
“Enteng benar kamu ngomong. Pemuda cap apa
sih kamu itu? Bisanya kok cuma merengek minta ini dan
itu,” jawab bapak dengan nada kesal.
“Bapak dulu bukannya jadi pegawai juga dari
kenalan. Apa salahnya kalau sekarang membantu
anaknya sendiri mencari kerja. Jadi pegawai. Bapak juga
punya banyak uang untuk memasukkan anakmu ini ke
salah satu instansi,” kataku sinis.
“Kurang ajar anak ini. Disekolahkan tinggi-tinggi
malah semakin berani. Malah menceramahi orang tua.
128
DIALOG SECANGKIR KOPI

Cari kerja sendiri sana. Aku ndak bakal sudi membantu,”


bentak bapakku.
“Terserah,” balasku, kemudian berlalu begitu saja.
Aku menuju tempat tidur meninggalkan kedua
orang tuaku di ruang tamu yang masih terheran-heran
dengan tingkahku. Pikiranku benar-benar suntuk. Setiap
hari orang-orang di sekitarku hanya mendesak dan terus
menerus mendesak tanpa ada keinginan sedikit pun
untuk membantu menyelesaikan masalah. Aku
sebenarnya ingin sekali melarikan diri dari lingkungan
seperti ini yang hanya bisa menuntut kemudian senang
sekali menggunjing kekurangan orang. Aku pernah
menyampaikan kepada orang tuaku keinginanku untuk
merantau, entah ke luar pulau atau sekalian ke luar
negeri. Di perantauan, aku mau kerja apa saja. Kalau di
sini, aku masih malu, seperti kata ibuku, untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang boleh dikatakan
berjenis kasar. Orang-orang di sini mulutnya terlalu
tajam dan aku tidak tahan dengan tingkah mereka. Tapi,
kedua orang tuaku menolak. Terutama ibu. Kata ibu, aku
ini anak satu-satunya. Mereka tidak ingin aku jauh dari
mereka. Sayangnya, aku telah merasa jauh dari mereka.
129
GHOFIRUDDIN

Telepon genggam yang kuletakkan di atas meja


berdering. Ada sebuah pesan singkat masuk.
Nanti malam, nganggur bro? Ayo ngopi.

Langsung aku balas pesan singkat tersebut.


Ok. Jam berapa? Di tempat biasa kan?

Beberapa detik kemudian nada pesan singkat


masuk di teleponku kembali berbunyi.
Iya. Jam 8.

Pesan singkat itu dari seorang teman kuliahku


yang terkenal berpenampilan eksentrik. Rambutnya
dibiarkan gondrong dan wajahnya brewok.
Penampilannya sungguh-sungguh mirip penampilan
filusuf-filusuf masa lalu. Dan dia memang tipikal seorang
filusuf atau pemikir. Dia juga sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai ideal, selain juga sangat relijius. Tapi dia juga
seorang yang sangat fleksibel. Mungkin nanti dia bisa
membantuku memikirkan kesuntukan pikiranku.
Malam harinya, cuaca tidak terlalu bersahabat.
Mendung tebal tampak di langit dan angin pun
130
DIALOG SECANGKIR KOPI

berhembus cukup kencang meskipun dari tadi tidak


turun hujan. Aku menjadi enggan untuk menepati janji
ngopi bareng temanku itu. Tapi suasana tegang di rumah
membuatku tidak punya pilihan lain selain melarikan
diri sejenak dari tekanan kedua orang tuaku. Lagipula
temanku itu pasti akan datang, tidak peduli dengan cuaca
yang sedang tidak bersahabat. Aku juga sedang butuh
teman untuk mencurahkan unek-unek di kepala yang
seperti akan meledak. Dan, temanku itu adalah orang
yang tepat.
Dia sudah berada di warung kopi itu terlebih
dahulu. Warung kopi lesehan tempat kami biasa
nongkrong bareng waktu kuliah dulu. Dia sedang
membaca sebuah buku sambil menyumpal telinganya
dengan headset dari telepon genggamnya sambil
memutar lagu-lagu keras kesukaannya. Orang-orang
lain pasti merasa aneh melihat seseorang membaca buku
di tempat seperti ini. Kebiasaan banyak orang kalau
sedang di tempat seperti ini, kalau tidak ngopi sambil
mengobrol masalah sepele, tentu sambil diam menatap
layar telepon genggam, memanfaatkan fasilitas internet
gratis, terutama untuk membuka salah satu atau
131
GHOFIRUDDIN

beberapa akun media sosial atau sekedar untuk ngegame


online.
“Sudah lama?” sapaku.
Dia menoleh dan kemudian menutup buku yang
dia baca.
“Limabelas menitan lah kira-kira. Bagaimana
kabarmu?” balasnya.
“Lagi suntuk aku…”
Kemudian aku duduk dan mencurahkan seluruh
beban pikiranku kepadanya. Tentang status
pengangguranku. Tentang desakan bapak dan ibuku
untuk segera memperoleh kerja. Tentang keengganan
mereka berdua untuk membantu meringankan bebanku.
Tentang mulut-mulut tetangga yang gemar mengolok-
olok nasib menganggurku.
“Manusiawi banget tetangga-tetanggamu itu.
Sebagai manusia, mereka akan selalu mencari bahan
obrolan. Dan kebanyakan orang suka membicarakan
kekurangan-kekurangan orang lain. Sekarang tinggal
kamu bagaimana menanggapinya?” katanya.
“Inginku, ya, orang-orang itu bisa mengerti
sedikit keadaanku. Aku ini juga manusia yang bisa lelah.
132
DIALOG SECANGKIR KOPI

Sudah lelah, ingin istirahat, justru mendengar omongan-


omongan yang tidak menyenangkan,” kataku kemudian
kunyalakan rokokku untuk menikmati suasana.
“Keinginanmu itu sulit sekali diwujudkan.
Mayoritas itu selalu berusaha menyeret minoritas.
Masyarakat atau lingkungan sosial menyeret individu-
individu. Kalau minoritas atau individu-individu itu
bertahan atau tidak dapat mengikuti keinginan mayoritas
atau masyarakat, maka akan jadi korban penindasan.
Nha, di kasusmu, penindasan itu berupa omongan-
omongan atau gunjingan yang tidak menyenangkan
untukmu,” komentarnya.
“Lha iya, terus aku ini harus bagaimana?” aku
semakin tidak sabar mendengar penjelasannya itu.
“Sebentar. Minum apa kamu? Bisa kering
tenggorokan ngobrol sama kamu tanpa minuman,”
sergahnya.
“Es Josua saja aku,” jawabku.
Dia kemudian berjalan menghampiri pelayan
warung kopi itu, seorang wanita muda cantik yang setia
menunggu di meja pelayan. Aku mengikuti pandang ke
arah kawanku itu sambil menghisap rokok yang baru
133
GHOFIRUDDIN

kunyalakan tadi. Aku perhatikan gelagat kawanku itu.


Dingin sekali dia di hadapan wanita cantik seperti itu.
Kebanyakan pria pasti akan sedikit basa-basi untuk
mencari perhatian jika berhadapan dengan seorang
wanita cantik. Dia hanya mengatakan,”Mbak, Es Josua
dua” tanpa seulas senyuman di bibirnya.
“Kalau menurutku ya,” katanya setelah kembali
duduk di sebelahku. “Kamu harus menunjukkan kepada
orang-orang itu bahwa kamu itu bisa memperoleh kerja
dengan usahamu sendiri. Atau kalau tidak begitu,
abaikan saja itu suara-suara sumbang yang tidak jelas.
Mantapkan hatimu. Ini lho hidupku. Terserah orang mau
bilang apa. Inilah aku. Aku tetaplah aku begini”.
“Ya kalau kamu yang sudah agak gila, tidak
masalah dengan itu,” candaku kemudian yang sudah
mulai bisa tersenyum. “Kalau aku, masih belum kuat”.
“Solusinya berarti kamu harus mencari kerja lagi.
Gampang kan. Tapi siapkan juga dirimu untuk menerima
segala kemungkinan. Bahasa puisinya, tenangkan
jiwamu,” katanya.
Aku lalu balik bertanya,”Lha kamu sekarang
sebenarnya kerja apa sih? Kok santai sekali sepertinya”.
134
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Sebentar. Yang kamu maksud bekerja itu apa


yang melakukan sesuatu terus dapat bayaran?” dia justru
balik bertanya.
“Seperti itulah,” jawabku singkat.
“Kalau yang seperti itu definisi bekerja
menurutmu, aku ini bisa dikatakan belum bekerja. Tapi
aku tidak mau dikatakan pengangguran. Banyak
pekerjaan yang bisa dilakukan. Aku sendiri terkadang
menjadi sukarelawan untuk kegiatan-kegiatan sosial,
sukarelawan membantu orang-orang untuk
mengerjakan ini dan itu, sukarelawan menjadi tenaga
pengajar di sebuah yayasan. Banyak lah. Dan tentu saja
menulis. Jangan pernah lupa untuk menulis. Kalau kamu
berminat bekerja sukarela, aku bisa bantu,” jelasnya
panjang lebar.
“Aku pikir-pikir dulu,” kataku ragu.
Kami kemudian melanjutkan obrolan hingga
larut malam. Warung kopi yang tadi ramai, kini sudah
sepi. Hanya ada aku, kawanku dan beberapa pemuda
yang duduk di seberang sana. Tema obrolan kami
bermacam-macam, mulai dari tentang asmara sampai ke
hal-hal tinggi yang berkaitan dengan relijiusitas. Yang
135
GHOFIRUDDIN

jelas, berkaitan dengan karir aku memutuskan untuk


mencari lowongan kerja lagi. Aku akan sangat malu
sebagai sarjana jika terus menerus menganggur.
Kawanku tadi memutar lagu ‘Sarjana Muda’
karya Iwan Fals sambil tersenyum-senyum. Sialan,
pikirku. Tapi aku juga ikut tersenyum.

Engkau sarjana muda
Lelah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu

136
In-telek So’sial

Sudah tiga hari ini Rizbach terus berada di


rumah tanpa melakukan sesuatu kegiatan yang berarti.
Tiga hari yang benar-benar dia manfaatkan untuk
bersantai, untuk bermalas-malasan setelah selama enam
tahun ini dia selalu memaksakan tubuh dan pikirannya
untuk bekerja, apakah itu yang berkaitan dengan
rutinitas kuliah atau bekerja sebagai seorang yang aktif
dalam dunia penulisan. Tiga hari lebih dia gunakan
untuk melamunkan hal-hal tabu dan tidak senonoh yang
mengurangi gairahnya untuk menulis. Dia juga, dalam
tiga hari ini, terlalu banyak menghabiskan waktu, sambil
berbaring di sofa ruang tamu, untuk menjelajahi
berbagai situs dunia maya, bukan untuk mencari

137
GHOFIRUDDIN

inspirasi untuk menciptakan sebuah karya, atau untuk


menggali informasi-informasi seputar dunia kerja, atau
untuk menggali pengetahuan yang bermakna, tapi hanya
untuk bersenang-senang, memuaskan nafsu jalang
matanya. Bersosial-media ria menjadi selingan kegiatan
yang sangat menyenangkan, terutama karena di sana dia
dapat bertemu dengan kekasihnya; Wulan.
Namun, pagi ini dia mulai merasa gelisah. Dia
teringat betul bahwa tujuannya pulang kampung bukan
untuk bersantai-santai seperti ini. Dia sadar bahwa
sebagai lulusan sebuah perguruan tinggi, terlebih sebuah
perguruan tinggi negeri ternama pula, dia memiliki
kewajiban untuk menjadi agen intelektual, agen sosial,
dan agen perubahan. Memikirkan itu, dia bangkit dari
sofa tempatnya berbaring. Dia mulai duduk
merenungkan secara lebih mendalam apa yang mungkin
bisa dia lakukan untuk memulai misinya itu. Kegelisahan
yang menghinggapi pikirannya itu, dia tuangkan dalam
PM di akun Blackberry Messenger-nya.

Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang gila yang


terlalu banyak gelisah ini untuk melaksanakan sebuah
138
DIALOG SECANGKIR KOPI

misi mulia sebagai agen intelektual, agen sosial dan


agen perubahan? Apa yang bisa diubah oleh seorang
yang in-telek yang menganggap dirinya sok-sial
seperti ini? Apakah bisa? Kalau bisa, harus mulai dari
mana? Pikirkan, pikirkan, pikirkan dan renungkan!

Rizbach mulai mondar-mandir, berjalan kesana


kemari di ruang tamu rumahnya. Sekali waktu, dia
berhenti di jendela mengamati seekor kucing belang
hitam-putih yang tengah rebahan di lantai teras rumah
sambil menggaruk kulitnya. Dia berpikir, kenapa dia
tidak seperti kucing itu saja, hidup santai mengalir dan
tanpa gelisah. Dan, nyatanya kucing itu tetap saja hidup,
setiap hari selalu bisa mendapatkan makanan, dan di
waktu tertentu bertemu juga dengan pasangannya. Dan,
kalau sudah saatnya untuk mati, ya mati. Tidak perlu ada
kegelisahan yang menghinggapi dan membayangi. Tidak
perlu membayangkan cita-cita, harapan dan ambisi.
Juga, tidak perlu berhasrat keinginan untuk
mengembangkan sesuatu. Tidak perlu juga
menyingkirkan sesuatu.

139
GHOFIRUDDIN

“Tentu tidak bisa seperti itu,” pikirnya. “Manusia


yang sesungguhnya tidak seperti itu. Manusia yang
sesungguhnya selalu ingin mengembangkan berbagai hal
positif dalam kehidupannya. Manusia yang
sesungguhnya akan menggunakan segala perangkat yang
dianugerahkan; raga dan akal pikirannya untuk
mewujudkan hal tersebut. Tapi, apakah masih bisa
disebut manusia, orang-orang yang berusaha
mewujudkan pengembangan positif itu, namun di satu
sisi dengan tega mengorbankan manusia yang lain?
Manakah yang lebih penting sebenarnya, perkembangan
peradaban manusia ataukah kemanusiannya? Bisakah
ditarik sinergi di antara keduanya?”

Bip. Bip.

Suara itu mengalihkan perenungan Rizbach. Dia


segera menuju ke smartphone-nya yang dia letakkan di
meja ruang tamu. Sebuah komentar bercanda dari Badak
Galetho, teman satu kelas Rizbach sewaktu SMA,
membuat dia tersenyum.

140
DIALOG SECANGKIR KOPI

Lek sik panggah edan ki, ya mbok dibawa ke RSJ.


Biar tidak gelisah lagi

Belum sempat membalas komentar dari Badak


Galetho itu, dua komentar masuk nyaris bersamaan.
Sebuah komentar datang dari akun Andika Marpaung,
teman Rizbach dari tanah Karo Sumatera Utara.

Orang gila ini bisa melakukan sesuatu yang luar


biasa, karena kegilaan itu memang sesuatu yang di
atas normal. Dia memiliki kemampuan untuk itu.
Pertanyaannya sekarang, apakah dia benar-benar
mau.

Satu komentar lain adalah dari Wulan.

Mulailah dalam dirimu, mas. Mulailah segala


sesuatunya dengan kasih dan cinta karena
dengannya akan diperoleh akhir yang indah dan
bahagia.

141
GHOFIRUDDIN

Sebuah komentar dari Wulan itu membuat


darahnya sedikit berdesir. Tanpa berpikir panjang, dia
langsung membalas komentar itu dan mengabaikan dua
komentar dari dua kawannya yang lain yang masuk
terlebih dahulu. Dua komentar lain yang masuk
kemudian tidak sempat mendapatkan perhatian Rizbach
yang memang sedang terfokus kepada Wulan.

Cinta, akan ku mulai dengan cinta, berjalan


beriringan bersama kasih, tidak akan lagi
tersembunyi sayang meski hanya terucap lirih.

Ditanggapi lagi oleh Wulan:

Cinta, memang ia akan buat kita gelisah, campur


aduk dengan resah dan gundah, karena cinta
selalu mendambakan sesuatu yang indah.

Rizbach yang tengah terhanyut pada kata-kata,


mengabaikan suara-suara lain yang masuk.

142
DIALOG SECANGKIR KOPI

Cinta, dia akan menunggu tanpa jengah, dia


sedang rindu untuk bertemu, hasrat dan nafsu pun
sedang ingin bercumbu. Tapi, kata-kata tidak akan
mampu menjadi perantara, pikiran hanya akan
melambungkan angan-angan. Cukuplah cinta ada
pada dirinya.

Tidak segera ada jawaban dari Wulan. Terlalu


banyak detik-detik jeda yang menganga untuk
menunggu tanggapan itu. Tidak ingin waktu terbuang
sia-sia hanya untuk menunggu, dia membuka empat
komentar lain yang belum sempat dia baca.
Fajar Kristanto: Gathel, gathel. Maksudnya in-
telek itu apakah berkubang dalam lumpur kotoran atau
tahi ta bos, dalam arti, sebenarnya kita itu hanya sampah
masyarakat, koar-koar doang tidak ada yang bisa
dilakukan. in-telek karena kita sebenarnya tidak
sungguh-sungguh belajar, kita sebenarnya bukan
penuntut ilmu, kita itu hanya pengejar nilai, pengejar
angka-angka yang membuat pikiran dan perasaan kita
mati. in-telek, in-telek. Kalau terus-terusan bisa jadi in-
tletong bos. Hahaha
143
GHOFIRUDDIN

“Wong edan!” umpat Rizbach pelan sambil


tersenyum.
Susant Rickward: aku sedang pikirkan nih.
Mikirin kamu.
“Tetap seperti ini arek iki,” gumam Rizbach
sambil geleng-geleng kepala.
Putra Roma: dimulai dari sini saja bro. kalau mau,
ini ada lowongan menjadi reseller produk-produk
olahraga berkualitas. Mudah bro kerjanya. Hasilnya juga
lumayan asalkan bisa memanfaatkan berbagai media
yang ada. Kalau berminat langsung saja hubungi saya.
Saya tidak ke mana-mana. Oke!!
Rizbach merasa tergiur dengan tawaran dari
Putra Roma. Rizbach sendiri mengetahui sendiri
bagaimana keuangan kawannya satu angkatan itu setelah
menjadi pedagang. Berawal dari reseller yang hanya
bermodalkan smartphone, kini kawannya itu telah
mampu menyewa sebuah ruko di salah satu tempat
strategis di kota kelahirannya, Kediri. Tapi Rizbach juga
tahu menjadi pedagang, apalagi reseller sebuah produk
tidak semudah yang terlihat. Diperlukan sebuah
kesabaran dan keuletan dalam menanggapi setiap
144
DIALOG SECANGKIR KOPI

kemauan pelanggan. Rizbach tahu benar kesulitan


kawannya itu saat ternyata barang yang diterima pembeli
tidak sesuai dengan pesanan. Rizbach juga tahu
bagaimana kawannya itu sampai bersungut-sungut
ketika harus menghadapi pelanggan yang terlalu
berbelit-belit dalam memutuskan pesanan. Dan, Rizbach
juga tahu bahwa bidang ini bukan merupakan bidang
yang sangat dia inginkan. Rizbach masih ragu dengan
kemampuannya berdagang. Dia terlalu pendiam untuk
itu.
Samuel Galli: Abang Jerat, orang kayak lu tu
bakalan rugi kalau tak melanjutkan ke pendidikan yang
lebih tinggi dan tinggi lagi sampai bergelar profesor
doktor. Masa kalah ma yang blo’on kayak gue. Ini nih
bang, gue lagi ditawarin untuk lanjut Ph.D. Bukankah
dulu kau juga berkeinginan untuk itu. bukankah dulu
kau pernah kata sangat terinspirasi oleh seorang Ribut
Wahyudi yang juga bergelar Ph. D. Sekarang, mana
hasrat dan keinginan itu? Apakah sudah musnah?
Membaca komentar sahabat karibnya itu,
Rizbach teringat dengan seorang Ribut Wahyudi. Dia
adalah dosen favorit Rizbach. Dosen berkacamata,
145
GHOFIRUDDIN

berkulit coklat gelap dan bertubuh gemuk ini telah


membantu Rizbach dalam menemukan bakat
terpendamnya sebagai penulis handal. Kebanyakan
mahasiswa, teman-teman Rizbach dulu tidak akan
mungkin menfavoritkan dosen seperti Ribut Wahyudi ini.
Pasalnya, dosen yang satu ini terlalu tepat waktu, terlalu
banyak memberikan tugas, hampir di setiap pertemuan
selalu ada tugas, dan yang lebih dibenci oleh para
mahasiswa, dia sangat ketat dalam memberikan nilai.
Kalau berdasarkan kriteria evaluasi yang dia gunakan
seorang mahasiswa tidak lulus, dia akan dengan sangat
berani tidak meluluskan mahasiswa tersebut, meskipun
ada tekanan dari ketua jurusan sekalipun. Namun bagi
Rizbach itulah letak keunggulan seorang Ribut Wahyudi,
kejujuran dan profesionalismenya, selain juga
kemampuannya dalam menjalin interaksi dengan
mahasiswa ketika perkuliahan berlangsung. Rizbach
pernah berandai-andai, jika harus menjadi seorang
pengajar, dia sangat ingin menjadi seperti seorang Ribut
Wahyudi.
Rizbach mengetik kata-kata tanggapan untuk
Samuel Galli. Dia hendak menyampaikan bahwa baginya
146
DIALOG SECANGKIR KOPI

yang inspiratif dari seorang Ribut Wahyudi sebenarnya


bukan terletak pada gelar akademiknya, tetapi pada
kemampuan mengajar dan mendidiknya, kejujuran dan
profesionalismenya. Rizbach ingin mengutarakan kepada
Samuel Galli bahwa gelar akademik yang tinggi bukanlah
suatu jaminan bahwa orang tersebut memiliki
kompetensi dan yang lebih penting dedikasi. Bukankah
banyak sekali dulu dosen-dosen, para profesor doktor itu
yang sering seenaknya sendiri seperti tidak tepat waktu,
bahkan dalam satu semester tidak pernah sekalipun tatap
muka dengan mahasiswa dengan alasan yang katanya
terlalu sibuk. Rizbach hendak mengingatkan Samuel Galli
bahwa profesor doktor yang seperti itu adalah seorang
yang egois, seorang yang hanya menginginkan nama,
seorang yang berambisi dengan titel intelektual namun
enggan menjadi agen sosial, malas berurusan dengan
realitas masyarakat sekitar.
Rizbach telah menulis kata-kata untuk Samuel
Galli itu dengan sangat baik. Pilihan kata, susunan
kalimat, semuanya telah sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan. Dia membacanya sekali lagi dan
kemudian dia tekan tombol ‘SEND’. Layar smartphonenya
147
GHOFIRUDDIN

berubah meremang dan tepat di tengah-tengah layar


lingkaran hijau kecil terus berputar-putar pertanda
sedang ‘loading’.
“Lama sekali,” begitu pikir Rizbach. “Jangan-
jangan…”

*
Terlalu lama menunggu, Rizbach membatalkan
komentar tersebut. Dia langsung keluar dari aplikasi
Blackberry Messenger itu dan mengecek kuota paket data
yang tersisa.
“0 byte,” gerutu Rizbach. “Cepet banget.”
“Yo wis lah, bene,” lanjutnya kemudian.
Rizbach kembali mondar-mandir setelah
meletakkan smartphone-nya itu di meja ruang tamu. Dia
membayangkan menjadi seorang guru berambut
gondrong yang berdiri di depan para murid. Dia
menikmati saat-saat berinteraksi dengan para muridnya
itu, bukan sebagai orang tua yang terus menerus
mendikte dan memberikan tugas dan perintah, tetapi
sebagai seorang teman yang saling berbagi ilmu
pengetahuan satu sama lain. Pikir Rizbach, pasti akan
148
DIALOG SECANGKIR KOPI

sangat menyenangkan bisa menjalin pertemanan dengan


anak-anak muda itu, tidak hanya di dalam kelas, tetapi
juga di luar kelas. Dengan begitu, secara tanpa sadar
mungkin dia tidak akan bertambah tua.
Rizbach berhenti, berdiri mematung di tengah-
tengah ruangan. Tangan kirinya mendekap perut dan
tangan kanannya memegang dagu. Dia berpikir
berinteraksi dengan anak-anak muda itu memang akan
sangat menyenangkan dan menantang, tetapi menjadi
seorang guru tidak hanya soal berurusan dengan para
murid. Rizbach tahu bahwa menjadi seorang guru, di
institusi pendidikan formal, berarti juga menjadi seorang
pegawai yang harus berurusan dengan segala tetek
bengek administrasi pendidikan. Dan, itu bagi Rizbach
berarti tekanan. Atau, lebih dari itu penindasan. Rizbach
tidak merasa bebas untuk melakukan itu.
Rizbach sudah sangat merasa bosan bahkan saat
masih membayangkan dia harus menyusun RPP, atau
membuat laporan evaluasi, dan harus menyerahkannya
kepada kepala sekolah. Dia membayangkan kepala
sekolahnya itu adalah seorang bapak berpeci hitam,
bertubuh penuh lemak menggelambir, penuh dengan
149
GHOFIRUDDIN

senyuman licik seorang penindas bawahan. Rizbach


membayangkan, andai dia bisa menonjok orang seperti
itu, pasti akan sangat melegakan mesti akhirnya hanya
akan dikeluarkan.
Rizbach juga tidak tahan ketika membayangkan
harus memangkas rambutnya hingga serapi mungkin,
serapi penilaian orang-orang yang berkecimpung di
dunia kepegawaian. Dia juga merasa bergidik ketika
harus memakai seragam formal yang kainnya mudah
membuat seluruh tubuh gerah. Membayangkan semua
orang harus berpenampilan sama membuat dia muak,
bahkan sedikit mual. Tapi itulah yang harus dilakukan
oleh seorang guru yang juga menjadi seorang pegawai
sebuah institusi atau lembaga formal. Apakah bisa
menjadi seorang guru tanpa harus diserahi beban untuk
menjadi seorang pegawai. Kalau ada, itulah yang akan
menjadi tujuannya, begitu pikir Rizbach.
Merasa pusing memikirkan hal-hal tentang guru,
Rizbach menuju kamar dan rebahan di atas kasur. Kedua
tangannya menjadi bantal bagi kepala yang telah merasa
berat penuh beban yang ingin segera dia ringankan,
seringan mungkin. Tapi bagaimana mungkin, hidup itu
150
DIALOG SECANGKIR KOPI

sendiri saja sudah merupakan beban yang harus


ditanggung oleh segenap manusia. Sedangkan,
membayangkan kematian yang tersisa di dalam pikiran
hanyalah ketakutan, kekalutan karena dunia ini, mau
tidak mau harus diakui, penuh dengan keindahan dan
kenikmatan yang begitu memabukkan.
Hidup dengan segala kesenangan dan kegairahan
di dalamnya itu sendiri saja juga sudah merupakan
beban. Bayangan Rizbach tengah mendapati dirinya
sendiri, dulu tatkala dia begitu bergairah dalam
menciptakan, lebih tepatnya menulis karya-karya.
Tulisan-tulisan itu terkadang begitu membelenggu
kebebasannya sebagai seorang manusia. Pertanyaan-
pertanyaan seperti apakah tulisan ini sudah bagus dan
memenuhi estetika, apakah tulisan seperti ini layak
diterbitkan, dan yang terutama adalah apakah tulisan
seperti ini akan menghasilkan banyak pundi-pundi uang
begitu menjerat kemerdekaan pikiran. Rizbach paham
benar terkadang apa yang dia tulis bukanlah murni
tulisan yang benar-benar dia inginkan, namun hanya
tulisan yang mengikuti kehendak orang-orang, tulisan
yang mengikuti kehendak pasar. Dan, dia sangat benci
151
GHOFIRUDDIN

untuk mengakui itu sehingga tersisa beban moral di


dalam pribadinya.
Meskipun begitu, menulis tetap menjadi gairah
kehidupan yang utama baginya. Rizbach yakin benar
bahwa tulisan merupakan cahaya kehidupan. Orang-
orang yang tidak mengenal huruf, tidak mengenal tulisan
itu bahkan disebut dengan buta. Mereka adalah orang-
orang yang terjebak di dalam kegelapan. Sudah bukan
rahasia lagi, bahwa berbagai macam tulisan telah mampu
menjadi pencerah bagi kehidupan manusia, menjadi batu
loncatan bagi perkembangan peradaban manusia.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mengenal tulisan
hanya akan menjadi orang-orang yang kalah, orang-
orang yang menjadi korban keberingasan perkembangan
zaman. Tapi, kenapa harus selalu ada korban dari setiap
perkembangan, kenapa orang-orang yang ingin terus
berkembang itu tidak bisa menjalin keharmonisan hakiki
dengan orang-orang yang sudah puas dengan apa
adanya.
Kring… Kring… Kring
Nada dering berisik dan disertai dengan getaran-
getaran itu membuyarkan perenungan Rizbach. Siapa
152
DIALOG SECANGKIR KOPI

juga yang pagi-pagi seperti ini meneleponnya. Tumben


sekali. Rizbach yang penasaran dengan panggilan telepon
itu segera bangkit, namun melangkah dengan sangat
malas menuju meja di ruang tamu. Wajahnya tampak
masam. Cahaya matanya begitu redup seperti orang yang
tengah mengantuk. Namun, begitu meraih telepon itu
dan mengetahui siapa yang memanggil, ekspresi di
wajahnya berubah cerah. Sedikit senyuman terpancar
dari keredupan.
“Halo!” kata Rizbach pendek. Dia kemudian
mengaktifkan pengeras suara untuk panggilan itu.
“Halo juga!” suara seorang perempuan terdengar
dari sana.
“Tumben?”
“Kangen.”
“Kangen?”
“Iya.”
Rizbach tersenyum. “Aku juga.”
“Sudah sarapan mas?”
“Ini sedang sarapan,” bohong Rizbach.
“Beneran?”
“Bener.”
153
GHOFIRUDDIN

“Sampean ndak sedang sakit kan?”


“Ndak,” jawab Rizbach. “Hanya sedang rindu.”
“Rindu?”
“Iya. Rindu.”
Perempuan di seberang sambungan tidak segera
menyahut. Jeda yang tercipta di antara percakapan
mereka menjadikan suasana lengang. Namun, tidak
tersirat kecanggungan dalam diri Rizbach. Dia
menikmati keheningan ini. Dia menunggu perempuan di
seberang untuk kembali bersuara.
“Mmm…” perempuan di seberang terdengar
menggumam.
“Mmm…” Rizbach hanya menirukan.
“Jelek tahu. Bisanya tiru-tiru. Imitasi.”
“Yang penting kan otentik,” kata Rizbach.
“Otentik?” sergah perempuan di seberang.
“Maksudnya?”
“Tak ada maksud.”
Kembali, perempuan di seberang tidak segera
menyahut. Kelengangan karena jeda yang tercipta kali ini
tidak membuat Rizbach tenang. Rizbach merasakan
sedikit kekhawatian di dalam dirinya. Dia takut
154
DIALOG SECANGKIR KOPI

perempuan di seberang merajuk dengan kata-kata


pendeknya. Namun, dia tidak berinisiatif untuk memulai
kata-kata. Dia lagi-lagi hanya menunggu.
“I love you,” kata Rizbach yang sudah tidak tahan
dengan jeda yang berkepanjangan.
“Haa?” sahut perempuan di seberang.
“I love you, Wulan,” Rizbach mempertegas
suaranya namun tidak kehilangan kelembutan darinya.
“Masa?”
“Demi masa, I love you. Tapi…”
“Kok ada tapi?”
“Tapi, ini aku mau mandi dulu.”
“Nyebelin banget sih?”
“Ya sudah. Beneran ini aku mau mandi dulu.
Nanti aku telepon balik.”
Tanpa menunggu tanggapan dari Wulan,
perempuan di seberang, Rizbach menutup panggilan itu.
Namun, dia tidak menepati kata-katanya. Dia kembali
mondar-mandir. Tidak jelas kali ini apa yang sedang dia
pikirkan. Suara Wulan yang baru saja hadir di dalam
ruang tamunya tadi membuat Rizbach kehilangan
orientasi perenungan. Suara itu begitu memabukkan.
155
GHOFIRUDDIN

Berjalan kembali ke ruang tengah, Rizbach


merasakan ruangan itu lebih dingin dan lembap
daripada ruang tamu. Ruangan yang kurang
mendapatkan pencahayaan itu dipenuhi dengan buku-
buku yang bertebaran di tiga rak kayu yang dibuat
sendiri oleh ayah Rizbach hampir 15 tahun yang lalu.
Rak pertama yang bersandar di dinding yang menghadap
ruang tamu berisi buku-buku cerita bahasa Jawa, buku-
buku tentang seluk beluk agama, terutama yang
berkaitan dengan tarekat Naqsabandiyah peninggalan
kakek Rizbach. Buku-buku peninggalan kakek Rizbach
itu ditempatkan di dua baris teratas rak sebagai
penghormatan kepada almarhum yang dulu juga dikenal
dengan sebutan mbah guru. Dua baris terbawah adalah
tempat khusus untuk buku-buku ayah Rizbach. Dia
adalah seorang dosen bergelar doktor dalam bidang ilmu
sejarah. Tidak mengherankan jika buku-bukunya
berbicara banyak tentang sejarah. Beberapa judul di sana,
bahkan adalah tulisannya sendiri.
Rizbach berganti memandang buku-buku yang
berada di rak di sebelah kirinya. Di situlah koleksi buku-
buku miliknya berada, memenuhi empat baris rak yang
156
DIALOG SECANGKIR KOPI

tidak memberikan celah sedikit pun. Buku-buku yang dia


koleksi selama enam tahun kuliah itu berisi banyak
tentang ilmu bahasa dan sastra, karya-karya sastra dan
juga tentang filsafat. Dia mengambil salah satu buku di
sana. Namun, dia hanya membolak-balik halamannya,
menciumi aroma kertas yang terasa masih baru. Buku
yang berisi kumpulan esai yang ditulis oleh seorang
seniman asal Blitar yang getol mengangkat tema tentang
lokalitas itu, baru Rizbach dapatkan sebulan yang lalu.
Dia sama sekali belum sempat membacanya. Dan, saat ini
dia belum juga ingin membacanya. Dia hanya ingin
mengamati koleksi-koleksi bukunya. Dia menginginkan
koleksi bukunya itu bisa terus bertambah. Bukan untuk
dia nikmati sendiri, namun untuk dibagi dengan orang-
orang di sekitarnya.
Membayangkan tentang itu, terbersit sebuah ide
mulia di dalam dirinya untuk menjadi seorang
pustakawan. Dia membayangkan rumah tempat di mana
dia tinggal ini bisa menjadi sebuah perpustakaan yang
dikunjungi oleh berbagai kalangan. Seorang petani bisa
memperoleh bacaan yang berhubungan dengan
masalah-masalah cocok tanam. Seorang montir bisa
157
GHOFIRUDDIN

menggali pengetahuan seputar dunia teknik mesin.


Anak-anak bisa memanjakan diri dengan berkelana di
cerita dunia anak. Akan sangat menyenangkan jika
rumah yang sudah telanjur sepi dan ditinggalkan ini
berubah menjadi ramai dan memberikan begitu banyak
manfaat untuk masyarakat sekitar.
“Tapi, itu semua butuh banyak dana,” bisik hati
Rizbach.
Dia kemudian teringat dengan salah satu
pamannya, adik almarhum ibunya. Dia adalah seorang
pengusaha batik berskala internasional yang
memusatkan aktifitas perdagangan utamanya di tanah
kelahirannya sendiri. Dia juga adalah seorang dermawan
yang memfasilitasi banyak sekali anak muda kreatif di
kampung halamannya ini untuk mengembangkan usaha.
Hampir dua tahun lebih, Rizbach tidak bertemu dengan
pamannya itu. Dan, dia merasa sangat tidak enak atau
sungkan apabila tiba-tiba bertemu hanya membawa
maksud untuk meminta uang.
“Kenapa harus sungkan jika itu untuk tujuan
mulia?” pikir Rizbach. “Tapi apakah aku benar-benar
menginginkan ini, menjadi seorang pustakawan. Ini
158
DIALOG SECANGKIR KOPI

adalah jenis pekerjaan yang lebih mengeluarkan uang,


dan mungkin saja akan sangat atau bahkan sama sekali
tidak mendapatkan uang. Apakah aku sanggup seratus
persen total di sini?”
Rizbach termangu. Manusia yang utama adalah
seorang yang mampu mengabdi sepenuh dan setulus hati
untuk kemanusiaan, tanpa pamrih apapun. Hanya saja,
manusia itu memang tercipta seperti ini. Kalau perut ini
sudah sedemikian lapar, apakah masih bisa setulus hati
mengabdi. Mengabdi, apalagi mengabdi untuk
kemanusiaan itu, bukan suatu perkara yang kecil. Dalam
mengabdi juga dibutuhkan energi yang bisa didapat dari
asupan-asupan gizi dalam makanan. Dan, makanan itu,
entah instan atau masih dalam bahan mentah, semuanya
harus dibeli, dengan uang. Uang itu bisa didapatkan
dengan bekerja.
Rizbach tidak terlalu puas dengan jawaban itu.
Bekerja memang akhirnya akan mendapatkan upah
berupa uang. Tapi, bukankah uang itu sendiri seringkali
malah membutakan. Orang yang sudah kaya tetap saja
melakukan berbagai cara untuk menambah
kekayaannya. Bahkan, untuk memperoleh kekayaan,
159
GHOFIRUDDIN

orang-orang itu tidak peduli apabila kemanusiaan di


dalam dirinya itu hilang dipertaruhkan dengan uang.
Juga, saat berurusan dengan kekayaan, orang-orang yang
mengaku beragama pun, tidak peduli jika harus
melanggar nilai-nilai ketuhanan. Uang, kekayaan itu
memang membutakan.
“Lantas, hidup di dunia ini seharusnya
bagaimana?” muncul pertanyaan seperti itu dalam diri
Rizbach dan buku-buku di hadapannya hanya menjadi
pemandangan kosong.
“Hidup itu harus semangat, tapi jangan lupa
pengendalian diri,” Rizbach teringat perkataan kakak
sulungnya, Shafiyah Magdalena, yang saat ini tengah
menempuh program doktor dalam bidang ekonomi di
Universitas Indonesia.
“Hidup itu harus semangat. Semangat dalam
mencapai tujuan kita, cita-cita kita. Untuk itu, pertama
kali yang harus kita tetapkan adalah cita-cita kita, tujuan
hidup kita. Dan, tujuan itu adalah tujuan yang positif,
tujuan yang bermanfaat untuk dirimu sendiri dan juga
orang lain. Jangan sampai, kita hidup itu hanya untuk
menyenangkan diri dan tidak peduli dengan keadaan
160
DIALOG SECANGKIR KOPI

oang lain. Manusia yang seperti itu belum bisa disebut


benar-benar manusia. Masih terlalu banyak sisi hewan di
dalam dirinya. Nah, sisi hewan inilah yang harus
dikendalikan. Karena jika sudah kelewat batas, sisi ini
akan mengubah kita menjadi setan.”
“Nalurinya naluri hewan, berotak dan berpikiran
seperti manusia, berhati dan berperangai setan.
Sempurna!” komentar Rizbach.
“Sempurna dalam hal apa?”
“Kepicikannya.”
Rizbach kemudian berpindah ke rak buku di
sebelah kanannya. Di sana adalah rak untuk buku-buku
Shafiyah Magdalena. Buku-buku tentang teori-teori
ekonomi berjejalan di sana. Buku-buku yang telah
mengantarkan dia dalam memperoleh gelar sarjana dan
juga magister.
“Jratu Rizbach, S. S, M. Hum, boleh juga,” gumam
Rizbach.
Rizbach membayangkan kembali ke bangku
perkuliahan, namun di tingkat yang lebih tinggi. Dia
membayangkan bisa mengikuti sebuah perkuliahan yang
diampu langsung oleh seorang profesor yang sangat
161
GHOFIRUDDIN

mumpuni di bidangnya. Profesor yang sangat cerdas


yang merangsang Rizbach untuk mendebat semua yang
disampaikannya. Dia juga dikelilingi dengan kawan-
kawan yang juga memiliki antusiasme yang sama dalam
mengkaji ilmu pengetahuan. Setiap berhadapan dengan
kawan-kawannya itu, dia membayangkan bisa begitu
larut dalam diskusi dunia ilmu pengetahuan serta seluk
beluknya. Dia membayangkan semua itu akan sangat
menyenangkan.
“Namun, dapat uang darimana?” kembali Rizbach
ragu-ragu tentang bayangan masa depannya sendiri.
Memikirkan tentang uang, bagi Rizbach, semua
menjadi serba salah. Dia mengakui bahwa memang dia
tidak punya uang yang cukup untuk melanjutkan studi di
jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, jika harus meminta
kembali kepada bapaknya, dia merasa sangat sungkan.
Sepanjang hidupnya, bapaknya telah dengan sukarela
menafkahi kebutuhannya. Sementara dia sendiri, apa
yang sudah dia berikan kepada bapaknya. Tidak ada
kecuali hanya setitik cinta yang dia ungkapkan melalui
senyuman dan sedikit tata krama kesopanan yang lebih
dibandingkan kepada orang manapun.
162
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Mbuh wis, kenapa juga terlalu dipikirkan.


Mengalir saja lah,” kata-kata itu mengalir bersamaan
dengan hembusan asap pertama dari rokok yang baru
dinyalakannya. Dengan itu, berarti Rizbach telah
berserah. Dan itu, bukan berarti dia menyerah.

163
Bagian Tiga
Dialog Secangkir Kopi

Secangkir kopi telah berada di hadapanku. Hitam


pekat warnanya dan semerbak wanginya menggoda
kesadaran yang berjam-jam larut dalam bunga-bunga
impian yang mengerikan. Bau itu, kepekatan itu
mengetuk pikiranku untuk membuka mataku lebih lebar,
memandang kepada semu keindahan dunia yang boleh
dinikmati. Tapi, semakin dinikmati, ternyata semakin
menjerumuskan diri ke dalam lembah kesesatan yang
penuh dengan ular-ular kemunafikan dan singa-singa
keangkuhan. Semakin dinikmati, semakin diri
terjerembab ke dalam hitam gelap yang menakutkan,
sebuah hitam gelap sejati yang penuh dengan kepahitan.
Tidak seperti pahit hitam sebuah kopi. Di sana masih ada

167
GHOFIRUDDIN

campuran manis yang memberikan suasana


menentramkan ke dalam hati dan pikiran yang telah
dipenuhi dengan keruwetan-keruwetan dalam hidup. Di
sana, di dalam baunya bersemayam usapan-usapan Ilahi.
"Puji syukur," bisikku saat memandang hitamnya
dan menciumi baunya.
Namun tidak segera aku menyentuh cangkir
wadah kopi hitam yang sedap itu. Tercenung aku
memandang hitam di sana yang tampak mencerminkan
siapa aku. Hitam kopiku, hitam itu juga aku. Hanya saja
di dalam diriku tidak ada unsur manisnya atau unsur-
unsur yang bisa menenangkan jiwa-jiwa manusia yang
lara. Hitamku adalah hitam yang bersikap sempurna
terhadap wewangian-wewangian dunia fana yang
mudah membuat jiwa terlena dan pada akhirnya dada-
dada hanya dipenuhi dengan sesak, kemudian
dilanjutkan dengan rasa yang terus-menerus terisak,
ditutup dengan penyesalan yang sayang hanya bisa
terlihat kemudian.
"Hai, kenapa kamu hanya memandangku?"
Tolah-toleh aku ke sekelilingku setelah
mendengar suara itu. Suara seorang perempuan yang
168
DIALOG SECANGKIR KOPI

terdengar renyah di telinga. Suara yang begitu menggoda


seperti halnya dengan dunia dan seluruh isi di dalamnya.
Sangat menggoda. Namun aku takut. Bulu-bulu halus di
sekujur tubuhku tiba-tiba menggigil. Tiba-tiba saja
suasana di sekitarku berubah menjadi begitu dingin.
“Hai,” katanya lagi. “Apa yang kau cari? Aku di
bawah sini. Aku adalah kopi hitam yang akan
menghangatkan tubuhmu seperti pelukan seorang istri.”
“Kopi? Bisa ngomong?”
Ketakutan telah sepenuhnya menguasai
pikiranku. Jelas sekali cangkir yang berada di hadapanku
kini itu bergerak-gerak dan cairan hitam di dalamnya
pun ikut beriak-riak. Tetapi aku mencoba untuk tetap
diam dan tidak beranjak. Kembali aku pandangi cangkir
kecil berisi kopi hitam itu. Kali ini dia diam. Apa mungkin
suara itu tadi hanyalah halusinasi di dalam otakku.
Namun, bagaimana dengan getaran-getaran cangkir dan
riak itu tadi. Apa mungkin di dalam kamar sempit ini ada
makhluk lain yang tidak terlihat oleh mata, makhluk-
makhluk yang oleh orang-orang disebut dengan hantu
atau setan atau dedemit atau genderuwo atau kuntilanak
atau pocong yang gemar sekali menakut-nakuti dan
169
GHOFIRUDDIN

bahkan menjahili makhluk paling penakut di seluruh


alam semesta bernama manusia.
Aku kibaskan pikiran itu. Di jaman serba modern
ini, manusia sudah tidak perlu takut lagi dengan
makhluk-makhluk aneh itu. Makhluk-makhluk itu
sebenarnya hanya memanfaatkan sisi gelap, sisi hitam
atau ketakutan dalam diri manusia. Dengan adanya
berbagai macam teknologi yang berhasil menyingkap
berbagai misteri alam semesta, makhluk-makhluk aneh
itu perlahan-lahan telah menyingkir dan sekarang
semakin jauh terkucil dari pikiran sehat manusia. Tapi
mungkin mereka masih saja bersemayam di dalam rasa.
“Hai, apa sih yang kamu tunggu?”
Suara itu muncul lagi. Masih dengan nada yang
sama, menggoda. Sebenarnya suara itu tidaklah asing di
dalam benakku. Aku sering mendengarnya di dalam
kehidupan sehari-hariku. Ya, suara itu sering aku dengar
ketika aku duduk berdua dengan pacarku. Suara itu juga
sering muncul dari speaker telepon genggamku saat
pacarku itu menelepon. Tapi, kenapa suara itu kini
muncul dari secangkir kopi.

170
DIALOG SECANGKIR KOPI

“Sebentar lagi aku dingin lho. Kalau sudah begitu,


rasaku menjadi hambar, menjadi tawar, dan tentu tidak
akan bisa menghangatkan tubuhmu yang sedang
kasmaran.”
“Gila. Elu kopi benar-benar kayak seorang pacar,
atau seorang istri, minta jatah,” tanpa sadar aku
menyahuti suara yang tidak jelas itu.
“Bukan seperti itu,” protesnya yang kali ini
terdengar bernada sedikit ngambek. “Aku hanya ingin
berbagi kasih denganmu. Aku ingin memberikan sesuatu
yang aku punyai, sesuatu yang berharga untuk aku
berikan kepadamu. Dan sesuatu itu adalah kehangatanku
yang bisa menghangatkanmu juga, yang bisa juga
menjernihkan pikiranmu, dan bahkan bisa menenangkan
kegalauan perasaanmu. Dan demi itu, aku mau dan aku
mampu memberikanmu keseluruhanku.”
“Heh, elu kopi romantis sekali,” sindirku. “Pasti
elu dari Italia yang belajar merayu dari seorang
Cassanova. Iya kan?”
“Bodoh banget sih kamu. Tidak ada bedanya
dengan manusia-manusia yang lain. Aku kira kamu
istimewa yang bisa mengambil pelajaran-pelajaran,
171
GHOFIRUDDIN

hikmah-hikmah dari sesuatu yang kecil atau dari sesuatu


yang tidak berarti dari sudut pandang dunia.”
“Gila. Sekarang jadi filusuf lu,” sindirku lagi,
meski agak terkejut juga. “Kalau begitu aku ingin
bertanya, kenapa manusia itu bisa berbeda-beda dalam
menikmati kopi, ada yang menikmati kopi itu dalam
sekali teguk tidak peduli kalau kopi itu masih sangat
panas, ada yang menikmati kopi itu, ya elu itu, sambil
merokok, ngobrol ngalor-ngidul, dan baru berjam-jam
kemudian, setelah kopi itu dingin, baru dihabiskan.
Menurutmu mana yang lebih benar, sedangkan elu tadi
menyuruhku untuk menikmatimu selagi hangat? Apakah
elu itu kalau sudah dingin, sudah tidak nikmat?”
Riak-riak kecil nampak dari permukaannya. Tapi
dia masih diam. Masih diam untuk berpikir. Mungkin.

*
Beberapa menit telah berlalu dan kopi itu masih
juga diam. Kepulan asap hangat kini sudah menghilang,
telah menyatu bersama udara-udara dingin yang
memenuhi ruangan sempit ini. Hanya riak-riak kecil itu
saja yang masih muncul di permukaannya. Sedangkan
172
DIALOG SECANGKIR KOPI

aku masih menunggu jawaban dari pertanyaan yang


kuajukan tadi. Kini, aku ditemani oleh sebatang rokok
yang beruntung tidak ikut berkata-kata ketika aku
menghisap dan menghembuskan asap berbau cengkeh
dan tembakau darinya. Kopi itu masih belum kusentuh
juga. Aku masih setia menunggu jawabannya.
Menit-menit kembali berlalu dan hanya riak-
riak kecil di permukaan itu saja yang mengganggu
pandangan mataku. Jiwaku juga sudah mulai terganggu.
Apalagi rokok yang menjadi teman dalam penantian ini
juga akan segera habis. Pikiranku mulai mengolok-olok
kopi itu yang mengatakan kalau aku bodoh. Sekarang,
siapa yang bodoh. Aku ataukah kopi yang terus beriak-
riak ini. Kenapa terlalu lama ia diam. Apa yang sedang ia
pikirkan. Bukankah ia telah memiliki pengalaman seribu
masa untuk menjawab pertanyaan sederhanaku.
Mungkinkah ia sedang membodohiku, terus diam dan
hanya menampakkan riak-riak sayu itu untuk membuat
jiwa dan pikiranku terganggu.
“Jancuk!” setengah sadar aku mulai mengumpat.
Tapi kopi itu tetap diam dan acuh tak acuh.
Malah riak-riak kecil yang tadi masih sering muncul di
173
GHOFIRUDDIN

permukaannya, sudah tidak ada lagi. Aku pandangi


permukaan kopi di dalam cangkir itu kini begitu tenang
seperti telah kehilangan ruh yang tadi merasukinya. Aku
mulai geleng-geleng kepala karena merasa yakin kopi
hitam itu sudah tidak bernyawa. Sekarang ia hanyalah
benda tak hidup, cairan berwarna hitam yang tidak
memiliki suara, benda mati yang tidak bisa protes ketika
diperlakukan semena-mena oleh makhluk yang hidup.
Terutama ketika diperlakukan semena-mena atau
ditindas oleh makhluk terakus di alam semesta ini
bernama manusia. Tapi, aku ini tidak mau menindasnya.
Entah kenapa aku masih menunggu kehadirannya dan
enggan untuk menenggaknya. Aku pandangi dia lebih
dalam hingga mataku melihat kekosongan, memandang
kehampaan wujud-wujud kebendaan. Aku telah hilang.
“Hai, maaf ya telah buat kamu menunggu lama.”
Suara itu hadir kembali tapi aku masih terjebak
di dalam kekosongan. Setengah sadar aku mendengar
suara itu tapi tidak memahami keberadaannya.
“Halo, kangmas, kakak, abang, sayang!”
Tiba-tiba saja mataku terasa pedih seperti
terkena percikan cairan hitam bernama kopi itu.
174
DIALOG SECANGKIR KOPI

Bagaimana caranya aku tidak tahu dan jelas tidak mau


tahu. Dalam kesadaran akan kehadiran kembali suara itu,
yang aku mau kini hanyalah jawaban. Ya, jawaban yang
tertunda karena riak-riak kecil yang gemar memancing
kemarahan dan kebosanan-kebosanan dengan tujuan
supaya terlupa akan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan. Pertanyaan-pertanyaan yang jika dilanjutkan
mungkin bisa menyingkap tabir-tabir kelam yang
mewarnai kehidupan. Dan, demi itu aku bertahan
menunggu jawaban dan kini aku siap mendengarnya
dari secangkir kopi hitam.
“Halo kangmas sayang. Sudah sadar?”
“Soyang-sayang kepala lu peyang. Terasuki
arwah seorang lonte lu?”
“Ah kangmas ini, nakal,” suaranya terdengar
seperti mencubit pahaku.
“Sudahlah, elu jangan menggoda terus. Apa
jawabannya?” tuntutku.
“Kangmas ini masih ingat saja. Aku kira sudah
lupa.”
“Jancuk, jangan menghindar terus lu,” aku mulai
kesal. “Lu ndak tahu apa, aku sudah menunggu seperti
175
GHOFIRUDDIN

orang gila. Hanya untuk sebuah jawaban aku rela


bermenit-menit menunggu di sini. Padahal semestinya
aku harus lekas mandi. Lu ndak tahu apa kalau jawaban
itu bisa menjadi inspirasi untuk tulisanku. Jadi, jangan
basa-basi lagi lu. Jancuk.”
“Iya iya. Ndak usah pakai joncak-jancuk seperti
itu juga pasti ku jawab,” balasnya.
“Lalu apa?”
“Manusia.”
“Manusia? Maksud lu?”
“Ya karena manusia itu berbeda-beda. Bukankah
itu sudah jelas. Apakah selama ini kamu menganggap
semua manusia itu sama yang harus diperlakukan sama
antara yang satu dengan yang lain.”
“Sialan, aku tidak seperti itu, kopi!”
“Jadi terserah kepada manusianya mau
menikmati kopi seperti apa. Tidak ada yang salah,
meskipun tidak ada satupun cara yang bisa dianggap
benar. Benar menurut suatu pihak, bisa saja salah
menurut pihak yang lain. Hanya saja dari berbagai
macam cara itu ada yang lebih mendekat kepada hakikat
kehidupan. Tapi ada pula cara yang lebih mendekati
176
DIALOG SECANGKIR KOPI

kebodohan karena tergoda oleh tipuan-tipuan. Eh, buat


apa catatan itu?”
“Ya buat catatan agar tidak mudah lupa.
Penjelasan lu mulai menarik soalnya. Lanjutkan, cara
yang mendekat kepada hakikat hidup itu seperti apa dan
cara yang mendekati kebodohan itu bagaimana?”
“Cara yang mendekat kepada hakikat kehidupan
adalah cara-cara yang sederhana, cara-cara yang penuh
cinta. Misalnya, seorang suami yang menikmati kopi
bikinan istrinya di waktu jam-jam istirahat sambil
bercengkerama bersama. Meskipun sebenarnya kopi itu
rasanya tidak karuan karena hanya hasil dari menumbuk
biji kopi sendiri dan bukan kopi instan buatan pabrik,
tapi dia tetap menikmatinya karena dia tahu secangkir
atau segelas kopi dari istrinya itu adalah sebuah wujud
perhatian, wujud cinta kasih.”
“Kalau anak-anak muda dan juga orang-orang
tua yang ngopi di warung kopi hingga berlarut-larut
itu?” tanyaku.
“Itu juga merupakan wujud kesederhanaan dan
juga sangat dekat dengan cinta kasih dan hakikat
kehidupan yaitu kebersamaan. Di saat seperti itu kopi
177
GHOFIRUDDIN

menjadi semacam perekat jiwa dari obrolan-obrolan


yang terkadang tidak jelas jluntrungannya. Di saat seperti
itu kopi akan menjadi tetap hangat dan tetap nikmat
meskipun sudah dingin. Di saat seperti itu, kopi bisa
membawa orang-orang yang sedang mengobrol itu
untuk menuju ke ranah pembicaraan yang lebih pelik,
yang menyangkut nasib hidup orang banyak, tidak hanya
melulu pembicaraan tentang basa-basi hidup bernama
asmara. Ya, asmara, sebuah cinta yang sangat sementara.”
“Wah, nada suara lu terdengar lebih serius dan
bijaksana sekarang. Bagus, bagus. Lalu, cara-cara yang
masuk ke dalam kategori mendekati kebodohan itu yang
seperti apa?”
“Yang bermewah-mewahan, yang mengikuti
selera pemilik modal, yang pasti berharga mahal.”
“Seperti orang-orang yang rela minum kopi
secangkir dengan harga 50ribu di kedai-kedai kelap-
kelip itu maksudmu?”
“Termasuk itu. Coba lu pikir..eh maaf.. coba kamu
pikir apa itu bukan bodoh namanya? Hanya demi
menuruti gengsi dan reputasi, mereka-mereka itu rela

178
DIALOG SECANGKIR KOPI

merogoh uang sebanyak itu hanya untuk secangkir kopi.


Kalau kamu pasti tidak mau.”
“Wah limapuluh ribu kalau aku ya cukup untuk
makan seminggu. Setelan irit.”
“Andai saja orang-orang di dunia ini seperti
kamu.”
“Seperti aku? Gila lu? Kalau orang-orang seperti
aku, dunia ini akan berjalan lambat, peradaban dan
kebudayaan bisa jalan di tempat…”
“Memang kenapa sih harus cepat-cepat.
Tampaknya orang-orang di dunia ini terburu-buru
sekali melihat kiamat.”
Benar juga kopi ini. Pikirku juga:
“Kenapa?”

*
“Mas, kenapa diam lama? Aku ini sekarang sudah
dingin lho. Apakah kamu masih menginginkanku?”
“Tentu saja,” tegasku setelah sempat terhenyak
beberapa saat dari perenunganku.
“Aku sudah tidak mungkin menghangatkanmu.”

179
GHOFIRUDDIN

“Sedingin apapun kamu, di dalam diriku, di


dalam darahku, kamu akan tetap hangat, karena kita
telah menyatu. Aku kamu, kamu aku. Satu” kataku.
“Bismillah.”
Dan dengan itu, aku mulai teguk cairan hitam
berkafein itu. Sekali teguk, sekali tandas, menyisakan
endapan-endapan basah bubuk berwarna hitam di
bagian terbawah cangkir. Dan sisa-sisa itu tidaklah sia-
sia. Tidak ada yang sia-sia dari alam semesta, dari sang
Pencipta. Manusia saja, dengan kerakusan dan setan di
dalam dirinya, yang gemar menyia-nyia.

180
Dancok

Tidak ada yang lebih fasih mengumpat daripada


dia. Setiap umpatan yang keluar berhamburan dari
mulutnya selalu memiliki artikulasi yang sangat jelas.
Bagaimana dia mengucapkan bunyi konsonan D yang
dibuka oleh vokal A dan ditutup kembali dengan
konsonan N di suku kata pertama benar-benar
menandakan sebuah kefasihan yang tiada tara. Tidak
sampai di situ, suku kata pertama yang belum jelas apa
makna yang terkandung di dalamnya langsung
disambung dalam sepersekian detik oleh suku kata kedua
yang memiliki nilai rasa lebih tinggi. COK.
Setiap orang yang mengenalnya dan mendengar
dia mengucapkan penggalan kata itu selalu merasa

181
GHOFIRUDDIN

tersentak. Dia memang seperti itu. Dia bukanlah orang


yang senang menggunakan kata saru itu untuk basa-basi,
atau untuk kata sapaan yang kata salah seorang profesor
bahasa menunjukkan sebuah tingkat keakraban yang
sudah sangat erat. Tapi dia tidak seperti itu. Dia selalu
menempatkan satu kata paling istimewa ini sesuai
dengan hakikat maknanya. Mengumpat. Memaki. Misuhi.
Selalu terkandung nada marah di dalam dia
mengucapkan kata yang satu ini. Dan, setiap orang yang
mengenal dia, anak dan istrinya, bapak dan ibunya,
kawan-kawannya, atau orang yang kebetulan
memusuhinya paham benar jika sebuah umpatan sudah
keluar dari mulutnya itu menandakan ada sesuatu yang
salah di dalam lingkungan masyarakat yang dia tinggali,
baik itu masyarakat tingkat kecil seperti keluarga
ataupun yang lebih tinggi seperti lingkungan negara.
Atau yang lebih tinggi lagi, lingkungan masyarakat
internasional yang dia sendiri tidak sanggup untuk
mengubahnya. Setidaknya menurut anggapan egoisnya
sendiri.
"Dancok!" umpatnya tatkala kopi yang dia minum
terlalu pahit.
182
DIALOG SECANGKIR KOPI

"Kenapa to pak?" tanya istrinya yang masih


berdiri di belakangnya.
"Dancok i, siapa yang suruh buat kopi sepahit
ini?"
"Gulanya habis pak, kalau ndak pingin pahit, aku
minta uang, buat gula," kata istrinya dengan sedikit
mangkel.
"Dancok," umpatnya lagi namun dengan
memalingkan muka dari wajah istrinya. "Yo wis, tak
budhal mbecak sik."
Kopi yang terlalu pahit buatan istrinya itu, dia
tinggalkan tergeletak begitu saja di atas meja. Dia juga
abaikan begitu saja istrinya yang masih berdiri di
belakangnya. Dia langsung menuju ke becaknya yang dia
parkir di pinggir jalan depan rumahnya. Segera dia
mengayuh becak itu dengan perut yang masih kosong
menuju ke terminal bis yang berjarak kurang lebih satu
kilometer dari rumahnya.
"Dancok," kali ini umpatannya terdengar lirih.
"Panas emen to Gusti," keluhnya pelan tapi
bernada marah.

183
GHOFIRUDDIN

Namun, selalu percuma dia mengumpat.


Umpatan yang keluar dari mulutnya selalu menambah
panas hatinya. Ujung-ujungnya tubuhnya juga ikut
panas, menyerap gejolak jiwa yang tidak mampu
dikendalikannya. Lalu, dia menjadi mudah cepat lelah.
"Dancok," umpatnya kembali saat dia tiba di
terminal tempat dia mangkal.
"Sampean iku, setiap gerak kok misah-misuh
thok. Ndang cepat tuwek nanti, cepet mati," seru seorang
kawannya sesama tukang becak.
"Dancok, diam koen,"
"Sudah misuh lagi," cerocos kawannya itu. "Ya
Allah sabar sekali Engkau ya Allah. Kok ada orang seperti
ini di dunia ya Allah."
"Dancok, matane asu," serunya dengan
menambahkan kata-kata saru yang lain. "Ndak usah
bawa Gusti Allah koen. Apa minta ditempeleng koen iku."
"Misah-misuh ae, penumpangmu nanti takut,"
tantang kawannya itu. "Kalau ndak dapat penumpang,
mau dapat uang darimana, mau menghidupi anak istri
dengan apa? Apa bisa menghidupi anak-istrimu dengan
DANCOKmu itu?"
184
DIALOG SECANGKIR KOPI

"Dancok, nglawan koen."


Dia turun dari becaknya menghampiri kawannya
dengan nafsu yang membabibuta untuk memukul wajah
kawannya itu. Wajahnya memerah dan nafasnya naik
turun dengan sangat cepat seperti layaknya seekor
banteng yang sedang mengambil ancang-ancang untuk
menanduk seorang matador. Kawannya itu tidak
bergeming, tetap berada di becaknya. Dia sudah sangat
siap. Kakinya sudah sangat siap untuk menendang
terlebih dahulu. Namun klakson bus yang menggema di
udara mengalihkan perhatian mereka. Pikir mereka,
tentu saja bus yang baru masuk ke dalam terminal itu
akan menurunkan sisa penumpang yang ada. Dan,
mungkin saja, ada salah satu atau dua dari penumpang
itu yang mau menggunakan jasa becak mereka.
"Dancok, awas koen," umpatnya melihat
kawannya itu yang telah mendahului memasuki areal
terminal.
Seketika dia kembali ke becaknya dan melompat,
berusaha menyusul kawannya yang mendahului itu.
Namun gagal. Kawannya itu telah sampai di ambang

185
GHOFIRUDDIN

pintu bis yang dari sana turun penumpang-penumpang


yang tampak lelah.
"Mau ke mana bu?" tanya kawannya itu. "Mari
saya antarkan."
"Tidak usah pak," balas ibu itu sopan.
"Jangan mau bu. Wong gendeng iku," teriaknya
menghina.
"Bersaing yo bersaing, tapi yo jangan menjelek-
jelekkan seperti itu."
"Dancok, koen dari tadi ceramah ae," dia
mengumpat lagi. "Mari bu sama saya saja."
Dia turun dari becaknya dan tanpa pikir panjang
langsung mengambil tas bawaan ibu itu dan
meletakkannya di kursi penumpang. Belum cukup, dia
meraih pergelangan tangan ibu itu dan memaksanya
untuk duduk di becaknya.
"Sini bu. Becak saya jelas lebih nyaman."
"Saya ini sudah dijemput anak saya pak."
"Halah mendah to bu? Mana anak panjenengan?
Belum ada kan? Daripada menunggu anak panjenengan
lama, lebih baik naik becak saya. Murah bu, tigapuluh
ribu saja."
186
DIALOG SECANGKIR KOPI

"Kalau saya ndak mau, ya jangan dipaksa seperti


ini pak."
"Ayolah bu. Masa ndak kasihan sama saya.
Sehari-hari buat makan saja susah bu. Apalagi anak saya
tiga butuh uang sekolah juga. Terus bapak-ibu saya
juga..."
"Dancok pak sampean iku," umpat ibu itu pelan
namun dengan ketegasan yang mengagetkan semua
orang sembari menghempaskan pegangan tangan yang
sedari tadi membelenggu pergelangannya.Umpatan ibu
itu juga membuat dia terdiam.
"Kalau ndak mau ya ndak mau pak. Kalau
menderita ya itu hidupmu, ndak usah dibawa-bawa
kemari, ndak usah merengek-rengek seperti anak kecil
seperti itu."
Merah padam mukanya. Baru kali ini dia
dipisuhi oleh seorang wanita. Ibunya, saudara-saudara
perempuannya, istrinya, dan bahkan perempuan-
perempuan jalang yang pernah tidur dengannya saja
tidak ada yang pernah misuhi dirinya. Tapi justru
perempuan dengan penampilan priyayi ini yang
kebanyakan mereka dikenal dengan kehalusan dan
187
GHOFIRUDDIN

kesantunan tutur kata, yang berani misuhi dirinya. Dan,


dia tidak bisa berbuat apa-apa. Umpatan-umpatan
balasan untuk perempuan itu hanya tersimpan rapi di
dalam pikiran. Tenggorokannya terasa tercekat karena
saking malu karena kawan-kawannya, tukang becak,
tukang ojek, sopir, kenek, kondektur bis, dan orang-
orang terminal mulai menertawakan dan mengolok-
oloknya. Dia terlalu marah untuk mengeluarkan kata-
kata.

*
"Pak, tumben diam saja," tegur istinya yang heran
dengan perilaku suaminya. "Biasanya kalau lihat berita
seperti itu sudah..."
"Sudah apa?" tanyanya sambil memandang
istrinya dengan kalem namun tajam.
"Maaf lo ya pak."
"Iya."
"Sudah misuh-misuh."
"Dancok maksudmu?" tanyanya kalem.

188
DIALOG SECANGKIR KOPI

"Iya itu maksudku," istrinya benar-benar heran


karena kali ini dia mengucapkan kata itu dengan sangat
lembut bahkan terkesan romantis.
"Aku itu sedang berpikir, kenapa kamu itu tidak
pernah misuhi aku? Padahal mungkin jika kamu sedikit
berani misuhi aku, mungkin aku ini tidak akan terlalu
berlaku kasar terhadapmu. Selama ini, kalau aku pikir-
pikir, bisaku itu cuma misah-misuh thok. Obah sak obah
misuh. Ndak jelas apa yang dipisuhi."
Wajah istrinya jelas menunjukkan keheranan
yang teramat sangat. Dalam benak istrinya itu mungkin
sekarang sedang terbersit pertanyaan-pertanyaan seperti,
kerasukan setan mana suaminya ini, orang terbiasa
misuhi kok jadi minta dipisuhi. Aneh. Istrinya itu menjadi
merinding dan ketakutan tiba-tiba merasuki dirinya.
"Sampean ndak apa-apa to pak? Sampean apa
sakit?"
"Maksudmu edan gitu to?"
Hening. Istrinya tidak berani menjawab
pertanyaan itu. Ingin sekali istrinya itu mengiyakan, tapi
dia takut umpatan-umpatan akan kembali berhamburan

189
GHOFIRUDDIN

dari mulut suaminya. Meskipun, sebenarnya dia sudah


sangat terbiasa dengan itu.
"Kalau dipikir-pikir, aku itu memang gila. Misah-
misuh ndak jelas bukankah itu sama saja dengan gila.
Lebih gila lagi karena bisaku hanya misah-misuh dan
tidak bisa mengubah sesuatu dari yang ku pisuhi itu.
Seharusnya aku lebih pandai menahan lisanku.
Seharusnya aku lebih menguatkan kesadaran dan
perbuatanku."
Tidak ada kata-kata lagi. Sudah cukup. Kata-kata
itu sudah hilang, tinggal maknanya saja kini yang
meresap di dalam pikiran dan perasaan. Yang ada kini
hanya kemesraan. Yang ada kini hanya kehangatan.
Dancok itu telah terurai kembali menjadi satuan bunyi
yang tidak berarti apa-apa. Dancok kini berubah menjadi
tinggi maknanya karena dihayati dalam kehangatan
peluk dan cinta. Dancok itu manusia.

190
Pusing

Hidupku sekarang seperti ini. Bangun di pagi


hari yang masih belum berwarna. Tapi, sudah harus
didesak oleh rutinitas-rutinitas, oleh keteraturan-
keteraturan yang mengekang seluruh alam jiwaku. Di
menit-menit ini, tidak mungkin lagi aku bisa seperti dulu.
Mata masih terpejam. Pikiran masih berkelana dalam
ketidaksadaran, membawa serta perasaan dalam mimpi-
mimpi yang tidak masuk akal. Tapi, penuh dengan rasa.
Tidak bisa lagi aku seperti itu atau lebih tepatnya tidak
boleh. Tapi, memang siapa yang tidak membolehkan.
Apakah boleh atau tidak boleh ini murni karena
kemerdekaan jiwaku. Ataukah, hanya karena belenggu
ikatan lingkungan yang mempermainkan naluri-naluri
191
GHOFIRUDDIN

hewan dalam diri, keinginan-keinginan berlebihan yang


selalu ingin diperturutkan. Pusing.
Gila. Masih terbaring, meski mata sudah terbuka
saja sudah pusing. Bagaimana nanti jika aku paksakan
untuk duduk, apakah darahku mampu mengalir ke atas
memenuhi otakku melawan kekuatan gravitasi. Lantas,
bagaimana jika aku langsung berdiri. Mungkin aku akan
langsung terjatuh, hilang kesadaran dan kembali sejenak
ke dalam hitam. Hitam yang pusing. Mungkin juga aku
bisa sedikit bertahan. Menundukkan kepalaku.
Merendahkan ketinggian posisi tubuhku. Serendah
mungkin, hingga jidat ini langsung menatap dan
bersentuhan dengan lantai yang keras dan yang dingin.
Mungkin juga tidak terjadi apa-apa pada diriku. Jalanku
saja sedikit sempoyongan seperti orang mabuk. Dengan
berhenti sejenak, sedetik kemudian aku sudah bisa
melanjutkan jalan. Tapi kepalaku harus menunduk.
Harus berpegangan tanganku pada dinding-dinding
yang tidak pernah keberatan menjadi sandaran tubuhku.
Pusing ini masih belum seberapa. Aku masih
terbaring sendiri dan membiarkan mata ini melihat
kesendirian yang begitu ramai. Aku masih belum
192
DIALOG SECANGKIR KOPI

bertemu manusia. Lihat saja, manusia-manusia, urusan-


urusan mereka, keinginan-keinginan, dan perilaku-
perilaku mereka selalu memusingkan kepala. Tidak bisa
tidak. Jika melihat dan mendengar kegaduhan mereka,
aku merasakan keramaian yang sepi. Lihat saja, jika aku
keluar dari kamar ini, suara-suara mereka akan
memekakkan telingaku. Manusia yang biasa aku sebut
dengan ayah itu akan langsung menasehatiku,"Cepat
mandi. Jadi orang jangan klelar-kleler." Tentu aku tidak
berani membantah. Aku hanya berani memendam dan
bertambah pula satu poin pusing di dalam diriku.
Kemudian, mungkin di dapur aku akan
menjumpai sesosok manusia yang paling anggun di
muka bumi. Aku memanggilnya ibu. Manusia yang satu
ini penuh dengan kelembutan dan kasih sayang
kepadaku. Mungkin saat berjumpa di dapur itu, dia akan
berkata,"Maem dulu le. Ibu sudah masak. Sudah lapar
kan kamu?" Ah ibu. Belum apa-apa dia sudah
mencurahkan cinta. Pagi masih sepi seperti ini dia sudah
memikirkan asupan tubuh anaknya. Tentu aku akan
menurutinya. Aku juga cinta padanya. Tapi, pusing itu
akan kembali karena ibu memasak itu-itu saja. Pasti aku
193
GHOFIRUDDIN

hanya akan mendapati nasi yang warnanya sedikit


kuning kusam karena terlalu lama tersentuh panas benda
penghangat yang bernama magic jar. Lalu pasti ada
beberapa biji tempe goreng yang di beberapa bagiannya
telah tercampur oleh warna hitam berbau arang. Tempe
gosong. Lalu, sayurnya kalau tidak sayur lodeh tahu
tempe dengan kuah warna kuningnya yang membuatku
ingin muntah, pasti sayur daun ketela dengan kuah
santannya yang terlalu kental yang melihatnya saja
sudah membuat perutku mual. Jika sudah seperti ini, aku
hanya akan mengabaikan cinta itu. Cinta itu, perhatian
itu tidak bisa menyembuhkan pusingku meski aku selalu
rindu.
Mungkin seteguk air yang membasahi
tenggorokan bisa menyegarkan pikiran, atau setidaknya
bisa sedikit menghalau pusing yang masih bersemayam
di dalam diriku. Tapi. Lagi-lagi tapi, tapi dan tapi. Tapi
persediaan untuk minum selalu mengandung kapur-
kapur kejam yang berplesir, melayang-layang di dalam
air, membawa kekeruhan yang bisa mengganggu
metabolisme rentan tubuh manusia. Kapur-kapur itu bisa
mengganggu pencernaan, mungkin membuat lambung
194
DIALOG SECANGKIR KOPI

perih, mungkin membuat usus-usus menjadi buntu,


mungkin kapur-kapur itu mengandung racun yang bisa
membuat lever dan pankreas kewalahan, mungkin
kapur-kapur itu bisa menggumpalkan darah di dalam
nadi, mungkin kapur-kapur itu punya sebuah kekuatan
untuk membuat jantung bekerja keras, hingga terlalu
keras, dan akhirnya mungkin stroke, sebuah keadaan
pusing kuadrat yang mungkin bisa menjadi sebuah
pembunuh tanpa harus dekat-dekat.
Mungkin pusing di pagi seperti ini bisa
dienyahkan dengan membuang kotoran-kotoran, tahi-
tahi sisa makanan yang membuat tubuh ini terasa berat,
dan mungkin secara tidak langsung membuat pikiran ini
penat. Lalu setelah itu mandi, mengguyurkan air
penenang ke seluruh tubuh yang akhir-akhir ini sering
sekali mengaduh. Lalu wangi sampo yang mengusap
rambutku, harum sabun melati yang menggosok tubuhku
bisa menjadi sebuah terapi jitu untuk mengatasi pusing
yang tidak akan pernah berlalu. Efek wangi itu mungkin
hanya sesaat. Namun, setidaknya cukup membantu
dalam memberikan kesegaran semangat di pagi hari.

195
GHOFIRUDDIN

*
"Oey," teriakku di depan pintu kamar mandi yang
terkunci. "Cepet oey. Gantian!"
Sialan. Teriakanku diabaikan. Terdengar dari luar
sini, frekuensi guyuran yang lambat-lambat diiringi oleh
nada-nada sumbang suara seorang gadis remaja yang
mengejek abangnya. Dasar perempuan. Mandi saja
dibuat lama-lama. Memang apa enaknya. Apa tidak takut
masuk angin. Apa dipikir mandi lama-lama itu bisa
menghapuskan kotoran-kotoran di kulit secara
permanen. Tidak bukan. Kotoran-kotoran itu, debu-debu
yang menempel di permukaan kulit itu, bau asam
keringat itu, kuman-kuman itu hanyalah pergi untuk
kembali. Kalau tidak ingin mereka-mereka itu kembali,
jalan terbaik adalah mati.
Sialan. Rokok sudah habis satu batang,
perempuan muda di dalam belum juga keluar-keluar.
Apa dipikir kamar mandi itu miliknya yang dia kuasai
sepenuhnya, yang dia bisa gunakan air di dalamnya
semaunya. Sialan. Di rumah ini juga ada orang lain. Ada
aku abangnya yang kini sedang terkencing-kencing dan
terkentut-kentut menahan berak yang sudah berada di
196
DIALOG SECANGKIR KOPI

pintu dubur. Ada ibu yang mungkin juga butuh air untuk
memasak atau untuk mencuci pakaian. Dasar bocah,
pikirku. Kapan menjadi benar-benar dewasa jika masih
terus-menerus mengikuti ego seperti ini. Dan, aku sudah
mulai kembali pusing karena muak.
"Oey, cah ayu!" bentakku. "Jangan dihabiskan
sendiri airnya. Mau pergi sekolah apa mau pergi kencan
kamu itu!"
Dan dengan kata-kata itu, aku mulai mengetuk
pintu kamar mandi. Perlahan, dan masih saja diacuhkan.
Dia malah bernyanyi dengan suara yang lebih kencang.
Aku tambah kekuatan ketukan. Semakin sering dan
semakin kuat. Ditambah dengan emosi yang sedang
melunjak dan daya tahan menahan berakku sudah
hampir menyentuh batas, ketukan itu berubah menjadi
gedoran. Tak ayal, gedoran-gedoran itu pun juga diiringi
dengan umpatan-umpatan. Akhirnya dia keluar.
"Ngapain saja di dalam?" selidikku.
"Bukan urusanmu."
Tidak ada waktu untuk meladeni. Berakku sudah
sedia muntah.

197
GHOFIRUDDIN

*
Sudah mandi, tapi belum sarapan. Lapar. Dan
kalau dibiarkan pasti juga membuat pusing. Pusing. Di
rumah, makanannya tidak menggugah selera. Makan di
luar, uang sisa gaji sebulan tinggal kepingan-kepingan.
Kalau tidak makan, ya itu tadi. Pusing. Manusia yang
hidup di dunia mana ada yang tidak pusing. Apalagi
orang seperti aku yang susah sekali mengendalikan diri,
apalagi menata hati. Memikirkan ini pusing. Memikirkan
itu pusing. Memikirkan sepeda motor ini, apakah bahan
bakarnya nanti cukup sampai tempat kerja atau tidak,
pusing. Memikirkan nanti harus berhadapan dengan
manusia-manusia di tempat kerja seperti apa atau
bagaimana, juga pusing. Mengapa tidak mengalir saja.
Ya, mengalir saja.
Dengan itu sepeda motorku mulai berjalan.
Belaian udara pagi mampu meredakan sedikit pusing di
dalam diriku. Udara pagi yang masih segar mengisi
paru-paru dada yang semakin hari disesakkan oleh
kepusingan-kepusingan hidup yang semakin banyak,
semakin rumit, semakin sulit. Udara pagi mampu
melapangkan dada, mengisi ulang daya kesabaran yang
198
DIALOG SECANGKIR KOPI

nanti semakin siang akan semakin dipenuhi dengan


tekanan-tekanan. Tapi ini masih pagi, tidak usah terlalu
dipusingkan. Apalagi dijejalkan di dalam kepala yang
sedang terbungkus helm teropong kuning.
Aku kendarai sepeda motorku perlahan. Aku
nikmati jalanan yang biasa aku lalui ini. Aku lewati
rumah pacarku yang kini sedang kuliah di luar kota,
yang aku ingin sekali memperistrinya. Selain karena
sudah lama pacaran, juga karena sudah terlalu banyak
noda yang aku semaikan bersamanya. Aku ingin
membersihkannya. Tapi aku takut untuk melanggar
mitos kepercayaan yang diadatkan, yang kata orang-
orang tua, 'lelaki dari sini tidak boleh menikah dengan
perempuan dari sana, kalau dilanggar pasti ada yang
mati dalam ketidakbahagiaan'. Aku berusaha untuk tidak
mempercayai omong kosong itu. Semua orang pasti mati.
Tapi tidak tahu kenapa, memikirkan mitos itu aku
menjadi pusing. Kemantapanku menjadi kering karena
jelas aku takut terasing. Lebih dari itu, aku takut karena
terngiang kata 'mati'.
Rumah pacarku sudah aku lalui. Kini yang
tampak di kanan dan kiri jalan adalah hamparan hijau
199
GHOFIRUDDIN

sawah yang tenang. Jauh di sebelah utara ada Rajegwesi,


sebuah bukit memanjang yang berbentuk seperti buaya
yang sedang berenang di lautan semesta. Namun diam
dan tidak memiliki ketakutan akan kehancuran. Tiada
takut. Tidak seperti aku yang bahkan tidak berani melirik
pekuburan jauh di selatan dengan taman-taman bunga
kambojanya yang semerbak. Membayangkan tubuhku
berada di dalamnya saja, aku takut. Apalagi harus
hancur, dikoyak-koyak oleh organisme-organisme di
dalam tanah. Lebih takut lagi, karena setelah di dalam
sana, aku tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Aku
tidak memiliki cukup keyakinan untuk menjadi berani
karena duniaku terlalu materi.
Aku tengok jam di pergelangan tangan kanan
kiriku. Kemudian aku percepat laju sepeda motorku. Aku
tidak ingin terlambat dan didamprat orang-orang
keparat. Orang-orang yang menganggap diri mereka
atasan yang memiliki wewenang atau kuasa penuh atas
kehidupan para bawahannya. Mereka adalah orang-
orang bodoh perusak keharmonisan semesta. Mereka
adalah orang-orang tamak yang keberadaannya
memusingkan manusia-manusia. Begitu juga aku pusing
200
DIALOG SECANGKIR KOPI

berhadapan dengan mereka. Pusing karena tidak mampu


berbuat sesuatu untuk menantang kesewenang-
wenangan dan penindasan-penindasan yang terbungkus
oleh tindak dan tutur kata halus yang sebenarnya mudah
sekali diendus. Pusing karena mereka adalah orang-
orang yang menggajiku, yang dengannya aku memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupku. Pusing. Jika terus seperti
ini, apa bedanya aku dengan anjing.

*
aku putuskan,
aku berbelok menuju pantai,
kabur dari hingar-bingar kemunafikan materi.

aku ingin pantai,


aku ingin santai,
menikmati keindahan debur ombak samudra
yang mampu menggetarkan jiwa.

kepalaku terlalu pusing


jiwa ini terlalu lama berkelana
di dalam tubuh dunia,
201
GHOFIRUDDIN

hingga menjadi pengecut,


hingga menjadi penakut,
hanya karena naluri kecil
yang menjadikan pikiran kerdil.
aku tidak ingin itu.

aku putuskan,
pusingku bukan karena aku,
pusingku karena cintaku tidak menyentuh selain
aku,
pusingku bukan karena manusia
mengabaikanku,
pusingku karena hidupku masih jauh dari jalan
itu,
hidupku belum mampu berjalan berdampingan
dengan matiku,
fanaku belum tertuju untuk abadiku.

202
Kembang Teratai

Malam begitu tenang, tapi di luar suasana begitu


mencekam. Desau angin mendesis menghembuskan
ketakutan pada jiwa-jiwa yang kelam. Daun-daun yang
saling bergesekan terdengar begitu jelas meruntuhkan
hati yang hendak bersenandung dengan gempita malam.
Jendela-jendela rumah yang tidak tertutup rapat
gemeletuk tidak karuan seperti sengaja bergerak dengan
sendirinya. Apalagi sedari sore listrik padam, suasana
kian mencekam seperti tiada kehidupan. Manusia-
manusia pun telah begitu lelap mengarungi mimpi
masing-masing. Tentu saja bagi mereka yang bermimpi.
Mereka terlalu lelah untuk menyimak pertanda alam.
Mereka telah hilang ditelan kegelapan.
203
GHOFIRUDDIN

Begitu juga di sebuah rumah di pojok kampung.


Seorang anak balita terlelap didekap begitu erat oleh
ibunya. Cuaca memang begitu dingin. Udara luar begitu
leluasa masuk ke dalam rumah lewat celah-celah
dinding yang hanya berupa anyaman bambu. Orang
Jawa biasa menyebut rumah yang sedemikian omah
gedhek. Ibu itu menggigil kedinginan. Namun ia tidak
akan membiarkan itu terjadi pada buah hatinya. Matanya
terpejam namun pikirannya masih bekerja. Ia tidak bisa
tidur. Pikirannya kalut. Ia mengkhawatirkan suaminya
yang sampai hampir tengah malam ini belum juga
pulang. Sore tadi suaminya pergi untuk menghadiri
undangan syukuran pengesahan para siswa perguruan
silat Teratai yang telah disahkan menjadi pendekar. Ia
sebenarnya terbiasa dengan keadaan ini. Suaminya
memang sering pulang larut malam karena melatih
siswa-siswa Teratai. Namun malam ini, ia merasakan
sesuatu yang lain. Ia seolah mendapat firasat bahwa
terjadi suatu musibah pada suaminya.
Pintu pun diketuk pelan. Ia pun membuka
matanya. Ia yang setengah terlelap begitu girang dengan
ketukan itu. Ia yakin itu suaminya. Setelah menyelimuti
204
DIALOG SECANGKIR KOPI

anaknya ia turun dari dipan di kamarnya itu. Ia


menyalakan lilin di ruang tengah kemudian melangkah
ke pintu. Pintu kayu dengan dua sisi engsel itu pun
dibuka salah satunya. Alangkah terkejutnya ia, karena
orang yang di depannya bukan suaminya. Ia terperanjat
karena dilihatnya sesosok berpakaian serba hitam. Sosok
itu menutup wajahnya dengan cadar hitam. Hanya
tampak sorot kedua matanya yang gelap pekat.
Ketajaman sorotan mata itu mengandung kekejaman
yang tersirat. Sontak, ia berusaha menutup pintu itu.
Namun sebelum pintu benar-benar tertutup sosok itu
mendobrak maju dengan kuat. Ia pun tersungkur jatuh
ke lantai tanah. Ia kembali menggigil karena ketakutan
yang ditambah dengan udara malam yang masuk
menyerang.
“Siapa kamu?”, tanyanya dengan gemetaran.
Sosok itu hanya diam. Pandangannya menjelajah
dari sisi ke sisi tubuh wanita yang tergeletak miring di
depannya. Pikirannya terhanyut akan kemolekan tubuh
sang wanita. Dalam hitungan detik, jiwanya telah begitu
menggelegak dengan nafsu hewani. Ia tidak mampu
menahannya dan memang ia tidak mau. Ia ingin
205
GHOFIRUDDIN

melampiaskannya mumpung ada kesempatan. Ia


membuka cadarnya dan mulai melangkah menyerang
disertai seringai senyuman setan.
“Apa maumu?” wanita itu semakin ketakutan.
Lelaki itu tetap diam dan memulai aksinya yang
bejat. Sang wanita mencoba melawan, namun ia tidak
berdaya menghadapi otot-otot kekar yang menghimpit
tubuhnya. Lelaki itu tampak sangat menikmati
perbuatannya walaupun hanya sekejap. Sebaliknya sang
wanita sangat tersayat-sayat hatinya. Ia menangis tersedu
namun lelaki itu tidak menghiraukan. Ia hanya menatap
kemudian menutup wajahnya kembali dengan cadar.
“Bangsat kau…”, wanita itu berucap lirih sambil
tersedu memaki-maki lelaki misterius itu.
Tampaknya makian itu telah menaikkan darah
sosok lelaki misterius itu. Ia kembali menghampiri wanita
yang masih tergeletak lemas itu. Dengan sangat kejam
ditendangnya kepala wanita itu. Wanita itu mengaduh.
Namun di balik kesakitan itu muncullah keberanian yang
berapi-api. Ia kembali memaki. Ketika lelaki itu berbalik
untuk menuju ruang belakang rumah, ia bangkit, meraih
bonggolan kayu yang digunakan untuk mengunci pintu
206
DIALOG SECANGKIR KOPI

rumah, dan menyerang sosok itu. Sosok lelaki itu berkelit


tanpa melihat arah serangan dan sejurus kemudian telah
melakukan tendangan ke arah perut wanita itu. Wanita
itu terpelanting dan darah pun muncrat dari mulutnya
ketika ia jatuh berdebam di atas tanah lantai rumah yang
keras. Wanita itu pingsan.
Tengah malam kini telah berganti pagi. Dini hari
sekarang membayangi. Lelaki sosok misterius itu kini
sembunyi di bagian belakang rumah yang gelap pekat.
Bagian itu adalah dapur. Ia memasang telinganya
sedemikian rupa. Ia berusaha untuk mendengar setiap
pergerakan alam malam. Ia masih menanti. Seseorang
yang menjadi incaran utamanya belum dihabisinya. Ini
adalah misi dan ia tidak peduli jika harus mati. Ia juga
tidak peduli jika orang lain mati.
Dentang satu pagi dini hari. Sosok itu telah
menunggu hampir satu jam. Ia telah mulai kehilangan
kesabaran. Jika fajar menyongsong, seseorang yang
menjadi incarannya tidak juga menunjukkan muka, misi
ini akan lebih sulit. Namun, keberuntungan
menghampirinya. Terdengar suara deru motor yang
berhenti tepat di depan rumah. Terdengar pula suara
207
GHOFIRUDDIN

langkah kaki yang bergegas memasuki rumah. Tampak


seorang pria berkulit sawo matang dengan mata sipit
seperti Cina. Rambutnya panjang sebahu dibelah tengah
dengan kucir mirip ekor kuda di belakangnya. Ia
berpakaian layaknya pesilat yang akan bertanding di
sebuah kejuaraan. Tentu saja, ia sangat terkejut melihat
seorang wanita tergeletak di lantai tanah rumahnya.
Hatinya tercabik mengetahui pakaian wanita itu yang
merupakan istrinya terkoyak-koyak. Sekonyong-konyong
ia berlari menghampiri, berlutut dan meletakkan kepala
istrinya di pangkuannya.
“Ayunda, bangun ayunda, apa yang terjadi
denganmu?”, suaranya campuran antara sedih, kasihan
dan marah sekaligus.
Sosok yang bersembunyi di dapur
mendengarnya.
“Ini kesempatanku”, pikirnya dalam hati.
Seolah tanpa suara, sosok misterius itu telah
mengendap ke ruang tengah dan sejurus kemudian telah
meloncat sembari melakukan tendangan ke arah kepala
lelaki yang baru tiba. Lelaki itu yang tidak begitu siap
tidak sanggup berkelit. Beruntung, ia sempat melindungi
208
DIALOG SECANGKIR KOPI

kepalanya dengan menyilangkan tangannya. Tendangan


itu tertahan. Sosok misterius itu langsung salto ke
belakang. Ia langsung memasang kuda-kuda dan bersiap
menyerang kembali. Jelas, ia tidak mau memberikan
kesempatan kepada lawannya untuk bersiap. Sedetik
kemudian ia telah kembali menendang lawannya yang
masih dalam posisi duduk. Kali ini tendangannya dapat
dihindari dengan gesit. Lelaki yang diserang berguling-
guling di tanah. Menemukan keadaan yang lebih lapang
ia langsung pasang kuda-kuda. Pergumulan itu
berlangsung dengan sengitnya. Keduanya mengeluarkan
jurus-jurus dengan teknik dan kecepatan tinggi.
Gemuruh dan hujan deras yang saat ini turun menambah
ketegangan pertarungan semakin menjadi. Saat sang
sosok misterius mulai merasa staminanya kian menipis, ia
berhenti dan mengeluarkan pedang dari sabuknya yang
dislempangkan menyilang di punggungnya. Pedang itu
adalah yang disebut katana atau pedang samurai Jepang.
Ia tampak ingin segera mengakhiri pertarungan. Misinya
kini jelas yaitu membunuh lelaki yang menjadi lawannya
kini.

209
GHOFIRUDDIN

Sosok misterius itu memasang kuda-kuda yang


aneh. Ia memiringkan badannya dan melebarkan kedua
kakinya sehingga tubuhnya menjadi lebih rendah.
Tangan kanannya memegang gagang pedang dengan
sikunya diarahkan ke belakang. Telunjuk dan jari
tengahnya menyentuh pucuk pedang. Pada titik ini, jelas
yang menjadi sasarannya adalah dada. Dengan sekejap ia
melakukan teknik mengerikan ini. Lawannya yang juga
sudah kehilangan banyak stamina dan konsentrasi tidak
mampu menghindari serangan kilat itu. Di situlah
akhirnya. Pedang itu tepat menikam dadanya. Sosok itu
membiarkan pedangnya menancap sejenak di dada
lawannya sebelum mencabutnya. Ketika pedang dicabut,
menyemburlah darah dari titik tikaman di dada lelaki itu
diikuti dengan muntahan darah dari mulut. Pendarahan
yang luar biasa. Entah butuh berapa menit untuk
mengantarkannya ke dalam kematian. Tapi yang jelas,
lelaki itu mati. Ia mati mengenaskan.
Sebelum memutuskan meninggalkan tempat,
sosok misterius itu mencekoki wanita yang pingsan
dengan sebuah pil. Pil itu adalah racun yang sangat
mematikan. Ia khawatir karena si wanita telah melihat
210
DIALOG SECANGKIR KOPI

wajahnya. Ia tidak memiliki pilihan lain selain


membunuhnya.
Setelah memastikan kematian keduanya, ia
dengan cepat tanpa suara melangkah ke pintu. Tapi ia
merasa ragu untuk segera meninggalkan rumah itu. Ia
merasa ada yang tertinggal. Ia berbalik dan memeriksa
kamar satu-satunya di rumah itu. Di sana, ia menemukan
seorang bocah yang begitu ketakutan hingga tangisannya
tidak bersuara. Ia bersembunyi di balik gedhek kamar
yang hanya berpintu kelambu. Ia duduk di atas tanah
sambil memegangi kedua lututnya yang terlipat. Bocah
itu telah menyaksikan aksi pembantaian terhadap kedua
orang tuanya. Entah apa yang akan terjadi dengannya
kini.
“Ah bocah, kasihan sekali kau”, hibur sosok
misterius itu sambil membelai rambut anak itu.
Anak itu justru semakin takut. Ia merunduk tidak
berani menatap mata hitam yang kejam itu. Sosok itu
membuka penutup wajahnya dan tersenyum.
“Jangan kau anggap jahat aku ini. Tapi aku juga
bukan orang baik. Aku membunuh kedua orang tuamu
karena aku harus melakukannya. Ini adalah pekerjaanku
211
GHOFIRUDDIN

bocah. Aku juga butuh makan. Ah, andai kau orang


dewasa pasti sudah kubunuh kau”, sosok itu
mengatakannya dengan tenang tanpa dosa yang malah
membikin si bocah tambah gemetaran.
“ehmm… aku kasih tahu kau, semua di dunia ini
jahat, tapi kau boleh mengatakan sebaliknya, semuanya
baik. Yang jelas tidak ada yang pasti di dunia ini bocah”.
“Maafkan aku”. Itulah kata terakhir sosok
misterius itu. Ia pergi seperti menghilang, cepat dan
tanpa suara. Ia membiarkan pintu depan terbuka tapi
lilin di ruang tengah ia matikan.
Bocah itu masih menggigil ketakutan. Namun,
akhirnya ia terlelap juga dalam keadaan duduk sambil
memegangi lututnya. Sungguh kasihan si bocah. Ia telah
menjadi yatim piatu. Dunianya sungguh kejam dan
kelam. Entah, akan sanggupkah ia bertahan atau tidak
mengarungi kerasnya kehidupan.

212
DIALOG SECANGKIR KOPI

TENTANG PENULIS

Ghofiruddin atau Ghofir saja lahir di Trenggalek pada 16


Desember 1990. Dialog Secangkir Kopi ini merupakan
buku kumpulan cerita pendek yang pertama kali dia
terbitkan. Sebelumnya dia telah menerbitkan tiga buku
kumpulan puisi, yaitu: Catatan Seorang Mbambung
(Diandra Creative, 2016), Perempuan Sekilas Pandang
(Sembilan Mutiara, 2018) dan Timur Daya (Diandra
Creative, 2019).

Untuk berkomunikasi dengannya bisa melalui kontak


email galfianvagabond@gmail.com atau akun facebook
Ghofiruddin

213

Anda mungkin juga menyukai