Dialog
Secangkir
Kopi
DIALOG SECANGKIR KOPI
Kumpulan Cerita
oleh
Ghofiruddin
Penyunting: Ghofiruddin
Desain Sampul Buku: M. Andriyanto
Diterbitkan oleh:
Diandra Kreatif
Anggota IKAPI (062/DIY/08)
Jl. Melati No.171, Sambilegi Baru Kidul,
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Email: diandracreative@gmail.com
Telp. (0274) 4332233, 485222 (faks.)
Instagram: diandraredaksi, diandracreative
Twitter: @bikinbuku
Facebook: www.facebook.com/diandracreativeredaksi
iii
GHOFIRUDDIN
Penulis
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI v
Bagian Satu 1
Lamunan Sepeda Butut 3
Wulan 25
Bulan di Keremangan 43
Bagian Dua 71
Catatan Nomor 14 73
Sinar Rembulan 85
Godaan Cinta 99
Pragmatik 111
Sarjana Muda 125
In-telek So’sial 137
v
GHOFIRUDDIN
vi
Bagian Satu
Lamunan Sepeda
Butut
7
GHOFIRUDDIN
12
DIALOG SECANGKIR KOPI
14
DIALOG SECANGKIR KOPI
“Ya jadi no. Ini sebentar tak lihat dulu mur sama
bautnya. Butuh nyiseti kelihatannya,” balasnya sambil
tersenyum menandakan semangat muda yang masih
membara.
“Ealah. Sekalian lihatkan punyaku, bisa?” pintaku.
“Gampang geng. Sik yo.”
Dia kemudian masuk ke dalam rumahnya yang
berlantaikan tanah, berdindingkan anyaman bambu yang
dicat dengan warna putih yang begitu pucat seperti
sekarat. Atap gentengnya terlihat sekali ada beberapa
bagian yang bercelah sehingga beresiko bocor ketika
hujan tiba.
“Sarapan geng. Itu di dalam rumah ada makanan.
Lek pingin” katanya ketika keluar dari rumah sambil
membawa obeng dan engkol.
“Peh, sebenarnya yo lapar ini. Belum sarapan ini
tadi. Wong omah wis podo sarapan belum cak?” tanyaku
dengan merasa tidak enak kalau saja pemilik rumah
malah belum ada yang sarapan.
“Wis geng podoan. Tenang ae,” katanya.
“Beneran cak. Aku ndak sungkan-sungkan lho,”
jawabku lalu masuk ke dalam rumah.
20
DIALOG SECANGKIR KOPI
23
Wulan
32
DIALOG SECANGKIR KOPI
39
GHOFIRUDDIN
41
Bulan
di Keremangan
48
DIALOG SECANGKIR KOPI
*
Kamar itu terlihat begitu nyaman dan lapang.
Springbed dengan ukuran 1,25x2 meter yang
diselubungi dengan seprei tebal berwarna biru langit
diletakkan berdekatan dengan dinding. Sebuah meja
49
GHOFIRUDDIN
*
Merasa sendiri. Itulah frasa yang paling tepat
untuk mendeskripsikan keadaan Wulan saat ini. Teman
yang biasanya menjadi tempat untuk mencurahkan
segala beban pikiran dan perasaan kini telah tertidur
pulas. Mudah sekali dia terlelap seperti itu, pikirnya.
Padahal waktu belum juga menginjak waktu ‘Isya, belum
waktunya ini untuk beristirahat. Mungkin dia terlalu
lelah, pikirnya lagi sambil mengamati wajah dengan
52
DIALOG SECANGKIR KOPI
54
DIALOG SECANGKIR KOPI
2 missed calls
*
19:23.
Itulah kombinasi angka yang tertera di pojok
kanan atas layar ponselku. Kombinasi angka yang dibuat
oleh manusia untuk menandai waktu. Waktu yang
terhitung, mulai dari yang dinamakan detik, lalu menit
yang dalam ukuran satu sama dengan 60 detik, lalu satu
jam yang setara dengan 60 menit. Kemudian,
penggunaan istilah hari, bulan, dan seterusnya, dan
seterusnya yang membuat kehidupan manusia berjalan
lebih rapi dan teratur, meskipun tidak jarang justru
60
DIALOG SECANGKIR KOPI
*
Aku pelankan laju sepedaku saat lampu lalu
lintas di depanku menyala hijau. Perkiraanku, dengan
posisiku saat ini, aku tidak akan mampu, dalam waktu
kurang dari 20 detik untuk melintasi lampu lalulintas itu,
bahkan, bila aku kayuh sepedaku hingga batas kecepatan
maksimumnya. Aku tidak tahu secara akurat berapa
kecepatan maksimum dari sepeda ini. Tapi, aku tahu
batasku. Untuk itu, aku menunggu lampu lalulintas itu
kembali menyala merah. Setidaknya dengan berhenti
sejenak, aku bisa sedikit beristirahat, menggeliatkan
pantat yang sudah mulai terasa panas, menghirup udara
dalam-dalam untuk kembali mengisi paru-paru dengan
65
GHOFIRUDDIN
*
Aku ingat. Perempuan itu tadi, yang
memandangku hangat dan bahkan tersenyum adalah
68
DIALOG SECANGKIR KOPI
69
Bagian Dua
Catatan Nomor 14
73
GHOFIRUDDIN
74
DIALOG SECANGKIR KOPI
78
DIALOG SECANGKIR KOPI
80
DIALOG SECANGKIR KOPI
86
DIALOG SECANGKIR KOPI
87
GHOFIRUDDIN
93
GHOFIRUDDIN
“Gimana Sas?”
Soenarto tersenyum,”Apa yang kamu pikirkan
Sas? Apa engkau mengira aku ini akan membuat
perhitungan atas olok-olokanmu tadi? Seandainya aku
ingin membuat perhitungan denganmu, apa kau akan
lari menghindar?”
Sasongko terbakar juga hatinya mendengarkan
penuturan Soenarto. Tanpa basa-basi ia segera meloncat
ke jok belakang motor Soenarto. Ia sudah tidak peduli
dengan apa yang akan terjadi. Baginya pantang untuk
lari. Dia telah memulainya dan dia juga akan segera
mengakhirinya walaupun kemungkinan tubuhnya akan
memar babak belur. Sasongko telah sangat siap jika
Soenarto menghendaki sebuah duel satu lawan satu.
Sasongko pun tidak akan menghindar, jika Soenarto
membawanya ke suatu tempat untuk dihajar secara
beramai-ramai. Namun, jauh di dalam hatinya juga
terbersit rasa takut yang berulang kali selalu ditepisnya.
Dia takut kemungkinan terburuk. Mati.
“Rumahmu mana Sas?”
Sasongko menunjukkan arah rumahnya yang
kebetulan searah dengan Soenarto. Hanya saja Soenarto
96
DIALOG SECANGKIR KOPI
98
Godaan Cinta
99
GHOFIRUDDIN
102
DIALOG SECANGKIR KOPI
108
DIALOG SECANGKIR KOPI
109
Pragmatik
PRAGMATIK
*
Aku dan juga seluruh mahasiswa penghuni
ruangan ini tidak pernah terbebas dari kejenuhan dan
rasa kantuk setiap kali pak Berta Yuwana, dosen
matakuliah Pragmatik mengisi kelas. Entah kenapa dia
suka bercerita, bercerita lalu bercerita. Dia tidak pernah
116
DIALOG SECANGKIR KOPI
118
DIALOG SECANGKIR KOPI
123
GHOFIRUDDIN
124
Sarjana Muda
136
In-telek So’sial
137
GHOFIRUDDIN
139
GHOFIRUDDIN
Bip. Bip.
140
DIALOG SECANGKIR KOPI
141
GHOFIRUDDIN
142
DIALOG SECANGKIR KOPI
*
Terlalu lama menunggu, Rizbach membatalkan
komentar tersebut. Dia langsung keluar dari aplikasi
Blackberry Messenger itu dan mengecek kuota paket data
yang tersisa.
“0 byte,” gerutu Rizbach. “Cepet banget.”
“Yo wis lah, bene,” lanjutnya kemudian.
Rizbach kembali mondar-mandir setelah
meletakkan smartphone-nya itu di meja ruang tamu. Dia
membayangkan menjadi seorang guru berambut
gondrong yang berdiri di depan para murid. Dia
menikmati saat-saat berinteraksi dengan para muridnya
itu, bukan sebagai orang tua yang terus menerus
mendikte dan memberikan tugas dan perintah, tetapi
sebagai seorang teman yang saling berbagi ilmu
pengetahuan satu sama lain. Pikir Rizbach, pasti akan
148
DIALOG SECANGKIR KOPI
163
Bagian Tiga
Dialog Secangkir Kopi
167
GHOFIRUDDIN
170
DIALOG SECANGKIR KOPI
*
Beberapa menit telah berlalu dan kopi itu masih
juga diam. Kepulan asap hangat kini sudah menghilang,
telah menyatu bersama udara-udara dingin yang
memenuhi ruangan sempit ini. Hanya riak-riak kecil itu
saja yang masih muncul di permukaannya. Sedangkan
172
DIALOG SECANGKIR KOPI
178
DIALOG SECANGKIR KOPI
*
“Mas, kenapa diam lama? Aku ini sekarang sudah
dingin lho. Apakah kamu masih menginginkanku?”
“Tentu saja,” tegasku setelah sempat terhenyak
beberapa saat dari perenunganku.
“Aku sudah tidak mungkin menghangatkanmu.”
179
GHOFIRUDDIN
180
Dancok
181
GHOFIRUDDIN
183
GHOFIRUDDIN
185
GHOFIRUDDIN
*
"Pak, tumben diam saja," tegur istinya yang heran
dengan perilaku suaminya. "Biasanya kalau lihat berita
seperti itu sudah..."
"Sudah apa?" tanyanya sambil memandang
istrinya dengan kalem namun tajam.
"Maaf lo ya pak."
"Iya."
"Sudah misuh-misuh."
"Dancok maksudmu?" tanyanya kalem.
188
DIALOG SECANGKIR KOPI
189
GHOFIRUDDIN
190
Pusing
195
GHOFIRUDDIN
*
"Oey," teriakku di depan pintu kamar mandi yang
terkunci. "Cepet oey. Gantian!"
Sialan. Teriakanku diabaikan. Terdengar dari luar
sini, frekuensi guyuran yang lambat-lambat diiringi oleh
nada-nada sumbang suara seorang gadis remaja yang
mengejek abangnya. Dasar perempuan. Mandi saja
dibuat lama-lama. Memang apa enaknya. Apa tidak takut
masuk angin. Apa dipikir mandi lama-lama itu bisa
menghapuskan kotoran-kotoran di kulit secara
permanen. Tidak bukan. Kotoran-kotoran itu, debu-debu
yang menempel di permukaan kulit itu, bau asam
keringat itu, kuman-kuman itu hanyalah pergi untuk
kembali. Kalau tidak ingin mereka-mereka itu kembali,
jalan terbaik adalah mati.
Sialan. Rokok sudah habis satu batang,
perempuan muda di dalam belum juga keluar-keluar.
Apa dipikir kamar mandi itu miliknya yang dia kuasai
sepenuhnya, yang dia bisa gunakan air di dalamnya
semaunya. Sialan. Di rumah ini juga ada orang lain. Ada
aku abangnya yang kini sedang terkencing-kencing dan
terkentut-kentut menahan berak yang sudah berada di
196
DIALOG SECANGKIR KOPI
pintu dubur. Ada ibu yang mungkin juga butuh air untuk
memasak atau untuk mencuci pakaian. Dasar bocah,
pikirku. Kapan menjadi benar-benar dewasa jika masih
terus-menerus mengikuti ego seperti ini. Dan, aku sudah
mulai kembali pusing karena muak.
"Oey, cah ayu!" bentakku. "Jangan dihabiskan
sendiri airnya. Mau pergi sekolah apa mau pergi kencan
kamu itu!"
Dan dengan kata-kata itu, aku mulai mengetuk
pintu kamar mandi. Perlahan, dan masih saja diacuhkan.
Dia malah bernyanyi dengan suara yang lebih kencang.
Aku tambah kekuatan ketukan. Semakin sering dan
semakin kuat. Ditambah dengan emosi yang sedang
melunjak dan daya tahan menahan berakku sudah
hampir menyentuh batas, ketukan itu berubah menjadi
gedoran. Tak ayal, gedoran-gedoran itu pun juga diiringi
dengan umpatan-umpatan. Akhirnya dia keluar.
"Ngapain saja di dalam?" selidikku.
"Bukan urusanmu."
Tidak ada waktu untuk meladeni. Berakku sudah
sedia muntah.
197
GHOFIRUDDIN
*
Sudah mandi, tapi belum sarapan. Lapar. Dan
kalau dibiarkan pasti juga membuat pusing. Pusing. Di
rumah, makanannya tidak menggugah selera. Makan di
luar, uang sisa gaji sebulan tinggal kepingan-kepingan.
Kalau tidak makan, ya itu tadi. Pusing. Manusia yang
hidup di dunia mana ada yang tidak pusing. Apalagi
orang seperti aku yang susah sekali mengendalikan diri,
apalagi menata hati. Memikirkan ini pusing. Memikirkan
itu pusing. Memikirkan sepeda motor ini, apakah bahan
bakarnya nanti cukup sampai tempat kerja atau tidak,
pusing. Memikirkan nanti harus berhadapan dengan
manusia-manusia di tempat kerja seperti apa atau
bagaimana, juga pusing. Mengapa tidak mengalir saja.
Ya, mengalir saja.
Dengan itu sepeda motorku mulai berjalan.
Belaian udara pagi mampu meredakan sedikit pusing di
dalam diriku. Udara pagi yang masih segar mengisi
paru-paru dada yang semakin hari disesakkan oleh
kepusingan-kepusingan hidup yang semakin banyak,
semakin rumit, semakin sulit. Udara pagi mampu
melapangkan dada, mengisi ulang daya kesabaran yang
198
DIALOG SECANGKIR KOPI
*
aku putuskan,
aku berbelok menuju pantai,
kabur dari hingar-bingar kemunafikan materi.
aku putuskan,
pusingku bukan karena aku,
pusingku karena cintaku tidak menyentuh selain
aku,
pusingku bukan karena manusia
mengabaikanku,
pusingku karena hidupku masih jauh dari jalan
itu,
hidupku belum mampu berjalan berdampingan
dengan matiku,
fanaku belum tertuju untuk abadiku.
202
Kembang Teratai
209
GHOFIRUDDIN
212
DIALOG SECANGKIR KOPI
TENTANG PENULIS
213