Anda di halaman 1dari 16

ZAMAN BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT

AWAL

DOSEN PENGAMPU :

Drs. Kayan Swastika, M.Si

OLEH :

1. Bima Sakti Yudhatama NIM 190210302093

2. Aziz Maulana Ibrahim NIM 190210302087

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS JEMBER

2019
SUMBER REFERENSI & RUJUKAN

A. BUKU INDONESIA DALAM ARUS SEJARAH

1. LINGKUNGAN ALAM (HAL.55)

2. FLORA FAUNA (HAL.49, 51, 59, 61)

3. MANUSIA (HAL.81)

4. POLA HUNIAN & SEBARAN (HAL.121)

5. POLA SUBSISTENSI (HAL.124)

6. TEKNOLOGI (HAL.100)

B. JURNAL PRASEJARAH INDONESIA : TINJAUAN KRONOLOGI &


MORFOLOGI, SLAMET SUJUD PURNAWAN JATI, JURUSAN
SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL, UNIVERSITAS NEGERI
MALANG
LINGKUNGAN ALAM

Aspek lingkungan merupakan salah satu unsur penting pembentuk suatu budaya
masyarakat. Oleh karena itu untuk me-ngetahui kehidupan manusia prasejarah
Indonesia tidak dapat terlepas dari kondisi bentang alam dimana manusia
prasejarah melangsungkan kehidupanya. Seperti diketahui manusia masa
prasejarah masih sangat menggantungkan hidupnya pada alam, sehinga hubungan
yang begitu dekat antara manusia dengan lingkungan membawa konsekuensi
bahwa manusia harus senantiasa beradaptasi dengan lingkungan yang ditempati.
Sejak bumi ini terbentuk, keadaan lingkungan di bumi telah mengalami perubahan
sehingga menjadi keadaan lingkungan seperti yang terlihat sekarang ini. Pada
zaman kuarter yang terbagi atas kala plestosen dan holosen telah terjadi beberapa
kali perubahan iklim. Sejak awal kehadiran manusia plestosen di muka bumi ini
senantiasa diikuti oleh peristiwa alam yang tentu saja berpengaruh terhadap
ekologi manusia prasejarah yang menghuni pada kala tersebut.

Keadaan lingkungan dan & geografi pada masa Plestosen ditentukan oleh
banyak faktor, seperti perubahan iklim dan muka laut, kegiatan tektonis, gunung
api, gempa bumi, dan tsunami. Fluktuasi atau turun-naiknya muka laut merupakan
salah satu fenomena yang menonjol di kala itu, bahkan telah dimulai pada akhir
Zaman Tersier. Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan muka laut adalah
kegiatan tektonis, klimatologis, dan orbital force.

Perubahan muka laut akibat kegiatan tektonis umumnya lebih bersifat local atau
regional dan terjadi pada wilayah yang secara tektonis sangat labil. Kegiatan
tektonis dapat mengakibatkan terjadinya pengangkatan ataupun penurunan dasar
cekungan sedimentasi.Dalam hal ini permukaan laut pada dasarnya dalam
keadaan tetap pada saat terjadinya pengangkatan cekungan (sedimentasi) maka
akan terjadi kenaikan muka laut,hingga menyebabkan majunya garis pantai kearah
daratan.Kondisi yang demikian disebut transgresi sebaliknya bila terjadi
penurunan cekungan sedimentasi,maka muka laut menjadi turun hingga
mengakibatkan garis pantai mundur ke arah laut.Kondisi ini disebut regresi

Faktor iklim juga sangat berperan terhadap perubahan iklim laut.Iklim yang
dimaksud bukanlah iklim atau musim tahunan,melainkan iklim dalam periode
yang cukup panjang dengan perubahan dari dingin ke panas atau sebaliknya.Di
kala temperatur bumi dan udara jauh menurun,maka sebagian air laut membeku
dan menyebabkan bertambah tebal dan luasnya daratan di es di bumi (di ketua
kutub & pegunungan). Akibatnya terjadi penurunan muka laut dan garis pantai
pun semakin maju kearah laut. Masa penurunan temperature ini disebut periode
pengesan atau Glasial. Pada periode ini keadaan udara semakin kering dan tidak
lembab karena semua partikel air di udara membeku menjadi partikel es.

Sebaliknya di kala temperatur bumi semakin panas, maka es yang ada di bumi
(di kedua kutub dan di pegunungan) menjadi cair. Faktor lain terjadinya
perubahan muka laut adalah kondisi orbital force bumi terhadap matahari. Seperti
diketahui bumi berputar pada sumbunya dan bergerak mengelilingi matahari
dalam system tata surya matahari-bumi-bulan. Bumi yang berputar mengelilingi
matahari menempuh jalur perputaran (orbit) yang berbentuk elipsoid.

1. Lingkungan Alam Kala Plestosen

Kala plestosen merupakan bagian masa geologi yang paling muda dan paling
singkat. Akan tetapi bagi sejarah kehidupan manusia, kala ini merupakan masa
yang paling tua dan terpanjang yang dilalui manusia. Kala Plestosen berlangsung
kira-kira 3 juta sampai 10 ribu tahun yang lalu (Soejono 2010). Pada kala ini telah
terjadi beberapa kali perubahan iklim. Secara umum pada masa itu terjadi glasiasi
(jaman es), dimana suhu bumi turun dan glester meluas di permukaan bumi. Pada
kala plestosen terjadi 4 kali masa glasial yang diselingi 3 kali masa interglasial
dimana suhu bumi naik kembali (Bemmelen 1949). Pada saat itu didaerah dekat
kutub terjadi pengesan, dan di daerah tropis yang tidak kena pengaruh pelebaran
es keadaannya lembab, termasuk Indonesia terjadi musim hujan (pluvial) dan pada
waktu suhu naik terjadi musim kering atau antarpluvial. Selain terjadi perubahan
iklim, pada kala plestosen juga ditandai dengan gerakan berasal dari dalam bumi
(endogen) seperti gerakan pengangkatan (orogenesa) yang menyebabkan
munculnya daratan baru, kegiatan gunung berapi (vulkanisme), serta gerakan dari
luar bumi (eksogen) seperti pengikisan (erosi), turun naiknya permukaan air laut,
serta timbul tenggelamnya sungai dan danau. Berbagai peristiwa alam tersebut
dapat menyebabkan perubahan bentuk muka bumi. Pada kala plestosen ini bagian
barat kepulauan Indonesia berhubungan dengan daratan Asia Tenggara sebagai
akibat dari turunnya muka air laut. Sementara itu kepulauan Indonesia bagian
timur berhubungan dengan daratan Australia. Daratan yang menghubungkan
Indonesia bagian barat dengan Asia Tenggara disebut daratan Sunda (di masa
antarglasial merupakan paparan Sunda atau Sunda shelf), dan daratan yang
menghubungkan Papua dengan Australia disebut daratan Sahul (di masa
antarglasial merupakan paparan Sahula atau Sahul shelf). Semua peristiwa alam
tersebut di atas langsung atau tidak langsung telah memengaruhi cara hidup
manusia.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap susunan lapisan tanah dan batuan


menunjukkan bahwa kronologi plestosen di Jawa dibagi atas 3 bagian, dari tua ke
yang muda ialah plestosen bawah, plestosen tengah dan plestosen atas (Heekeren
1972). Endapan plestosen bawah terkenal dengan formasi Pucangan, plestosen
tengah disebut formasi Kabuh, dan plestosen atas dikenal sebagai formasi
Notopuro. Masing-masing formasi tersebut menunjukkan adanya jenis-jenis fauna
tertentu. Formasi Pucangan ditemukan fauna Jetis. Formasi Kabuh mengandung
temuan fauna Trinil. Sedangkan formasi Notopuro dijumpai fauna Ngandong
(Soejono 2010)

2. Lingkungan Alam Kala Holosen

Kala Holosen berlangsung kira-kira antara 10.000 tahun yang lalu hingga
sekarang. Pada kala ini kegiatan gunung api, gerakan pengangkatan, dan pelipatan
masih berlangsung terus. Sekalipun pengendapan sungai dan letusan gunung api
masih terus membentuk endapan aluvial, bentuk topografi kepulauan Indonesia
tidak banyak berbeda dengan topografi sekarang. Perubahan penting yang terjadi
pada awal kala holosen adalah berubahnya iklim. Berakhirnya masa glasial Wurm
kira-kira 20.000 tahun yang lalu menyebabkan berakhirnya musim dingin dan
berakhir pula zaman es. Iklim kemudian menjadi panas dan terjadilah zaman
panas dengan akibat semua daratan yang semula terbentuk karena turunnya muka
air laut, kemudian tertutup kembali, termasuk paparan Sunda dan Sahul seperti
dikenal sekarang. Pengaruh fenomena itu terhadap kehidupan di antaranya berupa
terputusnya hubungan kepulauan Indonesia dari daratan Asia Tenggara dan
Australia. Akibat terputusnya wilayah Indonesia dari daratan Asia dan Australia
pada masa akhir masa glasial Wurm, terputus pula jalan hubungan hewan di
wilayah tersebut. Hewan-hewan yang hidup di pulau-pulau kecil kemudian hidup
terasing, dan terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, dan
beberapa diantaranya kemudian mengalami evolusi lokal. Perbedaan unik yang
terdapat diantara fauna vertebrata di wilayah tersebut me-nyebabkan
disarankannya oleh para ahli tentang adanya garis-garis yang memisahkan
berbagai keompok fauna veterbrata, yaitu kelompok yang mirip dengan fauna
daratan Australia. Garis pemisah fauna tersebut adalah garis Wallace, garis
Weber, dan garis Huxley. Pada kala Holosen, iklim di daerah tropik dan di
Indonesia khususnya telah menunjukkan persamaan dengan iklim sekarang. Iklim
sekarang ini merupakan tingkat awal dari masa glasial dan pluvial kelima (Leaky
1960).

\FLORA & FAUNA

Berdasarkan hasil penelitian terhadap susunan lapisan tanah dan batuan


menunjukkan bahwa kronologi plestosen di Jawa dibagi atas 3 bagian, dari tua ke
yang muda ialah plestosen bawah, plestosen tengah dan plestosen atas (Heekeren
1972). Endapan plestosen bawah terkenal dengan formasi Pucangan, plestosen
tengah disebut formasi Kabuh, dan plestosen atas dikenal sebagai formasi
Notopuro. Masing-masing formasi tersebut menunjukkan adanya jenis-jenis fauna
tertentu. Formasi Pucangan ditemukan fauna Jetis. Formasi Kabuh mengandung
temuan fauna Trinil. Sedangkan formasi Notopuro dijumpai fauna Ngandong
(Soejono 2010).

Berakhirnya masa glasial Wurm kira-kira 20.000 tahun yang lalu menyebabkan
berakhirnya musim dingin dan berakhir pula zaman es. Iklim kemudian menjadi
panas dan terjadilah zaman panas dengan akibat semua daratan yang semula
terbentuk karena turunnya muka air laut, kemudian tertutup kembali, termasuk
paparan Sunda dan Sahul seperti dikenal sekarang. Pengaruh fenomena itu
terhadap kehidupan di antaranya berupa terputusnya hubungan kepulauan
Indonesia dari daratan Asia Tenggara dan Australia. Akibat terputusnya wilayah
Indonesia dari daratan Asia dan Australia pada masa akhir masa glasial Wurm,
terputus pula jalan hubungan hewan di wilayah tersebut. Hewan-hewan yang
hidup di pulau-pulau kecil kemudian hidup terasing, dan terpaksa menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang baru, dan beberapa diantaranya kemudian
mengalami evolusi lokal. Perbedaan unik yang terdapat diantara fauna vertebrata
di wilayah tersebut me-nyebabkan disarankannya oleh para ahli tentang adanya
garis-garis yang memisahkan berbagai keompok fauna veterbrata, yaitu kelompok
yang mirip dengan fauna daratan Australia. Garis pemisah fauna tersebut adalah
garis Wallace, garis Weber, dan garis Huxley.

Zaman praaksara dimulai pada saat manusia pertama muncul di Indonesia.


Manusia purba tertua di Indonesia adalah Meganthropus Palaeojavanicus yang
pernah hidup 2.000.000 tahun yang lalu. Manusia purba ini pernah hidup 2 juta
tahun yang lalu. Fosil 2 juta tahun itu ditemukan di beberapa daerah di Indonesia
seperti Jawa, Sumatera Utara, Aceh, Flores, Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan. 2 juta tahun lalu dimulai manusia praaksara di Indonesia 2 juta tahun
yang lalu manusia pertama di Indonesia pernah hidup bersama dengan hewan liar
dan tanaman purba.

Jika melihat tabel umur geologi, 2 juta tahun yang lalu masuk ke dalam masa
Pleistocene – Pliocene. Fosil-fosil hewan yang ditemukan pada umumnya
merupakan hasil evolusi dari hewan-hewan masa sebelumnya. Kondisi hewan
pada zaman. Praaksara pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan kondisi saat
ini. Hewan-hewan masa Praaksara antara lain kera, gajah, kerbau liar, badak,
banteng, kancil, babi rusa, monyet berekor, hewan pemakan serangga, trenggiling,
dan hewan pengerat. Sebagian dari hewan-hewan tersebut ada yang menjadi
hewan buruan manusia Praaksara.
Sebagian hewan punah karena ditangkap dan dimakan oleh manusia. Sebagian
hewan lainnya masih hidup karena kemampuannya membebaskan dari berbagai
gangguan serta dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Hewan
pada masa praaksara di Indonesia ada banyak sekali, diantaranya :
1.    Mammoth ( Mammuthus Primigenius)
2.    Smilodon/Sabretooth
3.    The Moa.
4.    Arthropluera Armata
5.    dan lain lain (banyak sekali)

Para arkeolog berhasil menemukan sejumlah fosil jenis tumbuhan praaksara,


antara lain pohon jeruk, pohon salam, dan pohon rasamala. Selain itu, ada
tumbuh-tumbuhan yang boleh dimakan seperti jenis umbi-umbian, buah-buahan,
dan sayuran. Tumbuh-tumbuhan tersebut tumbuh liar di hutan. Ada banyak sekali
jenis tanaman purba yang berkembang di Indonesia, antara lain :
1.    Sikas Naga (Cycas Affinity Rumphii)
2.    Encepalartos (Ence)
3.    Pachypodium Nepenthes spp

Flora dan fauna di dunia ini akan terus mengalami pekembangan seiring
berjalannya waktu dan aktivitas manusia mempengaruhi perkembangan flora dan
fauna di Indonesia. Sebagai manusia yang mengenal peradaban, kita harus
menjaga kelestarian flora dan fauna yang ada agar kelangsungan hidup mereka
tetap terjaga.
MANUSIA

A. Evolusi Manusia Purba

Gambaran evolusi manusia purba kala plestosen dapat diketahui melalui studi
paleoantropologi. Bagaimana proses evolusi yang telah terjadi, belumlah dapat
diketahui dengan pasti. Banyak teori dan dendogram tentang evolusi manusia
purba telah dibuat. Hal ini menunjukkan masih banyaknya ketidaksepakatan
diantara para ahli. Salah satu faktor penyebab adalah karena tidak ada data yang
cukup untuk dapat merekonstruksi evolusi biologi secara total. Namun demikian
upaya ke arah penyusunan evolusi harus terus dilakukan. Dalam sejarah penelitian
paleo-antropologi di Indonesia terutama di Jawa terdapat data fisik manusia purba
yang cukup lengkap rangkaiannya secara bertahap dari bentuk yang sederhana
hingga bentuk yang progress. Fosil manusia purba yang ditemukan di kawasan
Indonesia berasal dari lapisan bumi kala plestosen bawah, plestosen tengah,
plestosen atas, dan awal kala Holosen. Dengan demikian akan tampak dengan
jelas evolusi bentuk fisik manusia purba pada kala tersebut.

B. Evolusi Manusia Purba Kala Plestosen

Evolusi manusia purba di Jawa diawali dengan fosil manusia Meganthropus


paleojavanicus. Manusia ini ditemukan pada lapisan formasi Pucangan di
Sangiran. Formasi tersebut dimasukkan dalam kala plestosen bawah. Oleh karena
temuan Meganthropus hanya sedikit, sulit menentu-kan dengan pasti
kedudukannya dalam evolusi manusia dan hubungannya dengan Pithecanthropus.
Melalui studi perbandingan dengan temuan fosil manusia dari Afrika dan Eropa
berdasarkan segi fisik dan kulturalnya maka dalam taksonomi manusia, Megan-
thropus paleojavanicus dianggap sebagai genus yang hidup pada kala plestosen
bawah, dan merupakan pendahulu dari Pithecanthropus erectus dari kala plestosen
tengah (Widianto 1980). Fosil manusia yang lebih muda ialah Pithecanthropus.
Fosil manusia ini paling banyak ditemukan di Indonesia terutama di Jawa. Oleh
karena itu pada kala Plestosen di Indonesia banyak dihuni manusia
Pithecanthropus. Manusia ini diperkirakan hidup pada kala plestosen bawah,
tengah, dan mungkin plestosen atas. Manusia Pithecanthropus yang paling tua
adalah Pithecanthropus Mojokertensis yang ditemukan pertama kali pada formasi
Pucangan di Kepuhklagen pada tahun 1936 berupa tengkorak anak-anak.Temuan
lainnya pada situs Sangiran di Sragen, Jawa Tengah. Berdasarkan pertanggalan
absolut Pithecanthropus erectus hidup sekitar 1 hingga 0,5 juta tahun yang lalu
atau pada kala plestosen tengah. Pithecanthropus yang hidup sampai awal
plestosen atas adalah Pithecanthropus soloensis, dan sisanya ditemukan dalam
formasi Kabuh di Sangiran, Sambungmacan (Sragen), dan Ngandong (Blora).
Berdasarkan hasil pertanggalan sementara Pithecanthropus soloensis hidupnya
ditaksir antara 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu (Soejono 2010). Manusia
yang hidup pada kala plestosen akhir adalah manusia dari genus Homo. Manusia
ini di Indonesia diwakili oleh Homo wajakensis yang ditemukan di Wajak
(Tulungagung) dan mungkin juga beberapa tulang paha dari Trinil dan tulang
tengkorak dari Sangiran. Genus Homo mempunyai karakteristik yang lebih
progesif dari manusia Pithecanthropus. Dari beberapa spesies tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa di Indonesia, terutama di Jawa pada kala plestosen
telah dihuni paling sedikit oleh empat genus species manusia prasejarah, yaitu
Megantropus paleojavanicus dan Pithecanthropus modjokertensis (kala plestosen
bawah), Pithecantrhopus erectus dan Pithecantrhopus soloensis (kala plestosen
tengah-atas), serta Homo wajakensis (kala plestosen atas-holosen awal).
POLA HUNIAN & SEBARAN

Penemuan fosil-fosil fauna dan flora memberikan gambaran tentang


lingkungan purba. Satu-satuan fauna Trinil, Kedungbrubus, dan Ngandong
yang hidup pada kala Pleistosen Tengah-Atas mengindikasikan
lingkungan terbuka (Open Woodland Habitat). Hal ini terlihat dari tidak
ditemukannya fauna seperti Pongo Pygmaeus, Hylobates, dan Helarctos
Malayanus, sebagai ciri lingkungan hutan hujan. Keberadaan Bovidae
(keluarga sapi) yang menonjol pada fauna Trinil mengindikasikan biotope
yang lebih kering dengan lingkungan hutan hujan. Demikian juga dengan
fauna Kedungbrubus dan Ngandong yang dicirikan dengan Bubalus
palaeokerabau yang menonjol. Paleolingkungan Trinil H.K.,
Kedungbrubus, Ngandong diperkirakan sebagai lingkungan terbuka yang
dicirikan dengan binatang besar yang hidup dalam lingkungan air
(Hexaprotodon Sivalensis dan buaya) dengan keberadaan hutan
(Cercopithecidae) di sekitar sungai.
Letak geografis situs-situs beserta kondisi lingkungannya
memperlihatkan dua karakter pokok hunian purba, yaitu kedekatannya
dengan sumber air dan kehidupan di alam terbuka. Keberadaan situs-situs
purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan,
Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh kecendurungan
manusia purba menghuni lingkungan sungai. Kondisi ini dapat dipahami
mengingat keberadaan air memberikan keberagaman manfaat. Selain
untuk memenuhi kebutuhan pokok, ketersediaan air dalam suatu
lingkungan akan mengundang berbagai binatang untuk hidup di
sekitarnya. Keberadaan air memberikan kesuburan bagi pertumbuhan
tanaman. Air sungai dengan aktivitas erosi dan sedimentasi cenderung
menampakkan berbagai jenis batuan yang bermanfaat untuk bahan
peralatan. Keberadaan sungai juga penting sebagai orientasi mobilitas
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya agar terhindar dari
kesesatan.
Pemilihan lingkungan hunian yang dekat dengan air tidak hanya di
Indonesia, tetapi merupakan fenomena universal. Situs –situs zaman
Paleolitik awal dari Pra-Acheulean dan Acheulean di Afrika selalu dekat
dengan sumber air, seperti lingkungan yang memiliki mata air, sungai,
danau, dan pantai. Kehidupan di alam terbuka ditunjukkan oleh sebaran
sisa peralatan serta fosil-fosil fauna dan manusia yang pada umumnya
berada di dasar atau sekitar sungai. Manusia purba cenderung menghuni
lingkungan terbuka di sekitar aliran sungai dengan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia. Sejauh ini bukti-bukti kegiatan hunian gua atau ceruk
belum ditemukan pada periode ini. Ketergantungan manusia purba pada
lingkungan alam mendorong pola hidup pengembaraan. Mereka
diperkirakan belum hidup menetap karena untuk mencapai ke tingkat itu
harus memiliki inteligensi yang mampu mengolah lingkungan untuk
menghasilkan bahan makanan, mengorganisasikan kegiatan dalam
keluarga dan komunitasnya. Hidup pengembaraan dicirikan dengan
kegiatan bertempat tinggal sementara pada tempat tempat persinggahan
yang dipilih di sekitar lembah sungai. Pada stasiun tersebut mereka
membuat “gubuk” sederhana dari bahan organic, seperti kayu dan daun-
daunan untuk tempat berteduh dan beristirahat. Hunian Homo Erectus
memperlihatkan kecenderungan eksistensi geografis. Pada kala Pleistosen
bawah, sekitar 1,8-0,9 juta tahun lalu, manusia purba yang dicirikan
dengan tipe arkais ini agaknya lebih terkonsentrasi di bagian teretntu dari
Jawa, seperti ditampakkan oleh penemuan penemuan fosil di Sangiran dan
Perning. Ketiadaan artefak yang sampai pada kita dari lapisan pengandung
fosil manusia tertua menyulitkan untuk mengetahui cara-cara hidup
manusia purba di sekitar awal-awal penghunian. Penemuan berbagai
artefak dan fosil-fosil hewan pada lapisan-lapisan pucangan-Grezbank-
Kabuh di situs Dayu berumut Pleistosen bawah-tengah dan dari situs situs
lainnya menyakinkan. Kita bahwa Homo Erectus sangat berkaitan dengan
perburuan fauna. Mereka membuat peralatan dari batu dan dari bahan
lainnya untuk menunjang kegiatan perburuan dan kegiatan lainnya.
Eksistensi geografis hunian yang cukup berarti berlangsung pada kala
Pleistosen Tengah, antara 0,9-0,125 juta tahun lalu. Pada periode ini
manusia purba yang didirikan dengan tipe klasik ini semakin
mengeksplorasi bagian lainnya dari Jawa. Selain bertahan di Sangiran,
Jawa Tengah, mereka menyebar ke daerah lainnya, seperti pada penemuan
penemuan situs fosil di situs Patiayam, Kedungbrubus, Trinil, Ngawi,
Sambungmacan, dan Pacitan. Dari periode ini, selain fosil manusia &
hewan, juga ditemukan sisa artefak litik. Keletakan situs-situs yang
cenderug di tepi sungai menunjukkan pola hunian dan eksploitasi sumber
daya alam cenderung di sekitar aliran sungai. Penemuan-penemuan di situs
Mata Tenge, Tangi Tallo, Boa Leza , dan lainnya di situs lainnya di
cekungan Soa merupakan bukti-bukti perluasan sebaran hunian di kala itu.
Flores inilah yang diyakini sebagai wilayah sebaran terjauh yang
dilakukan manusia purba sejak pengembaraanya di benua Afrika.
Perluasan hunian berlangsung berkesinambungan hingga kala Pleistosen
Atas, sekitar 125.000 tahun, hingga kepunahan manusia pendukungnya
pada waktu yang belum diketahui secara pasti. Manusia Ngandong dengan
karakter progresif yang dimilikinya mempresentasikan manusia purba
yang hidup di kala itu. Manusia dari periode inilah agaknya yang memiliki
alat-alat paleolitik yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, mulai dari
Sumatera hingga Maluku di bagian Timur. Seperti pendahulunya, mereka
cenderung mengeksploitasi sumber daya di sepanjang aliran sungai.
POLA SUBSITENSI

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Keduanya


saling berinteraksi dan hasil interaksi tersebut memberi corak, baik
terhadap kehidupan manusia maupun pada kondisi lingkungannya. Ada
kala nya lingkungan lebih berpengaruh terhadap manusia sehingga
manusia harus mengadaptasikan diri terhadapnya.Hasil adaptasi akan
memengaruhi corak kebudayaanya. Pada masa tua kemampuan berpikir
dan penguasaan teknologi masih terbatas, kehidupan masih sepenuhnya
tergantung pada alam. Dalam kondisi ini proses adaptasi manusia lebih
menonjol dan lingkungan cenderung lebih memengaruhi kehidupan
manusia.
Kondisi diatas lambat laun berubah seiring dengan kemajuan pemikiran
dan teknologi manusia. Pada masa yang lebih muda manusia tidak lagi
hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi sudah memengaruhi
lingkungan. Manusia mulai mengeksploitasi lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Manusia tidak lagi puas dengan sumber daya yang
tersedia. Upaya adaptasi terhadap lingkungan sudah semakin berkurang.
Sementara upaya eksploitasi semakin menonjol. Eksploitasi yang
berlebihan, seperti pembakaran hutan dan perburuan mengakibatkan
punahnya spesies tertentu dapat membawa kerusakan pada lingkungan.
Pada periode kehidupan tertua, lingkungan geografi dengan sumber daya
yang tersedia sangat memengaruhi cara-cara hidup dan peralatan manusia
purba. Lingkungan pegunungan atau perbukitan memberikan sumber daya
alam yang berbeda dengan lingkungan alam terbuka atau lingkungan alam
pesisir. Pegunungan dengan hutan lebat lebih menyediakan binatang-
binatang arboreal (hidup di atas pohon), sementara dataran dengan padang
rumput dan semak belukarnya cenderung menyediakan binatang pemakan
rumput (herbivore). Daerah pesisir cenderung menyediakan biota air (ikan,
moluska). Manusia purba di Indonesia diperkirakan hidup menjelajah
(nomaden) untuk mengumpulkan bahan makanan dalam lingkup wilayah
tertentu.Mereka hidup dalam komunitas-komunitas kecil dengan mobilitas
tinggi. Keterisolasian dalam hutan tropis dan ketiadaan kontak dengan
dunia luar menutup kemungkinan untuk mengadopsi budaya luar. Lama
hunian di suatu lingkungan eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan
bahan makanan.Manakala lingkungan sekitar sudah tidak menjanjikan
bahan makanan, mereka berpindah ke lingkungan baru di tepian sungai
untuk membuat persinggahan baru.
Subsistensi atau system mata pencaharian pokok manusia purba adalah
berburu binatang. Penemuan fosil-fosil fauna dalam lapisan okupasi
merupakan bukti keterkaitan erat antara manusia dan binatang. Fosil-fosil
tersebut selain menggambarkan jenis binatang buruan, juga
menggambarkan jenis-jenis fauna yang hidup dan kondisi lingkungan di
kala itu. Keberadaan binatang dalam lingkungan hunian menjadi sumber
bahan makanan yang diperoleh lewat perburuan. Dalam berburu
diperkirakan menggunakan peralatan batu, kayu, bambu,dll. Alat alat batu
inti, seperti bola, batu berfaset dapat digunakan sebagai alat pelempar,
sementara kapak perimbas, kapak penetak, dan beberapa jenis alat lain
dapat digunakan untuk memukul atau memotong. Alat-alat serpih
mungkin digunakan sebagai alat untuk mengiris, menguliti, memotong
binatang buruan, atau untuk keperluan lainnya.
Penemuan tulang-tulang binatang yang berasosiasi dengan peralatan
merupakan bukti keterkaitan peralatan dengan aktivitas perburuan dan
binatang hasil buruan. Bukti semacam ini ditemukan pada ekskavasi yang
dilakukan oleh tim Indonesia-Perancis pada lapisan Kabuh di bukit
Ngebung, Sangiran, tempat berbagai peralatan ditemukan bersama sama
fosil fosil binatang. Diduga peralatan tersebut merupakan alat berburu dan
mengerjakan hasil buruan.
TEKNOLOGI

Pada mulanya teknologi muncul dari upaya manusia untuk memenuhi


kebutuhan hidupnya termasuk untuk mempertahankan dirinya dari
berbagai ancaman. Manusia dalam pengembaraan mencari kebutuhan
hidupnya sering berhadapan dengan berbagai jenis bahan makanan, seperti
binatang di darat, ikan di air, atau buah buahan di pohon. Seketika ada
naluri untuk memperoleh bahan makanan tersebut tetapi keterbatasan
kemampuan tangannya mendorong timbulnya keinginan untuk
menggunakan alat bantu. Pada tahap paling awal, alat yang digunakan
masih bersifat kebetulan & instan, yaitu benda benda alam seperti kayu,
batu, dll yang tersedia di sekitar. Keberhasilan menggunakan benda
tersebut mendorong manusia untuk menciptakan alat-alat yang lebih baik
lewat pengerjaan. Kemampuan untuk memodifikasi dan menghasilkan
bentuk bentuk alat yang diinginkan pada akhirnya melahirkan teknologi
pembuatan peralatan. Upaya manusia untuk mempertahankan diri juga
merupakan factor awal kelahiran teknologi persenjataan. Di kala manusia
dalam pengembaraanya terancam oleh binatang buas atau manusia lainnya,
timbal naluri untuk mempertahankan ketersediaan sumber daya alam di
sekitarnya. Keberhasilan penggunaan benda tersebut mendorong
timbulnya keinginan untuk membuat persenjataan yang lebih efektif
dengan cara memodifikasi bentuk sesuai dengan tujuannya. Kemampuan
membuat alat & persenjataan melahirkan teknologi yang kemudian
diwariskan dan dan dikembangkan secara turun temurun dan lambat laun
berkembang sejalan dengan perjalanan waktu. Semakin maju kemampuan
berpikir manusia, semakin maju teknologi yang dikuasainya, semakin
beragam dan canggih pula alat-alat yang dihasilkan.
Selain peralatan batu, manusia purba tentunya telah membuat alat alat dari
berbagai bahan lain dakam memenuhi kebutuhannya, sepertti kayu, bambu
dan tulang. Bahan organik tersebut (kayu, bambu, dan tulang) mungkin
juga digunakan karena di samping ketersediannya dalam lingkungan,
bentuk dan dimensinya yang sangat bervariasi tentu lebih memberika a
fungsi-fungsi yang lebih luas dibanding alat batu. Permasalahan terletak
pada sifatnya yang mudah hancur sehingga sisa yang sampai kepada kita
sangat terbatas atau sama sekali musnah. Di antara bahan organic ,
bamboo merupakan bahan yang sangat baik untu peralaran karena mudah
diperoleh dan dikerjakan. Tanaman tropis diperkirakan telah tersebar luas
di kepulauan Nusantara sejak masa purba. Penelitian yang dilakukan oleh
tim kerja sama Puslit Arkeologi dengan Museum National d’History
Naturelle, Paris pada awal tahun 1990-an di situs Ngebung, Sangiran,
menemukan jenis bambu bersama kulit pohon dan daun-daunan dalam
lapisan Kabuh yang berumur sekitar 800.000 tahun.
Teknologi lain di luar peralatan yang juga sudah dikenal dalam periode
ini adalah pembuatan api. Sebagai salah satu inovasi penting dalam sejarah
peradaban, penemuan api telah membawa manusia pada berbagai macam
kemajuan. Melalui api manusia dapat menghangatkan badan dari
kedinginan cuaca atau mengolah makanan dengan cara memasak atau
membakar. Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara
membenturkan dan menggosokkan benda tertentu terhadap lain. Sebuah
batu yang keras (misalnya batu api) jika dibenturkan ke batuan keras
lainnya akan menghasilkan percikan api. Sekitar 400.000 tahun yang lalu
api telah di produksi di beberapa tempat di dunia seperti di situs Terra
Amata (Perancis), Verteszollos (Hongaria) dan Zhoukoudian (Cina)

Anda mungkin juga menyukai