Anda di halaman 1dari 21

SUMATRA UTARA PADA MASA PRA AKSARA

Dosen Pengampu:
Lister Eva Simangunsong S.pd, M.A.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2
ANGGI ANGGRAINI (3221121025)
OKTAVIANTI HUTABARA (3223121028)
GABRIEL BANGKIT SURBAKTI (3213321029)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2O22
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.karena
atas berkat dan rahmat-Nyalah penulisndapat menyelesaikan makala penelitian ini
dengan tepat waktu.

Termakasih penulis ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah ini,karena


telah membimbing penulis mengerakan makalah penelitian ini. Terimakasih juga
penulis uapkan kepada semua pihak yang membantu mengerjakan makalahini.

Disini penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun,demikian
penulis telahberupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya,penulis dengan rendah hati
menerima masukan,saran,dan usul guna penyempurnaan makalh ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………….......

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………

A. LATAR BELAKANG………………………………………

B. RUMUSAN MASALAH……………………………..

C. TUJUAN PENELITIAN……………………………………

D. FANFAAT ENELITIAN……..

BAB II PEMBAHASAN…………………………..

A. PENINGGALAN MASA PRA AKSARA…………….

B. JEJAK MANUSIA PERTAMA DI SUMUT…….

C. WILAYAH PENDUKUNG PADA MASA PRA AKSARA DI KAWASAN

SUMATERA UTARA.

D. MENGENAL SISTEM KEPERCAYAAN MANUSIA PRA AKSARA

BAB III PENUTUP………………………………………..

A. KESIMPULAN……………………….

DAFTAR PUSTAKA………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Provinsi Sumatera Utara (disingkat Sumut) adalah sebuah provinsi di
Indonesia yang terletak di bagian Utara Pulau Sumatra. Provinsi ini beribu
kota di Kota Medan . Batas wilayahnya, meliputi sebelah utara provinsi
Aceh dan Selat Sumatera, sebelah barat berbatasan dengan provinsi
Sumatera Barat dan Riau, sedangkan sebelah timur dibatasi oleh selat
Sumatera.
Luas Sumatera Utara secara keseluruhan mencapai 182.414,25 km2.
Diantara luas tersebut 60,5% berupa lautan dan 39,5% lainnya berupa
daratan. Sebagian besar wilayahnya berada di daratan Pulau Sumatera dan
sebagian kecil berada di pulau Nias, batu serta beberapa pulau kecil, baik di
bagian barat maupun bagian timur pantai pulau Sumatera.

B. RUMUSAN MASALAH
1) Apa saja peninggalan masa pra aksara di sumut?
2) Daerah wilayah mana sajakah di Sumatra Utara yang menjadi pendukung masa
praaksara di Sumatera Utara?

C. TUJUAN PENELITIAN
1) Mengetahui siapa manusia pertama di Sumatra utara dan peninggalannya.
2) Mencari tau apa saja peninggalan pada masa pra aksara di Sumatra utara.

D. MANFAAT PENELITIAN
1) Menambah wawasan tentang peninggalan di Sumatera utara.
BAB II

PEMBAHASAN.

A. PENINGGALAN MASA PRA AKSARA


Masa pra-aksara merupakan masa di mana manusia belum mengenal
tulisan. Saat ini dapat diketahui bahwa terdapat berbagai peninggalan
kebudayaan masa pra-aksara yang tersebar di nusantara salah satunya yang
terletak di Nias, Sumatera Utara, yaitu Situs Muzoi (Alhidayath Parinduri).

1. Masa Pra-Aksara di Nias


Seperti yang diketahui bahwa peninggalan-peninggalan masa pra-
aksara yang berada di luar cakupan Pulau Jawa belum terlalu eksis di
kalangan banyak orang dan yang paling miris sampai terlupakan. Manusia
dengan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa, dan karya pada saat berinteraksi
dengan lingkungan. Kebudayaan manusia saling berhubungan dengan akal,
dapat diartikan bahwa kebudayaan merupakan suatu hal yang
bersangkutan dengan akal. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa
kebudayaan dapat dilihat dalam tiga wujud, yaitu ide, aktivitas, dan artefak.
Pada awalnya penelitian terkait arkeologi di Indonesia selalu
dikaitkan dengan Asia Tenggara daratan. Bukti-bukti dari masa berburu dan
mengumpulkan makanan antara lain alat batu berupa serpih, alat masif,
dan alat monofasial (Sumatralith), alat tulang, alat dari kulit kerang,
penguburan di dalam gua, serta lukisan pada dinding gua dan tebing
karang, berkaitan dengan Asia Tenggara. Lebih dari lima puluh tahun yang
lalu beberapa peneliti asing telah datang dan menginformasikan berbagai
hal yang terkait dengan kebudayaan masa pra-aksara di Sumatera Utara.
Penelitian pra-aksara di wilayah Sumatera Utara yang telah dihimpun dari
masa Paleolitik hingga Megalitik menghasilkan penemuan-penemuan
kebudayaan salah satunya dari daerah Nias. Pulau Nias dapat dikatakan
merupakan satu wilayah budaya, yaitu wilayah budaya etnis Nias. Hal
tersebut terjadi dikarenakan seluruh aspek kehidupan dengan nilai-nilainya
merefleksikan kebudayaan tersebut. Dalam perkembangan wilayah budaya
itu, tampak bahwa ada perbedaan antara kelompok masyarakat Nias yang
ada di Utara, Tengah, dan Selatan (Feldman, 1990:24).

2. Sungai Muzoi
Pada bagian tengah Pulau Nias terdapat terban (Tebing) besar yang
mengarah barat laut-tenggara yang searah dengan poros Pulau Nias.
Terbentuknya terban (tebing) ini diakibatkan oleh struktur sesar yang
terjadi di kala akhir Miosen Tengah. Masa Plestosen terjadi endapan
sedimen di sungai purba, dan undak-undak sungai purba tersebut
terbentuk oleh kikisan Sungai Muzoi yang terletak pada bagian tengah
terban tersebut. Pada terban tersebut ditemukan paling tidak dua sampai
tiga undak sungai purba yang endapannya terdiri atas fosil kayu, kuarsa
susu, rijang, batu gamping kersikan, fosil koral kersikan, batu gamping,
foraminifera, dan batuan gnes (Djubiantono, 1985). Sungai Muzoi mengalir
sepanjang 54 Km berhulu dari Nias bagian tengah dan bermuara di Nias
bagian utara.
Sungai Muzoi merupakan sungai berpola dendritik yang anak-anak
sungainya membentuk percadangan seperti sebuah pohon. Di bagian
tengah DAS Muzoi ketinggiannya berkisar 100-150 meter dari permukaan
air laut (mdpl). Hasil pengamatan yang telah dilakukan di DAS Muzoi
menunjukkan endapan sungai mengandung lempung, pasir, kerikil, kerakal,
dan boulder. Selain itu, ditunjukkan pula bahwa bentuk Sungai Muzoi ini
berkelok-kelok, kemiringannya tidak terlalu besar sehingga arus air tidak
terlalu deras. Pada bagian barat tebing Sungai Muzoi sekitar 20 meter di
sebelah utara jembatan ditemukan bahwa lapisan tanah berupa lempung
kecoklatan memiliki ketebalan 1,5 meter, lapisan pasir bercampur kerakal
dan boulder setebal 1 meter, lempung coklat kemerahan setebal 0,5 meter,
lempung coklat kehitaman setebal 1,5 meter, dan lempung abu-abu setebal
0,5 meter. Singkapan pada tebing Sungai Muzoi ditemukan bahwa lapisan
tanahnya cukup tebal dan diperkirakan lapisan tersebut ada yang berumur
tua. Di bagian ini tersimpan sisa budaya manusia masa lampau,
sebagaimana yang diperlihatkan melalui temuan yang diduga alat litik.
3. Kehidupan Pra-Sejarah dan Peninggalan Kebudayaan
Keadaan lingkungan fisik perlu diketahui dahulu untuk memberikan
gambaran tentang keadaan alam yang bersifat anorganis. Situasi alam fisik
yang terdapat pada kala Plestosen dapat diketahui dari hasil penyelidikan
terhadap susunan lapisan tanah dan macam-macam batuan yang terdapat
di dalamnya. Hasil penyelidikan ini merupakan sumber utama untuk
merekonstruksi keadaan fisik pada kala Plestosen.Manusia sebagai bagian
dari sistem kehidupan yang turut menciptakan corak dan bentuk pada
lingkungannya. Hal ini dikarenakan manusia dibekali akal pikiran yang
menjadikan manusia dapat berpikir untuk mengembangkan alam mulai dari
cara tradisional sampai cara modern yang mengutamakan penggunaan
teknologi. Teknologi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dapat
menentukan tingkat kebudayaan manusia. (Feldman, 1990:24).

B. JEJAK MANUSIA PERTAMA DI SUMUT


Penelitian Balai Arkeologi Medan menjelaskan tentang jejak
peradaban manusia pertama di Sumatera Utara. Jejak kehadiran manusia
tergambar dari temuan arkeologis seperti sisa-sisa vertebrata (tulang dan
gigi).Lokasinya di sebuah goa pada ketinggian 175 meter di atas permukaan
laut di Desa Lolowonu Niko'otano, Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten
Nias.Temuan lain dari perut goa yang dikeruk hingga kedalaman 4 meter,
yaitu alat-alat batu yang berkarakter paleolitik, di antaranya serpih batu,
batu pukul dan pipisan dan mata panah dari batu dengan panjang 2,5
sentimeter.Bukti peradaban masa lalu yang paling menarik adalah
penemuan batu andesit berbentuk lonjong dengan karakter sebagai
pemukul, batu pukul dan alat atau spatula berbahan tanduk dan cangkang
moluska.Analisis yang dilakukan terhadap penemuan itu peneliti Balai
(Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana). Jadi dalan penelitian mereka sudah
ada manusia yang tinggal di Nias, khususnya di Goa Togi Ndrawa, Desa
Lolowonu Niko'otano sejak 12 ribu tahun silam dan berlangsung terus-
menerus hingga berkisar 1150 Masehi. Manusia pertama yang tinggal di
dalam goa memanfaatkan biota marin khususnya yang berada pada
kawasan mangrove. Hal itu dapat dibuktikan dari tumpukan cangkang
moluska yang banyak ditemukan dari dalam lobang penggalian situs.
Budaya yang ada pada manusia pertama di Nias itu sama persis
dengan budaya prasejarah yang terdapat di wilayah Vietnam
(Hoabinh).Kemungkinan lain dapat ditarik jika masa paleolitik di Pulau Nias
memiliki waktu yang relatif sama dengan masa Paleolitik di daerah
Indonesia (Nusantara) lainnya.Saat itu migrasi manusia di nusantara
sebagian diyakini berasal dari daratan Asia. Manusia masa paleolitik
kemudian berkembang cara hidupnya sejalan perkembangan otaknya ke
masa mesolitik, neolitik, megalitik sampai sekarang.(Wiradnyana, Ketut.
2010)

C. WILAYAH PENDUKUNG PADA MASA PRA AKSARA DI KAWASAN


SUMATERA UTARA
Masa praaksara adalah masa dimana manusia belum mengenal. Masa praaksraa
juga sering disebut sebagai dengan masa prasejarah yaitu masa dimanablum mengenal
tulisa atau aksara pada masa itu. Kehidupan pada masa praaksraa maupun prasejarah
disebut sebagai kehidupan manusia purba. (Lister eva Simangunsong: 11)
Pada masa praaksraa ini ada beberapa wilayah pendukung atau wilayah yang -
membuktikan adanya masa praaksraa di kawasan Sumatera Utara tersebut diantaranya
adalah: (Lister Eva Simangunsong: 15-17)

1. Budaya Pra Hoabinh

Pada budaya prahoabinh ini ada dua wilayah pendukung masa praaksara di
kawasan Sumatera Utara antara lain:
a. Sitis Muzoi (Terdapat di Nias)
Hasil penelitian geologi menunjukkan bahwa pulau nias memiliki masa yang
sama dengan pulau Sumatera pada umumnya, yakni pada masa glasial yang terakhir
pulau Nias tersebut tidak terendam oleh lautan, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa
pulau Nias pernah dihuni manusia purba sejak zaman prasejarah. Dikatakan demikian
karena ada peninggalan manusia purba yang mendukung yaitu berbagai alat paleolitik di
DAS Muzoi. Artefak tersebut merupakan budaya yang tertua yang ditemukan di wilayah
Sumatra bagian utara diantaranya adalah situs muzoi. Penemuan paleolitik ini sering
ditafsirkan sebagai masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana. Pada
saat itu cara hidup manusia praaksara masih sangat sederhana yaitu dengan
mengekploitasi sumber daya alam secara langsung. (Lister Eva Simangunsong: 15-17)
Dibagian tengah pulau Nias terdapat terban besar yang mengarah ke barat laut
sampai ke tenggara yang seareah dengan poros pulau Nias. Terban ini diakibatkan oleh
struktur sesar yang terjadi pada kala akhir miosetengah. Selanjutnya pada masa plestosen
atas umumnya terendap sedimen sungai purba serta undak-undak sungai purba yang
terbentuk oleh kikisan, antara lain hasil dari mas plestosen atas itu adalah sungai muzoi,
sungai muzoi yang berhulu di Nias bagian tengah dan bermuara di Nias bagian utara
mengalir sepanjang 54 km. Sungai muzoi merupakan berpola dendritic yang anak
sungainya berbentuk percanbangan seperti sebuah pohon. Pada penelitian awal di pulau
Nias terdapat tiga lokasi dengan temuan alat-alat paleolitik diantaranya adalah; Kapak
perimbas delapan buah, kapak genggam empat buah, serpih dua buah. Pembuatan
peralatan ini pada umumnya dapat dikatakan pembuatan peralatan yang sangat sederhana.
(Lister Eva Simangunsong: 15-17)
Paleolitik sering disebut sebagai masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat sederhana. Saat itu cara hidup dan teknologinya masih sangat sederhana, yaitu
dengan mengeksploitasi sumber alam secara langsung, dan pola hidup yang berpindah
pindah. Cara hidup demikian menyebabkan artefak yangditinggalkan tidak hanya
ditemukan dilokasi hunian atau perbengkelan, tetapi juga di lahan-lahan perburuan pada
masa itu. Paleolitik di Indonesia tidak hanya dikenal melalui penggunaan peralatan batu,
tetapi juga peralatan dari bahan tulang maupun tanduk. Di bagian tengah pulau Nias
terdapat terban besar yang mengarah barat laut tenggara, searah dengan poros pulau Nias.
Terban ini diakibatkan oleh struktur sesar yang terjadi pada kala akhir Miosen Tengah.
Pada kala Pleistosen Atas umumnya terendap sedimen sungai purba, dan undak-undak
sungai purba terbentuk oleh kikisan sungai Muzoi yang terletak pada bagian tengah
terban tersebut. Terban itu dijumpai paling tidak 2 sampai 3 undak sungai purba yang
endapannya terdiri atas kerakal dan kerikil polimik, di antaranya fosil kayu, kuarsa susu,
rijang, batu gamping kersikan, fosil koral kersikan, batu gamping, foraminifera, dan
batuan gnes.(Lister eva simangungsong, 2020 :16).
Penelitian awal di Nias mencatat 3 lokasi temuan alat-alat Paleolitik yaitu Muzoi,
Ononamole, dan Orahili Gomo. Alat yang ditemukan tersebut berjumlah lebih dari 10
buah, 2 di Ononamole dan Orahili Gomo, sisanya ditemukan di Muzoi. Yang ditemukan
kebanyakan tipe kapak perimbas 8 buah, yang dibuat dari batu kerakal dan dipangkas
hanya pada bagian tajaman secara terjal. Situs Paleolitik di Indonesia sebagaian besar
diindikasikan dengan ditemukannya peralatan batu yang didominasi oleh kapak batu
berupa kapak perimbas maupun kapak genggam serta alat serpih. Perbedaan masa
Paleolitik. Mesolitik, dan Neolitik terletak pada teknologi dan variasinya. Teknik
pembuatan peralatan Paleolitik tentunnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan
peralatan Mesolitik dan Neolitik.(Lister eva simangungsong, 2020 :16).
Sehubungan dengan ini, ada dikenal yang namanya Sungai Muzoi. Pada bagian
tengah Pulau Nias terdapat terban (Tebing) besar yang mengarah barat laut-tenggara yang
searah dengan poros Pulau Nias. Terbentuknya terban (tebing) ini diakibatkan oleh
struktur sesar yang terjadi di kala akhir Miosen Tengah. Masa Plestosen terjadi endapan
sedimen di sungai purba, dan undak-undak sungai purba tersebut terbentuk oleh kikisan
Sungai Muzoi yang terletak pada bagian tengah terban tersebut. Pada terban tersebut
ditemukan paling tidak dua sampai tiga undak sungai purba yang endapannya terdiri atas
fosil kayu, kuarsa susu, rijang, batu gamping kersikan, fosil koral kersikan, batu gamping,
foraminifera, dan batuan gnes (Djubiantono, 1985). Sungai Muzoi mengalir sepanjang 54
Km berhulu dari Nias bagian tengah dan bermuara di Nias bagian utara.
Sungai Muzoi merupakan sungai berpola dendritik yang anak-anak sungainya
membentuk percadangan seperti sebuah pohon. Dibagian tengah DAS Muzoi
ketinggiannya berkisar 100-150 meter dari permukaan air laut (mdpl). Hasil pengamatan

yang telah dilakukan di DAS Muzoi menunjukkan endapan sungai mengandung


lempung, pasir, kerikil, kerakal, dan boulder. Selain itu, ditunjukkan pula bahwa bentuk
Sungai Muzoi ini berkelok-kelok, kemiringannya tidak terlalu besar sehingga arus air
tidak terlalu deras. Pada bagian barat tebing Sungai Muzoi sekitar 20 meter di sebelah
utara jembatan ditemukan bahwa lapisan tanah berupa lempung kecoklatan memiliki
ketebalan 1,5meter, lapisan pasir bercampur kerakal dan boulder setebal 1meter, lempung
coklat kemerahan setebal 0,5meter, lempung coklat kehitaman setebal 1,5 meter, dan
lempung abu-abu setebal 0,5meter. Singkapan pada tebing Sungai Muzoi ditemukan
bahwa lapisan tanahnya cukup tebal dan diperkirakan lapisan tersebut ada yang berumur
tua. Dibagian ini tersimpan sisa budaya manusia masa lampau, sebagaimana yang
diperlihatkan melalui temuan yang diduga alat litik.
b. Situs Logas (Riau)

Situs logas ini termasuk tempat penelitian yang mendukung masa praaksara pada
kawasan Sumatera utara yaitu di DAS Kuantan desa gas, kecamatan singing kabupaten
Kuantan singing, provinsi Riau situs ini termasuk ke dalam situs paleolitik. Terdapat dua
sungai yang merupakan hulu sungai Kuantan di sekitar muara lembu. Kedua sungai itu
adalah sungai bantang lembu jernih dan sungai batang lembuh keruh. Kedua hulu sungai
tersebut merupakan sungai yang cukup besar dengan lebar sekitar 50m-75m. Pada aliran
sungai batang keruh ditemukan peralatan berbahan batu dari morfologi serta teknologi
yang menunjukkan budaya paleolitik. Melimpahnya bahan kerakal yang ada di sungai
batang lembu keruh terutama yang terdapat di desa Logas kecamatan Singingi
menunjukkan bahwa areal ini ideal bagi pemenuhan bahan baku peralatan pada masa
praaksara maupun prasejarah. Artefak berupa kerakal tersebut menunjukkan bahwa ada
indikasi teknologi dalam pembuatan alat batu yaitu dengan cara menyiapkan kerakal
dengan memangkas salah satu sisi sehingga dapat menghasilkan kapak batu dengan
sebuah pangkasan besar. Keberadaan budaya tertua di kabupaten Kuantan provinsi Riau
ini tidak lepas dari bentang wilayah pulau Sumatera yang sangat tua serta berkaitan
dengan bentang sungai purba yang terdapat di sekitar kepulauan Natuna yang mengarah
ke pulau Sumatera hingga Jawa. Berikut merupakan penemuan di situs logas ini antara
lain adalah: Kapak paleolitik yang ditemukan di permukaan sungai batang lembu keruh,
morfologi batu lain yang berupa serut ujung batu pada kedua sisi. (Lister Eva
Simangunsong: 15-17)

Melimpahnya bahan kerakal yang ada di Sungai Batang Lembu Keruh terutama
yang terdapat di Desa Logas Kecamatan Singingi menunjukkan bahwa areal ini ideal bagi
pemenuhan bahan baku peralatan pada masa Prasejarah. Kerakal yang diduga artefak
tersebut menunjukkan bahwa ada indikasi teknologi dalam pembuatan alat batu yaitu
dengan menyiapkan kerakal dan memangkas salah satu sisinya sehingga menghasilkan
kapak batu dengan sebuah pangkasan besar dengan menyiapkan dataran pukul atau tidak
dengan dataran pukul pada salah satu lateral dengan pangkasan ke seluruh sisi lateral.

Keberadaan budaya tertua di Kabupaten Kuantan Singingi tidak terlepas dari


bentang wilayah pulau Sumatera yang cukup tua serta berkaitan dengan bentang sungai
purba yang terdapat di sekitar kepulauan Natuna yang di antaranya mengarah ke pulau
Sumatera hingga pulau Jawa. Pada masa glasial, ketika areal itu menjadi alur migrasi
maka sangat mungkin wilayah kabupaten Singingi merupakan wilayah yang tidak terlalu
jauh dari alur sungai purba yang di antaranya mengarah ke pulau Sumatera, sehingga
sangat dimungkinkan sebagai areal aktivitas masa lalu seperti menjadi lokasi
hunian.(Lister eva simangungsong, 2020 :17).

2. Budaya Hoabinh
Budaya Hoabinh adalah budaya sonviand dengan ciri batu kerakal yang di
pangkas ujung dan sisinya bukan semua permukaan batunya. Di situs-situs Hoabinh ini
alat-alat batu semacam itu ditemukan bersama-sama dengan alat serpih, batu pelandas,
batu giling berbagai ukuran, sudip, lancipan dari tulang. Alat-alat tersebut digunakan
untuk menebang, mengambil kulit kayu, membelah, menyerut, menggergaji, dan sebagai
cangkul dalam mengolah tanah.
Data yang dihasilkan dari masa mesolitik di Kawasan Sumatera bagian utara
didominasi oleh situs kerang atau kitchen midden. Situs tersebut ditemukan di pesisir
timur pulau Sumatera terbentang sejauh 270km dari kabupaten Deli Serdang sampai ke
Langkat di provinsi Sumatera Utara. Bukit kerang merupakan tumpukan cangkang
moluska yang merupakan sisa-sisa makanan dan terakumulasi di suatu tempat dalam
skala waktu yang relative lama. Tumpukan cangkang moluska tersebut mencapai
ketinggian kurang lebih 4-5 m di atas permukaan tanah dan berkisar 4-10 m di bawah
permukaan tanah. Tumpukan cangkang moluska terebut biasanya bercampur dengan alat-
alat litik seperti alat tulang dengan tulang hewan. Sisa-sisa manusia yang ditemukan pada
situs bukit kerang di Aceh Timur maupun di Kabupaten Langkat menunjukkan ras
australomeelanesoid. Dari teknologi dan morfologi peralatan batu yang ditemukan pada
situs bukit kerang ini menunjukkan persamaan dengan peralatan batu di Hoabinh di
Vietnam yang dikenal dengan budaya Hoabinh Peter. (Lister Eva Simangunsong: 17-18
Pada budaya Hoabinh ini ada dua wilayah pendukung masa praaksara di Kawasan
Sumatera Utara antara lain adalah;

a. Situs di dataran Rendah Bukit Kerang (terdapat di Langkat), Situs bukit kerang ini
terletak di desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Langkat.
Kondisi situs sekarang ini berupa dataran rendah atau bukit dengan persawahan
yang luas dan terletak sekitar 10 km dari pantai belawan, yang merupakan muara
sungai deli.
b. Situs di dataran tinggi ditemukan di desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok,
Kabupaten Langkat tepatnya di lereng pegunungan bukit barisan. Situs ini terletak
di ketinggian 180mdpl berada sekitar gua kampret. Menyisakan tinggalan alat
batu yang memiliki ciri morfologis dan teknologis yang sama dengan budaya
Hoabin. (Lister Eva Simangunsong: 17-18)
Situs Hoabinh tertutup yang berupa gua adalah situs Togi Ndrawa dan Gua Togi
Bogi yang terletak di Pulau Nias, dan Gua Kampret di Bukit Lawang. Ketiganya
merupakan situs yang dikategorikan terletak di dataran tinggi. sekalipun dua di
antaranya masih relatif dekat dengan garis pantai yang sekarang (Lister eva
simangungsong, 2020: 17)

3. Budaya Sesudah Hoabinh


Pada budaya setelah Hoabinh ini ada dua wilayah yang mendukung masa
praaksara di Sumatera bagian Utara diantaranya adalah:

a. Situs Loyang Mendale (Aceh)


Situs Loyang Mendale ini berada di tepi danau laut tawar, Kabupaten
Aceh tengah NAD. Situs ini berupa beberapa ceuk dan gua yang keletakannya
tidak jauh dari jalan raya. Pada mesolitikum kelompok manusia yang ada di
Loyang Mendale dan sekitarnya hidup dengan bertumpu pada hasil buruan
binatang darat maupun binatang yang hidup di air. Danau laut tawar sangat
berperan besar dalam kelangsungan hidup masanusia pada masa itu. (Lister Eva
Simangunsong: 19-21).
Upaya yang dilakukan manusia pada waktu dalam menangkap hewan
binatang buruan diantaranya dengan menggunakan panah. Hal itu dapat diketahui
dari temuan anak panah berbahan batu andesitic yang dijadikan pada bekal kubur
kerangka di Loyang ujung karang. Cara lain yang dilakukanya itu mengumpulkan
berbagai jenis moluska yang hidup di danau laut tawar. Dilakukan juga dengan
membuat jaring untuk menangkap ikan, hal ini diindikasikan dengan temuan frak
mengerabah dengan pola hias jala serta adanya temuan tulang belakang ikan.
Aktivitas menjala/menjaring ikan ini mulai dilakukan pada masa yang lebih maju
tepatnya pada masa noelitik. Dengan adanya temuan dua buah taring yang
berlubang dengan ukuran taring memiliki ukuran yang relative sama
menunjukkan bahwa adanya upaya untuk memilih taring sebagai bahan untuk
membuat sebuah kalung. Salah satu aktivitas yang berkaitan dengan religi yaitu
dengan adanya kerangka manusia yang sengaja dikubur dengan kaki terlipat dan
ditutupi dengan batu. Temuan kerangka manusia di Loyang putri pukes dengan
bekal kubur kapak lonjong dan persegi. Hal ini memberi indikasi bahwa pada
masa prasejarah telah dikenal dengan sistem religi yang berkaitan dengan
penguburan manusia yang telah meninggal yang dibekali dengan kapak persegi
serta kapak lonjong. (Lister Eva Simangunsong: 19-21).

D. Mengenal sistem kepercayaan manusia purba


a. Roh Nenek Moyang
Kepercayaan terhadap nenek moyang ini diduga muncul pada saat masyarakat
zaman pra-aksara masih mengandalkan kehidupan berburu, mengumpulkan, serta
meramu makanan. Kepercayaan ini muncul ketika fenomena mimpi saat manusia tidur.
Pada saat itu, manusia melihat dirinya berada di tempat yang berbeda dari tubuh
jasmaninya. Mereka percaya bahwa tubuh yang berada di tempat lain itu adalah
jiwa. Kemudian kepercayaan ini berkembang bahwa jiwa benar-benar telah terlepas dari
jasmaninya. Nah, jiwa yang terlepas itu dianggap dapat berbuat sesuai kehendaknya.
Berdasarkan hal tersebut, setiap ada pemimpin yang mati, roh atau jiwanya akan sangat
dihormati dan dipuja-puja.
b. Animisme
Animisme adalah tahap kelanjutan dari kepercayaan terhadap roh nenek
moyang. Mereka mulai memahami sebab-sebab gejala alam yang terjadi. Setelah
mengetahui fenomena sebab gejala alam yang terjadi, mereka kemudian mencari
pemecahan masalah atas fenomena tersebut. Nah, atas dasar perkembangan berfikirnya
itu, manusia purba menganggap penyebab terjadinya fenomena-fenomena tersebut adalah
roh, sebagai penentu dan pengatur alam semesta. Agar manusia purba itu dapat
beraktifitas dengan tenang dan aman, mereka melakukan ritual pembacaan doa,
pemberian sesaji, bahkan korban.
c. Dinamisme
Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau
kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam
mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat
menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti keris, patung,
gunung, pohon besar, dll. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut,
mereka melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya.
d. Totemisme
Totemisme adalah kepercayaan bahwa hewan tertentu dianggap suci dan dipuja
karena memiliki kekuatan supranatural. Hewan yang dianggap suci antara lain sapi, ular,
dan harimau.
e. Monoisme
Monoisme atau monoteisme adalah tingkat akhir dalam evolusi kepercayaan
manusia. Monoisme merupakan sebuah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pada tingkat ini, manusia mulai berpikir atas apa yang selama ini dialaminya. Mulai dari
pertanyaan siapa yang menghidupkan dan mematikan manusia, siapa yang menghidupkan
tumbuhan, siapa yang menciptakan binatang, juga bulan dan matahari. Berdasarkan
pertanyaan itu, manusia membuat kesimpulan bahwa ada kekuatan yang maha besar dan
tidak tertandingi oleh kekuatan manusia.
REKAYASA IDE

Sebelum mengenal aksara dan sebelum mencipta alat transportasi, manusia sudah
berkelana lintas pulau, bahkan lintas benua, termasuk menjelajah hingga nusantara.
Wilayah berbukit di sisi danau laut tawar, Aceh Tengah, menyimpan cerita panjang
perjalanan leluhur manusia nusantara ribuan tahun lampau. Dataran setinggi lebih dari
1.600 meter di atas permukaan laut menjadi sorotan peneliti kehidupan purbakala sejak 5
tahun silam.

11 Kerangka Homo sapiens awal atau manusia prasejarah ditemukan di Ujung


Karang dan Mendale, Aceh. 2 Ceruk atau relung di perbukitan yang berjarak 4 kilometer
dari pusat Kota Takengon
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam materi pembelajaran kali ini yaitu SUMATRA UTARA MASA PRA
AKSARA,kita bisa tau tentang apa saja peninggalan masa pra aksara di sumut walaupu
terdapat banyak kekurangan-kekurangan. Namun,demikian penulis telahberupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik
dan oleh karenanya,penulis dengan rendah hati menerima masukan,saran,dan usul guna
penyempurnaan makalh ini.
DAFTAR PUSTAKA
Djubiantono, T. 1985. “Posisi Stratigrafi Artefak di Lemah Muzoi, Nias” dalam PIA III. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 1026-1033.

Wiradnyana, Ketut. 2009. “Pulau Nias dalam Kerangka Prasejarah” disampaikan dalam kuliah
umum di Departemen Antropologi, Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera
Utara, 18 Agustus 2009. Medan: Balai Arkeologi Medan.

Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Paduan Penelitian
Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiradnyana, Ketut. 2011. Pra Sejarah Sumatera Bagian Utara: Kontribusinya pada Kebudayaan
Kini. Jakarta: Obor.

Wiradnyana, Ketut. 2015. Paradigma Perubahan Evolusi Pada Budaya Megalitik Di Wilayah
Budaya Nias. Jurnal Kapata Arkeologi. Vol. 11 (2): 87-96.

Yondri, Lutfi, dkk. 2016. Menggali Nilai-nilai Luhur Masyarakat Masa Lalu Dari Tinggalan
Budaya Materi. Jurnal Patanjala. Vol. 8 (2): 139-154.

Lister Eva Simangungsong.2020.Sumatera Utara Dalam Periodisasi. Medan:Yayasan Kita


Menulis

Anda mungkin juga menyukai