Dosen Pengampu :
OLEH :
HAMAWATI 220604500017
2023
KATA PENGANTAR
Zaman pra-aksara di Indonesia adalah periode sejarah yang sangat menarik yang
mencakup ribuan tahun sebelum pengenalan sistem tulisan di kepulauan ini. Selama periode
ini, manusia Indonesia mengembangkan kemahiran yang luar biasa dalam menciptakan
beragam artefak yang mencerminkan budaya, kreativitas, dan pengetahuan mereka.
Kemahiran membuat artefak selama zaman pra-aksara adalah bukti kecakapan dan
kecerdasan manusia Indonesia dalam mengatasi tantangan alam dan kehidupan sehari-hari
mereka. Dalam kata pengantar ini, kita akan menjelajahi beragam aspek dari kemahiran ini,
termasuk seni ukir, seni lukis, kerajinan tangan, dan teknik pembuatan alat.
Selama zaman pra-aksara, keberadaan artefak yang dibuat oleh masyarakat Indonesia
menjadi cerminan dari nilai-nilai budaya, agama, dan pengetahuan yang ada. Mereka
menciptakan alat-alat yang diperlukan untuk bertahan hidup, seperti peralatan berburu,
peralatan dapur, dan peralatan pertanian. Mereka juga menghiasi rumah mereka dengan seni
yang indah, yang mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang alam dan kosmologi.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Dalam makalah ini kami akan membahas proses berkembangnya tradisi pokok
pembuatan alat-alat di Indonesia dan juga membahas cara hidup Masyarakat pada saat itu.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Serpih Bila
Tradisi ini menunjukkan perkembangan teknik pembuatan alat-alat batu pada kala pasca-
Plestosen. Berikut beberapa poin penting terkait tradisi ini :
Dalam tradisi serpih-bilah, teknik pembuatan alat-alat batu terus berkembang dari masa
sebelumnya. Ini mencakup pembuatan alat-alat dengan bentuk yang lebih maju dan
berbagai corak untuk berbagai kegunaan.
• Alat-Alat Mikrolit
Dalam tradisi ini, ada penggunaan teknik pengerjaan yang rumit untuk menciptakan alat-
alat mikrolit dengan bentuk khas geometrik. Alat-alat mikrolit ini seringkali memiliki
ukuran kecil.
• Pemangkasan Sekunder
Salah satu teknik utama dalam tradisi serpih-bilah adalah pemangkasan sekunder, yang
melibatkan pengerjaan serpih setelah dilepaskan dari batu inti. Hal ini sering dilakukan
untuk mencapai bentuk alat-alat yang diperlukan.
2
• Bahan Batu
Berbagai jenis batu digunakan untuk membuat alat-alat, termasuk kalsedon, batu gamping,
dan andesit. Penggunaan batu-batu ini mungkin bervariasi tergantung pada wilayah
geografis.
• Lokasi Tradisi
Tradisi serpih-bilah secara khusus menonjol di gua-gua Sulawesi Selatan dan pulau-pulau
Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Namun, di Jawa, serpih-bilah tidak memainkan peran
penting dalam konteks tradisi alat tulang.
• Pengembangan Selanjutnya
Beberapa unsur dari tradisi serpih-bilah kemudian berkembang dalam konteks masa
bercocok tanam. Ini mencakup pembuatan alat-alat yang lebih sempurna, seperti mata
panah bersayap atau bergerigi, serta serpih-bilah yang dibuat khusus dari batu kecubung
(obsidian).
Tradisi serpih-bilah adalah salah satu contoh perkembangan teknologi batu pada masa
lalu, yang mencerminkan adaptasi manusia terhadap lingkungan dan kebutuhan mereka.
Tradisi ini juga mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah arkeologi di wilayah Asia
Tenggara.
3
2. Alat Tulang
Di Vietnam, alat-alat tulang ditemukan di beberapa lokasi seperti Tonkin, Hoabinh, dan Da
But. Penemuan ini terkadang bercampur dengan kapak genggam Sumatra yang lebih kasar. Hal
ini menunjukkan adanya peralihan dari penggunaan alat-alat batu ke alat-alat tulang. Stein
Callenfels berpendapat bahwa tradisi alat-alat tulang berasal dari Vietnam Selatan dan Annam,
kemudian menyebar ke daerah lain, termasuk Jawa Timur di Indonesia.
Di Jawa Timur, penemuan alat-alat tulang yang terkenal terjadi di Gua Lawa dekat
Sampung. Penemuan ini pertama kali menarik perhatian seorang ahli geologi, L.J.C. van Es,
yang awalnya tertarik pada penemuan tulang-tulang binatang. Ekskavasi di Gua Lawa
mengungkapkan lapisan-lapisan sejarah dengan kedalaman hingga 13,75 meter di bawah
permukaan tanah. Penemuan ini memberikan wawasan tentang perkembangan budaya dan
teknologi di wilayah ini, serta pergeseran dari penggunaan alat-alat batu ke alat-alat tulang
sebagai alat-alat penting dalam kehidupan manusia pra-sejarah.
Penemuan alat-alat tulang di bagian selatan Bali, khususnya dalam ekskavasi yang
dilakukan oleh Soejon pada tahun 1961, memberikan wawasan penting tentang sejarah
prasejarah di wilayah ini. Ekskavasi dilakukan di tiga gua di daerah Pecatu, Badung, yaitu Gua
Karangboma I dan II, dan Gua Selonding.
Gua Karangboma I dan II tampaknya tidak pernah ditempati oleh manusia pada masa lalu,
namun, Gua Selonding menghasilkan temuan yang lebih berharga. Di Gua Selonding,
ditemukan alat-alat dari tulang, termasuk alat tusuk yang mirip dengan lancipan Muduk yang
sebelumnya ditemukan di Sulawesi dan Australia. Selain itu, ditemukan beberapa alat seperti
sudip dan alat tusuk yang terbuat dari tanduk rusa. Pecahan kulit kerang, tulang-tulang, gigi
binatang seperti gigi babi dan rusa, serta pecahan batu yang mungkin digunakan sebagai alat
juga ditemukan.
Salah satu temuan yang paling signifikan adalah lancipan Muduk, yang memberikan
petunjuk tentang hubungan budaya dan teknologi antara Bali, Sulawesi Selatan, dan Australia.
Sayangnya, dalam ekskavasi ini, tidak ditemukan tulang-tulang manusia, sehingga tidak dapat
diketahui jenis manusia yang menciptakan alat-alat tersebut. Penemuan ini tetap memberikan
wawasan penting tentang perkembangan teknologi dan budaya di Bali dan hubungannya
dengan wilayah lain di Asia Tenggara.
4
3. Kapak Genggam Sumatra
Hoabinh merupakan istilah suatu budaya yang diketahui secara luas di kawasan Asia
Tenggara pada zaman prasejarah, yang mengacu pada budaya khusus yang berkembang
sebelum masa neolitik.
Pengertian Hoabinhian atau budaya Hoabinh ini berasal dari nama situs arkeologi di
Hoabinh yang letaknya sekitar 60 km di sebelah tenggara kota Hanoi (Vietnam). Kebudayaan
ini dijumpai untuk pertama kalinya sekitar tahun 1920-an. Berbagai penelitian telah dilakukan
selama ini dan membuktikan bahwa kebudayaan tersebut tersebar luas di kawasan Asia
Tenggara, antara lain Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Ada dugaan
bahwa kebudayaan ini berasal dari wilayah Cina Selatan, yang berkembang sejak kala
Plestosen Akhir sampai sebelum masa neolitik (preneolithic) atau kira-kira 5.000 BP. Dengan
memerhatikan sebaran budaya Hoabinh di wilayah Indonesia, sejauh ini kegiatan penelitiannya
masih terbatas di situs-situs yang ada di Aceh dan pantai timur Sumatra Utara. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa pendukung budaya Hoabinh tersebut kemungkinan besar
menempuh jalur migrasi dari Semenanjung Malaysia. Di wilayah ini ditemukan sisa-sisa bukit
kerang sepanjang 130 km, mulai dari kota Medan sampai Lhok Seumawe. Dalam penelitian
yang terakhir telah berhasil dijumpai sisa-sisa kehidupan masyarakat budaya Hoabinh di daerah
pedalaman, di dalam gua-gua di sekitar Pegunungan.
karakteristik budaya ini menghasilkan artefak litik kerakal (pebble tools) dengan teknik
pemangkasan satu sisi dan meninggalkan sisi lainnya yang masih asli. Alat ini dikenal sebagai
sumatralith atau batu Sumatra, karena pertama kali ditemukan di Sumatra. Ciri-ciri utama dari
budaya ini melibatkan:
1. Pembuatan Sumatralith
Budaya ini dikenal karena menghasilkan alat-alat seperti sumatralith, yaitu artefak litik
berbentuk pebble tools yang dibentuk dengan teknik pemangkasan satu sisi. Sisi lainnya
dibiarkan dalam kondisi semula, dan alat ini memiliki tajaman di ujungnya.
2. Perbedaan Hidup di Pantai dan Pedalaman
Budaya ini menggambarkan perbedaan yang jelas antara kehidupan di wilayah pantai
dan di pedalaman. Masyarakat pantai biasanya mengandalkan hasil biota laut untuk
mata pencaharian mereka. Selama ribuan tahun, mereka meninggalkan sisa-sisa
makanan dan artefak di sekitar daerah pantai mereka.
5
3. Mata Pencaharian Masyarakat Pedalaman
Di pedalaman, masyarakat mengandalkan berburu hewan besar dan kecil. Mereka
menggunakan alat-alat batu, seperti sumatralith, yang ditemukan di sekitar lingkungan
mereka.
4. Penyebaran Budaya Sumatralith
Tradisi ini terdapat di sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Cina Selatan,
Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Semenanjung Malaya, Australia, dan Tasmania.
Penemuan di daerah-daerah Asia Tenggara menunjukkan keragaman lokasi, termasuk
gua-gua dan daerah pesisir pantai.
5. Temuan Usia
Melalui analisis radiokarbon, telah berhasil ditentukan umur absolut dari beberapa
penemuan penting, seperti temuan dari Gua Niah di Kalimantan (32,630 ± 250 BP) dan
Gua Ongbah di Thailand (8810 ± 170 BP). Hal ini membantu dalam memahami
kronologi budaya ini.
6. Penemuan di Indonesia
Di Indonesia, penemuan alat-alat sumatralith tersebar di pantai timur Sumatra Utara,
seperti di Lhok Seumawe dan Binjai. Ada juga laporan mengenai temuan baru di bukit-
bukit kerang di Aceh, yang juga mencakup kapak genggam Sumatra.
Wawasan tentang budaya kuno di Asia Tenggara, khususnya berkaitan dengan pembuatan
alat-alat sumatralith dan perbedaan dalam mata pencaharian antara masyarakat di pantai dan
pedalaman.
B. Masyarakat
1. Kehidupan Sosial-Ekonomis
Cara hidup manusia pada masa berburu tingkat lanjut di mana mereka bergantung
sepenuhnya pada alam lingkungan. Beberapa poin utama dalam deskripsi ini adalah
sebagai berikut.
Manusia pada masa ini hidup dari berburu fauna, menangkap ikan, mencari kerang, siput,
dan mengumpulkan makanan dari sekitar mereka, seperti umbi-umbian, buah-buahan,
biji-bijian, dan daun-daunan. Cara hidup mereka sepenuhnya bergantung pada sumber
daya alam di sekitar mereka.
6
• Tempat Tinggal
Manusia pada masa ini memilih tempat-tempat seperti gua alam atau gua payung (rock-
shelters) untuk tinggal, meskipun mereka tidak menetap di sana secara permanen.
Mereka cenderung memilih gua-gua yang dekat dengan sumber air dan tempat-tempat
dengan sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.
• Pergerakan
Manusia pada masa ini sering berpindah tempat jika sumber daya makanan di satu
lokasi telah habis. Mereka akan mencari tempat baru yang memenuhi kebutuhan
mereka untuk kelangsungan hidup
• Teknologi Alat-alat
Manusia pada masa ini masih menggunakan alat-alat dari batu dan tulang, yang
menunjukkan kelanjutan tradisi alat-alat ini. Di beberapa wilayah, mereka
menghasilkan kapak genggam Sumatra dan kapak pendek. Alat serpih-bilah dan alat
tulang juga menjadi semakin penting dalam teknologi pembuatannya.
• Penggunaan Bambu
Bambu kemungkinan digunakan sebagai bahan untuk alat-alat sehari-hari. Bambu
dapat diolah menjadi berbagai alat, seperti sudip, lancipan, keranjang, dan bahan
anyaman, serta sebagai bahan bakar. Meskipun belum ada bukti konkret di Indonesia,
di Thailand telah ditemukan bukti sisa-sisa bambu terbakar di lapisan gua.
• Penemuan Api
Penemuan dan penggunaan api penting dalam perkembangan budaya manusia.
Penggunaan api memungkinkan manusia untuk memasak makanan, yang memiliki
implikasi penting terhadap perubahan dalam persediaan pangan dan evolusi teknologi.
2. Kehidupan Spritual
Seperti dibicarakan di atas, lukisan-lukisan di dinding-dinding gua atau dinding-
dinding karang menggambarkan kehidupan sosial-ekonomis dan kepercayaan masyarakat
pada masa itu. Sikap hidup manusia tergambar di dalam lukisan-lukisan tadi, dan termasuk
pula di dalamnya nilai-nilai estetika dan magis yang bertalian dengan totem dan upacara-
upacara yang tidak diketahui dengan jelas. Cap tangan dengan latar belakang cat merah
mungkin mengandung arti kekuatan atau lambang kekuatan pelindung untuk mencegah roh
7
jahat, dan cap-cap tangan yang jari-jarinya tidaklengkap dianggap sebagai tanda adat
berkabung.
Lukisan-lukisan yang ditemukan dalam tradisi lebih kemudian mengandung makna dan
simbolisme yang lebih jelas. Beberapa di antaranya adalah:
1. Lukisan Kadal
Terdapat lukisan kadal yang dianggap sebagai lambang kekuatan magis. Kadal dianggap
sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku. Kepercayaan ini berkembang
kemudian di kalangan suku-suku di Indonesia, seperti yang terlihat dalam temuan peti kubur
batu (sarkofagus) di Bali, dinding kubur gua di Pringtali (Besuki), dan kalamba di Sulawesi
Tengah.
2. Lukisan Orang
Gambar-gambar manusia atau bagian tubuh manusia juga memiliki makna magis. Mereka
bisa dianggap sebagai penolak roh jahat atau sebagai gambar nenek moyang. Ini ditemukan
dalam beberapa konteks seperti sarkofagus di Bali, peti mayat di Sumatra Timur, waruga di
Minahasa, kalamba di Sulawesi Tengah, peti kubur batu di Kalimantan Timur, Jawa Timur,
Sumbawa, dan Sumba.
3. Seni Cadas
Di luar Indonesia, seni cadas yang berupa lukisan-lukisan di dinding- dinding karang atau
di dinding gua, ditemukan di Eropa, misalnya di Italia, Spanyol, Prancis, Afrika,n dan di
beberapa wilayah di daratan Asia (India, Thailand, dan sebagainya) serta Australia. Di negara-
negara ini seni cadas ternyata berasal dari masa yang lebih tua daripada yang ditemukan di
Indonesia, dan dianggap sebagai hasil budaya dari masyarakat yang hidup berburu dan
mengumpul makanan pada tingkat sederhana hingga tingkat lanjut. Di Indonesia, seni cadas
adalah suatu hasil budaya yang baru dicapai pada masa berburu tingkat lanjut, dan ditemukan
tersebar di daerah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, Kalimantan, dan Irian Jaya
Papua.
8
Penemuan lukisan dinding gua di daerah Sulawesi Selatann untuk pertama kalinya
dilakukan Oleh C.H.M. Heeren-palm pada tahun 1950 di Leang PattaE. Di gua ini ditemukan
cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah. Barangkali ini adalah cap-cap tangan kiri
perempuan. Adapun cap-cap tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan itu di
dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Di gua tersebut juga ditemukan lukisan
seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Barangkali
lukisan Semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil di dalam usaha
berburu di dalam hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal berwarna
merah.
Gambar pola manusia ditemukan di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Ini menunjukkan
bahwa ada sejenis keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani dalam masyarakat
tersebut. Pola-pola tersebut mencerminkan nilai sosial-ekonomi dan nilai religis-magis.
Di beberapa gua, seperti Gua Lompoa, Kassi, dan Sapiria di Sulawesi Selatan, terdapat pola
lain seperti cap tangan, babi, matahari, ikan, perahu, bentuk geometrik, kapak, mata bajak, dan
ular. Masing-masing dari pola ini mungkin memiliki makna sosial-ekonomi atau religis-magis
yang berbeda.
Satu-satunya gambar cap kaki ditemukan di Gua Sumpang Bita, Pangkajene, Sulawesi
Selatan. Meskipun belum ada catatan yang menjelaskan fungsi dan maknanya, ini mungkin
terkait dengan upacara yang terkait dengan peristiwa seorang bayi mulai mampu berjalan untuk
pertama kalinya. Cap kaki ini mungkin digunakan untuk memperingati peristiwa tersebut yang
dianggap sakral dan memiliki makna religis-magis. Gambar cap kaki ini digambarkan dalam
bentuk negatif (negative footprint).
9
Pola-pola ini dalam seni tradisional Indonesia mencerminkan kompleksitas budaya dan
kepercayaan masyarakat setempat, yang seringkali memiliki makna yang dalam dan banyak
lapisan, baik dari segi sosial-ekonomi maupun religis-magis.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seni prasejarah di Indonesia merupakan warisan budaya yang kaya dan beragam. Lukisan-
lukisan kadal dan manusia memberikan wawasan tentang hubungan yang dalam antara
masyarakat prasejarah dengan roh nenek moyang dan nilai-nilai spiritual. Selain itu, pola-pola
dan gambar-gambar seperti cap tangan, babi, matahari, dan lainnya, mencerminkan makna
sosial-ekonomi dan religis-magis yang kompleks dalam budaya mereka. Temuan gambar cap
kaki juga mengungkapkan penggunaan seni dalam konteks upacara sakral yang memperingati
peristiwa penting dalam kehidupan mereka. Keseluruhan, seni prasejarah Indonesia adalah
cerminan dari keragaman budaya dan kepercayaan masyarakat prasejarah serta pentingnya seni
sebagai ekspresi makna dalam kehidupan mereka.
B. Saran
Karena kami sebagai penulis makalah ini merasa masih banyak yang kurang dalam
penulisannya maka dari itu kami meminta saran dari teman-teman sekalian.
11
DAFTAR PUSTAKA
12