Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Dasar

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya


2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 34 Tahun 2016 Tanggal 24
Agustus 2016. tentang Rincian Tugas Balai Konservasi Borobudur
4. Surat Keputusan Kepala Balai Konservasi Borobudur Nomor : 184/E12/HK/2017
tentang Tim pelaksana kajian Balai Konservasi Borobudur Tahun 2017
5. DIPA Balai Konservasi Peninggalan Borobudur tahun 2017

B. Latar Belakang

Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang bisa
digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kekayaan sumber daya budaya dapat
berupa fisik maupun non fisik. Salah satu kekayaan tersebut adalah sumberdaya arkeologi/
peninggalan purbakala (cagar budaya) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010, pengertian cagar budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur
cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan.
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (Anomin, 2010).
Propinsi Bali merupakan salah satu propinsi yang memiliiki banyak cagar budaya dari
masa kerajaan Bali Kuna yang bercorak agama Hindu dari masa abad VIII – XIV M. Cagar
budaya yang ditemukan di Propinsi Bali diantaranya adalah arca, prasasti, bangunan kuna
seperti pura, pertirtaan dan sebagainya. Salah satu cagar budaya yang memiliki nilai penting
yang tinggi adalah Situs Gua Gajah yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu,
Kabupaten Gianyar. Lokasi Situs Gua Gajah berjarak sekitar 24 Km dari Denpasar.
Secara geografis, Situs Gua Gajah terletak pada 8º 20’ 20” Bujur Timur s.d. 8º 51’ 20”
Lintang Selatan yang diukur dari meridian Jakarta. Situs Gua Gajah ini terletak di tebing kiri
sungai Petanu dengan ketinggian antara 100 meter sampai 400 meter di atas permukaan laut.

1
Situs ini membelah daerah perbukitan yang mendominasi keadaan alam sekitarnya, di sebelah
selatan sungai Petanu dan cabangnya, di sebalah timur dan barat perbukitan dan di utara
adalah jalan raya. Suhu udara di situs ini berkisar antara 25º C sampai 30º C dengan curah
hujan rata-rata tiap tahun mencapai 3.500 mm (Suantra dan Muliarsa, 2006).
Pura Gua Gajah ditemukan pertama pada tahun 1923 dan khusus bangunan kolam
ditemukan pada tahun 1954 yang sudah pernah dipugar pada tahun 1975/1976 sampai dengan
1997/1998. Pemugaran saat itu meliputi kegiatan penggalian dan penyelamatan di sekitar
kolam petirtaan. Hasil penggalian antara lain menemukan struktur batu padas yang menempel
pada dinding sisi barat Pura Gua Gajah. Struktur susunan batu padas tersebut kemudian di
bongkar dan dipasang kembali dengan perkuatan struktur beton. Penanganan rekahan dinding
dan langit-langit gua yang pecah diberi isian diberi isian berupa campuran pasir dan semen
pada tempat-tempat tertentu serta diberi nomor untuk memudahkan dalam pengamatan
selanjutnya. Pada tahun 2000 tim dari Balai Studi dan Konservasi Borobudur melakukan Studi
teknis pada situs tersebut (Susilo, dkk, 2000).
Berdasarkan laporan Susilo, dkk (2000) yang melakukan studi teknis, dapat diketahui
bahwa Situs Gua Gajah terletak di daerah yang lebih rendah sehingga mempunyai kelembaban
yang relatif lebih tinggi, dengan curah hujan yang cukup tinggi, yang mana kondisi ini memicu
pertumbuhan jasad baik berupa lumut, algae dan lichen akan tumbuh subur. Selain itu kondisi
struktur batu Gua Gajah yang merupakan proses sedimentasi, seperti telah diketahui bahwa
struktur batuan sedimen rentan terhadap proses pelapukan, oleh karena sebagian besar batuan
yang ada di pura Gua Gajah telah mengalami pelapukan baik secara fisis, khemis dan biologis.
Gua Gajah merupakan gua buatan yang dibangun kedalam lapisan batuan tufa pasiran
dan pasir tufaan. Lapisan batuan merupakan lapisan yang massif dan merupakan blok-blok
batuan yang pada umumnya merupakan bidang kontak antara blok batuan yang merupakan
bagian terlemah dan terisi oleh butiran-butiran halus yang sifatnya lepas. Selain itu pengaruh
aliran rembesan sering muncul melalui bidang kontak ini, yang mengakibatkan kedudukan
batuan batuan menjadi goyah dan memungkinkan lepas dari kedudukan semula (Susilo, dkk,
2000).
Lokasi Gua Gajah berada di dekat jalan raya Ubud dan Gianyar. Kondisi lalu lintas
sangat padat dengan banyak kendaraan yang lewat baik berupa kendaraan pribadi maupun
kendaraan trailer dan umumnya dengan kecepatan tingggi. Kondisi ini menyebabkan adanya
getaran yang ditimbulkan dan dapat dirasakan di dalam gua. Getaran yang terjadi akibat lalu
lintas akan memberikan pengaruh terhadap stabilitas batuan yang ada, terutama lepasnya
batuan berbentuk bongkah-bongkah melalui bidang kontak bongkah-bongkah batu tersebut.

2
Selain itu, pengaruh pepohonan yang di di tanam di sekitar lingkungan Gua Gajah
mempengaruh kestabilan gua, terutama akar-akar pepohonan yang mampu menembus
retakan/celah yang merupakan bidang kontak bongkah batuan yang dapat berakibat
meregangkan bidang kontak tersebut. Di samping hal-hal di atas, banyaknya kios-kios souvenir
dan beban lapangan pakir kendaraan secara tidak langsung menambah Ketidakstabilan lereng
gua (Susilo, dkk, 2000).
Kondisi Gua Gajah saat ini, jalan raya telah dipindahkan agak jauh dari Gua Gajah,
namun pengaruh pepohonan masih mempengaruhi kestablian gua. Susila dan Tenaya (2016)
mengatakan bahwa pemanfatan Situs Gua Gajah sebagai objek wisata juga memberikan
dampak negatif bagi situs tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan terjadi degradasi material
yang terlihat sangat jelas pada beberapa material situs cagar budaya Gua Gajah yaitu pada
pintu masuk gua dan pada material undak-undak pertirtaan. Pada lantai lorong gua terjadi
penumpukan lapisan tanah disebabkan oleh partikel-partikel tanah pada alas kaki baik sandal
maupun sepatu yang dipakai masuk ke dalam gua oleh pengunjung. Pada undakan pintu
masuk gua terjadi pengikisan material bary padas yang juga disebabkan oleh lalu lalang atau
keluar masuk pengunjung ke dalam / ke luar gua membawa alas kaki. Pada undakan pintu
masuk petirtaan pada bagian barat dan selatan juga terjadi pengikisan materail struktur undak
disebabkan oleh keluar masuk pengunjung membawa alas kaki.
Berdasarkan informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, kondisi Gua Gajah
sekarang sangat memprihatinkan, selain pertumbuhan jasad seperti jamur, algae dan lichen
yang makin bertambah, juga terjadi retakan di beberapa bagian gua. Selain itu juga terjadi
penurunan lantai dalam gua. Melihat kondisi tersebut diperlukan kajian yang menyeluruh untuk
mengetahui dan mengidentifikasi kerusakan dan pelapukan yang terjadi dan solusi
penanganannya yang akan menjadi fokus pada kajian ini.

C. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka permasalahan yang muncul pada


kajian ini adalah :
1. Jenis-jenis kerusakan dan pelapukan apa saja yang terjadi pada Situs Gua Gajah dan
apa penyebabnya ?
2. Bagaimana solusi penanganan konservasi terhadap kerusakan dan pelapukan yang
terjadi pada Situs Gua Gajah ?

3
D. Tujuan

Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang diajukan, maka penelitian ini


bertujuan :
1. Mengidentifikasi kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Situs Gua Gajah
2. Mengidentifikasi penyebab dari kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Situs Gua
Gajah
3. Mencari solusi penanganan untuk konservasi Gua Gajah.

E. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah :


1. Mengetahui jenis kerusakan dan pelapukan yang terjadi di Situs Gua Gajah serta faktor
penyebabnya
2. Memperoleh rencana penanganan konservasi pada Situs Gua Gajah

F. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian ini difokuskan pada studi konservasi pada Komlpek Pura Gajah
yang terdiri Gua Gajah dan Petirtaan. Fokus kajian lebih pada kerusakan dan pelapukan yang
terjadi serta solusi penanganannya. Penetapan fokus penelitian diperlukan agar pengkajian
terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dapat tercapai sesuai dengan tujuan penelitian
(Muhadjir, 2002 : 148).

G. Metodologi
1. Metode penelitian

Untuk membantu dalam penelitian menggunakan metode Induktif kualitatif. Metode ini
bertolak dari data yang ada dilapangan yang kemudian akan dirumuskan menjadi model,
konsep, teori, prinsip, proposi, atau definisi yang bersifat umum. Induksi adalah proses dimana
peneliti mengumpulkan data dan kemudian mengembangkan suatu teori dari data tersebut,
yang sering juga disebut grounded theory (Lawrence R. Frey, dalam Mulyana, 2006 : 156-157).

4
2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah


- XRF
- Thermodiff
- Portimeter
- Data loger
- Patridisk
- Skavel
- Beker gelas dan stik untuk mengukur penguapan
- Ph meter stik
- Dan lain-lain

Bahan yang digunakan adalah


- Asam Khlorida
- Kaliun Natrium Carbonate
- Tritilpek III
- Aquadest
- Alkohol
- Dan lain-lain

3. Analisis Laboratorium
Untuk mengetahui kandungan unsur pada sampel yang berasal dari Situs Gua Gajah
dilakukan analisis unsur dan analisis petrografi untuk mengetahui kondisi batuan di Situs
Gua Gajah. Analisis dilakukan di Laboratorium Balai Konservasi Borobudur.

4. Tahapan Penelitian
Sehubungan dengan tujuan kajian ini, maka kajian dilakukan melalui tahapan-tahapan
yang meliputi :

a. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini, untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan kajian, maka
pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

5
1). Studi Pustaka
Pada tahap ini dilakukaan penelahan pustaka yang berhubungan dengan topik yang
dibahas dan dapat digunakan untuk pembahasan topik yang dibicarakan atau sebagai
bahan acuan. Pustaka yang ditelaah meliputi kerusakan dan pelapukan pada cagar
budaya khususnya Situs Gua Gajah dan data tentang konservasi dan arkeologi yang
mendukung kajian.

2). Pengumpulan data lapangan


Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data ke lapangan yaitu ke Situs Gua Gajah di
Kabupaten Gianyar, untuk memperoleh data-data tentang kondisi keterawatan Gua
Gajah. Selain itu juga diambil data mengenai kondisi lingkungan gua dan pengambilan
sampel untuk dilakukan analisis di laboatorium.

3). Pengujian di laboratorium


Pada kajian akan dilakukan pengujian laboratorium berupa analis unsur dan analisis
petrografi untuk mengetahui data sampel yang dibawa yang dapat menggambarkan
kondisi Gua Gajah yang dikaji. Selain itu juga dilakukan percobaan-percobaan lainnya
untuk mendapatkan data yang akurat.

b. Tahap Pengolahan Data

Pada tahap ini, dilakukan pengolahan data hasil pengumpulan data lapangan dan data
hasil analisis di laboratorium serta data pustaka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Hasil pengolahan data ini diharapkan akan menghasilkan kesimpulan sementara sesuai
denga tujuan kajian.

c. Tahap Penafsiran Data


Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, maka pada tahap ketiga akan dicoba untuk
dianalis lebih lanjut hasil pengolahan data yang telah dilakukan. Hasil analisis ini kemudian
akan ditafsirkan lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang ada. Pada tahap ketiga ini
diharapkan diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kesimpulan

6
yang diambil tentu saja masih bersifat sementara, dan masih tetap diperlukan penelitian
lebih lanjut serta lebih menyeluruh.

5. Kerangka Pemikiran (Bagan Alur)


Agar Kajian ini lebih terarah, maka berikut ini alur pemikiran penulis kembangkan
sebagai berikut :

Studi Pustaka

Penyusunan Proposal
kajian

Pengumpulan data
lapangan

Pengolahan data

Pengujian laboratorium Kondisi keterawatan situs


Pustaka
terhadap sampel yang
dibawa dari lapangan

Analisis

Interpretasi

Kesimpulan

Rekomendasi
BAB II

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Geologi Regional

Kondisi geologi regional Pulau Bali dimulai dengan adanya proses di lautan selama kala
Miosen Bawah yang menghasilkan batuan lava bantal dan breksi yang disisipi oleh batu
gamping. Di bagian selatan terjadi pengendapan oleh batu gamping yang kemudian
membentuk Formasi Selatan. Di jalur yang berbatasan dengan tepi utaranya terjadi
pengendapan sedimen yang lebih halus. Pada akhir kala Pliosen, seluruh daerah pengendapan
itu muncul di atas permukaan laut. Bersamaan dengan pengangkatan, terjadi pergeseran yang
menyebabkan berbagai bagian tersesarkan satu terhadap yang lainnya. Umumnya sesar ini
terbenam oleh bahan batuan organik atau endapan yang lebih muda.
Selama kala Pliosen, di lautan sebelah utara terjadi endapan yang kemudian
menghasilkan Formasi Asah. Di barat laut sebagian muncul ke atas permukaan laut. Sementara
ini semakin ke barat pengendapan batuan karbonat lebih dominan. Seluruh jalur itu pada akhir
Pliosen terangkat dan tersesarkan.
Kegiatan gunung api lebih banyak terjadi di daratan, yang menghasilkan gunung api dari
barat ke timur. Seiring dengan terjadinya dua kaldera, yaitu mula-mula kaldera Buyan-Bratan
dan kemudian kaldera Batur, Pulau Bali masih mengalami gerakan yang menyebabkan
pengangkatan di bagian utara. Akibatnya, Formasi Palasari terangkat ke permukaan laut dan
Pulau Bali pada umumnya mempunyai penampang utara-selatan yang tidak simetris. Bagian
selatan lebih landai dari bagian utara. Stratigrafi regional Pulau Bali berdasarkan Peta Geologi
Bali tergolong masih muda. Batuan tertua kemungkinan berumur Miosen Tengah.
Menurut Purbo Hadiwidjojo, (1974) dan Sandberg, (1909) dalam Samuhan, dkk (2015),
secara geologi, Pulau Bali masih muda, batuan tertua berumur Miosen. Secara garis besar
batuan di Bali dapat dibedakan menjadi beberapa satuan yaitu :
1. Formasi Ulakan
Formasi ini merupakan formasi tertua berumur Miosen Atas, terdiri dari setumpuk
batuan yang berkisar dari lava bantal dan breksi basal dengan sisipan gampingan. Nama
formasi Ulakan diambil dari nama kampung Ulakan yang terdapat di tengah sebaran formasi itu.
Bagian atas formas ulakan adalah formasi Sorga terdiri dari tuf, napal dan batu pasir.
Singkapan yang cukup luas terdapat dibagaian tengah daerah aliran sungai Sorga. Disini

8
batuan umumnya miring kearah selatan atau sedikit menenggara (170-190°) dengan kemiringan
lereng hingga cukup curam (20-50°).
2. Formasi Selatan
Formasi ini menempati semenanjung selatan. Batuannya sebagian besar berupa
batugamping keras. Menurut Kadar, (1972) dalam Samuhan, dkk (2015) tebalnya berkisar 600
meter, dan kemiringan menuju keselatan antara 7-10°. Kandungan fosil yang terdiri dari
Lepidocyclina emphalus, Cycloclypeus Sp, Operculina Sp, menunjukan berumur Miosen. Selain
di semananjung selatan, formasi ini juga menempati Pulau Nusa Penida.
3. Formasi Batuan Gunungapi Pulaki
Kelompok batuan ini berumur Pliosen, merupakan kelompok batuan beku yang umumnya
bersifat basal, terdiri dari lava dan breksi. Sebenarnya terbatas di dekat Pulaki. Meskipun
dipastikan berasal dari gunung api, tetapi pusat erupsinya tidak lagi dapat dikenali. Di daerah ini
terdapat sejumlah kelurusan yang berarah barat-timur, setidaknya sebagian dapat dihubungkan
dengan persesaran. Mata air panas yang terdapat di kaki pegunungan, pada perbatasan
dengan jalur datar di utara, dapat dianggap sebagai salah satu indikasi sisa vulkanisme,
dengan panas mencapai 47° C dan bau belerang agak keras.
4. Formasi Prapat Agung
Kelompok batuan ini berumur Pliosen, menempati daerah Prapat Agung di ujung barat
Pulau Bali. Selain batugamping dalam formasi ini terdapat pula batu pasir gampingan dan
napal.
5. Formasi Asah
Kelompok batuan ini berumur Pliosen menyebar dari barat daya Seririt ke timur hingga di
barat daya Tejakula. Pada lapisan bawah umumnya terdiri dari breksi yang berkomponen
kepingan batuan bersifat basal, lava dan obsidian. Batuan ini umumnya keras karena
perekatnya biasanya gampingan. Dibagian atas tedapat lava yang kerapkali menunjukkan
rongga, kadang-kadang memperlihatkan lempengan dan umunya berbutir halus. Kerap kali
nampak struktur bantal yang menunjukan suasana pengendapan laut.
6. Formasi batuan gunungapi kuarter bawah
Formasi batuan kuarter bawah di Bali didominasi oleh batuan berasal dari kegiatan
gunung api. Berdasarkan morfologinya dapat diperkirakan bahwa bagian barat pulau Bali
ditempati batuan yang terdiri dari lava, breksi dan tuf. Semua batuan volkanik tersebut
dirangkum ke dalam Batuan Gunungapi Jemberana. Umur formasi ini adalah kuarter bawah
dan seluruhnya merupakan kegiatan gunung api daratan. Pada daerah Candikusuma sampai

9
Melaya terdapat banyak bukit rendah yang merupakan terumbu terbentuk pada alas
konglomerat yang membentuk formasi Palasari.
7. Formasi batuan gunungapi kuarter
Proses vulkanis pada kuarter menghasilkan terbentuknya sejumlah kerucut gunungapi
yang umumnya kini telah tidak aktif lagi. Gunungapi tersebut menghasikan batuan tuf dan
endapan lahar Buyan-Bratan dan Batur, batuan gunungapi Gunung Batur, batuan gunungapi
Gunung Agung, batuan gunungapi Batukaru, lava dari gunung Pawon dan batuan gunungapi
dari kerucut-kerucut subresen Gunung Pohen, Gunung Sangiang dan Gunung Lesung. Hanya
dua gunungapi yang kini masih aktif yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur di dalam Kaldera
Batur.

Tabel 2.1. Stratigrafi Regional Pulau Bali yang mengacu pada Peta Geologi Lembar Bali
(Purbo Hadiwidjojo,1998)
Umur Geologi Formasi
Kuarter Endapan aluvium terutama di sepanjang pantai, tepi Danau Buyan, Bratan,
dan Batur
Batuan gunung api dari krucut subresen Gunung Pohen, Gunung Sangiang,
Gunung Lesung
Lava dari Gunung Pawon
Batuan dari gunung api Gunung Batukaru
Batuan gunung api Gunung Agung
Batuan gunung api Gunung Batur
Tuf dan endapan lahar Buyan-Bratan dan Batur
Kuarter Bawah Formasi Palasari: konglomerat, batu pasir, batu gamping terumbu
Batuan gunung api Gunung Sraya
Batuan gunung api Buyan-Bratan Purba dan Batur Purba
Batuan gunung api Jembrana: lava, breksi, dan tuf dari Gunung Klatakan,
Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan batuan yang tergabung
Pliosen Formasi Asah: lava, breksi, tuf batuapung, dengan isian rekahan bersifat
gampingan
Formasi Prapat Agung: batu gamping, batu pasir gampingan, napal
Batuan gunung api Pulaki: lava dan breksi
Miosen- Formasi Selatan: terutama batu gamping

10
Pliosen
Miosen Formasi Sorga: tuf, napal, batu pasir
Tengah-Atas
Miosen Formasi Ulukan: breksi gunung api, lava, tuf dengan sisipan batuan
Bawah-Atas gampingan

Peta 2.1. Peta Geologi Kabupaten Gianyar yang diadopsi dari Peta Geologi Lembar Pulau Bali
(Pemerintah Kabupaten Gianyar, 2015)

Dari peta geologi diatas terlihat bahwa wilayah Kabupaten Gianyar tersusun oleh batuan
gunungapi Buyan-Bratan dan Batur dengan batuan penyusun berupa tuf dan endapan lahar
yang terbentuk pada zaman kuarter. Karena itu batuan penyusun wilayah Kabupaten Gianyar
masih tergolong muda dan secara umum belum mengalami litifikasi (pembatuan) sehingga
yang banyak ditemui adalah endapan-endapan yang mulai memadat tetapi belum mengalami
pembatuan. Endapan tanah yang memadat dan belum mengalami pembatuan inilah yang

11
menjadikannya lebih mudah untuk dibentuk menjadi gua-gua buatan karena kekerasan tanah
masih rendah (lunak). Akan tetapi gua-gua ini akan lebih mudah mengalami kerusakan dan
pelapukan karena endapan tanah yang belum mengalami pembatuan akan memiliki porositas
yang lebih besar dan densitas yang lebih kecil dibandingkan endapan yang sudah mengalami
pembatuan. Kondisi ini akan mempercepat kerusakan dan pelapukan karena faktor mekanis,
fisis, khemis dan biologis.

2,2. Geosintetik
Istilah geosintetik diambil dari kata “geo” yang berarti bumi dan “sintetik” yang berarti suatu
bahan buatan. Geosentetik adalah produk buatan pabrik dari bahan polymer yang digunakan
dalam sistem atau struktur yang berhubungan dengan tanah, batuan atau bahan rekayasa
geoteknik lainnya. Macam-macam geoseintetik yang telah banyak digunakan dalam rekayasa
yaitu :
1. Geotekstil
2. Geomenbran
3. Geogrid
4. Geokomposit
5. Geonet
6. Geosyententhetic
7. Dan lain-lain
Hubungan antara fungsi dan jenis geosintetik diperlihatkan pada diagram di bawah ini:

Diagram 2.1. Fungsi utama dari berbagai macam geosintetik


(Fluet, 1988 dalam Hardiyatmo, 2013)

12
Meterial yang digunakan untuk geosintetik, terutama berasal dari industry plastic, yaitu polymer,
walaupun kadang-kadang karet, fiberglas, dan material yang lain juga digunakan (Hardiyatmo,
2013). Di pasaran, geosentetik tersedia dalam berbagai bentuk geometeri dan komposisi
polymer yang berbeda untuk memenuhu kebutuhan yang sangat banyak. Semua geotekstil
umumnya dibuat dari bahan yang kuat , awet, yang bahan dasarnya tahan terhadap reaksi
kimia, pengaruh cuaca dan proses penuaan. Dalam penggunaan yang permanen, kinerja
jangka panjang struktur tergantung pada keawetan atau daya tahan geosintetik. Bergantung
pada penerapannya, Geosintetik dapat mempunyai spesifikasi khusus, seperti katahanan
terhadap rayapan (creep), temperatur atau sinar ultra violet. Keseluruhan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja geosintetik harus dipertimbangkan dalam perancangan guna pemilihan
tipenya (Hardiyatmo, 2013).
Geosintetik umumnya diidentifikasikan dengan (Ho;tz et, al, 1998 dalam Hardiyatmo, 2013) :
1. Polymer sebagai istilah deskriptif, contohnya kerapatan tinggi (high density) atau kerapatan
rendah (low density)
2. Tipe elemennya, jika cocok (contohnya filament, benang, helaian, rusuk, rusuk terselimut).
3. Perbedaan proses pembuatan (contohnya anyam, nir-anyam, nir-anyam ikat panas,
lembaran halus/kasar dan lain-lain)
4. Tipe utama geosintetik (yaitu geotekstil, geogrid, geomembran dan lain-lain)
5. Masa persatuan luas (contohnya untuk geotekstil, geogrid, geosynthentic clay liner,
pelindung erosi) dan/atau tebal (contohnya untuk tipr geomembran).
6. Sembarang informasi lain atau sifat fisik yang dibutuhkan untuk menggambarkan material
dengan aplikasi khusus. Sebagai contoh, geo tekstil nir-anyam polypropylene serabut
filament needle punched, 350 g/m², geonet polyerhylene, 440 g/m² dengan lubang 8 mm,
geogrid biaksial extruded polypropylene, dengan lubang bukaan 25 x25 mm² dan
sebagainya.
Terkait dengan konservasi Gua Gajah, maka perlu upaya untuk melindungi struktur gua dari
infiltrasi air hujan dan kelembaban udara dari lantai dasar gua. Oleh karena itu, jenis geosintetik
yang dipertimbangkan upaya konservasi tersebut adalah yang memiliki kemampuan transmisi,
filtrasi dan isolasi. Dalam hal ini, tipe geosintetik yang dipilih adalah geokomposit dan
geomembran. Karena bahan geokomposit sendiri dapat berupacampuran dari dua macam jenis
geosintetik, maka penjelasan mengenai jenis geosintetk lain sebagai komponennya akan
disertakan pada bagian berikut.

13
2.2.1. Geotekstil
Jenis bahan geosintetik yang banyak digunakan adalah geotekstil. Bahan tekstil bersifat
lolos air ini dibuat di pabrik dari bahan-bahan sintetis , seperti: nylon, polyethilane, polyester,
polypropylene, polyvinyl chloride dan kombinasi daari bahan tersebut. Berdasarkan teksturnya,
geotekstil dapat dibedakan menjadi tipe anyam (woven) dan ni-anyam (non-woven)

Foto 2.1. Tipe Geotekstil

Secara umum, geotekstil dapat terdegradasi oleh sinar ultraviolet, sehingga beberapa usaha
dilakukan untuk menaikkan ketahanan bahan geotekstil terhadap ultraviolet salah satunya
dengan mengolah bahan polymer dengan ramuan khusus.
Salah satu fungsi geotekstil adalah sebagai filter. Kemampuan filtrasi terkait dengan aplikasi
geotekstil pada sistem drainase. Dalam hal ini, geotekstil berfungsi untuk menyaring butiran
halus tanah tidak terangkut aliran rembesan yang dapat menyumbat saluran/ pipa drainase
(Hardiyatmo, 2013)

2.2.2. Geomembran

Geomembran adalah suatu material dari karet atau plastic yang kedap air, dan
digunakan terutama untuk pelindung dasar atau tebing pembatas struktur penampung cairan
atau air. Pada prinsipnya geomembran berfungsi sebagai penghalang atau pencegah aliran
kelembaban atau cairan. Sebagai contoh, geomembran dipakai untuk pelindung kolam

14
penampung untuk tempat pembuangan sampah, sehingga air kotor tidak meresap ke dalam di
sekitarnya (Hardiyatmo, 2013).

Foto 2.2 Bentuk geomembran (sumber :


Hardiyatmo, 2013)

Geomembran berasal dari bahan mentah yang termasuk resin polymernya sendiri.
Beberapa bahan tambah seperti anti oksida, plastiser, pengisi, karbon hitam dan pelumas,
digunakan sebagai pembantu pemrosesan. Material mentah ini lalu diproses menjadi lembaran
geomembran dengan berbagai macam lebar dan tebalnya (Hardiyatmo, 2013).
Geomembran dapat digunakan untuk melindungi tanah dari pencemaran air kotor atau
limbah dari pembuangan sampah. Untuk perlindungan terhadapnya sobeknya geomembran,
maka geotekstil dapat digunakan untuk menggantikan fungsi lapisan pasir pelindung yang
biasanya digunakan untuk bangunan ini (Hardiyatmo, 2013).
Geotekstil dapat diletakkan pada satu atau dua sisi (atas dan bawah) dari geomembran
(line synthetic) untuk melindungi membran dari tegangan berlebihan yang terjadi saat
pemasangan dan tegangan-tegangan berlebihan yang terjadi pada saat pemasangan dan
tegangan-tegangan berlebihan yang terjadi di kemudian hari. Untuk perlindungan geomembran
dari akibat tegangan yang berlebihan ini dapat digunakan geotekstil yang beratnya dari
sedang sampai berat, Dalam kasus ini geotekstil melindungi geomembram dengan aksinya
sebagai bantalan. Geotekstil memperkecil kemungkinan robek atau tercoblosnya geomembran

15
dari dari materi tajam dan kerusakan akibat aksi peralatan saat pelaksanaan pekerjaan
(Hardiyatmo, 2013).

Gambar 2.1. Penempatan geotekstil untuk perlindungan geomenbram (sumber :


Hardiyatmo, 2013)

Geomembram telah digunakan untuk menangani masalah yang terkait dengan


lingkungan, hidrolik, transportasi, geoteknik, perumahan dan lain-lain (Hardiyatmo, 2013).
Geomembran dapat diaplikasikan pada :
1. Geomembrane dapat menjadi lapisan kedap untuk memisahkan material padat maupun
cairan yang berupa limbah maupun bukan limbah dengan sifatnya yang kedap membuat
tanah dasar dibawahnya tetap terjaga, tidak tercemari.
2. Pada konstruksi jalan, Geomembrane dapat digunakan untuk lapisan tanah dasar yang berair
(memiliki mata air) yang sulit kering. Geomembrane berfungsi sebagai separator dan juga
lapis kedap sehingga timbunan tanah bagus / timbunan perkerasan diatasnya menjadi
terjaga dan tidak terganggu dari air maupun tanah lunak yang mendesak ke atas.
3. Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dan limbah, geomembrane sebagai lapis
kedap menjaga tanah tetap asli tidak tercemar.
4. Pada Kolam, Tambak Ikan/Udang dll, pemasangan geomembrane lebih cepat bila
dibandingkan pemasangan beton maupun batu kali. Sebagai lapis kedap geomembrane juga
mencegah pencemaran, baik dari air kolam terhadap tanah maupun sebaliknya.
5. Pada lapangan golf, geomembrane dapat diaplikasikan pada kolam / danau buatan, sifat
geomembrane yang kedap membuat air tidak terbuang infiltrasi / rembes ke tanah.
6. Pada stock pile batu bara dan bahan tambang lainnya.
7. Pada kolam “heap leach” pada tambang emas.
8. Pada kolam air taman rekreasi. (https://distributorgeotextile2016.wordpress.com).

16
Foto 2.3. Aplikasi geomembran sebagai lapisan kedap pada dasar
kolam penampungan air

2.2.3. Geokomposit
Geokomposit adalah material yang merupakan gabungan dari dua atau lebih jenis
material geosintetik, misalkan geotekstil dan geogrid, geotekstil dan geomembran, atau
gabungan dari material yang lain. Tujuan dibuatnya material geokomposit adalah untuk maksud
tertentu yang memerlukan fungsi masing-masing material secara bersamaan. Misalnya, apabila
geotekstil dilekatkan pada geomembran, maka hal ini untuk melindungi geomembran dari gaya
tusukan, sobekan dan menambah kekuatan tariknya. Terkait dengan fungsinya sebagai
drainase, geokomposit dapat pula berupa kombinasi antara geotekstil yang berfungsi sebagai
filter dan suatu geosintetik khusus yang berfungsi sebagai drainase (Hardiyatmo, 2013)/ Contoh
dari jenis ini adalah geosintetik Delta.

Foto 2.4. Geosintetik komposit (a) Delta dari Tetrasa Geosinindo (b)
Mirafi G-series dari Tencate

17
2.3. Tinjauan Tentang Konservasi Arkeologi

Pemahaman tentang konservasi pada mulanya berhubungan dengan penggunaan atau


pemanfaatan tanah dan air, tanaman, binatang, dan mineral. Dalam hal ini konservasi
dimaksudkan sebagai usaha di dalam memanfaatkan tanah dan sumber-sumber alam secara
bijaksana, agar tanah dan sumber-sumber alam tersebut dapat terpelihara secara baik dan
terlindungi sehingga dapat dimanfaatkan lebih lama. Ide mengenai konservasi ini timbul
karena adanya kesadaran bahwa tanah dan sumber-sumber alam di setiap area memiliki
ketahanan yang terbatas, sedangkan tanah dan sumber-sumber alam tersebut merupakan
modal dasar bagi kehidupan manusia. Dari titik pandang inilah ide konservasi kemudian
berkembang menjadi suatu usaha yang ditujukan pada pemeliharaan tanah, hutan,
margasatwa dan situs-situs arkeologi, dan sejarah (Subroto, 1995).
Dalam konsepsi arkeologis, konservasi adalah pengelolaan dan pemeliharaan benda
cagar budaya agar dapat dimanfaatkan lebih lama dengan tetap mempertahankan makna
kulturalnya. Kegiatan konservasi di bidang ini meliputi; pemeliharaan berkesinambungan
(maintenance), pengawetan objek tanpa melakukan perubahan (preservation), mengembalikan
objek pada keadaan sebenarnya tanpa menggunakan bahan baru (restoration), mengembalikan
objek pada keadaan mendekati aslinya dengan bukti bukti yang ada baik bukti fisik maupun
bukti tertulis (reconstruction), dan memodifikasi objek sesuai dengan penggunaannya
(adaptation) (Taufik, 2005).
Konservasi arkeologi adalah upaya pelestarian benda arkeologi. Oleh karena itu
merupakan prinsip bahwa konservasi harus berdasarkan kaidah-kaidah arkeologi serta budaya
yang melatarbelakanginya. Prinsip ini secara filosofi menjiwai konservasi arkeologi untuk tetap
melestarikan keaslian benda serta nilai yang dikandungnya. Dari segi operasional, konservasi
arkeologi harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis. Konservasi tidak cukup hanya
dilakukan dengan pendekatan atau gejala (simptomatik), tetapi harus dilakukan dengan
pendekatan sistemik atas problema yang ada, yang mencakup faktor penyebab, proses
keruskan dan pelapukan yang berlangsung, serta akibatnya. Untuk itu diperlukan suatu pola
pikir untuk memahami permasalahan yang ada, sehingga diperoleh metode konservasi yang
konprehensif dan dapat dipertanggungjawaban secara ilmiah. Prinsip dan pola pikir tersebut
harus dipergunakan sebagai landasan atau arahan dalam menjabarkan metode konservasi
yang tepat guna untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan yang ada tanpa
menyimpang dari kaidah-kaidah arkeologi dan budaya (Samidi, 1996/1997)

18
Untuk memahami permasalahan kerusakan dan pelapukan benda arkeologi, yang
meliputi interaksi faktor penyebab, mekanisme proses, serta gejala yang timbul atau hasil
degradasi yang diakibatkannya, dapat ditelusuri secara sistematik. Piero Sampaolesi telah
memperkenalkan faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan dan pelapukan benda arkeologi,
yang mencakup faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor kelemahan bawaan
yang menyatu di dalam benda arkeologi, yakni bahan, sistem bangunan (desain dan teknologi),
tanah dasar, lokasi geotopografis dan iklim setempat. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor
lingkungan yang mencakup flora, fauna, ulah manusia dan bencana alam. Faktor-faktor
tersebut berinteraksi satu sama lain yang dapat mengakibatkan terjadinya proses kerusakan
dan pelapukan, yang dalam hal ini resistensi benda arkeologi sangat tergantung dari faktor
intrinsik yang terkandung di dalamnya. Proses degradasi dapat berupa proses mekanis fisik,
kimiawi, biologis atau komplikasi di antara mereka. Metode konservasi yang merupakan muara
dari penanganan permasalahan yang ada, harus ditetapkan secara diagnostik (Samidi, 1997).

19
BAB III
GAMBARAN UMUM DAN NILAI PENTING SITUS GUA GAJAH

a. Latar Belakang Sejarah

Keberadaan Situs Gua Gajah didasarkan pada bukti-bukti tertulis dari masa
pemerintahsn kerajaan Bali Kuna pada rentang waktu abad IX – XIII Masehi. Di dalam sumber-
sumber tersebut, Gua Gajah di sebutkan dengan beberapa istilah antara lain Lwa Gajah, Er
Gajah dan Antakujarapada (Susila dan Tenaya, 2016).
Berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh Paduka Haji Cri Dharmawangsawardhana
Marakatapangkajasthanottunggadewa (1022 M), Raja Anak Wungsu (1053 M, 1071 M), Paduka
Bhatara Cri Mahaguru (1324 yam sang Boddadyaksa. Hal itu Negerakertagama (1365 M)
disebutkan Lwa Gajah. Lwa Gajah juga kadang-kadang dikaitkan dengan tempat suci ini.
Nama tersebut tersurat dalam Lontar Negerakertagama 14.3b dan 79.3c (Pigeaud, 1960, 11
dan 61 dalam Susila dan Tenaya, 2016). Di dalam lontar itu, disebutkan bahwa desa yang
berdekatan dengan Lwa Gajah adalah Desa Badahulu. Desa tersebut disamakan dengan Desa
Bedulu sekarang. Selain itu disebutkan juga bahwa di Lwa Gajah bersemayam Sang
Boddadyaksa. Hal ini karena dihubungkan dengan adanya arca Buddha di kompleks ini.
Nama Er Gajah diperkirakan merupakan nama Situs Gua Gajah pada masa lalu. Nama itu
tercantum dalam prasasti Raja Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa
dan Prasasti Raja Bhatara Cri Mahaguru tahun 1324 M. Tetapi bila kita perhatikan nama-nama
itu dalam konteksnya, peranan Er Gajah dalam kurun waktu tiga ratus tahun (1022 – 1324) itu
mengalami perubahan. Pada tahun 1022 M dihubungkan dengan pengaturan air di persawahan
(ser) dan pada tahun 1324 M sebagai pendeta siwa (Rajadhyaksa). Dalam kitab
Negarakertagama yang ditulis empat puluh satu tahun sesudah penulisan prasasti tersebut,
sama sekali tidak menyebut Er Gajah (Kusmiati, dkk, 1982).
Istilah Antakunjarapada disebutkan dalam Pandak Bandung (1071 M) yang menyebutkan
adanya tempat suci bernama Antakunjarapada pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Beberapa ahli menghubungkan nama ini dengan Pura Gua Gajah sekarang “Kunjara” berarti
Gajah. Pada prasasti Dawan (1053 M) Antakunjarapada dinayatakan dengan sebutan
Sanghyangdharma (Kusmiati, dkk, 1982).
Dari aspek fungsi, pada zaman Bali Kuna, Kemungkinan besar Gua Gajah dipergunakan
sebagai tempat melakukan semadhu oleh para raja dan para yogin. Hal tersebut dengan alasan
bahwa kehidupan raja-raja zaman dahulu dapat dibagi menjadi 3 phase yakni pada waktu

20
masih muda dinobatkan sebagai raja muda (Ywaraja). Kemudian setelah dipandang cukup
waktunya untuk mengendalikan pemerintahan, maka Ywaraja lalu dinobatkan naik tahta
sepenuhnya menggantikan ayahnya. Raja tua setelah menyerahkan pemerintahan kepada
putranya kemudian mengasingkan diri dari kratonnya menuju tempat pertapaan sebagai
Rajarsi. Di dalam pertapaan itulah beliau tinggal dan bersemedi untuk mencapai ketenangan
jiwanya sebagai persiapan akan pergi kea lam baka (Kusmiati, dkk, 1982).

b. Gambaran Umum Situs Gua Gajah

Situs Gua Gajah terdiri dari dari 2 kompleks yaitu Kompleks Pura Gajah dan Kompleks
Arca Buddha.
1. Kompleks Pura Gajah
Kompleks ini dari 2 bangunan yaitu gua dan kolam petirtaaan. Selain itu ada beberapa
benda cagar budaya lainnya seperti Tri Lingga, arca Ganesa, arca Dwarapala, Arca
Pancuran Ganesa dan fragmen stupa/chatra, prasasti dan beberapa benda cagar budaya
lainnya.
a. Gua Gajah
Gua Gajah dipahatkan pada tonjolan dinding batu padas keras yang curam dan
menjorok ke luar sekitar 5 – 7 meter dari dinding batu tersebut. Tonjolan ini dari depan
seperti berbentuk lengkungan dengan tinggi di bagian tengah 6,75 meter dan lebar
8.50 meter. Permukan sisi depan gua dipenuhi oleh hiasan pahatan yang
menggambarkan daun-daun, batu karang, raksasa, kera dan babi. Tepat di bagian
tengah pahatan menggambarkan isi hutan itu, terdapat mulut gua berukuran lebar 1
meter dengan tinggi 2 meter, agak menjorok keluar dari pahatan hutan tersebut. Mulut
gua diperkirakan dimaksud sebagai mulut raksasa, sebab ambang gua itu terdapat
pahatan muka raksasa yang menyeramkan dengan kedua matanya bulat besar melirik
ke arah kanan, rambut dan alis nampak kasar, hidung besar, serta bibir atas dengan
sederetan gigi tepat berada di atas lubang gua. Tampak pula tangan kanan raksasa
dengan jari-jarinya berukuran sangat besar dan tangannya menempel ke muka,
sehingga terkesan seakan-akan raksasa itu sedang menguak hutan. Dengan melihat
subeng yang menghias telinganya memberi petunjuk raksasa itu berjenis kelamin
wanita (raksasi) dan di Bali lazim diberi nama dengan sebutan rangda (Suantra dan
Muliarsa, 2006).

21
Foto 3.1. Gua Gajah

Gua ini berbentuk huruf T. Panjang lorong masuk ke dalam tebing batu padas 9
meter, lebar lorong 1 meter, dan tinggi 2 meter. Pada dinding timur dari lorong itu tepat
2 meter di atas lantai terdapat 2 baris tulisan. Tulisan di baris atas berbunyi “kumon”
dan di baris bawah “Sahy(w)angsa”. Dari bentuk hurufnya, diduga dari abad ke 11
Masehi (Stutterheim, 1829). Beberapa langkah ke dalam lorong ini melebar sepanjang
4 meter dan pada bagian kanan kirinya terdapat ceruk berukuran panjang 2 meter
dengan kedalaman 1 meter. Semakin ke dalam, lorong ini menyempit sampai ukuran
sekitar 1 meter dan pada dinding ada ceruk berukuran panjang 180 cm dengan
kedalaman 75 cm. Lantai lorong melandai atau menurun ke arah timur / selatan,
mungkin sengaja dibuat demikian dengan maksud air tidak tergenang ke dalam gua.
Melewati jarak 9 meter setelah masuk ke dalam gua, lorongnya bercabang dua, satu
membelok ke timur dan ke barat, sehingga membentuk denah menyerupai huruf T.
Lorong yang membentang barah timur barat itu berukuran panjang 13,5 meter, lebar
2,75 dan tinggi 2 meter. Pada dinding utara dari lorong yang melintang kearah barat
terdapat 7 buah ceruk, salah satu dari 7 buah ceruk itu berhadapan dengan jalan
masuk ke gua dan merupakan ceruk terbesar yang berukuran tinggi 126 cm, dengan
kedalaman 135 cm, serta terletak 70 cm di atas tanah. Di dalamnya terdapat fragmen
arca raksasa dan fragmen arca siwa, Keenam ceruk lainnya dan dua ceruk yang
dipahatkan di sebelah kanan kiri lorong pintu masuk (arah utara selatan) nampak
kosong. Ceruk di ujung timur berisi trilingga dan ceruk ujung barat berisi arca Ganesa
(Suantra, I Made dan Iwan Muliarse, 2006).

22
Gambar 3.1. Denah Gua Gajah

23
Foto 3.2. Bagian dalam Gua Gajah

Foto 3.3. Arca Ganesa yang


terletak di salah satu ceruk

b. Petirtaan
Petirtaan terletak sekitar 11 meter di sebelah selatan (depan) Gua Gajah. Petirtaan
berada 3 meter di bawah permukaan tanah pelataran pura Gua Gajah dan mendapatkan
air dari sumber air yang terletak 100 meter di sebelah timur gua, Air tersebut dialirkan
melalui saluran di bawah tanah dan memancur ke dalam kolam melalui 6 buah arca
pancuran yang berdiri berjajar pada dinding timur kolam. Petirtaan ini disebut kolam suci /
petirtaan oelh karena arca-arca pancuran itu mempunyai prabhamandala yang merupakan
tanda kedewaam (Suantra, I Made dan Iwan Muliarse, 2006). Peninggalan yang terpenting
yang terdapat di dalam petirtaan yaitu :
1). Enam, buah arca pancuran
Keenam arca pancuran ini terdiri dari 2 arca laki-laki dan 4 arca wanita terbuat dari
batu padas keras. Mempunyai ciri bentuk perhiasan sama, demikain pula ukuran dari
masing-masing arca adalah sama dengan tinggi 2.30 meter termasuk lapiknya yang
berukuran 72 x 58 cm. Arca-arca ini dengan sikap berdiri tegak di atas Padmasana
yang sudah dalam keadaan aus. Kedua tangan memegang sesuatu benda berlubang
kecil yang terus menerus menguncurkan air ke dalam kolam. Di belakang arca
terdapat yang lazim di sebut prabamandala. Raut muka tampak tenang, rambut
sebagian di sanggul ke atas dan sebagian lagi menjurai ke pundak, Sanggulnya juga

24
berhiaskan pita baik pada arca laki-laki maupun wanita, Telinganya memakai subeng,
lehernya memakai kalung, lengannya berhiaskan kelat bahu dan gelang. Bagian perut
sampai pergelangan kaki ditutupi dengan kain dan ujung kain di wuru menjuntai ke
bawah di antara kedua kakinya. Pada bagian kiri kanan pinggang terdapat sampur
yang berfungsi pula sebagai pengikat kain di atas, Oleh karena terlalu lama terpendam
dalam tanah maka bagian-bagian dari keenam arca pancuran ini nampak sudah
aus/rusak (Suantra dan Muliarsa, 2006)
Keberadaan arca pancuran dikaitkan dengan keberadaan tujuh sungai di tanah Hindu
seperti yang disebutkan dalam kitab weda. Kepercayaan kepada kesucian air
pancuran petirtaan Gua Gajah Gua Gajah dapat dihubungkan dengan isi prasasti
Cempaga C, bahwa di Er Gajah pada masa lampau tinggal seorang empu yang
menjabat sebagai dhyaksa pada masa pemerintahan raja Sri Mahaguru (Susila dan
Tanaya, 2016).

Foto 3.4. Arca pancuran pada Petirtaan Gua


Gajah

2). Kolam Petirtaan


Kolam petirtaan ini terdiri terdri dari 3 buah dan masing-masing kolam petirtaan
dipisahkan dengan tembok-tembok rendah. Tembok tersebut menggunakan bahan
batu baru. Secara keseluruha kolam petirtaan in memanjang dari utara ke selatan
berukuran 23 meter dan lebar 13 meter dengan kedalaman 3 meter. Kolam selatan
berukuran 8,3 meter x 13 meter, sedangkan kolam yang ada di tengah berukuran lebar
3 meter. Dinding kolam berukuran tinggi 2,05 meter sebagian besar merupakan
pasangan batu baru, sedangkan lantai dasar hampir seluruhnya terdiri dari batu asli.

25
Untuk mencapai permukaan air kolam / tepian kolam, di setiap kolam terdapat tangga
untuk naik turun. Tangga kolam selatan terletak di sisi selatan (di sudut barat daya dari
kompleks petirtaan) berukuran lebar 3,05 meter dan jumlah anak tangga 11 buah.
Tangga utara terletak pada sisi barat berukuran lebar 6 meter dengan jumlah anak
tangga 11 buah dan tangga untuk kolam tengah juga terletak pada sisi barat berukuran
2 meter dengan anak tangga berjumlah 13 buah (Suantra dan Muliarsa, 2006).

Foto 3.5. Kompleks petirtaan Gua Gajah

2. Kompleks Arca Buddha


Kompleks Arca Buddha (kompleks lembah Tukad Pakung) terletak di sebelah tenggara dan
selatan dari kompleks petirtaan. Posisi kompleks ini bertebing agak landai di bagian utara,
curam dan sangat tinggi di sebelah selatan. Pada kompleks ini terdapat tinggalan yang
penting antara lain arca Budha, Fragmen Candi dan terowongan air. Arca Budha yang
terdapat pada kompleks ini berjumlah 2 buah, tetapi yang masih tersisa satu buah,
sedangkan sebuah lagi telah hilang. Arca Budha tanpa kepala dalam sikap tangan dhyana
mudra, Fragmen candi tebing yang dapat dikenali adalah bagian yang berbentuk chattra
berjumlah 2 macam, dan sebuah lagi bercabang tiga, masing cabang memiliki beberapa
payung. Chattra tunggal dengan 13 payung. Terowongan berada pada beberapa puluh
meter berfungsi sebagai saluran air. Pada zaman Bali Kuna, terowongan semacam ini
dibuat oleh orang atau kelompok social yang bernama undagi pengarung (Susila dan
Tanaya, 2016).

26
Foto 3.6. Fragmen Candi Tebing Foto 3.7. Arca Budha tanpa kepala

c. Nilai Penting Situs Gua Gajah

Nilai Penting pada sumberdaya arkeologi perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa
penting sumberdaya arkeoogi yang ada, yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan
pengelolaan selanjutnya terhadap sumberdaya yang dikenal dengan istilah Manajemen
Sumberdya Budaya (Cultural Resource Management /CRM). Penentuan nilai penting
merupakan langkah awal karena perumusan rancangan manajemen sumberdaya budaya
bergantung dari bobot signifikansi yang diberikan kepada sumberdaya arkeologi (Pearson and
Sullivan 1995 dalam Suhartono, 2008).
Dalam melakukan penentuan nilai penting sumberdaya arkeologi bukan perkara yang
mudah karena nilai yang terkandung di dalam sumberdaya arkeologi merupakan sesuatu yang
tidak riel dan sangat subyektif sifatnya. Biasanya penilaian yang dilakukan lebih bersifat
kualitatif, sehingga dalam penilaian yang dilakukan tidak memunculkan angka-angka
(kuantitatif). Menurut Pearson and Sullivan (1995 dalam Suhartono, 2008) apabila
sumberdaya arkeologi tidak memiliki nilai tertentu bagi masyarakat atau sebagian masyarakat,
maka pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut tidak perlu lagi dilakukan. Selain itu hasil
penilaian juga menentukan prioritas dan upaya peletariannya.
Dalam menentukan nilai penting sumberdaya arkeologi, ada beberapa variabel . yang
mungkin dapat dipakai sebagai pertimbangan pembobotan, antara lain :
(a) kelangkaan, apakah jumlah sumberdaya budaya yang termasuk jenis ini jarang atau
mudah ditemukan (jumlahnya banyak)

27
(b) keunikan, apakah sumberdaya budaya yang dinilai sangat khas di antara
sumberdaya sejenis
(c) umur/pertanggalan, semakin kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi)
(d) tataran, nilai penting sumberdaya dirasakan dan diakui oleh komunitas atau
masyarakat pada tingkat lokal (Kabupaten/Kota), regional (provinsi), nasional
(negara), atau internasional (dunia).
(e) integritas (termasuk keutuhan), nilai sumberdaya akan semakin tinggi apabila
masih menunjukkan kesatuan yang utuh dengan konteksnya, baik itu sebagai benda
tunggal, berkelompok (compound), maupun kompleks (tersebar tetapi merupakan
kesatuan).
(f) keaslian, nilai sumberdaya budaya semakin tinggi jika bahan belum mengalami
penggantian, pengurangan, atau percampuran. (Tanudirjo, 2004 dalam Suhartono,
2008)
Dalam kajian ini akan dilakukan penentuan nilai penting pada situs Gua Gajah yang
merupakan sumberdaya arkeologi peninggalan kerajaan Bali Kuna. Penilaiai nilai penting yang
dilakukan meliputi nilai arkeologi, sejarah, estetika, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

a. Nilai Arkeologi

Nilai arkeologis (archaeological value) adalah nilai yang berkaitan kekunoaan


(Subroto, 1995 ; Taufik, 2005). Dalam hal ini meliputi umur bangunan, bentuk arsitektur dan
temuan artefak di sekitarnya. Situs Gua Gajah merupakan situs peninggalan dari Kerajaan
Bali Kuna pada rentang waktu abad IX – XIII Masehi, dan telah berusia antara 700 – 1100
tahun.
Dari segi arkeologi, situs ini memiiki arti yang sangat penting, karena merupakan salah satu
situs pemujaan bagi agama Hindu dalam bentuk gua buatan dan tidak banyak ditemukan di
Indonesia. Situs Gua Gadjah terdiri gua gajah, bangunan petirtaan dan kompleks arca
Buddha. Gua Gajah berbentuk seperti huruf T dan dipahatkan pada tonjolan dinding batu
padas keras yang curam dan menjorok ke luar sekitar 5 – 7 meter dari dinding batu.
Tonjolan ini dari depan seperti berbentuk lengkungan dan di permukan sisi depan gua di
hiasi dengan pahatan kala. Di dalam Gua pada dinding utara dari lorong yang melintang
kearah barat terdapat 7 buah ceruk, salah satu dari 7 buah ceruk itu berhadapan dengan
jalan masuk ke gua dan merupakan ceruk terbesar. Di dalamnya terdapat fragmen arca
raksasa dan fragmen arca siwa, Keenam ceruk lainnya dan dua ceruk yang dipahatkan di

28
sebelah kanan kiri lorong pintu masuk (arah utara selatan) nampak kosong. Ceruk di ujung
timur berisi trilingga dan ceruk ujung barat berisi arca Ganesa.

Di depa gua (selatan) terdapat petirtaan yang berada 3 meter di bawah permukaan tanah
pelataran pura Gua Gajah dan mendapatkan air dari sumber air yang terletak 100 meter di
sebelah timur gua, Air tersebut dialirkan melalui saluran di bawah tanah dan memancur ke
dalam kolam melalui 6 buah arca pancuran yang berdiri berjajar pada dinding timur kolam.
Petirtaan ini disebut kolam suci / petirtaan oelh karena arca-arca pancuran itu mempunyai
prabhamandala yang merupakan tanda kedewaam.

Di sebelah selatan dan tenggaran petirtaan terdapat kompleks Arca Buddha (kompleks
lembah Tukad Pakung). Posisi kompleks ini bertebing agak landai di bagian utara, curam
dan sangat tinggi di sebelah selatan. Pada kompleks ini terdapat tinggalan yang penting
antara lain arca Budha, Fragmen Candi dan terowongan air.

.
b. Nilai Estetika

Nilai Estetika (aesthetic value) yaitu nilai keindahan yang dapat menarik dan atau
mendorong wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu. Keindahan dan keunikan merupakan
daya tarik khusus bagi penikmat-penikmat seni sehingga menjadikan peninggalan tersebut
terkenal dan dikagumi banyak orang (Hartono, 2004). Nilai estetika yang melekat pada
suatu objek antara lain dapat diamati dari aspek bentuk, pahatan relief, arca, dan gayanya.
(Subroto, 2003). Sedangkan menurut Tanudirjo (2004) nilai estetis adalah kandungan
unsur-unsur keindahan baik yang terkait dengan seni rupa, seni hias, seni bangun, seni
suara maupun bentuk-bentuk kesenian lain.

Situs Gua Gajah memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Dari bentuk arsiktektur memiliki
gaya arsitektur Bali Kuna. Dari aspek seni hias, Hiasan kala yang terdapat di atas pintu
masuk gua memiliki nilai estetika yang tinggi. Hiasan di pntu masuk gua berbentuk muka
raksasa (kala) yang menyeramkan dengan kedua matanya bulat besar melirik ke arah
kanan, rambut dan alis nampak kasar, hidung besar, serta bibir atas dengan sederetan gigi
tepat berada di atas lubang gua. Tampak pula tangan kanan raksasa dengan jari-jarinya
berukuran sangat besar dan tangannya menempel ke muka, sehingga terkesan seakan-
akan raksasa itu sedang menguak hutan. Dengan melihat subeng yang menghias

29
telinganya memberi petunjuk raksasa itu berjenis kelamin wanita (raksasi) dan di Bali lazim
diberi nama dengan sebutan rangda.

Foto 3.8. Hiasan Kala di atas pintu masuk

c. Nilai Sejarah
Nilai sejarah (historic valaue), adalah peran sumberdaya arkeologi dalam suatu
peristiwa sejarah yang cukup menentukan, berkaitan dengan tokoh sejarah tertentu, atau
berperan penting dalam tahapan tertentu dalam perkembangan suatu bidang kajian
(Tanudirjo, 2004). Dari segi sejarah, Situs Gua Gajah memiliki nilai sejarah yang tinggi,
merupakan peninggalan dari kerajaan Bali Kuna pada rentang waktu abad IX – XIII Masehi.
Selain itu,pentingnya situs gua Gajah dari aspek sejarah juga didukung oleh adanya
tulisan pada dinding timur dari lorong itu tepat 2 meter di atas lantai.. Tulisan di baris atas
berbunyi “kumon” dan di baris bawah “Sahy(w)angsa”. Dari bentuk hurufnya, diduga dari
abad ke 11 Masehi (Stutterheim, 1829).

d. Nilai Ilmu Pengetahuan

Nilai ilmu pengetahuan adalah sejauh mana sumber daya arkeologi mempunyai
potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan.
Nilai penting ini dapat dirinci lebih lanjut menjadi nilai substantif, antropologis, ilmu sosial,
dan Arsitektural.. Sumberdaya arkeologi mempunyai nilai substantif jika mampu
memberikan jawaban atas masalah yang berkaitan dengan tujuan deskripsi dan eksplanasi

30
peristiwa atau proses yang terjadi di masa lampau. Aspek ini berkaitan erat dengan
pengkajian secara arkeologis. Nilai penting antropologis untuk menjelaskan perubahan
budaya dalam bentang waktu yang lama dan proses adaptasi manusia terhadap lingkungan
tertentu. Nilai penting bagi ilmu sosial un tuk mengkaji prnsip-prnsip umum dalam bidang
sosial humaniora, terutama yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan manusia
lainnya. Nilai penting Arsiterktural untuk menunjukkan gaya seni bangun masa tertentu,
diciptakan oleh arsitek besar, mencerminkan inovasi dalam penggunaan bahan dan
ketrampilan merancang, dan merupakan hasil penerapan teknologi dan materi baru pada
masa ketika dibangun.(Tanudirjo, 2004). Adapun menurut Pearson and Sullvan (1995) nilai
ilmu pengetahuan diberikan kepada sumberdaya arkeologi karena potensinya untuk
mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan tentang masa lalu.
Dari segi ilmu pengetahuan, keberadaan situs Gua Gajah merupakan data yang
penting untuk mengetahui keberadaan situs pemujaan berbetntuk gua buatan dan petirtaan
peninggalan dari Kerajaan Bali Kuna yang terletak di wilayah Gianyar. Di bidang studi
arsitektural dapat mengamati cara-cara dan metode membangun gua buatan yang
digunakan aktivitas manusia. Selain itu dapat juga di amati cara dan metode membangun
petirtaan yang merupakan arsitektural dari rentang waktu abad IX – XIII Masehi.

e. Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi (economic value), berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya arkeologi
sebagai objek budaya yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Jika
suatu peninggalan budaya dijadikan objek wisata budaya, maka akan memberikan dampak
ekonomi pada lingkungan sekitarnya terutama pada peningkatan penghasilan masyarakat
dan menambah devisa negara. Masyarakat dan lingkungan yang sebelumnya terisolasi
menjadi terbuka dan mengalami kemajuan-kemajuan karena pemanfaatan objek tersebut.
Kedatangan wisatawan ke objek ini akan memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya (Soebroto, 2003)
Situs Gua Gajah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Situs ini merupakan salah satu obyek
dan daya tarik wisata (ODTW) utama di Bali. Situs Gua setiap tahun dikunjungi ribuan
orang wisatawan asing dari manca negara. Selain wisatawan asing, juga banyak di
kunjungi wisatawan nusantara dari seluruh Indoensia terutama pada saat liburan baik
liburan sekolah, hari raya agama dan lainnya. Banyak kunjungan wisatawan baik manca

31
negara maupun nusantara di situs Gua Gajah membawa dampak positif bagi pertumbuhan
ekonomi di sekitar situs.

Foto 3.9. Pengunjung dari Jepang sedang berfoto di


depan gua gajah

Berdasarkan analisis nilai penting di atas, dapat diketahui bahwa situs gua Gajah memiliki nilai
penting yang tinggi dari sisi arkeologi, sejarah, estetika, ilmu pengetahuan dan ekonomi.
Dengan demikian, untuk menjaga nilai penting yang dikandung pada situs gua Gajah, perlu
dilakukan upaya pelestarian terhadap situs gua Gajah sehingga dapat diwariskan kepada
generasi yang akan datang.

32
BAB IV
HASIL PENGUMPULAN DATA

4.1. Kondisi Keterawatan Situs Gua Gajah

Gua Gajah adalah gua buatan yang digali pada tanah batuan beku lunak yang menjorok
keluar sekitar 6 meter. Secara topografi, Gua Gajah berlokasi pada daerah terjal di sekitar
Sungai Petanu dengan kelembaban cukup tinggi. Di bagian atas gua terdapat lahan yang
ditanami pohon rerumputan dan pohon. Lahan tersebut juga digunakan sebagai tempat
pembuangan sisa tebangan pohon.

Dilihat dari karakteristiknya, batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan hasil
aktivitas vulkanik yang tersusun dari campuran abu vulkanik (atau tuf ketika mulai membatu)
yang tersortasi sangat buruk bersama dengan batuapung lapili, yang umumnya memiliki
fragmen litik yang tersebar. Batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan yang belum
mengalami litifikasi (proses menjadi batuan yang kompak/ keras). Bagian yang telah terlihat
mengeras hanya pada permukaannya saja, itupun sangat tipis (1-5 mm) sedangkan bagian
dalamnya masih merupakan tanah yang memadat. Kekerasan bagian permukaan yang telah
mengeras pun cukup rendah, yaitu hanya 2 skala mohs.

Foto 3.1. Kondisi batuan penyusun Gua Gajah Foto 3.2. Bagian permukaan batuan penyusun
Gua Gajah telah mengeras dan bagian yang
mengeras telah mengalami pengelupasan

33
Dari hasil uji laboratorium sampel batuan pada dinding dalam maupun pada dinding luar
didapatkan hasil sebagai berikut :

Batuan pH 6
dinding Berat jenis 2,56 g/cm3
dalam Porositas 36,07 %
Komposisi butiran :
- > 2 mm 16,8 % Kerikil dan kerakal
- 1 – 2 mm 11,4 % Pasir sangat kasar
- 0,5 – 1 mm 14,2 % Pasir kasar
- 0,25 – 0,5 mm 23,6 % Pasir sedang
- 0,125 – 0,25 mm 15,4 % Pasir halus
- 0,063 – 0,125 mm 12,2 % Pasir sangat halus
- < 0,063 mm 6,4 % Lanau-lempung
Komposisi kimia
- Ca 5,59 % Titrimetri
- Mg 10,41 % Titrimetri
- Fe 7,90 % Titrimetri
- Al 11,26 % Titrimetri
- SO4 3,00 % Titrimetri
- SiO2 43,20 % Gravimetri

Batuan pH 6
dinding Berat jenis 2,63 g/cm3
luar Porositas 38,71 %
Komposisi butiran :
- > 2 mm 20,6 % Kerikil dan kerakal
- 1 – 2 mm 13,0 % Pasir sangat kasar
- 0,5 – 1 mm 14,4 % Pasir kasar
- 0,25 – 0,5 mm 24,4 % Pasir sedang
- 0,125 – 0,25 mm 11,8 % Pasir halus
- 0,063 – 0,125 mm 10,8 % Pasir sangat halus
- < 0,063 mm 5,0 % Lanau-lempung
Komposisi kimia
- Ca 16,99 % Titrimetri
- Mg 6,44 % Titrimetri
- Fe 7,81 % Titrimetri
- Al 10.12 % Titrimetri
- SO4 2,04 % Titrimetri
- SiO2 35,98 % Gravimetri

Dari pengujian laboratorium sampel batuan dinding Goa Gajah di bagian dalam
didapatkan hasil bahwa ukuran butir batuan terdiri dari pasir (76,8%), kerikil-kerakal (16,8%)

34
dan lanau-lempung (6,4%), sedangkan untuk batuan dinding luar terdiri dari pasir (74,4%),
kerikil-kerakal (20,6%) dan lanau-lempung (5,0%). Dilihat dari kondisi batuan yang belum
mengeras (ukuran butir batuan yang dominan yaitu pasir, kerikil dan kerakal batuan dinding
Goa Gajah cukup baik dalam meresapkan air. sehingga air hujan yang jatuh pada atas goa
dapat meresap melalui pori-pori tanah sampai ke dalam goa. Selain itu karena tanah didominasi
oleh pasir, kerikil dan kerakal, tanah dinding Goa Gajah tidak mengalami kembang susut yang
besar seperti halnya tanah lempung (pada kondisi kering dan jenuh air) sehingga lebih aman
terhadap terjadinya retakan. Kalaupun ada retakan lebih disebabkan pada proses mekanik
seperti pembebanan tanah dinding goa itu sendiri maupun karena getaran.

Jika ukuran butir batuan dinding Gua Gajah dikonversikan ke dalam batuan piroklastik
didapatkan hasil sebagai berikut :
Ukuran Butiran Batuan dinding Batuan dinding
Butir Piroklastik dalam luar
> 64 mm Bomb
Block
2-64 mm Lapili 16,8 % 20,6 %
< 2 mm Debu (ash) 83,2 % 79,4 %

Klasifikasi batuan piroklastik (Fisher, 1966)

35
Ukuran butir batuan dinding Gua Gajah kemudian dimasukkan ke dalam klasifikasi batuan
piroklastik. Merujuk pada klasifikasi batuan piroklastik (Fisher, 1966) dengan komposisi debu
(ash) 79,4% - 83,2% dan lapili 16,8% - 20,6%, batuan dinding Gua Gajah merupakan jenis
batuan tuf (belum mengalami litifikasi). Hal ini sesuai dengan peta geologi Pulau Bali, dimana
wilayah Kabupaten Gianyar (Gua Gajah berada di Kabupaten Gianyar) tersusun oleh batuan
gunungapi Buyan-Bratan dan Batur dengan batuan penyusun berupa tuf dan endapan lahar
yang terbentuk pada zaman kuarter. Karena itu batuan penyusun wilayah Kabupaten Gianyar
masih tergolong muda dan yang banyak ditemui adalah endapan-endapan yang mulai memadat
tetapi belum mengalami litifikasi.
Kondisi Gua Gajah telah banyak mengalami kerusakan dan pelapukan, baik kerusakan
mekanis, pelapukan fisis, pelapukan khemis dan pelapukan biologis. Kerusakan dan pelapukan
yang terjadi antara lain adalah retak, pecah, pengelupasan, penggaraman maupun
pertumbuhan mikroorganisme seperti alga, lumut dan lichen. Pada bagian yang mengelupas
biasanya ditumbuhi lumut maupun alga.
1. Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis yang terjadi pada Situs Gua Gajah adalah retak dan pecah. Retakan
banyak terdapat pada dinding gua sedangkan bagian yang pecah terlihat pada ornamen
gua. Retakan yang terjadi pada dinding gua disebabkan oleh pembebanan maupun
getaran. Pembebanan oleh struktur gua menyebabkan retakan ketika dinding tidak lagi
mampu menahan beban secara stabil. Ditambah dengan kondisi material gua yang belum
terkonsolidasi menyebabkan kekuatan dalam menopang struktur pun akan lebih rendah.
Selain itu getaran baik dari gempa bumi yang pernah terjadi maupun getaran karena
aktivitas lalulintas di dekat gua (sebelum jalan raya dipindah menjauhi gua) juga menjadi
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya retakan. Hal ini dikarenakan gerakan vertikal
dan horizontal dari getaran sampai batas tertentu akan membuat dinding gua tidak stabil
sehingga menimbulkan retakan. Kondisi retakan di beberapa tempat telah ditutup dengan
mortar. Selain retakan, kerusakan mekanis yang terjadi adalah pecah. Bagian yang pecah
terlihat pada ornamen gua. Kondisi ornamen gua yang pecah ini disebabkan karena efek
getaran yang ditambah dengan kondisi material yang belum terkonsolidasi sehingga
kekuatannya pun rendah.

36
Foto 4.1. Retakan pada dinding gua yang Foto 4.2. Kondisi ornamen gua yang pecah
telah ditutup dengan mortar

2. Pelapukan Fisis
Pelapukan fisis yang terjadi pada Situs Gua Gajah adalah pengelupasan. Pengelupasan
banyak terjadi pada dinding maupun ornamen pada bagian luar gua. Bagian yang
mengelupas adalah lapisan tipis pada permukaan batuan penyusun gua yang telah
mengeras. Pengelupasan ini disebabkan oleh adanya kapilarisasi air maupun air hujan
yang merembes pada dinding gua. Faktor kapilarisasi air maupun air hujan yang merembes
pada dinding gua dalam waktu yang lama akan menyebabkan degradasi kualitas batuan
karena ikatan antar partikel material menjadi lemah, sehingga menyebabkan material
batuan menjadi rapuh yang pada akhirnya akan mengelupas. Selain itu degradasi kualitas
material juga disebabkan oleh faktor fluktuasi suhu dan kelembaban (material maupun
lingkungan) yang akan menyebabkan kembang susut material yang lama kelamaan akan
membuat ikatan partikel menjadi melemah yang pada akhirnya akan membuat dinding
mengelupas. Pengelupasan banyak terjadi pada lapisan tipis pada permukaan batuan yang
telah mengeras karena kembang susut material yang telah mengeras dengan yang belum
mengeras akan berbeda. Selain itu pengelupasan banyak terjadi pada bagian luar gua
karena fluktuasi suhu dan kelembaban di luar jauh lebih tinggi daripada di dalam gua.
Bagian luar gua langsung terpapar oleh sinar matahari sehingga akan mempercepat

37
pengelupasan. Pada bagian yang mengalami pengelupasan biasanya ditumbuhi lumut
maupun alga.

Foto 4.3. Pengelupasan pada ornamen Foto 4.4. Pengelupasan pada dinding gua
gua bagian luar bagian luar

3. Pelapukan Khemis
Pelapukan khemis terjadi pada Situs Gua Gajah adalah penggaraman. Penggaraman pada
permukaan dinding gua disebabkan oleh kandungan air yang ada pada pori-pori batuan.
Akibat terjadinya penguapan, air yang ada pada pori-pori batuan akan keluar. Air keluar
membawa mineral yang ada pada batuan sehingga ketika air menguap maka mineral yang
terbawa akan tertinggal dan mengendap pada permukaan batuan.

Foto 4.5. Penggaraman pada dinding gua

38
4. Pelapukan biologis
Pelapukan biologis terlihat dari dinding dinding gua yang ditumbuhi algae, lumut maupun
lichen. Hal ini dapat disebabkan karena kapilarisasi air maupun air hujan yang menjadikan
dinding menjadi lembab sehingga ditumbuhi oleh algae dan limut. Pada bagian yang relatif
kering dan langsung terpapar oleh sinar matahari, algae bersimbiosis dengan jamur dan
menghasilkan lichen.

Foto 4.6. Dinding bagian luar yang banyak Foto 4.7. Dinding bagian dalam banyak
ditumbuhi oleh algae, lumut dan lichen ditumbuhi oleh algae dan lumut

Selain itu pelapukan biologis yang terjadi adalah akar tumbuhan yang menembus dinding
gua dan masuk ke dalam gua. Hal ini dikarenakan pada bagian atas gua ditumbuhi oleh
banyak tanaman baik yang berakar serabut maupun tunggang.

Foto 4.8. Vegetasi di bagian atas Gua Gajah

Foto 4.9. Pohon besar (‘Pule’) di


bagian atas Gua Gajah
39
Foto 4.10. Akar tumbuhan menembus dinding Foto 4.11. Akar tumbuhan menembus dinding
gua bagian dalam gua bagian dalam

Selain proses kerusakan dan pelapukan yang terjadi di gua gajah, juaga terdapat beberapa
permasalahan lain yang meliputi
1. Kala di ambang pintu masuk
Di atas ambang pintu masuk ke gua terdapat arca kala, yang saat ini kondisi di topang
/sangga oleh besi yang sudah berkarat. Pada kala terdapat beberapa retakan dan
pengelupan. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat letak di atas ambang
tempat wisatawan kurang masuk gua, sedangkan kekuatan kala ini hanya pada besi
yang menyangganya. Jika tidak segara ditangani, dikhawatirkan akan roboh dan
membahayakan keselamatan wisatawan ketika melewati pintu masuk.

Foto 4.17. Besi yang menompang kala

Foto 4.16. Kala di


ambang pintu masuk

40
2. Dampak Aktifitas Religi

Gua Gajah masih digunakan oleh masyarakat sekitar yang beragama Hindu untuk
melakukan kegiatan keagamaan/religi. Dalam aktifitas religi menggunakan media dupa, lilin
dan kemenyan serta berbagai persembahan seperti bunga, dan lain-lain,

Foto 4.18. Salah satu aktifitas religi di Gua


Gajah
Penggunaan dupa dan lilin dalam kegiatan ritual di dalam gua gajah meninggalkan
dampak pada dinding dan relung gua. Hal ini terlihat ada bekas warna hitam pada beberapa
bagian dinding dan atas gua yang diduga berasal dari asap dupa, lilin dan kemenyan yang
mengenai bagian gua dalam jangka waktu yang lama. Selain itu bekas-bekas noda hitam dan
sisa-sisa pembakaran dupa, lilin kemenyan juga terihat pada relung-relung yang ada di gua.

Foto 4.19. Bekas lilin dan noda hitam di Foto 4.20. salah satu bekas noda hitam di
salah satu relung dinding gua

41
4.1. Kondisi Keterawatan Petirtaan

Pada halaman di depan Gua Gajah terdapat petirtaan dengan ukuran panjang x lebar
dalam = 23 x 13 meter. . Petirtaan ini dibangun dengan tatanan blok batu. Jenis batu yang
digunakan adalah breksi tuf. Pada dinding petirtaan, pagar petirtaan maupun pancoran
sebagian besar permukaannya telah ditumbuhi organisme seperti lumut, algae dan lichen.
Kondisi petirtaan yang lembab karena selalu terisi air ditambah dengan lokasinya yang ada di
luar dan selalu terkena langsung sinar matahari menyebabkan organisme mudah tumbuh.
Pada dinding pertirtaan banyak di tumbuhi mikroorganisme seperti lumut (moss), ganggang
(algae) dan jamur kerak (lichen).

Foto 4.21. Kondisi petirtaan dilihat dari atas Foto 4,22. Pertumbuhan lichen, alge dan
gua lumut pada dinding petirtaan dan pancuran

Foto 4.23. Pertumbuhan lumut di batu Foto 4.24. Pertumbuhan lichen dan algae
petirtaan pada dinding petirtaan

42
Bagian tangga maupun lantai petirtaan juga telah banyak mengalami kerusakan dan
pelapukan. Selain pertumbuhan organisme seperti lumut, alga dan lichen, tangga maupun lantai
petirtaan telah banyak mengalami keausan. Penyebab utama terjadinya keausan pada tangga
maupun lantai petirtaan adalah akibat faktor manusia (pengunjung yang turun ke petirtaan)
maupun karena fluktuasi suhu dan kelembaban material serta pertumbuhan organisme. Selain
itu dari karakteristik batu yang kekerasannya hanya sekitar 2-3 skala mohs m

Foto 4.25. aktifitas pengunjung


menuruni tangga petirtaan

Foto 4.27. Keausan tangga petirtaan karena


Foto 4.28. Keausan pada batu tangga aktifitas pengunjung maupun faktor
petirtaan sisi selatan karena fisis dan biologis
aktifitas pengunjung

43
Foto 4.28. Keausan lantai petirtaan karena
aktifitas pengunjung (gesekan dengan alas Foto 4.29. Keausan lantai petirtaan karena
kaki pengunjung) aktifitas pengunjung

44
BAB V. PEMBAHASAN

5.1. Pelapukan Gua

Dari hasil survei menunjukkan bahwa kondisi batuan pada gua telah mengalami
pelapukan cukup tinggi. Kemungkinan faktor utama pelapukan batuan adalah proses fisis akibat
kelembaban yang tinggi dan juga faktor biologis. Hal yang cukup menarik adalah tingkat
kekerasan batuan yang terpapar oleh udara luar sedikit lebih tinggi daripada batuan utamanya
akibat adanya proses kimiawi pada permukaan batuan. Dari uji sederhana, batuan dapat
dipatahkan dengan tangan, dan beberapa bagian bahkan dapat diremukkan menggunakan
tangan. Tingkat pelapukan batuan pada lokasi dapat dikategorikan Lapuk Tinggi (Highly
Weathered, WH) hingga Lapuk Keseluruhan (Completely Weathered, WC) berdasarkan tabel
tingkat pelapukan batuan beku dan batuan metamorf (Tabel 1). Tabel 2 dapat digunakan untuk
memperkirakan kekuatan batuan utuh. Dari tabel tersebut, batuan utuh pada lokasi dapat
dikategorikan sebagai tingkat R1 dengan perkiraan kekuatan tekan uniaksial 1 – 5 MPa

Tabel 5,1. Klasifikasi pada batuan beku dan batuan ubahan yang mengalami pelapukan (Hunt,
2007)

45
Tabel 2. Estimasi kuat tekan bebas dari pengamatan lapangan (Hoek, 1997)

46
Secara keseluruhan, struktur batuan pada Gua Gajah cukup masif dengan bidang
diskontinuitas tidak terlalu rapat. Dari pengamatan visual, dapat diperkirakan bahwa nilai Rock
Quality Designation, RQD > 80 %. Struktur batuan yang ada pada Gua Gajah berupa retakan
dengan lebar rekahan maksimum 5 cm. Beberapa retakan yang cukup besar telah ditangani
dengan mengisi celah dengan spesi semen/ grouting. Retakan yang ada pada batuan
memungkinkan air merembes ke celah batuan dan mempercepat proses pelapukan. Dari
pengamatan, kondisi celah bidang diskontinuitas lembab dan tingkat pelapukan cukup tinggi.
Material yang telah lapuk dari batuan dapat mengisi celah retakan batuan sehingga mengurangi
kekuatan massa batuan secara keseluruhan.

5.2. Kondisi Air

Dari pengamatan di lapangan, alur hidrologi pada lokasi dimulai dari infiltrasi air hujan pada sisi
atas gua. Merembesnya air hujan pada tanah di atas gua menyebabkan tingkat kelembaban
dinding gua menjadi tinggi sehingga mempercepat laju pelapukan. Pada bagian depan gua
juga terdapat pertirtaan tempat retensi air hujan sehingga tanah disekitar gua menjadi lembab.
Lembabnya tanah dalam gua otomatis menyebabkan tingginya tingkat kelembaban udara pada
gua sehingga menciptakan kondisi ideal bagi tumbuhnya ganggang/ lumut pada batuan didalam
gua. Saat turun hujan, bagian dalam juga basah, ini menunjukkan bahwa bagian atas gua
masih bisa di aliran air hujan ke bagian dalam gua. Kondisi ini juga menjadi salah satu faktor
penyebab kelapukan batuan gua.

Foto 6.1. Instalasi listrik di dalam gua


tampak basah setelah terjadi hujan.

47
5.3 Stabilitas Gua

Hasil pengamatan dan analisis di ketahui bahwa penyebab berkurangnya stabilitas gua dapat
ditinjau dari dua sisi, yaitu:

a. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dapat mengurangi stabilitas gua antara lain adalah:
 Beban di atas gua, seperti tumpukan material sampah atau sisa tumbuhan, pepohonan
yang cukup besar dan tanah dengan kadar air yang tinggi (akibat infiltrasi)
 Pelapukan biologis akibat penetrasi akar pohon ke dalam gua, serta pelapukan oleh
ganggang dan lumut
 Kelembaban tinggi mempercepat laju pelapukan batuan utuh dan bidang retak.

b. Faktor Internal
Faktor internal yang berkonstribusi pada berkurangnya stabilitas gua adalah kondisi batuan
utuh dan struktur batuan pada massa batuan secara keseluruhan. Batuan beku muda
dengan tingkat pelapukan cukup tinggi serta dengan struktur yang memiliki retak secara
keseluruhan mengurangi kekuatan massa batuan, sehingga stabilitas gua dapat berkurang.

5.4. Model penanganan Gua Gajah

Gua gajah merupakan data arkeologi yang sangat penting dan mempunyai nilai penting.
Analisis nilai penting menunjukan bahwa situs gua gajah memiliki nilai penting dari sudut
pandang arkeologi, sejarah, ilmu pengetahuan, estetika dan nilai penting ekonomu.
Dikarenankan memiliki nilii penting maka dalam penanganan perlu memperhatikan aspek
arkeologi dan orsinalitas, sehingga solusi menggunakan teknik struktural yang dapat mengubah
keaslian dari situs perlu dihindari. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan adalah soft
engineering yang menggunakan teknik-teknik yang bisa diselaraskan dan tidak mengganggu
nilai penting yang terkandung dalam situs ini.
Dalam upaya konservasi terhadap gua gajah, perlu dibuat penangaanan untuk proses
mengurangi pelapukan terhadap material gua. Penanganan konservasi gua gajah meliputi :

48
A. Penataan ulang lahan di atas gua sehingga beban di atas gua dan infiltrasi dapat
dikurangi
Beberapa cara yang dapat dilakukan meliputi
1. Pembersihan lahan dari puing-puing, sampah, sisa pepohonan, rumpat ilang serta
pepohonan sehingga beban di atas gua dapat dikurangi
Di atas gua banyak ditemkan puing-puing, sampah dan sisa sisa peponanan yang
menyebar di atas gua sehingga dapat menambah beban gua. Selain itu di atas juga
terdapat beberapa pohon besar seperti pohon kelapa dan beberapa jenis pohon lannya
yang akarnya masuk ke dalam gua. Jika pohon-pohon ini tidak dihilangkan akan
mengganggu kelestarian gua.
2. Untuk meminimalkan dan menghindari air hujan dari atas gua merembes masuk ke
dalam gua diperlukan pengaplikasian bahan untuk melapisi permukaan atas gua.
Ada 2 model opsi yang diajukan pada kajian ini
a. Pelapisan mortar pada atas permukaan Gua Gajah menjadi salah satu opsi untuk
meminimalkan air hujan merembes masuk ke dalam Gua.
Percobaan dilakukan dengan pembuatan mortar semen PC dan mortar hidrolik yang
dibuat dengan beberapa variasi komposisi. Selanjutnya dilakukan uji laboratorium
untuk menentukan mortar dengan kualitas yang paling baik dan paling tepat untuk
diaplikasikan. Hasilnya adalah :
1) Mortar semen PC
Untuk mortar semen PC dibuat dengan 4 variasi komposisi yaitu masing-masing
(perbandingan semen PC : pasir) 1:2, 1:2 + sikalatex, 1:3, dan 1:3 + sikalatex.
Hasilnya adalah sebagai berikut

Komposisi Porositas Kadar air Daya serap air (%) Kekerasan


mortar (%) jenuh (%) 1 jam 3 jam 6 jam 24 jam (skala mohs)
1:2 28,23 14,35 3-4
12,14 12,31 12,48 12,82
1:2 24,84 12,93 3-4
6,98 7,85 8,90 9,77
+ sikalatex
1:3 29,40 15,62 3-4
13,64 13,99 14,34 14,69
1:3 26,13 14,14 3-4
7,50 8,65 10,00 11,15
+ sikalatex
Keterangan
1 : 2 = semen PC : pasir

49
sikalatex yang ditambahkan dicampurkan pada air untuk pembuatan mortar
dengan perbandingan 1:4 (sikalatex : air)

Dari tabel pembuatan mortar diatas terlihat bahwa :


• Pengujian porositas dan kadar air jenuh
Pada pengujian porositas, mortar dengan perbandingan 1:2 (semen:pasir)
terlihat bahwa mortar yang ditambahkan sikalatex memiliki porositas yang lebih
kecil dari mortar yang tanpa ditambahkan sikalatex (24,84% : 28,33%). Begitu
juga pada mortar dengan perbandingan 1:3 (semen:pasir) terlihat bahwa mortar
yang ditambahkan sikalatex memiliki porositas yang lebih kecil dari mortar yang
tanpa ditambahkan sikalatex (26,13 % : 29,40 %).
Pada pengujian kadar air jenuh, mortar dengan perbandingan 1:2
(semen:pasir) terlihat bahwa mortar yang ditambahkan sikalatex memiliki kadar
air jenuh yang lebih kecil dari mortar yang tanpa ditambahkan sikalatex
(12,93% : 14,35%). Begitu juga pada mortar dengan perbandingan 1:3
(semen:pasir) terlihat bahwa mortar yang ditambahkan sikalatex memiliki kadar
air jenuh yang lebih kecil dari mortar yang tanpa ditambahkan sikalatex (14,14
% : 15,62 %). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sikalatex dapat
memperkecil volume pori pada mortar sehingga porositas dan kadar air
jenuhnya akan menjadi lebih kecil.
• Pengujian daya serap air
Pada pengujian daya serap air, mortar dengan perbandingan 1:2 (semen:pasir)
terlihat bahwa mortar yang ditambahkan sikalatex memiliki daya serap air yang
lebih kecil dari mortar yang tanpa ditambahkan sikalatex baik dalam jangka
waktu 1 jam, 3 jam, 6 jam dan 24 jam. Begitu juga pada mortar dengan
perbandingan 1:3 (semen:pasir) terlihat bahwa mortar yang ditambahkan
sikalatex memiliki daya serap air yang lebih kecil dari mortar yang tanpa
ditambahkan sikalatex. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sikalatex
dapat meningkatkan kekedapan mortar.
Dari hasil pengujian mortar PC terlihat bahwa mortar yang paling baik untuk
digunakan adalah mortar dengan perbandingan 1:2 (semen: pasir) yang
ditambahkan sikalatex karena volume porinya paling kecil sehingga akan membuat
porositas, kadar air jenuh maupun daya serap airnya juga paling kecil (memiliki
kekedapan yang paling baik).

50
Foto 6.2. Mortar dengan sikalatek dan Foto 6.3. Pengujian Mortar
tanpa sikalatek

2) Mortar semen hidrolik


Untuk mortar semen hidrolik dibuat dengan 3 variasi komposisi yaitu masing-
masing (pasir : bubukan bata : kapur) 2:2:1, 2:1:1 dan 3:1:1. Hasilnya adalah
sebagai berikut :

Komposisi Porositas Kadar air Daya serap air (%) Kekerasan


mortar (%) jenuh (%) 1 jam 3 jam 6 jam 24 jam (skala mohs)

2:2:1 41,48 27,90 24,47 25,11 25,53 25,95 +2


2:1:1 38,42 24,54 23,20 23,87 24,10 24,32 +2
3:1:1 42,62 27,61 24,27 24,85 25,24 25,64 +2
Keterangan
2:1:1= pasir : bubukan bata : kapur

• Pengujian porositas dan kadar air jenuh


Pada pengujian porositas, mortar dengan perbandingan 2:1:1 (pasir:bubukan
bata:kapur) memiliki porositas yang paling kecil dari mortar dengan
perbandingan 2:2:1 dan 3:1:1 (38,42%:41,48%:42,62%) Pada pengujian kadar
air jenuh, mortar dengan perbandingan 2:1:1 (pasir:bubukan bata:kapur)

51
memiliki juga memiliki kadar air jenuh yang paling kecil dari mortar dengan
perbandingan 2:2:1 dan 3:1:1 (24,54%:27,90%:27,61%). Hal ini menunjukkan
bahwa mortar dengan perbandingan 2:1:1 memiliki volume pori yang paling
kecil.
• Pengujian daya serap air
Pada pengujian daya serap air, mortar dengan perbandingan 2:1:1
(pasir:bubukan bata:kapur) memiliki daya serap air yang paling kecil baik dalam
jangka waktu 1 jam, 3 jam, 6 jam dan 24 jam. Kemudian diikuti oleh mortar
dengan perbandingan 3:1:1 dan yang memiliki daya resap air paling besar
adalah mortar dengan perbandingan 2:2:1.

Foto 6.4. Mortar Hodrolik

Dari hasil pengujian mortar hidrolik terlihat bahwa mortar yang paling baik untuk
digunakan adalah mortar dengan perbandingan 2:1:1 (pasir:bubukan bata:kapur
karena volume porinya paling kecil sehingga akan membuat porositas, kadar air
jenuh maupun daya serap airnya juga paling kecil (memiliki kekedapan yang paling
baik). Selain fungsi di atas, mortar hidrolik ini bisa juga berfungsii untuk mengisi
retakan pada dinding gua.

52
b. Pelapisan bagian atas gua dengan lapisan kedap air dan saluran drainase
Pelapisan menggunakan bahan geosynthetic tipe campuran antara geotekstil yang
berfungsi filter dan lapisan drainasi. Bahan, ini selain kedap air, juga memiliki fungsi
drainasi dan filtrasi sehingga dapat mengalirkan air hujan ke saluran drainasi dan
juga mencegah penyumbatan saluran drainasi oleh butiran tanah.
Pelapis yang digunakan untuk melapisi bagian atas gua Gajah menggunakan
Geokomposit. Hal bertujuan menimalkan infiltrasi air hujan masuk ke dalam gua,
sehingga laju pelapukan yang disebabkan oleh faktor air dapat di minimalkan.
Geokomposit yang digunakan memiliki fungsi Drainase dan filtrasi. Pamasangan
lapisan Geokomposit diharapkan berfungsi efektif mengalirkan rembesan air hujan
ke sistem drainase. Filter pada geokomposit ini mencegah butiran halus dari tanah
asli di atasnya masuk ke saluran drainase, sehingga mencegah penyumbatan. Di
pasaran tipe yang dapat dipakai adalah produk Delta yang didistribusi PT.Geosinindo
atau Mirafi G-series dari Tencate.
Secara teknis pemasangan lapisan geokomposit dilakukan di bagian atas gua gajah
dengan kedalaman 15 cm, dan dibuat miring ke depan dan di depannya diberi
saluran drainase setengah lingkaran terbuka dengan diameter 30 cm. dan di
sambung pipa yang kemudian air dialirkan ke saluran drainase yang sudah ada di
kolam petirtaan. Untuk mencega tanah masuk ke saluran drainase di batas tanah
dengan saluran drainase diberi lapisan ijuk. Sedangkan di dalam saluran drainase di
beri kerikil. Lapisan geokomposit ini kemudian ditimbun tanah dan di atas tanah di
beri tanaman rumput. Untuk saluran drainase dibiarkan terbuka, sehingga saluran
drainse ini mempunyai 2 fungsi, selain sebagai tempatnya masuknya air dari lapisan
geokomposit, juga berfungsi untuk menampung air hujan.

Foto 6.5.Tipe geokomposit yang digunakan 53


B. Pelapisan dengan lapisan kedap air di bawah Lantai
Pelapisan di bawah lantai dengan menggunakan lapisan kedap air bertujuan untuk
mengurangi kelembaban bagian dalam gua yang ditimbulkan oleh kapiler air bawah tanah
yang naik ke atas. Bahan kedap air yang digunakan adalah geomembran. Lapisan
geomembran dapat mencegah kelembaban dari bawah tanah ke udara dalam gua,
sehingga dapat mengurangi tingkat kelembaban dalam gua. Secara teknis, lapisan
geomembran ini diletakkan di bawah lantai tanah dengan kedalam sekitar 15 cm. Setelah
lapisan geomembran dipasang kemudian ditutup dengan tanah dan di rapihkan seperti
sebelum dipasang geomembran. Ini sebagai teknik kamuflase sehingga kondisi lantai
kembali seperti kondisi aslinya.

Foto 6.6.. Tipe geomembranyang digunakan

54
Gambar 6.1. Skema aplikasi geosintetik dalam konservasi gua gajah

55
Gambar 6.2. Detail Posisi Geokomposit dan saluran air

56
Gambar 6.3. Detail Irisan Skema Geokomposit dan saluran pembuangan

57
5.5. Penanganan perkuatan Kala di pintu masuk.
Di depan pintu masuk terdapat kala, yang kondisi di bawah di topang oleh besi yang telah
berkarat. Kondisi ini sangat membahayakan mengingat fungsi besi tersebut sebagai
penompang kala. Untuk itu perlu dilakukan penggantian besi dengan besi yang baru dari bahan
stainless dengan ukuran sama dengan besi yang terpasang. Teknis pemasangan besi
stainless, menginggat kerawaanan jika besi lama dilepas Kepala Kala akan jatuh, sebelum
dilepas perlu ditopang terlebih dahulu dengan menggunakan perancah. Sehingga pengambilan
besi lama dan pemasangan besi stainless akan lebih mudah (lihat gambar 6.4 dan gambar 6.5)

5.6. Analisis dampak penggunaan lilin, dupa dan kemenyan


Gua gajah saat ini masih digunakan sebagai ibadah oleh pemeluk agama Hindu. Dalam
melaksanakan ibadah menggunakan media dupa, kemenyan dan lilin. Berdasarkan hasil
pengumpulan data yang telah dilakukan menunjukkan penggunaan media tersebut
menimbulkan dampak bagi gua gajah berupa lapisan hitam di relung-relung tempat arca, relung
tanpa arca dan di beberapa dinding gua. Hasil Kajian yang telah dilakukan Yudi Suhartono, dkk
pada tahun 2014, menunjukan bahwa penggunaan lilin, dupa dan kemenyan membawa
dampak negatif di batu candi. Dampak negatif adalah dampak secara estetiika berupa gua
gajah menjadi kotor karena lapisan hitam yang tersebar di berbagai tempat dan kotoran bekas
aktifitas tersebut. Selain itu dampak negatif yang paling utama adalah . pembakaran dupa dan
lilin di dalam bangunan candi menjadi salah satu faktor pendukung pelapukan pada batu candi
(Suhartono, dkk, 2014). Berdasar hal tersebut diperlukan pengaturan dalam penggunaan lilin,
dupa dan kemenyan sehingga dapat mengurangi dampak negatif bagi kelestarian gua. Selain
itu perlu dilakukan pembersihan terhadap bekas sisa pembakaran lilin, dupa dan kemenyan
serta pembersihan lapisan hitam menggunakan bahan etanol meskipun bahan ini belum
maksimal untuk mengembalikan seperti sediakala sebelum terkena dampak.

5.7. Penanganan Mikroorganisme


Metode pembersihan mikroorganisme meliputi:
1. Pembersihan Mekanis Kering atau Dry Cleaning
Pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan sikat ijuk, sikat nylon, solet bambu, dan
sapu lidi untuk menghilangkan debu, sisa tanah, algae, moss, maupun tumbuhan tingkat
tinggi seperti spermatophyta dan pteridophyta.

58
Gambar 6.4. Rekayasa pengambilan besi dan pemasangan stainless di bawah Kala

59
Gambar 6.5. Ukuran Pipa bulat stainless di pasaran

60
2. Pembersihan Mekanis Basah atau Wet Cleaning
Pembersihan basah dilakukan seperti dengan pembersihan mekanis kering tetapi ditambah
dengan menggunakan air. Yang harus dihindari adalah penggunaan air bertekanan tinggi
karena kondisi batuan yang memiliki kekerasan yang rendah (baik tanah Goa (bagian yang
mengeras : + 2 skala mohs) maupun batu pada Petirtaan (2-3 skala mohs). Sasaran yang
dibersihkan adalah sisa tanah, algae, moss dan lichen. Khusus lichen pada umumnya belum
bisa bersih dalam pembersihan ini, maka perlu dilanjutkan dengan pembersihan
menggunakan bahan kimia.

Foto 6.7. Bangunan petirtaan yang Foto 6.8. Salah satu bagian petirtaan yang
ditumbuh organisme ditumbuhi Algae

Foto 6.9. Salah satu bagian petirtaan yang Foto 6.10. Salah satu bagian petirtaan
ditumbuhi lumut (moss) yang ditumbuhi Lichen

61
3. Pembersihan Kimiawi atau Chemical Cleaning
Pembersihan dengan menggunakan bahan kimia dimaksudkan untuk membersihkan
mikroorganisme yang tidak dapat dibersihkan dengan cara mekanis kering maupun
mekanis basah. Pembersihan lumut/ moss pada waktu dahulu menggunakan Hyvar Xl.
Sedangkan pembersihan alga menggunakan Hyamin. Akan tetapi karena ada pembatasan
penggunaan bahan kimia maka hyvar dan hyamin sudah tidak digunakan lagi. Jika dilihat
dari kondisi lumut dan alga di batuan Gua dan Petirtaan, metode pembersihan mekanis
kering dan mekanis basah sudah cukup untuk digunakan tanpa ditambah bahan-bahan
kimia.
Sedangkan mikroorganisme jenis lumut kerak (lichen), bahan kimia yang digunakan adalah
AC 322 yang berbentuk pasta, kemudian dioleskan pada permukaan batu yang ditumbuhi
lumut kerak dengan waktu kontak 24 jam. Obyek diusahakan dalam kondisi lembab selama
24 jam. Obyek kemudian dibersihkan dengan menggunakan air hingga air cucian mencapai
pH netral dan obyek bebas dari lichen. Perlakuan diberikan secara selektif yaitu hanya
pada obyek yang ditumbuhi lichen saja

4. Penggunakan minyak atsiri untuk membersihan mikroorganisem


Pengggunaan minyak atseri untuk konsrervasi tradisonal cagar budaya berbahan batu
khusunya pembersihan mikroorganiseme telah dikaji oleh Sri wahyuni dan kawan-kawan
pada tahun 2015 dan 2016, Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa penggunaan minyak
nilam, temu lawak dan minyak cengkeh efektif untuk mematiikan mikroorganise seperti
algae, lumut dan lichen. Secara teknis langkah-langkah pembersihan tradisonal meliputi :
penyemprotan minyak atsiri ke mikroorganisme, dibiarkan selama 24 jam, hasil akan
terlihat terjadi perubahan warna menjadi coklat, ini menunjukkan mikroornise seperti algae
dan lumut telah mati. Setelah itu dibersihakan secara mekanis.

5.8. Analisis Keausan Batu Tangga Pertitaan

Gua Gajah merupakan salah satu destinasi pariwisata utama di Bali. Peningggalan kerajaan
Bali kuna menarik perhatian ribuan wisatawan berkunjung ke situs ini. Banyaknya orang yang
berkunjung dan menuruni kolam petirtaan ternyata meninggalkan jejak – jejak kerusakan pada
batu tangga petirtaan. Jejak – jejak kerusakan tersebut di antaranya adanya keausan batu.
Aktifitas pengunjung pertirtaan yang bermacam – macam ternyata telah menyebabkan

62
beberapa batu yang sering dilalui atau sering bersetuhan (kontak dengan pengunjung) menjadi
aus atau rusak. Kerusakan tidak hanya pada tangga tetapi juga lantai petirtaan.
Kerusakan karena keausan tersebut tidak bisa disepelekan dan dipandang sebelah mata. Batu
yang berkontak langsung dengan pengunjung berangsur – angsur akan menjadi aus dan rusak,
hal ini selain mengurangi nilai arkeologis dan sejarah dari candi juga menyebabkan
berkurangnya nilai estetis candi dalam kaitannya dengan konservasi. Untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut, perlu langkah-langkah penanganan di antara pelapisan tangga dan
manajemen pengunjung.
Model pelapisan tangga sudah dilaksanakan di Candi Borobudur dan beberapa situs warisan
dunia di berbagai Negara seperti Percandian Angkor (kamboja) dan Kuil Tien Tan Temple of
Heaven (Cina) (Setyawan, dkk, 2010). Untuk tangga Candi Borobudur dilapisi dengan kayu jati
dan bantalan karet.

Foto 6.11. Pelapisan dengan kayu jati di


Foto 6.12. Pelapisan dengan bantalan karet di
Candi Borobudur Candi Borobudur

63
Foto 6.14. Pelapisan tangga di Kuil Tien
Foto 6.13. Pelapisan tangga di Angkor
(Cina)
(Kamboja)

Kondisi batu tangga kolam petirtaan gua gajah telah banyak mengalami keausan sehingga
perlu dicarikan solusi penanganannya untuk mencegah keruskan lebih lanjut. Solusi yang
ditawarkan dalam kajian adalah melapisi tangga dengan kayu dan management pengunjung.
Dalam pelapisan batu tangga kolam petirtaan, pemilihan bahan dan metode pengerjaan
didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
1. Tidak bersifat merusak keaslian batu penyusun sturktur tangga atau struktur asli lain di
sekitarnya.
2. Mengutamakan prinsip keaslian bentuk, tata letak, pengerjaan, dan bahan.
3. Reversible (dapat dihilangkan kembali tanpa menyebabkan kerusakan).
4. Efektif dapat langsung digunakan untuk melapisi struktur tangga candi tanpa menggunakan
alat bantu apapun.
5. Estetis atau selaras (tidak mengganggu pandangan dan selaras arsitektur candi).
6. Aman dan nyaman bagi pengunjung (Setyawan, dkk, 2010).

Selain pelapisan tangga kolam petirtaan, untuk mencegah lebih lanjut kerusakan pada kolam
petirtaan perlu juga dilakukan management pengunjung dalam hal ini adalah pembatasan
jumlah pengunjung menuju kolam petirtaan. Selain karena faktor keausan batu tangga, faktor
keselamatan pengunjung karena kondisi kolam yang licin dapat menjadi dasar untuk membatasi
atau melarang pengunjung masuk ke kolam petirtaan.

64
Pembatasan jumlah pengunjung ini juga bisa diterapkan bagi wisatawan yang masuk ke
dalam gua. Pertimbangan melakukan pembatasan jumlah pengunjung karena gua gajah
telah mengalami pelapukan karena berbagai faktor termasuk faktor usia gua yang telah
berusia ratusan tahun.

65
IV. PENUTUP

4.2. Kesimpulan
Dari hasil anaslisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan hasil aktivitas vulkanik yang tersusun
dari campuran abu vulkanik (atau tuf ketika mulai membatu) yang tersortasi sangat buruk
bersama dengan batuapung lapili, yang umumnya memiliki fragmen litik yang tersebar.
Batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan yang belum terkonsolidasi
2. Gua Gajah telah mengalami kerusakan dan pelapukan sehingga perlu penanagan
konservasi untuk mempertahankan kelestariannya.
3. Penyebab utama proses pelapukan batuan gua gajah kemungkinan adalah proses fisis
akibat kelembaban yang tinggi dan juga faktor biologis. Untuk itu perlu model penanganan
konservasinya
4. Untuk mengurai beban di atas gua perlu dilakukan Pembersihan lahan dari puing-puing,
sampah, sisa pepohonan dan rumpat ilang. Selain perlu dipertimbangkan untuk
menghilangkan vegetasi yang ada di atas gua, seperti pohon kelapa dan lain-lain. Hal ini
perlu dilakukan mengingat akar-akarnya telah menimbus ke dinding gua dan akan
mempercepat proses pelapukan gua.
5. Untuk mengurangi kelembaban giua, di bagian atas gua perlu dilapisi dengan lapisan
kedap air. Ada dua alternative yang di tawarkan. Pertama menggunakan mortar pc
ditambah sikaletk dan mortar kedua. Jika menggunakan kelemahan akan menambah
beban bagian atas gua. Alternatif kedua adalah menggunakan bahan kedap air
Geokomposit dan pembuatan saluran air. Alternatif kedua menguntungkan karena bahan
geomembram beratnya ringan sehingga akan menambah beban gua.
6. Untuk mengurangkan kelembaban yang disebabkan oleh kapiler air tanah, bagian bawah
tanah perlu dilapisi dengan bahan kedap air geomembran.
7. Hasil kajian menunjukan bahwa pertumbuhan mikroornisme seperti algae, lumut dan lichen
sangat tinggi teruatma di pertirtaan. Jika dibiarkan lebih lama akan terjadi proses pelapukan
secara biologis. Untuk mencegah terjadi pelapukan perlu dilakukan pembersihan terhadap
mikroorganise dengan cara mekanis basah dan kering dan pengggunaan bahan tradisional
seperti minyak atsiri untuk membantu mematikam pertumbuhan mikroorganisme.

66
8. Penanganan keausan batu tangga kolam petirtaan dalam bentuk pelapisan batu tangga
dan lantai serta manajemen pengunjung.

4.3. Rekomendasi
1. Kajian ini baru menampilkan model penanganan konservasi gua gajah. Sebelum
melakukan penanganan secara fisik, perlu dilakukan pekerjaan DED (Detail Engineering
Design) untuk menyusun secara detail rencana penanganan konservasi gua gajah.
2. Untuk menjaga kelestarian gua perlu dilakukan manajemen pengunjung dalam hal
pengaturan dan pembatasn jumlah pengunjung yang masuk ke gua, mengingat gua telah
beusia ratusan tahun dan telah mengalami proses pelapukan.
3. Pembatasan dan pengaturan pengunjung juga bisa diterapkan di kolam pertirtaan
mengingat kondisi tangga petirtaan telah mengalami proses keausan batu tangga.

67
DAFTAR PUSTAKA

Doehne, E. 2002. Salt weathering: a selective review. Dalam Natural Stone, Weathering
Phenomena, Conservation Strategies and Case Studies. Geological Society
London, Special Publication 205, 51–64.
Drajat, Hari Untoro 1995 “Manajemen Sumber Daya Budaya Mati” dalam Seminar Nasional
Metodologi Riset Arkeologi. Depok : Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Fisher, R.V., 1966, Mechanism of Deposition from Pyroclastic Flows, Amer. J. Sci.
Ford, D. & Williams, P. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. John Wiley & Sons,
Ltd., 562p.
Hoek, E. 2000. Practical rock engineering. http://www.rockscience.com
Hunt, Roy E. 2007. Characteristics of geologic materials and formations : a field guide for
geotechnical engineers. Taylor & Francis, USA.
Hardiyatmo, Christady H. 2013. Geosintetik untuk rekayasa jalan raya: perancangan dan
aplikasi. UGM Press. Yogyakarta.
Kusmiati, Tjuk Nyak. Dkk. 1982. Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali
dan Nusa Tenggara Barat. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala.
Pemerintah Kabupaten Gianyar, 2015, Peta Geologi Kabupaten Gianyar, Pemerintah
Kabupaten Gianyar.
Putra, I Gusti Ngurah. 2000. Laporan Kegiatan Konservasi Situs Gua Gajah, Desa Bedulu, Kec
Blah Batu, Gianyar, Bali. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Wilayah kerja
Propinsi Bali, NTT dan NTB.
Samuhan, La Ode, 2015, Geologi Pulau Bali, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kebumian, Fakultas
MIPA, Universitas Negeri Gorontalo.
Soesilo, Hendi, dkk. 2000. Laporan Studi Teknis Situs Gua Gajah, Kabupaten Gianyar, Propinsi
Bali. Balai Konservasi Borobudur.
Susila, I wayan dan I W.Gde Yadnya Tanaya. 2016. Laporan Kajian Pemanfaatan Situs Goa
Gajah Sebagai Objek Daya Tarik Wisata Di Kabupaten Gianyar. Balai
Pelestarian Cagar Budaya Wilayah kerja Propinsi Bali, NTT dan NTB.
Setyawan, Hari, dkk. 2010. Kajian Perbaikan Tangga Candi Borobudur. Borobudur : Balai
Konservasi Borobudur

68
Suhartono, Yudi. 2008. Pelestarian Sumberdaya Arkeologi Dalam Konteks Keruangan Di
Kawasan Borobudur (Studi Kasus Candi Borobudur, Mendut Dan Pawon). Tesis.
Program Studi Arkeologi, Universitas Gadjah Mada.
Suhartono, Yudi,dkk. 2014. Dampak Negatif Dupa Dan Lilin Terhadap Batu Candi. Borobudur :
Balai Konservasi Borobudur.
Suantra, I Made dan I Wayan Muliarse. 2006. Pura Pegulingan, Tirtha Empul dan Goa Gajah,
Peninggalan Purbakala di aliran sungai Pakerisan dan Petanu. Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Wilayah kerja Propinsi Bali, NTT dan NTB.
Wahyuni, Sri, dkk, 2015. Kajian Minyak Atsiri Untuk Konservasi Cagar Budaya Batu Tahap I.
Borobudur : Balai Konservasi Borobudur
Wahyuni, Sri, dkk, 2015. Kajian Minyak Atsiri Untuk Konservasi Cagar Budaya Batu Tahap Ii.
Borobudur : Balai Konservasi Borobudur
https://www.slideshare.net/krismayoga/kerajaan-hindu-di-bali, 2017

69

Anda mungkin juga menyukai