Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEJARAH MANUSIA

PURBA DI SANGIRAN

DISUSUN OLEH : 1. ARROYANI LU’LUIL ULA AL SALSABILA (08)

2. FINNARIQOTUL AISIYAH ( )

LEMBAGA PENDIDIKAN
SMA NEGERI 1 LAMONGAN
TP. 2016/2017
KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Salam dan
salawat semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
menuntun kita ke arah yang benar, sehingga saya dapat menyelesaikan karya
tulis yang berjudul SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA.
Terima kasih kepada bapak/ibu guru yang telah memberikan kesempatan untuk
mengerjakan karya tulis ilmiah ini, dan ibu dan bapak dirumah yang
memfasilitasi dan memberikan doanya untuk kelancaran penulisan ini, dan
teman-teman sekalian yang membantu.
          Dalam penyusunan karya tulis ini mungkin terdapat banyak kesalahan,
maka saran dan kritikan dibutuhkan untuk bias memperbaiki kesalahan dalam
penulisan karya tulis ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 1


DAFTAR ISI .................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 3
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
1.3. Tujuan ..................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 4
2.1. Saringan Laboratorium Manusia Purba .................................................................. 4
2.2. Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran ........................................... 5
2.3. Misteri Sangiran yang Terungkap .......................................................................... 7
BAB III PENUTUP ......................................................................................................10
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................10
3.2. Saran ......................................................................................................................10
REFERENSI .................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


          Sangiran merupakan lahan perbukitan tandus yang berada di perbatasan
Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama
Situs Sangiran. Sangiran adalah situs arkeologi manusia purba terlengkap di
Asia. Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C Schemulling tahun 1864
dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso. Luas situs Sangiran
mencapai 56 km2 , lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia
dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000
tahun yang lalu. Dilokasi Sangiran ini pula ditemukan fosil rahang bawah
Pithecantropus Erectus untuk pertama kalinya oleh arkeolog Jerman, Profesor
Von Koeningswald.
          Koleksi yang tersimpan di museum Sangiran mencapai 13.806 yang
tersimpan pada dua tempat yaitu 2.931 tersimpan di ruang pameran dan 10.875
di dialam ruang penyimpanan. Bahkan banyak orang asing yang menggunakan
kawasan Sangiran sebagai pusat laboratorium penelitian manusia purba.
Museum Sangiran menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti
Antropologi, Geologi, Paleoanthropologi. Oleh karena itu dalam makalah ini
akan dibahas Sangiran Laboratorium Manusia Purba

1.2. Rumusan masalah


          Berdasarkan uraian diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut :
          1. Bagaiman sejarah situs Sangiran ?
          2. Apa saja jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Sangiran ?
          3. Mengapa Sangiran dijadikan laboratorium penelitian manusia purba?

1.3. Tujuan
     Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

dapatlah dirumuskan tujuannya sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui sejarah situs Sangiran.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di
Sangiran.
    3. Untuk mengetahui alasan Sangiran dijadikan labratorium penelitian
manusia purba.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini
merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam
sejarah perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap sejarah
kehidupan manusia purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang hidup
bersamanya, hingga proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2
juta tahun (Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).
Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km² dan sebagian besar berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah
utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian
yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).

Gambar Peta Lokasi Sangiran


Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan
Dunia UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO sebagai World
Heritage (No. 593, dokumen WHC-96/Conf.201/21).
Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki nilai
tinggi bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak ditetapkannya sebagai
World Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi sumbangannya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia khususnya ilmu arkeologi, geologi, paleoanthropologi, dan
biologi.
Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi
manusia terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil peninggalan
manusia purba  dari 2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi juga berbagai fosil
tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok
gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah
purba (stegodon dan gajah modern). Ditemukan pula alat produksi manusia purba yang
digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan situs-situs manusi purba di Cina seperti
Zhudian, Yuanmo dan Longhupa yang hanya menyajikan peninggalan purba kurang dari dua
juta tahun.
2.2. Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran
Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakan Kubah
Sangiran kemudian tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi akibat
pergerakan dari aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung
informasi tentang kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat
indah, yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami
erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah
yang satu dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-fosil
manusia maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan
kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan
penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen)
maupun di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah
tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang
dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas
alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang
susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen
tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba
yang ditemukan di lapisan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara
dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian
di area tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas
bukit Ngebung, arah Baratlaut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah seorang ahli
paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun
1930-an. Setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta (“tulang
buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan.
Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha
Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891.
Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur Sangiran.
Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap
hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia
bayar.
Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk
mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Pada
tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya.
Ada sekitar 60 lebih fosil Homo erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar,
termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan
sekitarnya.
Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian
disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran sampai tahun
1975, yang kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya
dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak wisatawan yang
datang berkunjung ke tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah
museum. Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang
terletak di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun
pada tahun 1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus
untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan
tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.
Gambar Museum Sangiran
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium,
perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia
prasejarah), gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya
menjual handicraft “batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro).
Berikut ini adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:

1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus


mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo
neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau),
Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak),
Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan
kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
4. Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
5. Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-penetak.

Gambar Fosil Sangiran


2.3. Misteri Sangiran Yang Terungkap
Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya
mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung
buto alias tulang-tulang raksasa. Balung adalah bahasa Jawa yang berarti tulang dan buto
adalah raksasa. Dengan demikian, secara harfiah, balung buto mempunyai arti tulang
raksasa. Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi lisan
atau mitos mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran,
ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan terkubur di
perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan tulang-belulang
besar yang mereka namakan balung buto. Para tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun
masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di
antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.
Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain
berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat,
nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan.
Kerena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak
banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan—
jarang diganggu oleh penduduk setempat. Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya
cakupan wilayah situs Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan berbukit-
bukit, memang tidak memungkinkan bagi peneliti asing itu bekerja sendiri.
Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald meminta bantuan penduduk. Ilmuwan
asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait
keberadaan fosil dan artefak purba. Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk,
Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang menemukannya.
Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya. Masyarakat
pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar
yang cukup menjanjikan.
Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru,
pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula,
masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung
buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi
semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau merupakan kawasan subur tempat
sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah khatulistiwa, pada
jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba
untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran pada kala
pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu. Tempat-
tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau
menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala pleistosen. Mereka membuat
pangkalan dalam aktifitas perburuan untuk mendapatkan sumber kebutuhan hidupnya.
Pilihan situs kubah Sangiran sebagai pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan kita
dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika).
Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia
purba, fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki
Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya
sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik), hal ini dibuktikan dengan
endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng
biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga
sekarang ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut. Kondisi deformasi geologis
seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar
(anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan
selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah
tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan
hewan vertebrata). Keadaan geo-stratigrafi dari pengamatan stratigrafi batuannya dapat
diketahui menjadi beberapa formasi, diantaranya :

 Formasi Kalibeng
 Formasi Pucangan
 Formasi Grenzbank
 Formasi Kabuh
 Formasi Notopuro
 Formasi Teras Solo (Kali Pasir)

Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap. Manusia
purba jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran ada sekitar lebih dari 100
individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili
65% dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari
jumlah fosil sejenis yang ditemukan didunia. Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah dari
masa Pleistosen Awal dan Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada Pleistosen Akhir.
Manusia jenis ini mempunyai ciri-ciri tinggi badan kurang lebih 165-180 cm dengan postur
yang tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus. Mereka memiliki geraham yang masih besar,
rahang kuat, tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan
tonjolan belakang kepalanya nyata, dagu belum ada dan hidung lebar. Perkembangan otaknya
baru memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan manusia ini digolongkan dalam Homo erectus
arkaik.
Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak
2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan
di gudang penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi
Bandung dan Laboratorium Paleoanthropologi Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan
lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia
dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus
arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia
antara 1,7 – 0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus
dan Pithecanthropus mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasik
yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 –
400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak ditemukan di
Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus progresif yang berasal dari Formasi
Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk
dalam kelompok ini adalah temuan Homo soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto
1996, Semah et.al. 1990).
Gambar Manusia Purba Sangiran
Demikianlah karya ilmiah mengenai “Sangiran Laboratorium Manusia Purba” ini.
Sebagai warga negara yang baik kita harus bisa melestarikan kekayaan budaya baik itu wisata
maupun sejarah bangsa. Agar tidak punah oleh waktu. Selain itu kita juga harus bisa
menjaganya agar tetap lestari dan berkembang.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Ladang fosil di situs Sangiran sangat khas, Anda dapat melihat jelas pada bagian yang
bertebing curam yaitu stratigrafi yang menunjukkan empat formasi (lapisan tanah). Stratigrafi
merupakan studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta distribusi perlapisan
tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah Bumi.
Keberadaan Kawasan Sangiran sangatlah penting dan menarik, secara nyata Anda dapat
melihat lokasi temuan dan lapisan stratigrafi yang sudah berumur jutaan tahun. Saat ini
arealnya seluas 56 km² tersebut masih dihuni oleh masyarakat sekitar Sangiran. Sangiran
merupakan aset yang sangat penting secara nasional maupun internasional.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia.
Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa
krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).
2.      Ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di
gudang penyimpanan. Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya Dunia).
3.2. SARAN
Kita sebagai penerus bangsa Indonesia harus tetap menjaga penemuan-
penemuan purbakala baik yang berada di daerah kita maupun di daerah lain.
REFERENSI

 Santosa, Hery (2000). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Universitas


SanataDharma.
 Sulistyanto, Bambang (2011). Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya
terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran. Diakses 24 Juni 2014,
Tersedia:http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-makna-
dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
 Gunawan, Restu dkk (2013). Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
 http://www.indonesia.travel. Sangiran: Situs dan Museum Manusia Purba di
Lembah Bengawan Solo. Diakses 24 Juni 2014
 http://www.museumindonesia.com. Museum Purbakala Sangiran. Diakses 24 Juni
2014. Tersedia:
http://www.museumindonesia.com/museum/19/1/Museum_Purbakala_Sangiran_Srag
en
 http://www.wikipedia.org. Sangiran. Diakses 24 Juni 2014. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sangiran
 Http://yogapermanawijaya.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai