Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya
tulis dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Makalah


Mengenal Manusia Purba di Indonesia", yang menurut saya dapat memberikan
manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya
buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penemuan - penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Hal ini
dikarenakan Indonesia merupakan wilayah tropis dan mempunyai iklim yang cocok
di huni manusia kala itu. Penemuan penemuan fosil sangat bergua bagi
perkembangan ilmu sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan kehidupan
manusia kala itu,. Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi manusia hingga
menjadi sekarang ini. Indonesia banyak menyumbang fosil manusia manusia purba.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan perkembangan manusia purba
dari mulai bagaimana menemukannya,cirri-ciri dari manusia purba dan tempat
ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul hingga
menjadi manusia sekarang ini.

Dilihat dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia


mempunyai banyak sejarah peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan
begitu ilmu sejarah akan terus berkembang sejalan dengan fosil- fosil yang
ditemukan. Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jelas dan terperinci mengenai
fosil- fosil manusia purba yang ditemuakan di Indonesia. Penemuan penemuan
terbaru juga termasuk di dalamnya. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui
perkembangan fosil terbaru yang ditemukan seperti Homo Moernman. Dijelaskan
pula tempat penemuan dan bentuk penemuannya agar isi makalah ini dapat
dipercaya kebenaranya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan


yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana jenis dan ciri manusia purba pada zaman dahulu?

1.2.2 Bagaimana persebaran manusia purba pada zaman dahulu?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan sebagai berikut :

1.3.1 Untuk mengetahui Jenis manusia purba pada zaman dahulu

1.3.2 Untuk mengetahui tempat persebaran manusia purba pada zaman dahulu
1.4 Manfaat

Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaca untuk menambah
pengetahuan tentang jenis danciri manusia purba pada zaman dahulu

1.4.2. Dapat menjadi informasi berharga bagi para penulis guna menciptakan tulisan
yang lebih bermanfaat bagi masyarakat untuk bisa mengetahui manusia-
manusiapurba di Indonesia pada zaman dahulu.

1.4.3. Digunakan penulis untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah dalam
kurikulum 2013 ini.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manusia Purba

Tempat-Tempat Penemuan Fosil Manusia purba

1. Sangiran

Sangiran, daerah pedalaman di kaki bukit Gunung Lawu, sekitar tujuh belas
kilometer dari kota Solo, Jawa Tengah, dikenal sebagai kawasan yang menyimpan
sisa-sisa kehidupan masa lampau. Setidaknya telah ditemukan sekitar empat belas
ribu fosil, atau sisa-sisa kehidupan masa silam yang telah membatu.

Di kawasan Sangiran ini pula, fosil homo erectus, manusia purba yang sudah maju
ditemukan. Dengan luas wilayah hampir enam puluh kilometer persegi, Sangiran
menyimpan lima puluh persen jumlah fosil yang ditemukan di dunia, serta enam
puluh lima persen fosil yang ada di Indonesia. Tahun 1977, Sangiran resmi
ditetapkan sebagai daerah cagar budaya, diperkuat dengan ketetapan Komite World
Heritage, UNESCO, Sangiran sebagai salah satu warisan dunia. Bisa dibayangkan,
bagaimana Sangiran menjadi suatu kawasan istimewa bagi Indonesia.

Bangunan museum Sangiran yang terletak di lokasi situs purbakala ini tergolong
biasa saja. Padahal di bangunan sederhana inilah tersimpan sebagian rahasia
kehidupan masa prasejarah yang penuh misteri. Ruang pamernya menghadirkan
berbagai fosil yang ditemukan di Sangiran, baik fosil hewan maupun manusia. Dari
koleksi fosil yang ada, bisa diketahui serta dipelajari pola hidup hewan dan manusia,
berjuta-juta tahun lalu.

Fauna yang pernah ditemukan antara lain, buaya dan kura-kura raksasa, dan fosil
gading gajah sepanjang 4 meter, serta rahang badak, rhinocerus sondaicus.

Hewan-hewan ini diperkirakan hidup di Sangiran sekitar 500 ribu hingga 700 ribu
tahun lalu.

Selain hewan bertulang belakang, di museum Sangiran juga dapat dijumpai fosil-
fosil manusia purba. Bahkan, koleksi Sangiran merupakan koleksi terlengkap yang
dapat menjelaskan tentang tahap perkembangan manusia, mulai dari yang belum
mengenal peradaban, hingga yang sudah maju. Hal ini bisa diketahui dari bentuk
fisik, seperti volume otak, cara berjalan, hingga penemuan alat-alat batu yang
membuktikan pola pikir manusia saat itu, sudah maju. Seperti ciri-ciri homo erectus,
dengan tinggi badan 165 hingga 180 senti meter, postur tegap, serta cara berjalan
tegak, merupakan contoh manusia purba sempurna, tidak berbeda dengan manusia
sekarang. Dengan koleksi yang tergolong lengkap, bukan satu keanehan, jika
Sangiran menjadi salah satu tempat penelitian utama bagi arkeolog dalam dan luar
negeri. Namun sebagai tempat wisata, Sangiran menjadi pilihan terakhir bagi
wisatawan, jika hanya menawarkan temuan fosil.

Berbagai koleksi di museum ini, tidak bisa dilepaskan dari kerja keras para ahli
purbakala yang ada. Perlu kehati-hatian dalam menjaga serta merawat keutuhan
sebuah fosil, karena ciri khas fosil yang mudah hancur akibat lapuk. Namun pada
kenyataannya, masih banyak pegawai museum yang mendapatkan gaji di bawah
standar, yakni sebesar 140 ribu rupiah perbulan. Bahkan, selama 12 tahun bekerja,
beberapa karyawan museum masih belum diangkat sebagai pegawai resmi museum.

Museum Sangiran dalam perkembangannya sendiri, juga melalui masa-masa sulit.


Bahkan sebelum resmi menjadi museum seperti sekarang ini, benda purbakala di
Sangiran berpindah-pindah ke beberapa tempat. Seperti di Balai Desa Krikilan, yang
dikenal sebagai museum Plestosin tahun 1975 hingga 1987. Sangiran baru
diresmikan sebagai museum prasejarah nasional di tanah air tahun 1988, seiring
bertambahnya penemuan fosil di kawasan tersebut.

Proses penemuan fosil di Sangiran sendiri tergolong unik. Dari 14 ribu fosil yang
ada, 80 persen merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar, sementara hanya 20
persen murni hasil penelitian. Bertani sebagai mata pencaharian mayoritas
masyarakat setempat, semakin mendukung temuan fosil oleh warga sekitar,
mengingat temuan tersebut lebih banyak ditemukan saat mereka bercocok tanam.

Setelah sekian lama, masyarakat Sangiran sendiri, kini sudah memiliki keahlian
untuk membedakan apakah temuan mereka tersebut fosil atau hanya batu biasa.
Keahlian ini mereka peroleh dari keterlibatan mereka saat para peneliti seperti von
koenigswald tahun 1934, melakukan pencarian fosil di kawasan tersebut.

Rata-rata masyarakat setempat menemukan fosil manusia serta binatang purba,


karena ketidak sengajaan. Misalnya saja fosil-fosil yang terletak di antara situs
Sangiran yang berupa tebing-tebing. Akibat terkikis air, fosil tersebut akan nampak
ke permukaan. Bahkan tidak jarang, saat musim tanam tiba, masyarakat justru
disibukkan oleh penemuan fosil baru. Hasil temuan mereka selanjutnya, akan
diserahkan kepada museum Sangiran. Sebagai imbalan, pihak museum akan
memberikan uang imbalan yang disesuaikan dengan besar kecilnya fosil. Untuk fosil
gading gajah sepanjang 4 meter misalnya, museum mengganti uang sebesar 300 ribu
rupiah. Bahkan untuk fosil tulang kepala manusia, museum memberikan imbalan
hingga 3 juta rupiah, mengingat kelangkaan fosil tersebut.

Di sisi lain, benda-benda purbakala di Sangiran juga kerap diperjual belikan secara
gelap, dengan harga yang cukup menggiurkan. Kabarnya, seorang arkeolog Jepang
pernah membeli sebuah fosil tengkorak manusia dari Sangiran, seharga 3 milyar
rupiah dari pasar gelap. Pengawasan terhadap tindak pencurian ini diakui cukup
sulit, karena hanya mengandalkan petugas museum. Saat ini laporan temuan dari
masyarakat dirasakan semakin menurun, sehingga ada kekhawatiran hal itu akibat
warga setempat menjual temuan-temuan mereka secara diam-diam, ditampung
pihak-pihak yg tidak berhak.

Ada rencana untuk menjadikan Sangiran menjadi lokasi wana wisata yang lebih
menarik minat wisatawan. Diantaranya pembangunan menara pandang, serta
membenahi ruang museum yang sudah tidak mampu menampung fosil yang ada saat
ini.

Sangiran, selintas memang seolah tak berbeda dengan daerah pertanian lainnya.
Namun disinilah terkubur berbagai jawaban tentang rahasia kehidupan masa
prasejarah, yang bisa dijadikan tuntunan umat manusia dalam menghadapi tantangan
di masa depan. Pemikiran untuk menjadikan Sangiran sebagai salah satu obyek
wisata perlu dipertimbangkan matang, agar warisan dunia ini tetap terjaga
keutuhannya.

2. Trinil

Trinil adalah situs paleoantropologi di Indonesia yang sedikit lebih kecil dari situs
Sangiran. Tempat ini terletak di Desa Kawu, KecamatanKedunggalar, Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur, kira-kira 13 km sebelum pusat kota Ngawi dari arah kota Solo.
Trinil merupakan kawasan di lembah Bengawan Solo yang menjadi hunian
kehidupan purba, tepatnya zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.

Pada tahun 1891 Eugne Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi menemukan
bekas manusia purba pertama di luar Eropa (saat itu) yaitu spesimen manusia Jawa.
Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus serta
berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.

Saat ini di Trinil berdiri sebuah museum yang menempati area seluas tiga hektare,
dengan koleksi di antaranya fosil tengkorakPithecantrophus erectus, fosil tulang
rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah
purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos
palaeosondaicus). Situs ini dibangun atas prakarsa dari Prof. Teuku Jacob,
ahliantropologi ragawi dari Universitas Gadjah Mada.
A. Perkembangan Fosil Manusia Purba di Indonesia

Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-


tempat yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. penggalian dilakukan
dengan teknik arkeologi agar fosi tidak mengalami kerusakan. setelah digali, maka
fosil akan dibersihkan dengan bahan-bahan kimia tertentu, agar unsur-unsurnya tdk
mengalami kerusakan. Langkah selanjutnya adalah merekonstruksi / menyusun lagi
fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.

Penelitian ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad ke-19. Penelitian
Paleoantropologi manusia purba di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahapan,
yaitu 1889-1909, 1931-1941, dan 1952 hingga sekarang.

Eugone Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di daerah tropis.
Menurutnya, hal ini disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak dan
di daerah tropis pula monyet serta kera masih banyak yang hidup. Ketika datang ke
Indonesia, Eugone Dubois mulai menyelidiki gua-gua di Sumatera Barat. Namun,
hanya tulang-tulang subresen yang ditemukan.

Penemuan Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia
purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von
Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.yang
menyebabkan Dubois memindahkan kegiatan penelitiannya ke daerah Jawa. Fosil
kiriman itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia
yang sudah berpikir maju). homo sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm
kubik hidup sekitar 15.000 hingga 150.000 tahun yang lalu. Temuan Dubois pertama,
1889, berupa fosil atap tengkorak Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera,
Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir
Bengawan Solo, dekat Ngawi, , tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus erectus
diperkirakan sekitar 770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia
purba yang ditemukan tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian
tulang tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus Mojokertensis, ditemukan
di daerah Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo.

Penemuan Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan regunya melakukan
penyelidikan dan penggalian di Trinil. Namun, penggalian tersebut tidak
membuahkan hasil fosil manusia purba. Yang ditemukan berupa fosil hewan dan
tumbuhan yang dapat menambah referensi mengenai kehidupan manusia
Pithecanthropus Erectus.

Penemuan Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan Oppenoorth
melakukan pencarian di Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian, didapat penemuan
yang sangat penting berupa tengkorak dan tulang kering Pithecantropus Erectus.
Satu seri tulang tengkorak yang besar jumlahnya dalam masa pendek dan berada di
satu tempat yang tidak begitu luas.
Penemuan Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang bekerja di bawah
pimpinan Duyfjes menemukan fosil manusia purba anak-anak di daerah Perning,
sebelah utara Mojokerto. Penemuan ini adalah pertama kali ditemukannya fosil
tengkorak anak-anak di lapisan bawah Pleistosen Bawah.

Penemuan Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald menemukan


fosil-fosil rahang, gigi, dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus
Paleojavanicus juga fosil hewan di daerah Sangiran, Surakarta. Penemuan ini terjadi
di lapisan Pleistosen Tengah maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat dan
memperlihatkan adanya variasi morfologis. Perbedaan variasi tersebut, menurut para
ahli, memiliki perbedaan pada tingkat rasial, spesies, maupun genus. Yaitu, varian-
varian yang berasal dari masa lalu. Penemuan lain Fosil tengkorak di Ngandong,
Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning berusia 5 tahun,
Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora,
Sangiran dan Sampung macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931
1934.

Penemuan lain tentang manusia Purba ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul
dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi
Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).

Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952
yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang
aliran Bengawan Solo.

Semua hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap pertama disimpan di
Leiden dan temuan tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman Barat). Akibat adanya
Perang Dunia II, pencarian Paleontropologi tertunda. Tahap ketiga baru dimulai
setelah Indonesia merdeka dan penemuan yang didapat disimpan di negara tempat
fosil tersebut ditemukan, Indonesia.

2.2 Jenis-Jenis Manusia Purba

Ada beberapa jenis manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia adalah
sebagai berikut :

2.2.1 Meganthropus Paleojavanicus

Meganthropus paleojavanicus berasal dari kata-kata; Megan artinya besar, Anthropus


artinya manusia, Paleo berarti tua, Javanicus artinya dari Jawa. Jadi bisa disimpulkan
bahwa Meganthropus paleojavanicus adalah manusia purba bertubuh besar tertua di
Jawa. Fosil manusia purba ini ditemukan di daerah Sangiran, Jawa tengah antara
tahun 1936-1941 oleh seorang peneliti Belanda bernama Von Koeningswald. Fosil
tersebut tidak ditemukan dalam keadaan lengkap, melainkan hanya berupa beberapa
bagian tengkorak, rahang bawah, serta gigi-gigi yang telah lepas. Fosil yang
ditemukan di Sangiran ini diperkirakan telah berumur 1-2 Juta tahun.

Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus :

Mempunyai tonjolan tajam di belakang kepala.


Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok.
Tidak mempunyai dagu, sehingga lebih menyerupai kera.
Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang besar dan kuat.
Makanannya berupa daging dan tumbuh-tumbuhan.

2.2.2 Pithecanthropus

Fosil manusia purba jenis Pithecanthrophus adalah jenis fosil manusia purba yang
paling banyak ditemukan di Indonesia. Pithecanthropus sendiri berarti manusia kera
yang berjalan tegak. Fosil Pithecanthropus berasal dari Pleistosen lapisan bawah dan
tengah. Mereka hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan Mereka
sudah memakan segala, tetapi makanannya belum dimasak. Terdapat tiga jenis
manusia Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia, yaitu Pithecanthrophus
erectus, Pithecanthropus mojokertensis, dan Pithecanthropus soloensis. Berdasarkan
pengukuran umur lapisan tanah, fosil Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia
mempunyai umur yang bervariasi, yaitu antara 30.000 sampai 1 juta tahun yang lalu.

1. Pithecanthropus erectus, ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di


sekitar lembah sungai Bengawan Solo, Trinil, Jawa Tengah. Mereka hidup sekitar

satu juta sampai satu setengah juta tahun yang lalu. Pithecanthropus Erectus berjalan
tegak dengan badan yang tegap dan alat pengunyah yang kuat. Volume otak
Pithecanthropus mencapai 900 cc. Volume otak manusia modern lebih dari 1000 cc,
sedangkan volume otak kera hanya 600 cc.

(Pithecanthropus erectus)

2. Pithecanthropus mojokertensis, disebut juga dengan Pithecanthropus robustus.


Fosil manusia purba ini ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1936 di
Mojokerto, Jawa Timur. Temuan tersebut berupa fosil anak-anak berusia sekitar 5
tahun. Makhluk ini diperkirakan hidup sekitar 2,5 sampai 2,25 juta tahun yang lalu.
Pithecanthropus Mojokertensis berbadan tegap, mukanya menonjol ke depan dengan
kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat.

3. Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von


Koeningswald dan Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933.
Fosil yang ditemukan berupa tengkorak dan juga tulang kering.

Ciri-ciri Pithecanthropus :
Memiliki tinggi tubuh antara 165-180 cm.
Badan tegap, namun tidak setegap Meganthrophus.
Volume otak berkisar antara 750 1350 cc.
Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.
Hidung lebar dan tidak berdagu.
Mempunyai rahang yang kuat dan geraham yang besar.
Makanan berupa tumbuhan dan daging hewan buruan.

2.2 Homo Sapiens

Homo Sapiens merupakan sebuah spesies dari golongan mamalia yang dilengkapi
otak berkemampuan tinggi. Dalam sebuah mitos, manusia seringkali dibandingkan
dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan
penggunaan bahasanya, organisasi mereka dimasyarakat majemuk serta
perkembangan teknologinya, serta berdasarkan kemampuan mereka membentuk
sebuah kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya.
Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dorongan
nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnya dengan alat pengetahuan yang
dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-
sama makhluk alamiah, berbeda dengan manusia hewan tidak dapat melepaskan dari
ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya.

Jenis manusia ini termasuk manusia yang memiliki pikiran yang cerdas dan
bijaksana. Dengan daya pikirnya manusia dapat berpikir apakah yang sebaiknya
dilakukan pada masa sekarang atau masa yang akan datang berdasar kan
pertimbangan masa lalu yang merupakan pengalaman. Pemikiran yang sifatnya
abstrak merupakan salah satu wujud budaya manusia yang kemudian diikuti wujud
budaya lain, berupa tindakan atau perilaku, ataupun kemampuan mengerjakan suatu
tindakan. Manusia purba jenis ini memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia
sekarang. Dibandingkan manusia purba sebelumnya, homo sapiens lebih banyak
meninggalkan benda benda berbudaya. Diduga, inilah yang menjadi nenek moyang
bangsa bangsa di dunia.

Ciri-ciri Homo Sapiens :

Tinggi tubuh 130-210 cm


berat badan 30 159 kg, dan volume otak 1350 1450 cc.
Otak lebih berkembang dari pada Meganthropus dan pithecanthropus.
Otot kunyah, gigi, dan rahang sudah menyusut.
Tonjolang kening sudah berkurang dan sudah berdagu.
Mempunyai ciri-ciri ras Mongoloid dan Austramelanosoid.

2.5 Jenis-Jenis Homo Sapiens


Homo Sapiensadalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama
dengan manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang.
Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo
Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2 yaitu:

1. Homo Soloensis ( Manusia dari Solo)

Fosil ini ditemukan pada tahun 1931 1934 oleh Von Koenigswald dan Wedenreich
di desa Ngadong lebah Bengawan Solo. Fosilnya berupa tengkorak menurut
penelitian terrnyata Homo Soloensis tingkatanya lebih tinggi di banding
Pithecanthropus Erektus.

Ciri-ciri homo soloensis :

Otak kecilnya lebih besar dari pada otak kecil Pithecanthropus Erectus.
Tengkoraknya lebih besar daripada Pithecanthropus Erectus.
Tonjolan kening agak terputus di tengah (di atas hidung).
Tinggi badan antara 130 210 cm
Volume otaknya antara 1000 1200 cc
Otot tengkuk mengalami penyusutan
Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna

2. Homo Wajakensis

Fosil ini ditemukan pada tahun 1889 oleh Eugene Dobois di desa

Wajak( Tulung Agung) Jawa Timur. Fosil yang ditemukan berupa tulang tengkorak,
rahang atas dan rahang bawah tulang pah dan tulang kering. Homo Wajakensis
golongan homo Sapiens kelompok manusia purba maju dan terakhir. Dan ini
membuktikan bahwa Indonesia sejak 40.000 tahun yang lalu sudah didiami manusia
sejenis Homo Sapiens.

Ciri-ciri homo wajakensis :

Berbadan tegap
Mukanya tidak terlalu menonjol ke depan.
Hidung lebar dan bagian mulutnya menonjol
Tengkoraknya lebih besar dibanding Pithecanthropus.
Dahinya agak miring dan di atas mata terdapat busur kening yang nyata
Tenggorokannya sedang, agak lonjong, dan agak bersegi di tengah-tengah
atap tengkoraknya dari muka ke belakang
Tingginya sekitar 180 cm
Memiliki volume otak kecil, yaitu sekitar 1000-2000 cc dengan rata-rata
1350-1450 cc.
Tinggi badang antara 130-210 cm, berat badan antara 30-150 kg.
Hidup antara 25.000-40.000 tahun yang lalu
Mampu membuat alat-alat dari batu dan tulang yang masih sederhana.

3. Homo Floresiensis
Homo floresiensis (Manusia Flores, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan
oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan
volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum
sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau
Flores, pada tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai
LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia moderen (sekitar 100
cm).

Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen
menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi
kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat
di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000
tahun yang lalu.

Penemuan

Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.

Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan
menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan
banyak kerangka Homo sapiensdan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah
Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan
mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata
panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban
penghuninya.

Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak
peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim
Indonesia dipimpin oleh RadenPandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional
(dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari
Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada
kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu),
ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut
H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan
lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan,
Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan
pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.

Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan


berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan
kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000
dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material
genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu disadari
bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari
tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia
kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena
metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.

Ciri-ciri Kontroversi

Salinan tengkorak H. floresiensis LB1 (kiri) dibandingkan dengan tengkorak


manusia yang terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.

Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh
kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku
Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari
sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada
beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan
pertumbuhan yang disebut mikrosefali (kepala kecil). Menurut tim ini, sisa
manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang
sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid.
Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu
bertengkorak kecil dan berotak kecil.

Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan
beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal
Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.

Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan
petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang
ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan
merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini
sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai
keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo
floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia
Neandertal.

Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih
primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi
pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan
spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif.
Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat
dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis
karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap
tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan
dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok
masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan
bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern
dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal
Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H.
floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapien

Hobbit Flores, Species Baru Hominin

TEMPO Interaktif, Jakarta Debat tentang fosil Manusia Flores, Homo floresiensis,
sering disebut juga dengan hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada
dua arus pendapat. Pertama, yang menganggap Homo floresiensis sebagai spesies
baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat ini dimotori oleh para peneliti
dari Australia, seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan para
koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan merupakan
spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa
Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly,
penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh, pendapat
ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

Baru-baru ini, para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook, New York, Amerika
Serikat, mengumumkan hasil penelitiannya terhadap fosil Homo florensiensis yang
cenderung mendukung pendapat pertama dan menyimpulkan bahwa fosil itu
merupakan spesies manusia kuno baru, atau hobbit, dan kelainan mereka bukan
disebabkan oleh suatu penyakit sehingga ukuran tubuhnya menjadi mini. Dengan
menggunakan metode penelitian analisa statistik terhadap kerangka fosil yang
ditemukan, para peneliti meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru
dari manusia kuno, atau hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia
modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian
diturunkan secara genetis. Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi manusia
yang belum sempurna jika dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan
generasi manusia sempurna Homo sapiens yang kini mendiami bumi. Detail lengkap
dari hasil penelitian ini baru akan dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan
Royal Statistical Society, pada edisi bulan Desember mendatang. Fosil Homo
florensiensis pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti
Australia dan Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.

Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang
memiliki tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa
manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan hidup
di Flores sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The
Ring, manusia hominin ini disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti
dari Universitas Medis Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad
melakukan penelitian terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin
perempuan yang diberi code LB1 dan diberi nama penelitian Little Lady of Flores
atau Flo, menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi hobbit. Penelitian
meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak kaki, yang
dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil penelitian
menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang
sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di Afrika.
Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif dari
ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan daerah dimanapun.

Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat
melakukan rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia
modern. Tulang paha dan tulang betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki
manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil
serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan
Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian
dari sebuah rantai evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai lokasi
dunia pada masa lalu. Sulit dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga dengan
kemampuan gerak agar lebih ekonomis, ujar Jungers, spesies ini mengembangkan
paha dan kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada
waktu itu.

Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan,
menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih pendek
dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang rata-rata memiliki tinggi 150 cm.
Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1, juga jauh berbeda dengan umumnya
orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia Tenggara maupun Afrika, baik pada
tinggi maupun ukuran tubuh. Anatomi Homo floresiensis jauh lebih unik daripada
anatomi manusia yang terkena penyakit seperti microcephaly dan sindroma
kekerdilan, tegas Dr. Baab.

Debat apakah Homo floresiensis merupakan jenis manusia modern yang menderita
penyakit kelainan atau salah satu varian hobbit, tampaknya masih belum akan final.
Namun jika Anda ingin mengenal sosoknya, Anda bisa mengunjungi Museum
Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat, yang membuat dan
memajang patung sosok Hobbit Flores ini didepan museum.

BAB III

PENUTUP
3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Manusia yang hidup pada zaman praaksara (prasejarah) disebut manusia purba.
Manusia purba adalah manusia penghuni bumi pada zaman prasejarah yaitu zaman
ketika manusia belum mengenal tulisan. Ditemukannya manusia purba karena
adanya fosil dan artefak. Jenis-jenis manusia purba dibedakan dari zamannya yaitu
zaman palaeolitikum, zaman mezolitikum, zaman neolitikum, zaman megalitikum,
zaman logam dibagi menjadi 2 zaman yaitu zaman perunggu dan zaman besi. Ada
beberapa jenis manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia
MeganthropusPaleojavanicus yaitumanusia purba bertubuh besar tertua di Jawa dan
Pithecanthrophus adalah manusia kera yang berjalan tegak.

Corak kehidupan prasejarah indonesia dilihat dari segi hasil kebudayaan manusia
prasejarah menghasilkan dua bentuk budaya yaitu : bentuk budaya yang bersifat
spiritual dan bersifat material; segi kepercayaan ada dinamisme dan animisme; pola
kehidupan manusia prasejarah adalah bersifat nomaden (hidup berpindah-pindah dan
bersifat permanen (menetap); sistem bercocok tanam/pertanian; pelayaran; bahasa;
food gathering dan menjadi food producing.

Homo Sapiensadalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama
dengan manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang.
Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo
Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2 yaitu:

1. Homo Soloensis

2. Homo Wajakensis

Hasil kebudayaan Homo sapiens adalah perkakas yang terbuat dari batu dan zaman
manusia mempergunakan perkakas dari batu disebut Zaman Batu. Zaman batu
terbagi dua tahap, yaitu: Zaman Batu Tua (paleolithikum) dan Zaman Batu Baru
(Neolithikum).

3.2 Saran

3.2.1 Diharapkan agar masyarakat dapat memahami maksud dari makalah ini dan
bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang manusia purba pada zaman
dahulu.

3.2.2 Diharapkan bagi penulis lain untuk mencari referensi yang lebih relevan
sebagai bahan dalam pembuatan makalah guna menciptakan karya tulis yang lebih
bermanfaat mengenai manusia homo sapiens pada zaman dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.plengdut.com/2013/03/Manusia-Purba-Indonesia-yang-Hidup-pada-
Masa-Praaksara.html

http://indonesiaindonesia.com/f/89905-manusia-purba-indonesia/

http://www.info-asik.com/2012/10/sejarah-manusia-purba.html

http://marhadinata.blogspot.com/2013/01/sejarah-manusia-purba-di-indonesia.html

http://smpn1sdk91bubun2013.blogspot.com/2013/03/sejarah-manusia-purba.html

http://yessicahistory.blogspot.com/2013/04/sejarah-manusia-purba-di-indonesia.html

http://zulfahmigo.blogspot.com/2013/01/manusia-purba-pithecanthropus-
erectus.html

http://jagoips.wordpress.com/2012/12/28/kehidupan-manusia-pra-aksara/

Anda mungkin juga menyukai