Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Salam dan salawat semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita ke arah yang benar, sehingga saya
dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA
PURBA. Terima kasih kepada bapak/ibu guru yang telah memberikan kesempatan untuk
mengerjakan karya tulis ilmiah ini, dan ibu dan bapak dirumah yang memfasilitasi dan
memberikan doanya untuk kelancaran penulisan ini, dan teman-teman sekalian yang membantu.
Dalam penyusunan karya tulis ini mungkin terdapat banyak kesalahan, maka saran dan
kritikan dibutuhkan untuk bias memperbaiki kesalahan dalam penulisan karya tulis ini.
1.3. Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah
dirumuskan tujuannya sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah situs Sangiran.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Sangiran.
3. Untuk mengetahui alasan Sangiran dijadikan labratorium penelitian manusia purba.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini merupakan
lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam sejarah
perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap sejarah kehidupan manusia
purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang hidup bersamanya, hingga proses
terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun (Pliosen Akhir hingga
akhir Pleistosen Tengah).
Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km² dan sebagian besar berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara
Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian yang
merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia
UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO sebagai World
Heritage (No. 593, dokumen WHC-96/Conf.201/21).
Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki nilai tinggi
bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak ditetapkannya sebagai World
Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi sumbangannya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia khususnya ilmu arkeologi, geologi, paleoanthropologi, dan biologi.
Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi manusia terbesar
di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil peninggalan manusia purba dari 2,4
juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi juga berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan
bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus
(kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern).
Ditemukan pula alat produksi manusia purba yang digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda
dengan situs-situs manusi purba di Cina seperti Zhudian, Yuanmo dan Longhupa yang hanya
menyajikan peninggalan purba kurang dari dua juta tahun.
2.2. Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran
Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakanKubah
Sangiran kemudian tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi akibat
pergerakan dari aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung
informasi tentang kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat indah,
yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah
sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu
dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-fosil manusia
maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan
yang tersingkap lapisan tanahnya akibat prosesorogenesa (pengangkatan dan penurunan
permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas
permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga
mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh
tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas
mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya
terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan),pleistocen tengah (lapisan
Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di
lapisan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis,
lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area
tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit
Ngebung, arah Baratlaut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah seorang ahli
paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun
1930-an. Setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta (“tulang
buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan.
Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang
paha Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun
1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur Sangiran.
Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari
von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar.
Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali
fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Pada tahun-tahun
berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60
lebih fosil Homo erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar, termasuk
seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya.
Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di
bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran sampai tahun 1975, yang kelak
menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di
Jerman, Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke
tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya Museum
Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak di samping Balai Desa Krikilan.
Sebuah museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1980 karena mengingat semakin
banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan
tempat wisata yang nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum
seluas 750 m2.
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium,
perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah),
gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya
menjual handicraft “batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro). Berikut
ini adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:
Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap. Manusia purba
jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran ada sekitar lebih dari 100 individu yang
mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh
fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis
yang ditemukan didunia. Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah dari masa Pleistosen Awal
dan Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada Pleistosen Akhir. Manusia jenis ini mempunyai
ciri-ciri tinggi badan kurang lebih 165-180 cm dengan postur yang tegap, tetapi tidak
setegap Meganthropus. Mereka memiliki geraham yang masih besar, rahang kuat, tonjolan
kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan tonjolan belakang kepalanya
nyata, dagu belum ada dan hidung lebar. Perkembangan otaknya baru memiliki volume sekitar
800-1100 cc dan manusia ini digolongkan dalam Homo erectus arkaik.
Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934
fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan di gudang
penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi Bandung dan
Laboratorium Paleoanthropologi Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan
asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3
kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus arkaik yang berasal dari
Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus danPithecanthropus
mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasikyang berasal dari Formasi
Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis
kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga
adalah Pithecanthropus progresifyang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan
mempunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah
temuan Homo soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).