Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KULIAH LAPANGAN

GEOLOGI STRUKTUR, GEODINAMIKA, PETROLOGI,& GEOMORFOLOGI

Disusun Oleh:
Adam Azhariansyah 1606902252 M. Alzaid Ponka 1606878332
Albar Karismawan 1606885883 Rahma Marsha E. Y. 1606902265
Balqis Fiona Imtinan 1606830051 Rahmat Adil Y. H. 1606834195
Elisha Tobing 1606830120 Rasyid Shihabuddin 1606831911
Kevin Boi K. Berutu 1606902284 Reinof Razzaqi Y. 1606894862
M. Alim Yekini 1606889332 Wahyu Imanda 1606902271

Di Daerah Geyser Cisolok, Sungai Citiis, Pantai Karang Hawu dan Holcim
Educational Forest

PROGRAM STUDI GEOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
SEMESTER GASAL
2017/2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Geologi adalah studi tentang bumi membahas kehidupan yang pernah hidup atau
sedang hidup di dalam bumi saat ini. Dalam pembelajaran geologi, proses
perkuliahan tidak hanya dilakukan secara tatap muka di kelas, melainkan adanya
kuliah lapangan yang bertujuan meningkatkan kemampuan interpretasi mahasiswa
selama pembelajaran di kelas. Selain itu, kuliah lapangan ini bermanfaat bagi calon-
calon Geologi muda untuk mendapatkan pemahaman dasar mengenai Geologi yang
akan berguna untuk kedepannya.
Kuliah lapangan merupakan kegiatan wajib yang harus diikuti oleh seluruh
mahasiswa Geosains khususnya Geologi. Kegiatan ini merupakan simulasi field work
untuk terjun langsung di dunia kerja nantinya. Kuliah lapangan Geologi pada semester
gasal ini berlangsung selama 3 hari dan berada di empat lokasi, yaitu Holcim
Education Forest, daerah Cisolok (geyser), Sungai Citiis, dan Pantai Karang Hawu,
yang semuanya berada di Kabupaten Sukabumi.
Daerah Sukabumi merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak proses
Geologi sehingga daerah tersebut terdapat banyak struktur geologi yang dapat
dijadikan sebagai objek utama untuk mata kuliah geologi struktur, geodinamika,
geomorfologi,dan petrologi. Lokasi pertama yang dikunjung adalah Holcim Education
Forest, daerah ini dahulunya merupakan area penambangan silika. Lokasi kedua
adalah daerah geyser Cisolok yang mana ditetapkan sebagai area geopark dan
merupakan produk proses dinamika bumi. Lokasi ketiga adalah sungai Citiis, terdapat
singkapan batuan breksi dan gamping. Lokasi terakhir adalah Pantai Karang Hawu,
pantai yang memliki struktur kekar yang terlihat di pesisir pantai, serta pengamatan
geomorfologi di Pantai Karanghawu untuk mengamati mengenai bentang alam pantai,
bentuk pantai, dan jenis gelombang yang terdapat di Karang Hawu.

2
1.2. Rumusan Masalah
a) Apa saja jenis batuan yang terdapat di wilayah masing-masing stopsite?
b) Bagaimana proses terbentuknya batuan-batuan tersebut?
c) Bagaimana lingkungan pengendapan batuan-batuan tersebut?
d) Bagimana orientasi singkapan pada masing-masing stopsite?
e) Bagaimana kondisi struktur geologi pada masing-masing stopsite?
f) Bagaimana proses terjadinya struktur geologi (normal fault, reverse fault, strike-
slip fault, joint set, dll.) pada masing-masing stopsite?
g) Bagaimana morfologi dari wilayah masing-masing stopsite?
h) Bagaimana proses terjadinya morfologi dari wilayah masing-masing stopsite?

1.3. Tujuan Penelitian

a) Mahasiswa dapat melakukan pengamatan secara langsung mengenai kondisi


geomorfologi, geologi struktur, dan dinamika bumi yang terjadi di suatu lokasi.
b) Mahasiswa mampu mengamati dan memahami kondisi litologi di suatu lokasi.
c) Mahasiswa mampu melakukan navigasi darat dan menentukan arah mata angin
di suatu lokasi.

1.4. Lokasi dan Kesampaiannya


a) Hari Pertama : Holcim Educational Forest
Alokasi Waktu : Jumat, 1 Desember 2017
09.30 – 11.30 WIB dan 13.00 – 16.00 WIB

 Stopsite 3 (6˚55’271” S,106˚47’175” E)


Bus Kelompok 1 dan 2 sampai di Holcim Educational Forest telat sehingga
pihak dosen menyarankan kami (kelompok 1 dan 2) untuk langsung
menuju stopsite 3 untuk melihat geomorfologi dari triangular facet. Kami
sampai di stopsite 3 pukul 10.00 WIB. Di sana kami membuat sketsa
morfologi triangular facet selama 1 jam.

3
 Stopsite 1 (6˚55’018” S,106˚47’166” E)

Kami menuju stopsite 1 selepas sholat Jumat (perkiraan pukul 13.00 WIB)
dan sampai di sana pukul 13.30 WIB dengan berjalan kaki. Di sana terdapat
singkapan yang mengandung struktur geologi dan litologi yang berbeda-
beda. Kami berada di stopsite 1 selama 30 menit.

 Stopsite 2 (6˚54’998” S,106˚47’189” E)


Daerah ini terdapat sebuah patahan dengan air terjun. Di stopsite ini,
mempunyai patahan dengan struktur utama dan struktur penyerta.
Pengamatan di stopsite ini dilakukan selama 20 menit.

4
 Stopsite 3 (6˚55’271” S,106˚47’175” E)
Daerah ini merupakan daerah patahan dengan strukur slicken line yang
terlihat jelas. Selain itu, daerah ini merupakan daerah konservasi dan
penelitian terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan yang
habitatnya berada pada kolam bekas hasil penambangan silika.
Kelompok kami berada pada lokasi ini selama 1 jam.

5
b) Hari Kedua : Geyser Cisolok, Sungai Citiis, Pantai Karang Hawu
Alokasi Waktu : Sabtu, 2 Desember 2017
08.00 – 17.30 WIB

 Stopsite 1 Geyser Cisolok


 Fumaroles (6°56’0” S, 106°27’13” E)
Pada daerah ini terdapat tiga fumarole yang masih aktif. Air yang keluar
dari fumarole bersuhu sekitar 40˚-60˚C dan merupakan fasilitas
pemandian air panas bagi warga sekitar dan pengunjung. Selain itu,
daerah ini merupakan situs Geopark. Kelompok kami menuju stopsite
1 menggunakan bus dan berada di Fumarole selama 1 jam.

 Geyser Mati dan Singkapan Kabonat (6°55’57.3” S,


106° 27’11” E)
Pada daerah ini terdapat geyser nonaktif serta singkapan karbonat.
Singkapan ini tersusun atas kandungan mineral karbonat dengan
kondisi yang telah tererosi. Kami menuju daerah tersebut melewati
anak Sungai Beser. Observasi berlangsung selama 2 jam.

6
 Stopsite 2 Sungai Citiis (6˚56’36.2” S, 106˚26’38.8” E)
Kami menuju stopsite 2 menggunakan bus selama 40 menit dan sampai
pada pukul 11.40 WIB. Setelah ISOMA selama 1 jam, kami melanjutkan
kuliah lapangan pada pukul 13.00 WIB. Kami menyusuri sungai untuk
melakukan observasi. Pada stopsite 2 ini terdapat dua singkapan yang
berbeda yaitu; batuan breksi dan batuan beku dasit. Observasi
berlangsung selama 2,5 jam.

 Stopsite 3 Pantai Karang Hawu (6°57’19” S, 106 ° 27’


28.8” E)
Kami menuju stopsite 3 menggunakan bus selama 45 menit dan sampai
pada pukul 15.15 WIB. Pada stopsite 3 terdapat geomorfologi coastal
dan struktur kekar. Kami melakukan observasi selama 30 menit.
Setelah kegiatan observasi, segenap mahasiswa dan dosen geosains
melakukan sesi foto bersama sampai pukul 17.30.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


Lokasi kuliah lapangan kali ini bertujuan ke 4 lokasi utama yang berada di
sekitaran Kota Sukabumi, antara lain :
1. Holcim Educational Forest
2. Geyser Cisolok
3. Sungai Citiis
4. Pantai Karanghawu
Lokasi pertama yaitu Holcim Educational Forest yang secara geologi
termasuk ke dalam Formasi Walat di daerah utara Kabupaten Sukabumi. Sementara
tiga lokasi lainnya, yaitu Geyser Cisolok, Sungai Citiis, serta Pantai Karanghawu,
secara geologi termasuk ke dalam formasi satu formasi yang sama yaitu Formasi
Cikotok.
Berikut adalah peta regional dari Formasi Walat dan Formasi Cikotok:

Gambar 2.1.1 Peta Geologi Daerah Holcim Educational Forest (HEF)


Sumber : Dept. Geosains FMIPA UI

8
Gambar 2.1.2 Peta Geologi Daerah Cisolok
Sumber : Dept. Geosains FMIPA UI

2.2. Teori dan Metode yang Digunakan


1. Metode pengukuran strike and dip
a. Pengukuran dengan Kompas Geologi
Pengukuran kedudukkan unsur struktur geologi, yang diataranya terdiri dari
pengukuran kedudukan struktur bidang perlapisan batuan sedimen, kedudukan
bidang foliasi, kedudukan bidang kekar, kedudukan bidang sesar, secara praktis
dapat dilakukan dengan cara mengukur jurus (strike) dan kemiringan (dip)
menggunakan sebuah alat yang dikenal dengan nama kompas geologi. Berikut
adalah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengukuran strike/dip di
lapangan :
a) Tentukan lokasi di permukaan singkatan yang belum terkena proses geologi
tektonik ataupun pelapukan, yang permukaannya relatif utuh dan rata.
b) Letakaan kompas secara langsung pada permukaan struktur bidang
singkapan batuan yang akan diukur dengan cara menempelkan sisi East
(‘E’) ke bidang singkapan. Cari dan pertahankan keadaan seimbang kompas

9
dengan cara mengecek apakah posisi geleumbung dalam nivo bundar
sudah di tengah atau belum. Jika sudah, maka kompas sudah seimbang.
c) Selanjutnya tekan pin yang ada di ujung kompas untuk mempertahankan
posisi jarum kompas pada nilai strike yang sudah didapat.
d) Baca dan catatlah nilai/angka strike yang ditunjuk oleh ujung jarum kompas
yang bernoktah putih atau warna lain yang berbeda dengan keseluruhan
warna jarum kompas.
e) Pertahankan posisi kompas pada bidang yang diukur. Berikan garis atau
tanda yang sejajar dengan posisi kompas dengan alat tulis.
f) Angkat kompas dan ubah posisinya dengan meletakkan kompas tegak lurus
garis atau tanda posisi kompas sebelumnya untuk mengukur dip. Sisi yang
ditempelkan pada bidang untuk pengukuran dip adalah sisi West (‘W’).
g) Putar posisi skala klinometer di dalam kompas dengan cara memutar
penyetel klinometer yang terdapat di bagian belakang kompas. Putar skala
klinometer sampai gelembung air dalam nivo tabung tepat berada ditengah
diantara 2 garis merah.
h) Pertahan posisi kompas sampai selesai pembacaan nilai/angka dip.
i) Baca dan catatlah nilai/angka dip secara akurat dengan memperhatikan
skala noniusklinometer.
2. Pendeskripsian Batuan
a. Batuan beku
Berikut adalah hal-hal yang perlu didefinisikan dalam pendeskripsian
batuan beku, antara lain
1) Nama Batuan
2) Warna
a) Warna Segar
b) Warna Lapuk
3) Komposisi Mineral
Terdiri dari tiga indeks warna, yaitu leucocratic, mesocratic,
atau melanocratic. Lihat pula komposisi mineral pembentuk
batuannya, contohnya: kuarsa, plagioklas, dan mineral umum
lainnya dalam tubuh batuan beku.
4) Tekstur (properties of individual grain)
a) Granularitas (grain size)
Granularitas terbagi tiga, yaitu:
 Afanitik : berbutir halus atau besar butiran (phenocryst) <
1mm, tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

10
 Porfiritik: berbutir sedang atau besar butiran 1 – 5 mm,
dapat dilihat dengan bantuan loupe.
 Faneritik: berbutir kasar atau besar butiran > 5mm, dapat
dilihat dengan mata telanjang.

b) Derajat Kristalisasi
Umumnya memberikan informasi tentang kecepatan
pendinginan. Derajat Kristalisasi terbagi tiga, yaitu:
 Holohyalin : secara keseluruhan tersusun atas
gelas/massa dasar dikarenakan proses pendinginan yang
cepat.
 Hipokristalin/Hipohyalin : tersusun atas kristal
(phenocryst) dan gelas (groundmass).
 Holokristalin : secara keseluruhan tersusun atas kristal
(phenocryst) dikarenakan proses pendinginan yang
lambat.
c) Bentuk Kristal
Umumnya menunjukkan rangkaian kristalisasi. Bentuk kristal
terbagi tiga, yaitu:
 Euhedral : bentuk kristalnya masih utuh dan terlihat
bentuknya, seperti crystal form kubik, monoklin, triklin atau
yang lainnya.
 Subhedral : bentuk kristalnya sebagian tidak utuh.
 Anhedral : bentuk asli kristal sudah tidak utuh lagi
sehingga tidak dapat dilihat

5) Struktur
Berikut adalah contoh struktur-struktur yang terdapat pada batuan
beku, antara lain:
a) Masif : keseluruhan kenampakan batuan terlihat
seragam/monoton
b) Vesicular : terdapat lubang-lubang kecil yang berbentuk
bulat atau elips dengan penyebaran yang tidak merata yang
merupakan ruang tempat gas terperangkap pada waktu
magma membeku
c) Amigdaloidal : vesikuler yang telah terisi oleh mineral sekunder
d) Scorius : vesikuler yang penyebarannya merata.
e) Lava bantal (pillow lava) : lava yang memperlihatkan
struktur seperti kumpulan bantal karena keterbentukannya di
laut (gunungapi bawah laut).
f) Columnar joint : struktur yang memperlihatkan bentuk
seperti kumpulan tiang, ini disebabkan adanya kontraksi saat
proses
Beberapa struktur hanya dapat diamati di lapangan dan bukan dari
sampel batuan yang dibawa ke laboratorium, contohnya struktur
columnar joint dan lava bantal. Hal ini dikarenakan sampel batuan

11
yang terbentuk dengan struktur tersebut berciri fisik sama dengan
batuan beku berstruktur lain.
6) Bentuk Tubuh/Kenampakan di Lapangan
Pendefinisian bentuk tubuh batuan beku dilihat dari tekstur dan
strukturnya. Selanjutnya, batuan beku tersebut akan didefinisikan
sebagai batuan beku intrusi atau ekstrusi.
7) Nama Batuan
b. Batuan sedimen klastik
a) Warna
Terdiri dari warna segar dan warna lapuk, sertakan pula variasi
warnanya untuk memperjelas pemerian.
b) Tekstur (Sifat butiran)
1) Besar butir (grain size)
Ditentukan dengan cara membandingkannya dengan Skala
Wentworth
2) Bentuk Butir (grain shape)
Ditentukan dengan bantuan chart yang telah tersedia pada
komparator dan gunakan istilah sangat menyudut (very
angular), menyudut (angular), menyudut tanggung
(subangular), membundar tanggung (subrounded),
membundar (rounded), dan sangat membundar (very
rounded).
3) Kemas (fabric/grain packing)
Kemas adalah derajat keterkaitan antar butiran penyusun
batuan atau hubungan antar butir yang dapat mencerminkan
viscositas (kekentalan) medianya.
c) Struktur Sedimen
1) Struktur sedimen primer (depositional structures). Struktur
sedimen primer adalah struktur sedimen yang terbentuk
bersamaan dengan terbentuknya suatu batuan, contohnya
adalah: graded bedding, parallel lamination, ripple mark, dune
and sand wave, cross stratification, shrinkage crack (mud
crack), flacer, lenticular,
2) Struktur sedimen sekunder (post-deposition structures)
Struktur sedimen sekunder adalah struktur yang terbentuk
setelah pembentukan batuan, contohnya struktur erosional,
struktur deformasi, struktur biogenik.
d) Permeabilitas
Permeabilitas adalah kemampuan suatu batuan untuk meloloskan
fluida.
e) Porositas

12
Porositas adalah perbandingan volume rongga-rongga pori
terhadap volume total seluruh batuan, dan dinyatakan dalam
persen.
f) Pemilahan (Sorting)
Sorting adalah tingkat keseragaman besar butir penyusun batuan,
mencerminkan viskositas media pengendapan serta energi
mekanik/arus gelombang medianya.
g) Kandungan CaCo3
Pengujiannya dilakukan dengan meneteskan larutan HCl 0,1 N
pada permukaan sampel batuan yang masih segar. Jika
mengluarkan reaski berupa buih, maka batuan bersifat bersifat
karbonatan (calcareous), dan begitu pula sebaliknya.
h) Kandungan Mineral
i) Kandungan Fosil
j) Kekerasan
Kompak : Bila tidak dapat dicungkil dengan jarum
penguji

Keras : Bila masih dapat dicungkil dengan jarum


penguji

Agak keras : Bila dapat hancur ketika ditekan dengan


jarum penguji

Lunak : Bila dapat dipotong-potong dengan mudah


menggunakan jarum penguji

Dapat diremas : Bila dapat diremas dengan jari tangan

Spongi : Bersifat seperti karet busa, yaitu jika ditekan


kembali lagi ke bentuk asal

k) Kontak (Hhubungan dengan batuan sekitarnya)

c. Deskprisi Konglomerat dan Breksi


Untuk breksi dan konglomerat, yang harus dideskripsi adalah
komponen dan matriknya.
a) Komponen
1) Komposisi, apakah monomik (jika klastika terdiri dari satu tipe
litologi), Oligomik (terdiri dari 2-3 tipe klastika), polimik
(klastika terdiri lebih dari 3 jenis litologi). Dan tentukan pula
jenis – jenis batuannya, jika batuan beku tentukan sifatnya
apakah basaltis atau andesitis.
2) Ukuran komponen, tentukan ukuran maksimal dan minimal
dari besar komponennya.

13
3) Kemas, tentukan kemasnya (terbuka atau tertutup). Dan lihat
jika ada imbrikasi
4) Kekompakan, apakah komponennya lepas – lepas, atau
monolitik (komponen dan matriks tak dapat dipisahkan).
b) Matriks
Dalam pendeskripsian matrik pada breksi dan konglomerat, dilihat
apakah terdiri satu jenis batuan atau campuran, kemudian
deskripsi seperti biasa.

5. Deskripsi Batuan Karbonat (Batugamping)


Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsi batugamping antara
lain:
a) Nama Batuan, disesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan
b) Warna, deskripsikan warna segar dan warna lapuknya.
c) Feature, dari lapangan tentukan apakah batugamping berlapis atau
terumbu
d) Dominasi, deskripsikan didominasi oleh skletal atau non skeletal
e) Organisme, deskripsikan organisme dari batuan per kelas,
(Gastropoda, Alga, Coral, Bivalve, Foram)
f) Tekstur, penentuan tekstur mengunakan klasifikasi Folk, Dunham,
Embry & Klovan, atau secara konvensional.
g) Struktur
Kenali struktur yang terdapat pada batugamping tersebut.

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hari Pertama : Holcim Educational Forest


a) Stopsite 1
Hasil Pengamatan :
 Perlapisan batuan sedimen
 Deskripsi batu lanau, sandstone, dan batubara
Koordinat : 6˚55.018’S,106˚47.166’E

 Geologi Struktur
Pada stopsite 1 terdapat singkapan yang menunjukkan adanya
perlapisan batuan sedimen yang terkena aktivitas tektonik membentuk
lipatan homoklin. Singkapan tersebut memiliki dimensi panjang 28 m dan
tinggi sekitar 4 m dan di bawahnya terdapat aliran sungai. Bidang perlapisan
pada singkapan tersebut mengarah timur laut dan barat daya dan
mengalami deformasi sehingga bidang perlapisan tidak lagi horizontal.
Terlihat dari jauh singkapan memiliki 5 – 6 lapisan batuan dan bagian
atasnya tertutupi oleh vegetasi liar. Dari lapisan paling atas merupakan
campuran antara blackshale, di lapisan kedua terdapat lapisan sandstone
yang di tengah-tengahnya terdapat lapisan blackshale, dan di lapisan ketiga
sampai ke bawah merupakan campuran dari blackshale, sandstone dan
batubara.
Struktur geologi berupa perlipatan homoklin ini merupakan
perlapisan yang ter-‘tilted’ dengan besar kemiringan dan arah yang sama
pada tiap lapisan batuannya. Berdasarkan pengamatan kami,
keterbentukan lipatan homoklin ini dimulai dengan rotasi progresif dari
perlapisan batuan yang kemudian mengalami pelebaran lapisan.
Umumnya, di sekitaran lipatan homoklin akan ditemukan struktur hogback
dan cuesta. Akan tetapi, karena bagian atas singkapan telah tertutupi

15
vegetasi maka kami tidak dapat mengkonfirmasi keberadaan dua struktur
tersebut. Selain itu, hasil analisa kami juga menyatakan bahwa banyak
bagian dari struktur ini yang sudah tererosi dan memunculkan kerancuan
klasifikasi struktur. Awalnya kami mengira bahwa singkapan tersebut
merupakan struktur antiklin. Akan tetapi setelah kami lakukan pengukuran
dan pengamatan dari dekat, kami mendapati bidang perlapisan memiliki
arah penujaman yang sama dengan pengukuran strike/dip yang hampir
sama besarnya.
Pada singkapan ini kami melakukan pengukuran pada bidang
perlapisan batuan lanau dan sandstone. Perlapisan sandstone memiliki nilai
strike/dip N10E/51 dan pada batuan lanau sebesar N8E/41 yang berada di
bawah sandstone. Berdasarkan hasil pengukuran ini, kami kemudian
menyimpulkan bahwa struktur tersebut adalah lipatan homoklin. Perbedaan
besar strike/dip kami anggap merupakan bentuk human error dalam proses
pengukuran yang dapat diabaikan.

 Petrologi
Pada stopsite 1 ini terdapat tiga jenis batuan sedimen yang
terdapat dalam satu singkapan. Tiga batuan tersebut membentuk laminasi.
Batuan yang ditemukan, yaitu blackshale, claystone atau mudstone, dan
siltstone atau batuan lanau.
Blackshale pada daerah ini memiliki warna lapuk krem dan warna
segarnya hitam keabuan. Blackshale tidak mengandung komposisi CaCO3
dengan kilap earthy (kilap tanah). Jika dilihat dari bentuk fisiknya, batuan ini
belum dapat dikatakan sebagai batu bara karena pada batuan tersebut
masih terdapat mud atau lumpur.
Batuan kedua yaitu claystone atau mudstone. Batuan ini memiliki
warna lapuk cokelat dan warna segar abu – abu hitam. Jenis kilap dari
batuan ini earthy tanpa ada kandungan CaCO3.
Batuan yang ketiga yaitu siltstone atau batuan lanau. Batuan ini
memiliki warna lapuk merah dan warna segar abu – abu. Ukuran butirnya
𝟏 𝟏
merupakan jenis silt (𝟐𝟓𝟔 − ) dengan bentuk butir subrounded yang
𝟏𝟔

16
kemasnya tertutup. Batuan lanau ini memiliki struktur yang massive
bedding. Kandungan mineral dari batuan ini tersusun dominan dari mineral
kuarsa serta tidak memiliki kandungan CaCO3. Kekerasan dari batuan
lanau ini dapat diremas dengan kemas yang selaras.

Perlapisan batuan pada singkapan stopsite 1

 Geodinamika
Lingkungan Holcim Educational Forest (HEF) menurut Peta
Geologi Regional Dept. Geosains FMIPA UI terdapat di Formasi Walat yang
merupakan bagian dari Formasi Bayah. Formasi Bayah yang berumur
Eosen merupakan batuan tertua yang ada di Blok Bogor dengan lingkungan
pengendapan darat sampai laut dangkal dan terdiri atas batupasir kuarsa,
perselingan konglomerat dengan batulempung dan sedikit batubara
menutupi Formasi Ciletuh secara selaras. Menurut sumber yang kami
peroleh, sampai sekarang di Jawa Barat tidak pernah dijumpai batuan
berumur Eosen Akhir-Oligosen Awal, oleh karena itu, pada rentang waktu
tersebut diperkirakan Formasi tersebut berada dalam lingkungan laut
dangkal. Di atas Formasi Bayah, diendapkan Formasi Batuasih yang
berumur Oligosen Atas yang terdiri dari batulempung dan batulanau.
Setelah itu diendapkan Formasi Rajamandala yang berumur Miosen Bawah
dan terdiri dari batugamping, batugamping terumbu dan kalkarenit. Pada
beberapa tempat kita dapat melihat singkapan Formasi Bayah ditutupi

17
langsung oleh Formasi Rajamandala seperti yang terlihat pada singkapan
yang ada di Gunung Walat (Martodjojo, 1984).

18
Paleontologi Formasi Nyalindung
Sumber : Syarifudin, 2011

19
b) Stopsite 2
Hasil Pengamatan : Struktur patahan utama dan penyerta
Koordinat : 6˚55.0’S,106˚47.11’E

a) Geologi Struktur
Pada stopsite 2 ini terdapat singkapan dengan dua kenampakan
struktur berupa patahan utama dan patahan penyerta yang di tengah
tengahnya terdapat shear zone yang dialiri air terjun. Struktur utamanya
bersifat dekstral sedangkan struktur penyertanya bersifat oblique. Sifat-
sifatnya terlihat dari adanya slicken
line dan struktur penanggaan yang
jelas yang terlihat pada bidang
patahan dua struktur ini.
Dari pengukuran yang
dilakukan diperoleh nilai strike/dip
pada struktur utama bernilai
N180E/85 dengan memiliki pitch 90°
yang terklasifikasi sebagai right slip
fault (Rickard, 1972). Sedagkan
Singkapan di stopsite 2
struktur penyerta memiliki strike/dip
sebesar N336E/59 dengan pitch 30° yang tergolong ke dalam normal left
slip fault (Rickard, 1972).

20
Struktur penanggaan pada struktur utama

Struktur utama dilihat dari jauh

Struktur penanggaan pada struktur penyerta

b) Petrologi
Pada stopsite kedua hanya terdapat sandstone. Sandstone ini
memiliki warna lapuk cokelat kemerahan dan warna segar abu – abu.
Tekstur butirannya sangat halus (very fine sand) dengan bentuk butir
subrounded. Kemas dari batuan ini tertutup dengan struktur batuan massive
bedding. Pada batuan ini tidak mengandung CaCO3 dan fosil, serta

21
kandungan mineralnya yaitu tersusun dominan dari kuarsa. Kekerasan batu
pasir ini agak keras dengan kontaknya selaras.

c) Stopsite 3
a) Geologi Struktur
Pada stopsite ini terdapat singkapan yang terletak di tengah-tengah
danau yang merupakan zona konservasi. Setelah diamati lebih lanjut
singkapan tersebut merupakan patahan oblique berjenis reverse right slip
fault. Pada singkapan ini juga terdapat shear zone yang memisahkan dua
blok patahan yang bergerak. Pada singkapan batuan di stopsite ini juga
terlihat jelas keberadaan slicken line dan struktur penanggaan yang
menunjukkan patahan yang bergerak menganan.
Berdasarkan proses pengukuran yang kami lakukan, diperoleh nilai
strike/dip N207E/64 dengan nilai pitch sebesar 20° arah selatan. Menurut
klasifikasi Rickard (1972), patahan ini terklasifikasi sebagai reverse right slip
fault.

Singkapan patahan di stopsite 3

b) Petrologi
Pada stopsite tiga ini tersusun dari satu jenis batuan saja, yaitu
sandstone. Sandtone pada daerah ini memiliki warna lapuk hitam dan

22
warna segar krem. Tekstur batuannya pasir kasar (coarse sand) dengan
bentuk butirannya subrounded yang kemasnya sedang.
Struktur batuannya massive bedding dengan tidak mengandung
CaCO3 dan fosil. Kandungan mineral utama dari batuannya ini adalah
kuarsa dengan sedikit mineral lain seperti plagioklas. Kekerasannya dapat
diremas dan memiliki kontak batuan yang selaras.
c) Geomorfologi
Triangular facet, merupakan bentukan morfologi berbentuk segitiga
ditandai dengan adanya lipatan, sesar, dan aliran air di bidang miring.
Triangular facet, secara umum adalah indikator dari patahan yang aktif di
gunung dan pegunungan,serta menunjukan patahan asli yang berbentuk
segitiga atau gundukan degredasi segitiga. Dapat dikatan bahwa triangular
facet adalah perpaduan antara fault slip, pembentukan lingkungan tanah,
dan erosi dari bukit. Resistansi batuan menjadi faktor pengontrol yang
penting sehingga permukaan faset tidak terekspos proses pelapukan yang
berlebihan yang dapat menyebabkan footwall menjadi didominasi oleh batu
lumpur dan argillites. Secara singkat, triangular facet adalah bentukan
morfologi gunung atau pegunungan yang tersusun menyerupai bentuk
segitiga.

Sketsa triangular facet (garis biru menunjukkan bidang erosi)

23
Kenampakan triangular facet pada stopsite 3. Garis warna biru menunjukkan bidang erosi.

3.2 Hari Kedua : Geyser Cisolok, Sungai Citiis, dan Pantai Karang Hawu
a) Stopsite 1
 Fumaroles
a) Petrologi
Pada stopsite 1 daerah fumaroles pada hari kedua di daerah cisolok
terdapat 2 jenis batuan dalam satu formasi yang sama yaitu tuff dan batuan
karbonat.
Batuan jenis pertama yaitu batuan tuff memilki warna lapuk coklat
dan warna segar abu-abu. Butiran peyusun dari batuan ini adalah ash
dengan jenis sortasi pada batuan ini sedang dengan kemas terbuka serta
memiliki jenis kekerasan yang agak keras. Struktur dari batuan ini yaitu
masif dengan keterbentukan (fasies) di daerah medial.
Batuan yang kedua merupakan jenis batuan kabonat. Batuan ini
memiliki warna lapuk hitam keabuan dan warna segar putih kusam. Ukuran

24
butir dari batuan ini sebesar >2mm dengan tipe allocchtonous. Komposisi
micrite dari batuan ini tergolong ke dalam mud supported atau tersusun
dominan oleh mud. Dalam batuan ini ditemukan fosil foraminifera besar
dengan jumlah yang tidak begitu banyak. Berdasarkan ciri-ciri di atas,
disimpulkan nama dari batuan ini sebagai Bioclastic Foraminiferal
Mudstone.
b) Geodinamika
Cisolok merupakan salah satu daerah prospek panas bumi di Jawa
Barat, terletak paling barat di Kabupaten Sukabumi dan berbatasan dengan
Kabupaten Lebak. Salah satu manifesatasi dari panas bumi tersebut adalah
kemunculan geyser. Geyser ditandai adanya semburan fluida panas dari
dalam bumi. Jika dilihat dari sisi geologi, adanya geyser ditandai dengan
litologi batuan yaitu batuan lempung yang sudah mengalami mineralisasi.
Geyser merupakan fluida hidrotermal yang keluar dari celah-celah batuan
silika dengan tekanan tertentu dari dalam bumi. Celah-celah tersebut
diakibatkan oleh sesar mendatar cimandiri bersifat dekstral yang
mengakibatkan adanya rekahan, dimana ketika fluida hidrotermal tersebut
berasosiasi dengan arus konveksi dan mengalir ke atas permukaan bumi
melewati kekar yang sudah terisi oleh mineralisasi.
Geyser Cisolok adalah sumber air panas yang terjadi karena
adanya patahan dari gaya tekanan pada zona subduksi magma. Ketika
subduksi terjadi antar lempeng samudera dan benua, lempeng samudera
menujam ke bawah dan menghasilkan panas bumi yang menjalar ke atas
permukaan membentuk penggunungan Gede Pangarango. Panas bumi
tersebut bertemu dengan air tanah yang mana terajdi pemanasan fluida
atau hidrotermal. Setelah itu hidrotermal tersebut menjalar melalui celah-
celah patahan mendatar dekstral Cisolok kemudian keluarlah semburan
fluida panas yang keluar yang dinamakan geyser.
Semburan fluida panas geyser Cisolok diketahui berasal dari panas
bumi Gunung Gede Pangrango secara outflow, yang artinya sistem out flow
merupakan sistem geotermal yang menunjukan bahwa fluida hidrotermal
mengalir ke permukaan bumi dengan arah yang menjauh atau membelok

25
dari dapur magma dimana tekanan yang semakin kecil ke dalam
permukaan bumi. Berbeda dengan sistem out flow, sistem up flow mengalir
ke permukan bumi tepat tegak lurus dengan dapur magma, dan semakin ke
dalam bumi tekanannya semakin besar. Selain itu suhu geothermal outflow
tidak sepanas suhu upflow.

Zona Outflow dan Up flow.


Sumber : https://ars.els-cdn.com

 Geyser Mati dan Batuan Karbonat


a) Petrologi
Pada spotsite 1 bagian geyser mati dan batuan karbonat,
ditemukan batuan sedimen jenis sandstone, pada daerah tersebut juga
terdapat singkapan karbonat yang diperkirakan dapat membentuk lapisan
karst. Terdapat erosi pada bagian bawah singkapan yang diakibatkan
adanya arus sungai yang mengikis batuan tersebut. Panjang singkapan
karbonat yang ditemukan dan yang diteliti sekitar 3 meter.
Batuan sedimen pada daerah ini memilliki warna lapuk merah
kecoklatan dengan warna pada baian segar abu-abu keputihan. Tekstur
pada batuan ini yaitu memiliki ukuran butir pasir yang sangat halus (very
fine sand) dengan bentuk butir yang membundar (rounded). Kemas dari
batuan ini yaitu adalah kemas tertutup.
Struktur sedimen dari batuan sedimen ini yaitu massive bedding
dan saat ditetesi laurutan HCl tidak mengeluarkan buih yang menandakan

26
tidak terdapatnya kandungan CaCO3. Batuan ini berasosiasi dengan
mineral pyrite namun tidak memiliki kandungan fosil didalamnya. Batuan ini
memiliki permeabilitas yang buruk karena saat ditetesi oleh air tidak mudah
melalui batuan tersebut. Batuan ini memiliki kontak selaras yang tegas.
Nama batuan ini adalah batuan breksi gamping.
Pada bongkahan batu yang berada di geyser mati Cisolok terdapat
vein yanng muncul karena adanya kekar. Kekar timbul karena adanya suhu
panas dan kemudian terisi oleh mineral kalsit pada vein tersebut.

b) Stopsite 2
 Geologi Struktur
Pada daerah ini masih di area geyser Cisolok, tetapi status
geysernya sudah mati. Hal ini dapat disebabkan karena tekanan yang
berkurang, vein yang terdapat dibawah tidak terakomodasi, patahan,
rekahannya tertutup sehingga semburan fluida panas tersebut tersumbat
dan tidak dapat keluar.

 Petrologi
Pada stopsite 2 ini ditemukan dua jenis batuan yakni batuan beku
dan batuan sedimen karbonat. Batuan sedimen karbonat yang kami
temukan tersusun membentuk batuan auto breksi. Dari singkapan batuan
tersebut, kelompok kami mengambil 4 sampel untuk dideskripsi yakni 1
matriks batuan sedimen dan 3 deskripsi dari fragmen batuan breksi
tersebut.
Batuan pertama yaitu batuan beku dasit. Batuan ini memiliki warna
lapuk abu kecoklatan dan warna segar abu-abu muda. Beberapa mineral
yang mungkin terkandung pada batuan ini diantaranya pyrite, plagioklas,
kuarsa, dan hornblende. Tekstur dari batuan ini yaitu memiliki granularitas
berupa porfiritik, dengan derajat kristalisasi hipokristalin dan bentuk kristal
anhedral. Batuan ini memiliki struktur masif dengan bentuk tubuh batuan
intrusi.

27
Sampel batuan kedua yaitu matriks dari auto breksi gamping, yang
memiliki warna lapuk coklat tua dan warna segar abu-abu. Batuan ini
memiliki ukuran butir kasar (coarse sand) dengan bentuk butir sub-angular
yang didalamnya terkandung mineral kuarsa dan CaCO3. Jenis batuan ini
adalah Auto Breksi Gamping.
Fragmen pertama pada batuan ini yaitu batuan yang mengandung
mineral kalsit. Warna dari fragmen kalsit ini memiliki warna lapuk cokelat
kekuningan dan warna segar putih transparan. Ukuran dari butir fragmen
ini lebih besar dari 2 mm dengan tipe kristal. Micrite atau matriks dari
fragmen ini mud supported.
Fragmen kedua dari batuan ini yaitu bioclastic foraminiferal
mudstone. Fragmen ini memiliki warna lapuk cokelat kekuningan dan
warna segar hitam keabuan. Ukuran butir dari fragmen ini lebih dari 2 mm
dengan tipe allochtonous. Dalam fragmen ini terdapat komponen fosil
berupa foraminifera besar dengan micrite yang didominasi oleh mud.
Fragmen yang ketiga yaitu bioclastic foraminiferal packstone.
Fragmen ini memiliki warna lapuk cokelat kekuningan dan warna segar abu
– abu kehitaman. Ukuran butirnya besar dari 2 mm dengan tipe
allochtonous, fragmen ini terdapat foram besar dengan micrite didominasi
oleh grain supported

c) Stopsite 3
 Geologi Struktur
Pada stopsite 3 di Pantai
Karang Hawu terdapat singkapan
berupa struktur kekar yang terdiri dari
beberapa joint set dengan luas
keseluruhan singkapan 20 x 4 meter.
Kelompok kami, kelompok 1, mendapat
kavling 4 meter pertama.
Pada singkapan tersebut,
Sketsa singkapan kekar di Pantai Karang Hawu
kelompok kami menyimpulkan bahwa

28
terdapat 2 joint set, yang berorientasi barat laut-tenggara dan timur laut-
barat daya. Struktur utama dari singkapan ini adalah kekar dengan label
nomor 6 pada sketsa yang berarah timur laut-barat daya dan memiliki
diameter rekahan terbesar.
Kronologi dari keterbentukan singkapan ini menurut pengamatan
kelompok kami dimulai dari adanya gaya tektonik yang men-generate
kekar berorientasi timur laut-barat daya. Gaya tektonik ini kemudian
memunculkan kekar utama berlabel nomor 6 engan nilai strike/dip
N30E/69. Gaya tektonik pertama ini kami interpretasi juga memunculkan
kekar lain dengan arah sejajar kekar utama, yaitu kekar berlabel 9 dan 10
dengan strike/dip N218E/66 dan N218E/54. Selanjutnya, gaya tektonik
kedua memunculkan kekar-kekar lain yang berorientasi barat laut-
tenggara, yaitu kekar berlabel 1 (N300E/56), 2 (N317E/63), 3 (N312E/60),
4 (N323E/68), dan (N334E/61).
Pada kavling kami terdapat struktur kekar yang lumayan menarik
yang membentuk segitiga. Pada gambar struktur kekar berbentuk segitiga
yang diperjelas, kekar berlabel 2
dan 3 merupakan kekar yang di
generate oleh gaya tektonik yang
sama dengan kekar berlabel 1.
Kekar ini seharusnya merupakan
kekar yang berorientasi barat laut-
tenggara. Akan tetapi,
Kekar berbentuk segitiga
dikarenakan lapisan terusan dari
kekar berlabel 1 lebih keras maka kekar tersebut mencari jalur lain dan
menghasilkan kekar berlabel 2 dan 3 yang memiliki orientasi yang
berbeda dengan kekar 1.
Beberapa dari hasil pengukuran kami, terdapat beberapa data
pengukuran yang tidak sesuai dengan keadaan lapangan dikarenakan
factor kesalahan pengukuran dengan kompas.
 Geomorfologi

29
Wilayah Geomorfologi Pantai Karang Hawu berada di kabupaten
Sukabumi, provinsi Jawa Barat. Dilihat dari zonanya, wilayah Jawa Barat
menurut van Bemmelen pada tahun 1949 terbagi kedalam emapat zona
yaitu zona pertama Zona Jakarta, kedua adalah zona Bogor, ketiga
adalah zona Bandung dan terakhir adalah zona pegunungan selatan.
Zona Jakarta meliputi pantai utara Jawa Barat dari Serang hingga
Cirebon. Zona wilayah Bogor meliputi pantai barat Pandeglang, setelah
itu. Zona Bandung meliputi pantai barat Pandeglang ke arah selatan
hingga Pantai Palabuhanratu yaitu wilayah pegunungan Bayah dan
terakhir adalah Zona pegunungan selatan yang terdiri dari wilayah
pantai selatan Jawa Barat.
Sedangkan berdasarkan letak geografisnya, Pantai sukabumi
masuk ke dalam zona Bandung. Begitu juga pantai Karang Hawu
merupakan bagian dari kabupaten Sukabumi dan tergabung dalam
Geopark Cileteuh Pelabuhan Ratu. Pada zona ini umumnya memiliki
jenis pantai berkarang, atau berbatu.
Pantai Zona Bandung adalah hasil dari depresi di antara
gunung-gunung dengan bentuk morfologi pantainya membentuk
lengkungan yang dimulai dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah
Cimandiri ke timur melalui Kota Bandung dan berakhir di Sagara Anakan
di Muara Sungai Citanduy sehingga morfologi pantai Karang Hawu
berbentuk Lengkung atau setengah lingkaran

Geomorfologi Pantai Karang Hawu, Membentuk lengkungan

Dilihat dari morfologi jenis ombak termasuk kedalam jenis


Gelombang Swash dan Back swash. Gelombang Swash adalah
gelombang kelanjutan dari gelombang translasi, yaitu berupa desakan
massa air laut ke daratan atau ombak air yang ke daratan. Sedangkan
Back swash adalah kembalinya swash dari pantai ke wilayah laut atau

30
yang sering kita lihat ombak yang bergerak kembali ke lautan setelah
menghempaskan kedaratan.
Bentukan penyusun morfologi pantai Sukabumi, terutama
Karang Hawu yaitu terdapat banyak perbukitan di sekeliling pantai
karang Hawu. Bentukan pantai Karang Hawu sesuai dengan ciri pantai
selatan yaitu bentukan pantai terjal,. Gelombang yang dihasilkan yaitu
gelombang yang cukup tinggi namun tidak setinggi gelombang Surf
sehingga tidak termasuk kedalam jenis gelombang Surf. Hal ini
berbeda jika dibandingkan dengan pantai Ancol yang memiliki arus
tenang serta bentukan pantai yang landai.
Karena geomorfologi pantai berupa pantai terjal dengan
banyak ditemukan batuan sedimen, maka pantai Karang Hawu tidak
berpotensi terjadinya abrasi pantai (Wahyudin,Yudi 2011).

31
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan kuliah lapangan yang telah ditempuh selama 3 hari mulai 1 Desember
2017 – 3 Desember 2017 lalu di wilayah kota Sukabumi, kelompok kami menarik beberapa
kesimpulan, diantaranya adalah:
1. Kenampakan geomorfologi yang ditemui di setiap stopsite merupakan hasil dari
perpaduan proses geodinamika dan geologi struktur sehingga sangat dianjurkan
untuk memahami semua bidang-bidang geologi dengan baik.
2. Pada perkuliahan di hari pertama di wilayah Holcim Educational Forest ditemukan
banyak struktur geologi yang diduga disebabkan adanya pergerakan lempeng Indo-
Australia dan Eurasia yang menghasilkan zona subduksi di selatan Jawa yang juga
adalah wilayah kota Sukabumi. Keterjadian subduksi ini juga mempengaruhi
kandungan mineral dominan di wilayah ini, yaitu kuarsa.
3. Pada perkuliahan di hari kedua di wilayah Palabuhan Ratu yakni geyser Cisolok,
sungai Citiis, dan pantai Karanghawu ditemukan juga banyak struktur geologi.
Ketiga stopsite tersebut berada pada satu formasi yang sama yaitu formasi Cikotok.
4. Dari kajian Petrologi, daerah Citiis memiliki keterkaitan dengan daerah geyser
Cisolok yang berada di hulu sungai Citiis terutama dalam pembentukan batuan
breksi yang terdapat di Citiis.

4.2. Saran
Adapun saran dari kelompok kami adalah sebagai berikut :
1. Kuliah lapangan dengan jumlah peserta dan staff yang besar tentunya harus
memiliki koordinasi yang tinggi baik dari ketepatan waktu maupun komunikasi
secara tim. Kelompok kami (Kelompok 1) tiba di Holcim Educational Forest pada
hari pertama telat karena ternyata supir bus memilih untuk berhenti sejenak di pom
bensin selama satu jam. Walaupun hal tersebut penting karena banyak mahasiswa
membutuhkan toilet, namun hal tersebut menyebabkan alur acara berubah. Karena
keterlambatan bus, kelompok kami terpaksa tidak mengunjungi salah satu stopsite
di Holcim Educational Forest. Alangkah lebih baik jika panitia melakukan briefing

32
yang lebih jelas mengenai mekanisme alur acara kepada seluruh orang yang
berpartisipasi dalam acara kuliah lapangan ini tak terkecuali terhadap supir bus.
2. Kuliah lapangan untuk dua hari tersebut merupakan field work yang membutuhkan
alat-alat geologi yang memiliki peran vital demi berlangsungnya aktivitas kuliah
lapangan. Alangkah lebih baik bila segenap mahasiswa geosains angkatan 2016
mengumpulkan dana untuk membeli alat-alat geologi tersebut dalam jumlah yang
cukup dan beberapa minggu sebelum kuliah lapangan. Hal tersebut dapat
mencegah adanya kekurangan alat-alat atau rasa tergesa-gesa karena beberapa
hari sebelum kuliah lapangan masih mencari alat yang kurang. Selain itu, seluruh
mahasiswa memiliki alat yang seragam sehingga tidak timbul perbedaan.
3. Untuk masalah alat -alat lapangan, diperlukan kebijakan dari Departemen Geosains
untuk melengkapinya, supaya tidak meminjam kepada departemen lain ataupun
Universitas lain sehingga dapat mengurangi biaya operasional yang diperlukan.
4. Kuliah lapangan yang telah berlangsung merupakan kuliah lapangan pertama yang
lebih mendalam bagi segenap mahasiswa geosains karena materi yang diobservasi
sudah lebih menjurus dan kompleks. Tentunya kami sebagai mahasiswa
membutuhkan pendamping dosen sebagai sosok yang lebih berpengalaman dalam
field work agar hasil observasi lebih akurat dan sistematis. Alangkah lebih baik bila
jumlah dosen yang ikut serta dalam aktivitas kuliah lapangan berjumlah lebih
banyak sehingga seluruh mahasiswa mampu mendapatkan ilmu yang sama rata.
5. Untuk penginapan, Pusdiklat merupakan sarana istirahat yang sudah sangat baik,
namun ada beberapa hal yang harus diperbaiki lagi. Pertama, air kamar mandi
sering kali mati di waktu mahasiswa sedang istirahat dan ingin membersihkan diri
dari aktivitas field work yang tentunya menghasilkan keringat. Kedua, insiden air
mati ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut dengan jangka waktu selama
satu jam. Masalah air mati ini berlaku untuk beberapa kamar saja, namun hal
tersebut menyebabkan sedikit ketidaknyamanan. Tentunya pihak Pusdiklat dapat
memperbaiki masalah air mati ini di kunjungan berikutnya.

33
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Kurnia. 2010. Tugas Akhir A : Geologi Daerah Cihea dan Sekitarnya, Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Bandung : Institut Teknologi Bandung

Carlson, D.H., Plummer, C.C., dan McGeary, D. (2008). Physical Geology Earth Revealed
Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill

Davis, G.H., Reynolds, S. J., dan Kluth, C. F. (2011). Structural Geology of Rocks and
Regions Third Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Fossen, H. (2010). Structural Geology. New York: Cambridge University Press.

Frank, J. (2009). Topographic Expression of Active Faults in The Foothills of The Northern
Apennines.

Skinner, B.J. dan Porter, S.C. (1987). Physical Geology. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Syarifin. 2011. Paleontologi Formasi Nyalindung. Bandung : Fakultas Teknik Geologi

34

Anda mungkin juga menyukai