Anda di halaman 1dari 4

1

1.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari
kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual keagamaan yang di
laksanakan dan di lestarikan oleh masing-masing pendukungnya. Ritual keagamaan
tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud dan tujuan yang
berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lainnya. Hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat
serta tradisi yang di wariskan secara turun temurun. Upacara keagamaan dalam
kebudayaan Suku Bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling tampak
lahir. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ronald Robertson, (1988, h. 30)
bahwa agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang
tingkah laku manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di
akhirat (setelah mati), yakni sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya,
baradab, dan manusiawi yang berbeda dengan cara- cara hidup hewan atau mahluk
gaib yang jahat dan berdosa. Namun dalam agama- agama lokal atau primitif ajaran-
ajaran agama tersebut tidak di lakukan dalam bentuk tertulis tetapi dalam bentuk
lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi atau upacara-upacara.
Tradisi adalah sebuah kata yang sangat akrab terdengar dan terdapat di
segala bidang. Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacu pada adat atau
kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi
Tolak Bala atau Rabu Abeh adalah hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang mana pada
bulan Safar Allah SWT banyak menurunkan berbagai bentuk macam Bala di muka
bumi. Menurut pandangan masyarakat, bahwa “Uroe Rabu Abeh‟‟ memang diindentik
dengan Bulan Bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka
yang lebih besar dengan melakukan proses “Tolak Bala‟‟ yang dirayakan pada hari
Rabu terahir dalam Bulan Safar. Bulan Safar adalah salah satu bulan di dalam
kalender Hijriah yang diindentik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak
menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang
membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di
Aceh sering juga di sebut sebagai “ Bulan Panas‟‟ atau buleun seum‟‟ Bulan Safar bagi
masyarakat Aceh Gampong Blang Baro Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya
diindentik dengan Bulan “Turun Bala‟‟ dari sang pencipta ke bumi. Pada masa
2

Rasulullah SAW Tolak Bala ini tidak ada, demikian juga pada masa sahabat. oleh
karena itu tidak ada sedikitpun hadits yang menerangkan tolak bala tersebut.
Menurut Kriyantono (2007, h. 23) Globalisasi budaya (globalisasi kultural)
terjadi di mana-mana antara dua belahan dunia yaitu dunia Barat dengan dunia Timur.
Globalisasi budaya terus-menerus sampai ke pelosok dunia, bahkan Aceh sebelum
dunia mengenal istilah globalisasi secara gamblang, Aceh sudah pernah mengalami
globalisasi budaya, di mana Aceh sebelum perkembangan budaya Islam sudah terlebih
dahulu dikuasai oleh budaya Hindu. Sehingga akibat peristiwa tersebut terjadilah
akulturasi budaya antara budaya Hindu dengan budaya Islam, yaitu salah satu di
antaranya Tradisi Tolak Bala. Para Mubaliq Islam yang menyebarkan agama
Islam di Aceh, sangat menghormati budaya Hindu yang terlebih dahulu memasuki
Aceh salah satunya adalah Tradisi Tolak Bala.
Menurut Mohd. Harun (2009, h. 12) Pada masa penganut Hindu-Budha Tradisi
mereka dalam Ritual Tolak Bala adalah dengan berbondong-bondong masyarakat pergi
ke sungai dengan menghanyutkan sesajen yang didalamnya berisi seperti kepala
kerbau, ayam jantan, nasi dan bermacam-macam lainya. Maka setelah datangnya
Islam di Aceh Ulama menganti Ritual tersebut dengan cara berdoa dibibir sungai
secara berjama‟ah, seperti mengucapkan doa Tolak Bala, Dalail Khairat, Yasin, dan
doa-doa lainnya. Tradisi ini masih berlaku di Aceh khususnya di Gampong Blang
Baro Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya. Maka dari itu dilaksanakanya upacara
tolak bala untuk menghindar dari berbagai musibah. Sebagai manusia kadang kala kita
sering lupa diri, sehingga dengan seenaknya baik disadari maupun tidak manusia itu
telah berbuat bathil. Apabila hal yang demikian terus berlanjut, maka Allah SWT pun
sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara. Baik itu
musibah penyakit, kebakaran besar, angin kencang, dan kemarau berkepanjangan.
Apabila itu telah menimpa dan tidak bias dihindari maka jalan satu-satunya adalah
berdoa kepada Allah SWT , dan memohon ampunan maka diadakanlah kenduri Tolak
Bala ini.
Dalam rangka masyarakat melaksanakan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan
hidup biasanya dipengaruhi oleh adanya kepercayaan dan nilai-nilai yang
dianutnya seperti nilai budaya, hukum, norma-norma maupun aturan-aturan khusus
lainnya. Demikian pula dengan anggapan masyarakat di Gampong-gampong terhadap
Tradisi Tolak Bala merupakan suatu bentuk tindakan sekaligus sebagai wujud dari
3

ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan vertikal dengan penghuni dunia
gaib. Penyelenggaraan Tradisi Tolak Bala mempunyai kandungan nilai yang penting
bagi kehidupan masyarakat di Gampong, karena dianggap sebagai suatu nilai budaya
yang dapat membawa keselamatan diantara sekian banyak unsur budaya yang ada pada
masyarakat.

Tulak Bala Sebagai Tradisi Masyarakat Aceh Dalam Menghadapi Virus Corona

Dalam menyikapi wabah Virus Corona setiap daerah memiliki cara yang berbeda-
beda. Aceh sebagai daerah yang indentik dengan syariat Islam juga memiliki cara
tersendiri dalam menghadapi wabah Virus Corona. Salah satu cara yang dilakukan
masyarakat Aceh adalah dengan menghidupkan kembali tradisi Tulak Bala.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana sebuah wabah dalam perspektif
historis masyarakat Aceh serta bagaimana tradisi Tulak Bala yang dilakukan
masyarakat Aceh dalam menghadapi Virus Corona.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, dokumentasi dan wawancara dan
penyajian data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebuah wabah bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat Aceh. Wabah telah terjadi
sejak agresi Belanda ke-2 dengan penyebaran wabah kolera yang membuat banyak
warga meninggal dunia. Tradisi Tulak Bala yang dilakukan masyarakat Aceh
merupakan sebuah tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun yang diwariskan
para pendahulu. Tradisi ini dipercaya dapat menghalang dan menghilangkan segala
bentuk wabah dan musibah. Masyarakat Aceh meyakini bahwa wabah merupakan
pemberian Allah Swt sehingga untuk dapat menghadapinya harus meminta
pertolongan kepada Sang Khalik.
Keadaan yang memprihatinkan yang diakibatkan oleh Virus Corona telah
memunculkan kesadaran Theologis atau kesadaran keagamaan pada setiap orang
khususnya Muslim. Kesadaran ini yang membuat manusia menyandarkan segala bentuk
musibah termasuk wabah virus corona ini kembali Tuhan yang kemudian
diimplementasikan dalam beragam bentuk amalan agama, seperti do’a, zikir, qunut

nazilah yang dilakukan dalam skala kecil maupun besar. Sebagiannya lagi
menambahkan untuk meminta pemerintah untuk menganjurkan dan
4

menginstruksikan umat Islam agar membaca Surat Yasiin setelah magrib dan setelah
subuh.
Dalam menyikapi virus corona, setidaknya ada beberapa hal yang disoroti oleh

beberapa para ulama mengenai virus ini, yaitu; (1) wabah corona merupakan pemisah
antara orang yang beriman dengan yang tidak; (2) pengingat atas kesombongan yang ada
pada manusia; (3) adanya hikmah Tuhan dari setiap musibah yang datang; dan (4) virus

corona merupakan sebagai pengingat bagi manusia untuk menata diri lebih baik.

Langkah preventif lain juga terlihat berbeda adalah langkah pencegahan yang
dilakukan oleh masyarakat Aceh. Sebagai daerah yang memiliki syariat Islam tentu
peran dan otoritas ulama sangat kental dan mempengaruhi pola masyarakat Aceh dalam
menyikapi beragam hal, termasuk dalam menyikapi Virus Corona (Covid-19). Oleh
karena itu yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah bagaimana wabah alam
historis masyarakat Aceh, dan bagaimana Tradisi Tulak Bala yang digunakan masyarakat
Aceh dalam menghadapi Virus Corona.

Anda mungkin juga menyukai