Anda di halaman 1dari 11

Nama : Difla Hikmah Aulia

Prodi : IAT A
Dosen pengampu : Muhammad Ikhwan, M.Sy
Fungsi Hadis, Posisi hadis dalam proses pembentukan syari’at

A. Fungsi Hadits
1. Fungsi Hadits Terhadap alQur`an

Fungsi al-Hadits terhadap alQur`an yang paling pokok adalah sebagai bayân, sebagaimana ditandaskan
dalam ayat: “ keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)”. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas
memberikan penjelasan tentang kitab Allah. Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada alhadîts.
Umat manusia tidak akan bisa memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut. AlQur`ân bersifat
kullydan ‘am, maka yang juz’iy dan rinci adalah alhadîts.contoh serta gambaran tentang bagaimana al-
hadîts menjelaskan isi al-Qur`ân:
1. Al-Qur`ân telah menghalalkan makanan yang baik-baik (Qs.5:1), dan megharamkan yang
kotorkotor (Qs.7:156); tetapi di antara keduanya (di antara yang baikbaik dan yang kotor-kotor) itu ada
terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat, yang samarsamar (tidak nyata baik dan tidak nyata
buruknya). Ukuran baik dan buruk pun menurut pandangan manusia akan berbeda. Oleh sebab itu, Rasul
SAW yang menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk itu, dengan istilah halal dan haramnya.
Beliau mengharamkan segala hewanhewan (binatang-binatang) buas, yang mempunyai taring, dan
burung-burung yang mempunyai kuku yang mencakar dan yang menyambar, demikian juga beliau
mengharamkan keledai jinak (bukan keledai hutan), karena semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor
dan yang keji.1
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak memabukan, dan mengharamkan
segala minuman yang memabukkan. Di antara yang tidak memabukkan dan yang memabukkan ada
beberapa macam minuman, yang sebenarnya tidak memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau
memabukkan juga, seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang ditaruh dalam bejana
yang dicat dengan ter dari dalamnya (al- Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu yang
Hadis Sebagai Sumber Otoritatif Hukum Islam
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima oleh
hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran
dilobangi (al- Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan dan membawa kebinasaan.
2
Kemudian Rasulullah SAW kembali menghalalkan segala sesuatu yang tidak memabukkan. 3

1
Perhatikan hadits-hadits, fiy ma la yu`kal minal-hayawan, at-Taj, (Maktabah al-Husna, Beirut: 1998), 95-96.
2
Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, AtTaj, III: 140.
3
Hadits riwayat Khamsah kecuali Bukhari dari Buraidah, At-Taj,III:141.
3. Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap oleh hewan-hewan
pemburu yang sudah diajar dengan patuh dan mengerti. Jelas, apabila hewan pemburu itu belum terlatih,
maka haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa
hewan yang ditangkapnya itu buat dirinya sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar antara dua
masalah yaitu: apabila hewan pemburu itu sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya
sendiri, tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tandatanda bahwa buruannya itu telah dimakannya
sendiri sekalipun sedikit, maka bagaimanakah hukumnya?Sunnah Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa
jika buruan itu dimakan oleh Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komunitas
muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.anjing
pemburu, maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan hewan yang ditangkapnya itu
untuk dirinya sendiri.4
4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan dengan muthlaq, artinya tidak
me-makai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka diwajibkan jaza (balasan) atas orang yang
melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu dikecualikan bagi orang yang halal, artinya
bagi yang tidak mengerjakan ihram.
Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana hukumnya
orang yang sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh Rasul SAW dijelaskan bahwa
memburu buruan bagi orang yang sedang ihram itu, sama saja, hukumnya antara yang sengaja dengan
yang tidak disengaja, dalam kewajibannya menunaikan denda atau dan Fungsi al-Hadits terhadap
alQur`ân sebagai bayân itu difahami oleh ulama dengan berbagai pemahaman, antara lain sebagai
berikut:
a. Bayan Taqrir

Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan mengokohkan apa yang
telah ditetapkan alQur`ân, sehingga maknanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-
Hadits tentu saja yang sudah jelas maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum
muslimin salah menyimpulkan.
Contoh: Firman Allah SWT:

ُ‫فَ َم ۡن َش ِه َد ِم ۡن ُك ُم ال َّش ۡه َر فَ ۡليَـصُمۡ ه‬


Barangsiapa yang menyaksikan bulan ramadlan maka hendaklah shaum. (Qs.2:185)
Ditegaskan oleh Rasulullah SAW:

َ ‫صُو ُموا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوا لِر ُْؤيَتِ ِه‬


Shaumlah kalian karena melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena melihat tanda
awal bulan syawal. Hr. Muslim.5
Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama dengan alQur`ân,
hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
b. Bayan Tafsir

4
Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, AtTaj, III: 140.
5
Shahih Muslim, II,762.
Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya global atau
mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi bayân tafsir tersebut terdiri dari :
1). tafshîl- al-mujmal,
Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang maknanya
masih global. Contoh:
a) Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung memerintah shalat, tapi tidak
dirinci bagaimana operasionalnya, berapa raka’at yang harus dilakukan, serta apa yang harus dibaca pada
setiap gerakan. Rasulullah SAW dengan sunnahnya memperagakan shalat secara rinci, hingga beliau
bersabda:

َ ُ‫صلُّوا َك َما َرأَيتُ ُمنِي أ‬


‫صلِي‬ َ
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku sedang shalat. HR. Jama’ah 6
b) Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan rincian pelaksanaannya. Ayat
haji umpamanya menandaskan: ِ
‫هّٰلِل‬
ِؕ َ‫َواَتِ ُّموا ۡال َح َّج َو ۡال ُعمۡ َرة‬
“Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah”.(Qs.2:196)
Rinciannya ialah pelaksanaan Rasulullah dalam ibadah haji wada’ dan beliau bersabda:

ِ ‫ُخ ُذوْ ا َعنِّى َمن‬


‫َاس َك ُك ْم‬
“Ambilah dariku manasik hajimu. Hr. Ahmad, al-Nasa`I, dan al-Bayhaqi”. 7 .
2. Tabyîn al-Musytarak

Tabyîn al-Musytarak ialah menjelas kan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata bermakna ganda.
Contoh: Firman Allah SWT:

‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالَثَةَ قُرُو ٍـء‬


ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
“Wanita yang dicerai hendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru”. (Qs.2:228)
Perkataan ٍ ُ‫ُ وء قر‬Quru adalah bentuk jama dari ٍ ْ‫َ ء قر‬Qar’in. Dalam bahasa Arab antara satu suku
bangsa dengan yang lain ada perbedaan pengertian Qar’in. Ada yang mengartikan suci ada pula yang
mengarti-kan masa haidl.
Mana yang paling tepat perlu ada penjelasan. Rasul SAW bersabda: ُ

ِ ‫ق األَ َم ِة تَطلِ ْقت‬


َ ‫َان َو ِع َّدتُهَا َح ْي‬
‫ضتَا ِن‬ ُ َ‫طَال‬
Thalaq hamba sahaya ada dua dan iddahnya dua kali haidl. Hr. Abu dawud, al-Turmudzi, dan
alDaruquthni.8

6
Musnad Ahmad, I, 148. Shahih alBukhari, I, 226. Shahih Ibn Khuzaymah, I,206. Shahih Ibn hibban, V,503. Sunan
alDarimi, I,196. Sunan al-Bayhaqi, III, 120.
7
Musnad Ahmad, III,318. Sunan alNasa`i, II,245. Sunan al-Bayhaqi, V, 125.
8
Sunan Abi dawud, II,257. Sunan alTurmudzi, III,488. Sunan al-Daruquthni, IV, 39.
Dalam ketentuan hukum, hamba sahaya itu berlaku setengah dari orang merdeka. Jika hadits ini
menetapkan dua kali haidl, maka me nurut sebagian pendapat, َ‫ ضتَ ِ ان‬kataan per ْ ‫َ حي‬haidlatâni itu me
rupa kan penjelas dari Qar`in yang musytarak, se hingga kesimpulannya bahwa wanita yang dicerai
itu iddahnya tiga kali haid.
3. Takhshish Al-’am

Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.
Contoh:
1. Firman Allah SWT:

ِ ‫ُح ِّر َمتْ َعلَ ْي ُك ُم ال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَ ْح ُم‬


‫الخ ْن ِز ْي ِر‬
“Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi”. (Qs.5:3)
Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan. Sunnah
Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:
‫الج َرا ُد َوأَ َّما ال َد َما ِن فَال َكبِ ُد َوالطِّ َحا ُل‬
َ ‫الحوتُ َو‬ ِ ‫ان فَأ َ َّما ال َم ْيتَـَت‬
ُ ‫َان‬ ِ ‫ِحلَّتْ لَنَا َم ْيتَتَا ِن َو َد َم‬
“Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam
bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah
ati dan limpa”. (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.) 9

2. Firman Allah SWT:

‫ض األُ ْنثَيَ ْي ِن‬ َّ ِ‫ص ْي ُك ُم هللا فِى أَ ْوالَ ِد ُك ْـم ل‬


ِّ ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َح‬ ِ ‫يُو‬
 
Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki adalah dua kali hak anakmu yang
perempuan.  Qs.4:11
 
Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku umum bahwa semua anak mendapat warisan.
Sedangkan keberlakuan hukum tersebut hanya untuk anak yang agamanya sama muslim. Sunnah
Rasul memberikan takhshish atau pengcualian dengan sabdanya:

ْ ‫سلِ ُم ال َكافِ َر َوالَ ال َكافِ ُر ال ُم‬


‫سلِ َم‬ ُ ‫الَيَ ِر‬.
ْ ‫ث ال ُم‬

Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak mewarisi seorang muslim. Hr.
al-Bukhari dan Muslim10
 

c. Bayan Tabdila

Bayân Tabdîl ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya. Dalam istilah lain dikenal dengan
nama nâsih wa al- mansûh. Banyak ulama yang berbeda pendapat tentang keberadaan hadits atau sunnah
men-tabdil al-Qur`ân. Namun pada dasarnya bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan
hanya terletak pada penetapan istilahnya saja.
9
Musnad Ahmad, II, 97. Ibn Majah, II,1073. al-Bayhaqi, I, 254.
10
Shahih al-Bukhari, VI, 2484, Shahih Muslim, III, 1233.
Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pendapat yang mengakuinya ialah dalam bab
zakat pertanian. Dalam ayat alQur`ân tidak diterangkan batasan nisab zakat melainkan segala penghasilan
wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan dalam sunnah Rasul ditandaskan:

َ ‫ُون َخمْ َس ِة أَو َس ٍق‬


‫ص َد َق ًة‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس فِ ْي َما د‬
“Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak” .Hr. al-Bukhari
dan Muslim.11
Imam Malik berpendirian bahwa fungsi sunnah terhadap alqur’an adalah sebagai (1) bayân taqrir,
(2) bayân tawdlîh, (3) bayân tafshîl, (4) bayân tabsîth, (5) bayân tasyrî’. Bayân taqrîr telah dijelaskan
pada uraian di atas. Bayân taudlîh, bayân tafshîl telah tercakup pembahasannya pada bayân tafsîr.
Yang perlu dijelaskan adalah bayân tabsîthdan bayân tasyrî.
Sunnah yang berfungsi sebagai bayân tabsith ter-hadap al-Qur`ân adalah sunnah yang
menguraikan ayat al-Qur`ân yang ringkas yang memerlukan pen-jelasan secara terurai. Contohnya
kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang ringkas diuraikan oleh sunnah rasul secara gamblang dan terurai
seperti isra mi’raj.
Imam Syafi’i berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap alQur`ân itu adalah sebagai :
(1) bayân tafshil atau perinci ayat yang mujmal,
(2) bayân takhshish atau pengkhusus yang yang bersifat umum,
(3) bayân ta’yien yaitu menetapkan makna yang dimaksud dari suatu ayat yang memungkinkan
memiliki beberapa makna seperti menjelaskan yang musytarak,
(4) bayân tasyri’ yaitu sunnah yang berfungsi tambahan hukum yang tidak tercantum dalam al-
Qur`ân. Contohnya: dalam alQur`ân telah ditetapkan bahwa yang haram dimakan itu hanyalah
bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih bukan karena Allah (Qs.6:145).Sedangkan dalam
beberapa riwayat sunnah diterangkan bahwa Rasul melarang memakan binatang buas, yang
berbelalai, burung menyambar, dan yang hidup di air dan di darat,
(5) bayân nasakh, yaitu mengganti hukum yang tidak berlaku lagi seperti diuraikan pada bayân
tabdil.
Ibnul-Qayim berpendapat bahwa fungsi as-Sunnah terhadap alQur`ân adalah sebagai:
(1)bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di atas
(2) bayân tafsir.
(3) bayân tasyri’.
(4) bayân takhshish.
(5) bayân taqyied, yaitu menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak, seperti
seruan Allah tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa pun.

11
Shahih al-Bukhari, II,524. Shahih Muslim, II,673.
Sedangkan sunnah mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak tersebut. Wanita yang
haidl tidak diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan mengganti. Dengan memperhatikan beberapa
pendapat di atas, tampaklah betapa pentingnya sunnah terhadap al-Qur`ân, terutama memberikan
kemudahan bagi kaum muslimin untuk memahami isi al-Qur`ân.
Jika Rasulullah SAW tidak memberikan penjelasan tentang ayat al-Qur`ân, tentu saja akan
menimbulkan berbagai kendala dan kesulitan dalam melaksanakan al-Qur`ân. Itulah mungkin salah
satu makna dari fungsi Rasul sebagai rahmat bagi mu’minin bahkan bagi alam semesta. Oleh karena
itu, bukan Allah yang membutuhkan Rasul, tapi justru manusialah yang membutuhkannya. Setiap
mu’min harus berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW yang paling mengetahui makna alQur`ân, karena
beliaulah yang menerima langsung dari Allah SWT. Tak sepatutnya seorang mu’min menyalahi apa
yang dijelaskan dalam as-Sunnah tentang makna dan maksud ayat al-Qur`ân.

B. Hadist sebagai sumber otoritatif hukum islam

Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima oleh
hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di kalangan Syi’ah dan
aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap
Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah. 12

Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan
oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebihlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu mendapat
tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa jaminan teologis. 13
Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat 14 yang secara tegas
memerintahkan umat islam unuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan
sebagai berikut:
‫ومااتكم الرسول فخذوه وما نھاكم عنھ فأنتھوا‬
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah.
Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah dan larangan
yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang beriman.
Dengan demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu
kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang. Dalam surat
al-Nisa’ ayat 80 juga dikemukakan :
‫من یطیع الرسول فقد اطاع هللا‬

12
Lihat M.M. ‘Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature (Indianapolis: American Trust Publications,
1977), h. 5.
13
Muhammad Arkoun, Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian Asmin dan Latiful Huluq
dengan judul “Rethingkin Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
14
Muhammad Arkoun, Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian Asmin dan Latiful Huluq
dengan judul “Rethingkin Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
Artinya: Barang siapa yang mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah
Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah satu
tolok ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa indikasi yang terdapat
dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah
yang disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah. Pada ayat lain dikemukakan bahwa
kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi anutan yang baik bagi umat islam seperti dalam surat al-
Ahzab ayat 21 dikatakan :
‫لقد كان لكم في رسول هللا اسوة حسنة‬
Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi orang-orang
yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka cara meneladaninya dapat
mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak sezaman dengan beliau maka cara
meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami dam mengikuti berabgai petunjuk yang termuat
dalam hadis-hadisnya.
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber ajaran
Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada
hakikatnya menolak al-Qur’an.
Walaupun demikian, tetap saja ada orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam baik di
kalangan orang Islam maupun orientalis. Mereka umumnya memahami bahwa adanya otoritas Nabi
sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau
di luar al-Qur’an.
Namun demikian ada juga orientalis yang menolak pandangan semacam itu, misalnya DS.
Margoliout. Ia berpendapat bahwa bagaimanapun juga dalam al-Qur’an Nabi selalu disebut bergandengan
dengan Tuhan. Hal demikian, hanya menunjuk pada konteks al-Qur’an sendiri bahwa otoritas Tuhan dan
otoritas Nabi Muhammad sebagi instrumen kemanuisaan bagi wahyu Ilahiah sehingga tidak dapat
dibedakan satu sama lain dan hanya ada al-Qur’an sebagi satu-satunya rujukan. Pada titik ini dapat
dimengerti bahwa Muhammad tidak memiliki sunnah ekstra Qur’anik yang dapat direkam dalam hadis.
Penolakan otoritas hadis Nabi bukan hanya berkembang pada tradisi kesarjanan barat tetapi juga
berkembang dalm kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama dan intelaktual islam yang hanya
menerima otoritas al-Qur’an seraya menolak otoritas hadfis Nabi sebagi sumber ajaran Islam. Mereka ini
lebih dikenal sebagi inkar al-sunnah. Cukup banyak argumen yang mereka kedepankan untuk menolak
otoritas hadis. Selain mengajukan argumen aqli dan naqli mereka juga mengemukakan argumen-argmen
historis serta argumen lainnya.
Argumen yang bersifat naqliyah misalnya mreka mengemukakan al- Qur’an surat al-Nahl ayat 89
dan al-An’am ayat 38:
‫ونزلنا علیك الكتاب تبیانا لكل شئ‬
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab unutk menjelaskan segala segala sesuaatu.
‫ما فرطنا فى الكتاب من شئ‬
Artinya: Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab itu. Menurut mereka ayat tersebut dan
yang semakna dengannya menujukkan bahwa al-Kitab telah mencakup sesuatu yang berkenaan dengan
ketentuan agama. Argumen lain yang dikemukakan adalah bahwa al-Qur’an diwahyukan oleh Allah
dalam bahasa Arab. Oleh karena itu mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahsa
Arab akan mampu memahami al-Qru’an dengan baik tanpa bantuan hadis.

Dari pengalaman sejarah, mereka menganggap bahwa penyebab utama kemunduran Islam
adalah perpecahan yang diakibatkan karena berpegang pada hadis. Hadis-hadis yang terhimpun dalam
kitab hadis dianggap sebagai dongeng semata. Kodifikasi hadis terjadi jauh stelah wafatnya Nabi,
sehingga dengan mudah umat Islam mempermainkan dan memalsukan hadis. Kritik sanad yang
dkemukakan berupa al-Jarh wa al-Ta’dil sangat lemah untuk membuktikan kebenaran hadis. 15

Argumen-argumen yang mereka kemukakan tersebut pada dasarnya tidak kuat. Berikut ini
dikemukakan kelemahan-kelemahannya:

1. Kata tibyan (penjelasan) yang termuat dalam surah al-Nahl 89 di atas, menurut al-Syafi’I
mencakup beberapa pengertian. Yakni : ayat al-Qur’an secarategas menjelaskan adanya :

1) berbagai kewajiban misalnya salat, puasa, zakat dan haji,

2) berbagai larangan misalnyaberbuat zina, minum khamar, makan bangkai dan daging babi,

3)teknis pelaksanaan ibadah tertentu misalnya tata cara berwudu.

Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global seperti dalam
kewajiban shalat ; dalam hal ini, hadis Nabilah yang menjelaskan tehnis pelaksanaannya. Nabi
menetapkan suatu ketentuan hukum yang di dalam Al-Qur’an tidak tidak dikemukakan secara tegas.
Ketentuan dalam hadis tersebut wajib ditaati sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman untuk mentaati Nabi. Allah mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan ijtihad. Kewajiban
ijtihad sama kedudukannya dengan kewajiban mentaati perintah lainnya yang telah di tetapkan olah
Allah.16

Jadi berdasarkan surat al-Nahl ayat 89 tersebut hadis Nabi merupakan sumber penjelasan
ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak keberadaan hadis Nabi. Bahkan, ayat
itu telah memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap hadis. Sebab, ada bagian ketentuan
agama termuat penjelasannya dalam hadis dan tidak termuat secra tegas dan rinci dalam al-Qur’an.

2. Memang benar al-Qur’an tertulis dengan bahasa Arab, susunan kata- katanya ada yang
berlaku umum dan ada yang berlaku khusus, di samping ada yang berstatus global dan berstatus rinci.
Untuk mengetahui bahwa sesuatu ayat berlaku khusus ataupun rinci diperlukan petunjuk al-Qur’an dan
hadis. Jdi orang yang ingin memahami kandungan al-Qur’an dengan baik, walaupun orang itu memiliki
pengetahuan yang dalam tentang bahasa Arab tetap saja memerlukan penjelaan-penjelasan dari Nabi.

15
Lihat Mustafa al-Sibai, Op. Cit. h. 128-129.
16
Lihat Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 7-68-71.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas ialah bahwa al-Qur’an menjelaskan segaka
ketentuan agama, tapi penjelasan itu ada yang berupa al-Qur’an (ayat dengan ayat) dan ada yang berupa hadis
Nabi. Hadis Nabi dicakup oleh ayat tersebut sebab salah satu fungsi Nabi menurut al-Qur’an adalah menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an. Lebih jelasnya lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Syaukani, Fath al-Qadir (Beirut:
Dar al-Fikr, 1973), h. 187.
3. Dalam sejarah, umat Islam telah meengalami kemajuan zaman klasik (650-1250 M) puncak
kemajuan terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Ulama besar yang hidup pada masa ini tidak sedikit
jumlahnaya baik di bidang Tafsir, fiqh, hadis, ilmu kalam, filsafat, sejarah, maupun dalam bidang
pengetahuan lainnya.17

Berdasarkan bukti sejarah ini ternyata, periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadis
berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan yang lainnya. Ajaran hadis telah ikut mendorong
kemajuan umat Islam. Karena hadis sebagaimana al-Qur’an telah memerintahkan kepada orang-ornag
yang beriman untuk menuntut ilmu pengetahuan. Di samping itu banyak hadis Nabi yang
memerintahkan umat Islam bersatu dan menjahui perpecahan.

4. Umat Islam memberikan perhatian yang besar terhadap hadis Nabi bukan hanya dimulai
pada zaman Tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melainkan sejak zaman Nabi. Kegiatan itu berjaln secara
berkesinambungan hingga mencapai puncaknya pada masa tabi’in dan tabi al-tabi’in. Hal ini menjadi
logis sebab para sahabat yang mengajarkan hadis, jumlahnya banyak dan masing-masing memiliki murid
yang tidak sedikit.18

Karenanya sangat wajar bila pemerhati hadis pada masa tabi’in makin bertambah jumlahnya
dibandingkan pada zaman sahabat. Jadi tidak benar sama sekali jika sekarang ada pendapat yang
menyatakan bahwa apa yang sekarang dianggap hadis Nabi itu tidak lebih dari dongeng-domgeng
semata. Sekiranya hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu terdapat hadis yang lemah,
ataupun palsu, tidaklah berarti bahwa sesluruh hadis yang ada didalamnya juga palsu atau lemah.

5. Kritik sanad dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan saja mengeritik para periwayatnya saja,
melainkan juga persambungan sanadnya. Untuk meneliti persambungan sanad, salah saatu hal yang
harus diperhatikan ialah bentuk tahamul wa’ada al- hadis yang termaktub dalam sanad itu. Selain itu,
orang yang melakukan kritik tidak bisa sembarangan, tetapi harus memiliki syarat-syrat yang sah sebagai
pengeritik.19

Jadi cukup ketat tata-ketentuan yang berkenaan dengan kritik sanad tersebut. Argumen yang
mereka ajukan dalam rangka menolak hadis sebagai sumber ajaran Islam itu ternyata lemah dan tidak
memiliki basis akademis yang kuat, lebih aneh lagi dalam pengingkaran mereka terhadap hadis, mereka
justeru menggunakan dalil dari hadis itu sendiri. 20

satu hal yang sangat ironis, sebab sesuatu yang diingkarinya justru kembali mereka jadikan
basis argumen. Namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar mereka masuk ke dalam kelompok
ingkar as-sunnah, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan mereka terhadap hadis. 21

Gejala ini bukan saja terjadi di negara Islam lain, bahkan di Indonesia pun salah satu penyebab
keingkaran mereka adalah ketidaktahuanya terhadap kandungan al-Qur’an, ilmu tafsir dan bahasa Arab,

17
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h. 11.
18
Lihat M.M. ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1994), khususnya Bab IV.
19
M. Syuhudi Ismail, op.cit.h. 119.
20
Lihat Muhammad Abu Sahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al- Misriyah, t.th.), h. 21.
21
Muhammad Abu Zahrah, op.cit. h. 218.
sehingga banyak ayat yang yang diterjemahkan dan dipahami secara keliru termasuk ayat yang
membicaarkan fungsi Nabi Muhammaad saw. 22

Seluruh umat islam menolak paham inkar al-sunnah ini. Mereka sepenuhnya mengakui otoritas
hadis Nabi sebagai sumber justifikasi bagi perumusan ajaran islam, sejak dari level tatacara peribadatan
murni hingga level sosial kemasyarakatan.

III. Fungsi Hadis dalam Pembentukan Hukum Islam Di atas telah disinggung bahwa fungsi utama
Nabi Muhammad adalah untuk menjelaskan isi kandungan al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayat-
ayat hukum dalam al-Qur'an masih dalam bentuk garis besar yang - secara amaliah - belum bisa
dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasa hadis dapat dibutuhkan. Dengan demimian fungsi hadis yang
utama adalah untuk menjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan penjelasann al-al-Qur'an :

‫وما انزلنا علیك الكتاب اال لتبین لھم الذى اختلفتم فیھ‬

Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad) melainkan agar engkau
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan. 23

Bila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah disebut sebagai
bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalam hubungannya dengan al-Qur'a,n maka hadis
menjalankan fungsi sebagai berikut:

1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al- Qur'an yang dikenal
dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'an dalam hal:

a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat, karena dapat saja
shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum pada waktu itu. Kemudian Nabi
melakukan serangkaian perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka
menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat tersebut.

b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besar misalnya
menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al- Qur'an .

c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum, misalnya hak
kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.

d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'an misalnya Allah
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, diperluas Nabi bahwa
bukan saja saudara ayah tapi juga saudara ibunya.

3. Menetapkan sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam al-Qur'an. Fungsi
sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah Itsbat 24

22
Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jkarta: Media Dakwah, 1980), h. 44-46
23
Depag RI, op.cit., h. 64
24
Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat perbedaan pendapat. Orang yang pertama
mengemukakan fungsi ini adalah al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak menetapkan hal itu
sangat dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya yang berusaha menolak kedudukan hadis
(sunnah).
Pada prinsipnya hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an. Akan
tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai ragam ketentuan yang dikandung
oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh ulama yang satu berbeda dengan ulama
lainnya. Sebagai contoh, Abu Hanifah mengklasifikasikan bayan hadis tersebut menjadi : bayan taqrir,
bayan tafsir, dan bayan tafdil (nasakh); imam Malik membagi menjadi : bayan taqrir, bayan taudhih
(tafsir), bayan tafsil, bayan bashthi (tasbth dan ta’wil), dan bayan tasyri’; Imam Syafi’i
mengkategorikannya menjadi : bayan tafsil, bayan takhsish, bayan ta’yin bayan tasyri’ dan bayan
naskh.23

Sebenarnya bila dicermati secara teliti, akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh hadis itu
pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh al-Qur'an secara terbatas.
Umpamanya Nabi mengharamkan daging babi dan bangkai, kemudian Nabi menyebutkan haramnya
binatang buas. Secara lahiriah ketetapan Nabi itu adalah hal yang baru dan tidak disebutkan secara jelas
dalam al-Qur'an, tapi larangan itu bisa dipahami sebagai penjelas terhadap larangan Allah memakan
sesuatu yang kotor. Jadi secara sepintas sepertinya pelarangan memakan binatang buas adalah lanjutan
atau tambahan oleh nabi, namun hal itu hal itu tidak lain adalah penjelasan dari ayat lain yang
mengharuskan memakan hanya dari makanan yang baik- baik saja (tidak kotor).

Anda mungkin juga menyukai