Anda di halaman 1dari 113

STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syariah

Oleh:
SLAMET WALUYO NIM: 2102218

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH IAIN WALISONGO SEMARANG 2008

PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 5 (lima) eksemplar Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Slamet Waluyo Assalamuaalaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama Nomor Induk Jurusan Judul Skripsi : Slamet Waluyo : 2102218 : MU : STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Wassalamualaikum Wr.Wb. Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang

Semarang, Pembimbing I,

Juli 2007

Pembimbing II,

Drs. H. A. Ghozali NIP. 150 261 992

Rahman el-Yunusi, SE, MM NIP. 150 301 637

ii

DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARIAH SEMARANG Jl. Raya Ngaliyan Boja Km. 02 Semarang Telp/Fax. (024) 601291 PENGESAHAN Skripsi saudara NIM Fakultas Jurusan Judul : Slamet Waluyo : 2102218 : Syariah : MU : STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal: 18 September 2007 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2006/2007 Semarang, Januari 2008 Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Drs. H.Muhyiddin M.Ag NIP. 150 216 809 Penguji I,

Rahman el-Yunusi, SE, MM NIP. 150 301 637 Penguji II,

Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. NIP. 150 231 628 Pembimbing I,

Moh. Arifin. S.Ag., M.Hum NIP. 150 279 720 Pembimbing II,

Drs. H. A. Ghozali, M.Ag NIP. 150 261 992

Rahman el-Yunusi, SE, MM NIP. 150 301 637

iii

MOTTO

{29} (29-30: )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. An-Nisa: 29-30)

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Quran , al-Qur'an dan Terjemahnya, DEPAG RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 122.

iv

PERSEMBAHAN Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Bapak dan Ibuku tercinta (Bpk Muhyidin dan Ibu Zumrotun). Yang selalu mendo'akanku dan do'a beliau yang selalu mengiringi langkahku o Adik-adikku tersayang (Tia, Ida dan Saifudin) serta seluruh keluarga ku tercinta, semoga kalian temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT. o Teman-temanku (Toha, Lukman, Hanif, Joni, Farid dan Ulil) dan semuanya yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama dalam canda dan tawa dalam menjalani study

Penulis

DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, uli 2007 Deklarator,

Slamet Waluyo NIM: 2102218

vi

ABSTRAK
Yang menjadi perumusan yaitu bagaimana pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya? Bagaimana aktualisasinya pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya dalam sistem perekonomian Islam? Untuk menyusun skripsi ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik library research yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan. peneliti menggunakan analisis data kualitatif. yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. Sebagai pendekatannya, digunakan metode deskriptif analisis yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala. peristiwa dan kondisi aktual dimasa sekarang. Hasil dari pembahasan bahwa Menurut Abdul Mannan, dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan Liang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang. Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensial. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital. Aktualisasinya konsep uang menurut Abdul Mannan dalam perekonomian national maka akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia. Karena dalam kenyataannya bahwa lahirnya bank syari'ah telah menunjukkan perkembangan yang baik. Sebagai buktinya adalah bank syari'ah dapat bertahan dari krisis moneter, dan dibandingkan dengan bank konvensional maka bank syari'ah telah diakui keunggulannya karena ia mampu bertahan pada saat-saat maraknya bank konvensional yang gulung tikar. Hal ini dikarenakan antara lain karena bank syari'ah merupakan bank bebas bunga. Dari sini tampak bahwa bank syari'ah merupakan aktualisasi dari konsep uang bukan sebagai komoditi.

vii

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. A. Ghozali selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Rahman el-Yunusi, SE, MM Drs. Wahab Zaenuri MM selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak H. Tolkah, M.A selaku Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi. 5. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu baik moral maupun materi dalam penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis

viii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................... 8 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8 D. Telaah Pustaka ....................................................................... 8 E. Metode Penelitian................................................................... 14 F. Sistematika Penulisan ............................................................ 15 BAB II: UANG DAN SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM A. Uang .......................................................... 17 1. Pengertian Uang ......................................... 17 2. Fungsi Uang ..................................................................... 21 3. Teori tentang Uang .......................................................... 32 B. Sistem Perekonomian Islam................................................... 39 1. Pengertian Ekonomi Islam............................................... 39 2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam ........................................ 43 3. Sistem Perekonomian Islam............................................. 48 BAB III : PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA

ix

A. Biografi Muhammad Abdul Mannan ................................... 51 1. Latar Belakang Keluarga .............................................. 51 2. Karya-Karya Muhammad Abdul Mannan ......................... 56 B. Karakteristik Pemikiran Muhammad Abdul Mannan ............ 57 C. Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya 1. Tentang uang 3. Uang dan Teori tentang Zakat ..................................... 60 ..................................... 60 ..................................... 70

2. Uang berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba ................. 64

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA A. Analisis Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya ............................................... 72 1. Tentang uang ..................................... 72 2. Uang berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba ................. 78 3. Uang dan Teori tentang Zakat............................................ 86 B. Aktualisasinya Pendapat Muhammad Abdul Manan tentang Konsep Uang dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional ............................................................................... 91 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 97 B. Saran-saran ............................................................................. 98 C. Penutup................................................................................... 99

DAFATAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Semenjak berabad-abad yang lalu masyarakat telah menyadari bahwa uang sangat penting peranannya dalam melancarkan kegiatan perdagangan. Tanpa uang kegiatan perdagangan menjadi sangat terbatas dan tidak dapat berkembang. Keadaan seperti ini akan membatasi perkembangan ekonomi yang dapat dicapai. Peranan uang yang sangat penting ini dapat dengan nyata dilihat dari memperhatikan masalah-masalah yang akan dihadapi apabila perdagangan dijalankan secara barter.1 Pada tingkatan peradaban yang terendah, dapat dibayangkan adanya perekonomian yang tidak membutuhkan uang, maka tentunya pada saat itu terjadi kesulitan dalam proses tukar menukar barang.2 Dari kesulitan-kesulitan yang akan timbul sebagai akibat dari ketiadaan uang seperti yang baru diterangkan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa uang diciptakan dalam perekonomian dengan tujuan untuk melancarkan kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Maka uang selalu didefinisikan sebagai: benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan tukar menukar/perdagangan. Yang dimaksudkan dengan kata "disetujui" dalam

1 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992, hlm. 190. 2 Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225.

2 definisi ini adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota masyarakat.3 Pada zaman dahulu, pertukaran hanya ada dalam bentuk barter, dalam hal ini barang ditukar untuk mendapatkan barang. Bahkan dewasa ini banyak rakyat dari negara berkembang di daerah-daerah pedalaman memperoleh kebutuhan mereka melalui barter. Akan tetapi karena peradaban dan kebudayaan mereka semakin berkembang, sistem pertukaran mereka juga meningkat.4 Sekarang ini semua kelompok-kelompok masyarakat menggunakan pertukaran melalui uang. Hal ini disebabkan karena nilai semua barang dan jasa dapat dengan mudah terlihat dan dengan segera ditetapkan dengan menggunakan uang.5 Namun demikian, dalam perspektif Islam uang bukan segalanya, dan bukan yang paling terpenting. Dalam Islam justru yang terpenting adalah waktu.6 Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad saw., di Madinah, dinar dan dirham diimpor; dinar dari Roma dan dirham dari Persia. Besarnya volume impor dinar dan dirham serta barang-barang komoditas bergantung kepada volume komoditas yang diekspor ke dua negara tersebut dan ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.7

Ibid, hlm. 192. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, hlm. 71-72 5 Ibid 6 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Tim III T Indonesia, 2002, hlm. 37 7 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Tim III T Indonesia, 2002, hlm. 127-128
4

3 Dengan menggunakan uang akan mempermudah dalam

mengembangkan perdagangan dan dalam hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Tak dapat disangkal lagi, uang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian dan sangat dominan dalam analisis ekonomi makro. Uang adalah alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sejak peradaban kuno, mata uang logam sudah menjadi alat pembayaran biasa walaupun belum sesempurna sekarang. Kebutuhan menghendaki adanya alat pembayaran yang memudahkan pertukaran barang agar pekerjaan dapat lebih mudah. Perbedaan sistem ekonomi yang berlaku, akan memiliki pandangan yang berbeda tentang uang. Sistem ekonomi konvensional memiliki pandangan yang berbeda tentang uang dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam.8 Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini kadang orang salah kaprah menempatkan uang. Uang disama artikan dengan modal. Uang adalah barang khalayak (masyarakat luas). Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang-perorangan. Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpan nilai semua barang.9 Dalam Hukum Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima secara meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini

Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 187. 9 Muhamad, Bank Syariah, Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, Yogyakarta; Ekonisia, 2003, hlm. 33.

4 dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuansatuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut menjadi berkurang, Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba fadhal.10 Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat tukar, tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun menghasilkan jasa. Lembaga keuangan seperti pasar modal, bursa efek, dan perbankan konvensional yang berkembang sekarang ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah berkembang sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya sebagai alat tukar. Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang diterima secara bulat, fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih diperselisihkan. Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal. Abdul Mannan, misalnya seorang ekonom muslim asal
Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 14-16
10

5 Pakistan mengatakan bahwa dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar. Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai Riba al Fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang. Sekali peranan uang sebagai alat tukar diakui, uang dapat memainkan peranannya sebagai suatu unit alat hitung dan sebagai suatu kumpulan nilai dalam suatu ekonomi Islami. la dapat digunakan sebagai ukuran opportunity cost (yaitu pendapatan yang hilang), dengan baik sekali.11 Dalam hubungannya dengan sistem ekonomi Islam, bahwa sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Sumber dari keseluruhan nilai tersebut sudah tentu AlQur'an, As-Sunnah, ijma dan qiyas. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam ini merupakan bagian integral dari keseluruhan ajaran Islam yang komprehensif dan telah dinyatakan Allah SWT sebagai ajaran yang sempurna (QS. alMa'idah ayat 3).

(3 : )
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Intermasa, 1992, hlm. 162.
11

Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah: 3). Karena didasarkan pada nilai-nilai Ilahiah, sistem ekonomi Islam tentu saja akan berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang didasarkan pada ajaran kapitalisme, dan juga berbeda dengan sistem ekonomi sosialis yang didasarkan pada ajaran sosialisme. Memang, dalam beberapa hal, sistem ekonomi Islam merupakan kompromi antara kedua sistem tersebut, namun dalam banyak hal sistem ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan kedua sistem tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki sifat-sifat baik dari kapitalisme dan sosialisme, namun terlepas dari sifat buruknya. Dalam hubungannya dengan uang, bahwa pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana barang saling dipertukarkan.12 Menurut Afzalur Rahman: Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahankelemahan sistem pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau
12

Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta : Alvabeta, 2003, hlm.

16

7 menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. 13 Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya. Berdasarkan uraian di atas, tema ini sangat penting diteliti, karena masalah uang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Adapun alasannya memilih tokoh dan pandangan Muhammad Abdul Mannan adalah karena ia merupakan salah seorang pakar ekonomi yang telah dapat mengetengahkan implikasi dari berbagai perintah Islam dalam kaitannya dengan beberapa masalah mendesak yang dihadapi dunia Islam. Ia sangat besar perhatiannya dengan pertumbuhan dan perkembangan lazu

perekonomian umat Islam. Berpijak pada pentingnya masalah di atas, maka penulis hendak mengangkat tema ini dengan judul: "Studi Analisis Pemikiran Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya dalam Sistem Perekonomian Islam"

13

Afzalur Rahman, op. cit, hlm. 73

B. Perumusan Masalah Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.14 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan: 1. Bagaimana pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang? 2. Bagaimana pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep sistem perekonomian Islam? 3. Bagaimana peranan uang dalam sistem perekonomian Islam? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang 2. Untuk mengetahui pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep sistem perekonomian Islam 3. Untuk mengetahui peranan uang dalam sistem perekonomian Islam D. Telaah Pustaka Penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya, terutama tokoh yang dijadikan kajian. Beberapa penelitian sebelumnya ada yang telah mengungkapkan peranan bank sentral dan masalah riba, tapi tidak memfokuskan masalah uang perspektif abdul Mannan . Misalnya, skripsi yang berjudul Studi Analisis Pemikiran Umer Chapra Tentang Riba disusun oleh Siti Saifiyatun Nasikhah (NIM.2100166). Pada intinya, penyusun skripsi ini
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.
14

9 mengungkapkan bahwa konsep riba Umer Chapra ini lebih ditekankan pada apa yang sesungguhnya dituntut dibalik pelarangan riba, yaitu untuk menegakkan sebuah sistem ekonomi di mana semua bentuk eksploitasi dan ketidak adilan dihapuskan. Dengan kata lain, eksploitasi dan ketidak adilan merupakan esensi utama riba. Skripsi yang berjudul Peranan Bank Sentral Dalam Sistem Moneter Islam Menurut Muhamamd Umer Chapra, disusun oleh Nur Zaini (NIM. 2196111). Penulis skripsi tersebut dalam temuannya mengungkapkan bahwa karena bank sentral Islam akan menjadi kemudi dari sebuah sistem yang secara keseluruhan beda dan menantang, ia tidak dapat menjadi penonton pasif atau pengikut jinak teknik konvensional. la harus memberikan peran keteladanan dan aktif dalam keseluruhan proses islamisasi dan evolusi yang berkelanjutan sistem perbankan, paling tidak sampai sistem itu menjadi baik dan kuat. Persis seorang ibu, ia harus memahami, menyiapkan kelahiran, menyuapi, mendidik, dan membantu sistem perbankan Islam berkembang. Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu titik berat pembahasannya tentang peranan bank sentral, dan riba Sedangkan penelitian saat ini titik berat pembahasannya tentang uang. Adapun beberapa buku yang telah diterbitkan dan berhubungan dengan judul di atas dapat diketengahkan sebagai berikut: Pertama, Teori Moneter, disusun oleh Boediono. Buku kecil ini berisi sketsa perkembangan teori moneter mulai dari Fisher dan Marshall sampai saat ini. Karena berupa sketsa, maka teori-teori disajikan secara garis besar,

10 skematis dan dalam banyak hal tidak mendalam. Ini adalah sesuai dengan tujuan utama dari buku ini, yaitu untuk memberikan gambaran arah umum perkembangan teori moneter. Kedua, Ekonomi Moneter, hasil karya M.Manullang. dalam buku ini diungkapkan tentang fungsi, jenis dan peranan uang. Dalam bab selanjutnya dipaparkan pula tentang politik moneter, cara-cara mengatasi inflasi dan berbagai teori tentang moneter. Secara global buku ini tampaknya menyeluruh ketika menganalisis tentang peranan moneter dalam perekonomian baik secara mikro maupun makro. Ketiga, Islam dan Pembangunan Ekonomi, karya Umer Chapra. Dalam buku itu dikemukakan ada lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi pembangunan yang disertai dengan keadilan dan stabilitas. Lima kebijakan tersebut adalah: (1) memberikan kenyamanan kepada faktor manusia, (2) mereduksi konsentrasi kekayaan, (3) melakukan restrukturisasi ekonomi, (4) melakukan restrukturisasi keuangan, dan (5) rencana kebijakan strategis. Di antara tindakan-tindakan kebijakan ini mungkin sudah sangat akrab bagi mereka yang sudah bergelut dalam literatur pembangunan. Akan tetapi, apa yang lebih penting adalah injeksi dimensi moral ke dalam parameter pembangunan material. Tanpa sebuah integrasi moral dan material seperti itu, barangkali tidak mungkin dapat diwujudkan adanya efisiensi atau

pemerataan.15

Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 85.

15

11 Keempat,

Lembaga-lembaga

Perekonomian

Umat

(Sebuah

Pengenalan), yang disusun oleh Djazuli dan Yadi Yanwari. Di dalam buku itu disebutkan bahwa dewasa ini ada dua sistem ekonomi yang dianut oleh umat manusia di dunia, yakni sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Sistem ekonomi Kapitalis banyak dianut oleh negara-negara yang berada di belahan Benua Amerika, Eropa Barat, dan beberapa negara di Benua Asia. Sedangkan sistem ekonomi Sosialis banyak dianut oleh negara-negara yang berada di belahan Eropa Timur dan beberapa negara Asia. Menurut sebagian pengamat ekonomi, khususnya ekonom muslim, saat ini masyarakat dunia telah mengalami kejenuhan dengan kedua sistem ekonomi tersebut. Selain itu, dengan mengembangkan kedua sistem ekonomi itu dunia semakin hari semakin tidak teratur, yang pada gilirannya melahirkan negara-negara yang semakin hari semakin kaya di satu sisi dan melahirkan negara-negara yang semakin miskin di sisi lain. Dengan kata lain, dengan menjalankan kedua sistem ekonomi tersebut melahirkan ketidakseimbangan dalam perkembangan ekonomi. Dengan melihat kenyataan tersebut, maka kemudian muncul pemikiran baru yang menawarkan ajaran Islam tentang ekonomi sebagai sebuah sistem ekonomi alternatif.16 Namun persoalannya sekarang, apakah ajaran Islam tentang ekonomi bisa dikatakan sebagai sistem ekonomi Islam? Uraian di bawah ini akan mencoba melukis-jelaskan tentang sistem ekonomi Islam. Berkenaan dengan pertanyaan, apakah ajaran Islam tentang ekonomi
"Seorang ekonom berkebangsaan Perancis, Jacquen Austry, menyatakan bahwa jalan untuk menumbuhkan ekonomi tidak hanya terbatas pada dua sistem-Kapitalisme dan Sosialisme, melainkan ada sistem ekonomi lain yang lebih kuat, yakni sistem ekonomi Islam., Sedangkan Raymond Charles, seorang orientalis berkebangsaan Perancis, menyatakan bahwa Islam telah menggariskan jalan kemajuan tersendiri.
16

12 bisa dikatakan sebagai sistem ekonomi Islam? telah muncul beberapa pendapat, yang bila dirangkum terbagi kepada dua pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa ajaran Islam tentang ekonomi bisa dinyatakan sebagai sebuah sistem ekonomi, sedangkan pendapat lain menyatakan bukan sistem ekonomi tetapi hanya berupa norma ekonomi. Menurut M. A. Mannan, dikotomi itu lebih pada, apakah ekonomi Islam itu sebuah "sistem" atau sebuah "ilmu".17 Sebelum memahami lebih jauh tentang sistem ekonomi Islam akan lebih baik bila mendeskripsikan terlebih dahulu tentang makna sistem ekonomi itu sendiri. Sistem berarti suatu keseluruhan yang kompleks: suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan.18 Dengan kata lain, sistem berarti sebuah totalitas terpadu yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, .saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling tergantung menuju tujuan bersama tertentu. Dengan pengertian sistem ini, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan sistem ekonomi adalah susunan organisasi ekonomi yang mantap dan teratur.19 Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa ajaran Islam tentang ekonomi dapat dikatakan pula sebagai sebuah sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam tentang ekonomi adalah ajaran yang bersifat integral, yang tidak terpisahkan baik dengan ajaran Islam secara keseluruhan maupun dengan realitas kehidupan. Selain itu, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah sistem ekonomi telah terpenuhi dalam ajaran Islam. Unsur-unsur yang harus

M. A. Mannan, op.cit., hlm. 15. Ibid. 19 Anonimous. Ekonomi Pancasila untuk Mendukung Tinggal Landas dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Jakarta: Lemhannas, 1989, hlm. 8.
18

17

13 terpenuhi dalam sistem ekonomi Islam itu adalah: (1) sumber-sumber ekonomi atau faktor-faktor produksi yang terdapat dalam perekonomian tersebut; (2) motivasi dan perilaku pengambil keputusan atau pemain dalam sistem itu; (3) proses pengambilan keputusan; dan (4) lembaga-lembaga yang terdapat di dalamnya.20 Kelima, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, yang dikarang oleh Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim. Dalam temuannya, penulis buku tersebut menjelaskan, tak seorang pun menyangkal tentang pentingnya studi ekonomi saat kini. Pertarungan yang terjadi di antara kedua blok Timur dan Barat, sebabnya kembali sebagian besar kepada sebab-sebab ekonomis. Problema pokok yang merepotkan kini, adalah apa yang diistilahkan dengan dunia ketiga, yang terdiri dari negaranegara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yakni problema kemunduran ekonomi dan perlunya menumbuhkan ekonomi. Kalau ekonomi Islam belum berperan sampai kini, tidak berarti kurang pentingnya ekonomi Islam. Sebab sebagaimana diketahui bahwa jauhnya ekonomi Islam dari arena, tidak lain karena terpecahnya dunia Islam dan jatuhnya sebagian besar dunia Islam ke bawah kekejaman penjajahan, yang berusaha sekuat tenaga menjauhkan syariat Islam, termasuk di dalamnya ekonomi Islam, dari penerapannya di negeri-negeri Islam yang mereka duduki.21

20Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 24-26. 21 Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Terj. Abu Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1980, hlm. 30.

14

E. Metode Penelitian Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :22 1. Jenis Penelitian Untuk mendapatkan data-data yang sebaik-baiknya, kemudian ditempuhlah teknik-teknik tertentu di antaranya yang paling utama ialah research yakni mengumpulkan bahan dengan membaca buku-buku jurnal dan bentuk-bentuk bahan lain atau yang lazim disebut dengan penyelidikan kepustakaan (library research) adalah salah satu jenis penelitian melalui perpustakaan.23 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi24 yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan (library research), kemudian memilah-milahnya dengan memprioritaskan keunggulan pengarang. 3. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data,25 peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.26 Sebagai pendekatannya, digunakan metode deskriptif

Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian adalah ilmu yang memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24. 23 Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1990, hlm. 42 24 Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi. yaitu mencari data mengenai halhal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 206. 25 Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hlm, 419. 26 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 134. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 14, Bandung: PT

22

15 analisis, yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual dimasa sekarang.27 F. Sistematika Penulisan Dalam sistematika penulisan ini, agar dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka skripsi ini disusun sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab yang masing-masing menampakkan karakteristik yang berbeda namun dalam satu kesatuan tak terpisah. Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara ijmali namun holistik dengan memuat: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan. Bab kedua berisi uang dan sistem perekonomian yang meliputi uang (pengertian uang, fungsi uang, teori tentang uang), sistem perekonomian Islam (pengertian ekonomi Islam, prinsip-prinsip ekonomi Islam, sistem

perekonomian Islam). Bab ketiga berisi pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya yang meliputi biografi Muhammad Abdul Mannan (latar belakang keluarga, perjuangan, karya-karya muhammad Abdul Mannan), karakteristik pemikiran Muhammad Abdul Mannan, pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya.

Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm. 269. 27 Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 15., Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. 30, Yogyakarta: Andi, 2001, h1m. 3. M. Subana, Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: CV. Pustaka. Setia, 2001, hlm. 89.

16 Bab keempat berisi analisis pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya yang meliputi analisis pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya, aktualisasinya pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya dalam perekonomian nasional. Bab kelima berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran

BAB II UANG DAN SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM

A. Uang 1. Pengertian Uang Uang merupakan kebutuhan masyarakat yang paling utama. Juga merupakan kebutuhan pemerintah, kebutuhan produsen, kebutuhan distributor dan kebutuhan konsumen.1Uang merupakan inovasi besar dalam peradaban perekonomian dunia. Posisi uang sangat strategis dalam satu sistem ekonomi, dan sulit digantikan variabel lainnya. Bisa dikatakan uang merupakan bagian yang terintegrasi dalam satu sistem ekonomi. Sepanjang sejarah keberadaannya, uang memainkan peran penting dalam perjalanan kehidupan modern. Uang berhasil memudahkan dan

mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi memungkinkan perdagangan berjalan secara efisien. Pada peradaban awal, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai buah-buahan. Karena jenis kebutuhannya masih sederhana, mereka belum membutuhkan orang lain. Masing-masing individu memenuhi kebutuhan makannya secara mandiri. Dalam periode yang

Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1989, hlm. 3.

17

18

dikenal sebagai periode prabarter ini, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli.2 Pada tingkat peradaban yang terendah, dapatlah dibayangkan adanya perekonomian yang tidak membutuhkan uang. Akan tetapi ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradabannya semakin maju, kegiatan dan interaksi antarsesama manusia pun meningkat tajam. Jumlah dan jenis kebutuhan manusia, juga semakin beragam. Ketika itulah, masing-masing individu mulai tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Bisa dipahami karena ketika seseorang menghabiskan waktunya seharian bercocok tanam, pada saat bersamaan tentu ia tidak akan bisa memperoleh garam atau ikan, menenun pakaian sendiri, atau kebutuhan lain. Satu sama lain mulai saling membutuhkan, karena tidak ada individu yang secara sempurna mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sejak saat itulah, manusia mulai menggunakan berbagai cara dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Pada tahapan peradaban manusia yang masih sangat sederhana mereka dapat menyelenggarakan tukar-menukar kebutuhan dengan cara barter. Maka periode itu disebut zaman barter.3 Pertukaran barter ini mensyaratkan adanya keinginan yang sama pada waktu yang bersamaan (double coincidence of wants) dari pihakpihak yang melakukan pertukaran ini. Namun semakin beragam dan
Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: kencana, 2006, hlm. 240. 3 Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Buku I, edisi-VII, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225.
2

19

kompleks kebutuhan manusia, semakin sulit menciptakan situasi double coincidence of wants ini. Misalnya, pada satu ketika seseorang yang memiliki beras membutuhkan garam. Namun saat yang bersamaan, pemilik garam sedang tidak membutuhkan beras melainkan membutuhkan daging, sehingga syarat terjadinya barter antara beras dengan garam tidak terpenuhi. Keadaan demikian tentu akan mempersulit muamalah antar manusia. Itulah sebabnya diperlukan suatu alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Alat tukar demikian kemudian disebut uang. Pertama kali, uang dikenal dalam peradaban Sumeria dan Babylonia. Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti perjalanan sejarah. Dari perkembangan inilah, uang kemudian bisa dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu uang barang, uang kertas dan uang giral atau uang kredit.4 Dewasa ini, ekonomi moneter menjadi suatu cabang yang penting dalam ilmu ekonomi. Salah satu sebabnya ialah, karena uang memegang peranan penting dalam lapangan hidup manusia. Juga karena uang memegang peranan dalam hubungannya dengan perdagangan

internasional. Harga uang sesuatu negeri dalam hubungannya dengan harga uang negeri lainnya, menjadi indikator bagaimana kedudukan perdagangan negara yang bersangkutan dalam dunia pada umumnya. Persoalan uang itu bukan saja penting dalam hubungannya dengan perekonomian nasional, tetapi juga penting dalam hubungannya dengan

Mustafa Edwin Nasution, op.cit., hlm. 240.

20

perekonomian dunia. Sangat penting bagi suatu negara, untuk menjamin kestabilan harga uangnya dan kalau mungkin menaikkan harga uang tersebut dalam hubungannya dengan harga uang asing di luar negeri. Salah satu usaha untuk mencapai maksud itu adalah dengan politik keuangan, yang menjadi lingkungan ekonomi moneter.5 Dalam konteks sejarah ekonomi Islam, bahwa berbicara tentang uang maka erat kaitannya dengan lembaga keuangan di zaman Rasulullah. Sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul, dalam masyarakat Jahiliyah sudah terdapat sebuah lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu yang disebut darun nadwah. Di dalamnya para tokoh Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan. Ketika dilantik sebagai Rasul, mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu, yaitu Darul Arqam. Perkembangan lembaga ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan, sampai akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Ketika beliau hijrah ke Madinah, maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah masjid (masjid Quba), yang bukan saja merupakan tempat beribadah, tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan membentuk "lembaga" persatuan di antara para sahabatnya, yaitu persaudaraan antara para Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini diikuti

M.Manullang, Ekonomi Moneter, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980, hlm. 11-12.

21

dengan pembangunan masjid lain yang lebih besar (masjid Nabawi), yang kemudian menjadi sentral pemerintah untuk selanjutnya.6 Pendirian "lembaga" dilanjutkan dengan penertiban pasar.

Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar yang baru yang khusus untuk kaum muslimin, karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus berjalan dengan sunnatullah. Demikian halnya dalam penentuan harga. Akan halnya mata uang tidak ada satupun bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Nabi menciptakan mata uang sendiri.7 2. Fungsi Uang Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat telah menyadari bahwa uang sangat penting peranannya dalam melancarkan kegiatan

perdagangan. Tanpa uang kegiatan perdagangan menjadi sangat terbatas dan pengkhususan tidak dapat berkembang. Keadaan seperti ini akan membatasi perkembangan ekonomi yang dapat dicapai. Peranan uang yang sangat penting ini dapat dengan nyata dilihat dengan memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi pada saat perdagangan dijalankan secara barter.8 Dari kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat dari barter maka uang diciptakan dalam perekonomian dengan tujuan untuk melancarkan kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Oleh karena itu
6 7 8

Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hlm. 4-5.

Ibid., hlm. 5. Sadono Sukirno, Pengatar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992, hlm. 190

22

uang selalu didefinisikan sebagai: benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan tukar

menukar/perdagangan. Yang dimaksudkan dengan kata "disetujui" dalam definisi ini adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota masyarakat.9 Pertukaran berarti penyerahan suatu komoditi sebagai alat penukar komoditi lain. Bisa juga berarti pertukaran dari satu komoditi dengan komoditi lainnya, atau satu komoditi ditukar dengan uang, ada juga perdagangan secara komersial yang mencakup penyerahan satu barang untuk memperoleh barang lain, yang disebut saling tukar menukar. Jadi terjadi tawar menawar dua barang dimana yang satu diberikan sebagai bahan penukar untuk barang lain Menurut ahli Fiqih Islam, pertukaran diartikan sebagai

pemindahan barang seseorang dengan menukar barang-barang tersebut dengan barang lain berdasarkan keikhlasan/kerelaan. Pada zaman dahulu, pertukaran hanya ada dalam bentuk barter, dalam hal ini barang ditukar untuk mendapatkan barang. Bahkan dewasa ini banyak rakyat dari negara berkembang di daerah-daerah pedalaman memperoleh kebutuhan mereka melalui barter. Akan tetapi karena peradaban dan kebudayaan mereka semakin berkembang, sistem pertukaran mereka juga meningkat. Sekarang ini semua kelompok-kelompok masyarakat menggunakan pertukaran melalui uang. Hal ini disebabkan karena nilai semua barang

Ibid, hlm. 192.

23

dan jasa dapat dengan mudah terlihat dan dengan segera ditetapkan dengan menggunakan uang.10 Agar masyarakat menyetujui penggunaan sesuatu benda sebagai uang, haruslah benda itu memenuhi syarat. Dengan kata lain syarat-syarat suatu benda berfungsi sebagai uang: pertama, nilainya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu; kedua, mudah dibawa-bawa; ketiga mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya; keempat, tahan lama; kelima, jumlahnya terbatas (tidak berlebihan); keenam, bendanya mempunyai mutu yang sama.11 Berdasarkan keterangan di atas, maka fungsi uang menurut Muchdarsah Sinungan adalah Sebagai alat tukar menukar (medium of exchange), sebagai satuan hitung (unit of account), sebagai penimbun kekayaan, dan sebagai standar pencicilan uang.12 Keterangan yang sama dikemukakan oleh Winardi bahwa fungsi uang adalah pertama, sebagai standar nilai; kedua, sebagai alat tukar; ketiga, sebagai alat penghimpun kekayaan; dan keempat, sebagai alat pembayaran yang ditangguhkan.13 Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, hlm. 71-72 11 Sadono Sukirno, op. cit, hlm. 192 12 Muchdarsyah Sinungan, op.ci., hlm. 6 9 13 Winardi, Pengantar ilmu Ekonomi, Buku 1, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225-226.

10

24

yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana barang saling dipertukarkan.14 Menurut Afzalur Rahman: Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahankelemahan sistem pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. 15 Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya. Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, sehingga harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.

14

Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta : Alvabeta, 2003, hlm. Afzalur Rahman, op. cit, hlm. 73

16

15

25

Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi-hasil. Bila ia tidak ingin mengambil resiko karena bermusyarakah atau bermudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba. Secara mikro, qard16 tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (national income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula, pengeluaran shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian qard. Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, namun Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Alt bin Abi Thalib, cicit dasar-dasar manajemen
Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqad tathawwu, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Zainul Arifin, op. cit, hlm. 27.
16

26

bank syari'ah Rasulullah SAW, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred payment) lebih tinggi daripada harga tunai.17 Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1.000. Sedangkan bila dijual tangguh-bayar, maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi daripada harga tunai.18 Dalam Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima secara meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut
17 18

Ibid, hlm.24 Ibid, hlm, 17-18.

27

menjadi berkurang, Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba fadhal. 19 Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat tukar, tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun

menghasilkan jasa. Lembaga keuangan seperti pasar modal, bursa efek, dan perbankan konvensional yang berkembang sekarang ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah berkembang sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya sebagai alat tukar. Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang diterima secara bulat, fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih diperselisihkan. Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal.20 Penolakan fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun sistem ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang

menyangkalnya dipandang sebagai prinsip yang membedakan antara


Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 14. 20 Ibid, hlm. 15
19

28

sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non-Islam (konvensional). Atas dasar prinsip ini mereka menjatuhkan keharaman setiap perputaran (transaksi) uang yang disertai keuntungan (laba atau bunga) sebagai praktek riba. Dalam masalah muamalah, khususnya di bidang ekonomi, syari'ah Islam tidak kurang dalam memberikan prinsip-prinsip dan etika yang seharusnya bisa dijadikan acuan dan referensi, serta merupakan kerangka bekerja dalam ekonomi Islam. Prinsip ekonomi Islam telah mengatur bahwa: 1. Kekayaan merupakan amanah dari Allah dan tidak dapat dimiliki secara mutlak; 2. Manusia diberi kebebasan untuk bermuamalah selama melanggar ketentuan syari'ah; 3. Manusia merupakan khalifah dan pemakmur di muka bumi tidak

( 30:)
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman: "Sesungguh-nya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. AlBaqarah:30)21
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI, 1986, hlm. 13
21

29

4. Di dalam harta seseorang terdapat bagian bagi orang miskin, yang meminta-minta atau tidak meminta-minta

* (25-24:)
Artinya: dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (Q.S. Al-Maarij: 24-25)22 5. Dilarang makan harta sesama secara batil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka

{29} (29-30: )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. An-Nisa: 29-30)23 Dalam tafsir al-Maraghi ayat di atas dijelaskan, bahwa kata albatil berasal dari al-batlu dan al-butlan berarti kesia-siaan dan kerugian. Menurut syara adalah mengambil harta tanpa pengganti hakiki yang biasa, dan tanpa keridaan dari pemilik harta yang diambil itu; atau menafkahkan
22 23

Ibid, hlm 974 Ibid, hlm. 122

30

harta bukan pada jalan hakiki yang bermanfaat, maka termasuk ke dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual beli, dan menafkahkan harta pada jalan-jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan

mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh akal. Kata bainakum menunjukkan bahwa harta yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan dengan orang yang hartanya dimakan. Masing-masing ingin menarik harta itu menjadi miliknya. 24 6. Penghapusan praktik riba

(275:)
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual bell dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi al-Halabi, 1394 H/1974 M, hlm. 25.

24

31

penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 275)25 Prinsip inilah yang pada ujung-ujungnya menjadi dasar

pembentukan lembaga keuangan bebas bunga dengan dua produk unggulan, yakni mudharabah26 dan bai' al-murabahah27 Persoalan uang sebetulnya sangat berkaitan dengan masalah riba. Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional kapitalisme Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW., bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah

Ibid, hlm. 69 Mudharabah secara bahasa berasal dari kata dharb artinya "memukul" atau melangkahkan kaki dalam melakukan suatu usaha di muka bumi. Secara terminologis mudharabah berarti suatu akad kerja-sama antara dua pihak, pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal dan pihak lain (mudharib) sebagai pengelola modal, di mana keuntungan dibagi bersama sesuai prosentasi yang disepakati, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Baca Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Wacana Ulama dan Intelektual, Jakarta: Tazkiah Institut, 1999, hlm.171. 27 Bai' al-murabahah adalah akad jual-beli barang dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati, Dalam bai' al-murabahah pihak penjual harus memberitahu secara transparan harga barang dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan harga. Ibid, hlm. 121.
26

25

32

sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.28 3. Teori tentang Uang Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini orang kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang disamaartikan dengan modal (capital). Uang adalah barang khalayak/public goods masyarakat luas. Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang per orang. Jika uang sebagai flow concept sementara modal adalah stock concept. a. Money as Flow Concept Uang adalah sesuatu yang mengalir. Sehingga uang diibaratkan seperti air. Jika air di sungai itu mengalir, maka air tersebut akan bersih dan sehat. Jika air berhenti (tidak mengalir secara wajar) maka air tersebut menjadi busuk dan bau, demikian juga dengan uang. Uang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka dapat menyebabkan macetnya roda perekonomian. Dalam ajaran Islam, uang harus diputar terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Untuk itu uang perlu digunakan untuk investasi di sektor riil. Jika uang disimpan tidak diinvestasikan kepada sektor riil, maka tidak akan mendatangkan apa-apa (Q.S Al-Lahab).
Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Peluang, dan Ancaman, Yogyakarta: Econisia, 2003, hlm. 33
28

33

Penyimpanan uang yang telah mencapai haulnya, menurut ajaran Islam, akan dikenai zakat. b. Money as Public Goods Uang adalah barang untuk masyarakat banyak. Bukan monopoli perorangan. Sebagai barang umum, maka masyarakat dapat menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena itu, dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya.29 Umat Islam telah akrab dengan mata uang yang terbuat dari emas, disebut Dinar dan mata uang yang terbuat dari perak disebut Dirham. Mata uang ini telah digunakan secara praktis sejak kelahiran Islam hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pasca perang Dunia I. Oleh karena itu, kebanyakan negara Islam dijajah oleh Barat dengan sistem kapitalisnya, maka seluruh aspek ekonomi dan kehidupan juga mengikuti pola-pola kapitalis, termasuk masalah mata uang. Dinar dan dirham yang digunakan orang Arab waktu itu tidak didasarkan pada nilai nominalnya, melainkan menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut dianggap sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dirham yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat peredarannya. Datangnya Rasulullah SAW, sebagai tanda kedatangan Islam, maka beliau mengakui berbagai muamalah yang menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia. Beliau juga mengakui

29

Ibid, hlm. 34-35

34

standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Quraisy untuk menimbang berat dinar dan dirham. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah bersabda" "Timbangan berat (wazan) adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran (mikyal) adalah takaran penduduk Madinah" (HR. Abu Daud dan An Nasa'i) Kaum Muslimin terus menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia dalam bentuk cap, dan gambar aslinya sepanjang hidup Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq pada awal kekhalifahan Umar bin Khaththab.30 Pada masa pemerintahannya, khalifah Umar Bin Khaththab, pada tahun 20 Hijriah, yaitu tahun kedelapan kekhalifahan Umar bin Khaththab, beliau mencetak uang dirham baru berdasarkan pola dirham Persia. Berat, gambar, maupun tulisan Bahlawinya (huruf Persianya) tetap ada, hanya ditambah dengan lafaz yang ditulis dengan huruf Arab gaya Kufi, seperti lafaz Bismillah (Dengan nama Allah) dan Bismillahi Rabbi (Dengan nama Allah Tuhanku) yang terletak pada tepi lingkaran. Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 hijriah (695 Masehi), mencetak dirham khusus bercorak Islam, dengan lafaz-lafaz Islam yang ditulis dengan huruf Arab gaya Kufi. Dengan demikian, dirham Persia tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, (tepatnya tahun 77 Hijriah/697 Masehi). Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak Islam setelah meninggalkan pola dinar Romawi. GambarEko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 198-199
30

35

gambar dinar lama diubah dengan tulisan atau lafaz-lafaz Islam, seperti Allahu Ahad (Allah itu Tunggal), Allah Baqa' (Allah itu Abadi). Sejak saat itulah orang Islam memiliki dinar dan dirham Islam yang secara resmi digunakan sebagai mata uangnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebenarnya di zaman Khalifah Umar bin Kaththab dan Usman bin Affan, mata uang telah dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia dengan perubahan pada tulisan yang tercantum pada mata uang tersebut. Pada awal pemerintahan Umar pernah terbetik pikiran untuk mencetak uang dari kulit, namun dibatalkan karena tidak disetujui oleh para sahabat yang lain. Mata uang khalifah Islam yang mempunyai kecirian khusus baru dicetak oleh pemerintah Imam Ali r.a. Namun sayang peredarannya sangat terbatas karena keadaan politik saat itu.31 Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Muawiyah dengan mencantumkan gambar dan pedang Gubernurnya di Irak. Ziyad juga mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Cara yang dilakukan Muawiyah dan Ziyad mencantumkan gambar dan nama kepala pemerintah pada mata uang-masih dipertahankan sampai saat ini, juga termasuk di Indonesia. Mata uang yang beredar pada waktu itu belum terbentuk bulat seperti uang logam sekarang ini. Baru pada zaman Ibnu Zubair dicetak untuk pertama kalinya mata uang dengan bentuk bulat, namun

31

Ibid, 199-200

36

peredarannya berbatas di Hijaz. Sedangkan Mus'ab, gubernur di Kufah mencetak uang dengan gaya Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74 Hijriah, Bisr bin Marwan mencetak mata uang yang disebut dengan dinar Athawiya. Sampai dengan zaman ini mata uang khalifah beredar bersama dengan dinar Romawi, dirham Persia dan sedikit Himiyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H) pemerintah mendirikan tempat percetakan uang di Daar Idjard, Suq ahwaj, Sus, Jay, Manadar, Maisan, Rai, Abarkubadh, dan mata uang khalifah dicetak secara terorganisir dengan kontrol pemerintah. Nilai mata uang ditentukan oleh beratnya. Mata uang dinar mengandung emas 22 karat, dan terdiri dari pecahan setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan yang lebih kecil didapat dengan memotong uang Imam Ali, misalnya, pernah membeli daging dengan memotong dua karat dari dinar. (H R Abu Dawud). Dirham terdiri dari beberapa pecahan nash (20 dirham), nawat (5 dirham), Sha ira (1/60 driham).32 Nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka waktu yang panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada saat itu perbandingan emas perak 1:7, sehingga satu dinar 20 karat setara dengan 20 dinar 44 karat. Reformasi moneter pernah dilakukan oleh Abdul Malik yaitu dirham diubah menjadi 15 karat, dan pada saat yang sama dinar dikurangi berat emasnya dari 4,25 gram. Di zaman Ibnu Faqih (289 H) nilai dinar menguat menjadi 1:17, namun kemudian stabil pada kurs 1:15. Ulama
Muslimin H.Kara, Bank Syariah di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 62.
32

37

Islam Ibnu Taimiyah yang hidup di zaman pemerintahan raja mamluk, telah mengalami situasi di mana beredar banyak jenis mata uang dengan nilai kandungan logam mulia yang berlainan satu sama lain. Ketika itu beredar tiga jenis mata uang dinar (emas), dirham (perak), dan fullus (tembaga). Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirham berfluktuasi kadang-kadang malah menghilang, sedangkan yang beredar luas adalah fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa uang dengan kualitas rendah (fullus) akan menendang uang kualitas baik (dinardirham). Pemerintah Mamluk ditandai dengan stabilnya sistem moneter karena banyaknya fullus yang beredar dan karena meningkatnya jumlah tembaga dalam mata uang dirham, maka, tidaklah aneh bila sistem moneter modern dengan "paper money"-nya terutama setelah standar emas dihapuskan, berulang kali mengalami krisis.33 Diperkenalkannya fullus sebagai mata uang memberi inspirasi kepada beberapa kepala pemerintahan Bani Mamluk untuk menambah jenis uang. Berbeda dengan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, maka pencetakan fullus relatif lebih mudah dilakukan, karena tembaga lebih mudah didapat. Pemerintah mulai terlena dengan kemudahan pencetakan uang baru. Keadaan memburuk ketika Kirbugha dan zahir Barkuk mulai mencetak fullus dalam jumlah yang sangat besar dan nilai nominasi yang lebih besar dari nilai kandungan tembaga. Fullus banyak dicetak namun masyarakat banyak menolak kehadiran fullus

33

Eko Suprayitno, op. cit, hlm. 200-2001

38

tersebut.

Menyadari

kekeliruannya,

kemudian

Sultan

Kirbugha

menyatakan fullus ditentukan nilainya dari beratnya dan bukan dari nominasinya. Dengan adanya batasan tersebut, maka untuk menambah jumlah fullus Sultan Barkuk mulai mengimpor tembaga dari negaranegara Eropa.34 Secara khusus Ibnu Taimiyah juga mengomentari praktik mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa sebagai bagian dari bisnis uang. Secara garis besar Ibnu Taimiyah menyampaikan lima poin penting. Pertama, perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya kepercayaan orang akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak jangka panjang dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap sebagai pegawai. Ketiga perdagangan domestik akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat, perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga akan mengalir keluar dari negara.35 Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, seorang ulama Islam bernama Abu Hamid Al-Ghazali telah membahas uang dalam perekonomian.36 Beliau menjelaskan ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya, dan

membutuhkan sesuatu yang tidak dipunyainya. Dalam ekonomi Barter transaksi hanya terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebetulan

Ibid, hlm. 201-202 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002, hlm. 54, 36 Ibid
35

34

39

sekaligus, yaitu pihak pertama membutuhkan barang dan pihak kedua sebaliknya. Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang dibutuhkan sebagai nilai suatu barang. Misalnya unta senilai 100 dinar, dan kain senilai satu dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, maka uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk nilai yang tidak wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak mempunyai harga namun merefleksikan harga semua barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function), hanya bila uang itu digunakan untuk membeli barang, maka barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberi kegunaan tidak langsung (indirect utility function). Apa pun debat para ekonom konvensional, kesimpulan tetap sama dengan Al-Ghazali, yaitu uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.37 B. Sistem Perekonomian Islam 1. Pengertian Ekonomi Islam Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam
Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuannya, terj Abu Ahmadi dan Anshori Sitanggal, an-Nizam al-Iqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu Wahdafuhu, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, hlm. 33
37

40

kerangka Syariah. Ilmu yang rnempelajari perilaku seorang muslim dalam suatu masyarakat Islam yang dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang tidak kompetibel dan tidak universal. Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap dalam keputusan yang apriori (apriory

judgement), benar atau salah tetap harus diterima.38 Definisi yang lebih lengkap musti mengakomodasikan sejumlah prasyarat yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama adalah memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilainilai moral. Nilai-nilai moral merupakan aspek normatif yang harus dimasukkan dalam analisis fenomena ekonomi serta dalam pengambilan keputusan yang dibingkai syariah. Imamudin Yuliadi menginventarisir enam definisi ekonomi Islam sebagai berikut: 1. Ekonomi Islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumberdaya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat. 2. Ekonomi Islam adalah: "Ilmu sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai Islam.

38

Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam, Yogyakarta: LPPI, 2006, hlm. 6

41

3. Ekonomi Islam adalah: "Suatu upaya sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan masalah itu dari perspektif Islam 4. Ekonomi Islam adalah: "Tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada zamannya. Di mana dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al-Qur'an dan Sunnah disertai dengan argumentasi dan pengalaman empirik 5. Ekonomi Islam adalah "Suatu upaya memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan

mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi 6. Ekonomi Islam adalah "Cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sejalan dengan syariah Islam tanpa membatasi kreativitas individu ataupun menciptakan suatu ketidakseimbangan ekonomi makro atau ekologis.39 Dari beberapa definisi ekonomi Islam di atas yang relatif dapat secara lengkap menjelaskan dan mencakup kriteria dari definisi yang komprehensif adalah yang dirumuskan oleh Hasanuzzaman yaitu "Suatu pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan peraturan dalam syariah yaitu untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumberdaya material agar memberikan kepuasan manusia, sehingga

39

Ibid, hlm. 7

42

memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat (Islamic economics is the knowledge and application of injunctions and rules of the shari'ah that prevent injustice in the acquition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human beings and enable them to perform their obligations to Allah and the society).40 Hal penting dari definisi tersebut adalah istilah "perolehan" dan "pembagian" di mana aktivitas ekonomi ini harus dilaksanakan dengan menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumbersumber ekonomi. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk menghindari ketidakadilan tersebut adalah syariah yang di dalamnya terkandung perintah (injunctions) dan peraturan (rules) tentang boleh tidaknya suatu kegiatan. Pengertian "memberikan kepuasan terhadap manusia"

merupakan suatu sasaran ekonomi yang ingin dicapai. Sedangkan pengertian "memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat" diartikan bahwa tanggungjawab tidak hanya terbatas pada aspek sosial ekonomi saja tapi juga menyangkut peran pemerintah dalam mengatur dan mengelola semua aktivitas ekonomi termasuk zakat dan pajak. Namun perlu ditegaskan di sini perbedaan pengertian antara ilmu ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Islam. Ilmu ekonomi Islam merupakan suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu

40

Ibid, hlm. 8

43

metodologi ilmiah. Sehingga dalam proses perkembangannya senantiasa mengakomodasikan berbagai aspek dan variabel dalam analisis ekonomi. Ilmu ekonomi Islam dalam batas- batas metodologi ilmiah tidak berbeda dengan ilmu ekonomi pada umumnya yang mengenal pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Namun berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam yang merupakan bagian dari kehidupan seorang muslim. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu keharusan dalam kehidupan seorang muslim dalam upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam aktivitas ekonomi. Sistem ekonomi Islam merupakan salah satu aspek dalam sistem nilai Islam yang integral dan komprehensif. Suatu pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana kaitan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional? Sebagai suatu cabang ilmu sosial yang mempelajari perilaku ekonomi yang memuat pernyataan positif, ekonomi konvensional tidak secara eksplisit memuat peranan nilai (value) dalam analisa ekonomi. Bagi seorang muslim persoalan ekonomi bukanlah persoalan sosial yang bebas nilai (value free). Dalam perspektif Islam semua persoalan kehidupan manusia tidak terlepas dari koridor syariah yang diturunkan dari dua sumber utama yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.41 2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam Para pemikir ekonomi Islam berbeda pendapat dalam memberikan kategorisasi terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam. Khurshid Ahmad

41

Ibid, hlm. 8-10

44

mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada: Prinsip tauhid, rubbiyyah, khilafah, dan tazkiyah.42 Mahmud Muhammad Bablily

menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-ukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), alnasihah (memberi nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa (bersikap takwa).43 Sedangkan menurut M. Raihan Sharif dalam Islamic Social Framework, struktur sistem ekonomi Islam didasarkan pada empat kaidah struktural, yaitu: (1) trusteeship of man (perwalian manusia); (2) co-operation (kerja sama); (3) limite private property (pemilikan pribadi yang terbatas); dan (4) state enterprise (perusahaan negara).45 Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury, dalam bukunya, Constributions to Islamic Economic Theory. Ekonomi Islam menurutnya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: (1) the principle of tawheed and brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan), (2) the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas), dan (3) the principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam distribusi).44 Menurut Adiwarman Karim, bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan Ma'ad (hasil).45 Menurut Metwally yang dikutip Zainul Arifin,46 prinsip-

Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm 37-38 43 Mahmud Muhammad Bablily, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 15 44 Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 38 45 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, 2002, hlm. 17 46 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, Jakarta: Alvabet, 2003, hlm. 13.

42

45

prinsip ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpentirig adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti. (2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat. (3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur'an:

(29 : )...
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian...' (QS 4:29).47

47

Yayasan Penyelenggara/Penterjemah, op. cit, hlm. 122

46

(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang, akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkapkan bahwa "Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orangorang kaya saja di antara kalian..," (QS:57:7). Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum. (5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api." Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada

hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.

47

(6) Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur'an:

(281 : ).
Artinya: Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi padas hari yang padsa waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian maing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidask dianiaya (dirugikan).(QS 2:281).48 Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan. (7) Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi (8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan

48

Yayasan Penterjemah/pentafsir, op. cit, hlm 70.

48

perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga.49 Dalam Perjanjian Lama, larangan riba tercantum dalam Leviticus 25:27, Deutronomi 23:19, Exodus 25:25 dan dalam Perjanjian Baru dapat dijumpai dalam Lukas 6:35. 3. Sistem Perekonomian Islam Pada dasarnya sistem ekonomi Islam berbeda dari sistem-sistem ekonomi kapitalis dan sosialis; dan dalam beberapa hal merupakan pertentangan antara keduanya dan berada di antara kedua ekstrim tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, tetapi bebas daripada kelemahan yang terdapat pada kedua sistem tersebut. Hubungan antara individu dalam sistem ekonomi Islam cukup tersusun sehingga saling membantu dan kerjasama diutamakan dari persaingan dan permusuhan sesama mereka. Untuk tujuan tersebut, sistem ekonomi Islam bukan saja menyediakan individu kemudahan dalam bidang ekonomi dan sosial bahkan juga

Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 2-3.

49

49

memberikan mereka juga pendidikan moral dan latihan tertentu yang membuat mereka merasa bertanggungjawab untuk membantu rekan-rekan sekerja dalam mencapai keinginan mereka atau sekurang-kurangnya tidak menghalangi mereka dalam usahanya untuk hidup.50 Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang memberikan kebebasan serta hak pemilikan kepada individu dan menggalakkan usaha secara perseorangan. Tidak pula dari sudut pandang komunis, yang " ingin menghapuskan semua hak individu dan menjadikan mereka seperti budak ekonomi yang dikendalikan oleh negara. Tetapi Islam membenarkan sikap mementingkan diri sendiri tanpa membiarkannya merusak masyarakat. Pemilihan sikap yang terlalu mementingkan diri sendiri di kalangan anggota masyarakat dapat dilakukan dengan melalui pengadaan moral dan undang-undang. Di satu sisi pemahaman konsep ekonomi di kalangan masyarakat berubah dan diperbaiki melalui pendidikan moral serta di sisi yang lain, beberapa langkah tertentu yang legal diambil untuk memastikan sifat mementingkan diri golongan kapitalis tidak sampai ke tahap yang menjadikan mereka tamak serta serakah; dan bagi si miskin, tidak merasa iri hati, mendendam dan kehilangan sikap toleransi. Bagian yang terpenting dari prinsip-prinsip tersebut yang perlu bagi organisasi ekonomi dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang telah dinyatakan tadi ialah hak pemilikan individu,

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soerojo dan Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 10

50

Jilid

50

yang perlu untuk kemajuan manusia bukan saja senantiasa dijaga dan terpelihara tetapi terus didukung dan diperkuat. 51

51

Ibid, hlm. 11

BAB III PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA

A. Biografi Muhammad Abdul Mannan 1. Latar Belakang Keluarga Muhammad Abdul Mannan adalah seorang guru besar di Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah. Lahir di Bangladesh 17 November 1939. Gelar M.A diperoleh di Bangladesh, M.A in Economics dan Ph.D di Michigan, USA. Ia termasuk salah satu pemikir ekonomi Islam kontemporer yang cukup menonjol. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkan salah satu karya tulisnya adalah Islamic Economics: Theory and Practice yang terbit tahun 1970 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada beberapa sumber hukum yaitu: Al-Qur'an Sunnah Nabi Ijma' Ijtihad atau Qiyas Prinsip hukum lainnya.1

Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001, hlm. 53.

51

52

Dari sumber-sumber hukum Islam di atas ia merumuskan langkahlangkah operasional untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yaitu: 1. Menentukan basic economic functions yang secara umum ada dalam semua sistem tanpa memperhatikan ideologi yang digunakan, seperti fungsi konsumsi, produksi dan distribusi. 2. Menetapkan beberapa prinsip dasar yang mengatur basic economic functions yang berdasarkan pada syariah dan tanpa batas waktu (timeless), misal sikap moderation dalam berkonsumsi. 3. Mengidentifikasi metode operasional berupa penyusunan konsep atau formulasi, karena pada tahap ini pengembangan teori dan disiplin ekonomi Islam mulai dibangun. Pada tahap ini mulai mendeskripsikan tentang apa (what), fungsi, perilaku, variabel dan lain sebagainya. 4. Menentukan (prescribe) jumlah yang pasti akan kebutuhan barang dan jasa untuk mencapai tujuan (yaitu: moderation) pada tingkat individual atau aggregate. 5. Mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah keempat. Langkah ini dilakukan baik dengan pertukaran melalui mekanisme harga atau transfer payments. 2 6. Melakukan evaluasi atas tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau atas target bagaimana memaksimalkan kesejahteraan dalam seluruh kerangka yang ditetapkan pada langkah kedua maupun dalam dua pengertian pengembalian (return), yaitu pengembalian ekonomi dan
Biografi Muhammad Abdul Mannan dalam Introduction of Dr..M. Abdul Mannan, http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm.
2

53

non-ekonomi, membuat pertimbangan-pertimbangan positif dan normatif menjadi relatif tidak berbeda atau tidak penting. 7. Membandingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah dengan pencapaian yang diperoleh (perceived achievement). Pada tahap ini perlu melakukan review atas prinsip yang ditetapkan pada langkah kedua dan merekonstruksi konsep-konsep yang dilakukan pada tahap ketiga, keempat dan kelima. Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Mannan cukup konkrit dan realistik. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak ada dikhotomi antara aspek normatif dengan aspek positif. Secara jelas Mannan mengatakan : "... ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya (ought to be) ...penelitian ilmiah ekonomi modern (Barat) biasanya membatasi diri pada masalah positif daripada normatif... Beberapa ekonom Muslim juga mencoba untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu positif dengan normatif, sehingga dengan cara demikian mereka membangun analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangka pemikiran barat. Sedangkan ekonom yang lain mengatakan secara sederhana bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu normatif. Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu ekonomi Islam saling terkait dan memisahkan kedua aspek ini akan menyesatkan

54

dan menjadi counter productive.3 Dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, maka langkah pertama adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Lima prinsip dasar yang berakar pada syari'ah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi yakni prinsip righteousness, cleanliness, moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum kebutuhan manusia terdiri dari necessities, comforts dan luxuries. Pada setiap aktivitas ekonomi aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan aspek produksi Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa sistem produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan syari'ah Islam. Jadi dalam sistem ekonomi kesejahteraan tidak sematamata ditentukan berdasarkan materi saja, tetapi juga hams berorientasi pada etika Islam. Aspek lain selain konsumsi dan produksi yang tidak kalah pentingnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan. Mannan mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok masyarakat saja melalui implementasi
Biografi Muhammad Abdul Mannan dalam Introduction of Dr..M. Abdul Mannan, http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm.
3

55

kewajiban yang dijustifikasi secara Islam dan distribusi yang dilakukan secara sukarela. Rumusan kebijakan tersebut adalah: 1. Pembayaran zakat dan 'ushr (pengambilan dana pada tanah 'ushriyah yaitu tanah jazirah Arab dan negeri yang penduduknya memeluk Islam tanpa paksaan). 2. Pelarangan riba baik untuk konsumsi maupun produksi. 3. Pemberian hak untuk sewa ekonomi murni (pendapatan yang diperoleh usaha khusus yang dilakukan oleh seseorang) bagi semua anggota masyarakat. 4. Implementasi hukum waris untuk meyakinkan adanya transfer kekayaan antargenerasi. 5. Mendorong pemberian pinjaman lunak. 6. Mencegah penggunaan sumberdaya yang dapat merugikan generasi mendatang. 7. Mendorong pemberian infaq dan shadaqah untuk fakir miskin. 8. Mendorong organisasi koperasi asuransi. 9. Mendorong berdirinya lembaga sosial yang memberikan santunan kepada masyarakat menengah ke bawah. 10. Mendorong pemberian pinjaman aktifa produktif kepada yang membutuhkan. 11. Tindakan-tindakan hukum untuk menjamin dipenuhinya tingkat hidup minimal (basic need)

56

Menetapkan kebijakan pajak selain zakat dan 'ushr untuk meyakinkan terciptanya keadilan sosial. 2. Karya-Karya Muhammad Abdul Mannan Adapun karya-karya Muhammad Abdul Mannan sebagai berikut4: 1. Islamic Economics; Theory and Practice, 386 halaman, diterbitkan oleh: Sh. Mohammad Ashraf, Lahore, Pakistan, 1970, (Memperoleh best-book Academic Award dari Pakistan Writers' Guild, 1970) cetak ulang 1975 dan 1980 di Pakistan. Cetak ulang di India, 1980. 2. The Making of Islamic Economics Society: Islamic Dimensions in Economic Analysis; diterbitkan oleh International Association of Islamic Banks, Cairo dan International Institute of Islamic Banking and Economics, Kibris (Cyprus Turki) 1984. 3. The Frontiers of Islamic Economics, diterbitkan oleh Idarath Ada'biyah, Delhi, India, 1984. 4. Economic Development in Islamic Framework (Diedit/akan terbit). 5. Key Issues and Questions in Islamic Economics, Finance, and Development (akan terbit). 6. Abstracts of Researches in Islamic Economics (diedit, KAAU, 1984). 7. Islam arid Trends in Modern Banking - Theory and Practice of Interest-free Banking". Asli dimuat dalam Islamic Review and Arab Affairs, jilid 56, Nov/Des., 1968, jilid 5-10, dan jilid 57, January 1

Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dna Bakti Prima Yasa, 1997, hlm. 406-411.

57

London, 1969, halaman 28-33, UK diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh M.T. Guran Ayyildiz Matahassi, Ankara (1969). B. Karakteristik Pemikiran Muhammad Abdul Mannan Karakteristik pemikiran ekonomi Islam Muhammad Abdul Mannan merefleksikan keunikannya, dan dari keunikannya itu sekaligus sebagai kelebihannya dibandingkan dengan ekonom lainnya.5 Kelebihannya dapat dikemukakan dalam beberapa hal. Pertama, pandangan dan pemikirannya komprehensif dan integratif mengenai teori dan praktek ekonomi Islam dan perbankan Islam, menghadirkan gambaran keseluruhan dan bukan hanya potongan-potongannya. Ia melihat sistem ekonomi Islam dan perbankan Islam dalam perspektifnya yang tepat. Dalam hal ini, ia memenuhi kebutuhan besar dan berfungsi sebagai antibodi terhadap sebagian penyakit rasa puas yang menimpa kalangan-kalangan Islam. la tidak saja mengulang pernyataan posisi Islam terhadap perbankan, dan finansial dalam suatu cara yang otentik komprehensif dan tepat, melainkan juga mengidentifikasi kesenjangan dalam beberapa pendekatan yang berlaku. la juga merupakan suatu peringatan yang tepat waktu terhadap pendekatan-pendekatan yang parsial. Penekanan Muhammad Abdul Mannan pada perubahan struktural, pada perlunya membersihkan kehidupan ekonomi dari segala bentuk eksploitasi dan ketidakadilan serta terhadap saling ketergantungan dari berbagai unsur dalam lingkup kehidupan Islam, tidak saja merupakan pengingat yang tepat,

Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001, hlm.

53.

58

melainkan juga berfungsi sebagai agenda kuat untuk reformasi dan rekonstruksi masa depan umat Islam dalam menata sistem perbankan Karakteristik kedua dari pemikirannya adalah terintegrasinya teori dengan praktik ekonomi Islam. Muhammad Abdul Mannan dengan sangat baik mengembangkan argumen yang jitu dalam menggulirkan konsep ekonomi Islam inklusif masalah peranan uang dan perbankan Islam.6 Dari sini tampaknya ia telah berhasil menunjukkan dengan ketelitian akademik tidak saja kebaikan, melainkan juga keunggulan sistem ekonomi Islam. la tidak saja melihat ulang secara kritis ekonomi Islam, uang dan perbankan Islam yang berlaku, melainkan juga mengajukan saran-saran orisinal untuk

meningkatkannya dan memungkinkannya mencapai tujuan-tujuan Islam secara lebih efektif. Ketiga, karakteristik gagasan dan pemikirannya ini telah meningkatkan tingkat perdebatan mengenai ekonomi Islam, keuangan dan perbankan Islam oleh analisis yang teliti dari sebagian konsekuensi pokok, oleh evaluasi kritis dari sebagian gagasan baru yang berkembang selama dekade baru, dengan menghadirkan pandangan-pandangan baru dan saran kebijakan yang relevan.7 Evaluasinya tentang sebagian usulan dari laporan Dewan Ideologi Islam Bangladesh telah memperkaya perdebatan. Pandangannya tentang konsep uang, perbankan Islam, kerangka mikro dan makro ekonomi, kebijakan fiskal dan Anggaran Belanja dalam Islam di dasarkan atas pemahaman yang luas dan akurat.
6 7

Ibid, hlm. 53. Ibid, hlm. 54.

59

Meskipun pemikirannya mencakup nilai yang luas dalam bidang ilmu ekonomi Islam dan perbankan, namun pembahasan tentang hubungan perbankan dan moneter internasional dan bagaimana membersihkan dari riba dan bentuk-bentuk eksploitasi lain perlu dikembangkan, diperkokoh, dan diperluas dalam beberapa hal. Berpijak dari itu semua, tampaknya para ekonom muslim lain akan terus menghadapi tantangan yang datang dari sistem perbankan dan moneter dunia. Untuk itu perlu dikembangkan visi yang lebih tegas tentang peran uang dan sistem perbankan di dunia internasional yang bebas dari unsur eksploitasi dan mengarah kepada munculnya sebuah tata ekonomi dunia yang adil. Adapun kekurangannya, bahwa Muhammad Abdul Mannan dalam menguraikan peran uang dan ekonomi Islam terlalu singkat padahal materi dan cakupan dari sistem keuangan dan perbankan demikian luas, sehingga solusi yang ditawarkan masih terlalu umum dan bersifat global. Dengan demikian masih perlu rincian lebih spesifik. Jika pendapatnya diaplikasikan maka akan terasa bahwa konsepnya masih terlalu murni, artinya konsep yang ditawarkan sulit diaplikasikan dan lebih tepat dijadikan wacana, namun demikian, terlepas dari kekurangannya, bila melihat pemikirannya tampak sangat menarik. Ia adalah seorang ekonom kenamaan dan seorang sarjana Islam yang mempunyai komitmen. Pada dirinya, seseorang akan melihat gabungan model baru kesarjanaan Islam, di mana arus pengetahuan tradisional dan modern saling memenuhi satu sama lain. Ia memiliki sumber pengetahuan terbaik dari pusat pendidikan ekonomi modem. Dia bekerja keras, sangat

60

berhasil menguasai bahasa Arab dan kajian Islam dari sumber-sumber yang asli. Dia telah melakukan pengajaran penting dan riset. C. Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya 1. Tentang Uang Menurut Mannan, dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang.8 Sekali peranan uang sebagai alat tukar diakui, uang dapat memainkan peranannya sebagai suatu "unit akun" (kesatuan hitung) dan sebagai suatu kumpulan nilai dalam suatu ekonomi Islami. la dapat digunakan sebagai ukuran opportunity cost (yaitu pendapatan yang hilang), dengan baik sekali.9

Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Intermasa, 1992, hlm. Ibid

162.
9

61

Pada suatu tingkat teoritis, penghapusan bunga dan dikenakannya 2,5 persen zakat pertahun pada uang yang tidak digunakan, sangat memungkinkan berkurangnya nafsu motif spekulatif untuk memiliki uang tunai, Dengan demikian turut membantu stabilitas nilai uang. Ini bukan karena ingin mengatakan bahwa stabilitas uang hanya tergantung pada penghapusan bunga dan dikenakannya zakat. Hal ini tergantung pada faktor yang tumbuh dari dalam seperti tingkat kegiatan usaha, tingkat laba yang diharapkan, kemampuan bank komersial menanggapi insentif ekonomi maupun faktor luar seperti pengawasan bank sentral. Namun demikian, tidak adanya bunga dan adanya zakat menempatkan suatu ekonomi Islam dalam kedudukan yang lebih baik untuk menangani masalah spekulasi yang tidak jujur dan penimbunan uang, dengan demikian memungkinkan uang melaksanakan fungsi perolehan lainnya dengan cara yang relatif lebih mudah. Ini tidak berarti bahwa suatu ekonomi Islam tidak memerlukan kebijakan moneter yang sehat, karena masih terdapat kontroversi mengenai apakah dalam suatu ekonomi Islam hanya bank sentral yang memiliki wewenang tunggal menciptakan uang, ataukah bank dagang seharusnya juga diperkenankan menciptakan uang melalui kredit.10 Menurut Mannan, dalam ekonomi Islam uang memainkan peranan sosial dan religius yang khusus, karena ia merupakan ukuran terbaik untuk menyalurkan daya beli dalam bentuk pembayaran transfer kepada si

10

Ibid., hlm. 163.

62

miskin. Pembayaran transfer mempunyai arti khusus dalam suatu ekonomi Islam, karena dalam Islam pembayaran ini tidak hanya merupakan kewajiban sukarela di pihak kaum Islam, tapi juga suatu kewajiban yang dipaksakan, terutama dalam hal pembayaran zakat oleh si kaya kepada si miskin. Arti religius peranan uang terletak pada kenyataan bahwa ia memungkinkan kita menghitung nisab dan menilai suku zakat dengan tepat. Dalam suatu ekonomi uang, adalah mudah untuk menilai sumbangan seseorang dalam hal kewajiban intra keluarga dan masyarakat dengan tepat, terutama dalam hal tidak terdapatnya produk akhir untuk melakukan barter. Persoalannya ialah, suatu skala cara penyaluran pembayaran transfer yang dibenarkan secara Islami dapat ditetapkan lebih efektif dalam suatu ekonomi uang. Uanglah yang memungkinkan setiap orang atau kelompok masyarakat menetapkan suatu skala pilihan, sehingga mereka yang paling berjasa berada dekat puncak skala. Uang juga melaksanakan fungsi sosial lain dengan menahan atau mencegah eksploitasi terbuka yang terkandung dalam suatu keadaan tawar-menawar tanpa akhir. Tanpa uang kita harus memperlihatkan semua nilai relatif barang dan jasa yang terdapat pada skala.11 Dewasa ini bukan saja ratusan tetapi ribuan komoditi yang harus dipilih dalam suatu toko swalayan modern. Penggunaan yang

menyederhanakan prosedur penyelesaian syarat, mengurangi peluang eksploitasi dalam menyelesaikan syarat penukaran yang menguntungkan si

11

Ibid

63

kuat dan si kaya, dan juga melenyapkan timbulnya masalah kebutuhan rangkap secara bersamaan. Jadi, bila dilihat uang melaksanakan fungsi sosial dan religiusnya, maka pada hakikatnya ia berfungsi sebagai alat bukan-tukar.12 Tetapi mungkin ada pertanyaan apakah segi Islami dari fungsi bukan-tukar ini, karena dalam tiap masyarakat, uang dapat melaksanakan fungsi ini. Walaupun gejala bukan-tukar ini sebagai suatu kenyataan ataupun sebagai suatu kemungkinan, memang terdapat di masyarakat kapitalis maupun tradisional, namun kekhususan gejala bukan-tukar Islami terletak pada kenyataan bahwa ia dianggap sebagai bagian dari kewajiban religius. la tidak disekularisasi maupun disosialisasi, karena di kebanyakan masyarakat Barat gejala bukan-tukar ini dianggap suatu upaya untuk meloloskan diri dari pajak sekular. Kebanyakan organisasi filantropis dan amal di Barat memperoleh manfaat pembebasan pajak dalam tingkat yang bermacam-macam. Karena itu sedikit banyaknya alat bukan-tukar disekularisasi. Penukaran hadiah dalam masyarakat tradisional seperti masyarakat Melanesia di Pasifik Selatan, dianggap sebagai suatu upaya untuk memperkukuh ikatan sosial di kalangan kelompok keluarga atau suku dan berakar dalam prinsip tindakan timbal balik sosial. Jadi pada hakikatnya gejala bukan-tukar ini adalah peristiwa sosial. Maka jelaslah bahwa fungsi sosial dan religius yang dilaksanakan uang dalam ekonomi Islam mempunyai peranan yang berbeda.

12

Ibid., hlm. 163.

64

2. Uang Berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba Menurut Mannan, dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Telah diketahui bahwa riba (yaitu bunga) dilarang. Kedudukan bank Islam dalam hubungan dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedangkan dalam hal bank di Barat, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Dalam menjalankan pekerjaan yang sesungguhnya, bank Islam menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak mudarabah, yaitu seorang pemilik modal memberikan modal dan mudarab (mitra tenaga kerja) memberikan kecakapan teknik dan ketrampilan, sedangkan laba dibagi antara keduanya, menurut persentase yang disetujui. Bank Islam juga terlibat dalam kontrak murabaha (berdasarkan perhitungan biaya ditambah sesuatu atau cost plus}, yaitu bank membeli suatu komoditi tertentu menurut rincian kliennya dan mengirimkannya berdasarkan pembagian rasio laba yang disetujui, Bank Islam juga berurusan dengan pasar devisa dan melaksanakan jasa perbankan lainnya seperti surat kredit, dan surat jaminan. Mungkin bank juga memberikan jasa bukan perbankan seperti trust business, real estate, dan jasa konsultan.13 Menurut Mannan, al-Qur'an dan Sunnah dua sumber pokok Hukum Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (Q. S, Al

13

Ibid., hlm. 164.

65

Muzzammil dan Q.S, Al-Baqarah). Tetapi beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum Al Qur'an karena hukum ini hanya mengacu pada riba yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi di masa pra Islam. Pada masa itu orang tidak mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. Dalam hal ini mereka yang mengajukan teori bunga tampaknya mengabaikan Al-Qur'an, yang merupakan firman Allah terakhir sebagai pedoman manusia. Al Qur'an adalah undang-undang segala zaman, dan ma'rifat Tuhan yang terwujud padanya tidak dapat digantikan oleh praktek ekonomi bunga pada pinjaman produksi yang diketahui zaman ini, atau zaman lainnya. Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut Riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum Islam.14 The Concise Oxford Dictionary menyatakan riba sebagai berikut, "Praktek meminjamkan uang dengan bunga yang luar biasa tingginya, terutama dengan bunga yang lebih tinggi daripada yang diperkenankan oleh undang-undang." Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh

14

Ibid., hlm. 164.

66

Chamber's Dictionary. Tetapi apakah suatu bunga yang luar biasa itu? Suku bunga yang layak dewasa ini akan merupakan suku bunga luar biasa di waktu yang akan datang. Kemudian, apa yang layak bagi suatu negara mungkin tidak layak bagi negara lainnya. Di tahun sembilan belas dua puluhan banyak masyarakat kooperatif yang mengenakan bunga dua belas sampai lima belas persen, dan pada waktu itu hal ini dianggap wajar. Tetapi dewasa ini hal itu dianggap terlalu berlebihan dan luar biasa. Delapan setengah persen suku bunga yang dianggap wajar oleh suatu badan ahli seperti Komisi Keuangan Liga Bangsa-bangsa pun, sudah tidak relevan lagi, dewasa ini. Lagi pula, kini terdapat contoh bahwa di beberapa negara suku bunga resmi pada sebuah lembaga terkemuka, luar biasa tingginya dibandingkan dengan suku bunga resmi suatu lembaga lain di daerah yang sama untuk jenis pinjaman serupa. Di Amerika Serikat umpamanya, pada tahun sembilan belas lima puluhan dan enam puluhan, bank tidak dapat mengenakan bunga lebih dari delapan persen, sedangkan suatu perusahaan pemberian kredit dapat mengenakan tiga puluh sampai tiga puluh enam persen suku bunga pertahun untuk pinjaman yang serupa. Demikian pula untuk pinjaman pribadi si pemberi pinjaman mengenakan bunga dua puluh empat sampai seratus persen tiap tahun, dan ini masih dianggap tidak bertentangan dengan hukum. Sebetulnya menurut Mannan, tidak ada perbedaan antara bunga dan Riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan padanya. Tetapi dalam

67

ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Dikemukakan bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi tanpa nyawa, dan seluruh ekonomi akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dapat dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung. Dalam hubungan ini baiklah dicatat pandangan klasik dan Keynesian tentang bunga.15 Perbankan Islam didasarkan atas prinsip shirakah (mitra usaha) yang telah diakui di seluruh dunia. Artinya, seluruh sistem perbankan di mana pemegang saham, depositor, investor dan peminjam akan berperan serta atas dasar mitra usaha. Pasti ini akan berjalan dengan menerapkan prinsip lestari mudarabah, yaitu tenaga kerja dan pemilik modal bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk kerja. Ini bukan semata-mata mitra usaha dalam arti modern. Ia mempunyai kelebihan karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan nilai material dan spiritual untuk jalan sistem ekonominya. Kode etik ekonomi ini harus dicerminkan bila prinsip mudarabah dilaksanakan dalam praktek. Sistem perbankan Islam dapat membantu pembentukan lembaga tertentu atas dasar mudarabah dan dengan demikian

menyelesaikan pertentangan yang berabad-abad lamanya antara tenaga kerja dan majikan. Perusahaan industri, niaga dan pertanian dapat

15

Ibid., hlm. 165.

68

direncanakan atas prinsip mudarabah yang menggabungkan berbagai satuan produksi. Pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan demikian dapat dibagi proposional di kalangan berbagai satuan produksi sesudah mengurangi semua pembiayaan yang sah dari perusahaan tersebut sepanjang tahun. Sungguh menyenangkan melihat bank Islam turut mengurus kontrak mudarabah, yaitu bank memberikan modal, para nasabah memberikan keahlian mereka, sedangkan keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui. Telah dikemukakan bahwa prinsip mudarabah dapat dimintakan dalam hal transaksi jangka pendek yang dapat membiayai dirinya sendiri (self liquidating), dan akibatnya permintaan untuk pinjaman jangka pendek dapat banyak dikurangi, karena dalam ekonomi Islam pinjaman jangka pendek dengan bunga seperti yang diberikan bank dagang tradisional atau lembaga diskonto tidak akan tersedia. Dengan operasi murabaha, para klien bank membeli suatu komoditi menurut rincian tertentu dan menghendaki agar bank mengirimkannya kepada mereka berdasarkan imbuhan harga tertentu menurut persetujuan mula antara kedua pihak. Dengan musharaka, baik bank maupun klien menjadi mitra usaha dengan menyumbang modal dalam berbagai tingkat dan mencapai kata sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu tertentu.16

16

Ibid., hlm. 167.

69

Mekanisme perbankan Islami, yang berdasarkan prinsip mitra usaha, adalah bebas bunga. Karena itu, soal membayarkan bunga kepada para depositor atau pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul. Dalam rencana perbankan Islami, mungkin terdapat dua jenis depositor. Jenis yang pertama adalah depositor yang dapat mendeposit dana surplusnya, ia diperkenankan menarik dananya setiap waktu tanpa pemberitahuan. Jenis deposito ini hanya untuk penyimpanan keamanan (safe depositing), bukan untuk investasi dalam suatu kegiatan produksi yang mengandung resiko. Dalam hal deposito demikian, bank dapat memperoleh zakat dan biaya jasa dari para depositor Islam dan yang bukan Islam. Pajak atas dana yang tak digunakan ini dibenarkan, karena ia mencegah kecenderungan untuk menimbun uang tunai dalam bentuk tak digunakan dan memberikan dorongan untuk menginvestasi dalam kegiatan produksi. Jenis depositor kedua tidak boleh menarik dana mereka tanpa pemberitahuan. Dana surplus mereka mungkin diinvestasikan dalam urusan produksi atas dasar jangka pendek. Bank tidak akan meminta apa pun dari para depositor ini, bahkan, mereka diperkenankan berbagi laba atau kerugian bank secara sebanding pada akhir tahun anggaran dalam suatu bentuk yang menyerupai dividen. Tetapi bila diperlukan, bank Islam dapat mengumpulkan dana, dengan menawarkan pemberian investasi untuk suatu masa, dari satu, lima tahun, atau lebih.

70

Di negara Barat, beberapa bank mengeluarkan sertifikat investasi atau obligasi investasi dengan suku bunga yang ditetapkan. Tapi dalam suatu negara Islam para pemegang sertifikat investasi ini akan mendapatkan bagian laba sebanding dari bank, dalam bentuk dividen yang dapat dikeluarkan pada akhir tahun anggaran. Jelaslah bahwa bank Islam tidak dapat mengeluarkan surat utang untuk mengumpulkan dana, karena hal ini memerlukan suatu suku bunga yang ditetapkan. 3. Uang dan Teori tentang Zakat Menurut kapitalisme. Mannan, zakat terjadi merupakan pukulan hebat bagi zakat.

Sayangnya,

kesalahpahaman

mengenai

Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai suatu amal pribadi, padahal Zakat adalah pajak wajib atas tabungan dan harta benda berdasarkan suku yang berbeda-beda, mulai dari dua sampai dua puluh persen. Para Fukaha (ahli hukum Islam) menyepakati dilakukannya tindakan tegas pada mereka yang lalai membayar zakat yang diwajibkan. Sejarah Islam mencatat banyak kejadian di mana negara mengambil langkah tegas untuk melaksanakan pembayaran zakat seperti yang diketahui di masa Khalifah Abu Bakar al Siddiq, khalifah Islam pertama. Zakat adalah musuh yang tak kenal kompromi bagi pekerjaan menimbun. la mencegah kecenderungan untuk menimbun sumber daya, dan uang tunai yang tidak digunakan, ia juga memberikan dorongan kuat untuk menginvestasi persediaan yang tak terpakai ini. Dorongan ini

71

memperoleh kekuatan dari kenyataan bahwa Islam memperkenankan laba dan mitra usaha diam, dengan berbagi laba maupun kerugian.

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA

A. Analisis Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya 1. Tentang Uang Menurut Mannan, Dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan sistem riba, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukarmenukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang.1 Menurut penulis bahwa apa yang diungkapkan Mannan sangat tepat bahwa dalam perspektif Islam, uang tidak boleh dianggap sebagai barang perdagangan. Apabila uang dianggap sebagai barang dagangan dan ini misalnya dibenarkan umat Islam maka konsekuensinya harus membenarkan sistem bunga dan riba. Jika uang dijadikan barang dagangan dan dianggap sebagai hal yang biasa dalam bisnis maka berarti umat Islam harus menerima bunga dan riba sekaligus menyimpang dengan ketentuan al-Qur'an yang melarang bunga dan riba. Dari sini penulis hendak memperkuat

Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Intermasa, 1992, hlm.

162.

72

73

argumentasi dengan mencantumkan pendapat Adiwarman Karim yang menyatakan: Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensial. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.2 Pernyataan Adiwarman Karim sejalan pula dengan pendapat Muhamad yang menegaskan: Persoalan riba sebetulnya sangat berkaitan dengan masalah uang. Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional (kapitalisme), Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW., bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.3 Pendapat ahli tersebut tidak berbeda dengan pendapat Zainul Arifin yang menyatakan: Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana barang saling dipertukarkan.4

Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hlm. 69. Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabeta, 2003, hlm. 16

77.

3 4

74

Dalam sistem perekonomian mana pun, fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange). Ini adalah fungsi utama uang. Dari fungsi utama ini, diturunkan fungsi-fungsi yang lain seperti uang sebagai standard of value (pembakuan nilai), store of value (penyimpan kekayaan), unit of account (satuan penghitungan) dan standard of defferred payment (pembakuan pembayaran tangguh). Mata uang manapun niscaya akan berfungsi seperti ini. Manakala diamati, ada satu hal yang sangat berbeda dalam memandang uang, antara sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga sebagai komoditas. Menurut sistem kapitalis, uang juga dapat diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the spot maupun secara tangguh. Lebih jauh, dengan cara pandang demikian, maka uang juga dapat disewakan (leasing). Dalam Islam, apa pun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. la bukan suatu komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang di dalam substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau tujuan-

75

tujuannya. Menurut beliau, "kedua-duanya tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti segala-galanya". Keduanya ibarat cermin, ia tidak memiliki warna namun ia bisa mencerminkan semua warna. Penjelasan Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal, Ihya Ulumiddin, tentang hakikat dan fungsi uang dalam perekonomian, sesungguhnya sangatlah luar biasa cemerlangnya, dan sangat mendahului zamannya. Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas oleh sistem kapitalis, berkembanglah apa yang disebut pasar uang. Terbentuknya pasar uang ini menghasilkan dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional, terutama pada sektor moneternya. Pasar uang ini kemudian berkembang dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari pasar uang. Pasar derivatif ini menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari produk-produknya. Transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya ini tidak berlandaskan motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian besar di antaranya mengandung motif spekulasi. Maka tak heran jika perkembangan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler. Penelitian Mustafa Edwin Nasution, et al, menyatakan: Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US $ 1,5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil US $ 6 triliun setiap tahun. Dengan empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun. Inilah yang kemudian menciptakan satu kondisi perekonomian gelembung (bubble economic}, suatu kondisi yang melibatkan transaksi keuangan yang besar sekali,

76

namun sesungguhnya tidak ada isinya karena tidak dilandasi transaksi riil yang setara.5 Dalam perjalanan sejarah, berkembang pemikiran bahwa uang tidak hanya bisa dibuat dari emas atau perak. Dalam pikiran para sahabat Rasulullah pun telah berkembang kemungkinan untuk membuat uang dari bahan lain. Misalnya Umar bin Khattab pernah mengatakan: "Aku ingin (suatu saat) menjadikan kulit unta sebagai alat tukar". Pernyataan ini keluar dari bibir seorang yang amat paham tentang hakikat uang dan fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar, sesungguhnya uang sebagai alat tukar tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja seperti emas dan perak. Kedua logam mulia ini akan mengalami ketidakstabilan manakala terjadi ketidakstabilan pada sisi permintaan maupun penawarannya. Karena itu, apa pun, sesungguhnya dapat berfungsi menjadi uang termasuk kulit unta. Dalam pandangannya suatu barang yang telah berubah fungsinya menjadi alat tukar (uang) maka fungsi moneternya akan meniadakan fungsinya atau paling tidak akan mendominasi fungsinya sebagai komoditas biasa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar bahannya bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku ('urf) dan istilah yang dibuat oleh manusia. La tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya, istilah dinar dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syar'i. dinar dan dirham
Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Media Pratama Group, 2007, hlm. 249.
5

77

tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah (medium of exchange). Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan tujuan apa pun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya juga tidak berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan dari keperluan manusia dapat dipenuhi. Pada umumnya para ulama dan ilmuwan sosial Islam menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti Imam Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib alAshbahani, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, dan Ibnu Abidin dengan jelas menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Bahkan Ibnul Qayyim mengecam sistem ekonomi yang menjadikan fulus (mata uang logam dari kuningan atau tembaga) sebagai komoditas biasa yang bisa

diperjualbelikan dengan kelebihan untuk mendapatkan keuntungan. Seharusnya mata uang itu bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun. Munculnya mata uang dari tembaga (fulus) ini, karena pemerintahan Muslim di zaman Bani Mamluk mengalami ketidakseimbangan fiskal. Mereka mengalami defisit karena korupsi aparat pemerintahan, gaya hidup yang mewah dan peperangan yang terus berkobar di antara mereka maupun dengan musuh mereka. Sekalipun jumhur ulama sepakat untuk tidak membolehkan uang sebagai komoditas, ada juga pendapat minor yang memandang mata uang sebagai komoditas. Mereka ini tidak mewakili pandangan yang paling kuat dari mazhabnya masing-masing. Misalnya, dalam fikih Hambali

78

dikatakan bahwa tidak ada riba pada fulus yang diperjualbelikan satu per satu meskipun hal itu digunakan secara luas karena telah keluar dari illatnya yaitu takaran dan timbangan. Demikian pula Syekh Hasyim Al-Ghouti al-Madani dari mazhab Syafi'i, Syekh Ilisy al-Maliki dari mazhab Maliki dan Syekh Syamsuddin Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsut. Semuanya menyatakan tidak berlaku riba pada fulus meskipun secara luas dipakai sebagai alat tukar. Namun pandangan-pandangan minor tadi tidaklah mempengaruhi jumhur ulama. Perbedaan pandangan demikian adalah biasa dalam kebebasan berpikir, dan tidak perlu dirisaukan. Yang jelas pandangan miring ini tidak mewakili pandangan main stream dari masingmasing mazhab. Dengan demikian semua mazhab telah sepakat bahwa memperjualbelikan uang dengan kelebihan termasuk perbuatan riba. Dari penjelasan tadi jelaslah bahwa pendapat yang menyatakan bahwa uang sebagai medium of exchange yaitu tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi perantara dalam memenuhi kebutuhan manusia yang lain adalah pendapat yang mencerminkan kebenaran. Inilah yang kemudian menjadi acuan jumhur ulama hingga sekarang.

2. Uang Berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba Menurut Mannan, Dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Telah diketahui bahwa riba (yaitu bunga) dilarang. Kedudukan bank Islam dalam hubungan dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedangkan dalam hal bank di Barat, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Al-

79

Qur'an dan Sunnah dua sumber pokok Hukum Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (Q. S, Al Muzzammil dan Q.S, AlBaqarah). Tetapi beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum Al Qur'an karena hukum ini hanya mengacu pada riba yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi di masa pra Islam. Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut Riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya .6 Menurut Mannan, Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dapat dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.7 Pendapat Mannan di atas pada intinya ia menganggap bahwa bunga itu sama saja dengan riba, kecil atau besar bunganya tetap saja sebagai riba. Dalam masalah ini maka penulis setuju dengan pendapatnya karena bagaimana pun juga bunga itu adalah identik dengan riba. Untuk memperkuat pendapat ini maka penulis lebih dahulu mencantumkan pendapat yang berbeda dengan Mannan di antaranya: Menurut A. Hassan, bunga dan riba pada hakekatnya sama yaitu tambahan pinjaman atas uang, yang dikenal dengan riba nasiah, dan tambahan atas barang yang disebut riba fadl. Yang membedakan keduanya yaitu sifat bunganya yang berlipat ganda, tanpa batas. Oleh karena itu, menurut A. Hassan tidak semua riba itu dilarang, jika riba itu diartikan
6 7

Abdul Mannan, op.cit., hlm. 164. Ibid., hlm. 165.

80

sebagai tambahan atas hutang, lebih dari yang pokok yang tidak mengandung unsur perlipat ganda maka ia dibolehkan. Namun bila tambahan itu mengandung unsur eksploitasi atau berlipat ganda, ia kategorikan dalam perbuatan riba yang dilarang oleh agama.8 Pendapat A. Hassan tidak berbeda dengan pendapat Syafruddin Prawiranegara. la berpendapat bahwa riba atau yang ia sebut dengan woeker9 berbeda dengan bunga bank. Bunga bank adalah rente, yaitu tingkat bunga yang wajar, yang hanya boleh dipungut berdasarkan undang-undang, tidak dipungut secara liar tanpa adanya aturan yang mengatur keberadaannya. Sedangkan riba menurutnya adalah tiap-tiap laba yang abnormal yang diperoleh dalam jual beli bebas, tetapi di mana satu pihak terpaksa menerima kontrak jual beli itu karena kedudukannya lemah.10 Bunga bank yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada prinsip ekspolitasi bukan merupakan riba. Menurutnya, baik laba maupun bunga, apakah tetap atau naik turun, jika didasarkan pada persetujuan yang bersih dan ikhlas adalah sah dalam pandangan Allah Swt. Sebaliknya laba yang berlebihan, termasuk bunga yang berasal dari perdagangan barang atau uang yang diperoleh secara tidak jujur misalnya hasil menipu, adalah riba, dan ini tidak hanya berlaku atau ditujukan hanya pada bank. Dengan kata

Muslim H. Kara, Bank Syari'ah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 83. Dapat dilihat juga dalam Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 610 611. 9 Istilah dari bahasa Belanda yang berarti bunga yang terlalu tinggi 10 Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan terpilih, Jilid II, Jakarta: Masaagung, 1988, hlm. 290

81

lain lembaga atau institusi apapun namanya jika memperoleh keuntungan atau bunga sebagai hasil dari penipuan atau kebohongan maka itu pun namanya riba,. Sebab perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap

ketentuan Allah Swt., manusia harus berbuat baik dan tidak menipu serta menekan hambanya.11 Hanya saja ia menegaskan bahwa bunga yang dimaksudkan itu, tingginya dalam batas-batas yang masih normal, yaitu sesuai dengan yang lazim berlaku di pasar bebas, tidak melampaui batas.12 Walaupun Syafruddin sendiri mengakui bahwa tidak mudah mengukur batas yang jelas antara yang wajar dan yang melampaui batas, tetapi sebagai ukurannya adalah merugikan orang lain atau tidak. Pandangan Syafruddin didasarkan pada asumsinya bahwa sifat keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang maupun barang adalah sama. la menolak anggapan sebagian besar pandangan ulama yang menganggap riba adalah setiap tambahan, atau rente atau apa pun namanya yang timbul dari pinjaman uang. Sedangkan keuntungan yang timbul dari penjualan barang, betapa pun tingginya, dan meskipun keuntungannya itu diperoleh atas penjualan dengan kredit, dipandang sebagai halal karena dasarnya jual beli dan bukan hasil penipuan.13 Adapun pendapat yang sama dengan Mannan di antaranya: A.M. Saefuddin. Bagi A.M. Saefuddin, bunga identik dengan riba, olehnya itu

11 12

Ibid., hlm. 347 Ibid., hlm. 332 13 Ibid., hlm. 284

82

perbuatan membungakan uang adalah haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak tingkat bunganya. Menurutnya: "Bunga pinjaman uang, modal dan barang dengan segala bentuk dan macamnya, baik untuk tujuan produktif atau konsumtif, dengan tingkat bunga yang tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek adalah termasuk riba". Pandangannya tentang bunga uang, sebagaimana ulama lainnya, didasarkan pada ayat tentang keharaman riba yang ada dalam Al-Qur'an seperti surat al-Baqarah (2): 275-280, Ali 'Imran (3): 130; 30: 39, dan tentu saja diperkuat lagi dengan hadis Nabi. Secara aqli menurut A.M. Saefuddin, hakekat pelarangan riba (bunga bank) dalam Islam adalah fenomena penolakan terhadap resiko finansial tambahan yang ditetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual-beli yang dibebankan kepada salah satu pihak (debitur) saja sedangkan pada pihak yang lain (kreditur) dijamin keuntungannnya. Tampaknya aspek keadilan tidak mendapat perhatian dan pertimbangan dalam transaksi semacam ini.14 Menurut A.M. Saefuddin, Islam mengharamkan seorang

pengusaha mengambil sejumlah modal dari pihak lain, bank atau non bank, lalu membayar bunganya dengan kadar yang ditentukan, baik ia rugi atau untung. Menurut A.M. Saefuddin, Islam melarang seorang pedagang yang menjual barangnya melalui transaksi utang piutang yaitu yang dibayar kemudian dengan tambahan tertentu berupa bunga

Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987, hlm. 63.

14

83

Menurut A.M. Saefuddin, bunga atau riba itu ialah uang yang lahir dari uang. Keuntungan semacam ini termasuk di antara bermacam keuntungan yang bertentangan dengan naluri Menurut A.M. Saefuddin, para ekonom sekarang justru telah menyadari bahwa riba mengandung kemudharatan, karena mengambil keuntungan tanpa memikul resiko sehingga berakibat bahwa si peminjam tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dengan tingkat bunga yang harus dibayar, sehingga terjadi krisis.15 Dalam konteks ini pendapat A.M. Syaefuddin sejalan dengan Dawam Rahardjo yang menilai kalau bunga bank itu diartikan sebagai tambahan maka tetap dikategorikan sebagai riba.16 Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni: Sebagian orang yang lemah iman dewasa ini berpendapat, bahwa riba yang diharamkan itu ialah riba yang keji yang bunganya sangat tinggi dan bertujuan mencekik leher manusia. Adapun riba yang sedikit yang tidak lebih dari 2 atau 3%, tidaklah haram. Alasannya ialah firman Allah "Jangan kamu makan riba dengan berlipat ganda". Dengan anggapannya yang batil itu, mereka mengatakan: Hanya riba yang demikian itulah yang diharamkan. Larangan di atas adalah bersyarat dan terikat, yaitu "lipat ganda". Jadi kalau tidak berlipat ganda, yakni rentennya itu hanya dalam jumlah yang kecil, maka tidak ada jalan untuk diharamkannya.17 Pendapat ini sekaligus dijawab Muhammad Ali Ash-Shabuni sebagai berikut: (a). Kata "lipat ganda" (ad'fan mud'afat-an) itu tidak dapat dikatakan sebagai syarat atau pengikat. Itu dikatakan hanya sebagai "waqi'atul
Ibid, hlm. 75. Untuk meneliti lebih luas pandangan Dawam Rahardjo dapat dilihat dalam karyanya Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 594 617. 17 Ibid., hlm. 278
16 15

84

'ain" suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di zaman jahiliah, sebagai dijelaskan dalam asbab al-nuzul; dan sekedar menunjukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan itu, yaitu mereka mengambil riba itu sampai berlipat ganda. (b). Seluruh kaum muslimin telah sepakat untuk mengharamkan riba, baik sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan riba sedikit tidak haram itu adalah keluar dari ijma', yang berarti menunjukkan atas kebodohannya terhadap pokokpokok syari'ah. Sebab sedikit riba bisa menarik riba yang banyak.18 M.Umer Chapra mengemukakan pendapat: Bunga harus dinyatakan sebagai suatu yang ilegal dengan memungkinkan adanya masa toleransi yang menganggap bunga sebagai kejahatan, namun setelah masa toleransi habis maka bunga harus dihapuskan dari transaksi domestik. Amandemen (pasal-pasal dalam hukum yang memungkinkan adanya perubahan) harus dibuat pada hukum-hukum mengenai institusiinstitusi keuangan dan perusahaan. Dengan demikian diharapkan akan muncul kesadaran pada larangan-larangan akan bunga, dan akan lebih dapat memahami perbedaan kebutuhan dalam ekonomi Islam. Peraturanperaturan yang berkenaan dengan mudharabah dan syirkah sebagai bentuk organisasi bisnis harus segera diciptakan. Demikian pula harus ada perubahan peraturan mengenai auditing untuk mengurangi kesalahan manajemen dan berbuat adil pada para penanam modal.19 Dengan memperhatikan pendapat di atas, maka menurut analisis penulis bahwa bunga uang atau bunga bank termasuk riba. Bunga uang dapat mencekik kalangan ekonomi atau pengusaha kecil, mereka ambil kredit dengan harapan usahanya dapat tumbuh dan berkembang. Namun karena bunga yang tiap bulan harus dibayar maka usahanya bukan saja
Ibid., hlm. 279. M.Umer Chapra, Towards A Just Monetary System, Terj. Lukman Hakim, "Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter Yang Adil", Yogayakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 204205
19 18

85

tidak bisa berkembang bahkan akhirnya gulung tikar. Itulah sebabnya sebagian ulama mengharamkan sistem bunga dan dinyatakan sebagai riba. Menurut analisis penulis bahwa pendapat Mannan seperti telah dijelaskan lebih dahulu sesuai dengan al-Qur'an dan hadis yang mengharamkan riba. Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agama-agama samawi lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athene, Solon telah membuat undang-undang yang melarang bunga. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung resiko Orang-orang yang mengambil riba samalah pendiriannya dan tingkah lakunya dengan orang yang dibinasakan setan, karena ia sangat tamak, kejam dan tidak menaruh rasa iba kepada fakir miskin. Karena itu menurut Riba harus dikikis habis sebab menjadi pangkal dari kejahatan, dan hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain. Islam beserta semua syari'at samawi melarang riba karena menimbulkan bahaya sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, riba merupakan cara usaha yang tidak sehat. Keuntungan yang diperoleh bukan berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah kekayaan bangsa. Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah

86

harta orang yang melakukan riba. Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan praktek-praktek riba ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Islam yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong di antara sesama manusia 3. Uang dan Teori tentang Zakat Menurut Mannan, Zakat merupakan pukulan hebat bagi kapitalisme. Sayangnya, terjadi kesalahpahaman mengenai zakat. Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai suatu amal pribadi, padahal Zakat adalah pajak wajib atas tabungan dan harta benda. Zakat adalah musuh yang tak kenal kompromi bagi pekerjaan menimbun.20 Pada tahap ini Mannan menghimbau agar diberdayakan masalah zakat. Pendapat Mannan yang menganggap pentingnya zakat dalam mengentaskan kemiskinan adalah sangat tepat. Baik dalam Al-Quran maupun dalam hadis-hadis banyak dijumpai keterangan-keterangan yang mewajibkan mengeluarkan zakat. Zakat adalah salah satu di antara rukun Islam yang lima, setingkat kedudukannya dengan salat, puasa dan haji. Tidak kurang pada 82 tempat dalam Al-Quran perintah menunaikan zakat itu dirangkaikan dengan perintah menegakkan salat,21 seperti ayat-ayat:

20 21

Ibid., hlm. 167. M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup, jilid 3, Solo: Ramadhani, 1980, hlm. 161.

87

(43 : )
Artinya: dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat (Q.S. al-Baqarah: 43)

(11 : )
Artinya: dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Q.S. atTaubah: 11) Hal senada dikemukakan bahwa untuk menggambarkan betapa pentingnya kedudukan zakat, Al-Quran menyebut sampai 72 kali di mana kata tu al-zakh bergandengan dengan kata qma al-salh, seperti pada ayat 43 surah al-Baqarah, ayat 55 surah al-Maidah, ayat 4 surah alMuminin dan lain sebagainya.22 Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahiq), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan.23 Di antara hikmahnya antara lain: Pertama, sebagai manifestasi mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT, menumbuhkan akhlak mulia dengan: rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Dengan bersyukur, harta dan nikmat yang dimiliki akan
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung : Mizan, 1994, hlm. 231. 23 Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 143.
22

88

semakin bertambah dan berkembang. Firman Allah dalam surah Ibrahim: 7,

(7 : ).
Artinya:"Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim: 7). Kedua, dapat menolong, membantu dan membina fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat: iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahiq, terutama fakir miskin, yang bersifat konsumtif dalam waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.24 Kebakhilan dan ketidakmauan berzakat, di samping akan menimbulkan sifat hasad dan dengki dari orang-orang yang miskin dan menderita, juga akan mengundang azab Allah SWT. Firman-Nya dalam surah an-Nisaa': 37,

24

Yusuf Qardawi, Al-Ibadah Fi Al-Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993, hlm. 564.

89

. (37 :)
Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyempurnakan karunia-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan." ( Q.S. an-Nisaa' : 37). Ketiga, membantu para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman dalam alBaqarah: 273,

(273 : ).
Artinya: " (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat- sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." Di samping sebagai pilar amal bersama, zakat juga merupakan salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melalui syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin, dan orang-orang menderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik. Zakat

90

merupakan salah satu bentuk pengejawantahan perintah Allah SWT untuk senantiasa melakukan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Ma'idah: 2,

(2 :)... ...
Artinya:"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa..." Keempat, membantu sarana dan prasarana yang diperlukan umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumberdaya manusia muslim. Hampir semua ulama sepakat bahwa orang yang menuntut ilmu berhak menerima zakat atas nama golongan fakir dan miskin maupun sabilillah.25 Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam surah al-Baqarah: 267

Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 276-277,

25

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, hlm. 146.

91

(277: ).
Artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orangorang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

B. Aktualisasinya Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional Di dalam ekonomi Islam, uang bukanlah modal. Sementara ini kadang seseorang salah kaprah menempatkan uang. Uang, biasanya disama artikan dengan modal (capital). Uang adalah barang publik (public goods). Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang per-orang. Jika uang sebagai flow concept (sesuatu yang mengalir) sementara modal adalah stock concept (suatu persediaan). Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapat dilakukan proses jual beli hasil produksi. Dengan uang, hasil penjualannya itu ia dapat membeli barang-barang keperluannya. Jika dengan sengaja orang menumpuk uangnya atau tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini

92

sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Produkproduk di pasaran. Jadi proses jual beli tidak dapat dipisahkan dengan uang.26 Menurut Ibn Taimiyah,27 uang dalam Islam adalah sebagai alat tukar dan alat ukur nilai. Melalui uang nilai suatu barang akan diketahui, dan mereka tidak menggunakannya untuk diri sendiri atau dikonsumsi. Hal serupa dikemukakan oleh muridnya (Ibn Qayyim), uang atau keping uang tidak dimaksudkan untuk benda itu sendiri, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh barang-barang. Dari sisi lain, kaitannya dengan masalah uang al-Ghazali mengatakan, bahwa: Uang bagaikan kaca, kaca tidak memiliki warna, tetapi ia dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak memiliki harga, tetapi uang dapat merefleksikan semua harga. Melihat fungsi uang tersebut, menunjukkan bahwa dalam Islam adanya uang dapat memberikan fungsi

kegunaan/kepuasan kepada pemakainya. Oleh karena itu, uang bukanlah suatu komoditas. Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan. Akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan.28 Dengan demikian, secara definitif dapat diajukan, bahwa fungsi uang adalah sebagai (1) Media pertukaran (untuk transaksi); (2) Jaga-jaga/investasi; (3) Satuan hitung untuk pembayaran (ba'i muajjal). Uang merupakan sesuatu yang mengalir (flow concept) dan ia sebagai barang publik (public goods). a. Money as Flow Concept

Muhamad, op.cit., hlm. 70. Adi Warman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001,hlm. 60 61. 28 Ibid., hlm. 53.
27

26

93

Di bagian depan telah disinggung, bahwa uang adalah sesuatu yang mengalir. Oleh karena itu, uang diibaratkan seperti air. Jika air di sungai itu mengalir, maka air tersebut akan bersih dan sehat. Jika air berhenti (tidak mengalir secara wajar) maka air tersebut menjadi busuk dan berbau. Demikian halnya dengan uang. Uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka dapat menyebabkan macetnya roda perekonomian, sehingga dapat menyebabkan krisis atau penyakit-penyakit ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam, uang harus diputar terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Untuk itu uang perlu digunakan untuk investasi di sektor riil. Jika uang disimpan tidak diinvestasikan kepada sektor riil, maka tidak akan mendatangkan apa-apa.29 Penyimpanan uang yang telah mencapai nishab dan haul-nya, menurut ajaran Islam, akan dikenai zakat. b. Money as Public Goods Uang adalah barang untuk masyarakat banyak. Bukan monopoli perorangan. Sebagai barang publik, maka masyarakat dapat

menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena itu, dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya. Dari gambaran uang sebagai air yang mengalir dan uang sebagai barang publik, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa ada perbedaan antara

29

At-Takatsur: 1-5

94

modal dengan uang. Kaitan antara uang dengan modal ini dapat dikiaskan antara kendaraan dengan jalan. Kendaraan adalah barang/milik pribadi. Jalan adalah barang/milik umum. Jadi, modal adalah milik pribadi dan uang adalah milik umum. Dengan demikian, kenyamanan berkendaraan akan didapatkan jika kendaraan tersebut berjalan di atas jalan raya. Dengan kata lain, hanya dengan modal yang diinvestasikan ke sektor riillah yang akan mendatangkan pendapatan (berupa) uang.30 Dalam Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima secara meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut menjadi berkurang, Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba fadhal. Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat tukar, tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun menghasilkan jasa. Lembaga

30

Muhamad, op.cit., hlm. 71.

95

keuangan seperti pasar modal, bursa efek, dan perbankan konvensional yang berkembang sekarang ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah berkembang sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya sebagai alat tukar. Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang diterima secara bulat, fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih diperselisihkan. Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal. Penolakan fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun sistem ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang menyangkalnya dipandang sebagai prinsip yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non-Islam (konvensional). Atas dasar prinsip ini mereka menjatuhkan keharaman setiap perputaran (transaksi) uang yang disertai keuntungan (laba atau bunga) sebagai praktek riba. Prinsip inilah yang pada ujung-ujungnya menjadi dasar pembentukan lembaga keuangan bebas bunga dengan dua produk unggulan, yakni mudharabah31 dan bai' al-murabahah32

Mudharabah secara bahasa berasal dari kata dharb artinya "memukul" atau melangkahkan kaki dalam melakukan suatu usaha di muka bumi. Secara terminologis mudharabah berarti suatu akad kerja-sama antara dua pihak, pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal dan pihak lain (mudharib) sebagai pengelola modal, di mana keuntungan dibagi bersama sesuai prosentasi yang disepakati, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Baca Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Wacana Vlama dan Intelektual, Tazkiah Institut: Jakarta, 1999, hlm.171. 32 Bai' al-murabahah adalah akad jual-beli barang dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati, Dalam bai' al-murabahah pihak penjual harus memberitahu secara transparan harga barang dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan harga. Ibid, hlm. 121.

31

96

Dengan demikian aktualisasinya konsep uang menurut Abdul Mannan dalam perekonomian nasional maka akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia. Karena dalam kenyataannya bahwa lahirnya bank syari'ah telah menunjukkan perkembangan yang baik. Sebagai buktinya adalah bank syari'ah dapat bertahan dari krisis moneter, dan dibandingkan dengan bank konvensional maka bank syari'ah telah diakui keunggulannya karena ia mampu bertahan pada saat-saat maraknya bank konvensional yang gulung tikar. Hal ini dikarenakan antara lain karena bank syari'ah merupakan bank bebas bunga. Dari sini tampak bahwa bank syari'ah merupakan aktualisasi dari konsep uang bukan sebagai komoditi.

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN. Dengan memperhatikan dan mengkaji uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Abdul Mannan, dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang. Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensial. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital

97

98

2. Aktualisasinya konsep uang menurut Abdul Mannan dalam perekonomian nasional maka akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia. Karena dalam kenyataannya bahwa lahirnya bank syari'ah telah menunjukkan perkembangan yang baik. Sebagai buktinya adalah bank syari'ah dapat bertahan dari krisis moneter, dan dibandingkan dengan bank konvensional maka bank syari'ah telah diakui keunggulannya karena ia mampu bertahan pada saat-saat maraknya bank konvensional yang gulung tikar. Hal ini dikarenakan antara lain karena bank syari'ah merupakan bank bebas bunga. Dari sini tampak bahwa bank syari'ah merupakan aktualisasi dari konsep uang bukan sebagai komoditi. B. SARAN-SARAN 1. Untuk Pemerintah Perlu dukungan yang lebih jelas dan menyeluruh terhadap gagasan dan pemikiran Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya yang bukan sebagai komoditi. 2. Untuk Ulama Perlu disosialisasi tentang konsep uang dan peranannya dalam perspektif Abdul Mannan. 3. Untuk Perguruan Tinggi Tidak berlebihan bila Penelitian terhadap gagasan dan pemikiran Abdul Mannan lebih diperdalam lagi dan tidak hanya sebatas pada peran dan fungsi uang namun lebih jauh dari itu yaitu teori dan praktek ekonomi Islam.

99

C. PENUTUP Meskipun tulisan ini telah diupayakan secermat mungkin namun mungkin saja ada kekurangan dan kekeliruan yang tidak prinsipil. Menyadari akan hal itu, bukan suatu sikap kepura-puraan bila penulis mengharap secercah kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini, semoga Allah SWT meridhai. .

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Anonimous. Ekonomi Pancasila untuk Mendukung Tinggal Landas dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Jakarta: Lemhannas, 1989. Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah Wacana Ulama dan Intelektual, Jakarta: Tazkiah Institut, 1999. Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta : Alvabeta, 2003. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Assal, Ahmad Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Terj. Abu Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1980. Bablily, Mahmud Muhammad, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, 1990. Chapra, M.Umer, Towards A Just Monetary System, Terj. Lukman Hakim, "AlQur'an Menuju Sistem Moneter Yang Adil", Yogayakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. -------, Islam dan Pembangunan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Hadi, Sutrisno, Metode Penelitian Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1990. http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm. Kara, Muslim H., Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005. Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001. -------, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

-------, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, 2002. -------, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Tim III T Indonesia, 2002. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970. M. Subana, Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: CV. Pustaka. Setia, 2001. Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dna Bakti Prima Yasa, 1997. Manullang, M., Ekonomi Moneter, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980. Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi al-Halabi, 1394 H/1974 M. Masadi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001. Muhamad, Bank Syariah, Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, Yogyakarta; Ekonisia, 2003. Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004. -------, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002. Nasution, M. Yunan, Pegangan Hidup, jilid 3, Solo: Ramadhani, 1980. Nasution, Mustafa Edwin, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: kencana, 2006. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Nazir, Moh., Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999. Prawiranegara, Syafruddin, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan terpilih, Jilid II, Jakarta: Masaagung, 1988. Qadir, Abdurrahman, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Qardawi, Yusuf, Al-Ibadah Fi Al-Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993. Raharjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002. Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, t.th. Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987. Sinungan, Muchdarsyah, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1989. Soemanto, Wasty, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Sukirno, Sadono, Pengatar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992. Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Buku I, edisi-VII, Bandung: Tarsito, 1995. Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung : Mizan, 1994. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI, 1986. Yuliadi, Imamudin, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Tempat/Tanggal Lahir Alamat Asal Pendidikan : Slamet Waluyo : Demak, 08 September 1984 : Bungo, RT 03 RW.07 Wedung Demak : - SD Bungo 03 Demak lulus tahun 1996 - MTs Salafiyah Kajen Pati lulus tahun 1999 - MA Futuhiyyah Mranggen lulus tahun 2002

- Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang


Angkatan 2002 Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

SLAMET WALUYO

Anda mungkin juga menyukai