Disusun Oleh:
Elga Naufal (61201119019)
Nabila Sashavira (61201119039)
Rizki Sajali (61201119009)
PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NURTANIO BANDUNG
2022
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
2
Ketiga, turut memberikan sumbangan pemikiran, pengembangan
wawasan keilmuan dan bagaimana menerapkan praktik keilmuan di
bidang perilaku organisasi bagi teman-teman mahasiswa yang senang
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB III
PERILAKU KONSUMEN DALAM PERILAKU ISLAM
5
mempengaruhi sikap individualis. Masyarakat akan berpikir bahwa tanpa
menambah pendapatan, konsumsi tidak akan meningkat. Oleh karena itu
setiap individu akan selalu berusaha dengan berbagai cara untuk
meningkatkan pendapatannya. Faktanya kemudian, revolusi industri dan
kemajuan ilmu ekonomi konvensional yang terjadi sejak abad ke-18 telah
membuat pertumbuhan ekonomi dunia sangat spektakuler, tetapi belum
pernah ada negara yang merasa kemajuan ekonominya memadai.
Semakin tinggi peradaban manusia, semakin dikalahkan oleh
kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Dalam suatu
masyarakat primitif, kebutuhan konsumsi sangat sederhana, tetapi
peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan akan kebutuhan.
Selama beberapa dekade negara-negara muslim telah mengikuti
suatu pola konsumsi yang dijiplak dari budaya konsumen barat yang
mengukur nilai seorang berdasarkan kemewahan hidup dan frekuensi
belanjanya. Dengan begitu, gaya hidup mahal yang bahkan beberapa
negara industri yang kaya pun hampir tidak menjangkaunya, telah
menjadi simbol prestise (gaya hidup) di negara- negara muslim yang
miskin. Ini semua bersamaan dengan sejumlah kebiasaan, berlangsung
sejak lahir sampai mati, telah mengarah pada pola konsumsi yang tidak
realistis dan tidak berdasar dipandang dari sudut pandang nilai-nilai Islami
dan sumber dayanya.
Meskipun pada saat sekarang, belum ada sebuah negara muslim
yang menerapkan Ekonomi Islam sepenuhnya berdasarkan ajaran Al-
Qur’an dan Hadits, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari sebagian
konsumen muslim tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama mereka
6
dalam konsumsi dan penggunaan pendapatan.
7
konsumen muslim yang lain.
Dalam Islam konsumsi adalah upaya memenuhi kebutuhan baik
jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaan sebagai hamba Allah swt untuk mendapatkan kesejahteraan
dan kebahagian dunia dan akhirat. Konsumsi yang dilakukan oleh seorang
muslim seharusnya mencerminkan kedekatan dirinya dengan Allah. Hal
tersebut merupakan pembeda antara konsep konsumsi Islam dengan
konsep konsumsi ilmu ekonomi lainnya. Islam mengajarkan umatnya
untuk berkonsumsi dengan cara menjauhi produk yang haram, tidak kikir
dan tidak tamak.
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dalam konsumsi dikenal dengan
maslahah dengan pengertian terpenuhinya kebutuhan baik bersifat fisik
maupun spiritual. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasaan
harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi
adalah halal, baik zat maupun cara memperolehnya, tidak bersikap israf
(berlebih-lebihan) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang
muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi
didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang
dikonsumsinya.
Konsumen muslim yang taat, dirinya akan menyadari bahwa harta
yang dimilikinya seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan individual dan
untuk dibelanjakan di jalan Allah swt. Seorang muslim yang berakal
(memahami) seharusnya dapat mengamalkan ilmu yang dimilikinya dalam
kehidupan sehari- hari sebagai wujud ketaan seorang hamba kepada Allah
8
swt. Kemampuan masyarakat atau seseorang dalam mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya dapat dilihat dari tingkat ketaatan atau religiusitas
yang dimiliki. Religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai
dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Oleh karena itu religiusitas
dianggap dapat mewakili bagaimana seorang muslim dapat
mengimplementasikan apa yang diyakini dan dipahami dari ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan
konsumsi.
Penelitian terdahulu yang mengungkapkan adanya pengaruh
religiusitas terhadap perilaku konsumsi antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Syed Syah Alam, hasil penelitiannya menyatakan bahwa
agama memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan pembelian
konsumen Muslim. Umat Islam di Shah Alam dan Bangi Selangor Malaysia
mempertimbangkan Islam sebagai sumber referensi dalam konsumsi,
mereka memenuhi kebutuhan mereka secara sederhana, seperti yang
diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.
Selain pendapatan, dan usia, religiusitas juga mempengaruhi
konsumsi seseorang, menurutnya semakin tinggi tingkat religiusitas
seseorang maka akan semakin sedikit barang yang dikonsumsi, karena
seseorang yang memiliki tingkat religius yang tinggi akan menerapkan
prinsip hidup sederhana seperti yang dianjurkan dalam Islam. Bahwa
tingkat keagamaan memiliki pengaruh terhadap perilaku konsumen,
terutama dalam konsumsi produk (barang dan jasa) yang halal. Tidak
berlebih-lebihan dan melakukan konsumsi secara sederhana sesuai
dengan anjuran agama Islam. Namun belum ada yang mengungkapkan
9
pengaruh pendapatan dan religiusitas terhadap perilaku konsumsi dalam
rangka mengalokasikan pendapatan untuk konsumsi secara keseluruhan.
Tidak hanya konsumsi dalam memilih produk yang halal, tidak berlebih-
lebihan, namun juga bagaimana seorang konsumen mengatur
pendapatannya untuk konsumsi pribadi dan keluarga, konsumsi sosial
(zakat, Infak dan sedekah), serta konsumsi untuk masa depan (tabungan
atau investasi).
Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai satu
tujuan, yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh dan kesederhanaan,
namun tetap produktif dan inovatif bagi setiap individu muslim maupun
non-Muslim. Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap
perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan
hak-hak individu lainnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum
Allah (syari’ah). Konsumsi, pemenuhan (kebutuhan) dan perolehan
kenikmatan tidak dilarang dalam Islam selama tidak melibatkan hal-hal
yang tidak baik atau yang akan menimbulkan kemudharatan bagi
pemakainya.
10
didefinisikan sebagai “membuat uang manusia”.Memperoleh harta, baik
dalam pengertian uang atau berbagai komoditas adalah tujuan hidup yang
terakhir dan, pada saat yang sama merupakan tongkat pengukur
keberhasilan ekonomik.
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia
dan suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah
itu berada di antara orangorang tertentu tidak berarti bahwa mereka
dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri.
sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak di antara
anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih
berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
11
Adil ( Equilibrium / Keadilan ), Islam memperbolehkan manusia
untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah
SWT “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah syaitan: karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-
Baqarah: 168) “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa
pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya
itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi orangorang yang mengetahui” (QS Al-A’Raaf: 32)
Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil
sesuai dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan
material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara
tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat
material maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang
berimbang.
Free Will ( Kehendak Bebas ), Alam semesta, adalah milik Allah,
yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan
kesempurnaan atas makhluk-makhluk–Nya. Manusia diberi kekuasaan
untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai
dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah ini. Atas segala
karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak bebas,
namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha
dan qadar yng merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada
pengetahuan dan kehendak Allah.
12
Amanah ( Responsibility / Pertanggungjawaban ), Manusia adalah
khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk
melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan
dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal
melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan
mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap
keseimbangan alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak.
Halal, Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat
dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai
kebaikan, kesucian, keindahan serta akan menimbulkan kemaslahatan
untuk umat baik secara material maupun spiritual. Sebaliknya benda-
benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan
dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam
Islam serta dapat menimbulkan kemudharatan apabila dikonsumsi akan
dilarang.
Sederhana, Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui
batas (israf), termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-
mewah), yaitu membuang-buang harta dan menghambur-hamburkannya
tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata.
Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan yang melampaui batas.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmua yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
(QS Al-A’raaf: 31) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
13
yang melampaui batas” (QS Al-Maaidah: 87) “Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya permborospemboros
itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya” (QS Al-Israa: 26 – 27).
14
BAB IV
PERILAKU PRODUSEN DALAM EKONOMI ISLAM
15
jasa untuk keperluan orang banyak. Kegiatan produksi merupakan salah
satu aktivitas ekonomi yang sangat menunjang kegiatan ekonomi Tanpa
kegiatan produksi, konsumen tidak akan dapat mengonsumsi barang dan
jasa yang dibutuhkannya. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan
satu mata rantai yang saling berkaitan dan tidak dapat dilepaskan. Jika
dalam ekonomi islam tujuan konsumen dalam mengonsumsi barang dan
jasa untuk mendapat maslahah (Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu
gambaran dari meraih manfaat atau menghindarkan kemudharatan).
produsen dalam memproduksi barang dan jasa bertujuan memberikan
maslahah. Jadi baik produsen maupun konsumen memiliki tujuan yang
sama dalam kegiatan ekonomi yaitu mencapai maslahah yang optimum.
Produksi adalah kegiatan yang dilakukan manusia dalam
menghasilkan suatu produk baik barang maupun jasa yang kemudian
dimanfaatkan oleh konsumen (sukirno,2002). Pada saat kebutuhan
manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumis
sering dilakukan sendiri yaitu seseorang memproduksi untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan
dan keterbatasan sumbe daya, seseorang tidak dapat lagi memproduksi
sendiri barang dan jasa yang mereka butuhkan sehingga ia membutuhkan
pihak lain untuk memproduksi sesuatu yang menjadi kebutuhannya.
Pengertian produksi dalam ilmu ekonomi mencakup tujuan kegiatan yang
menghasilkan output serta karakter- karakter yang melekat padanya.
16
yaitu :
a. Faktor produksi tetap ( fixed input), Faktor produksi tetap adalah
faktor produksi yang jumlah penggunanya tidak bergantung pada jumlah
produksi Ada atau tidak adanya kegiatan produksi, faktor produksi itu
harus tetap tersedia. Sementara jumlah penggunaan faktor produksi
variabel bergantung pada tingkat produksinya. Semakin besar tingkat
produksi, semakin banyak faktor produksi variabel yang dipergunakan
b. Faktor produksi variabel, Sementara buruh dikatakan faktor
produksi variabel karena jumlah kebutuhannya dapat disediakan dalam
waktu kurang dari satu tahun dalam jangka panjang (long run) dan sangat
panjang (very long run), semua faktor produksi sifatnya variabel.
Perusahaan dapat menambah atau mengurangi kapasitas produksinya
dengan menambah atau mengurangi kapasitas produksinya dengan
menambah atau mengurangi mesin produksi
17
ekonomi dan kemubaziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya
sumber daya ekonomi ini secara cepat.
18
Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang
didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi
Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya ilmu
pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan
produksi. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi,
memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam. Produksi
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat
serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus
berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan
kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan
keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material.
Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemanirian
umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian
dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan
material juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, di
mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang bahwa
pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan
merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan
urusan agama dan dunianya.
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual
maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran
rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual,
kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi,
dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohiah individu mewarnai
19
kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan rohaniah
menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
Produksi dalam pandangan islam, Prinsip dasar ekonomi Islam
adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta.
Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam. Dan dia
Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13).
Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa
Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain
“pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang
memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ini
bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah
adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang
dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan
alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah). Dengan keyakinan akan peran
dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep
produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif
maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai
maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan
manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan
dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh
kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk
urusan dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai
kebaikan di akhirat.
20
4.5 NILAI-NILAI ISLAM DALAM BERPRODUKSI
Nilai-nilai islam dalam berproduksi, paya produsen untuk
memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen
mengaplikasikan nilai-nilai islam.Dengan kata lain, seluruh kegiatan
produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami.
Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non
muslim tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan
ekonomi dan strategi pasarnya.
21
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim. (Al Baqarah: 229). Seorang produsen muslim harus
berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas
halal dan haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata,
tidak melihat apakah produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik
ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai
dengan norma dan etika ataukah tidak. Akan tetapi seorang muslim harus
memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun
masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
Norma produsen muslim, Menghindari sifat tamak dan rakus. Tidak
melampaui batas serta tidak berbuat zhalim harus memperhatikan apakah
produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai
dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika
ataukah tidak. Seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak
merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma
dan etika serta akhlak yang mulia.
Etika produsen muslim, Memperhatikan halal dan haram. Tidak
mementingkan keuntungan semata. Diharamkan memproduksi segala
sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang
menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan
pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan
kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak
kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Kegiatan produksi
merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah
yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen.Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu
22
pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan
produksi melibatkan banyak faktor produksi. Beberapa implikasi
mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan,
antara lain, Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan
teknikal yang Islami, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek
sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena
kelangkaan tetapi lebih kompleks.
23
BAB
24
DAFTAR PUSTAKA
25