Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KELOMPOK

E-BOOK PERILAKU EKONOMI SYARIAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi
Dosen Pengampu: Tria Meisa Aziti, S.P., M.M.

Disusun Oleh:
Elga Naufal (61201119019)
Nabila Sashavira (61201119039)
Rizki Sajali (61201119009)

PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NURTANIO BANDUNG
2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Alhamdulillahi rabbil alamin. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat


Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan E-book ini yang penulis beri
judul “E- book Ekonomi Syariah”.

Penyusunan E-book ini dilatar belakangi oleh beberapa


pertimbangan berikut ini: Pertama, kebutuhan akademik yaitu pemenuhan
tugas mata kuliah “Perilaku Korganisasian” khususnya kebutuhan penulis
sebagai Mahasiswa yang mengampu mata kuliah “Ekonomi Syariah” pada
Fakultas Ekonomi Universitas Nurtanio Bandung.

Kedua, mengikuti perkembangan ilmu Ekonomi Syariah dan


memenuhi tuntutan moral sebagai Mahasiswa untuk terus
mengembangkan keilmuan yang menjadi spesialisasi/minat utama untuk
berkarya dalam bentuk tulisan atau buku seperti ini.

2
Ketiga, turut memberikan sumbangan pemikiran, pengembangan
wawasan keilmuan dan bagaimana menerapkan praktik keilmuan di
bidang perilaku organisasi bagi teman-teman mahasiswa yang senang

membaca serta tertarik untuk mengembangkan pengetahuan khususnya


pada bidang ilmu Ekonomi Syariah.

Dengan selesainya penyusunan E-book ini tidak lupa penulis


mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: Dosen Pengampu
mata kuliah Perilaku Keorganisasian Fakultas Ekonomi Universitas
Nurtanio Bandung, Ibu Tria Meisa Aziti, S.P., M.M. serta rekan-rekan
Mahasiswa Program Studi Manajemen UNNUR Bandung yang selalu siap
membantu penulis dalam Menyusun E-book ini.

Semoga semua motivasi, dorongan, dan semangat yang diberikan


oleh pihak-pihak yang berkontribusi dalam penulisan buku ini oleh Allah
SWT dicatat sebagai amal kebajikan dan akan diberi balasan yang berlipat
ganda. Aamiin.

Bandung 20 Juni 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

4
BAB III
PERILAKU KONSUMEN DALAM PERILAKU ISLAM

3.1 PENGERTIAN PERILAKU KONSUMEN

Perilaku masyarakat selalu berubah-ubah seiring dengan kemajuan


budaya, teknologi dan peradaban. Perilaku konsumen termasuk diantara
deretan perilaku yang sangat cepat berubah, karena ia berkaitan dengan
keseharian masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Mengenali prilaku
konsumen tidaklah mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhi dan
melatar belakangi seseorang untuk melakukan konsumsi.
Dalam ekonomi konvensional, kajian tentang perilaku konsumsi
telah berkembang pesat. Perkembangannya dapat dilihat mulai dari
munculnya teori konsumsi, besar kecilnya konsumsi seseorang ditentukan
oleh besarnya jumlah pendapatan yang dimiliki. Semakin besar jumlah
pendapatan seseorang maka semakin banyak juga jumlah barang dan jasa
yang dapat dikonsumsi, sebaliknya semakin sedikit jumlah pendapatan
maka akan sedikit pula jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsi
oleh konsumen tersebut.
Dengan demikian konsumsi tergantung pada pendapatan. Semakin
besar pendapatan sekarang akan semakin besar juga konsumsinya, dan
semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Teori ekonomi secara umum
mengakui keberadaan teori ini menjadi legitimasi masyarakat bahwa tolak
ukur kesejahteraan adalah tingkat pendapatan. Jadi, konsumsi

5
mempengaruhi sikap individualis. Masyarakat akan berpikir bahwa tanpa
menambah pendapatan, konsumsi tidak akan meningkat. Oleh karena itu
setiap individu akan selalu berusaha dengan berbagai cara untuk
meningkatkan pendapatannya. Faktanya kemudian, revolusi industri dan
kemajuan ilmu ekonomi konvensional yang terjadi sejak abad ke-18 telah
membuat pertumbuhan ekonomi dunia sangat spektakuler, tetapi belum
pernah ada negara yang merasa kemajuan ekonominya memadai.
Semakin tinggi peradaban manusia, semakin dikalahkan oleh
kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Dalam suatu
masyarakat primitif, kebutuhan konsumsi sangat sederhana, tetapi
peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan akan kebutuhan.
Selama beberapa dekade negara-negara muslim telah mengikuti
suatu pola konsumsi yang dijiplak dari budaya konsumen barat yang
mengukur nilai seorang berdasarkan kemewahan hidup dan frekuensi
belanjanya. Dengan begitu, gaya hidup mahal yang bahkan beberapa
negara industri yang kaya pun hampir tidak menjangkaunya, telah
menjadi simbol prestise (gaya hidup) di negara- negara muslim yang
miskin. Ini semua bersamaan dengan sejumlah kebiasaan, berlangsung
sejak lahir sampai mati, telah mengarah pada pola konsumsi yang tidak
realistis dan tidak berdasar dipandang dari sudut pandang nilai-nilai Islami
dan sumber dayanya.
Meskipun pada saat sekarang, belum ada sebuah negara muslim
yang menerapkan Ekonomi Islam sepenuhnya berdasarkan ajaran Al-
Qur’an dan Hadits, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari sebagian
konsumen muslim tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama mereka

6
dalam konsumsi dan penggunaan pendapatan.

3.2 PRINSIP-PRINSIP PERILAKU KONSUMEN

Dalam memenuhi konsumsi ada aturan-aturan atau prinsip yang


harus dipenuhi oleh umat Islam. Karena Islam sudah mengatur bagaimana
etika konsumsi yang baik. Lebih tegas lagi, menguraikan beberapa prinsip
perilaku konsumsi dalam Islam sebagai berikut :

1. Dasar pemikiran pola konsumsi dalam Islam adalah hendak mengurangi


kelebihan keinginan biologis yang tumbuh dari faktor-faktor psikis
buatan dengan maksud membebaskan energi manusia untuk tujuan-
tujuan spiritual.
2. Anjuran-anjuran Islam mengenai perilaku konsumsi dituntun oleh
prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip
kemurahan hati dan prinsip moralitas.
3. Pada umumnya kebutuhan-kebutuhan manusia digolongkan kedalam
tiga hal, yaitu barang-barang keperluan pokok, barang-barang
keperluan kesenangan dan barang-barang keperluan kemewahan.
Dalam tiga pengelompokan ini, Islam menggariskan prinsip menurut
urutan prioritas kebutuhan yang dikenal dalam al-maqasid al-syari’ah
dengan istilah daruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyyah.
4. Kunci untuk memahami perilaku konsumsi dalam Islam tidak cukup
dengan hanya mengetahui hal-hal terlarang, tetapi sekaligus harus
dengan menyadari konsep dinamik tentang sikap moderat dalam pola
konsumsi yang dituntun oleh sikap yang mementingkan bersama

7
konsumen muslim yang lain.
Dalam Islam konsumsi adalah upaya memenuhi kebutuhan baik
jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaan sebagai hamba Allah swt untuk mendapatkan kesejahteraan
dan kebahagian dunia dan akhirat. Konsumsi yang dilakukan oleh seorang
muslim seharusnya mencerminkan kedekatan dirinya dengan Allah. Hal
tersebut merupakan pembeda antara konsep konsumsi Islam dengan
konsep konsumsi ilmu ekonomi lainnya. Islam mengajarkan umatnya
untuk berkonsumsi dengan cara menjauhi produk yang haram, tidak kikir
dan tidak tamak.
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dalam konsumsi dikenal dengan
maslahah dengan pengertian terpenuhinya kebutuhan baik bersifat fisik
maupun spiritual. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasaan
harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi
adalah halal, baik zat maupun cara memperolehnya, tidak bersikap israf
(berlebih-lebihan) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang
muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi
didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang
dikonsumsinya.
Konsumen muslim yang taat, dirinya akan menyadari bahwa harta
yang dimilikinya seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan individual dan
untuk dibelanjakan di jalan Allah swt. Seorang muslim yang berakal
(memahami) seharusnya dapat mengamalkan ilmu yang dimilikinya dalam
kehidupan sehari- hari sebagai wujud ketaan seorang hamba kepada Allah

8
swt. Kemampuan masyarakat atau seseorang dalam mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya dapat dilihat dari tingkat ketaatan atau religiusitas
yang dimiliki. Religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai
dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Oleh karena itu religiusitas
dianggap dapat mewakili bagaimana seorang muslim dapat
mengimplementasikan apa yang diyakini dan dipahami dari ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan
konsumsi.
Penelitian terdahulu yang mengungkapkan adanya pengaruh
religiusitas terhadap perilaku konsumsi antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Syed Syah Alam, hasil penelitiannya menyatakan bahwa
agama memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan pembelian
konsumen Muslim. Umat Islam di Shah Alam dan Bangi Selangor Malaysia
mempertimbangkan Islam sebagai sumber referensi dalam konsumsi,
mereka memenuhi kebutuhan mereka secara sederhana, seperti yang
diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.
Selain pendapatan, dan usia, religiusitas juga mempengaruhi
konsumsi seseorang, menurutnya semakin tinggi tingkat religiusitas
seseorang maka akan semakin sedikit barang yang dikonsumsi, karena
seseorang yang memiliki tingkat religius yang tinggi akan menerapkan
prinsip hidup sederhana seperti yang dianjurkan dalam Islam. Bahwa
tingkat keagamaan memiliki pengaruh terhadap perilaku konsumen,
terutama dalam konsumsi produk (barang dan jasa) yang halal. Tidak
berlebih-lebihan dan melakukan konsumsi secara sederhana sesuai
dengan anjuran agama Islam. Namun belum ada yang mengungkapkan

9
pengaruh pendapatan dan religiusitas terhadap perilaku konsumsi dalam
rangka mengalokasikan pendapatan untuk konsumsi secara keseluruhan.
Tidak hanya konsumsi dalam memilih produk yang halal, tidak berlebih-
lebihan, namun juga bagaimana seorang konsumen mengatur
pendapatannya untuk konsumsi pribadi dan keluarga, konsumsi sosial
(zakat, Infak dan sedekah), serta konsumsi untuk masa depan (tabungan
atau investasi).
Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai satu
tujuan, yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh dan kesederhanaan,
namun tetap produktif dan inovatif bagi setiap individu muslim maupun
non-Muslim. Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap
perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan
hak-hak individu lainnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum
Allah (syari’ah). Konsumsi, pemenuhan (kebutuhan) dan perolehan
kenikmatan tidak dilarang dalam Islam selama tidak melibatkan hal-hal
yang tidak baik atau yang akan menimbulkan kemudharatan bagi
pemakainya.

3.3 TEORI PERILAKU KONSUMEN

Teori perilaku konsumen yang dikembangkan di Barat setelah


timbulnya kapitalisme merupakan sumber dualitas, yakni “rasionalisme
ekonomik” dan “utilitarianisme”. Rasionalisme ekonomik menafsirkan
perilaku manusia sebagai sesuatu yang dilandasi dengan “perhitungan
cermat, yang diarahkan dengan pandangan ke depan dan persiapan
terhadap keberhasilan ekonomi”. Keberhasilan ekonomi secara ketat

10
didefinisikan sebagai “membuat uang manusia”.Memperoleh harta, baik
dalam pengertian uang atau berbagai komoditas adalah tujuan hidup yang
terakhir dan, pada saat yang sama merupakan tongkat pengukur
keberhasilan ekonomik.
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia
dan suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah
itu berada di antara orangorang tertentu tidak berarti bahwa mereka
dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri.
sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak di antara
anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih
berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.

3.4 ETIKA ISLAM DALAM HAL KONSUMSI

Tauhid (Unity/ Kesatuan), Dalam perspektif Islam, kegiatan


konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sehingga
senantiasa berada dalm hukum-hukum Allah (syariah). Karena itu, orang
Mu’min (orang beriman) berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati
perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan
barangbarang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat
manusia. Sedangkan dalam pandangan kapitalistik, konsumsi merupakan
fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa
memperdulikan dimensi spritual, kepentingan orang lain dan tanggung
jawab atas segala perilakunya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzaariyat:
56).

11
Adil ( Equilibrium / Keadilan ), Islam memperbolehkan manusia
untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah
SWT “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah syaitan: karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-
Baqarah: 168) “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa
pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya
itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi orangorang yang mengetahui” (QS Al-A’Raaf: 32)
Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil
sesuai dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan
material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara
tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat
material maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang
berimbang.
Free Will ( Kehendak Bebas ), Alam semesta, adalah milik Allah,
yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan
kesempurnaan atas makhluk-makhluk–Nya. Manusia diberi kekuasaan
untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai
dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah ini. Atas segala
karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak bebas,
namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha
dan qadar yng merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada
pengetahuan dan kehendak Allah.

12
Amanah ( Responsibility / Pertanggungjawaban ), Manusia adalah
khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk
melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan
dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal
melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan
mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap
keseimbangan alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak.
Halal, Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat
dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai
kebaikan, kesucian, keindahan serta akan menimbulkan kemaslahatan
untuk umat baik secara material maupun spiritual. Sebaliknya benda-
benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan
dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam
Islam serta dapat menimbulkan kemudharatan apabila dikonsumsi akan
dilarang.
Sederhana, Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui
batas (israf), termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-
mewah), yaitu membuang-buang harta dan menghambur-hamburkannya
tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata.
Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan yang melampaui batas.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmua yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
(QS Al-A’raaf: 31) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang

13
yang melampaui batas” (QS Al-Maaidah: 87) “Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya permborospemboros
itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya” (QS Al-Israa: 26 – 27).

3.5 PERILAKU KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM

Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang


disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang
melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan
Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemenuhan
kebutuhandisertai kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya
keharmonisan hubungan antar sesama. Ekonomi Islam bukan hanya
berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara
cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan
yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.

14
BAB IV
PERILAKU PRODUSEN DALAM EKONOMI ISLAM

4.1 PENGERTIAN PERILAKU PRODUSEN


perilaku manusia merupakan pilihan manusia itu sendiri yang
dipengaruhi olek pemikiran yang dimilkinya.1 Perilaku manusia adalah
perbuatan, baik ucapan dan tindakan yang dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan naluri dan fisiknya yang dipengaruhi oleh
pemikirannya. Produsen adalah orang yang menghasilkan barang atau
jasa untuk dijual atau dipasarkan, sedangkan Produksi adalah usaha untuk
menciptakan dan meningkatkan kegunaan suatu barang untuk memenuhi
kebutuhan. Dengan pengertian lain Produksi merupakan konsep arus (flow
consept), bahwa kegiatan produksi diukur dari jumlah barang-barang atau
jasa yang dihasilkan dalam suatu periode waktu tertentu, sedangkan
kualitas barang atau jasa yang dihasilkan tidak berubah.
Dalam nash-nash Qur'an dan Sunnah Rasulullah, Islam menyeru
dengan seruan yang keras untuk berdagang, mengelolanya dengan baik,
bahkan memberi semangat untuk mengembara dalam berniaga itu. Islam
menamakannya dengan "mencari karunia Allah". Penyebutan orang-orang
yang mengembara di muka bumi untuk berniaga disetarakan dengan
penyebutan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Allah Swt berfirman
dalam Quran surat Al-Muzammil ayat 20.

Produksi artinya kegiatan menambah nilai guna suatu barang atau

15
jasa untuk keperluan orang banyak. Kegiatan produksi merupakan salah
satu aktivitas ekonomi yang sangat menunjang kegiatan ekonomi Tanpa
kegiatan produksi, konsumen tidak akan dapat mengonsumsi barang dan
jasa yang dibutuhkannya. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan
satu mata rantai yang saling berkaitan dan tidak dapat dilepaskan. Jika
dalam ekonomi islam tujuan konsumen dalam mengonsumsi barang dan
jasa untuk mendapat maslahah (Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu
gambaran dari meraih manfaat atau menghindarkan kemudharatan).
produsen dalam memproduksi barang dan jasa bertujuan memberikan
maslahah. Jadi baik produsen maupun konsumen memiliki tujuan yang
sama dalam kegiatan ekonomi yaitu mencapai maslahah yang optimum.
Produksi adalah kegiatan yang dilakukan manusia dalam
menghasilkan suatu produk baik barang maupun jasa yang kemudian
dimanfaatkan oleh konsumen (sukirno,2002). Pada saat kebutuhan
manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumis
sering dilakukan sendiri yaitu seseorang memproduksi untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan
dan keterbatasan sumbe daya, seseorang tidak dapat lagi memproduksi
sendiri barang dan jasa yang mereka butuhkan sehingga ia membutuhkan
pihak lain untuk memproduksi sesuatu yang menjadi kebutuhannya.
Pengertian produksi dalam ilmu ekonomi mencakup tujuan kegiatan yang
menghasilkan output serta karakter- karakter yang melekat padanya.

Dalam aktivitas produksinya, produksi mengubah berbagai faktor


produksi menjadi barang dan jasa. Faktor produksi dibedakan menjadi 2,

16
yaitu :
a. Faktor produksi tetap ( fixed input), Faktor produksi tetap adalah
faktor produksi yang jumlah penggunanya tidak bergantung pada jumlah
produksi Ada atau tidak adanya kegiatan produksi, faktor produksi itu
harus tetap tersedia. Sementara jumlah penggunaan faktor produksi
variabel bergantung pada tingkat produksinya. Semakin besar tingkat
produksi, semakin banyak faktor produksi variabel yang dipergunakan
b. Faktor produksi variabel, Sementara buruh dikatakan faktor
produksi variabel karena jumlah kebutuhannya dapat disediakan dalam
waktu kurang dari satu tahun dalam jangka panjang (long run) dan sangat
panjang (very long run), semua faktor produksi sifatnya variabel.
Perusahaan dapat menambah atau mengurangi kapasitas produksinya
dengan menambah atau mengurangi kapasitas produksinya dengan
menambah atau mengurangi mesin produksi

4.2 TUJUAN PRODUKSI


Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan
sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini akan
menimbulkan setidaknya dua implikasi.:
1. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang
menjadi kebutuhan meskipun belum tentu merupakan keinginan
konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat
riil bagi kehidupan yang islami.
2. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya
sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barng dan jasa secara
berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya

17
ekonomi dan kemubaziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya
sumber daya ekonomi ini secara cepat.

4.3 FAKTOR PRODUKSI


Faktor Produksi Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: Perbedaan ekonomi islam dengan
ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu
ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai
islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-
alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.

4.4 PRINSIP-PRINSIP PRODUKSI DALA EKONOMI ISLMA


Prinsip-prinsip produksi dalam ekonomi islam, Pada prinsipnya kegiatan
produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan
produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi
seorang muslim dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian
pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa
guna falah tersebut. Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw memberikan
arahan mengenai prinsip-prinsip produksi,yaitu sebagai berikut:
1.Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah
memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi
dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat
Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga
harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit
dan segala isinya.
2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut

18
Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang
didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi
Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya ilmu
pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan
produksi. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi,
memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam. Produksi
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat
serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus
berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan
kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan
keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material.
Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemanirian
umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian
dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan
material juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, di
mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang bahwa
pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan
merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan
urusan agama dan dunianya.
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual
maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran
rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual,
kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi,
dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohiah individu mewarnai

19
kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan rohaniah
menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
Produksi dalam pandangan islam, Prinsip dasar ekonomi Islam
adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta.
Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam. Dan dia
Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13).
Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa
Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain
“pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang
memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ini
bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah
adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang
dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan
alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah). Dengan keyakinan akan peran
dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep
produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif
maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai
maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan
manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan
dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh
kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk
urusan dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai
kebaikan di akhirat.

20
4.5 NILAI-NILAI ISLAM DALAM BERPRODUKSI
Nilai-nilai islam dalam berproduksi, paya produsen untuk
memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen
mengaplikasikan nilai-nilai islam.Dengan kata lain, seluruh kegiatan
produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami.
Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non
muslim tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan
ekonomi dan strategi pasarnya.

4.6 PERILAKU PRODUSEN MUSLIM VS NON MUSLIM


Muhammad (2004) berpendapat bahwa sistem ekonomi Islami
digambarkan seperti bangunan dengan atap akhlak. Akhlak akan
mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi
produksi. Menurut Qardhawi dikatakan, bahwa “Akhlak merupakan hal
yang utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik
secara individu maupun secara bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang
yang dihalalkan oleh Allah swt, dan tidak melampaui apa yang
diharamkannya.”
Meskipun ruang lingkup yang halal itu sangat luas, akan tetapi
sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan.
Mereka tidak merasa cukup dengan yang banyak karena mereka
mementingkan kebutuhan dan hawa nafsu tanpa melihat adanya suatu
akibat yang akan merusak atau merugikan orang lain. Tergiur dengan
kenikmatan sesaat. Hal ini dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui
batas, yang demikian inilah termasuk kategori orang-orang yang zalim.

21
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim. (Al Baqarah: 229). Seorang produsen muslim harus
berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas
halal dan haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata,
tidak melihat apakah produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik
ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai
dengan norma dan etika ataukah tidak. Akan tetapi seorang muslim harus
memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun
masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
Norma produsen muslim, Menghindari sifat tamak dan rakus. Tidak
melampaui batas serta tidak berbuat zhalim harus memperhatikan apakah
produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai
dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika
ataukah tidak. Seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak
merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma
dan etika serta akhlak yang mulia.
Etika produsen muslim, Memperhatikan halal dan haram. Tidak
mementingkan keuntungan semata. Diharamkan memproduksi segala
sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang
menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan
pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan
kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak
kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Kegiatan produksi
merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah
yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen.Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu

22
pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan
produksi melibatkan banyak faktor produksi. Beberapa implikasi
mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan,
antara lain, Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan
teknikal yang Islami, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek
sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena
kelangkaan tetapi lebih kompleks.

23
BAB

24
DAFTAR PUSTAKA

25

Anda mungkin juga menyukai