Anda di halaman 1dari 15

PERILAKU KONSUMSI DALAM PREFEKTIF EKONOMI ISLAM

DOSEN PENGAMPU :

HILMIATUS SALAH,S.E.I, M.E.I

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

AYU RIZKI AULIA (20030073)

NUR HASYANAH POHAN (20030098)

GESTIN PUTRI ANJARWATI (20030092)

FAKULTAS EKONOMI

PRODI MANAJEMEN

UNIVERSITAS ASAHAN

TA 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Perilaku Konsumsi Prefektif ekonomi
islam" sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata
kuliah Ekonomi Islam.

Makalah yang kami susun ini menjelaskankan tentang perilaku konsumsi prefektif yang
terdiri dari berbagai bahasan. Harapan penulis semoga tugas ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca

Penulis menyadari makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekuran untuk itu penulis
memerlukan kritik dan saran yang bermanfaat untuk lebih baiknya pembuatan makalah di
masa mendatang. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Ekonomi Islam dan semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah Swt. Senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Kisaran08 November 2021

Penulis

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1


1.2 Metode Penelitian. ........................................................................................................1
1.3 Hasil dan Pembahasan...................................................................................................2

BAB II KELANGKAAN & PILIHAN............................................................................7

2.1 Perilaku Konsumen.......................................................................................................7

2.2 konsep Masalah............................................................................................................8

2.3 Kebutuhan & Keinginan................................................................................................9

2.4 Sumber Daya Ekonomi..................................................................................................10

2.5 Kesimpulan...................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12
BAB l

PENDAHULIAN

1.1 Latar Belakang

Rasionalitas ekonomi pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi
yang mendasarinya. Sistem ekonomi merupakan oraganisasi yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling terkait dan bekerja sama untuk mencapai tujuan ekonomi. . Islam
adalah ajaran yang mengatur kehidupan manusia dari berbagai unsur, baik dari segi
aqidah, ibadah dan muamalah. Berdasarkan Mazhab Baqir as-Sadr ilmu ekonomi tidak
pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi dan islam adalah dua hal yang berbeda,
keduanya tidak dapat disatukan karena berbeda filosofi yang saling kontradiktif.
Selama ini perbedaan-perbedaan yang mendasari ekonomi konvensional dengan
ekonomi islam terletak pada orientasinya. Ilmu ekonomi konvensional menjadi bebas
nilai (posivistik), sedangkan ekonomi islam dibangun atas dasar religius ( tauhid,
keimanan, keadilan, kenabian dan khilafah) (Kambali, M. 2018).
Islam melarang umatnya untuk melakukan konsumsi secara berlebih-lebihan, namun
islam mengajarkan bagaimana cara berprilaku dalam berkonsumsi secara proposional.
Prilaku konsumsi yang berlebihan merugikan diri sendiri dan orang lain, karena
pengeluaran pada pendapatan melebihi batas kemampuan. Di Indonesia presentase
pengeluaran pangan masih sangat dominasi berada pada 49,14% (BPS, Susenas Maret
2019). Berdasarkan data terlihat dapat bahwa masyarakat pada umumnya masih
mementingkan pengeluaran untuk makanan.
Dalam presfektif rasionalitas konsumsi islam,pada saat rasionalitas konsumsi
seseorang tinggi,maka keputusa untuk membeli berdasarkan keinginan bukan
kebutuhan maka cenderung menurun, di karenakan orang tersebut berpikir rasional
sehingga lebih mementingkan kebutuhan dari pada keinginan ( Muhammad, 2004:152).
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin menganalisis Rasionalitas Muslim: Perilaku
Konsumsi Dalam Prespektif Ekonomi Islam.

1.2 . METODE PENELITIAN


Jenis penelitian ini menggunakaan tehnik pengumpulan data library research
dikarenakan kajian difokuskan pada bahan-bahan kepustakaan dengan menelusuri,
menelaah dan mencatat berbagai literatur sesuai dengan pokok pembahasan yang
berstandar akademik. Pembahasan ini terintegrasi secara sintaksis, yaitu mengikuti
aturan-aturan tertentu yang dapat di hubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan
data dasar yang diamati. ( Lexy J. Moleong,2000).
1.3 HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Defenisi Rasionalitas Kata Rasionalitas akan terlihat membingungkan apabila
memiliki makna atau arti yang banyak, dan terkadang rasionalitas tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan. Rasionalitas merupakan pola pikir dalam bertindak
sesuai dengan nalar dan logika manusia. Secara spesifik rasionalitas juga dapat
dikatakan sebagai tendensi yang dilakukan untuk memenuhi rencana jangka
panjang, dengan mempertimbangkan segala resiko dan manfaat dari tindakan yang
dilakukan. Rasionalitas adalah suatu konsekuensi atas dasar faktor ekonomi dan
agama, dimana faktor utama menjadi landasan dasar dalam pembahasan mengenai
perkembangan kapitalis. Rasionalitas memliki arti dan maksud yang berbeda-beda
pada setiap orang, dimana seseorang membuat keputusan sendiri berdasarkan pada
rasional masing-masing. Dalam teori ekonomi modern, pelaku ekonomi dapat
dikatakan rasional diantaranya, apabila keputusan yang diambil berdasarkan pada
sikap dan keputusan yang diambil dilakukan secara konsisten, tahu bahwa sikap
dalam bertindak lebih mengutamakan hal yang lebih penting dari pada sekedar
keinginan serta sesuai dengan kemapuan yang dimiliki.
b. Perilaku Konsumsi dalam Ekonomi Islam Konsumsi adalah salah satu kegiatan
ekonomi dengan tujuan mengurangi atau menghabiskan manfaat suatu barang
/jasa dalam memehuhi kebutuhan. Konsumsi pada hakikatnya adalah
mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan (Furqon, I. K, 2018).
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memiliki peranan penting yaitu
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Perilaku konsumsi dalam ekonomi
islam berdasarkan pada prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip
kesederhanaan, kemurahan hati, dan moralitas. Konsumsi meliputi kebutuhan,
kesenangan dan kemewahan. Kesenangan dibolehkan asal jangan berlebihan,
tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak pula melampaui
batas-batas makanan yang dihalalkan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an
surah al-A'raf ayat 31 yang artinya : "Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah,
tetapi jangan berlebihan sungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang
berlebihan-lebihan”. Konsumsi bagi umat islam sebagai indikasi positif di dalam
kehidupan sehari-hari untuk menjalankan aktivitas ibadah dan mentaati perintah
Allah swt. Seorang umat muslim tidak akan merugikan dirinya didunia dan
akhirat, karena melakukan sikap berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan,
melakukan kesibukan di dunia sehingga melalaikan perintah Allah swt.
Perspektif Islam Tentang Rasionalitas Sebelum membahas bagaimana konsep
prespektif islam memandang tentang rasionalitas, alangkah lebih baik jika
mengetahui konsep dasar rasionalitas menurut para ahli ekonom yang mengatakan
bahwa suatu keputusan yang diambil manusia adalah bersifat rasional. Menurut
Kuper (2000) setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda-besa terkait
dengan pengertian rasionalitas, namun pada dasarnya memiliki kesamaan secara
fundamental. Kesamaan di istilahkan sebagai kepuasan. Setiap manusia cenderung
ingin memuaskan dirinya, namun berbedabeda. Rasionalitas dalam pandangan
ekonomi konvensional sangat berbeda dengan ekonomi islam. Dimana, pandangan
ekonomi konvensional mengganggap manusia dikatakan rasional ketika dapat
memenuhi keinginannya yang bersifat materi. Sedangkan dalam pandangan
ekonomi islam sangatlah berbeda, islam memandang seseorang dikatakan rasional
apabila dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Menurut Dagun (1992:2)
konsep rasional manusia dalam ekonomi adalah kegiatan ekonomi sebagai
kegiatan yang masuk akal. Rationality merupakan proses memaksimalkan
kepuasan (utility maximization). Dalam proses memaksimalkan kepuasan
memiliki batasan-batasan tertentu yang disebut dengan morality (Jody S. Kraus
and Jules L. Coleman, 1987). Dalam teori ekonomi modern, pelaku ekonomi
diasumsikan rasional yaitu setiap orang selalu tahu apa yang mereka inginkan.
(Rianto & Amalia, 2010). Jika dalam ekonomi konvensional, memaksimumkan
kepuasan (utility) konsumen dan keuntungan ubagi produsen, maka berbeda
dengan ekonomi islam. Pelaku ekonomi islam baik produsen ataupun konsumen
berusaha memaksimalkan mashlahah.
c. Perspektif Islam Tentang Rasionalitas Sebelum membahas bagaimana konsep
prespektif islam memandang tentang rasionalitas, alangkah lebih baik jika
mengetahui konsep dasar rasionalitas menurut para ahli ekonom yang mengatakan
bahwa suatu keputusan yang diambil manusia adalah bersifat rasional. Menurut
Kuper (2000) setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda-besa terkait
dengan pengertian rasionalitas, namun pada dasarnya memiliki kesamaan secara
fundamental. Kesamaan di istilahkan sebagai kepuasan. Setiap manusia cenderung
ingin memuaskan dirinya, namun berbedabeda. Rasionalitas dalam pandangan
ekonomi konvensional sangat berbeda dengan ekonomi islam. Dimana, pandangan
ekonomi konvensional mengganggap manusia dikatakan rasional ketika dapat
memenuhi keinginannya yang bersifat materi. Sedangkan dalam pandangan
ekonomi islam sangatlah berbeda, islam memandang seseorang dikatakan rasional
apabila dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Menurut Dagun (1992:2)
konsep rasional manusia dalam ekonomi adalah kegiatan ekonomi sebagai
kegiatan yang masuk akal. Rationality merupakan proses memaksimalkan
kepuasan (utility maximization). Dalam proses memaksimalkan kepuasan
memiliki batasan-batasan tertentu yang disebut dengan morality (Jody S. Kraus
and Jules L. Coleman, 1987). Dalam teori ekonomi modern, pelaku ekonomi
diasumsikan rasional yaitu setiap orang selalu tahu apa yang mereka inginkan.
(Rianto & Amalia, 2010). Jika dalam ekonomi konvensional, memaksimumkan
kepuasan (utility) konsumen dan keuntungan ubagi produsen, maka berbeda
dengan ekonomi islam. Pelaku ekonomi islam baik produsen ataupun konsumen
berusaha memaksimalkan mashlahah.

Rasionalitas dalam perilaku konsumsi secara perspektif islam sebagai berikut, (Dita Afrina &
Siti Achiria. 2019):

a. Perilaku konsumsi dikatakan rasional apabila dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan, sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Israa ayat 29: ‫ا ُک َّل َ ہ ِق َک َو َل ۡتَب‬
‫\ط ٰی ُعنُ ًۃ اِل ۡو َل ُ ۡل َی \ َد َک َمۡ غ\\ل َب ۡس ِط َو َل ۡتَج\\ َع ۡ ال ۡو ًم\\ا َّمۡ ح ُۡس\\و ًرا ُ َم\\ل عُ\\ َد ۡ فَتَق‬
ۡ \‫ ُس‬Artinya: Dan

jamganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannnya karena itu kami menjadi tercela dan menyesal.
b. . Perilaku konsumsi dapat dikatakan rasional apabila tidak hanya dunia semata namun
ۡ ‫ب ۡس ِط ۡ ا ُک َّل ال َ ہ ِق َک َو َل ۡتَب‬
juga untuk keperluan akhirat, QS. Al- Israa ayat 26: َ ‫ُسط‬
‫ۡول ُ ۡل َی َد َک َمۡ غل َو َل ۡتَج َع ۡو ًما َّمۡ ح ُۡسو ًرا ُ َمل ُع َد ۡ فَتَق‬
َ ‫ ٰی ُعنُ ًۃ اِل‬Artinya: Dan berikanlah kepada
keluargakeluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
c. Perilaku konsumsi dikatakan rasional karena memiliki tingkat konsumsi yang lebih
kecil karena terkait pada kehalalan, umat muslim hanya diperbolehkan mengkonsumsi
ِ ۖ ‫\َّل‬y َ‫ر‬
hal-hal yang bersifat halal dan thayib. Qs. Al- Baqarah ayat 173: ِ‫ال ِ ِه ِل َغ ْي ِه َّل ب ُ ِر َو‬
ِ َ‫\َّلالَ َغفُ\\و ٌر َر ف‬y َ‫َما أ ِزي ِْخن ْ ال َ ْحم َ َو َل َوال َّدم َ ْميتَةَ ْ ْي ُ ُكم ال َ َع َل َح َّرم َما َّن ِ إ ٍ َر َباغ َم ِن ا ْض ُط َّر َ ْغي َّن‬
‫\ل م ْ ِث َل َع\\اٍد فَ َل إ َو ٌ ِحيم‬
َ \‫ ْي ِ ۚه إ َ َع‬Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
d. Perilaku konsumsi dikatakan rasional apabila seseorang tidak menimbun hartanya
dalam bentuk kekayaan namun melakukan ivestasi dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.

Islam adalah agama yang syarat terhadap etika, etika dalam islam dapat
dikelompokkan menjadi 6 aksioma yaitu, tauhid, keadilan, kebebasan, berkehendak dan
pertanggungjawaban halal dan sederhana (Naqvi, 1985). Manusia harus bertidak rasional
karena manusia memiliki kelebihan dibandingkan makhluk lain ciptaan Allah Swt. Allah
Swt memberikan manusia akal agar dapat digunakan untuk berfikir secara rasional.
Manusia dianggap berlaku rasional apabila perilaku dalam mencapai kepuasan maksimal
(utility maximization) sesuai dengan syariat islam.

d. Rasionalitas Konsumsi dalam Prespektif Ekonomi Islam Perilaku manusia dalam konsumsi
pada pemahaman konvensional dianggap rasional namun belum tentu dianggap rasional
dalam pandangan islam. Konsumsi dianggap rasional dalam islam apabila pembelajaan yang
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, sesuai dengan Qs.
Al.Israa, yang artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
dan janganlah kamu terlalu mengulurkan karena itu kami menjadi tercela dan menyesal”.
Perilaku konsumsi yang lain seperti membelanjakan hartanya di jalan Allah, membelanjakan
sesuatu sesuai dengan kebutuhannya dengan memperhatikan syariat islam. Kegiatan
konsumsi yang dilakukan manusia merupakan kegiatan pokok yang harus di lakukan dalam
sendi kehidupan manusia. Kegiatan tersebut tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan pokok
saja namun juga terkait dengan sandang dan papan. Manusia harus bersikap rasional dalam
berkonsumsi, jangan menjadi konsumen yang konsumtif. Secara umum konsumsi adalah
sebagai penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi
islam, konsumsi memilik arti yang hampir sama dengan ekonomi konvensional. Konsumsi
adalah bagian aktivitas ekonomi selain produksi dan distribusi. konsumsi lahir karena adanya
permintaan akan barang dan jasa. Namum, permintaan akan muncil karena adanya keinginan
dan kebutuhan oleh konsumen rill ataupun konsumen potensial (Masykuroh, 2008).
Menurut para pakar maqashid kebutuhan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu
(Jenita & Rustam, 2017):

Pertama, Kebutuhan Dharuriyat (Primer) Adalah kebutuhan yang menjadi dasar kehidupan
manusia yang baik dengan agama maupun dunia. Kebutuhan ini harus terpenuhi agara
manusia bisa hidup layak. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan menggangu
kehidupan manusia.

Kedua, Kebutuhan Hajjiyat (Sekunder) Kebutuhan Hajjiyat adalah kebutuhan setelah


kebutuhan primer, karena ini adalah kebutuhan penguat. Apabila kebutuhan ini tidak
terpenuhi maka tidak akan mengancam keselamaatan kehidupan umat manusia namun dapat
mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan. Dimana kebutuhan ini untuk mempermudah
manusia sesuai dengan perubahan zaman dan proses kehidupan.

Ketiga, Kebutuhan Tahsiniyat / Kamaliyat (Tersier/Pelengkap) Kebutuhan yang sama sekali


tidak mengancam salah satu hal pokok dalam kebutuhan primer. Kebutuhan ini muncul
setelah terpenuhinya kebutuhan dharuriyat (Primer) dan Hajjiyat (Sekunder). Dalam
prespektif ekonomi islam terdapat penyeimbang dalam kehidupan, berbeda dengan ekonomi
konvensional. Di jelaskan di dalam al-quran penyeimbang dalam ekonomi islam salah
satunya dengan mengeluarkan zakat, sedekah dan infaq. Hal ini merupakan rantai umat islam
agar terjalin solidaritas umat muslim dalam berkontibusi saling membantu antara satu dengan
yang lain.

BAB ll

KELANGKAAN DAN PILIHAN


2.1PERILAKU KONSUMEN

Kelangkaan juga membuat seseorang bijak dalam menentukan alokasi sumber daya
yang dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigm ekonomi konvensional
didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Bentham yang
mengatakan bahwa secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk
kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap
kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan
harus ada alas an yang kuat untuk melakukannya.

Menurut John Stuart Mill campur tangan Negara di dalam masyarakat mana pun harus
diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan manusia
merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dank arena itu
harus dihentikan. Lebih jauh Mill berpendapat bahwa setiap orang di dalam masya rakat
harus bebas untuk mengejar kepentingannya dengan cara yang dipilihnya sendiri, namun
kebebasan seseorang untuk bertindak itu dibatasi oleh kebebasan orang lain; artinya
kebebasan untuk bertindak itu tidak boleh mendatangkan kerugian bagi orang lain.

Dasar filosofis tersebut melatarbelakangi analisis mengenai peri laku konsumen


dalam teori ekonomi konvensional. Beberapa prinsip dasar dalam analisis perilaku konsumen
adalah:

1. Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan. Adanya kelangkaan dan terbatasnya


pendapatan memaksa orang menentukan pilihan. Agar pengeluaran senantiasa berada
di anggaran yang sudah ditetapkan, meningkatkan konsumsi suatu barang atau jasa
harus disertai dengan pengurangan konsumsi pada barang atau jasa yang lain.
2. Konsumen mampu membandingkan biaya dengan manfaat. Jika dua barang memberi
manfaat yang sama, konsumen akan memilih yang biayanya lebih kecil. Di sisi lain,
bila untuk memperoleh dua jenis barang dibutuhkan biaya yang sama, maka
konsumen akan memilih barang yang memberi manfaat lebih besar.
3. Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan manfaat dengan tepat. Saat
membeli suatu barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan harga
yang harus dibayarkan: segelas kopiStarsbuck, misalnya, ternyata terlalu pahit untuk
harga Rp 40.000, per cangkir. Lebih nikmat kopi tubruk di warung kopi yang Rp
3.000,- per gelasnya. Pengalaman tersebut akan menjadi informasi bagi konsumen
yang akan memengaruhi keputusan konsumsinya mengenai kopi di masa yang akan
datang.
4. Setiap barang dapat disubstitusi dengan barang lain. Dengan demikian konsumen
dapat memperoleh kepuasan dengan berbagai cara.
5. Konsumen tunduk kepada hukum Berkurangnya Tambahan Ke puasan (The Law of
Diminishing Marginal Utility). Semakin banyak jumlah barang dikonsumsi, semakin
kecil tambahan kepuasan yang dihasilkan. Jika untuk setiap tambahan barang
diperlukan biaya sebesar harga barang tersebut (P), maka konsumen akan berhenti
membeli barang tersebut manakala tambahan manfaat yang diper olehnya (MU) sama
besar dengan tambahan biaya yang harus di keluarkan. Maka jumlah konsumsi yang
optimal adalah jumlah di mana MU= P.

Tujuan aktivitas konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan dari mengonsumsi


sekumpulan barang/jasa yang disebut ‘consumption bundle’ dengan memanfaatkan
seluruh anggaran/pendapatan.

2.2 KONSEP MASLAHAH DALAM PERILAKU KONSUMEN ISLAM

Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al
nafs), properti atan harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga
atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut
maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang
menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu religious duty' atau ibadah.
Tujuannya bukan hanyakepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas
tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut 'needs' atau kebutuhan. Dan
semua kebutuhan ini harus dipenuhi.

Mencukupi kebutuhan-dan bukan memenuhi kepuasan/ke inginan adalah tujuan dari aktivitas
ekonomi Islami, dan usaha pen capaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam
beragama.

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:


1. Maslahah bersifat subjektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu
maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria
maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri
dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka
penilaian individu tersebut menjadi gugur.
2. Maslahah orang per orang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini
sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana
seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa
menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.

2.3 KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konven sional, bahwa ilmu
ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna
memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan
akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata
lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila
tidak cukup barang dan jasauntuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.

Menurut Imam Al-Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan


sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
menjalankan fungsinya. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan
tujuan utama diciptakan.

Pandangan konvensional yang materialis melihat bahwa konsumsi merupakan fungsi


dari ke inginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa memeduli kan pada
dimensi spiritual karena hal itu dianggapnya berada di luar wilayah otoritas ilmu ekonomi.
Tidak ada yang dapat menghalangi perilaku home economicus kecuali kemampuan dananya.
Tidak ada perasaan apakah konsumsi sekarang akan berpengaruh kepada masa depan dirinya
sendiri (misalnya mengonsumsi alkohol dan merokok), masa depan umat manusia (misalnya,
menguras minyak bumi, mene bangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara
dan air) apalagi masa depan kelak di akhirat.

2.4 SUMBER DAYA EKONOMI

Adanya relativitas kelangkaan barang bukan berarti sumber-sumber ekonomi yang


ada tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia saat ini, ataupun generasi berikutnya (Saad
Marthon, 2004). Hal tersebut merupakan pemahaman yang berbeda. Ketika berbicara
relativitas kelangkaan barang, maka fokus bahasan kita adalah ter-sedianya sumber-sumber
ekonomi baik dari segi bentuk, macam, waktu dan tempat dalam rangka memenuhi
kebutuhan individu dan masya-rakat. Lain halnya ketika membahas kecukupan sumber-
sumber ekonomi, di mana pembahasan yang ada berpusat pada kecukupan sumber-sumber
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia secara global demi terjaganya
eksistensi kehidupan manusia di atas bumi.

Namun pertanyaannya kemudian adalah, mengapa ada satu wilayah mengalami


kesejahteraan sementara wilayah lain mengalami kekurangan pangan. Ada sejumlah faktor
yang menyebabkan suatu kawasan mengalami kesulitan pangan (Saad Marthon, 2004):

a. Terdapat perbedaan distribusi sumber ekonomi, laju pertumbuhan penduduk dan


adanya perbedaan hasil bumi serta kekuatan dan kelebihan yang dimiliki oleh masing-
masing wilayah.
b. Kurangnya pemberdayaan (eksploitasi) manusia terhadap sumber sumber ekonomi,
terkadang disebabkan adanya faktor sosial dan budaya.
c. Kecenderungan manusia untuk hidup secara materialistis dan budaya konsumerisme
yang hanya berlandaskan atas pendapatan yang ada tanpa memandang unsur-unsur
pemborosan.
d. Krisis moral yang telah meracuni jiwa warga dunia. Adanya ke cenderungan pihak
penguasa ekonomi untuk mengeksploitasi negara-negara miskin. Selain itu, adanya
keengganan negara negara surplus pangan untuk berusaha membantu pemenuhan
kebutuhan pangan bagi negara yang mengalami kekurangan. Biasanya sikap ini
didorong oleh faktor ekonomi atau politik ke kuasaan.

2.5 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bahwasanya kegiatan ekonomi dalam


islam tidak diperbolehkan mencampuradukkan antara yang halal dan haram, karena terkait
pada prilaku konsumsi. Dalam prilaku konsumsi harus memperhatikan rasionalitasnya agar
kebutuhan yang ingin dipenuhi memiliki batasan-batasan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Dalam penelitian ini, penulis menyarankan pengembangan penelitian selanjutnya
dapat diperdalam lagi dengan metode studi kasus. Atau dengan penelitian kuantitatif yaitu
melakukan survei terhadap masyarakat mengenai suatu kasus tertentu. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada seluruh civitas akademik yang telah memberikan kontribusinya terhadap
penyelesaian penelitian kami, dan penulis juga memohon maaf apabila masih terdapat banyak
kekurangan pada naskah penelitian yang dilakukan oleh penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi Maharani dan Taufiq Hidayat.2020.Perilaku Konsumsi dalam Prespektif Ekonomi
Islam Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam,ISSN: 2477-6157; E-ISSN 2579-6534

Mustafa Edwin Nasution,M.Sc.,MAEP.,Ph.D.,et al.2006.Kelangkaan dan Pilihan.

Anda mungkin juga menyukai