TUJUAN EKONOMI
Disusun Oleh :
NIM : 2012115093
1
TAHUN 2015
Kata pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga makalah ini bisa jadi tepat waktu tanpa
halangan yang tidak diinginkan
Tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah ini. saya menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik serta saran yang
membangun dari Bpk. Dosen Pengampu akan saya terima dengan lapang hati sehingga bisa
menjadi sebuah pelajaran bagi saya agar kelak saya dapat membuat dengan lebih baik lagi.
Semoga makalah ini memberikan manfaat kepada pembaca khususnya serta dapat
membantu meningkatkan harkat dan martabat bangsa kita dalam membangun bangsa
Indonesia tercinta ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................................................(i)
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.2 Kesimpulan................................................................................................................... 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Ekonomi Islam berasal dari dua akar kata; ekonomi yang berdimensi empiris-
positif serta yang berdimensi normatif-subyektif
5
merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar
tersebutdengan lingkungan dan masanya.1
Persoalan yang akan muncul jika definisi ekonomi Islam meujuk pada Naqvi
yaitu terjadi kontruksi validitas ide filosofi-normatif ekonomi Islam yang dipadukan
dengan klaim validitas obyektif (empiris). Karena tatanan sosial yang sudah lazim
menjadi perilaku ekonomi telah bercampur baur dengan segala macam kepentingan
dan latar belakang. Juga, alat pengukuran terhadap validitas obyektif telah banyak
didominasi oleh ilmu-ilmu eksak yang notabene jarang dikembangkan oleh umat
Islam di era modern.
1. Al-Quran
1
Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj.
Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hlm. 17.
6
A. Perjudian
B. Riba
C. Menunaikan Zakat
2. Hadits
A. Penipuan (Ghabn)
B. Penimbunan
2
Dikutip dalam Taqiyuddin al-Nabhani, membangun sistem Ekonomi Alternatif, Perspektif Islam, (terj.)
(Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 203-204
3
Ibid., hlm. 207
7
3. Ijtihad
Kedua sumber norma sistem perekonomian Islam di atas (Al-Qur’an
dan Hadits) merupakan sumber primer yang menjadi haluan umum
bagi aktivitas perekonomian. Namun karena perkembangan zaman
dimana banyak terdapat perilaku ekonomi yang tidak disebutkan dalam
kedua sumber tersebut diperlukan cara-cara penggalian hukum untuk
menjawab masalah yang dihadapi yang tentu saja harus dalam batas-
batas koridor kedua sumber hukum tadi. Inilah yang dibet ijtihad.
Para ulama telah membuat cara-car penggalian tersebut yang
dinamakan al-Qawa’id al-Ushuliyah. Diantara kaidah-kaidah hukum
tersebut adalah :
A. Ijma’ (konsensus)
B. Qiyas
C. Istishab
8
dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Tujuan yang lain dapat
dianggap sebagai normatif dan diungkapkan dalam bentuk tujuan sosioekonomi yang
secara universal diinginkan, seperti pemenuhan kebutuhan, keadaan kesempatan
kerja penuh, laju pertumbuhan ekonomi yang optimal, distribusi pendapatan yang adil
(merata), stabilitas ekonomi dan keseimbangan lingkungan hidup (Chapra, 1996: 13-
14).
Sepintas lalu kedua tujuan ini sangat ideal, karena dimaksudkan untuk
melayani kebutuhan individu dan masyarakat. Namun dalam prakteknya, kedua
tujuan ini menjadi tidak konsisten. Bahkan negara-negara yang kaya tenyata tidak
mampu memenuhi tujuan normatifnya, sekalipun mereka memiliki sumber-
sumber daya yang besar. Jika sebagian tujuan ini terwujud, hal ini hanya dapat
dilakukan dengan merugikan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan efisiensi dengan
penggunaan mesin industri diperoleh dengan merugikan tujuan perluasan
kesempatan kerja, atau sebaliknya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kegagalan ini
semakin nyata di seluruh belahan dunia.
Ekonomi Islam, selain berkonsentrasi pada alokasi dan distribusi sumber-
sumber daya seperti pada ekonomi konvensional- namun tujuan utamanya adalah
merealisasikan maqāsid sharī’ah. Imam al-Ghazali (1422 H: 352) menjelaskan bahwa
tujuan utama syariah (maqāsid sharī’ah) adalah mendorong
kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama mereka
(dīn), diri (nafs), akal, keturunan (nasl) dan harta benda (māl). Keimanan (agama)
ditempatkan pada urutan pertama, karena berpengaruh secara signifikan terhadap
hakikat, kuantitas dan kualitas kebutuhan materi maupun psikologi serta cara
memuaskannya. Harta benda ditempatkan pada tujuan terakhir bukan karena 10
dianggap tidak penting, melainkan bahwa kemampuan harta dalam mewujudkan
kebahagiaan manusia akan sangat bergantung pada manusia itu sendiri. Dengan
kata lain, harta saja sebagai benda tidak dengan sendirinya mampu memberikan
kebahagiaan kepada manusia. Diri, akal dan keturunan berkaitan erat dengan
manusia itu sendiri, sehingga kebahagiaannya menjadi tujuan utama syariah.
Dengan memasukkan diri manusia, akal dan keturunannya akan memungkinkan
terciptanya suatu pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup
manusia.
Dengan berpatokan pada penjelasan maqāsid sharī’ah di atas, maka dapat
dirumuskan bahwa tujuan ekonomi Islam itu sebagai berikut:
9
a. Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar
pemikiran yaitu: QS. al-Baqarah ayat 2 & 168, al-Maidah ayat 87-88, al-Jumu’ah ayat
10).
b. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan
keadilan dan persaudaraan yang universal (dasar pemikiran yaitu: QS. al-Hujurāt ayat
13, al-Maidah ayat 8, al-Shu’arā’ ayat 183).
c. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (dasar
pemikiran yaitu: QS. al-An’am ayat 165, al-Nahl ayat 71, al-Zukhruf ayat 32).
d. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (dasar
pemikiran yaitu: QS. al-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).
A. Kesatuan (Unity)
B. Keseimbangan (Equilibrium)
C. Kebebasan (Free will)
D. Tanggung jawab (Responsbility)
10
2.5 Masalah Dalam Dunia Ekonomi
Manusia sebagai makhluk yang tidak pernah puas selalu menginginkan hal-hal di
luaar kebutuhannya dalam kehidupannya. Menurut Maslow, setelah kebutuhan fisiologis,
keamanan, sosial dan harga diri manusia, manusia pasti menginginkan aktualisasi diri.
Aktualisasi diri bersifat tidak terbatas yang pada akhirnya akan membuat manusia tidak
pernah puas.
11
Keterbatasan sumber daya di sini dapat diderivasikan ke dalam 3 sub pokok
pembahasan.
Distribusi sumber daya yang tidak merata antra individu merupakan salah satu
penyebab kelangkaan relatif. Sumber daya ini meliputi sumber daya alam maupun
manusia. Bentuk ketidakmerataan ini antara lain adanya ketidaksamaan potensi
sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah, misalnya di Surabaya banyak
terdapat kawasan-kawasan industry, sedangkan di Ponorogo jarang terdapat industri.
2. Keterbatasan manusia.
1. Sifat Qona’ah
Qona’ah atau berpuas diri adalah suatu konsep yang diutarakan oleh Islam
untuk mengatasi sifat manusia yang tidak pernah puas. Dengan didasari nilai-nilai
Islam, maka sifat qona’ah dapat mengatasi permasalahan ekonomi yang ada.
2. Konsep Maslahah
12
Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non material
yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Dengan maslahah, maka seorang manusia akan menggunakan sumber daya yang ada
sesuai dengan maslahah manusia itu sendiri.
Ilmu ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang
membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-
sumber daya langka yang seirama dengan maqasid syariah yaitu menjaga agama (li hifdz
al din), jiwa manusia (li hifdz al nafs), akal (li hifdz al 'akl), keturunan (li hifdz al nasl),
dan menjaga kekayaan (li hifdz al mal) (Syatibi, tt. 12) tanpa mengekang kebebasan
individu (Chapra, 2001).
13
membedakannya dengan sistem ekonomi lain. Ia adalah ekonomi rabbaniyah, ilahiyah
(berwawasan kemanusiaan), ekonomi berakhlak, dan ekonomi pertengahan. Sebagai
ekonomi ilahiyah, ekonomi Islam memiliki aspek transendensi yang sangat tinggi suci
(holy) yang memadukannya dengan aspek materi, dunia (profanitas). Titik tolaknya
adalah Allah dan tujuannya untuk mencari fadl Allah melalui jalan (thariq) yang tidak
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah.
Ekonomi Islam seperti dikatakan oleh Shihab (1997) diikat oleh seperangkat nilai
iman dan ahlak, moral etik bagi setiap aktivitas ekonominya, baik dalam posisinya
sebagai konsumen, produsen, distributor, dan lain-lain maupun dalam melakukan
usahanya dalam mengembangkan serta menciptakan hartanya. Sebagai ekonomi
kemanusiaan, ekonomi Islam melihat aspek kemanusiaan (humanity) yang tidak
bertentangan dengan aspek ilahiyah. Manusia dalam ekonomi Islam merupakan pemeran
utama dalam mengelola dan memakmurkan alam semesta disebabkan karena
kemampuan manajerial yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Artinya, Allah telah
memuliakan anak Adam dan mendesainnya untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Dengan desain itu pula Allah menyertakan kepada manusia orientasi spiritual (ruh al
ilahiyat) sebagai aspek yang sangat fundamental dalam diri manusia yang disebut
dengan fitrah manusia sebagai "al makhluk al hanief" atau mahluk oleh Syed Heidar
Nawab Naqvi (1981) disebut "Teomorfis"
14
A. Tauhid (Keesaan Tuhan)
Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (sahadat)
seorang muslim atas keesaan Tuhan. Istilah tauhid dikonstruksi dari kata wahada yang
secara etimologi berarti satu (esa) yaitu dasar kepercayaan yang menjiwai manusia
dan seluruh aktivitasnya. Hans Wehr (1980, 1054) menulis beberapa arti dari kata
tauhid, di antaranya: to be alone. Tauhidullah, berarti "to declare God to be one, to
profess belief in the unity of God".
Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang dijadikan mediasi dalam memenuhi
kebutuhan (hajat) manusia, baik kebutuhan primer (hajat al asasiyat/basic needs),
kebutuhan sekunder (hajat al dharuritat) maupun kebutuhan pelengkap (hajat al
tahsiniyat), melibatkan interaksi antara aspek metafisik dan aspek fisik. Kegiatan
ekonomi (bisnis) dalam perspektif tauhid dilandasi oleh prinsip-prinsip ilahiyah yang
bermuara pada kesejahteraan lahir dan batin manusia.
B. 'Adl (Keadilan)
Keadilan, pada tataran konsepsional-filosopis menjadi sebuah konsep
universal yang ada dan dimiliki oleh semua ideologi, ajaran setiap agama dan bahkan
ajaran berbagai aliran filsafat moral. Keadilan dalam kapitalisme didasarkan pada
spirit laissez faire dan laissez passer-nya, yang memberikan kebebasan kepada
mekanisme pasar untuk mengatur dirinya sendiri dengan berdasar pada hukum supply
and demand.
Hukum ini mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional dan
karena itu dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi masyarakat (Rais,
1999).
Dalam tataran praksisnya, sistem pasar bebas hanya membuka pintu
terakumulasinya kekayaan bagi segelintir kaum kapital (pemilik modal). Akibatnya
keserakahan, individualisme dan egoisme meningkat tajam.
Dalam khazanah Islam, keadilan yang dimaksud adalah "keadilan ilahi", yaitu
keadilan yang tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang
diwahyukan Tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan
suatu kewajiban (QS. Al Maidah/5:8, 42). Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Rasa keadilan dan upaya perealisasiannya bersumber dari substansi, dari mana
manusia tercipta. Tidak peduli betapa ambigu atau kaburnya makna keadilan baik
ditinjau dari segi filosofis, teologis, ekonomi, maupun hukum di kepala kita, jiwa kita
yang paling dalam memiliki rasa keadilan yang menyinari kesadaran kita, dan api
yang membara di hati kita mendesak kita untuk hidup dengan adil, melaksanakan
keadilan dan melindungi apa yang kita pandang adil (Nasr, 2003, 287).
15
C. Nubuwwah (Kenabian)
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan
begitu saja tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk
menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang
baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal-
muasal.
Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani
manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk umat muslim,
Allah telah mengirimkan "manusia model" yang terakhir dan sempurna untuk
diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad s.a.w.
Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada
umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah sifat siddiq (jujur),
amanah (bertanggung jawab), fathonah (kemampuan), dan tabligh (menyampaikan).
D. Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Islam, pemerintahan memainkan peranan yang kecil tetapi sangat
penting dalam perekonomian. Peran utamanya dalah untuk menjamin perekonomian
agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak asasi. Semua ini dalam rangka mencapai maqashid asy
syariah (tujuan-tujuan syariah) sebagaimana disinggung di atas.
E. Ma'ad (Hasil)
Ma'ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi nilai ini dalam
kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh imam Al-Ghazali yang
menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba, baik
laba material (tangible) maupun laba non-material (intangible).
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kajian tentang pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development)
ekonomi dapat ditemukan dalam konsep ekonomi Islam. Konsep ini pada
dasarnya telah dirangkum baik secara eksplisit maupun implisit dalam Alquran,
Sunnah Nabi s.a.w. maupun pemikiran-pemikiran ulama Islam terdahulu. Namun
kemunculan kembali konsep ini, khususnya beberapa dasawarsa belakangan ini,
berkaitan erat dengan kondisi negara-negara muslim yang terbelakang. Untuk
menghadapi ini, diperlukan formula khusus dalam strategi dan perencanaan
pembangunannya.
Kekhasan pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam
ditekankan pada perhatian yang sangat serius pada pengembangan sumber daya
manusia sekaligus pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Ini tidak hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan
material saja, namun juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan
akhirat. Jadi, ekonomi Islam lebih ditekankan pada suatu konsep dan usaha untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, ekonomi Islam
adalah jawaban tantangan peradaban dunia.
17
3.2 Daftar Pustaka
Nurohman Dede, 2011. Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam, cetakan I.
Yogyakarta : Teras
Dahlan Ahmad, 2012. Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik, cetakan I.Yogyakarta :
Teras
18