Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH EKONOMI ISLAM

“EKONOMI ISLAM MAKRO”

DOSEN PENGAMPU : ARI DEAN AMRI, SE.,ME

DISUSUN OLEH :

MIFTA HURRAHMA (1810075602121)

KELAS PUBLIK/CAPITAL JMSP

PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAMBI

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dengan demikian materi makalah ini
diharapkan dapat membantu proses belajar mahasiswa.

Teriring ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran guna perbaikan dan
peningkatan kualitas makalah di masa yang akan datang dari pembaca adalah sangat
berharga bagi kami.

Semoga makalah ini bisa menambah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin

Jambi, Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

A. Pengertian Ekonomi Makro Islam .................................................................. 3

B. Sejarah Ekonomi Makro Islam ....................................................................... 3

C. Karakteristik Ekonomi Makro Islam .............................................................. 6

D. Tujuan Ekonomi Makro Islam ....................................................................... 9

E. Dasar – Dasar dalam Ekonomi Makro Islam .................................................. 10

F. Teori Pemintaan dan Penawaran ..................................................................... 20

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 27

A. Kesimpulan ................................................................................................... 27

B. Saran ............................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi makro atau makro-ekonomi adalah studi tentang ekonomi secara


keseluruhan. Makro-ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak
masyakarakat, perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis
cara terbaik untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi,
stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.

Meskipun ekonomi makro merupakan bidang pembelajaran yang luas, ada dua area
penelitian yang menjadi ciri khas disiplin ini: kegiatan untuk mempelajari sebab dan akibat
dari fluktuasi penerimaan negara jangka pendek (siklus bisnis), dan kegiatan untuk
mempelajari faktor penentu dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang (peningkatan
pendapatan nasional). Model makro-ekonomiyang ada dan prediksi-prediksi yang ada jamak
digunakan oleh pemerintah dan korporasi besar untuk membantu pengembangan dan
evaluasi kebijakan ekonomi dan strategi bisnis.

Dalam kehidupan sehari-sehari, baik individu mauun masyarakat atau


perusahaansecara keseluruhan akan menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat ekonomi,
yaitu persoalan yang menghendaki seseorang, suatu masyarakat atau perusahaan membuat
suatu keputusan tentang car terbaru melakukan suatu kegiatan ekonomi

Didasari bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas dan alat pemenuhan kebutuhan
tidak terbatas. Dan hal ini membuat manusia melakukan tindakan ekonomi. Untuk
memecahkan dan melakukan tindakan ekonomi, manusia melakukan tindakan dengan cara
memilih beberapa altrnatif. Hal ini yang menjadi motif dari kegiatan yan disebut motif
ekonomi.

Dalam pandangan ekonomi islam, kebutuhan manusia itu terbatas yang tak terbatas
adalah keinginan. Sedangkan alat pemenuhan keinginan tak terbatas kerena Allah S.W.T
telah menciptakan bumi dan seisinya untuk kepentingan dan kemanfaatan hidup manusia.
Seorang muslim dalam melakukan suatu kegiatan akan didasarkan pada suatu kegiatan tidak
hanya berdasarkan kepuasan saja, akan tetapi berorientasi untuk beribadah kepada Allah
S.W.T

1
Orientasi beribadah kepada Allah S.W.T akan membuat permintaan dan penawaran
dalam ekonomi islam akan lebih sempit karena ada batasan yaitu adanya nilai-nilai, filosofi
kehidupan islam dan norma islam islam. Adanya batasan dalam melakukan tindakan
eksploitasi sumber daya alam, tujuan dari aktifitas ekonomi adalah memnuhi kebutuhan
adan untuk mencapai kesejahteraan

B. Rumusan Masalah

Adapun rumuan masalah dalam makalah ini adalah :

1. Apakah pengertian Ekonomi makro Islam ?


2. Bagaimana Sejarah Ekonomi Makro Islam?
3. Apa Karakteristik Ekonomi Makro Islam?
4. Apa tujuan Ekonomi Makro Islam ?
5. Apa saja yang menjadi dasar dari Ekonomi Makro Islam ?
6. Bagaimana Teori Pemintaan dan Penawaran?

C. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :

1. MUntuk mengetahui definisi Ekonomi makro Islam


2. Mengetahui Sejarah Ekonomi Makro Islam
3. Membahas Karakteristik Ekonomi Makro Islam
4. Membahas tujuan Ekonomi Makro Islam ?
5. Mengetahui yang menjadi dasar dari Ekonomi Makro Islam
6. Membahas Teori Pemintaan dan Penawaran

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ekonomi Makro Islam

Menurut Chapra (2002: 307), salah satu masalah utama dalam kehidupan social di
masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber
daya yang laksa tanpa harus bertentangan dengan tujuan makroekonominya. Tanpa adanya
keseimbangan ini, maka masyarakat mungkin akan menghadapi berbagai masalah.
Misalnya, Ketika terlalu banyak proporsi sumber daya yang dialokasikan untuk konsumsi,
maka tabungan dan tingkat investasi yang ada mungkin tidak cukup untuk dapat
mewujudkan full employment (kesempatan kerja penuh) dan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang optimal.

Lebih lanjut Chapra (2002:307), menyatakan bahwa pengalokasian sumber daya


untuk konsumsi yang terlalu kecil, dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya resesi dan
pengangguran akibat tidak terpenuhinya permintaan konsumen. Bahkan seandainya pula
sumber daya yang dialihkan untuk keperluan konsumsi secara aggregate mampu
mencukupi, tetap terbuka kemungkinan bahwa tidak semua kebutuhan pokok tiap individu
dalam masyarakat dapat dipenuhi.

Selain itu Kahf, menyebutkan bahwa pendapat umum dalam diskusi-diskusi yang
telah dilakukan sejauh ini dibidang makroekonomi Islam menganggap bahwa meskipun
system pasar sangat penting, namun masih belum memadai. Mekanisme ini perlu didukung
tidak hanya melalui peran efektif dari pemerintah, melainkan juga dengan reformasi moral
dari individu-individu yang ada di pasar sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, agar
tujuan kemanusiaan dari masyarakat dapat direalisasikan secara efektif tanpa intervensi
pemerintah yang berlebihan.

B. Sejarah Ekonomi Makro Islam

Awal mula pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak masa Nabi Muhammad SAW
diutus menjadi seorang Rasul. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di masa Rasulullah
selain masalah hukum (fiqih) dan politik (siyasah), kebijakan dalam hal perniagaan atau

3
ekonomi (muamalah) juga diatur di antara kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan.
Rasulullah menjadikan masalah ekonomi sebagai suatu hal yang harus diberikan perhatian
yang lebih. Oleh karena perekonomian adalah pilar penyangga keimanan yang harus
diperhatikan. Kebijakan yang telah dibentuk oleh Rasulullah ini, juga dijadikan pedoman
oleh para Khalifah yang menggantikan kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw dalam
mengambil keputusan tentang perekonomian. Landasan utama sebagai dasar adalah Al-
Quran dan Al -Hadist. Berikut ini akan kita bicarakan lebih lanjut tentang pemikiran-
pemikiran pada masa-masa tersebut.

1. Perekonomian Di Masa Rasulullah SAW (571-632 M)

Tentunya kondisi kehidupan pada masa Rasulullah SAW sangat jauh berbeda
dengan keadaan saat ini.Di masa Rasulullah saw, peperangan masih mewarnai kehidupan
masyarakat pada saat itu. Salah satu sumber pendapatan masyarakat saat itu adalah harta
rampasan perang yang diperoleh dari lawan perang. Tidak ada pendapatan tetap bagi mereka
sebagai pengikut perang bersama Rasulullah saw. Ketika harta rampasan perang telah
dihalalkan untuk dinikmati secara keseluruhan oleh mereka yang mengikuti peperangan,
kemudian turunlah Surat Al-Anfal (8) ayat 41

“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Alloh, Rosul, Kerabat Rosul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Alloh dan kepada yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. “Sejak saat itu, harta rampasan yang
diperoleh tidak digunakan secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan prahurit perang.
Akan tetapi Rasulullah membaginya sesuai dengan perintah dari Allah dalam surat Al –
Anfal ayat 41 di atas.

Tahun kedua setelah hijriah, Zakat Fitrah yang dibayarkan setahun sekali pada bulan
ramadhan mulai diberlakukan. Besarya satu sha kurma, gandum, tepung keju, atau kismis.
Setengah sha gandum untuk setiap muslim, budak atau orang bebas, laki-laki atau
perempuan, muda atau tua dan dibayar sebelum Shalat Idul Fitri.

Zakat Maal ( Harta) diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah, sementara zakat fitrah
(shodaqoh fitrah) pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ada ahli hadist memandang zakat telah
diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijriah ketika Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan

4
setelah hijriah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat
sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.

2. Perekonomian Di Masa Khulafaurrasyidin

a. Abu Bakar As-Sidiq (51 SH -13 H / 537 – 634 M)

Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah, bersamaan dengan itu sebuah Baitul
Maal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh kekayaan dari
Baitul Maal ini. Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua
setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Maal dalam beberapa
waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500
dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per tahun Khalifah Abu Bakar sangat
memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga mengambil langkah-langkah
yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang
kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rosululloh SAW.

b. Umar bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)

Khalifah Umar sangat memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang


perekonomian negerinya. Hukum perdagangan mengalami penyempurnaan untuk
menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa
barang, pajak perdagangan nabad dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk
memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun
pasar agar tercipta perdagangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan
terhadap penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalam menangani masalah zakat. Zakat
dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum.
Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda sebesar 50% dari
kekayaannya.

c. Ustman bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M)

Khalifah Ustman mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Usman


mengurangi jumlah zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman
menaikkan pensiun sebesar seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan

5
santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di
masjid untuk orang-orang miskin dan musafir.

Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal dari zakat, ushr( zakat
atas hasil pertanian dan buah – buahan) , kharaj(pajak yang ditujukan untuk menjaga
kebutuhan atau fasilitas umum atau publik), fay( tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya
sehinga diambil alih menjadi milik negara) dan ghanimah( harta rampasan perang). Zakat
ditetapkan 2,5 persen dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian
sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Persentase dari kharaj
lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada para prajurit yang ikut
andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai kas negara.

d. Ali bin Abi Thalib (23H – 40H / 600 – 661 M )

Pada masa pemerintahan Ali, beliau mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi


yang ada di Baitul Mall Madinah , Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad,
namun ia menahan diri untuk menghindari terjadi perselisihan.Secara umum, banyak
kebijakan dari khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi pengeluaran yang
tetap sama.

C. Karakteristik Ekonomi Makro Islam

Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun),


mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi
didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah s.w.t. sebagaimana terdapat dalam al-
Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis
(ra’simaliyah; capitalistic) dan sosialis (syuyu`iyah; socialistic) yang tata aturannya semata-
mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia (para
ekonom).

Dalam Islam, ekonomi hanya merupakan satu titik bahagian dari al-Islam secara
keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena ekonomi itu hanya merupakan
salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari al-Islam yang bersifat komprehensip (al-
Islam as-syamil), maka ini artinya tidaklah mungkin memisahkan persoalan ekonomi dari
rangkaian ajaran Islam secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik).
Misalnya saja, karena Islam itu agama akidah dan agama akhlak di samping agama syariah
6
(muamalah), maka ekonomi Islam tidak boleh terlepas apalagi dilepaskan dari ikatannya
dengan sistem akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum. Itulah sebabnya seperti
akan dibahas pada waktunya nanti, mengapa ekonomi Islam tetap dibangun di atas asas-asas
akadiah (al-asas al-`aqa’idiyyah) dan asas-asas etika-moral (al-asas akhlaqiyyah) yang
lainnya.

Ekonomi berdimensi akidah atau keakidahan (iqtishadun `aqdiyyun), mengingat


ekonomi Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir (sebagai ekspresi) dari akidah Islamiah (al-
`aqidah sl-Islamiyyah) yang di dalamnya akan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap
akidah yang diyakininya. Atas dasar ini maka seorang Muslim (menjadi) terikat dengan
sebagian kewajibannya semisal zakat, sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus
kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan
pahala dari Allah s.w.t. di hari kiamat kelak.

1. Berkarakter ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat ekonomi Islam itu


merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap
ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak aturan-aturan Nya adalah berarti
ketaatan kepada Allah s.w.t., dan setiap ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah.
Dengan demikian maka penerapan aturan-aturan ekonomi Islam (al-iqtishad al-
Islami) adalah juga mengandung nilai-nilai ibadah dalam konteksnya yang sangat
luas dan umum.
2. Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq), Islam tidak pernah
memprediksi kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak
pernah memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa
akhlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan
aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata
murni kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. Dalam
Islam, kegiatan ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-
moral) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara
keseluruhan.
3. Elastis (al-murunah), dalam pengertian mampu berkembang secara perlahan-lahan
atau evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada kenyataan bahwa baik al-
Qur’an maupun al-Hadits, yang keduanya dijadikan sebagai sumber asasi ekonomi,
tidak memberikan doktrin ekonomi secara tekstual akan tetapi hanya memberikan

7
garis-garis besar yang bersifat instruktif guna mengarahkan perekonomian Islam
secara global. Sedangkan implementasinya secara riil di lapangan diserahkan kepada
kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi) sepanjang tidak menyalahi cita-cita
syari`at (maqashid as-syari`ah).
4. Objektif (al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam mengajarkan umatnya supaya
berlaku dan bertindak obyekektif dalam melakukan aktifitas ekonomi. Aktivitas
ekonomi pada hakekatnya adalah merupakan pelaksanaan amanat yang harus
dipenuhi oleh setiap pelaku ekonomi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna
kulit, etnik, agama/kepercayaan dan lain-lain. Bahkan terhadap musuh sekalipun di
samping terhadap kawan dekat. Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya
dilarang dalam Islam. Termasuk ke dalam hal yang dilarang ialah perlakuan
dumping dalam berdagang/berbisnis.
5. Memiliki target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al-hadaf as-sami). Berlainan
dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya untuk mengejar
kepuasan materi (ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam memiliki sasaran yang
lebih jauh yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas)
dan pendidikan kejiwaan.
6. Realistis (al-waqi`iyyah). Prakiraan (forcasting) ekonomi khususnya prakiraan bisnis
tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi dengan praktek pada sisi yang lain.
Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan terjadi pengecualian atau bahkan
penyimpangan dari hal-hal yang semestinya. Misalnya, dalam keadaan normal,
Islam mengharamkan praktek jual-beli barang-barang yang diharamkan untuk
mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan darurat (ada kebutuhan sangat mendesak)
pelarangan itu bisa jadi diturunkan statusnya menjadi boleh atau sekurang-
kurangnya tidak berdosa.
7. Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah s.w.t. Dalam prinsip ini
terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaan (al-
amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam
pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus diklola dan dimanfaatkan sesuai
dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas dalih apapun, seseorang
tidak bolehbertindak sewenag-wenang dalam mentasarrufkan (membelanjakan) harta
kekayaannya, termasuk dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadinya.

8
8. Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal).
Para pemilik harta perlu memiliki kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau
mengatur harta kekayaannya semisal berlaku hemat dalam berbelanja, tidak
menyerahkan harta kepada orang yang belum/tidak mengerti tentang
pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya ke dalam hal-hal yang
diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang akan merugikan
orang lain.

D. Tujuan Ekonomi Makro Islam

Menurut Nik Mustofa (1992: 23-24), Islam berorientasi pada tujuan (Goal Oriented).
Prinsip-prinsip yang mengarahkan pengorganisasian kegiatan-kegiatan ekonomi pada
tingkat individu dan kolektif bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan menyeluruh yang
dalam tata social Islam.

Secara umum tujuan-tujuan itu dapat digolongkan sebagai berikut ini:

1. Menyediakan dan menciptakan peluang-peluang yang sama dan luas bagi semua
orang untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Peserta serta
individu dalam kegiatan ekonomi merupakan tanggung jawab keagamaan.
Individu diharuskan menyediakan dan menopang setidaknya kebutuhan hidupnya
sendiri dan orang-orang yang bergantung padanya.
2. Memberantas kemiskinan aboslut dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bagi
semua individu masyarakat. Kemiskinan bukan hanya merupakan penyakit
ekonomi, tetapi juga mempengaruhi spiritualisme individu. Islam menomor
satukan pemberantasan kemiskinan. Pendekatan Islam dalam memerangi
kemiskinan ialah dengan merangsang dan membantu setiap orang untuk
berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan ekonomi.
3. Mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, dan meningkatkan
kesejahteraan ekonomi. Islam memandang posisi ekonomi manusia tidak statis.
Dengan ungkapan yang sangat jelas, Allah telah menjamin bahwa semua makhluk
diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Gagasan tentang peningkatan
kesejahteraan ekonomi manusia rupanya sebuah proposisi religious. Karena
terdapat sintesis antara aspek-aspek material dan spiritual dalam skema Islam
mengenai kegiatan manusia, kemajuan ekonomi yang diciptakan oleh Islam juga

9
member sumbangan bagi perbaikan spiritual manusia. Stabilitas ekonomi dalam
Islam menunjukan pada pencapaian stabilitas harga dan tiadanya pengangguran.
Kedua tujuan ini, berbeda dalam wilayah keadilan ekonomi.

E. Dasar – Dasar dalam Ekonomi Makro Islam

1. Konsep Uang, Bunga, dan Qirad

a. Konsep Uang dalam Islam

Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi
konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah
uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi
konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional
diartikan secara bolak-balik, yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.

Dalam perekonomian, secara umum uang memiliki tiga fungsi: sebagai alat
pertukaran, satuan hitung, dan penyimpan nilai.

1) Sebagai alat pertukaran (medium of exchange)

Uang berarti sesuatu yang diberikan oleh pembeli kepada penjual ketika mereka
membeli barang dan jasa. Ketika membeli sebuah baju di toko pakaian, toko memberikan
baju yang Anda inginkan tersebut dan Anda memberikan uang kepada toko tersebut.
Transaksi uang dari pembeli ke penjual memungkinkan transaksi terjadi. Ketika memasuki
toko, Anda yakin bahwa toko akan menerima uang Anda sebagai pengganti barang yang
mereka jual karena uang diterima secara umum sebagai alat pertukaran.

Uang menjadi media transaksi yang sah yang harus diterima oleh siapa pun bila ia
ditetapkan oleh negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi yang lain seperti cek.
Berlaku juga cek sebagai alat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima
cek sebagai alat pembayaran.

2) Sebagai satuan hitung (unit of acount)

Dengan fungsi ini, maka suatu barang dapat diukur dan diperbandingkan. Misalnya,
di Indonesia rupiah adalah dasar pengukur nilai dari barang-barang dan jasa yang

10
diperdgangkan di pasar. Seseorang dapat mengukur nilai sebuah mobil atau rumah dengan
rupiah, bahkan dengan diketahui nilai rupiah dari mobil dan rumah.

3) Uang sebagai penyimpan nilai (store of value)

Uang merupakan alat yang dapat mentransfer daya beli dari masa sekarang ke masa
depan. Ketika seorang penjual saat ini menerima uang sebagai pengganti atas barang atau
jasa , penjual tersebut bisa menyimpan uang tersebut dan manjadi pembeli brang atau jasa
yang lain pada waktu yang berbeda. Tentu saja, uang bukanlah satu-stunya alat penyimpan
nilai dalam ekonomi, karena seseorang juga bisa mentransfer daya beli dari masa sekarang
ke masa yang akan datang dengan menyimpan aset-aset yang lain. Aset berupa uang
maupun nonuang digolongkan sebagai kekayaan.

Sedangkan fungsi uang dalam pandangan Islam, dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Money as flow concept

Uang adalah flow concept dan capital adalah stop concept. Semakin cepat
perputaran uang akan semakin baik. Misalnya, seperti contohpada aliran air masuk dan
aliran air keluar. Sewaktu air mengalir, disebut sebagai uang, sedangkan apabila air tersebut
mengendap, maka disebut sebagai capital. Wadah tempat mengendapnya adalah private
goods, sedangkan air adalah pubic goods. Uang seperti air, apabila air (uang) dialirkan,
maka air (uang) tersebut akan bersih dan sehat (bagi ekonomi). Apabila air (uang) dibiarkan
menggenang dalam suatu tempat (menimbun uang), maka air tersebut akan keruh/ kotor.
Saving harus diinvestasikan ke sektor riil. Apabila tidak, maka saving bukan saja tidak
mendapat return, tetapi juga dikenakan zakat.

2) Money as public goods

Ciri dari public goods adalah barang tersebut dapat digunakan oleh masyarakat tanpa
menghalangi orang lain untuk menggunakannya. Sebagai contoh: jalan raya. Jalan raya
dapat digunakan oleh siapa saja tanpa terkecuali, akan tetapi masyarakat yang mempunyai
kendaraan berpeluang lebih besar dalam pemanfaatan jalan raya tersebut dibandingkan
dengan masyarakat yang tidak mempunyai kendaraan. Begitu pula dengan uang. Sebagai
public goods, uang dimanfaatkan lebih banyak oleh masyarakat yang lebih kaya. Hal ini
bukan karena simpanan mereka di bank, tetapi asset mereka, seperti rumah, mobil, saham,
dan lain-lain. Yang digunakan di sektor produksi, sehingga memberikan peluang yang lebih

11
besar pada orang tersebut untuk memperoleh lebih banyak uang. Jadi, semakin tinggi
tingkat produksi, akan semakin besar kesempatan uantuk dapat memperoleh keuntungan
dari public goods (uang) tersebut. Oleh karena itu, penimbunan (hording) dilarang karena
menghalangi yang lain untuk menggunakan public goods tersebut. Jadi, jika dan hanya
private goods dimanfaatkan pada sektor produksi, maka kita akan memperoleh keuntungan.

b. Konsep Bunga

Pengertian bunga/ interest dalam Dictionary of Finance and Investment Terms


Barrons : Cost of using money, expressed as a rate per periode of time, usually one year, in
which case it is called an annual rate of interest. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman
uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapatan
lain menyatakan interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasikan untuk
penggunaan modal.

Riba secara bahasa bermakna tumbuh dan membesar, bertambah dan banyak.
Sedangkan secara istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil. Riba dalam bahasa Inggris disebut usury, yang intinya adalah pengambilan
bunga atas pinjaman uang dengan kelebihan, sehingga cenderung mengarah kepada
eksploitasi dan pemerasan.

Sementara para Ulama Fiqh mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu
muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan
terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan
terutang kepada pemilik utang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini, berlaku
luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Islam, sehingga masyarakat Arab
pun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.

Teori time of money diwujudkan dalam bentuk tingkat bunga (interest rate). Tingkat
bunga dianggap bunga sebagai harga dari komoditas uang. Perdagangan surat berharga di
pasar, uang dan produk-produk keuangan lainnya, pada hakikatnya menjadi perdagangan
komoditas uang. Tingkat bunga juga memicu semakin derasnya motif untuk berspekulasi
dibandingkan dengan motif bertransaksi dan berjaga-jaga dalam ekonomi konvensional.

Dalam konsep Islam diakui adanya permintaan uang dengan motif transaksi dan
motif berjaga-jaga, sedangkan motif spekulasi tidak diakui karena dapat mendorong pada

12
transaksi maya di sektor moneter. Perkembangan sistem di Indonesia ini tidak bisa
dilepaskan dari peran suku bunga yang mampu mendorong pertumbuhan sektor keuangan
dengan sangat cepat. Tingkat bunga menjadi pertemuan antara keseimbangan pasar barang
dan pasar uang, sehingga memiliki pengaruh yang besar dalm perekonomian. Suku bunga
dengan menggunakan prosentase membantu dalam perhitungan-perhitungan bunga menjadi
pendapatan atau biaya yang tetap dan pasti. Masyarakat kurang memperhatikan bahwa
pendapatan atau beban biaya yang tetap dan pasti itu sebenarnya telah bertentangan dengan
hakikat hidup manusia yang penuh dengan tidak ketidakpastian. Bunga dalam ekonomi
konvensional identik dengan dengan riba.

Umat Islam dilarang mengambil riba dalam bentuk apapun. Larangan tersebut
bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Rasul. Adapun larangan riba yang terdapat dalam Al-
Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.

1) Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya
seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. (Ar-rum: 39)
2) Tahap kedua, digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. (An-
Nisaa’: 160-161)
3) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.
(Al-Imran: 130)
4) Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. (Al-Baqarah: 278-279)

c. Konsep Qirad

Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian),
Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak sedangkangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah yang
mempunyai arti yang sama.

Menurut bahasa, Mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan
perjalanan untuk berniaga. Mudharabah disebut juga Qiradh, berasal dari kata qath yang
13
berarti qath’ (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk
diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.

Menurut istilah Fiqh, Mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak,
yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan
untuk usaha, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan kesepakatan.

Qirad merupakan suatu perjanjian pinjaman usaha, dimana pemilik modal


memberikan kepercayaan atas barang / investasi yang ia miliki kepada seseorang yang
ditunjuk sebagai agen dalam menjalankan usahanya. Pinjaman usaha (qirad) bukanlah
pinjaman uang dalam suatu jangka waktu terbatas tanpa adanya kejelasan investasi / usaha,
melainkan suatu pinjaman yang digunakan untuk mendirikan suatu bentuk usaha tertentu.

Perjanjian pinjaman usaha dalam qirad menyatakan secara jelas identitas orang yang
menjadi agen atau pemilik baru dan siapa yang bertanggung jawab penuh atas suatu
investasi/usaha. Maka dari itu pinjaman tidak dapat dilakukan melalui perantara mayoritas
atau sekelompok orang yang menjadi pemilik tunggal, dimana keberadaan pemilik modal
minoritas menjadi terabaikan, sehingga dari waktu ke waktu, pemilik modal minoritas harus
melaksanakan keputusan pemilik modal mayoritas walaupun pemilik modal minoritas tidak
setuju dengan keputusan tersebut.

Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa jika seseorang ingin berinvestasi/


berusaha/berdagang, maka:

1) Ia harus mengetahui segala sesuatu mengenai usaha yang berhubungan dengan


investasinya (sesuai dengan kondisi awal yang diketahui secara masuk akal oleh tiap
pihak, dan kondisi yang diinginkan secara lengkap).
2) Jika seseorang atau sekelompok orang dapat mengambil suatu keputusan untuk
dilaksanakan oleh suatu bentuk usaha maka ia adalah pemilik (atau mitra-pemilik),
dimana jelas, dan hanya para pemiliklah yang dapat memutuskan sesuatu bagi usaha
yang ia miliki.
3) Dalam setiap kemitraan, para pemilik memiliki hak dan status yang sama
(pemenuhan atas perjanjian yang telah disetujui bersama) walaupun tugas yang
dilakukan oleh masing-masing pemilik berbeda dalam usaha ini (pembagian hasil
keuntungan akan dilaksanakan secara proporsional).

14
4) Jika dalam suatu perjanjian mengakibatkan hilangnya hak pemilik modal untuk ikut
mengatur usaha tersebut, maka dalam perjanjian tersebut telah terjadi pengambil
alihan secara paksa hak kepemilikan dari pemilik modal.

2. Kebijakan Moneter

a. Pengertian Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengerahkan perekonomian


makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang yang
beredar. Yang dimaksud dengan kondisi lebih baik adalah meningkat oupput keseimbangan
dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflansi terkontrol). Melalui kebijakan moneter
pemerintah dapat mempertahankan, menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar
dalam upaya mempertahankan ekonomi yang bertumbuh sekaligus mengendalikan inflansi.

Jika yang dilakukan adalah menmbah jumlah uang yang beredar, maka
pemerintahdikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary expansive).
Sebaliknya jika jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter
kontraktif (monetary contractive).

b. Tujuan Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk
mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga,
pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran)
serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat
diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka
kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh
kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian
ditransfer pada sektor riil.

Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur
dengan:

1) Kesempatan Kerja

15
Semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan
produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini
berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.

2) Kestabilan harga

Apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di


masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama
dengan harga yang akan masa depan.

3) Neraca Pembayaran Internasional

Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi


di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering
melakukan kebijakan-kebijakan moneter.

c. Instrumen Kebijakan Moneter

Ada empat instrumen utama dalam ekonomi konvensional yang digunakan untuk
mengatur jumlah uang yang beredar:

1) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Definisi Open Market Operation (OMO) atau oprasi pasr terbuka adalah pembelian
dan penjualan sekuritas pemerintah (government securities) yang dilakukan oleh Bank
Sentral. Sekuritas pemerintah tersebut biasanya berbentuk obligasi. Tindakan ini akan
berpengaruh: Pertama, menaikan cadangan bank-bank umum uang tersangkut dalam
transaksi. Sebab dalam pembelian surat berharga misalnya, bank sentral akan menambah
cadangan bank umum yang menjual surat berhaga tersebut yang ada dalam bank sentral.
Akibat tambahnya cadangan, maka bank umum dapat menambah jumlah uang yang beredar
(melalui proses penciptaan kredit). Kedua, tindakan pembelian atau penjualan surat
berharga akan mempengaruhi harga (dan dengan demikian juga tingkat bumga) surat
berharga. Akibatnya tingkat bunga umum akan berpengaruh.

2) Fasilitas Diskonto (Discount Rate)

Yang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan
pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Dalam kondisi tertentu,

16
bank-bank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka harus meminjam kepada bank
sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi atau
menambah jumlah uang yang beredar.

Bila pemerintah ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah


menurunkan tingkat bunga pinjaman (tinglat diskonto). Dengan tinkat bunga pinjaman yang
lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi
lebih besar, sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya jika ingin menambah laju
pertambahan jumlah uang beredar, pemerintah menaikan bunga pinjaman. Hal ini akan
mengurangi keinginan bank-bank meminjam uang dari bank sentral, sehingga pertambahan
jumlah uang beredar dapat ditekan.

3) Rasio Cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio)

Industri perbankan adalah salah satu industri yang paling banyak dibuat peraturan
dibuat tentangnya (heavily regulated industry). Salah satu bentuk peraturan tersebut adalah
Ketentuan Cadangan Minimum (Reserve Requirement) atau RR yang biasanya ditetapkan
berdasarkan suatu undang-undang perbankan yang disarkan oleh DPR.

Peraturan RR ini dirancang untuk menjamin pemilik uang atau nasabah penyimpan
yang menyimpan uangnya di bank akan mendapatkan uangnya jika ia menarik simpanannya
(deposit). Walaupun demikian tidak semua dana simpanan tersebut dicadangkan, karena
bagi bank sendiri sebenarnya RR ini merugikan karena idle cash yang diatur oleh RR
tersebut tidak menghasilakan pendapatan bagi bagi bank. Peraturan RR ini berubah-rubah
besaran persentasenya untuk mengakomodasi dan memfasilitasi peraturan moneter yang
berlaku serta untuk mencapai tujuan sasaran bank sentral.

4) Imbauan Moral (Moral Persuasion)

Bank sentral menggunakan pengaruhnya (kekuatan himbauan moral) untuk


mendorong institusi finansial agar cenderung berpihak kepada kepentingan publik. Bank
sentra biasanya menggunakan himbauan moral untuk meyakinkan para bankir dan meneger
dan institusi-institusi finansial agar lebih memerhatikan kepentingan jangka panjang
daripada kepentingan jangka pendek institusinya. Contohnya adalah pada saat terjadi
inflansi, bank sentral dapat menyarankan pada institusi-institusi finansial agar mengurangi

17
pemberian pinjaman (kredit) yang sekaligus juga bersifat mendinginkan perekonomian yang
sedang panas.

Sedangkan instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain:

1) Reserve Ratio

Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank
sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat
menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada
pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.

2) Moral Suassion

Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit


sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi.
Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.

3) Lending Ratio

Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio
dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).

4) Refinance Ratio

Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio turun, bank
komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.

5) Profit Sharing Ratio

Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu
bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter,
dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio
keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.

6) Islamic Sukuk

Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan


mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah

18
uang beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau
menurunkan jumlah uang beredar.

d. Implikasi Kebijakan Moneter

Implikasi pembangunan kebijakan moneter dapat dibagi menjadi dua kategori besar.
Menurut Sadeq dijelaskan:

Kategori pertama merupakan akibat pengaruh dari penghapusan bunga sebagai


instrumen kebijakan moneter dan sebagai harga modal. Kebijakan ekonomi yang bersifat
mandat dalam moneter dan keuangan pada pemerintah Islam adalah melarang atau
menghapus bunga dari sistem keuangan dengan ispirasi perbankan yang berdasarkan bunga,
dan melakukan transformasi kepada keseluruhan sistem perbankan secara menyeluruh bebas
dari bunga.

Keterbatasan bunga dalam suatu investasi adalah tidak mampu menghasilkan full
potential. Sebagai contoh, jika tingkat bunga adalah x%, investasi dari dana yang dipinjam
hanya dapat menghasilkan sebesar x% marginal efficiency of capital (MEC). Selanjutnya,
investasi itu secara tidak langsung menunjukkan MEC lebih rendah daripada x%, jikalau
tingkat bunga itu masih sebesar x%, dan investasi selanjutnya akan menambah biaya bunga
lebih daripada laba. Sebaliknya, investasi yang dilakukan pada bank yang berbasis pada
penyertaan dapat menghasilkan MEC nol, sebab laba akan dibagikan berdasarkan rasio bagi
hasil antara bank dengan nasabah (entrepreneur). Entrepreneur dan bank akan memperoleh
laba positif sampai dengan MEC nol, sebab tidak ada biaya bunga. Hal ini akan memiliki
pengaruh positif pada penyerapan tenaga kerja, ouput, pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan ekonomi.

Pandangan yang kedua adalah pada stabilitas nilai uang, sebagai target akhir. Para
ahli ekonomi Muslim cenderung secara ketat merekomendasikan dalam perbaikan stabilitas
nilai uang dengan menggunakan semua instrumen kebijakan moneter yang seefektif
mungkin. Secara rasional, jatuhnya nilai uang akan menyebabkan ketidakadilan dan inflasi.
Oleh karena itu, solusi Islam dalam hal ini adalah memberikan pembiayaan qardul hasan,
sehingga akan membuat stabil nilai uang.

19
Pembiayaan dengan sistem qardul hasan merupakan penyaluran uang di jalan Allah.
Allahlah yang akan memberikan balasan. Penerapan sistem ini berbeda dengan penerapan
pembiayaan di bank konvensional yang lebih mengutamakan memperoleh keuntungan.

F. Teori Pemintaan dan Penawaran

Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan
harga. Hukum ppemintaan berbunyi pada harga yang lebih tinggi, jumlah barang yang
diminta akan semakin berkurang, atau sebaliknya pada harga yang lebih rendah, jumlah
barang yang semakin diminta akan semakin bertambah. Ini dapat disimpulkan bahwa
jumlah yang diminta berhubungan terbalik dengan harga barang tersebut dengan anggapan
bahwa hal-hal lain konstan pada kemungkinan harga. Ada hal lain penting yang
mempengaruhi permintaan, yaitu pendapatan, permintaan seseorang atau masyarakat
ditentukan leh banyak faktor, diantara fakto – faktor tersebut adalah:

Harga barang itu sendiri

 Harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut.


 Pendapatan ruma tangga dan pendapatan rata – rata masyarakat.
 Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat.
 Cita rasa masyarakat.
 Jumlah penduduk.
 Ramalan mengenai keadaan dimasa akan dating.

Pendapatnya permintaan belum merupakan syarat cukup untuk mewujudkan


transaksi dalam pasar, tentunya hharus ada tingkah laku penjual dalam menawarkan
barang/jasa yang dapat disebut dengan penawaran.

Faktor – faktor penentu penawaran adalah:

 Harga barang itu sendiri.


 Harga barang – barang lain.
 Biaya produksi.
 Tujuan operasi perusahaan tersebut.
 Tingkat teknologi yang digunakan.

20
Dalam menganalisis penawaran, kita harus menganalisis satu demi satu faktor yang
mempengerahui, dengan memisalkan faktor – faktor lian tidak berubah atau cateric paribus,
maka terlebih dahulu di perhatikan pengaruh perubahan harga terhadap jumlah barang yang
ditawarkan. Hukum penawaran menyatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang
semakin banyak jumlah barang tersebut ditawarkan oleh penjual, sebaliknya makin rendah
harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang tersebut ditawarkan.

Sebuah kesepakat harga dapat terjadi apabila permintaan dan penawaran bertemu.
Ada kemungkinan perubahan serentak permintaan dan penawaran yang dapat berlaku.
Perubahan mungkin berlaku kea rah sama, yaitu sama – sama mengalami kenaikan tau sama
– sama menurun. Tapi mungkin pula ia berlaku kearah bertentangan, misalnya permintaan
turun tetapi penawaran bertambah, atau permintaan bertambah tetapi penawaran turun. Tiap
– tiap perubahan tersebut akan menimbulkan akibat yang berbeda kepada perubahan harag
dan jumlah barang yang diperjualbelikan.

1. Permintaan Dalam Ekonomi Islam

Dalam pandangan Islam sebenarnya Islam telah mengatur segenap perilaku manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam perilaku konsumsi Islam terlah mengaturnya
lewat Alqur’an dan Hadist supaya manusia dijauhkan sifat – sifat yang hina karena perilaku
konsumsinya. Seorang muslim berkonsumsi didasarkan atas pertimbangan:

 Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekinomi masyarakat


atau negara.
 Dalam konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim,
dan dalam memenuhi kebutuhan seorang muslim tidak akan melakukan konsumsi
secara berlebih – lebihan.
 Perilaku konsumsi seorang muslim diatur perannya sebagai makhluk sosial. Maka
ada sikap menghormati dan menghargai.

Seorang muslim dalam mengkonsumsi akan mencapai kepuasaan akan


mempertimbangkan yang dikonsumsi tidak haram, dan dalam konsumsinya bukan
berdasarkan sedikitnya atau banyak barang yang dikonsumsi, tetapi karena yang
dilakukannya dalah sebagi ibadah kepada Allah SWT danmenjauhi larangan Allah SWT.

21
Untuk mengetahui tingkat kepuasan seorang muslim dapat diilustrasikan dalm
bentuk nilai guna, yaitu nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal
utility). Nilai guna total adalah jumlah kepuasan yang diperoleh dalam
mengkonsumsi sejumlah barang tertentu, nilai guna marginal pertambahan atau
pengurangan kepuasan akibat dari pertambahan atau pengurangan penggunaan suatu unit
barang.

Hal yang ada diatas mengenai perilaku konsultan akan membentuk permintaan
seorang muslim terhadap suatu barang. Dalam mengkonsumsi barang telah ada batasan-
batasan yang ditentukan dalam konsep ekonomi islam

2. Penawaran Dalam Ilmu Ekonomi Konvensional

Dijelaskan bahwa penawaran berkorelasi positif terhadap harga (P). Ini berarti
bahwa semakin tinggi suatu harga produk, semakin memberikan insentif kepada produsen
untuk meningkatkan produksinya dan kemudian menawarkannya kepada konsumen yang
membutuhkan. Sebaliknya, semakin rendah suatu harga produk, semakin berkurang insentif
bagi produsen untuk memproduksi dan menawarkannya. Hal ini disebabkan karena makin
rendah suatu harga, makin kecil suatu keuntungan atau malah timbul kerugian. Sebagai
suatu agen ekonomi yang rasional, produsen akan memutuskan produksinya. Dengan
demikian dapatlah digambarkan dalam sebuah diagram di mana sumbu vertikal adalah harga
dan sumbu horizontal adalah jumlah produk yang ditawarkan kepada masyarakat bahwa
kurva penawaran sebagai kurva yang naik ke kanan. Kedudukan kurva ini bisa berpindah
atau bergeser bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Di samping itu, ongkos produksi juga merupakan faktor penting dalam menentukan
penawaran suatu produk. Ongkos produksi pada gilirannya ditentukan oleh harga dari faktor
in put. Perubahan dalam harga-harga faktor input umumnya dikarenakan adanya perubahan
dalam laju pajak dan subsidi. Sekalipun diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan dalam
kebijakan fiskal pemerintah berkaitan dengan perpajakan atau subsidi, masih ada faktor lain
yang sangat berperan dalam menentukan kedudukan penawaran dalam perekonomian
konvensional. Kemajuan teknologi berperan sangat penting dalam mengurangi ongkos
produksi karena perubahan dalam teknologi yang lebih maju memungkinkan dipakainya
cara-cara produksi yang jauh lebih efisien dan tentu saja lebih murah dari pada sebelumnya.

22
Dengan demikian dapatlah diringkaskan bahwa aspek penawaran (Qs) dalam
ekonomi konvensional ditentukan oleh beberapa variabel antara lain harga (P), ongkos
produksi (C ), teknologi (T) dan faktor input (Pf), ceteris paribus. Secara matematis dapat
diungkapkan dalam sebuah fungsi umum Qs = f (P, C, T, Pf). Sekalipun banyak faktor yang
mempengaruhi tingkatan penawaran, dalam analisis ilmu ekonomi hanya menggunakan
harga sebagai ukuran utama dalam membuat diagram penawaran.

Gambar 1 menunjukkan kurva penawaran

3. Penawaran dalam Ekonomi Islam

Secara umum tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional dengan
Islami sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut berpengaruh terhadap
posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada hakekatnya sama. Satu aspek
penting yang memberikan suatu perbedaan dalam pespektyif ini kemungkinan besara
berasal dari landasan filosofi dan moralitas yang didasarkan pada premis nilai-nilai Islam.
Yang pertama adalah bahwa Islam memandang manusia secara umum, apakah sebagai
konsumen atau produsen, sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai
yang paling pokok yang didorong oleh Islam dalam kehidupan perekonomian adalah
kesederhanaan, tidak silau dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud) dan ekonomis
(iqtishad). Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi trend gaya hidup Islamic man. Yang
kedua adalah norma-norma Islam yang selalu menemani kehidupan manusia yaitu halal dan
haram. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini.
Hal-hal yang diharamkan atas manusia itu pada hakekatnya adalah barang-narang atau
transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya. Namun

23
demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh
kemampuan indrawi atau akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam
menghadapi persoalan ini adalah kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di
balik itu.

Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah lingkup
penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dari pada yang dimiliki
oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua penyaringan (filtering) yang
membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi Islam menyempit yaitu filosofi
kehidupan Islam dan norma moral Islam.

4. Asumsi-Asumsi

Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku


teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi sebagai
landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan ini bisa saja dipicu
oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga
bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal
sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang
menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia.
Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki
implikasi dalam aspek penawaran.

Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain
ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk
melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala
keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada umumnya
tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral, baik yang
diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan dorongan
tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya yang
tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan
untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu
pula ia dianggap sebagau sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber
daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi
terutama bagi generasi mendatang.
24
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus digenjot atas nama ekonomi. Padahal
tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi
kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya suatu
bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau sebenarnya ada barang
lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu diproduksi. Hal ini
mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat dikendalikan (unmanageable).

Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam
sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara
untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang
sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang
diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan
syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi
barang yang tidak berguna secara syar’i.

Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama.
Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu
didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas
merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi
keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi
keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha
memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah
makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin
memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada
jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.

Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan
beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita bagi
tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka nilai-nilai Islam.
Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam memproduksi dan mengkonsumsi serta
selalu memperhatikan batas halal dan haram merupakan rambu-rambu yang akan
memberikan teguran kepada Islamic man.

Ketiga, netral terhadap nilai (value neutral). Asumsi ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai disiplin
25
positif. Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu
fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal
perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang
cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika atau kimia.

Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak selalu
positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan moral terutama yang
berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan karena sekulerisme dalam ilmu
pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga buah yang muncul dari ilmu pengetahun
itu sudah terkena racun sekulerisme. Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap
nilai ini tidak selalu dapat dipertahankan. Umumnya dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar
netralitas ini begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian.
Malahan kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi
pada hakekatnya adalah bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan kerja
penuh (full employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan
pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai.

Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja


produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi moral
Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen ekonomi
untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi mereka yang memahami Islam secara
parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya berfungsi sebagai
hambatan dalam ekonomi dan pembangunan.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemapaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa konsep uang dalam
ekonomi Islam sangat jelas, yaitu uang sebagai uang, bukan sebagai capital (modal). Fungsi
uang secara umum ada tiga, yaitu uang sebagai alat tukar, uang sebagai satuan hitung, dan
uang sebagai penyimpan nilai. Sedangkan fungsi uang dalam Islam ada dua, yaitu money as
flow concept dan money as public goods. Adapun bunga termasuk riba, dimana dalam Islam
jelas telah diharamkan dalam Al-Qur’an. Karena uang adalah flow concept (harus selalu
berputar) dalam perekonomian, sedangkan riba itu diharamkan, maka seseorang yang ingin
mendapatkan keuntungan dianjurkan memproduksi hartanya dengan cara investasi. Bagi
orang yang tak mampu berinvestasi maka dianjurkan untuk melakukan qiradh (bagi hasil).

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mengendalikan atau mengerahkan


perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah
uang yang beredar. Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk mencapai keseimbangan
internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan
keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan
ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan
kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.

Adapun instrumen-instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan dari kebijakan


moneter tersebut ada instrumen kebijakan moneter konvensional dan instrumen kebijakan
moneter islam. Di antaranya instrumen konvensional yaitu operasi pasar terbuka, fasilitas
diskonto, rasio cadangan wajib dan imbauan moral. Sedangkan intrumen kebijakan moneter
islam di antaranya reserve ratio, moral suassion, lending ratio, refinance ratio, profit sharing
ratio dan Islamic sukuk.

B. Saran

Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik
yang membangun dari para pembaca.
27
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2007. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Eko Supriyitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2004.
Karim, Adiwarman A. 2007. Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mankiw, N. Gregory. 2006. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Salemba Empat
Nopirin. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE
–Yogyakarta
Rahardja, Prathama & Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomi Makro Edisi Empat.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sadono Sukirno, Makroekonomi: Teori Pengantar, Edisi Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Sholihin, Ahmad Ifham. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Syafei, Rahmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia
Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, diterjemahkan oleh Iwan Abidin Basri, Jakarta:Gema
Insani Press dan Tazkia Cendekia, 2000.

28

Anda mungkin juga menyukai