DISUSUN OLEH :
BIMA ILMAN MIRAZHA HASIBUAN (0205211008)
JURUSAN : JINAYAH III-A
Rahmad, Taufik Serta Hidayahnya sehingga kita masih di beri kesempatan untuk
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan kepada saya sehingga dapat menerapkan semua yang telah di
ajarkan beliau guna untuk menyempurnakan makalah yang saya selesaikan ini.
Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada teman-teman yang
telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umunya.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya selesaikan ini masih banyak
sekali kekuranganya sehingga saya masih memerlukan kritik dan saran yang
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. LatarBelakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................3
D. Visi Misi............................................................................................3
A. Ciri Ciri............................................................................................4
B. Pengertian.........................................................................................5
1. Pengertian Ihtikar.......................................................................5
2. Pengertian Monopoli..................................................................6
C. Tujuan..............................................................................................6
1. Ulama Hanafiyah.......................................................................7
2. Ulama Malikiyah........................................................................9
3. Ulama Hanafiyah.......................................................................10
4. Ulama Hanabilah........................................................................12
1. Al Quran.....................................................................................16
2. Hadist.........................................................................................17
iii
C. Perbedaan Dan Persamaan Antara Ihtikar Dan Monopoli...............19
BAB IV PENUTUP...................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................35
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Mu’amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban
Islam yang maju di masa lalu. Mu’amalah merupakan satu bagian dari syari’at
Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia,
masyarakat dan alam. Karena mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam,
barang-barang yang dilarang, seperti perdagangan khamr, ganja, babi, patung, dan
Dalam Islam, ekonomi juga diatur baik secara langsung oleh Allah dalam
Al Quran, atau diatur oleh Rasulullah dalam kehidupan praktis, atau atas ijtihad
para ulama atas sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi perkembangan
masyarakat. Secara garis besar, persoalan ekonomi terdiri atas tiga hal, yaitu
hal ini dalam Islam diatur secara ketat dan memiliki beberapa prinsip yang dapat
1
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair
(Cet. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 2-3
v
Dalam agama, ada beberapa kegiatan ekonomi yang menguntungkan satu
pihak tetapi dilarang, misalnya perjudian, riba, penipuan (al-ghabn), tadlis dalam
jual beli dan ihtikar (penimbunan). Kegiatan ekonomi yang dilarang agama ini,
juga dapat merugikan pihak yang lain. Masalah ekonomi yang dihadapi
yang sering kali timbul secara dominan adalah faktor kebijakan (policy) ekonomi
adalah membeli barang dengan jumlah besar agar barang tersebut berkurang di
pasar sehingga harganya naik, dan pada waktu harganya naik kemudian dilepas
ganda. Penimbunan dalam hukum Islam dilarang, sebab akan dapat menimbulkan
belakangi penulis untuk membuat makalah dengan judul “Konsep Ihtikar Dalam
3
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adilatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011). hlm. 342
4
Ahmad Afan Zaini, PasarPersaingan Sempurna Dalam Perspktif Ekonomi Islam, Jurnal Ummul
Qura Vol IV, No. 2, Agustus 2014
vi
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ihtikar dan monopoli dalam perspektif ulama dan Imam Mazhab
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui praktik dari ihtikar dan
a. Manfaat Teoritis
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu
D. Visi Misi
Visi misi dalam pembuatan makalah ini adalah mengedepankan
pengetahuan masyarakat akan pentingnya usaha persaingan yang sehat dan sesuai
vii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ciri Ciri
Masalah ihtikar masih menjadi persoalan yang kompleks dalam kegiatan
bergantung terhadap cara sistem jual beli dan usaha dalam masyarakat. Maka pada
pembahasan kali ini kami informasikan apa saja ciri ciri dari ihtikar dan monopoli
kepada kalian semua. Oleh karena itu silahkan simak langsung ulasan telah
Pada umumnya ihtikar dan monopoli adalah kegiatan yang mempunyai ciri
Kegiatan dan perbuatan dalam hal ini memiliki dampak negatif dan positif
yang disertai dengan penjelasan penjelasan yang akurat. Sikap ini bukan hanya
B. Pengertian
5
Hilal, Syamsul, 2014. Konsep Harga Dalam Ekonomi Islam Telah Pemikiran Ibn Taimiyah
Jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli
6
Agus Triyanta, Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata
Ekonomi Syariah, (Cet. 1; Yogyakarta: FH UII Press, 2012), 144.
viii
1. Pengertian Ihtikar
Ihtikar berasal dari bentuk kata mashdar, sedangkan bentuk kata madhinya
dapat dibaca hakira atau hakara, ihtakara, yahtakiru, ihtikar, yang mengacu pada
makna menahan atau merusak pergaulan, kata ini berarti upaya penimbunan
dimaksud dengan ihtikar atau penimbunan barang adalah membeli barang dengan
jumlah besar agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya naik, dan
pada waktu harganya naik kemudian dilepas (dijual) ke pasar sehingga (muhtakir)
dilarang, sebab akan dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat banyak, serta
aktivitas jual beli yang hanya dikenal dalam sistem ekonomi kontemporer yang
dianut oleh kaum kapitalis dalam sistem pasar bebas. Penumpukan barang
pada saat harga naik, dan para konsumen membutuhkannya. Transaksi seperti ini
Dalam ekonomi kapitalis cara seperti ini tidaklah dilarang dan merupakan hak
asasi setiap pengusaha untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas jual beli.
7
Muhammmad Ismail Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: GIP, 2016), hlmn.17
8
Sri Adiningsih, Ekonomi Mikro, cet. ke-4 (Yogyakarta: BPEF, 2010), hlm.22
ix
sebab merugikan konsumen dan menghancurkan stabilitas ekonomi umat. Islam
sebagai agama universal mengatur dan menata semua sektor kehidupan dan
aktivitas manusia.
2. Pengertian Monopoli
Monopoli dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah menguasai produksi atas
barang dan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha.
Monopoli dalam pandangan Islam yaitu menimbun barang atau bahan pokok atau
setinggi mungkin.
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu. Monopoli merupakan pemusatan
kekuatan ekonomi yang nyata oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
C. Tujuan
Ihtikar dan monopoli adalah suatu sistem jual beli dan usaha yang mana
dalam hal ini adalah menyampaikan bahwa Islam melarang memiliki dan
membuat sikap yang memberikan dampak negatif terhadap proses jual beli yang
9
JurnalDidik Kusno Aji, “Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Ekonomi Islam”, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah Vol. I No.1, 13 Desember 2013, 48.
x
BAB III
PEMBAHASAN
konsep monopoli di dalam UU No. 5 Tahun 1999 terlebih dahulu harus dilihat
1. Ulama Hanafiyah
Menurut Alauddin Abu Bakar Ibn Mas’ud Kasani (Ulama Hanafiyah) ihtikar
adalah :
manusia.”
menahannya, dan melarang dari yang menjual dan dia tidak mau menjualnya
manusia oleh sebab itu menimbun barang kebutuhan pokok manusia dilarang oleh
agama. Jika ia membeli makanan dari tempat yang dekat dari kota, dan menahan
10
Nikmatul Masruroh, Larangan Ihtikar Di Indonesia (Studi tentang Efektifitas UU Anti Monopoli
di Indonesia), IAIN Jember, tahun 2015
xi
makanan tersebut maka perbuatan tersebut memudharatkan kepada masyarakat
kota maka hukumnya makruh. Apabila makanan di dalam kota tersebut berlebih
maka itu adalah hak masyarakat kota tersebut. Oleh sebab itu, janganlah
akan barang. 11
Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara tegas hanya
muncul dari hadits hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua,
atau tiga orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah
hadits ahad adalah zhanni. Sementara kaidah umum yang qath’i (pasti) adalah
setiap orang bebas membeli dan menjual barang dagangannya tanpa campur
tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang.
Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan
hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan,
yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan
jual beli sesuai kehendak mereka dan adanya larangan berbuat mudharat kepada
Berkata Abu Hanifah, apabila seseorang membeli makanan dari luar kota
dekat ataupun jauh jaraknya dari kota lalu mengimpor barang yang dibelinya itu
ke dalam kota maka barang tersebut adalah hak masyarakat kota. Di dalam sebuah
11
Ibid., hlm. 7
12
Ibid., hlm. 8
xii
dan mengimpor ke kota dengan maksud tidak menimbunnya maka perbuatannya
pengimpor itu bersih hak nya karena tidak ada hubungannya dengan orang lain.
Oleh sebab itu janganlah kamu menimbun makanan untuk membatalkan hak
orang lain. Karena pengimpor itu sangat disukai oleh manusia dan sangat
disenangi.13
2. Ulama Malikiyah
Menurut Sulaiman bin Khalaf bin Said bin Ayyub Baji (Ulama Malikiyyah)
ihtikar adalah :
“Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala bentuk
sehingga harga barang tersebut langka dan harganya naik dengan tujuan
13
Rachmat Syafe’I, fiqh Muamalah (Bandug CV Pustaka Setia, 2001), hlm.151.
xiii
menimbun semua barang-barang kebutuhan manusia karena akan memudharatkan
kehidupan. 14
Bersumber dari Imam Malik, sesungguhnya dia mendengar bahwa Umar bin
Khattab pernah mengatakan: “Tidak boleh ada penimbun di pasar kami. Tidak
dibiarkan orang-orang yang diberi rizki oleh Allah berupa kelebihan emas berjual
beli di sekitar kamu lalu mengadakan penimbunan yang dapat merugikan kami.
Tetapi setiap orang yang membawa segenap kepayahannya di musim hujan dan di
musim kemarau, maka dia itulah tamunya Umar. Hendaklah dia menahan barang
3. Ulama Syafi’iyah
a. Abu Ishaq As-Syirazi
Menurut Abu Ishaq As-Syirazi (Ulama Syafi’iyah) ihtikar adalah:
menyatakan ihtikar adalah menjual makanan pada waktu harga-harga naik dan
pada setiap bahan makanan kebutuhan pokok16. Akan tetapi, makruh hukumnya
14
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273.
15
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair
(Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hlm. 153.
16
Agus Triyanta, Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata
Ekonomi Syariah, (Cet. 1; Yogyakarta: FH UII Press, 2012), 144.
xiv
menimbun selain dari makanan pokok manusia. Beliau berbegang kepada hadits
Rasulullah SAW.
“Dari Umar bin Khatab RA. berkata Nabi Muhammad SAW. Jalib (importir)
Majah).17
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Barang barang yang ditimbun tersebut wajib
b. Imam Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali ihtikar adalah membeli sesuatu dan
1) Jenis Barang
Al-Ghazali menyatakan dilarang melakukan ihtikar hanya bahan makan
pokok pangan saja dan bahan-bahan yang bisa menguatkan badan manusia seperti
komoditi bahan makanan dan tidak juga sebagai penunjang makan pokok itu
sendiri tidak termasuk larangan meskipun termasuk bahan makanan. Menurut Al-
17
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
22.
xv
Ghazali yang termasuk ke dalam bahan yang haram di ihtikar adalah bahan makan
waktu kekurangan bahan makanan pokok atau di masa panceklik. Pada saat itu,
dalam kondisi stabil, dimana pasokan bahan makanan dari pihak produsen
(suplayer) sesuai dengan hukum demand and supply, sementara masyarakat tidak
gangguan. 18
4. Ulama Hanabilah
Menurut Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah Al-Maqdisi beliau adalah
xvi
manfaat bagi orang banyak. Ini disebabkan masyarakat tidak perlu lagi pergi
membeli barang kebutuhannya keluar daerah atau negerinya karena telah diimpor
2) Barang yang ditimbun haruslah berbentuk makanan pokok. Adapun lauk pauk,
manisan, madu, minyak, lemak hewan, tidak mengapa bila ditimbun. Al-Astram
berkata, aku mendengar Abu Abdullah ditanya tentang apa saja yang termasuk
mahal.
20
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 275
xvii
tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok
termasuk menimbun.21
Dari definisi yang dikemukakan oleh Imam Mazhab dan ulama fiqh di atas
barang dagangan dalam aktifitas ekonomi, sebab hal itu adalah suatu kezaliman.
Islam.22
suatu negara. Kedua, menaikkan harga yang sangat tinggi untuk mendapatkan
mendapatkannya.
21
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 231-232
22
Muhammmad Ismail Yusanto, Ihtikar Dalam Konsep Syariah, (Jakarta: GIP, 2016), 17.
xviii
Berbeda dengan menimbun barang yang kepemilikannya tidak dengan jalan
membeli. Atau juga pembelian terjadi pada saat harga melambung dan dijual pada
saat itu juga. Karena praktik pembelian barang di saat harga masih stabil untuk
kemudian dijual pada masa barang melambung adalah masih dalam kategori
kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan
kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar. Sebab hal
hal itu tidak akan dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga barang
akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Dalam hal ini pemerintah
izin kepada pedagang untuk menimbun penting, seperti beras, gabah, padi, menir,
tepung beras, dan gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung
beras, gula masing masing tidak lebih dari 500 kg. Dengan demikian, pemerintah
23
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), 44.
24
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 157
xix
Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan oleh Allah
SWT untuk memilikinya, maka halal pula untuk dijadikan sebagai obyek
Islam yang menyatakan bahwa pada dasar nya barang tersebut halal menurut
ketentuan hukum Islam, akan tetapi karena sikap dan perbuatan para pelaku atau
pedagang bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram seperti
halnya penimbunan barang yang banyak dilakukan oleh para pedagang di pasar
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan
agama Islam.
1. Al-Qur’an
ِۚإَّن ٱَّلِذ يَنَكَفُرو۟ا َو َي ُصُّد وَن َع نَس ِبيٱِللَّلِه َو ٱْلَم ْس ِجِدٱْلَح َر اِم ٱَّلِذىَج َع ْلَٰن ُهِللَّن اِس َس َو ٓاًءٱْلَٰع ِك ُفِفيِه َو ٱْلَب اِد
َأ
َو َم نُي ِر ْد ِفيِهِبِإْلَح اٍۭد ِبُظْلٍم ُّن ِذ ْق ُهِم ْن َع َذ اٍب ِليٍم
jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia,
baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di
xx
dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan
Ayat ini menjelaskan bahwa ihtikar adalah haram. Karena ihtikar adalah
perbuatan zalim dan aniaya. Dan berbuat zalim adalah dilarang. Perbuatan zalim
jika dilakukan akan menyebabkan seseorang mendapat siksa yang pedih. Orang
yang mendapat siksa yang pedih adalah karena melakukan hal yang dilarang.
Maka dari itu ihtikar adalah haram. Ulama mengatakan pada dasarnya bahwa ayat
2. Hadits
َع ْن َس ِعْيُدْب ُن اْلُمَسَّي ِبُيَح َّد ُث َأَّن َم ْع َم ًر اَقَلَر ُسواُل لَّّلُهَص َّلىالَّلُهَع َلْي ِه َو َس َّلَمَم ِناْح َت ْك َر َفُهَو َخ ِط ٌئ
(HR Muslim).
‘Alaihi wa Sallam diatas, para ulama fiqih sepakat meyatakan bahwa ihtikar
bahwa ihtikar (menimbun barang makanan untuk di jual pada masa sulit dengan
harga yang tinggi) hukumnya haram. Menurut Madzhab Hanafi, Syafi'i dan
Hanbali, objek barang yang haram ditimbunadalah makanan pokok yang menjadi
kebutuhan umum, baik itu berupa makanan pokok manusia atau makanan pokok
xxi
menimbunnya tidaklah diharamkan. Namun menurut mazhab Maliki, objek ihtikar
makanan saja, maka apapun jenis barang yang menjadi kebutuhan orang banyak
haram ditimbun.
tehadap barang kelebihan nafkah dari dirinya dan keluarganya dalam masa satu
tahun, yang berarti jika ia menimbun barang konsumsi untuk kebutuhan hidup
keluarga dan dirinya selama satu tahun tidaklah diharamkan, sebab hal ini adalah
berlipat ganda, sebab bila tidak ditimbun, keuntungan yang didapatkan cenderung
kecil dan penimbun ini dapat merusak harga dipasaran, yaitu dari harga yang
rendah menjadi harga yang lebih tinggi, diutamakan sebagai bahan kebutuhan
1. Perbedaan
xxii
dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan ihtikar tidak hanya bisa
dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan
2. Persamaan
Monopoli dan ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan
(price maker)
xxiii
Pelaku monopoli dan ihtikar sama-sama memiliki hak opsi
menyebutkan bahwa:
1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar
bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga
26
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transak-si dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014),
153.
xxiv
barang dan atau jasa.
4. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang
5. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
6. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.27
Di dalam pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 di atas ada 5 ciri-ciri yang terdapat
27
Satia Negara Lubis, Teori Pasar 1: Pasar Monopoli, USU Repository, 2011, 21.
xxv
b. Penguasaan produksi barang dan jasa tertentu yang tidak mempunyai barang
c. Pemusatan kekuatan ekonomi yang nyata oleh satu pelaku usaha atau lebih
tingkat produksi yang sangat tinggi dan menjadi lebih efisien jika hanya ada satu
produsen tunggal.
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
28
Mashur Malaka, Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha, Jurnal Al-„Adl Vol. 7 No. 2, Juli
2014.
xxvi
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau Satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu
b. Pemusatan kekuatan ekonomi berada pada satu atau lebih pelaku usaha
ekonomi
Dari beberapa ciri khusus yang terdapat di dalam monopoli dan faktor yang
satu usaha yang dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha atau lebih yang dapat
menetapkan harga yang tinggi bagi produk yang mereka pasarkan. Para konsumen
tidak memiliki pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang ditetapkan oleh
xxvii
monopoli lebih mementingkan memaksimalkan laba dari produk yang mereka
perusahaan bersaing dengan memberikan kualitas yang terbaik dari produk yang
konsep monopoli yang terdapat di dalam UU No.5 Tahun 1999 di atas maka
langka di pasaran dan menjual dengan harga yang tinggi. Sedangkan podusen
jenis barang dan jasa yang tidak ada barang penggantinya di pasaran. Dengan
diproduksinya tersebut.
Ihtikar yang dilarang dalam agama, pasti mempunyai dampak yang besar
29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, www.kppu.go.id, diunduh pada kamis 05-12-2022
xxviii
perpecahan dan rusaknya situasi perekonomian. Karena mahal nya barang barang
pokok yang menjadi kebutuhan manusia. Setiap hari akan menuntut melambung
nya nilai tawar menawar barang lain, karena adanya imbas melambungnya harga
satu barang.
ini akan memberikan dampak yang luas. Berdasarkan hukum ekonomi, maka
semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga
yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang
kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok
kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat
bertindak sebagai price maker (penentu harga). Dalam situasi dan kondisi
semacam ini yang dirasa adalah serba kesulitan dan kekurangan. Implikasi lebih
jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan
menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat
manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah
xxix
kesejahteraan umat manusia. Berangkat dari sudut inilah, ‘illah keharaman ihtikar
tertentu pada barang-barang pokok semata. Akan tetapi semua barang yang bila
menjelaskan keharaman ihtikar dikhususkan hanya pada makanan pokok yang ada
dalam sebagian riwayat tidak bisa digunakan untuk mengkhususkan Hadis hadis
lain yang redaksinya mutlak. Namun pendapat ini, masih mungkin untuk ditepis
dengan kaidah usul fikih yang menjelaskan bahwa bila ada dalil muthlaq, maka
dalil tersebut bisa diarahkan pada dalil muqayyad. Demikian pula bila ada dalil
yang ‘am, maka bisa di-takhshish dengan dalil yang khash. Akan tetapi, al-
Syawkani mengelaknya dan menjawab, kata ‚‛ الطعامyang ada di dalam salah satu
Hadis hanyalah sekadar memberi contoh salah satu ba-rang yang tidak boleh
makanan pokok itu diambil dari mafhum-nya laqab (kata ‚" ‚ الطعامyang ada dalam
usul fikih jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, tujuan disebutkannya laqab bukanlah
meniadakan hukum lainnya, menurut kaidah usul fikih, tidaklah bisa digunakan
30
Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 211
xxx
Jadi, pada hakikatnya ihtikar dapat merusak sistem pasar yang sudah berjalan
normal. Oleh karena itu, wajar apabila sebagian ulama menyatakan ihtikar adalah
berbagai bentuk, dan tidak terbatas pada makanan pokok. Dengan mendasarkan
ihtikar adalah untuk semua barang yang dapat merusak sistem pasar, maka dapat
diketahui bahwa sistem pasar seperti ini harus dipelihara oleh pelaku pasar. Pasar
Secara garis besar ketidaksempurnaan pasar terjadi karena tiga hal. Pertama,
dengan cara yang sistematis dan terstruktur pula. Struktur pasar yang
dimaksudkan adalah monopoli dan kompetisi yang tidak sehat. Struktur pasar
seperti ini menjadi larangan dalam Islam, sebab selain merusak sistem pasar juga
yaitu adanya faktor internal insidental dan temporer yang mengganggu sistem
pasar, misalnya ihtikar, najasy, tadlis, kolusi pedagang untuk membuat harga di
atas normal. Sistem seperti ini juga berlawanan dengan tujuan yang telah diatur
yang terjadi membeli barang dari produsen ketika masih di tengah jalan (bukan di
dalam pasar/talaqqi rukban), membeli dari orang yang bodoh yang tidak mengerti
Ketiga hal yang dapat merusak pasar ini harus dihindari dan dilarang dalam
Islam. Oleh karena itu, setiap penjual dan pembeli harus berhati-hati dalam
melakukan transaksi tersebut. Larangan yang ada dalam agama ini memang tidak
memberikan sanksi secara tegas, akan tetapi sanksinya berupa keharaman hukum
xxxi
yang perhitungannya kelak di akhirat. Oleh karena itu, sebagai pelaku pasar harus
Konsep transendensi ini salah satunya adalah dalam setiap kegiatan pasar
harus didasarkan pada hal yang halal dan haram secara ketat dan kesadaran diri.
Artinya, apapun yang terjadi dalam sistem pasar pertimbangan halal dan haram
dalam melakukan transaksi harus tetap menjadi pertimbangan utama dan pertama.
Seseorang tidak boleh terperdaya dengan harga atau lainnya, sebab hal ini akan
masalah ihtikar istilah ini dalam ilmu ekonomi kontemporer dikenal dengan
harus dilandasi nilai-nilai dan etika yang bersumber dari nilai-nilai dasar agama
barangnya di pasar yang kualitasnya sama seperti barang penjual lainnya. Maka ia
barang penjual lainnya. Maka ia dilarangnya untuk menjual dengan harga yang
lebih rendah dari harga pasar apabila hal itu akan merusak harga pasar dan
31
C.S.T. Kansil, Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 188
xxxii
membahayakan terhadap stabilitas ekonomi. Dengan adanya ihtikar itu berarti
hanya ada satu pihak yang sangat diuntungkan (dan pihak ini termasuk minoritas)
mengandung ketidakadilan, ihtikar juga menyebabkan krisis yang sangat fatal dan
di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang
semakin berkurang.”
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga
yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen
akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah
sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang
produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga). Perilaku industri
yang melakukan ihtikar berdampak pada penentuan harga, kuantitas barang dan
xxxiii
memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya untuk mendapatkan
pelarangan penimbunan barang. Apabila hal itu terjadi, barang dagangan hasil
timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini
pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka.
Namun ketika pasar mengalami distorsi yang disebabkan oleh ulah para
kemaslahatan umat.32
Solusi masalah ihtikar adalah dengan adanya lembaga otoritas pasar dalam
pengawasan dan peradilan dalam pasar yang eksistensinya sudah ada sejak zaman
32
Ahcmad Rais, Garis-Garis Besar Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2010), 41.
xxxiv
Hisbah yang baik, diharapkan mampu menanggulangi masalah-masalah yang ada
yang menentukan atas barang dan jasa atau bahkan sebuah unit usaha dalam
(b) mengawasi jual-beli terlarang, praktik riba, maisir, gharar dan penipuan
didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf tunai juga
maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika disana ada
xxxv
spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang
suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa
harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang
berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad. Syariah tidak membenarkan adanya distorsi
(ihtikar) serta tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).
kemungkinan yang dapat terjadi dalam lembaga keuangan syariah adalah juga
besar kaitannya dengan produk-produk yang menggunakan akad jual beli seperti
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah ihtikar adalah membeli makanan dan
mekanisme pasar.
33
NasrunHaroen, Fiqh Muamalah., 161.
xxxvi
2. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah ihtikar adalah seseorang dengan
atas barang dan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha.
No. 5 Tahun 1999 adalah Pertama, Muhtakir membeli makanan menimbun dan
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu, Kedua, Muhtakir menjual barang-barang
monopoli pemusatan kekuatan ekonomi yang nyata oleh satu atau lebih pelaku
usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa, Ketiga, Muhtakir
pelaku usaha atau lebih dengan modal atau akses keuangan yang cukup besar
barang dan jasa tertentu yang mana barang dan jasa tersebut belum ada
substitusinya.
xxxvii
B. SARAN
Diperlukan adanya metode penelitian dan pendekatan yang lebih lanjut akan
pengawasan di dalam diskusi kepada masyarakat sebagai salah satu cara untuk
generasi dalam membentengi diri untuk terhindar dari sikap muamalah yang tidak
DAFTAR PUSTAKA`
xxxviii
Iqbal, Ichsan, 2012. Pemikiran Ekonomi Islam tentang uang, harga dan pasar,
Jurnal Khatulistiwa Journal Of Islamic Studies, Vol. 2 No. 1 Maret.
Nawatmi, Sri, 2010. Etika Bisnis Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Fokus
Ekonomi FE, April.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
Erwandi Tarmizi, Erwandi. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor : PT.
Berkat MuliaInsani, 2018.
Ath-Thayar, Abdullah bin Muhammad. Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Mazhab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014.
Wardi Muslich, Ahmad. fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.
Tim Laskar pelangi, METODOLOGI FIQIH MUAMALAH diskursus Metodologis
Konsep Interaksi Sosial Ekonomi. Kediri Lirboyo Press 2013.
Undang-Undang no.5 tahun 1999. Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Lubis, Satia Negara. Teori Pasar 1: Pasar Monopoli. USU Repository. 2011.
xxxix