Anda di halaman 1dari 39

KONSEP IHTIKAR DALAM PERSPEKTIF FUQAHA DAN

PERBANDINGANNYA DENGAN KONSEP MONOPOLI DALAM

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DISUSUN OLEH :
BIMA ILMAN MIRAZHA HASIBUAN (0205211008)
JURUSAN : JINAYAH III-A

MATA KULIAH : HUKUM EKONOMI SYARI’AH


DOSEN PENGAMPU : HJ.JUNIARTI S,E,MM

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A.2022/2023
KATA PENGANTAR

‫ِبْس ِم اِهلل الَّرمْح ِن الَّر ِح ْيِم‬


Rasa syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

Rahmad, Taufik Serta Hidayahnya sehingga kita masih di beri kesempatan untuk

menyelesaikan Makalah yang berjudul “Konsep Ihtikar Dalam Perspektif

Fuqaha dan Perbandingannya Dengan Konsep Monopoli Dalam Persaingan

Usaha Tidak Sehat” dengan lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing yang telah

memberikan arahan kepada saya sehingga dapat menerapkan semua yang telah di

ajarkan beliau guna untuk menyempurnakan makalah yang saya selesaikan ini.

Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada teman-teman yang

telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini. Semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

Saya menyadari bahwa makalah yang saya selesaikan ini masih banyak

sekali kekuranganya sehingga saya masih memerlukan kritik dan saran yang

membangun guna untuk memperbaiki makalah selanjutnya

Medan, 14 September 2022

Pemakalah

Bima Ilman Mirazha

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

A. LatarBelakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................3

C. Tujuan Dan Manfaat Judul Penelitian..............................................3

D. Visi Misi............................................................................................3

BAB II KAJIAN PUSTAKA.....................................................................4

A. Ciri Ciri............................................................................................4

B. Pengertian.........................................................................................5

1. Pengertian Ihtikar.......................................................................5

2. Pengertian Monopoli..................................................................6

C. Tujuan..............................................................................................6

BAB III PEMBAHASAN..........................................................................7

A. Konsep Ihtikar Dalam Perspektif Fuqaha........................................7

1. Ulama Hanafiyah.......................................................................7

2. Ulama Malikiyah........................................................................9

3. Ulama Hanafiyah.......................................................................10

4. Ulama Hanabilah........................................................................12

B. Dasar Hukum Ihtikar........................................................................16

1. Al Quran.....................................................................................16

2. Hadist.........................................................................................17

iii
C. Perbedaan Dan Persamaan Antara Ihtikar Dan Monopoli...............19

1. Perbedaan Antara Ihtikar Dan Monopoli...................................19

2. Persamaan Antara Ihtikar Dan Monopoli..................................20

D. Konsep Monopoli Di Dalam UU No.5 Tahun 1999 Dan Perbandingan nya

Dengan Ihtikar Dalam Perspektif Fuqaha.........................................20

E. Analisis Ekonomi Islam Tentang Ihtikar Dan Monopoli Serta Pengaruhnya

Terhadap Perekonomian Masyarakat................................................25

BAB IV PENUTUP...................................................................................33

Kesimpulan Dan Saran.................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................35

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang

Mu’amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban

Islam yang maju di masa lalu. Mu’amalah merupakan satu bagian dari syari’at

Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia,

masyarakat dan alam. Karena mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam,

maka ia juga mengandung aspek teologis dan spiritual.1

Pada dasarnya islam tidak mengharamkan perdagangan kecuali perdangan

itu mengandung unsur kezhaliman, penipuan, eksploitasi, atau mempromosikan

barang-barang yang dilarang, seperti perdagangan khamr, ganja, babi, patung, dan

barang-barang lainnya, baik pengkonsumsiannya, pendistribusiannya, ataupun

pemanfaatannya yang diharamkan.

Dalam Islam, ekonomi juga diatur baik secara langsung oleh Allah dalam

Al Quran, atau diatur oleh Rasulullah dalam kehidupan praktis, atau atas ijtihad

para ulama atas sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi perkembangan

masyarakat. Secara garis besar, persoalan ekonomi terdiri atas tiga hal, yaitu

kepemilikan (property), tasharruf (pengelolaan), dan distribusi kekayaan. Ketiga

hal ini dalam Islam diatur secara ketat dan memiliki beberapa prinsip yang dapat

membedakan dengan konsep ekonomi yang lain.2

1
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair
(Cet. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 2-3

v
Dalam agama, ada beberapa kegiatan ekonomi yang menguntungkan satu

pihak tetapi dilarang, misalnya perjudian, riba, penipuan (al-ghabn), tadlis dalam

jual beli dan ihtikar (penimbunan). Kegiatan ekonomi yang dilarang agama ini,

sebenarnya secara ekonomis sangat menguntungkan bagi pelakunya, akan tetapi

juga dapat merugikan pihak yang lain. Masalah ekonomi yang dihadapi

masyarakat secara prinsip berbeda-beda, baik sebab-sebab timbulnya masalah

ekonomi yang berakibat metode merumuskan keputusannya pun berbeda,

keputusan ini akan menentukan arah-arah kebijakan ekonomi namun penyebab

yang sering kali timbul secara dominan adalah faktor kebijakan (policy) ekonomi

yang menjadi penyebab timbulnya masalah ekonomi.3

Di dalam Islam yang dimaksud dengan ihtikar atau penimbunan barang

adalah membeli barang dengan jumlah besar agar barang tersebut berkurang di

pasar sehingga harganya naik, dan pada waktu harganya naik kemudian dilepas

(dijual) ke pasar sehingga (muhtakir) mendapatkan keuntungan yang berlipat

ganda. Penimbunan dalam hukum Islam dilarang, sebab akan dapat menimbulkan

kesulitan bagi masyarakat banyak, serta menyusahkan bahkan dapat merusak

struktur perekonomian suatu masyarakat dan negara. 4

Berdasarkan pemaparan hal di atas yang dirasa belum diteliti, melatar

belakangi penulis untuk membuat makalah dengan judul “Konsep Ihtikar Dalam

Perspektif Fuqaha dan Perbandingannya Dengan Konsep Monopoli Dalam

Persaingan Usaha Tidak Sehat”

3
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adilatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011). hlm. 342
4
Ahmad Afan Zaini, PasarPersaingan Sempurna Dalam Perspktif Ekonomi Islam, Jurnal Ummul
Qura Vol IV, No. 2, Agustus 2014

vi
B. Rumusan Masalah

1. Pengertian ihtikar dan monopoli dalam perspektif ulama dan Imam Mazhab

serta hukum nya di dalam Islam?

2. Dampak ihtikar dan monopoli dalam usaha persaingan tidak sehat?

C. Tujuan Dan Manfaat Judul Penelitian


Tujuan Judul Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data dan informasi yang

berhubungan dengan ihtikar dan monopoli menurut perspektif ekonomi Islam.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui praktik dari ihtikar dan

monopoli dalam perspektif ekonomi Islam.

Manfaat Judul Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Sebagai masukan sekaligus memperdalam khasanah keilmuan bagi peneliti

dalam melakukan analisis monopoli dan ihtikar menurut ekonomi islam.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu

monopoli dalam melakukan perdagangan.

D. Visi Misi
Visi misi dalam pembuatan makalah ini adalah mengedepankan

pengetahuan masyarakat akan pentingnya usaha persaingan yang sehat dan sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara Indonesia

vii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Ciri Ciri
Masalah ihtikar masih menjadi persoalan yang kompleks dalam kegiatan

ekonomi disetiap negara demokratis di dunia. Karena kesejahteraan rakyat sangat

bergantung terhadap cara sistem jual beli dan usaha dalam masyarakat. Maka pada

pembahasan kali ini kami informasikan apa saja ciri ciri dari ihtikar dan monopoli

kepada kalian semua. Oleh karena itu silahkan simak langsung ulasan telah

dipersiapkan seperti dibawah ini.

Pada umumnya ihtikar dan monopoli adalah kegiatan yang mempunyai ciri

ciri seperti merugikan masyarakat dan membuat kestabilan sistem perekonomian

menjadi tidak stabil dan merusak.5

Kegiatan dan perbuatan dalam hal ini memiliki dampak negatif dan positif

yang disertai dengan penjelasan penjelasan yang akurat. Sikap ini bukan hanya

terjadi pada masyarakat tetapi juga individu seseorang yang menyebabkan

rusaknya sistem perekonomian.6

B. Pengertian
5
Hilal, Syamsul, 2014. Konsep Harga Dalam Ekonomi Islam Telah Pemikiran Ibn Taimiyah
Jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli
6
Agus Triyanta, Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata
Ekonomi Syariah, (Cet. 1; Yogyakarta: FH UII Press, 2012), 144.

viii
1. Pengertian Ihtikar
Ihtikar berasal dari bentuk kata mashdar, sedangkan bentuk kata madhinya

dapat dibaca hakira atau hakara, ihtakara, yahtakiru, ihtikar, yang mengacu pada

makna menahan atau merusak pergaulan, kata ini berarti upaya penimbunan

barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.7 Di dalam Islam yang

dimaksud dengan ihtikar atau penimbunan barang adalah membeli barang dengan

jumlah besar agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya naik, dan

pada waktu harganya naik kemudian dilepas (dijual) ke pasar sehingga (muhtakir)

mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Penimbunan dalam hukum Islam

dilarang, sebab akan dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat banyak, serta

menyusahkan bahkan dapat merusak struktur perekonomian suatu masyarakat dan

negara. Di dalam aspek ekonomi penimbunan barang merupakan salah satu

aktivitas jual beli yang hanya dikenal dalam sistem ekonomi kontemporer yang

dianut oleh kaum kapitalis dalam sistem pasar bebas. Penumpukan barang

bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda bila didistribusikan

pada saat harga naik, dan para konsumen membutuhkannya. Transaksi seperti ini

memberi keuntungan bagi penimbun dan merugikan pihak konsumen. Konsumen

yang membutuhkan barang tersebut terpaksa membelinya, meskipun dengan harga

yang tinggi di luar jangkauannya.8

Dalam ekonomi kapitalis cara seperti ini tidaklah dilarang dan merupakan hak

asasi setiap pengusaha untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas jual beli.

Dalam Islam, penimbunan barang terutama kebutuhan pokok tidak diperbolehkan

7
Muhammmad Ismail Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: GIP, 2016), hlmn.17
8
Sri Adiningsih, Ekonomi Mikro, cet. ke-4 (Yogyakarta: BPEF, 2010), hlm.22

ix
sebab merugikan konsumen dan menghancurkan stabilitas ekonomi umat. Islam

sebagai agama universal mengatur dan menata semua sektor kehidupan dan

aktivitas manusia.

2. Pengertian Monopoli
Monopoli dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah menguasai produksi atas

barang dan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha.

Monopoli dalam pandangan Islam yaitu menimbun barang atau bahan pokok atau

komoditi apapun yang dihajatkan masyarakat agar menjadikan harganya

melambung tinggi karena adanya motif ekonomi untuk mencari keuntungan

setinggi mungkin.

Menurut pengertian umum monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi

oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi

pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu. Monopoli merupakan pemusatan

kekuatan ekonomi yang nyata oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat

menentukan harga barang dan jasa tertentu.9

C. Tujuan
Ihtikar dan monopoli adalah suatu sistem jual beli dan usaha yang mana

hanya merugikan dan membuat perekonomian menjadi buruk. Tujuan pemakalah

dalam hal ini adalah menyampaikan bahwa Islam melarang memiliki dan

membuat sikap yang memberikan dampak negatif terhadap proses jual beli yang

berdasarkan pada ajaran dan norma Islam itu sendiri

9
JurnalDidik Kusno Aji, “Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Ekonomi Islam”, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah Vol. I No.1, 13 Desember 2013, 48.

x
BAB III
PEMBAHASAN

A. Konsep Ihtikar Dalam Perspektif Fuqaha


Untuk menganalisa konsep ihtikar yang dikemukakan oleh fuqaha dengan

konsep monopoli di dalam UU No. 5 Tahun 1999 terlebih dahulu harus dilihat

bagaimana konsep ihtikar yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah, Malikiyah,

Syafi’iyah dan Hanabilah di bawah ini : 10

1. Ulama Hanafiyah

Menurut Alauddin Abu Bakar Ibn Mas’ud Kasani (Ulama Hanafiyah) ihtikar

adalah :

‫الناس با يضر مما بيعه عن ويمتنع مصره فى طعام يشتري ان هو‬

“Membeli makanan dan menahannya untuk dijual sehingga menyusahkan

manusia.”

Ihtikar hukumnya makruh, apabila membeli makanan di kota dan

menahannya, dan melarang dari yang menjual dan dia tidak mau menjualnya

maka perbuatan seperti itu menyusahkan manusia dan makruh hukumnya.

Menimbun barang kebutuhan manusia sama dengan membatalkan keinginan

manusia oleh sebab itu menimbun barang kebutuhan pokok manusia dilarang oleh

agama. Jika ia membeli makanan dari tempat yang dekat dari kota, dan menahan

10
Nikmatul Masruroh, Larangan Ihtikar Di Indonesia (Studi tentang Efektifitas UU Anti Monopoli
di Indonesia), IAIN Jember, tahun 2015

xi
makanan tersebut maka perbuatan tersebut memudharatkan kepada masyarakat

kota maka hukumnya makruh. Apabila makanan di dalam kota tersebut berlebih

maka itu adalah hak masyarakat kota tersebut. Oleh sebab itu, janganlah

melakukan perbuatan menimbun dengan tujuan membatalkan keinginan manusia

akan barang. 11

Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara tegas hanya

muncul dari hadits hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua,

atau tiga orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah

hadits ahad adalah zhanni. Sementara kaidah umum yang qath’i (pasti) adalah

setiap orang bebas membeli dan menjual barang dagangannya tanpa campur

tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang.

Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan

hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan,

yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan

jual beli sesuai kehendak mereka dan adanya larangan berbuat mudharat kepada

orang lain dalam bentuk apa pun.12

Berkata Abu Hanifah, apabila seseorang membeli makanan dari luar kota

dekat ataupun jauh jaraknya dari kota lalu mengimpor barang yang dibelinya itu

ke dalam kota maka barang tersebut adalah hak masyarakat kota. Di dalam sebuah

riwayat disebutkan bahwasanya apabila seseorang membeli makanan di luar kota

11
Ibid., hlm. 7
12
Ibid., hlm. 8

xii
dan mengimpor ke kota dengan maksud tidak menimbunnya maka perbuatannya

itu tidaklah dilarang, sebagaimana pernyataan dari Rasulullah SAW.

‫ملعون والمحتكر مرزوق الجالب‬

“Para pengimpor diberi rizki dan para penimbun dilaknat.”

Para pengimpor bertujuan untuk memakmurkan penduduk kota dan

pengimpor itu bersih hak nya karena tidak ada hubungannya dengan orang lain.

Oleh sebab itu janganlah kamu menimbun makanan untuk membatalkan hak

orang lain. Karena pengimpor itu sangat disukai oleh manusia dan sangat

disenangi.13

2. Ulama Malikiyah
Menurut Sulaiman bin Khalaf bin Said bin Ayyub Baji (Ulama Malikiyyah)

ihtikar adalah :

‫بالسوق أضر ما وكل للباسو الطعام من األشياء جميع من للمبيع اإلدخار‬

“Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala bentuk

yang merusak mekanisme pasar”.

Menurut Shadiq Abdurrahman Al-Garyanisalah salah satu ulama Malikiyah

juga menurutnya ihtikar adalah membeli barang-barang di pasar dan menahannya

sehingga harga barang tersebut langka dan harganya naik dengan tujuan

mendapatkan keuntungan dari penjualannya sehingga manusia sulit mendapatkan

barang yang ditimbun tersebut. Imam Malik berpendapat bahwasannya dilarang

13
Rachmat Syafe’I, fiqh Muamalah (Bandug CV Pustaka Setia, 2001), hlm.151.

xiii
menimbun semua barang-barang kebutuhan manusia karena akan memudharatkan

kehidupan. 14

Bersumber dari Imam Malik, sesungguhnya dia mendengar bahwa Umar bin

Khattab pernah mengatakan: “Tidak boleh ada penimbun di pasar kami. Tidak

dibiarkan orang-orang yang diberi rizki oleh Allah berupa kelebihan emas berjual

beli di sekitar kamu lalu mengadakan penimbunan yang dapat merugikan kami.

Tetapi setiap orang yang membawa segenap kepayahannya di musim hujan dan di

musim kemarau, maka dia itulah tamunya Umar. Hendaklah dia menahan barang

dagangannya sebagaimana yang dikehendaki Allah.” 15

3. Ulama Syafi’iyah
a. Abu Ishaq As-Syirazi
Menurut Abu Ishaq As-Syirazi (Ulama Syafi’iyah) ihtikar adalah:

‫الغالء وقت الطعام يشتري ان هي االحتكار‬

“Ihtikar adalah menjual makanan pada waktu harga-harga melonjak naik.”

Menurut Abu Ishaq As-Syirazi salah satu ulama Syafi’iyah beliau

menyatakan ihtikar adalah menjual makanan pada waktu harga-harga naik dan

menahannya dengan tujuan harganya akan naik. Menurutnya, penimbunan haram

pada setiap bahan makanan kebutuhan pokok16. Akan tetapi, makruh hukumnya

14
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273.
15
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair
(Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hlm. 153.
16
Agus Triyanta, Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata
Ekonomi Syariah, (Cet. 1; Yogyakarta: FH UII Press, 2012), 144.

xiv
menimbun selain dari makanan pokok manusia. Beliau berbegang kepada hadits

Rasulullah SAW.

“Dari Umar bin Khatab RA. berkata Nabi Muhammad SAW. Jalib (importir)

mendapatkan rizki sedangkan penimbun mendapatkan laknat.” (HR. Ibnu

Majah).17

Oleh sebab itu orang-orang yang melakukan penimbunan (muhtakir) wajib

bertaubat karena akibat dari perbuatannya tersebut telah menyusahkan manusia

dalam memenuhi kebutuhan hidup. Barang barang yang ditimbun tersebut wajib

dikeluarkan agar manusia dapa membeli sesuai dengan harga pasar.

b. Imam Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali ihtikar adalah membeli sesuatu dan

menyimpannya agar barang tersebut berkurang dimasyarakat sehingga harganya

meningkat dan dengan demikian manusia akan terkena kesulitan.

1) Jenis Barang
Al-Ghazali menyatakan dilarang melakukan ihtikar hanya bahan makan

pokok pangan saja dan bahan-bahan yang bisa menguatkan badan manusia seperti

obat-obatan. Sedangkan segala sesuatu yang tidak termasuk dalam produk

komoditi bahan makanan dan tidak juga sebagai penunjang makan pokok itu

sendiri tidak termasuk larangan meskipun termasuk bahan makanan. Menurut Al-

17
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
22.

xv
Ghazali yang termasuk ke dalam bahan yang haram di ihtikar adalah bahan makan

pokok seperti: gandum, terigu, jagung beras.

2) Jangka Waktu Ihtikar


Menurut Al-Ghazali waktu yang diharamkan melakukan ihtikar adalah pada

waktu kekurangan bahan makanan pokok atau di masa panceklik. Pada saat itu,

manusia sangat membutuhkan makanan yang apabila mereka tidak segera

mendapatkannya karena kesulitan disebabkan penimbunan maka akan

menimbulkan mudharat bagi masyarakat. Akan tetapi, apabila di suatu daerah

dalam kondisi stabil, dimana pasokan bahan makanan dari pihak produsen

(suplayer) sesuai dengan hukum demand and supply, sementara masyarakat tidak

begitu membutuhkannya, maka penimbunan (ihtikar) tidak akan menimbulkan

gangguan. 18

4. Ulama Hanabilah
Menurut Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah Al-Maqdisi beliau adalah

salah satu ulama Hanabilah ia menyatakan bahwasannya ihtikar adalah seseorang

dengan sengaja membeli dan menimbun makanan kebutuhan manusia dengan

maksud menunggu naiknya harga-harga. Ia menyatakan bahwasannya ihtikar

haram apabila terkumpul padanya tiga syarat:19

1) Membeli barang jika mengumpulkan atau menambahkannya sedikit demi

sedikit dan menyimpannya, maka tidak dinamakan muhtakir. Maksudnya adalah

bahwa para pengimpor tidak menyusahkan siapapun, bahkan sebaliknya memberi


18
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273.
19
Ibid., hlm. 274

xvi
manfaat bagi orang banyak. Ini disebabkan masyarakat tidak perlu lagi pergi

membeli barang kebutuhannya keluar daerah atau negerinya karena telah diimpor

oleh para pengimpor (jalib).

2) Barang yang ditimbun haruslah berbentuk makanan pokok. Adapun lauk pauk,

manisan, madu, minyak, lemak hewan, tidak mengapa bila ditimbun. Al-Astram

berkata, aku mendengar Abu Abdullah ditanya tentang apa saja yang termasuk

menimbun? Dia menjawab, “Jika merupakan barang kebutuhan pokok manusia,

itulah yang dibenci.” Ini adalah pendapat Abdullah bin Amr.

3) Orang-orang mudah mendapatkannya20.

Menimbun yang diharamkan menurut para ulama fiqh bila

memenuhi tiga kriteria sebagai berikut :

a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan

keluarga untuk masa satu tahun penuh. seseorang boleh

menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun

sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya

melambung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru

dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga

mahal.

c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,

sandang dan lain lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di

20
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 275

xvii
tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok

kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat maka itu tidak

termasuk menimbun.21

Dari definisi yang dikemukakan oleh Imam Mazhab dan ulama fiqh di atas

menjelaskan bahwasannya ihtikar adalah membeli dan menimbun barang

kebutuhan pokok dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang ditengah

tengah masyarakat sehingga harganya meningkat dan dengan demikian

masyarakat akan kesulitan mendapatkannya sehingga akan berdampak dengan

rusaknya mekanisme pasar. Di dalam sistem ekonomi Islam sangat

mengutamakan persamaan, kesempatan dan pemerataan distribusi pendapatan.

Untuk mencapai persamaan itu, Islam melarang adanya praktek penimbunan

barang dagangan dalam aktifitas ekonomi, sebab hal itu adalah suatu kezaliman.

Penimbunan semacam ini dilarang sebab ia merupakan bukti keburukan moral

serta mempersusah manusia. Oleh sebab itu, perbuatan menimbun barang

kebutuhan pokok masyarakat sehingga berkurang di pasaran, dapat

memudharatkan kehidupan manusia dan termasuk tindakan yang dilarang oleh

Islam.22

Para ulama menetapkan suatu hukum bahwa diharamkannya menimbun

adalah dengan dua syarat. Pertama, akan menyebabkan penderitaan penduduk

suatu negara. Kedua, menaikkan harga yang sangat tinggi untuk mendapatkan

keuntungan yang berlipat ganda, sehingga masyarakat merasa berat untuk

mendapatkannya.
21
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 231-232
22
Muhammmad Ismail Yusanto, Ihtikar Dalam Konsep Syariah, (Jakarta: GIP, 2016), 17.

xviii
Berbeda dengan menimbun barang yang kepemilikannya tidak dengan jalan

membeli. Atau juga pembelian terjadi pada saat harga melambung dan dijual pada

saat itu juga. Karena praktik pembelian barang di saat harga masih stabil untuk

kemudian dijual pada masa barang melambung adalah masih dalam kategori

orang terpuji (marzuq) yang telah disebutkan di dalam Hadis di atas. 23

Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu untuk

kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan

kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar. Sebab hal

tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat, justru jika

hal itu tidak akan dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga barang

akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Dalam hal ini pemerintah

Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1948 tentang pemberian

izin kepada pedagang untuk menimbun penting, seperti beras, gabah, padi, menir,

tepung beras, dan gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung

beras, gula masing masing tidak lebih dari 500 kg. Dengan demikian, pemerintah

memperbolehkan melakukan penimbunan barang oleh institusi tertentu dengan

maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang

dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan maksimal yang tidak wajar, maka

jelas hal tersebut dilarang.24

B. Dasar Hukum Ihtikar

23
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), 44.
24
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 157

xix
Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan oleh Allah

SWT untuk memilikinya, maka halal pula untuk dijadikan sebagai obyek

perdagangan. Demikian pula segala bentuk yang diharamkan untuk memilikinya

maka haram pula untuk memperdagangkannya. Namun terdapat ketentuan hukum

Islam yang menyatakan bahwa pada dasar nya barang tersebut halal menurut

ketentuan hukum Islam, akan tetapi karena sikap dan perbuatan para pelaku atau

pedagang bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram seperti

halnya penimbunan barang yang banyak dilakukan oleh para pedagang di pasar

yang dapat merugikan orang banyak.

Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan

adanya ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal Al-Quran yang menyatakan

bahwa setiap perbuatan aniaya termasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh

agama Islam.

1. Al-Qur’an

a. Q.S Al-Hajj Ayat 25

ۚ‫ِإَّن ٱَّلِذ يَنَكَفُرو۟ا َو َي ُصُّد وَن َع نَس ِبيٱِللَّلِه َو ٱْلَم ْس ِجِدٱْلَح َر اِم ٱَّلِذىَج َع ْلَٰن ُهِللَّن اِس َس َو ٓاًءٱْلَٰع ِك ُفِفيِه َو ٱْلَب اِد‬

‫َأ‬
‫َو َم نُي ِر ْد ِفيِهِبِإْلَح اٍۭد ِبُظْلٍم ُّن ِذ ْق ُهِم ْن َع َذ اٍب ِليٍم‬

Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari

jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia,

baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di

xx
dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan

kepadanya sebahagian siksa yang pedih".(Q.S Al-Hajj:25)

Ayat ini menjelaskan bahwa ihtikar adalah haram. Karena ihtikar adalah

perbuatan zalim dan aniaya. Dan berbuat zalim adalah dilarang. Perbuatan zalim

jika dilakukan akan menyebabkan seseorang mendapat siksa yang pedih. Orang

yang mendapat siksa yang pedih adalah karena melakukan hal yang dilarang.

Maka dari itu ihtikar adalah haram. Ulama mengatakan pada dasarnya bahwa ayat

di atas di sebagian maknanya berfungsi untuk mengharamkan ihtikar.

2. Hadits

‫َع ْن َس ِعْيُدْب ُن اْلُمَسَّي ِبُيَح َّد ُث َأَّن َم ْع َم ًر اَقَلَر ُسواُل لَّّلُهَص َّلىالَّلُهَع َلْي ِه َو َس َّلَمَم ِناْح َت ْك َر َفُهَو َخ ِط ٌئ‬

Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan : Bahwa Ma'mar, ia berkata,

"Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menimbun barang, maka ia berdosa,"

(HR Muslim).

Berdasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu

‘Alaihi wa Sallam diatas, para ulama fiqih sepakat meyatakan bahwa ihtikar

tergolong kedalam perbuatan yang dilarang (haram). Secara tegas dikatakan

bahwa ihtikar (menimbun barang makanan untuk di jual pada masa sulit dengan

harga yang tinggi) hukumnya haram. Menurut Madzhab Hanafi, Syafi'i dan

Hanbali, objek barang yang haram ditimbunadalah makanan pokok yang menjadi

kebutuhan umum, baik itu berupa makanan pokok manusia atau makanan pokok

untuk hewan ternak. Sedangkan untuk selain makanan pokok, hukum

xxi
menimbunnya tidaklah diharamkan. Namun menurut mazhab Maliki, objek ihtikar

mutlak apapun jenis barangnya. Tidak disebutkan bahwa objeknya adalah

makanan saja, maka apapun jenis barang yang menjadi kebutuhan orang banyak

haram ditimbun.

Dari penjelasan tersebut dapat dianalisa aspek keharaman nya yaitu

tehadap barang kelebihan nafkah dari dirinya dan keluarganya dalam masa satu

tahun, yang berarti jika ia menimbun barang konsumsi untuk kebutuhan hidup

keluarga dan dirinya selama satu tahun tidaklah diharamkan, sebab hal ini adalah

wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dimusim paceklik, kemudian

pengharaman terhadap barang dengan dalih ingin memperoleh keuntungan yang

berlipat ganda, sebab bila tidak ditimbun, keuntungan yang didapatkan cenderung

kecil dan penimbun ini dapat merusak harga dipasaran, yaitu dari harga yang

rendah menjadi harga yang lebih tinggi, diutamakan sebagai bahan kebutuhan

primer (sembako) dan tidak menyinggung tentang kebutuhan tersier (pelengkap).25

C. Perbedaan Dan Persamaan Antara Ihtikar Dan Monopoli

1. Perbedaan

 Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar

dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang


25
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 151.

xxii
dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan ihtikar tidak hanya bisa

dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah

dengan modal alakadarnya pun bisa melakukannya

 Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas

ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah

(adanya regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana

dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan

sangat mudah untuk dilakukan.

 Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar

kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam

waktu dan tempo yang tentitif dan mendadak dan dapat

mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga

biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan

operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga

dipengaruhi oleh kelangkaan barang.

 Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu

dilindugi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan

ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.

2. Persamaan
 Monopoli dan ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan

sepihak (motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga

(price maker)

xxiii
 Pelaku monopoli dan ihtikar sama-sama memiliki hak opsi

untuk menawarkan barang-barang ke pasaran atau tidak

 Monopoli dan ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan

ketidakpuasan pada masyarakat.

 Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang

kaya untuk mengeksploitasi (Zulm) golongan miskin.26

D. Konsep Monopoli Di Dalam UU No. 5 Tahun 1999 Dan

Perbandingannya Dengan Ihtikar Dalam Perspektif Fuqaha

Di dalam Bab I ketentuan umum pasal 1 UU No. 5 tahun 1999

menyebutkan bahwa:

1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau

atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku

usaha (UU No. 5 Tahun 1999 Bab I Pasal I)

2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih

pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas

barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

dan dapat merugikan kepentingan umum.

3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar

bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga

26
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transak-si dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014),
153.

xxiv
barang dan atau jasa.

4. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing

yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang

dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di

pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan

akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan

pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

5. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

6. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha.27

Di dalam pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 di atas ada 5 ciri-ciri yang terdapat

dalam konsep dan objek monopoli sebagai berikut:

a. Monopoli merupakan penguasaan produksi barang dan jasa tertentu oleh

sekelompok pelaku usaha atau lebih.

27
Satia Negara Lubis, Teori Pasar 1: Pasar Monopoli, USU Repository, 2011, 21.

xxv
b. Penguasaan produksi barang dan jasa tertentu yang tidak mempunyai barang

pengganti yang serupa di produsen lain.

c. Pemusatan kekuatan ekonomi yang nyata oleh satu pelaku usaha atau lebih

sehingga dapat menentukan atau menetapkan harga.

d. Promosi iklan kurang diperlukan.28

Dari ciri-ciri monopoli di atas terdapat juga faktor yang menimbulkan

adanya monopoli, yaitu:

1. Perusahaan monopoli mempunyai suatu sumber daya tertentu yang tidak

dimiliki oleh perusahaan lain (sumber daya kunci).

2. Perusahaan monopoli pada umumnya dapat menikmati skala ekonomi ke

tingkat produksi yang sangat tinggi dan menjadi lebih efisien jika hanya ada satu

produsen tunggal.

3. Perusahaan monopoli berkembang melalui undang-undang, yaitu pemerintah

memberi hak monopoli kepada perusahaan tersebut.

Pasal 17 menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

28
Mashur Malaka, Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha, Jurnal Al-„Adl Vol. 7 No. 2, Juli
2014.

xxvi
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi

dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

apabila:

a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya atau

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha

barang dan atau jasa yang sama; atau Satu pelaku usaha atau satu kelompok

pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu

jenis barang atau jasa tertentu.

Di dalam pasal 17 di atas dapat diketahui bahwasannya ada 4 hal terpenting

yang terdapat dalam monopoli yaitu:

a. Adanya pemusatan ekonomi

b. Pemusatan kekuatan ekonomi berada pada satu atau lebih pelaku usaha
ekonomi

c. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak


sehat

d. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.

Dari beberapa ciri khusus yang terdapat di dalam monopoli dan faktor yang

menyebabkannya maka dapat dipahami bahwasannya monopoli merupakan salah

satu usaha yang dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha atau lebih yang dapat

menetapkan harga yang tinggi bagi produk yang mereka pasarkan. Para konsumen

tidak memiliki pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang ditetapkan oleh

perusahaan monopoli. Oleh sebab itu, terkadang produsen monopoli cendrung

tidak meningkatkan kualitas produknya yang terbaik bagi mayarakat, produsen

xxvii
monopoli lebih mementingkan memaksimalkan laba dari produk yang mereka

pasarkan, inilah bedanya dengan perusahaan kompetitif yang mana setiap

perusahaan bersaing dengan memberikan kualitas yang terbaik dari produk yang

mereka tawarkan kepada masyarakat. 29

Berdasarkan penjelasan konsep ihtikar dalam pandangan para fuqaha dan

konsep monopoli yang terdapat di dalam UU No.5 Tahun 1999 di atas maka

penulis membandingkan bahwasannya para pelaku ihtikar dan produsen monopoli

sama-sama ingin mendapatkan keuntungan yang besar dari usaha yang

dilakukannya, pelaku ihtikar dengan menimbun barang sehingga barang tersebut

langka di pasaran dan menjual dengan harga yang tinggi. Sedangkan podusen

monopoli seseorang atau sekelompok pelaku usaha yang memproduksi sauatu

jenis barang dan jasa yang tidak ada barang penggantinya di pasaran. Dengan

demikian pelaku monopoli dapat menetapkan harga dari barang yang

diproduksinya tersebut.

E. Analisis Ekonomi Islam Tentang Ihtikar Dan Monopoli Serta

Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat

Ihtikar yang dilarang dalam agama, pasti mempunyai dampak yang besar

terhadap perekonomian masyarakat. Dampak dari ihtikar akan bisa membuat

29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, www.kppu.go.id, diunduh pada kamis 05-12-2022

xxviii
perpecahan dan rusaknya situasi perekonomian. Karena mahal nya barang barang

pokok yang menjadi kebutuhan manusia. Setiap hari akan menuntut melambung

nya nilai tawar menawar barang lain, karena adanya imbas melambungnya harga

satu barang.

Hal ini berkaitan dengan hukum ekonomi bahwa apabila permintaan

meningkat sedangkan barang menurun maka harga akan meningkat. Peningkatan

ini akan memberikan dampak yang luas. Berdasarkan hukum ekonomi, maka

semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan

permintaan terhadap barang semakin berkurang

Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga

yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang

lebih besar dari keuntungan normal, sementara konsumen akan menderita

kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok

kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat

bertindak sebagai price maker (penentu harga). Dalam situasi dan kondisi

semacam ini yang dirasa adalah serba kesulitan dan kekurangan. Implikasi lebih

jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan

menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat

proses distribusi kekayaan di antara manusia. Sebab, konsumen masih harus

membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marginal.

Dengan demikian praktik ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat

manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah

xxix
kesejahteraan umat manusia. Berangkat dari sudut inilah, ‘illah keharaman ihtikar

diangkat. Karenanya, menurut Imam al-Syawkani, keharaman ihtikar tidak hanya

tertentu pada barang-barang pokok semata. Akan tetapi semua barang yang bila

ditimbun akan bisa mengakibatkan ruwetnya perekonomian manusia. Sebab

menurut analisisnya, zahir Hadis-hadis Nabi tidak membedakan antara makanan

pokok manusia, hewan, atau lainnya. Sedangkan Hadis yang langsung

menjelaskan keharaman ihtikar dikhususkan hanya pada makanan pokok yang ada

dalam sebagian riwayat tidak bisa digunakan untuk mengkhususkan Hadis hadis

lain yang redaksinya mutlak. Namun pendapat ini, masih mungkin untuk ditepis

dengan kaidah usul fikih yang menjelaskan bahwa bila ada dalil muthlaq, maka

dalil tersebut bisa diarahkan pada dalil muqayyad. Demikian pula bila ada dalil

yang ‘am, maka bisa di-takhshish dengan dalil yang khash. Akan tetapi, al-

Syawkani mengelaknya dan menjawab, kata ‚‫‛ الطعام‬yang ada di dalam salah satu

Hadis hanyalah sekadar memberi contoh salah satu ba-rang yang tidak boleh

ditimbun. Bukan untuk men-takhshish-kan. Sebab, meniadakan hukum selain

makanan pokok itu diambil dari mafhum-nya laqab (kata ‚"‫ ‚ الطعام‬yang ada dalam

Hadis). Pengambilan mafhum mukhalafah semacam ini, menurut jumhur ulama

usul fikih jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, tujuan disebutkannya laqab bukanlah

untuk meniadakan hukum selainnya. Kalau sudah demikian, maka penyebutan

perkara/lafaz dalam suatu dalil yang tujuan penyebutannya bukan untuk

meniadakan hukum lainnya, menurut kaidah usul fikih, tidaklah bisa digunakan

menggaris bawahi dalil-dalil lain yang redaksinya muthlaq. 30

30
Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 211

xxx
Jadi, pada hakikatnya ihtikar dapat merusak sistem pasar yang sudah berjalan

normal. Oleh karena itu, wajar apabila sebagian ulama menyatakan ihtikar adalah

berbagai bentuk, dan tidak terbatas pada makanan pokok. Dengan mendasarkan

ihtikar adalah untuk semua barang yang dapat merusak sistem pasar, maka dapat

diketahui bahwa sistem pasar seperti ini harus dipelihara oleh pelaku pasar. Pasar

harus berjalan secara normal.

Secara garis besar ketidaksempurnaan pasar terjadi karena tiga hal. Pertama,

penyimpangan terstruktur. Suatu pasar akan mengganggu mekanisme pasar

dengan cara yang sistematis dan terstruktur pula. Struktur pasar yang

dimaksudkan adalah monopoli dan kompetisi yang tidak sehat. Struktur pasar

seperti ini menjadi larangan dalam Islam, sebab selain merusak sistem pasar juga

berlawanan dengan maqashid al-syari’ah. Kedua, penyimpanan tidak terstruktur,

yaitu adanya faktor internal insidental dan temporer yang mengganggu sistem

pasar, misalnya ihtikar, najasy, tadlis, kolusi pedagang untuk membuat harga di

atas normal. Sistem seperti ini juga berlawanan dengan tujuan yang telah diatur

syariat. Ketiga, ketidaksempurnaan informasi dan penyesuaian. Hal ini seperti

yang terjadi membeli barang dari produsen ketika masih di tengah jalan (bukan di

dalam pasar/talaqqi rukban), membeli dari orang yang bodoh yang tidak mengerti

harga pasar yang sebenarnya (al-ghubn).

Ketiga hal yang dapat merusak pasar ini harus dihindari dan dilarang dalam

Islam. Oleh karena itu, setiap penjual dan pembeli harus berhati-hati dalam

melakukan transaksi tersebut. Larangan yang ada dalam agama ini memang tidak

memberikan sanksi secara tegas, akan tetapi sanksinya berupa keharaman hukum

xxxi
yang perhitungannya kelak di akhirat. Oleh karena itu, sebagai pelaku pasar harus

tetap mengutamakan sistem transendensi seperti yang telah dibahas di atas.

Konsep transendensi ini salah satunya adalah dalam setiap kegiatan pasar

harus didasarkan pada hal yang halal dan haram secara ketat dan kesadaran diri.

Artinya, apapun yang terjadi dalam sistem pasar pertimbangan halal dan haram

dalam melakukan transaksi harus tetap menjadi pertimbangan utama dan pertama.

Seseorang tidak boleh terperdaya dengan harga atau lainnya, sebab hal ini akan

menjadi pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketakwaan

seorang muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kaitannya dengan

masalah ihtikar istilah ini dalam ilmu ekonomi kontemporer dikenal dengan

monopoly’s rent-seeking ihtikar. Dalam Islam, konsep ekonomi dan perdagangan

harus dilandasi nilai-nilai dan etika yang bersumber dari nilai-nilai dasar agama

yang menjunjung tinggi tentang kejujuran dan keadilan. Barangsiapa menjual

barangnya di pasar yang kualitasnya sama seperti barang penjual lainnya. Maka ia

dilarangnya untuk menjual barangnya di pasar yang kualitasnya sama seperti

barang penjual lainnya. Maka ia dilarangnya untuk menjual dengan harga yang

lebih rendah dari harga pasar apabila hal itu akan merusak harga pasar dan

membuat resah para pelaku pasar, hal tersebut harus dihindari. 31

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa ihtikar hukumnya haram.

Sebab bentuk praktik ini mengandung kecurangan, ketidakadilan dan sangat

31
C.S.T. Kansil, Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 188

xxxii
membahayakan terhadap stabilitas ekonomi. Dengan adanya ihtikar itu berarti

hanya ada satu pihak yang sangat diuntungkan (dan pihak ini termasuk minoritas)

dengan mengorbankan pihak mayoritas. Ini adalah masalah ketidakadilan dalam

masalah ekonomi, padahal Islam memberikan porsi yang seimbang antara

kepentingan umum (mayoritas) dan kepentingan pribadi (minoritas). Disamping

mengandung ketidakadilan, ihtikar juga menyebabkan krisis yang sangat fatal dan

sangat mengancam stabilitas ekonomi. Ihtikar juga menyebabkan kesulitan bagi

orang lain serta menyempitkan ruang gerak mereka untuk memperoleh

kebutuhannya. ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar,

dimana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan

terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan

barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang

di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang

semakin berkurang.”

Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga

yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang

lebih besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen

akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah

sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang

produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga). Perilaku industri

yang melakukan ihtikar berdampak pada penentuan harga, kuantitas barang dan

keuntungan yang dapat diperoleh oleh produsen. Hakikat ihtikar adalah

xxxiii
memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya untuk mendapatkan

keuntungan yang lebih besar.

Timbulnya kemudharatan terhadap masyarakat merupakan syarat

pelarangan penimbunan barang. Apabila hal itu terjadi, barang dagangan hasil

timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini

disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para

pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka.

Selanjutnya, pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak mengulangi

perbuatannya. Apabila mereka tidak mempedulikan peringatan tersebut,

pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, mengelilingi kota dan

memenjarakannya. Mekanisme pasar yang sesuai dengan syariah memang tidak

mengedepankan intervensi pemerintah pada kondisi pasar berjalan normal.

Namun ketika pasar mengalami distorsi yang disebabkan oleh ulah para

pelakunya, maka pemerintah tentu perlu membenahi harga untuk mewujudnya

kemaslahatan umat.32

Solusi masalah ihtikar adalah dengan adanya lembaga otoritas pasar dalam

Islam disebut juga dengan lembaga al-Hisbah, diharapkan permasalahan ihtikar

dapat ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Al-Hisbah adalah lembaga

pengawasan dan peradilan dalam pasar yang eksistensinya sudah ada sejak zaman

Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Eksistensi lembaga otoritas pasar

Hisbah ini menyiratkan bagaimana perekonomian Islam memandang pasar begitu

penting dalam aktivitas ekonomi. Dengan adanya pemberdayaan lembaga al-

32
Ahcmad Rais, Garis-Garis Besar Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2010), 41.

xxxiv
Hisbah yang baik, diharapkan mampu menanggulangi masalah-masalah yang ada

di pasar terutama masalah ihtikar ini.

Adapun beberapa fungsi al-Hisbah selaku lembaga pengawasan dan peradilan

dalam pasar diantaranya adalah sebagai berikut:

(a) mengawasi timbangan, ukuran dan harga. Dalam konteks perekonomian

kontemporer, Hisbah juga mengawasi standar-standar atau parameter-parameter

yang menentukan atas barang dan jasa atau bahkan sebuah unit usaha dalam

aktivitas ekonomi Islam

(b) mengawasi jual-beli terlarang, praktik riba, maisir, gharar dan penipuan

(c) mengawasi kehalalan, kesehatan dan kebersihan suatu komoditas

(d) pengaturan (tata letak) pasar

(e) mengawasi persengketaan dan ketidakadilan

(f) melakukan intervensi pasar dan

(g) memberikan hukuman terhadap pelanggaran

Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah juga

didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf tunai juga

didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam

perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan,

maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika disana ada

kemudratan dan mafsadah, maka praktiknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar,

xxxv
spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang

mengandung riba. Demikian pula dalam membicarakan perilaku konsumen dalam

kaitannya dengan utility. Transaksi perbankan syariah juga dilakukan berdasarkan

suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa

merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda

harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang

berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad. Syariah tidak membenarkan adanya distorsi

harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran

(ihtikar) serta tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).

Dikarenakan ihtikar besar kaitannya dengan jual beli, maka kemungkinan-

kemungkinan yang dapat terjadi dalam lembaga keuangan syariah adalah juga

besar kaitannya dengan produk-produk yang menggunakan akad jual beli seperti

murabahah, salam dan istishna’33

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah ihtikar adalah membeli makanan dan

menahannya untuk dijual sehingga menyusahkan manusia, dan dapat merusak

mekanisme pasar.
33
NasrunHaroen, Fiqh Muamalah., 161.

xxxvi
2. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah ihtikar adalah seseorang dengan

sengaja membeli dan menimbun makanan kebutuhan manusia dengan maksud

menunggu naiknya harga-harga.

3. Konsep monopoli di dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah penguasaan produksi

atas barang dan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha.

Sedangkan perbandingan ihtikar dan monopoli yang terdapat di dalam UU

No. 5 Tahun 1999 adalah Pertama, Muhtakir membeli makanan menimbun dan

menahannya untuk dijual kembali sehingga menyusahkan manusia mendapatkan

barang tersebut sedangkan monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh

satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi pemasaran

atas barang dan atau jasa tertentu, Kedua, Muhtakir menjual barang-barang

makanan yang ditimbunnya pada waktu harga-harga melonjak naik sedangkan

monopoli pemusatan kekuatan ekonomi yang nyata oleh satu atau lebih pelaku

usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa, Ketiga, Muhtakir

dengan sengaja membeli dan menahan makanan kebutuhan manusia dengan

maksud menunggu naiknya harga-harga sedangkan monopoli terjadi oleh satu

pelaku usaha atau lebih dengan modal atau akses keuangan yang cukup besar

sehingga dapat menguasai pasar Keempat, Muhtakir membeli makanan dan

menahannya untuk dijual kembali sehingga menyusahkan masyarakat

mendapatkan barang-barang tersebut sedangkan monopoli dikuasainya produksi

barang dan jasa tertentu yang mana barang dan jasa tersebut belum ada

substitusinya.

xxxvii
B. SARAN
Diperlukan adanya metode penelitian dan pendekatan yang lebih lanjut akan

pengawasan di dalam diskusi kepada masyarakat sebagai salah satu cara untuk

mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat serta memaksimalkan potensi

generasi dalam membentengi diri untuk terhindar dari sikap muamalah yang tidak

sesuai dengan ketentuan hukum negara dan hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA`

Abdul Mannan, Muhammad, 1997. Islamic Economics, Theory and Practice,


penj. M. Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Abdurrahman Aki, Khalid, 1993. Mausu’ah Fiqh Maliki, Beirut, Dar-AlHakamah.
Abi Ma’ali, Imam Burhanuddin, 2004. Muhitul Burhan, Fiqh Hanafi,
BeirutLibanon, Maktabah Ruyd
Hilal, Syamsul, 2014. Konsep Harga Dalam Ekonomi Islam Telah Pemikiran Ibn
Taimiyah Jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli

xxxviii
Iqbal, Ichsan, 2012. Pemikiran Ekonomi Islam tentang uang, harga dan pasar,
Jurnal Khatulistiwa Journal Of Islamic Studies, Vol. 2 No. 1 Maret.
Nawatmi, Sri, 2010. Etika Bisnis Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Fokus
Ekonomi FE, April.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
Erwandi Tarmizi, Erwandi. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor : PT.
Berkat MuliaInsani, 2018.
Ath-Thayar, Abdullah bin Muhammad. Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Mazhab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014.
Wardi Muslich, Ahmad. fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.
Tim Laskar pelangi, METODOLOGI FIQIH MUAMALAH diskursus Metodologis
Konsep Interaksi Sosial Ekonomi. Kediri Lirboyo Press 2013.
Undang-Undang no.5 tahun 1999. Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transak-si dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo


Persada. 2014

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007

Kansil, Christine S.T. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia.


Jakarta: Sinar Grafika. 2010

Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Lubis, Satia Negara. Teori Pasar 1: Pasar Monopoli. USU Repository. 2011.

xxxix

Anda mungkin juga menyukai