Anda di halaman 1dari 25

KEDUDUKAN PRODUSEN DAN KONSUMEN

DALAM BISNIS SYARIAH


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Bisnis Syariah
Dosen Pengampu:
Ayuk Wahdanfiari Adibah, S.E.Sy., M.H.

Disusun oleh:
Kelompok 10 Perbankan Syariah 3C
1. Kunazatul Shima (12401193118)
2. Reka Indriani (12401193132)
3. Desy Shafa Salsabila (12401193140)
4. Tasya Priscillya Kristanti (12401193141)

SEMESTER III
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH 3C
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah
memberikan kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah “Pengantar Bisnis Syariah” dalam bentuk
makalah, Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabiyullah Muhammad SAW.
Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah “Pengantar
Bisnis Syariah”. Sehubungan dengan terselsaikannya penulisan makalah ini
maka penulis ini mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung.
2. Bapak Dr.H. Dede Nurohman, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam.
3. Bapak M. Aqim Adlan, M.E.I., selaku ketua jurusan Perbankan Syariah.
4. Ibu Ayuk Wahdanfiari Adibah, S.E.Sy., M.H., selaku dosen pengampu
mata kuliah Pengantar Bisnis Syariah.
5. Semua pihak yang telah membantu terselsaikannya penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul
“Kedudukan Produsen dan Konsumen dalam Bisnis Syariah” ini, masih jauh
dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini, kami berharap dari
makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi
kami maupun pembaca. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Tulungagung, 19 September 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................... 3
A. Pengetian Konsumen dalam Islam ........................................... 3
B. Hukum Ekonomi Islam dan Perlindungan Konsumen .............. 4
C. Macam-macam Hak Konsumen dan Produsen ......................... 9
D. Harta dan Pembagiannya ....................................................... 12
E. Kepemilikan .......................................................................... 15
F. Teori Perjanjian (Nadhariyyat al-„Aqd) dalam Islam.............. 17
BAB III : PENUTUP ......................................................................... 20
A. A.Kesimpulan ....................................................................... 20
B. B.Saran ................................................................................. 21
DAFTAR RUJUKAN........................................................................ 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan perekonomian di Indonesia, khususnya dibidang industri
dan perdagangan telah membawa manfaat yang sangat besar bagi semua pelaku
ekonomi, terutama bagi konsumen. Dengan banyaknya pilihan produk barang
dan jasa yang ditawarkan sangat memberi kemudahan bagi para pemakai
(konsumen). Adanya kemajuan teknologi dan informasi telah memperluas dan
mempermudah pergerakan arus transaksi barang dan jasa. Kondisi ini membuat
konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih barang dan jasa yang seperti
diinginkannya dengan mudah.
Akan tetapi, disisi lain konsumen dijadikan objek atau sasaran utama
bagi para pelaku usaha untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya,
baik melalui promosi ataupun penjualan yang sering kali merugikan para
konsumen. Hal ini perlu disadari bahwa kedudukan konsumen untuk saat ini
sangat lemah, dikarenakan tingkat kesadaran dan pendidikan konsumen yang
relatif rendah, disamping itu juga pemahaman terhadap kegiatan ekonomi dan
etos kerja rendah.
Melihat akan permasalahan yang ada tersebut, pemerintah akhirnya
mengeluarkan kebijakan berupa Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen. Hal ini dilakukan agar para konsumen bisa melaksanakan haknya
sebagai konsumen, dan untuk produsn atau pelaku usaha bisa melaksanakan
kewajibannya sebagai pelaku usaha tanpa ada kesenjangan sosial. Tingginya
kesadaran konsumen dan pelaku usaha akan mewujudkan kesejahteraan untuk
semuanya.
Salah satu hal penting yang perlu ditelaah adalah masalah perlindungan
konsumen dalam prespektif syariah. Hal ini penting karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama islam, dengan demikian seharusnya nilai-nilai ajaran islam
mendasari semua peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi yang nantinya
akan mempengaruhi pola perilaku masyarakat tersebut.

1
2

Berkenaan dengan hal tersebut, maka kami menyusun sebuah makalah


yang mampu menjadi wahana bagi pembaca untuk memperoleh wawasan dan
konsep keilmuan berkenaan dengan bisnis syariah ini baik secara teoritis
maupun secara praktis. Oleh sebab itu, kami menulis sebuah makalah yang
berjudul “Kedudukan Produsen dan Konsumen dalam Bisnis Syariah”. Ada
beberapa hal yang ingin kami sampaikan dalam tulisan ini, yaitu pengertian
konsumen dalam islam, hukum ekonomi islam dan perlindungan konsumen,
macam-macam hak konsumen dan produsen, harta dan pembagiannya,
kepemilikan, dan teori perjanjian (Nadhariyyat al-„Aqd) dalam islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsumen dalam islam?
2. Bagaimana dengan hukum ekonomi islam dan perlindungan konsumen?
3. Ada berapa macam hak konsumen dan produsen?
4. Bagaimana dengan harta dan pembagiannya?
5. Apakah kepemilikan itu?
6. Bagaimana dengan teori perjanjian (Nadhariyyat al-„Aqd) dalam islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian konsumen dalam islam.
2. Untuk mengetahui hukum ekonomi islam dan perlindungan konsumen.
3. Untuk mengetahui macam-macam hak konsumen dan produsen.
4. Untuk mengetahui harta dan pembagiannya.
5. Untuk mengetahui kepemilikan.
6. Untuk mengetahui teori perjanjian (Nadhariyyat al-„Aqd) dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsumen dalam Islam


Istilah konsumen memiliki makna seseorang yang melakukan kegiatan
konsumsi dengan cara membeli, dan sebagainya dengan tujuan menghabiskan
atau menggunakan barang dan jasa. Dijelaskan juga pasal 1 ayat 2 Undang-
undang No. 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menerangkan
bahwa “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
syarat-syarat untuk disebut sebagai konsumen sesuai dengan UU tentang
Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
1. Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui pembelian
maupun secara cuma-cuma (gratis).
2. Pemakai barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, dan makhluk hidup lain.
Sedangkan, untuk konsumsi memiliki makna hampir sama, yaitu suatu
bentuk perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.1
Dalam berkonsumsi seseorang atau rumah tangga cenderung untuk
memaksimalkan daya guna atau keinginannya karena tidak ada batasan untuk
mencapainya. Hal ini dilakukan dalam upaya mewujudkan kesenangannya.
Dasar dari pemenuhan kesenangan ini adalah keinginan. 2
Seorang konsumen dalam melakukan kegiatan konsumsi merupakan suatu
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan. Dengan konsumsi ini,
seseorang dapat terhindar dari kesulitan dan problem yang menghalanginya.
Oleh karena itu, dengan seseorang melakukan kegiatan konsumsi, kelangsungan
kehidupan bisa diteruskan.

1
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hal. 178
2
Dede Nurohman, Memahami Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011),
hal. 95

3
4

B. Hukum Ekonomi Islam dan Perlindungan Konsumen


1. Hukum Ekonomi Islam
Hukum secara umum berarti segala jenis peraturan baik tertulis maupun
tidak tertulis yang mengatur segala jenis tata tertib masyarakatnya, dengan
memberlakukan sanksi jika masyarakat itu melanggarnya. Adapun bisa juga
didefiniskan bahwa hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu lembaga
yang berhak dan berwenang yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang di
jadikan pedoman oleh masyarakat dalam menjalani aktivitas ekonomi, dan
terdapat juga sanksi yang menjadikan masyarakat jera, karena jika melanggar
akan terkena sanksi tersebut.
Ada pengertian sendiri antara hukum ekonomi, ekonomi islam dan
hukum ekonomi islam. Hukum Ekonomi merupakan keseluruhan norma-
norma yang dibuat oleh pemeritah atau penguasa sebagai suatu personifikasi
dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi di mana kepetingan
individu dan masyarakat saling berhadapan. Sedangkan, Ekonomi Islam
merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan,
kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat komersial
atau tidak komersial menurut prinsip Islam.
Maka dari itu, dapat di simpulkan Hukum Ekonomi Islam merupakan
kumpulan peraturan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, seperti jual beli,
perdagangan, dan perniagaan yang didasarkan pada hukum Islam. 3
Hukum Islam itu merupakan bagian dari muamalah (hukum-hukum
muamalah) biasanya, seperti yang terdapat dalam pelajaran fiqh muamalah
yang isinya menyangkut tentang aturan-aturan Allah yang mengatur manusia
sebagai makhluk social dalam semua urusan yang sifatnya duniawi. Adapun
sumber Hukum Ekonomi Islam :
1) Al Quran
Kenapa bias disebutkan Al Quran, karena Al Quran merupakan
sumber hukum Islam yang utama dan yang pertama. Wahyu Allah yang

3
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah, (Jakarta Timur:
Prenadamedia, Cet. Ke-1, 2019), hal. 1
5

diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang di dalamnya berisikan aturan-


aturan yang ditetapkan oleh Allah sebagai pedoman hidup umat manusia
dengan tulisan Arab.
2) Hadis dan Sunnah
Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Alquran yang berupa
perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi‟liyah), dan sikap diam
(sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat
(sekarang) dalam kitab-kitab hadist. Dengan kata lain, di dalam hadits
berisikan tentang cerita singkat dan berbagai informasi mengenai apa yang
dikatakan, diperbuat, disetujui dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad Saw,
dan penjelasan teoritik tentang Al-quran. 4
Ciri-ciri Hukum Ekonomi Islam: 5
a) Kepemilikan multi jenis.
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep kepimilikan multi jenis.
Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah
kepemilikan swasta. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik
primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah. Sedangkan, manusia diberi
amanah untuk mengelolanya jadi manusia dianggap sebagai pemilik
sekunder.
b) Kebebasan bertindak atau berusaha.
Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada
kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang
profesional dan prestatif dalam segala bidang termasuk bidang ekonomi dan
bisnis. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis meniadikan nabi sebagai teladan
dan model dalam melakukan aktivitasnya.
c) Keadilan sosial
Semua sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama, yaitu
menciptakan sistem perekonomian yang adil. Namun tidak semuanya sistem
tersebut mampu dan secara tegas menjalankan prinsip-prinsip keadilan.

4
Ibid.,hal. 9.
5
Faisal, Hukum Ekonomi Islam, (Sulawesi: Unimal Press, 2015), hal.54.
6

Dari situ bisa di simpulkan, bahwa adanya Hukum Ekonomi Islam


sangatlah penting keberadaannya, karena dengan adanya aturan-aturan yang
sesuai syariat Islam, mayoritas orang yang beragama Islam memahami aturan
mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Selain itu,
selaras atau sejalan dengan syariat Islam untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat.
2. Perlindungan Konsumen
Dengan adanya Hukum Ekonomi Islam sangat berpengaruh
keberadaannya, karena pada era sekarang ini banyak perdagangan bebas yang
masuk dengan dukungan teknologi yang semakin canggih dan meluasnya cara
impor barang dari luar negeri ke dalam negeri, sehingga masyarakat pun juga
lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan baik barang maupun jasa. Hal
tersebut sangat bermanfaat terhadap para konsumen. Namun, disisi negatifnya,
konsumen di jadikan sasaran oleh para produsen. Dengan semakin banyaknya
konsumen yang mencari barang kebutuhan, produsen memanfaatkan
kesempatan tersebut dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Hal yang harus disadari adalah lemahnya kedudukan konsumen, hal ini
disebabkan karena tingkat kesadaran dan pendidikan konsumen yang relatif
rendah, di samping itu juga pemahaman terhadap kegiatan ekonomi dan etos
kerja yang rendah. Misalnya bisnis harus bertujuan mencari keuntungan semata
tanpa memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram, bisnis tidak
memiliki etika (nurani), dan lain sebagainya.
Untuk itu perhatian terhadap konsumen sangatdi perlukan, karena setiap
orang pada suatu waktu tertentu, baik sendiri maupun berkelompok, dalam
situasi dan kondisi apapun pasti akan menjadi konsumen (pihak pemakai), baik
terhadap barang maupun jasa, oleh karena itu, diperlukan pemberdayaan
konsumen. Perlindungan konsumen ini sangat berkaitan dengan kegiatan
bisnis, yakni perdagangan barang dan jasa dalam lingkup kegiatan ekonomi.
Maka dari itu, berkaitan dengan perlindungan konsumen, maka perlu ditelaah
dari berbagai sudut pandang.
Salah satu hal penting yang perlu pemahaman adalah masalah
perlindungan konsumen dalam perspektif hukum bisnis Islam (bisnis syari'ah).
7

Hal ini penting karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, dengan
demikian seharusnya nilai-nilai ajaran Islam mendasari peraturan perundang-
undangan yang mengatur kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berbagai bidang.
Oleh sebab itu, perlu ditelaah apakah Islam memberikan rambu-rambu
mengenai perlindungan konsumen dan apakah rambu-rambu (ketentuan)
tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai hukum bisnis Islam (bisnis syari'ah).
Seperti yang telah kita dengar, bahwa Rasulullah SAW juga mengajarkan
prinsip bisnis mengandung nilai-nilai perlindungan terhadap hak-hak
konsumen. Karena itu, kejujuran, keadilan dan transparansi merupakan pondasi
ajaran Islam dalam berbisnis. Bahwasannya sebelum bangsa Barat dan dunia
modern mengenal perlindungan konsumen, Islam telah mengimplementasikan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen tersebut dalam tataran
praktis.
Di Indonesia, untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen
atas produk barang dan/atau jasa yang dibeli, pada tanggal 20 Apri 1999
Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan UndangUndang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan
awal pengakuan perlindungan konsumen secara legitimasi formal yang menjadi
sarana dan kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha
sebagai penyedia/pembuat produk bermutu.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini memuat aturan-aturan yang
dijadikan sebagai payung hukum bagi peraturan perundang-undangan lain yang
menyangkut konsumen, dan sekaligus mengintegrasikannya sehingga dapat
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Perlu
diperhatikan, bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen ini bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
8

konsumen, tetapi terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru


yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. 6
Adapun secara terperinci tujuan perlindungan konsumen dalam hukum
Islam seperti:7
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri. Hal ini, menghindari adanya pemanfaatan konsumen yang
dilakukan semena-mena oleh para produsen.
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif, pemakaian barang dan/atau jasa.
Maksutnya para produsen tidak meremehkan konsumen. Contohnya,
sebelum seorang konsumen membeli baju mereka punya kemampuan dan
kesadaran bahwa harga yang ditawarkan oleh produsen selaras tidak
dengan kualitas barang yang dijualkannya tersebut.
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Tidak asal nurut saja dengan
perkataan seorang penjual/produsennya.
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure
kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produk barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Tetapi dalam perlindungan konsumen, seorang konsumen pun juga harus
memunyai etika atau perilaku yang baik agar tidak diremehkan juga, misal
dalam sebuah perekonomian konsumen berhadapan dengan seorang produsen,
seorang konsumen harus:

6
Nurhalis, “Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999” dalam http://www.jurnalius.ac.id, diakses 18 September 2020
7
Ibid., hal. 530.
9

1) Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa.


Maksudnya seorang konsumen harus mempunyai etika dan sopan santun
dalam melakukan sebuah transaksi dengan seorang produsen. Jangan
mentang-mentang kita pembeli kemudian seenaknya saja dengan seorang
penjual.
2) Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang dan/atau jasa
yang akan dibeli atau digunakan. Hal ini perlu di lakukan untuk
menghindari adanya kecurangan dari seorang produsen. Karena banyak
sekarang produsen menjual barang dagangan yang kualitasnya jelek namun
harganya mahal, tidak selaras dengan kualitas barangnya.
3) Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati dan
dilandasi rasa saling rela merelakan. Maksudnya setelah kita melakukan
negosiasi dengan penjual, dapat harga akhir berapa jika kita sudah memiliki
kesepakatan, maka kita harus menerima hasil akhirnya, tanpa ada rasa
dendam ataupun kesal terhadap orang yang bertransaksi dengan kita.

C. Macam-macam Hak Konsumen dan Produsen


Hak yang dimiliki oleh konsumen yang sudah diatur dalam Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hukum
perlindungan konsumen ini lahir dari adanya keasadaran konsumen bahwa
adanya hubungan hukum yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan
konsumen. Secara sosiologis, hukum perlindungan konsumen hadir untuk
memberi kepastian hukum yang melindungi kepentingan konsumen. Hal ini
mengingat konsumen seringkali ada dalam posisi pihak lebih lemah dari pelaku
usaha.
Kebijakan hukum dan politik hukum perlindungan konsumen ini secara
tidak langsung juga membawa konsekuensi hukum bagi konsumen dan pelaku
usaha, khsusunya terkait hak dan kewajiban sebagai subyek hukum perlindungan
konsumen. Adapun hak-hak konsumen dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4 meliputi:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi
barang dan/atau jasa.
10

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Adapun hak konsumen ini berjalan berdampingan dengan kewajiban
konsumen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang meliputi:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Menyeimbangi hak yang dimiliki konsumen sebagiamana diatur dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka Pasal 6 menentukan pula hak
yang dimiliki oleh pelaku usaha, meliputi:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
11

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang


beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sebagai bentuk konsistensi dan konsekuensi hukum ditentukannya hak
konsumen secara normatif, maka diatur pula kewajiban pelaku usaha meliputi:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Secara eksplisit, keberadaan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen lebih menekankan pada pelaku usaha dalam menjalankan usahanya
untuk menerapkan prinsip itikad baik. Hal ini disebabkan kemungkinan
12

terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak produk dirancang atau


diproduksi oleh pelaku usaha. Sehingga diharapkan dengan mengedepankan
kegiatan usaha yang menjalankan itikad baik dan mempertimbangkan segala
aspek yang baik bagi konsumen, maka dapat menghindari kerugian yang akan
diterima konsumen dikemudian hari.
Di sisi lain, konsumen juga harus menyadari akan hak-haknya sebagai
seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control)
terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. 8

D. Harta dan Pembagiannya


1. Pengertian harta
Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok
bahasan yang penting dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-
maal secara bahasa berarti condong, cenderung atau miring. Sedangkan secara
istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia
untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta
kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh,
adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan
hal itu terutama menyangkut yang kongkrit.
Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua
unsur. Pertama, unsur „aniyyah dan Kedua, unsur „urf. Unsur „aniyyah berarti
harta itu berwujud atau kenyataan (a‟yun). sebagai contoh, manfaat sebuah
rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau
hak. Sedangkan unsur „urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh
seluruh manusia atau oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara
sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah
maupun ma‟nawiyyah.
Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan
bahwa terdapat lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-
maal atau harta. Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik
8
Heru Saputra Lumban Gaol dan Fransisca Yanita Prawitasari, “Kedudukan Pelaku
Usaha dan Konsumen dalam Hukum Perlindungan Konsumen” dalam
http://journal.ubaya.ac.id/index.php/yustika, diakses 9 September 2020
13

Allah ta‟ala, manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun


demikian, Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Untuk itu Islam
mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-
menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan
mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya,
harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang
dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam
firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
(Q.S. An-Nisa: 29-32).
2. Pembagian Jenis-jenis Harta
1) Harta mutaqawwim dan harta ghair al -mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai
dengan pekerjaan dan dibolehkan syara‟ untuk memanfaatkannya. Maksud
pengertian harta ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta
mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan
pekerjaan dan dilarang oleh syara‟ untuk memanfaatkannya.
2) Mal mitsli dan mal qimi
harta mitsli dan qimi sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau
kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau
kesatuannya. harta yang ada duanya atau dapat ditukar dengan hal serupa
dan sama disebut mitsli dan harta yang tidak duanya atau berbeda secara
tepat disebut qimi.
3) Mal istihlak dan mal isti‟mal
harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali
pakai sedangkan harta isti‟mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali
pakai.
14

4) Mal manqul dan mal ghair al-manqul


Harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari
tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula
ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan
tersebut. Sedangkan harta ghair al-manqul maksudnya segala sesuatu yang
tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya
dari satu tempat ketempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah,
pabrik, sawah dan lainnya.
5) Harta „ain dan dayn
Harta „ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta
yang menjadi tanggung jawab seperti uang yang dititipkan ke orang lain.
6) Harta nafi‟i
Harta nafi‟i yaitu harta yang tidak berbentuk
7) Harta mamluk, mubah dan mahjur
Harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian
baik individu, umum atau negara. harta mubah yaitu hukum harta pada
asalnya yaitu tidak ada yang memiliki. sedangkan, harta mahjur yaitu harta
yang tidak boleh dimilikioleh pribadi.
8) Harta dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Pembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan
kerugian atau kerusakan apabila dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu
harta tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti
beras. sedangkan, harta yang tidak dapat dibagi yaitu harta menimbulkan
kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti benda-benda mewah.
9) Harta pokok dan hasil
Harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain
atau dalam istilah ekonomi disebut harta modal.
10) Harta khas dan „am
Harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil
manfaatnya jika tidak direstui pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta
milik umum yang dibebaskan dalam mengambil manfaatnya.
15

Selain harta, hal penting dalam bahasan syariah islam yaitu tentang
kepemilikan harta itu sendiri. kepemilikan (al-milkiyyah) adalah istilah hukum
Islam yang menandakan hubungan antara manusia dan harta yang menjadikan
harta itu secara khusus melekat padanya. Berdasarkan definisi ini, perolehan
properti oleh seorang individu, dengan cara yang sah, memberikan hak
kepadanya untuk memiliki hubungan eksklusif dengan properti itu,
menggunakan atau menanganinya selama tidak ada hambatan hukum untuk
berurusan seperti itu.
Pada dasarnya menurut firman Allah SWT sesungguhnya seluruh harta
atau kekayaan adalah milik Allah SWT seperti firmannya pada Ayat alquran
surat Al-maidah ayat 20:
“Dan ingatlah ketika musa berkata kepada kaumnya: hai kaumku,
ingatlah nikmat allah atasmu keika ia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan
dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka, dan diberikannya kepadamu
apa-apa yang belum pernah diberikan kepada seseorangpun diantara umat
umat yang lain.”
Dalam Islam kepemilikan harta dibagia atas kepemilikan pribadi atau
individu, kepemilikan bersama atau komunal/umum dan kepemilkan milik
negara.

E. Kepemilikan
Kepemilikan merupakan aset dalam sebuah aktivitas ekonomi. Misalnya
kepemilikan terhadap suatu benda. Kepemilikan ini disebut kegiatan ekonomi
sebab dengan aset kepemilikan roda ekonomi dapat dijalankan dan sudah
menjadi hal yang pasti bagi manusia dalam menjalani sebuah perekonomian,
dengan kepemilikannya tersebut, maka akan berusaha mendapatkan untung dari
harta yang menjadi miliknya. Bisa dibilang mendapatkan laba.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, yang dimaksud dengan milik adalah
penguasa terhadap sesuatu, yang penguasanya tersebut bisa dilakukan sendiri.
Tindakan-tindakan terhadap sesuatu yang di kuasainya itu dan dapat di nikmati
16

manfaatnya apabila tidak ada halangan syara‟. Dalam pembagiannya, hak milik
itu dibagi menjadi dua, yaitu:9
1. Hak milik yang sempurna,
maksutnya hak milik yang dimiliki penguasanya terhadap bendanya dan
manfaatnya secara kesesluruhan. Pembatasan terhadap penguasanya hanya di
dasarkan kepada pembatasan yang di tentukan oleh syara‟.
Ciri-ciri hak milik sempurna tidak dibatasi dengan waktu tertentu dan
pemiliknya mempunyai kebebasan menggunakan, memungut hasilnya, dan
melakukan tindakan terhadap hak miliknya sesuai keinginannya.
2. Hak milik yang kurang sempurna
Maksutnya kepemilikan tersebut hanya meliputi bendanya saja atau
manfaatnya saja. Tidak bisa menerima keduanya antara benda dan
manfaatnya.
Ciri-ciri hak milik yang kurang sempurna, hanya memiliki bendanya saja
tanpa manfaatnya dan sebaliknya.
Kepemilikan dalam konsep hukum Islam dapat diperoleh dengan
beberapa cara, yakni:
1. Pertama, dengan cara ihrazul mubahat yakni memiliki sesuatu benda yang
memang dapat dan boleh dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti
contohnya berburu, membuka tanah baru yang belum ada pemiliknya,
mengusahakan pertambangan
2. Kedua, disebabkan karena adanya akad, yakni mengadakan perjanjian
dengan seseorang atau lebih untuk mengikat diri terhadap sesuatu yang
diperjanjikan.
3. Ketiga, disebabkan oleh khalafiyah, yakni bertempatnya seseorang atau
sesuatu yang baru di tempat yang lama yang telah hilang pada berbagai
macam rupa hak.
4. Keempat, disebabkan oleh attawalludu minal mamluk, yakni pemilikan atau
hak yang tidak dapat di gugat dan merupakan dasar-dasar yang telah tetap
(seperti susu lembu merupakan hak bagi pemilik lembu).

9
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, (Jakarta: Prenadamedia, 2016), hal. 47-49.
17

Dapat di simpulkan bahwa Allah menciptakan suatu harta kekayaan


untuk dicari, dimiliki, dan kemudian digunakan dengan baik demi kesejahteraan
manusia. Kekayaan adalah alat pendukung hidup manusia, oleh sebab itu, setiap
manusia memiliki bagian dan hak untuk memilikinya. Kepemilikan itu di anggap
baik dan diberkati oleh Allah SWT manakala mengetahui batas-batasnya dan
tidak melanggar aturan yang telah di tetapkan oleh Allah SWT dan aturan
perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.

F. Teori Perjanjian (Nadhariyyat al-‘Aqd) dalam Islam


Perjanjian dalam kehidupan manusia untuk melindungi hak dan
kewajiban yang seimbang. Dalam Hukum Islam dikenal dengan istilah al‟-aqd
(Bahasa Arab) kemudian diadopsi dalam Bahasa Indonesia dengan akad yang
berarti perikatan, permufakatan. Suatu perikatan antara ijab dan qobul dengan
cara yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada
objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Dari pengertian tersebut menerangkan bahwa akad merupakan suatu
perbuatan yang disengaja dibuat oleh dua belah pihak atau lebih mengenai suatu
benda yang dihalalkan menjadi obyek suatu transaksi. Berdasar kesediaan
masing-masing dan mengikat pihak-pihak didalamnya dengan beberapa hukum
syara‟ yaitu hak dan kewajiban yang diwujudkan oleh aqd tersebut. Secara
terminologi fiqih akad di definisikan dengan “pertalian ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”.
Menurut Tahir Azhari hukum perikatan menurut Hukum Islam
merupakan seperangkat hukum yang berasal dari Al Qur‟an Sunah dan al-Ra‟y
(ijtihad) yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu
benda yang dihalalkan menjadi obyek dalam suatu transaksi.
Sedangkan menurut Hukum positif atau Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan bahwa Perjanjian adalah “ suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain dan dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melakukan sesuatu hal” dengan demikian setelah adanya perjanjian yang
18

menimbulkan perikatan maka disebut perjanjian tertulis sebagai bukti kedua


belah pihak.
Perbedaan pokok hukum perjanjian, sahnya perjanjian. Hukum perjanjian
Syariah meliputi halal, sepakat, cakap, tanpa paksaan, ijab dan qobul. Perspektif
hukum positif dalam hukum perjanjian, yaitu sepakat, cakap, hal tertentu, sebab
tertentu menurut pasal 1320 KUH Perdata. Dasar hukum dari adanya suatu
perdagangan atau Jual beli adalah dengan adanya perjanjian yang mengikat para
pihak.
Perspektif Hukum Islam orientasi dan pengembangan teori umum
tentang Hukum Islam sangat signifikan karena lahirnya beberapa institusi
syariah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dan
Muamalat Islam, serta makin berkembangnya bisnis umat Islam yang diiringi
munculnya keinginan untuk menyelaraskan bisnis sebagai fenomena modern,
dengan ketentuan-ketentuan Hukum Islam yang orisinil.
Pengertian Syari‟ah secara etimologi berasal dari bahasa Arab dari kata
Syara‟a yang berarti jalan. Syari‟ah Islam berarti jalan dalam agama Islam atau
peraturan dalam Islam. Pembentukan Hukum Islam berdasarkan Al-quran dan
Hadis, kedua sumber ini merupakan sumber primer dalam pembentukan Hukum
Islam. Tidak ada satu peraturanpun dalam Islam yang bertentangan dengan Al-
quran dan Hadis. Setiap hukum yang dibentuk berdasarkan Al quran dan Hadis
akan menghasilkan “hukum yang yang berkeadilan”.
Keadilan menurut kasani merupakan salah satu ketakwaan yang paling
baik dan salah satu kewajiban paling penting setelah iman kepada Allah SWT.
Keadilan dalam hukum islam terkait dengan ekonomi harus dapat menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat sendiri, baik secara kelompok maupun secara
individu. Secara terminologi, syari‟ah bermakna Tuhannya, hubungan manusia
dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan di alam
semesta. Berdasarkan pengertian diatas, Syari‟ah dibagi ke dalam dua bagian
besar, yaitu:
1. Ibadah adalah peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
19

2. Mu‟amalah adalah peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan


sesamanya dan manusia dengan seluruh alam. Dalam mua‟malah ada 2 yaitu
Mu‟amalah al-khas termasuk kategori transaksi perdagangan atau bisnis.
Mu‟amalah al-„am termasuk dalam kategori ini pidana (jina‟yah), tata
Negara (siya‟sah) hukum acara.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsumen menurut Undang-
undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain.
Hukum ekonomi islam merupakan kumpulan peraturan yang berkaitan
dengan aktivitas ekonomi, seperti jual beli, perdagangan, dan perniagaan yang
didasarkan pada hukum Islam. Sumber dari hukum ekonomi islam adalah Al-
Qur‟an dan As-sunnah. lemahnya kedudukan konsumen di dalam perekonomian
memunculkan sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan
konsumen. Tujuannya agar konsumen bisa memiliki kebebasan atas hak-hakya
sebagai konsumen.
Hak yang dimiliki oleh konsumen yang sudah diatur dalam Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen
berada pada pasal 4 dan kewajibannya ada pada pasal 5. Sedangkan, untuk hak
produsen atau pelaku usaha ada pada pasal 6. konsumen harus menyadari akan
hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan
sosial (social control) terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan
pemerintah.
Harta merupakan sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk
keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Pembagian
harta ada beberapa jenis, yaitu harta mutaqawwim dan harta ghair al-
mutaqawwim, mal mitsli dan mal qimi, mal istihlak dan mal isti‟mal, Mal
Manqul dan mal ghair al-manqul, harta „ain dan dayn, harta nafi‟i, Harta
mamluk, mubah dan mahjur, harta dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, harta
pokok dan hasil, harta khas dan „am. Dalam Islam kepemilikan harta dibagi atas
kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan bersama atau komunal/umum
dan kepemilkan milik negara.

20
21

Kepemilikan merupakan aset dalam sebuah aktivitas ekonomi. Aset


tersebut bisa berupa uang atau harta benda. Allah menciptakan suatu harta
kekayaan untuk dicari, dimiliki, dan kemudian digunakan dengan baik demi
kesejahteraan manusia. Kekayaan merupakan alat pendukung hidup manusia,
oleh sebab itu, setiap manusia memiliki bagian dan hak untuk memilikinya.
Tujuan perjanjian dalam kehidupan manusia untuk melindungi hak dan
kewajiban yang seimbang. Istilah al‟-aqd yang mempunyai arti akad yang
berarti perikatan, permufakatan. Secara umum, akad merupakan suatu perbuatan
yang disengaja dibuat oleh dua belah pihak atau lebih mengenai suatu benda
yang dihalalkan menjadi obyek suatu transaksi.

B. Saran
Demikianlah yang dapat kami uraikan tentang kedudukan
produsen dan konsumen dalam bisnis syariah, kami menyarankan
kepada para pembaca makalah ini yang ingin mengetahui lebih dalam
lagi tentang kedudukan produsen dan konsumen untuk mencari
referensi melalui berbagai media yang ada. Karena dalam penulisan
makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik
dari segi penulisan maupun segi penyusunan kalimatnya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.
DAFTAR RUJUKAN

Cindiawati. 2016. “Perkembangan Perjanjian Baku dalam Praktik


Perdagangan (Prespektif Hukum Islam dan Prespektif Hukum
Positif)”. Jurnal Hukum dan Syariah, (Online), 7 (2), 219-
242. (http://www.media.neliti.com), diakses 19 September
2020
Faisal. 2015. Hukum Ekonomi Islam. Sulawesi: Unimal Press.
Gaol, Heru Saputra Lumban dan Fransisca Yanita Prawitasari. 2010.
“Kedudukan Pelaku Usaha dan Konsumen dalam Hukum
Perlindungan Konsumen”. Jurnal YUSTIKA, (Online), 21
(2), 28-43, (http://journal.ubaya.ac.id/index.php/yustika),
diakses 9 September 2020
Manan, Abdul. 2016. Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif
Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta: Prenadamedia
Nurhalis. 2015. “PerlindunganKonsumendalamPerspektif Hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999”. Jurnal
IUS, (Online), 3 (9), 527 – 533, (http://www.jurnalius.ac.id),
diakses 18 September 2020.
Nurohman, Dede. 2011. Memahami Dasar-dasar Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Teras
Soemitra, Andri. 2019. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah.
Jakarta Timur: Prenadamedia
Yuliadi, Imamudin. 2001. Ekonomi Islam Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

22

Anda mungkin juga menyukai