Anda di halaman 1dari 18

KAIDAH KEDUA

ِّ ‫الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬
‫َّك‬ ‫ق‬ِ ‫الي‬
‫نْي‬
ُ َ
Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Kaidah Fiqih

Dosen Pengampu : Dr. Zawawi, M.A.

Disusun Oleh :

Ghany M. Syafriansyah (4117095)

Nisrina Ade Safika (4117099)

M. Khoerul Ifan (4117101)

KELAS F

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan

ِّ ‫بِالش‬
makalah kami dari mata kuliah Kaidah Fiqih dengan tema “ ‫َّك‬ ‫”اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل‬
ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan di dalamnya.

Kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Zawawi, M.A. selaku
dosen pembimbing dalam mata kuliah Kaidah Fiqih di IAIN Pekalongan yang
telah memberikan tugas ini kepada kami, serta kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat


kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan yang bersifat membangun demi memperbaiki makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Demikian makalah ini kami susun, kami sangat berharap makalah ini
dapat bermanfaat baik bagi diri kami sendiri maupun bagi orang yang
membacanya guna menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai kaidah
fiqih.

Pekalongan, Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

A. Makna Kaedah..............................................................................................3

B. Dalil Kaedah.................................................................................................5

C. Kedudukan Kaedah.......................................................................................9

D. Contoh Penerapan Kaedah..........................................................................10

BAB III..................................................................................................................12

A. Kesimpulan.................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah fiqih adalah masalah yang selalu berkembang seiring dengan
perkembangan zaman, sedangkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah ash-
Shohihah yang menjadi dasar hukum masalah fiqih terbatas, karena keduanya
terputus dan tidak berkembang lagi dengan wafatnya Rasulullah Saw.,
sedangkan sudah dimaklumi bersama bahwa sesuatu yang terbatas tidak
mungkin bias mengiringi sesuatu yang tak terbatas dan selalu berkembang,
maka para ulama’ berjuang dan berusaha keras untuk merumuskan berbagai
kaedah yang terambil dari kedua wahyu tersebut untuk bias digunakan
sepanjang masa, sampaipun terhadap masalah-masalah yang belum pernah
ada wujudnya pada zaman turunnya wahyu.

Kaedah ini terbagi menjaadi 2, yakni kaedah yang berhubungan


dengan dalil (ushul fiqh) dan kaedah yang berhubungan langsung dengan
amal perbuatan hamba (qawa’id fiqhiyyah).1 Dari sini, diketahuilah betapa
pentingnya ilmu fiqih ini. Melalui makalah ini, penyusun akan memaparkan

ِّ ‫اليَ ِقنْي ُ الَ َيُز ْو ُل بِالش‬.


materi tentang salahh satu qawa’id fiqhiyyah yakni ‫َّك‬

B. Rumusan Masalah
ِّ ‫? اليَ ِقنْي ُ الَ َيُز ْو ُل بِالش‬
1. Apa makna kaedah ‫َّك‬

ِّ ‫? اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬


2. Bagaimana dasar dalil kaedah ‫َّك‬

ِّ ‫? اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬


3. Bagaimana kedudukan kaedah ‫َّك‬

ِّ ‫? اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬


4. Bagaimana contoh penerapan kaedah ‫َّك‬

1
Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami, (Jawa Timur: Yayasan Al-Furqon
Al Islami, 2016), hlm. Ix-x.

1
C. Tujuan Penulisan
ِّ ‫اليَ ِقنْي ُ الَ َيُز ْو ُل بِالش‬.
1. Untuk mengetahui makna kaedah ‫َّك‬

ِّ ‫اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬.


2. Untuk dasar dalil kaedah ‫َّك‬

ِّ ‫اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬.


3. Untuk mengetahui kedudukan kaedah ‫َّك‬

ِّ ‫اليَ ِقنْي ُ الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬.


4. Untuk mengetahui contoh penerapan kaedah ‫َّك‬

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Kaedah
ِ
ُ ‫ اليَقنْي‬secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil

ِ ‫ َي َق َن اْملاءُ يِف اْحلَ ْو‬: yang artinya air itu tenang dikolam.
kata kata bahasa Arab ‫ض‬
َ
Adapunُ‫ك‬ َّ ‫ ا‬secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya
ّ ‫لش‬
adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak
bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan

ّ ‫الش‬.
salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan ُ‫َّك‬

Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang


itu bertingkat tingkat, yaitu:

ِ
1. ُ ‫اليَقنْي‬: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
2. ‫ الظَّ ُّن‬: persangkaan kuat
Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah
haram, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil
yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang

ُّ َّ‫الظ‬.
dinamakan dengan ‫ن‬

3. ُ‫َّك‬
ّ ‫الش‬: keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu
diantara keduanya.

3
4. ‫الو ْه ُم‬
َ : persangkaan lemah
Contoh: pada kasus ‫الظَّ ُّن‬, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya

perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan ‫الو ْهم‬.


ُ َ
Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah

kebohongan (‫ )اجلَهل‬dan ia terbagi menjadi dua macam:

ُ ‫( اجلَ ْه ُل البَ ِس ْي‬kebodohan yang ringan) yaitu orang yang tidak tahu dia
1. ‫ط‬

menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui.


2. ُ ‫(اجلَ ْه ُل ال ُم َر َّك‬keboodohan berat) yaitu orang yang tidak tahu tapi mengaku
‫ب‬
mengetahuinya.
Jadi makna kaedah diatas adalah:
“bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa
dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakini juga, dalam artian
tidak bisa dihilangkan hanya sekedar sebuah keraguan, demikian juga sesuatu
yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukum bahwa itu telah terjadi
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga”.2

Didalam kitab-kitab fikih banyak membicarakan tentang keyakinan


dan keraguan, seperti orang yang sudah yakin suci dari hadas kemudian
merasa ragu, apakah wudhunya sudah batal atau belum, maka dia tetap dalam
keadaan suci. Akan tetapi untuk kehati-hatian, lebih utama adalah
memperbarui wudhunya. Begitu juga seorang istri mengaku belum diberi
nafkah untuk beberapa waktu, maka yang dianggap benar adalah istri, karena
yang meyakinkan adanya tanggung jawab suami terhadap istrinya untuk
memberi nafkah, kecuali suami mempunyai bukti yang menyakinkan. Contoh
lain adalah seorang debitor mengaku telah membayar uatangnya kreditor

2
Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami, (Jawa Timur: Yayasan Al-Furqon
Al Islami, 2016), hlm. 28-29.

4
tetapi si kreditor tidak mengakuinya, maka yang meyakinkan adalah belum
ada pembayaran utang, kecuali ada bukti lain yang meyakinkan, seperti
kuitansi pembayaran yang sah. Lain halnya dengan kasus misalnya, si A
mengaku bahwa si B berhutang kepadanya, tetapi si B menyatakan bahwa dia
ditak mempunyai hutang kepada si A. Maka, yang diakui adalah perjataan si
B, karena pada asalnya tidak ada utang piutang antara si A dan B. Kecuali si
A mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa si B mempunyai hutang
kepadanya, misalnya kuitansi penyerahan uang dari si A kepada si B.

Contoh lain dalam kasus fiqh siyasah tentang pemilihan kepala daerah
(KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang menang dan kelompok B yang
kalah. Kemudian kelompok B mengajukan gugatan bahwa seharusnya
kelompok A yang kalah dan kelompok B yang menang. Alasannya karena
adanya kecurangan. Maka dalam hal ini, yang meyakinkan adalah bahwa
telah terjadi pemilihan umun dan kelompok A yang menang. Kecuali apabila
kelompok B memberikan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan pula bahwa
kelompoknya yang menang. Contoh lain dalam fiqh jinayah,
apabilaseseorang menyangka kepada orang lain melakukan kejahatan, maka
sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan
meyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan. Kaidah ini
sama dengan asas praduga tak bersalah. Selain itu secara moral, seorang
muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) selalu ada bukti yang
meyakinkan bahwa dia tidak baik.3

B. Dalil Kaedah
Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadist
Rosululloh SAW diantaraya:

3
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Kaidah Fiqh, cet. 1, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012),
hlm. 84.

5
Firman Allah Ta’ala:

…‫َو َما يَتَّبِ ُع اَ ْكَث ُر ُه ْم أِاَّل ظَنَّا أِ َّن آلظَّ َّن اَل يُ ْغىِن ِم َن اُحْلَ ِّق َشْيئًا‬

“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan,


sesungguhanya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran” (QS. Yunus: 36).

Hadist Rasulullah SAW:

‫َح ٌد ُك ُم يِف بَطُنِ ِه‬ ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬


َ ‫صلَّى اللَّه َعلَْيه َو َسلَّ َم أ َذا َو َج َد أ‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫َع ْن أَيب ُهَر ْيَر َة قَ َال ق‬
‫سج ِد َحىَّت يَ ِّس َم ُع‬
ِ ‫ش يعا فَ أَ ش َكل علَي ِه أَخ رج ِمْن ه ش يء أَم الَ فَاَل خَي ْ ر ج َّن ِمن الْم‬
َ َ َ ُ ْ ٌ َ ُ َ ََ ْ َ َ ُ ًَْ
‫ص ْوتًا أ َْو جَيِ َد ِرحيًا‬
َ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “apabila salah


seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan
menentukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belu, maka jangan
membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau”
(HR. Muslim: 362)

Imam Nawawi berkata: “Hadits ini adalah salah satu pokok islamm
dan sebuah kaedah yang besar dalam maslah fiqih, yaitu bahwa segala
sesuatu itu dihukum bahwa dia tetap pada hukum. Asalnya sehigga diyakini
ada yang bertentangan denganya, dan tidak membayangkan baginya sebuah
keraguan yang muncul.” (lihat Syarah Sholih Muslim 4/39)

6
ُ ‫ص لَّى اللَّ ُه َّم َعلَْي ِه َوس لَّ َم الر‬
‫َّج ُل‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َع ْن َعبَّ اد ِبْ ِن مَت ي ٍم َع ْن َع ِّمه َش َكا إِىَل َرسُول اللَّه‬
‫ف َحىَّت يَس َم ُع‬ ْ ‫ص ِر‬ ِ َ ‫الص اَل ِة َف َق‬
َ ‫ال الََيْن َفت ْل اَل َيْن‬ َّ ‫الَّ ِذي خُيَيَّ ُل أِلَي ِه أَنَّهُ جَيِ ُد‬
َّ ‫الش ْيءَ يِف‬

‫ص ْوتًا أ َْو جَيِ َد ِرحْيًا‬


َ
Dari Abbad bin Tamin dari pamanya berkata: “bahwasanya ada
seseorang yang mengadu kepada Rasulullah bahwa dia merasakan seakan-
akan kenut dalam sholatnya. Maka Rasulullah bersabda: “janganlah dia
batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR.
Bukhari: 137, Muslim:361)

Imam Al Khotkhobi berkata: “hadist ini menunjukan bahwa keraguan


tidak mengalahkan sesuatu yang yakin.” (lihat Ma’alimus Sunnah 1/129)

‫َح ُد ُك ْم يِف‬ َّ ‫ص لَّى َو َس لَّ َم إِذَا َش‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ٍ ِ‫عن أَيِب س ع‬
َّ ‫يد احلُ َّد ِر‬
َ‫كأ‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬
َ َ‫ي ق‬ َ َْ
ِ َّ ‫الش‬ ِِ
َّ‫اس َتْي َق َن مُث‬
ْ ‫ك ولْيَْبن َعلَى َم ا‬ َ ‫ص اَل ته َفلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬
َّ ‫ص لَّى ثَاَل ثً ا أ َْم أ َْر َب ًع ا فَليَطْ َر ِح‬ َ
‫ص الَتَهُ َوإِ ْن َك ا َن‬ َ ‫يَسْ ُج ُد َس ْج َد َتنْي ِ َقْب َل أَ ْن يُ َس لَّ َم فَ ِإ َّن َك ا َن‬
َ ُ‫ص لَّى مَخْ ًس ا َش َف ْع َن لَه‬
ِ َ‫صلَّى إِمْتَاماأِل َرب ٍع َكا َنتَاَتر ِغيما لِلشَّيط‬
‫ان‬ ْ ًْ ْ َْ ً َ
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: Rosululloh bersabda: “Apabila salah
seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak
mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerjakan sholat, maka hendaklah
dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud
dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua
sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah
sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR.
Muslim:571)

7
‫َح ُد ُك ْم‬ ِ ِ
َ ‫ص لَّي اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َي ُق ْو ُل إذَا َس َها أ‬
َ َّ ‫ت النَّيِب‬
ِ ٍ
ُ ‫الر مْح َ ِن بْ ِن َع ْو ف قَ َال مَس ْع‬ َّ ‫َع ْن َعْب ِد‬
ِ ٍ ِ ِ ِ ِِ
َ ِ ‫ص لَّي أ َْو ث ْثنََتنْي ِ َفْليَنْب ِ َعلَى َوا ح َدة فَِإ ْن مَلْ يَ ْد ِر ث ْثنََتنْي‬
‫ص لَى أ َْو‬ َ ً‫صاَل ت ه َفلَ ْم يَ ْد ِر َوا ح َدة‬ َ ‫يِف‬
‫ث َولْيَ ْس ُج ْد‬ٍ َ‫ثَاَل ثَ ا َف ْلي ِ علَى ئِْثنََت ِ فَ ِإ ْن مَل ي ْد ِر ثَالَثَ ا ص لَّى أَو أَرب‘ًا َف ْلي ِ علَى ثَال‬
َ ‫ْ ْ َ َنْب‬ َ َْ ‫نْي‬ َ ‫َنْب‬
.‫َس ْج َدَتنْي ِ َقْب َل أَ ْن يُ َسلِّ َم‬
Dari Abdur Rohman bin auf berkata: “saya mendengar Rasululah hendak
bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia
tidak mengetahui apakah dia sudah shalat satu atau dua raokaat, maka
anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin
apakah sudah sholat sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa
dia baru sholat dua rokaat, begitulah pula apabila dia tidak mengetahui
apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia
baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)

َ‫ص ْو ُم ْوا َحىَّت َت َر ْوهُ َوال‬ َ َ‫ص َّل اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬
ُ َ‫ الَ ت‬: ‫ال‬ َ ِّ ‫َع ِن ابْ ِن عُ َم َر َع ِن النَّيِب‬
ِ ِ
ُ‫ُت ْفط ُروا َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُروا لَه‬

Dari Abdullah bin Umar berkata:”Rosululloh bersabda: “janganlah kalian


puasa sehingga kalian melihat hilal Ramadhan, juga janganlah kalian berbuka
sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung
maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.” (HR. Nasa’i 2122 dan
lainnya dengan sanad shohih)

Tatkala mengomentari hadis yang mirip dengan ini, Imam Ibnu


Abdil Bar dalam At Tamhid berkata: “bahwa sesuatu yang yakin itu tidak
bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan
dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak
meninggalkan sebuah keyakinann tentang keberadaan mereka masih dalam
bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan

8
melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh
hari.”

C. Kedudukan Kaedah
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, baik
yang berhubungan dengan fiqih maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’
menyatakan bahwa kaedah ini mencangkup tiga perempat masalah fiqih atau
mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi
hal:51)

Imam Nawawi berkata: “kaedah ini adalah sebuah kaedah pokok yang
mencangkup semua permasalahan, dan tidak keluar darinya kecuali beberapa
masalah saja.” (Al Majmu’ Syarah al Muhadzab 1/205)

Imam Ibnu Abdil Bar berkata: “Para ulama” telah sepakat bahwa
orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu ataukah dia sudah berwudlu
kembali ataukah belum? Bahwasannya keraguan ini tidak berfungsi sama
sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa
keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan
patokan adalah sesuatu yang menyakinkan ini adalah sebuah dasar pokok
dalam permasalahan fiqih.” (Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27).

Imam Al Qorrofi berkata: “Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh
para ulama’, bahwasannya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak
ada.” (Al Furuq 1/111).

Imam Ibnu Najjar berkata: “kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah
fiqih saja, bahkan bisa dijadikan dalil bahwasannya semua perkara yang baru
itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaanya,
sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban
syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasarnya
sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah
perintah itu menunjukkan pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu
menunjukkan pada keharaman serta masalah lainnya.”

9
D. Contoh Penerapan Kaedah
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup
hampir semua permasalahan syar’i, maka disini cukup disebut sebagiannya
saja sebagai sebuah contoh :
1. Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudhu, lalu ragu
apakah dua sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudhu
lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudhu, sedang batalnya masih
diragukan.
2. Dan begitu pula sebaliknya, apabila seorang yakin bahwa dia telah batal
wudhunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudhu kembali
ataukah belum? Maka dia wajib wudhu lagi karena yang yakin sekarang
adalah batalnya wudhu.
3. Barangsiapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah
seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah
air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu
suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah
keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah
air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
4. Barangsiapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur
yang ada kemungkinan bawhwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci
kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah
suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
5. Barangsiapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah
terjadi talak ataukah belum, maka nikahnnya tetap sah dan tidak perlu
digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
6. Orang yang pergi meinggalkan kampung halaman dalam keadaan sehat
namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka tetap
dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi
hartanya, sehingga datang berita yang menyakinkan bahwa telah
meninggal dunia atau dihukumi oleh pengadilan bahwa dia telah
meninggal dunia.

10
7. Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukimi
sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah
lagi, kecuali kalau datang berita menyakinkan bahwa suaminya telah
meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan
cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya
hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
8. Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu apakah dia
sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi
kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah
melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua
orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telas lunas.4
Wallahu a’lam

4
Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami…, hlm. 30-35.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, makna dari kaedah ‫اليَ ِقْي‬

ِّ ‫ ُن الَ َي ُز ْو ُل بِالش‬adalah bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak
‫َّك‬
bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakini juga, dalam
artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar sebuah keraguan, demikian juga
sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukum bahwa itu telah
terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.

Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, baik
yang berhubungan dengan fiqih maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’
menyatakan bahwa kaedah ini mencangkup tiga perempat masalah fiqih atau
mungkin malah lebih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Ahmad. 2016. Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami.Jawa Timur:


Yayasan Al-Furqon Al Islami.

Rohayana, Ade Dedi. 2012. Ilmu Kaidah Fiqh. Cetakan ke- 1. Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press.

13

Anda mungkin juga menyukai