Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PARTISIPASI POLITIK

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Politik
Indonesia

Dosen Pengampu : Khoiron, S.AP., M.IP

Disusun Oleh :

M. Tanwirul Huda (22001091020)

Lusy Sukmawati (22001091021)

Lydia Putri Irdawati (22001091028)

Solihin (22001091029)

Kartani (22001091050)

UNIVERSITAS ISLAM MALANG ( UNISMA )

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

ADMINISTRASI NEGARA

2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis pajatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah


melimphakan rahmat, taufik dan hidayah-nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah partisipasi politik ini dengan baik.

Makalah ini di harapkan mampu membantu penulis dalam memperdalam


mata kuliah “sistem politik” dalam kegiatan belajar.

Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen


pengampu ya itu bapak khoiron, S.AP,. M.AP dan kepada semua pihak yang
sedikit banyaknya telah terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak sekali kesalahan dalam pembuatan


makalah ini. Penulis mengharapkan saran dan kritikan terhadap makalah ini yang
bersifat membangun agar makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih.

Malang, 19 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Pengertian Partisipasi Politik............................................................................3
2.2 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik.....................................................................4
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik......................................7
2.4 Landasan Partisipasi Politik............................................................................10
2.5 Partisipasi Politik di Negara Berkembang......................................................10
2.6 Pengaruh Lembaga Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Politik...............12
2.7 Rasionalitas Masyarakat dalam Partisipasi Politik..........................................13
2.8 Tingkatan Partisipasi Politik...........................................................................13
BAB III PENUTUP.........................................................................................................17
3.1 Kesimpulan....................................................................................................17
3.2 Saran...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

.1 Latar Belakang
Demokrasi perkwakilan (representative democarcy) merupakan suatu
keniscayaan yang tidak bias dielakkan terjadi di dalam negara modern. Tetapi,
seiring dengan menurunnya tingkat kepercayaan publik (publik trust) terhadap
para wakil yang duduk didalam pemerintahan (elected officials), pelibatan
anggota masyarakat di dalam proses pembuatan keputusan-keputusan penting
yang menyangkut diri mereka sebagaimana ada dalam demokrasi langsung
(direct democracy) atau demokrasi yang bercorak patrisipatoris (participatory
democracy) yang pernah terjadi pada masa Yunani kuno kembali menjadi
rujukan yang penting (Held 1996).
Diantara poin-poin penting yang hendak ditawarkan oleh para penganut
direct democracy atau participatory democracy adalah gagasan tentang
pentingnya partisipasi publik di dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para wakil yang memiliki otoritas. Hal
ini tidak lepas dari pandangan bahwa demokrasi yang baik itu tidak hanya
berkaitan dengan prosedur dan isi (procedure and content), melainkan juga
berkaitan dengan hasil (result) dari prosedur dan isi di dalam demokrasi itu
(MOrlino, 2002). Pandangan yang terakhir ini sering dikaitkan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan politik. Karena itu, tidaklah
mengherankan kalau ada yang menekankan pertisipasi publik sebagai ‘the
practice of consulting and involving members of the publik in the agenda
setting, decision making and policy forming activities of organizations or
institutions responsible for policy development’ (Rowe and Frewer, 2004:
512).
Bab ini diarahkan untuk memperbincangkan partisipasi publik, budaya
pemilih dan demokrasi di Indonesia. Uraian secara teoretis tentang keterkaitan
antara partisipasi publik, dan budaya politik di dalam demokrasi, mengawali

1
pembahasan. Bagian kedua membahas pelembagaan demokrasi dan problem
ketrwakilkan di Indonesia pascareformasi. Bagian selanjutnya

1
memperbincangkan partisipasi desain kelembagaan untuk membangun
partisipasi publik. Setelah itu, secara khusus diperbincangkan partisipasi
publik dalam taraf yang minimal, yaitu pertisipasi melalui pemilu. Terakhir
adalah perbincangan tentang keterkaitan antara partisipasi publik dan budaya
politik.

.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan partisispasi politik?
2. Apa saja bentuk-bentuk dari partisispasi politik?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik?
4. Apa saja landasan partisipasi politik?
5. Bagaimana partisipasi politik di negara berkembang?
6. Bagaimana pengaruh lembaga sosial dalam meningkatkan partisipasi
politik?
7. Bagaimana rasionalitas masyarakat dalam partisipasi politik?
8. Bagaimana tingkatan partisipasi politik?

.3 Tujuan Masalah
Tujuan dari masalah yaitu untuk mengetahui dan memahami dan bisa kita
implementasi kan apa yang dinamkan dengan partisipasi politik, bentuk-
bentuk partisipasi politik serta landasan partisipasi politik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

.1 Pengertian Partisipasi Politik


Partisipasi politik merupakan salah satu ciri khas modemisasi politik dan
peningkatan status social ekonomi masyarakat menghasilkan partisispasi yang
lebih jelas. Di dalam masyarakat yang masih terbelakang. Urusan pemerintah
dan politik di anggap sebagai hanya urusan suatu golongan penduduk yang
kurang menyadiri bahwa kebijakan pemerinyah bias mempengaruhi
kehidupan mereka. Sebaliknya mereka juga dapat mempengaruhi tindakan-
tindakan pemerintah yang di pihak kepadanya dengan kekuatan politik.
Pertisipasi politik secara arfia berrti keikut sertaan dalam konteks politik.
Keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak
pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga
peluang untuk ikut serta dalam pelaksaan keputusan.
Umumnya para ahli mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau sekumpulan orang untuk turut terlibat secara aktif di dalam
politik yaitu untuk memilih kepemimpinan negara Bersama-sama secara
langsung atau tidak langsung. Kegiatan kegiatan ini mencakup pula
menentukan pilihan saat pemilu, menghadiri kempanye partai politik dan
menjadi anggota politik atau ormas.
Partisipasi di maknai sebagai pengambilan bagian atau pengikutsertaan.
Menurut adams (2004:83) partisipasi sangat penting bagi pembangunanm diri
dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi, individu menjadi warga
publik, dan mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan
masyarakat. Tanpa partisiapasi, nyaris semua orang akan di telan oleh
kepentingan pribadi dan penguasan kebutuhan orang yang berkuasa.
Menurut Miriam (1998:3) partisipasi politik merupakan pengejawantahan
dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh masyarakat. Anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam peroses politik melalui pemilu
terdorong oleh keyaki8nan bahwa melalui kegiatan Bersama itu kepentingan

3
mereka akan terjalur atau sekurangnya di perhatikan. Dengan kata lain,
mereka percaya

3
bahwa kegiatan mereka memeiliki efek, dan efek tersebut di namakan political
eficasy. Pada terminology sosiologi politik, di anggab bahwa lebih banyak
masyarakat turut berpartisispasi dala politik menunjukkan bahwa Pendidikan
politik masyarakat telat berhasil. Karena itu, makin banyak partisipasi
masyarakat, maka pelaksaan demokrasi semakin lebih baik tingginya tingkat
partisipasi masyarakat, di tunjukkan oleh banyaknya masyarakat mengikuti
dan memahami masalah politik dan turut atau ingin melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan poilitik.
Demikian juga sebaliknya, jika tingkat partisipasi politik masyarakat
rendah, maka ada indikasi bahwa pelaksanaan demokrasi yang di laksanakan
di suatu negara memberi tanda yang kurang baik. Indikasi yang dapat di
sebutkan bahwa masyarakat kurang atau bahkan sama sekali tidak berniat
untuk masalah masalah pemilu dan ketatanegaraan lainya.
Selanjutnya menurut Davis (1997:76) penyertaan pikiran dan emosional
dari orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka agar
menyumbangkan kemampuannya dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut
bertanggung jawab atas kelompoknya. Dari pengertian Davis tersebut,
disimpulkan terdapat tiga unsur penting yang harus dimiliki seseorang untuk
mau terlibat aktif dalam kegiatan partisipasi politik, yaitu: a) Yalvema Miaz
adanya penyertaan pikiran dan perasaan; b) adanya motivasi untuk
berkontribusi; dan c) adanya tanggung jawab bersama.
Moris Resenberg (2005:54) mengemukakan ada 3 alasan mengapa orang
malas berpartisipasi dalam kehidupan politik: a) Karena ketakutan
konsekuensi negatif dari aktivitas politik, dan sebagian orang beranggapan
bahwa politik ancaman dalam kehidupan; b) Karena beranggapan bahwa
partisipasi dalam kehidupan politik merupakan kesediaan dan beranggapan
bahwa berpartisipasi politiknya dan akan mempengaruhi proses politiknya;
dan c) Karena tidak adanya perangsang untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik.

.2 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

4
Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Cohen dan Uphoff (1997:23)
yang juga dikutip oleh Kaho (2000:57) adalah partisipasi dalam pembuatan

4
keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam
pemanfaatan hasil, dan partisipasi dalam evaluasi. Menurut Sulaiman dalam
Sastropoetro (1998:41), merumuskan bentuk-bentuk partisipasi politik yaitu
partisipasi dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka, partisipasi
dalam bentuk iuran uang, barang, dan prasarana, partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, dan partisipasi dalam bentuk dukungan. Sedangkan
jenis-jenis partisipasi politik menurutnya adalah partisipasi pikiran
(psychological participation), partisipasi tenaga (physical participation),
partisipasi pikiran dan tenaga (psychological and physical participation),
partisipasi keahlian (participation with skill), partisipasi barang (material
participation), dan partisipasi uang/dana (money participation).
Dalam bentuk-bentuk partisipasi politik di bagi menjadi 5 bagian :
1. electoral actifity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan pemilu atau pilkada. Termasuk dalam
kategori ini adalah ikut serta dalam memberi sumbangan untuk kampanye
atau rally politik sebuah partai, mengajak semua orang untuk medukung
dan memilih sebuah partai politik.
2. Lobbying, yaitu tindakan seseorang, ataupun sekelompok orang untuk
menghubungi pejabat pemerintah ataupun tokoh politik dengan tujuan
untuk mempengaruhi pemerintah atau tokoh politik tersebut yang
menyakngkut permaslahan tertentu tentang yang mempengarhi kehidupan
mereka. Kegiatan ini biasanya di lakukan untuk memperoleh dukungan
ataupun untuk mobilisasi dukungan dan tantangan terhadap masalah-
masalah tertentu yang hendak di tangani oleh pemerintah atau Lembaga
perwakilan rakyat.
3. Oraganizational, yaitu keterlibatan warga masyarakat kedalam berbagai
organisasi social dan politik, apakah itu sebagai pimpinan, aktivis ataukah
sebagai anggota biasa. Organisasi tersebut mempunyai fungsi
memepengaruhi pemerintah dalalm pembuatan kebijakan publik.
4. Contecting, yaitu partisipasi yang di lakukan oleh warga negara dengan
secara langsung ( medatangi ketempatnya bertugas, menghubungi lewat

5
telepon ) pejabat pemerintah atupun toko politik , baik din lakukan secara
individual ataupun kelompok orang yang sangat kecil jumblahnya.
5. Violence, yaitu cara-cara kekerasan untuk mempengaruhi pemerintah.
Cara yang di tempuh untjuk memepengaruhi pemerintah dengan
melakukan pengeruskan terhadap barang atau individu.

Menurut undang-undang no 2 tahun 2011, bahwasanya fungsi partai


politik yaitu : pertama, Pendidikan politik sebagai anggota dan masyrakat
luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
kedua, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; ketiga penyerap, penghimpun,
penyalur aspirasi politik masyrakat dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan negara; partisipasi politik negara warganegara Indonesia; dan
keempat , rekrutment politik dalam peroses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Pendidikan politik yang di lakukan partai politik masih sangat kurang.
Pendidikan politik yang di lakukan hanya pada masa kampanye menjelang
pemilu, yaitu Pendidikan memilih dalam hal pemilu dan visi misi parpol, hal
ini mengindikasikan bahwa Pendidikan politik yang di lakukan di arahkan
untuk memilih partai tersebut. Terkait hal ini , organisasi masa yang berafiliasi
dalam politik dapat melakukan Pendidikan terkait politik. Dengan ini
diharaplkan masyarakat dapat melek politik secara benar.

Dalam buku Perbandingan Sistem Politik yang disunting oleh Mas‟oed


dan Macandrews (1981) Almond membedakan partisipasi politik atas dua
bentuk yaitu:

a. Partisipasi politik konvensional yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang

“normal” dalam demokrasi modern.

b. Partisipasi polotik non konvensional yaitu suatu bentuk partisipasi politik


yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner.

6
Menurut Milbrat dan Goel dalam Rahman (2007:289), partisipasi
dibedakan menjadi:
a) Kelompok apatis, orang yang akan berpartisipasi dan menarik diri dari
proses politik
b) Spektor, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam
pemilihan umum.
c) Gladiotor, komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis
partai, pekerja kampanye dan aktivis masyarakat.
d) Pengkeritik, dalam bentuk partisipasi yang tidak konvensional.

.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Partisipasi Politik


A. Faktor-faktor yang memperngaruhi partisipasi politik
1. Faktor Sosial Budaya
Yang dimaksud dengan faktor sosial budaya adanya ikatan
primodialisme antara pasangan calon maupun kelompok pendukung
atas dasar solidaritas etnis, suku, struktur sosial budaya, atau sentiment
kedaerahan (narwoko dan Suyanto, 2006: 200).
2. Faktor Lingkungan Keluarga
Yang dimaksud faktor lingkungan keluarga adalah faktor yang
disebabkan adanya pengaruh seorang kepala keluarga atas hubungan
perkawinan dan lingkungan keluarga.
3. Faktor Ekonomi
Yang dimaksud faktor ekonomi adalah yang menjadi ukuran adalah
mata pencarian dan pendapatan masyarakat.
4. Faktor Pendidikan
Yang dimaksud faktor adalah dilihat dari tingkat pendidikan formal dan
non-formal serta pendidikan politik masyarakat.

B. Faktor Politik
Aristein S.R (1969: 215) peran serta politik masyarakat didasarkan
kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik
meliputi:

7
1. Komunikasi Politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai
konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang
mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik.
Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi
antara dua pihak yang menerapkan etika.
2. Kesadaran politik. Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat
dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik.
Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga
masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau
pembangunan.
3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan.
Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan
menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil
(Ramlan Subakti).
4. Kontrol Masyarakat terhadap kebijakan Publik. Kontrol masyarakat
terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan
publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola obyek kebijakan
tertentu (Arntein, 1969: 215). Kontrol untuk mencegah dan
mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik
(Setiono, 2006: 65).
a) Faktor Fisik Individu Lingkungan
Faktor fisik individu sebagai kehidupan termasuk fasalitas serta
ketersedian pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan
ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk
hidup, yang berlangsungnya bebagai kegiatan interaksi sosial
antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K.
Manullang dan Gitting, 1993:13)
b) Faktor Nilai Budaya
Gabrial Almond dan Sidney Verba (1999:25), nilai budaya politik
atau civic culture merupakan baris yang membentuk demokrasi,
hekekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik
(Soemitro 1999:27: atau peradapan masyarakat (verba, Sholozman,

8
Brad, 1995), Faktor nilai budaya masyarakat persepsi,
pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
c) Faktor Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi partisipasi politik. Menurut
(Heidjracman, 1990: 770) mengatakan pendidikan adalah kegiatan
untuk meninggkat pengetahuan umum seseorang termasuk
didalamnya peningkatan penguasa teori dan keterampilan
memutuskan terhadap persoalanpersoalan yang menyangkut
kegiatan mencapai tujuan.
d) Faktor Perbedaan Jenis kelamin dan status sosial-ekonomi
Milbert (dalam Maram, 2001: 156), menyebutkan ada empat factor
utama yang mendorong keinginan seseorang dalam berpartisipasi
politik. Pertamaadanya sesuatu yang dapat dijadikan perangsang
sehingga seseorang mau ikut serta melakukan partisipasi politik.
Kedua karena faktor keraktaristik pribadi sesorang. Ketiga Faktor
kerakteristik sosial dan keempat, Faktor situasi lingkungan politik
itu sendiri.
Sedangklan Verba dan Norman meninjau adanya beberapa faktor
yang dapat diperhitungkan untuk berpartisipasi dalam politik, antara lain
seperti peluang resmi, yang berkaitan dengan adanya jaminan secara
yuridis hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dan kelas-kelas sosial, yang
merupakan fungsi dari pekerjaan, pendapatan dan pendidikan yang dalam
hal ini untruk menunjukkan status sosial seseorang ( dalam Nimmo, 2000:
245).
Dari penjelasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan utama
yang mendorong seseorang untuk ikut berpartisipasi politik, faktor internal
yang berkaitan dengan status sosial seseorang seperti pendidikan,
pendapatan dan pekerjaan. Kedua, faktor eksternal antara lain peluang
resmi, rangsangan politik yang datang dari lingkungan.

9
.4 Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang
melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson (1990:7)
membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
a) Kelas adalah individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan
pekerjaan yang serupa.
b) Kelompok atau komunal adalah individu-individu dengan asal-usul ras,
agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
c) Lingkungan adalah individu-individu yang jarak tempat tinggal
(domisilinya) berdekatan.
d) Partai adalah individu-individu yang mengenditifikasikan diri dengan
organisasi formal yang sama dan berusaha untuk meraih atau
mempertahankan control atas bidang-bidang eksekitif dan legislative
pemerintahan.
e) Golongan atau faksi adalah individu-individu yang dipersatukan oleh
interaksi yang terus menerus antar satu sama yang lain, yang akhirnya
menbentuk hubungan Patron-Client, yang berlaku atas orang-orang
dengan tingkat status sosial, pendidikan, ekonomi yang tidak sederajat.

.5 Partisipasi Politik di Negara Berkembang


Negara-negara berkembang yang non-komunis menunjukkan pengalaman
yang berbeda-beda. Kebanyakan negara baru ini ingin cepat mengadakan
pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa
berhasil tidaknya pembangunan banyak bergantung pada pertisipasi rakyat.
Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status social dan
ekononi, agama, dan sebagainya. Intregasi nasional, pembentukan identitas
nasional, serta loyalitas kepada negara diharapkan akan ditunjang
pertumbuhannya melalui pertisipasi politik.
Dibeberapa negara berkembang, pertisipasi yang bersifat otonom, artinya
lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Berkaitan dengan gejala itu, jika

10
hal itu terjadi di negara-negara maju sering kali dianggap sebagai tanda
adanya

10
kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi kalau hal itu terjadi
di negara-negara berkembang tidak selalu demikian halnya. Di beberapa
negara yang rakyatnya apatis, pemerintahan menghadapi masalah bagaimana
meningkatkan partisipasi itu, sebab jika pertisipasi mengalami jalan buntu,
dapat terjadi dua hal yaitu menimbulkan “anomi” atau justru “revolusi”.
Masalahnya lain lagi di beberapa negara yang memproses
pembangunannya berjalan dengan lancar. Di situ perluasan urbanisasi serta
jaringan Pendidikan dan meningkatkan komunikasi masa menggerakkan
banyak kelompok yang tadinya apatis untuk aktif dalam proses politik.
Melalui kegiatan bermacam-macam organisasi seperti serikat buruh,
organisasi petani, organisasi perempuan, organisasi pemuda, partai politik, dan
sebagaianya. Kelompok-kelompok ini tergugah kesadaran sosial dan
politiknya, sehingga terjadi peningkatan tuntutan terhadap pemerintah yang
sangat mencolok. Kesenjangan antara tujuan sosial dan cara-cara mencapai
tujuan itu dapat menimbulkan perilaku ekstrem seperti terror dan
pembunuhan. Hal ini sangat berbahaya di negara yang sedang dilanda
kemiskinan dan pengangguran, dan dimana komitmen kepada pemerintah
kurang mantap. Karena hal itu, Samuel T. Huntington berperndapat bahwa
pembangunan yang cepat, dan ikut serta banyak kelompok baru dalam politik
dalam waktu yang singkat, dapat menggangu stabilitas. Selanjutnya dikatakan
bahwa termobilisasinya kelompok-kelompok baru dapat saja dilihat oleh elite
yang berkuasa sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional, padahal situasi
aman sangat diperlukan untuk melaksanakan kebijakan publik mereka. Maka
dari itu, mereka akan berikhtiar mengendalikan tingkat serta intensitas
partisipasi agar tidak terlalu mengganggu stabilitas nasional.
Jalan yang paling baik untuk mengatasi krisis partisipasi adalah
kepeningkatan incremental dan bertahap seperti yang dilakukan Inggris pada
abad ke-19. Cara demikian akan memberikan kesempatan dan waktu kepada
institusi maupun kepada rakyat untuk menyesuaikan diri. Seorang pengamat,
Michael Roskin (2003) menyatakan bahwa Afrika Selatan adalah contoh
negara yang cepat menyadari pentingnya partisipasi politik. Negara yang
semula

11
diperintah oleh minoritas kulit putih ini cepat-cepat membuka peluang bagi
peran-peran rakyat kulit hitam untuk menghindarkan ledakan yang lebih
berbahaya.
Akan tetapi setiap usaha pembangunan, terutama di negara yang
menghadapi masalah kemiskinan dan sumber daya langka, akan selalu
dibarengi dengan gejolak-gejolak sosial. Keresahan-keresahan ini akan
mewarnai kehidupan politik di negara-negara berkembang dan menjadikannya
penuh dinamika. Kalaupun stabilitas berhasil dicapai, maka sifatnya mungkin
akan tetap kurang stabil dibandingkan negara-negara yang sudah mantap
kehidupan politiknya.

.6 Pengaruh Lembaga Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Politik


Lembaga sosial telah berperan besar dalam meningkatkan partisipasi
politik masyarakat seperti yang diaungkapkan oleh Friedmen dan Hechter
yang menjelaskan adanya kemampuan dari lembaga sosial untuk memberikan
sanksi positif dan negatif kepada masyarakat sehingga memengaruhi
masyarakat untuk menentukan ikut berpartisipasi ataukah tidak. Dari
penjelasan Friedmen dan Hecdter tersebut dalam permasalahan partisipasi
politik lembaga sosial mampu
memberikan dorongan kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam
politik. Berdasarkan pengamatan peneliti, lembaga sosial yang turut berperan
dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat antara lain adalah KPUD,
Partai Politik, Media Massa, dan Ormas.
Pertama, peran KPUD. Sebagai penyelanggara Pemilu KPUD memiliki
peran utama meningkatkan partisipasi politik masyarakat khususnya dalam hal
menggunakan hak pilihnya.
Hal tersebut termuat dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pasal 10 menyebutkan bahwa: “Salah satu
tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota adalah menyelenggarakan
sosialisasi dan penyelenggaraan Pemilu dan atau yang berkaitan dengan tugas
dan wewenang KPU Kabupaten/ Kota kepada masyarakat”. KPUD

12
meningkatkan partisipasi politik masyarkat melalui cara sosialisasi dan
pendidikan politik masyarakat. Cara tersebut dilakukan melalui tiga tahapan

12
yakni melalui komunikasi tatap muka, komunikasi melalui media, dan melalui
movilisasi sosial.
Kedua, peran Partai Politik. Partai politik dalam UU Nomor 2 tahun 2008
tentang Partai Politik pada pasal 10 disebutkan: “tujuan khusus partai politik
adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.” Selanjutnya dalam pasal
11 dijelaskan: “partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi
anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang
sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehiudpan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.”Sosialisasi dan pendidikan politik oleh Partai Politik
sedikitnya dilakukan dalam tiga hal, yakni: melalui sosialisasi para kader,
pendidikan politik, dan melalui optimalisasi organisasi sayap partai.
Ketiga, peran media massa. Di era globalisasi seperti saat ini, media
memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada
masyarakat. Melalui media, komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat
menjadi lebih mudah. Begitu juga dalam Pemilukada, media menjadi saluran
komunikasi yang sangat tepat untuk menyampaikan sosialisasi kepada
masyarakat. Sebagai lembaga yang netral, saat ini media menjadi salah satu
lembaga yang sangat dipercayai oleh masyarakat. Dengan begitu, dalam
peningkatan partisipasi masyarakat media diharapkan mampu memberikan
dorongan kepada masyarakat untuk mau menggunakan hak pilinya dalam
Pemilukada.
Keempat, peran Civil Society. Organisasi masyarakat yang banyak
bergerak dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Lembaga sosial
pada intinya memiliki cara yang sama dalam meningkatkan partisipasi politik
masyrakat. Yakni melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan politik
kepada masyrakat. Dengan melibatkan banyak lembaga sosial tersebut
diharapkan masyarakat dariberbagai elemen terdorong untuk berpartisipasi.

.7 Rasionalitas Masyarakat dalam Partisipasi Politik


Sosialisasi dan pendidikan politik yang diberikan oleh lembaga sosial
dalam

13
meningkatkan partisiapsi politik ternyata tidak lantas mampu mendorong
masyarakat untuk berpartispasi politik secara maksimal. Sehingga dalam hal
ini peneliti melihat dari sisi lain mengenai pengaruh rasionalitas pemilih
dalam partisipasi politik. Terlepas dari pemahaman manusia sebagai makhluk
sosial, pada dasarnya manusia merupakan makhluk individu. Makhluk invidiu
memiliki tingkat rasionalitas yang sangat tinggi. Sifat dasar dari makhluk
rasional adalah kalkulasi untung rugi yang menjadi dasar setiap tindakanya.
Hampir semua manusia akan berusaha mendapatkan barang yang dia ingikan
dengan ongkos seminimal mungkin. Barang dalam hal ini memiliki pengertian
yang sangat luas. Tidak hanya barang yang berwujud namun juga barang yang
tidak berwujud seperti misalnya sebuah kebijakan atau perjanjian. Sedangkan
ongkos dalam hal ini tidak selalu berhubungan dengan uang, namun juga
termasuk waktu dan tenaga.
Hubungannya dengan Pemilu, rasionalitas masyarakat muncul ketika
mereka berfikir keuntungan apa yang akan mereka dapatkan ketika mereka
menggunakan hak pilihnya. Padahal disisi lain mereka sudah jelas
mengeluarkan ongkos dalam Pemilu. Ongkos dalam hal ini sudah pasti tenaga
dan waktu, bahkan bisa jadi uang. Misalnya untuk transportasi menuju TPS.
Masyarakat mulai berfikir apakah barang yang mereka dapatkan nantinya
sebanding dengan ongkos yang mereka keluarkan. Hasil Pemilu merupakan
sebuah barang ketika hasil tersebut telah berubah menjadi sebuah keputusan
yang telah ditetapkan oleh KPU. Namun dalam hal ini apakah barang hasil
Pemilu tersebut telah memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Bagi
masyarakat keuntungan hanya didapat oleh calon yang terpilih, sedangkan
dampak langsung bagi mereka tidak mereka dapatkan.
Praktik money politic dalam Pemilu dapat dilihat dari pandangan teori
pilihan rasional. Salah satu tokoh teori pilihan rasional yang terkenal adalah
James S. Coleman. Coleman mengangap bahwa setiap tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dipengaruhi oleh tujuan dan nilai yang diinginkan
oleh mereka. Selanjutnya menurut Coleman dalam teori pilihan rasional ada
dua unsur yang terlibat yakni aktor dan sumber daya. Uang menjadi salah satu

14
motivasi bagi seseroang untuk berpartisiapsi dalam politik. Dalam Pemilukada
sendiri yang

14
dinamakan actor adalah masyarakat dan para calon kepala daerah. Sedangkan
sumber daya yang dimaksud adalah uang dan jabatan politik. Coleman
menjelaskan adanya interaksi antara aktor dan sumber daya. Masing-masing
aktor dapat mengendalikan sumber daya. Baik masyarakat maupun calon
kepala
daerah dapat mengendalikan jabatan politik. Masyarakat memiliki hak untuk
menentukan siapa calon yang akan terpilih. Sedangkan kepala daerah juga
memiliki kemampuan untuk memengaruhi pilihan masyarakat. Disinilah
kemudian kedua aktor tersebut saling memengaruhi dan membutuhkan untuk
mecapai tujuan masing-masing.
Masyarakat dan para calon kepala daerah sama-sama memiliki
kepentingan terhadap sumber daya yakni uang dan jabatan politik keduanya
sehingga dapat saling memengaruhi. Calon kepala daearah memberikan
penawaran yang memberikan keuntungan kepada masyarakat. Disisi lain
masyarakat memberikan penawaran berupa dukungan suara untuk
memenangkan pasangan calon. Masyarakat dan calon kepala daerah akhirnya
terlibat sebuah hubungan untuk memenuhi kepentingannya masing-masing.
Sehingga praktik politik uangpun tidak dapat terhindarkan. Hak pilih menjadi
sesuatu yang bisa ditukar dengan rupiah. Dengan adanya transaksi tersebut
maka kedua aktor ini akan sama-sama mendapatkan sumber daya yang mereka
inginkan. Dimana pemilih dalam hal ini akan mendapatkan uang sedangkan
calon kepala daerah akan mendapatkan jabatan politik yakni berupa
kemenangan dalam Pemilukada.
Pada akhirnya teori pilihan rasional Coleman telah mampu menjelaskan
adanya keterkaitan antara aktor dan sumber daya dalam hubungannya dengan
politik uang dalam Pemilukada. Rasionalitas masyarakat ternyata telah
memberikan pengaruh pada mereka untuk menentukan apakah mereka ikut
memilih atau tidak. Uang dianggap sebagai sebuah keuntungan yang
seharusnya mereka dapatkan ketika mereka sudah berkorban waktu dan tenaga
untuk menggunakan hak pilihnya ke TPS. Disisi calon kepala daerah, jabatan
politik menjadi sesuatu yang dianggap memberikan keuntungan besar bagi
mereka sehingga mereka juga bersedia mengeluarkan ongkos atau biaya untuk

15
bisa mendapatkannya. Namun, teori pilihan rasional Coleman belum bisa
memberikan penjelasan mengenai pertimbangan apa yang difikirkan

15
masyarakat sehingga sumber daya begitu penting bagi mereka. Oleh karena
itu, permasalahan politik uang tersebut kemudian juga bisa dilihat dari
pandangan teori pilihan rasional Antony Downs guna memahami lebih dalam
mengenai masalah politik uang itu sendiri.

.8 Tingkatan Partisipasi Politik


Identifikasi bentuk-bentuk kegiatan partisipasi politik, ternyata tidak
cukup untuk menjelaskan bobot dari masing-masing kegiatan tersebut. Hal ini
dibutuhkan guna menjelaskan keterlibatan seseorang atau sekelompok orang
dalam bentuk-bentuk praktik partisipasi politik, bias diukur dari segi
efektifitasnya.
Hal ini berkenaan dengan definisi inti seperti dikemukakan Huntington
dan Nelson yang berkenaan dengan pengaruh kegiatan partisipasi politik
terhadap proses politik yang dilakukan pemerintah. Untuk menganalisis
tingkat-tingkat partisipasi politik, mereka mengajukan dua kriteria penjelas.
a) Pertama, dilihat dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga
negara yang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik.
b) Kedua, intensitasnya, atau ukurannya, lamanya, dan arti penting dari
kegiatan khusus itu bagi sistem politik Hubungan antara dua kriteria ini,
cenderung diwujudkan dalam hubungan “berbanding balik”.
Lingkup partisipasi politik yang besar biasanya terjadi dalam intensitas
yang kecil atau rendah, missal partisipasi dalam pemilihan umum. Sebaliknya
jika lingkup partisipasi politik rendah atau kecil, maka intensitasnya semakin
tinggi.
Tingkatan Partisipasi Politik
1. Pejabat, PArtai sepenuh, Waktu. Pemimpin partai/kelompok kepentingan
(Aktivis).
2. Petugas kampanye. Anggota aktif dari partai/kelompok kepentingan
dalam proyek-proyek sosial (Partisipan)

16
BAB III

PENUTUP

.1 Kesimpulan
Uraian yang di kemukakan tersebut dapat melahirkan suatu kesimpulan
bahwa pemahaman nilai-nilai politik dalam masyarakat merupakan hal yang
urgen dalam mewujudkan intensitas partisipasi politik warga masyarakat
secara sukarela dan eksis dalam kegiatan-kegiatan politik.
Partisipasi politik adalah aktivitas warganegara yang bertujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan
orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai
negri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh
negara ataupun partai yang berkuasa.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik
memiliki pengaruh untuk memuai perbedaan dalam pola partisipasi politik
warganegaranya. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik yaitu kegiatan
pemilihan, Lobby, Kegiatan Organisasi, Contacting dan tindakan kekerasan
(violence).

.2 Saran
Saran penulisan adalah sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung
jawab, maka kita harus berpartisipasi dalam pembuatan dan keputusan atau
kebijakan karena hal tersebut menyangkut kehidupan kita dalam berbangsa
dan bernegara.

17
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group
Rohmah, Siti Ngainnur. 2019. Partisipasi Politik Organisasi Massa Dalam
Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal UINJKT. Vol 3(4): 10-12
Liando, Daud M. 2016. Pemilu dan Partisipasi Politik Masyarakat. Jurnal LPPM
Bidang EkoSosBudKum. Vol 3(2): 22
Perangin-angin, Loina Lalolo Krina. 2018. Partisipasi Politik Pemilih Pemula
dalam Bingkai Jejaring Sosial di Media Sosial. Jurnal ASPIKOM. Vol
3(4): 737

18

Anda mungkin juga menyukai