Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm.

100-110 | E-ISSN: 2443-0110

RELASI NASIONALISME ETNIK, NASIONALISME NEGARA


DAN NASIONALISME KEWARGANEGARAAN DI PAPUA

Susanto T. Handoko,* La Ode Hasirun

Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan


Universitas Cenderawasih, Jayapura - Indonesia

*Alamat korespondensi: susantoth15@gmail.com


DOI: https://doi.org/10.14710/jscl.v4i2.24269

Diterima/ Received: 17 Juli 2019; Direvisi/ Revised: 8 Agustus 2019; Disetujui/ Accepted: 11 Desember 2019

Abstract

This article aims to discuss the dynamics of relations between ethnic nationalism, civic nationalism and state
nationalism in the Land of Papua. The growth and development of Papuan ethnic nationalism since the integration of
Papua into reform was caused by Indonesian state policies. Historical method is used in this research. The research
approach is a qualitative approach to phenomenological research design. Strengthening Papuan ethnic nationalism
due to the Central Government's (Jakarta) policies that were not fully accepted by indigenous Papuans. The Papuan
people felt marginalized and discriminated against in the process of development in both the political, economic, social
and cultural fields, especially during the New Order government. Papuan ethnic nationalism is characterized by
demands for independence from the Indonesian state and instrumentalization of ethnicity for political purposes.
Ethnic nationalism eventually shifts the civic and or state nationalism as part of the Indonesian state.

Keywords: Ethnic Nationalism; State Nationalism; Civic Nationalism; Papua.

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk membahas dinamika relasi antara ethnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state
nasionalisme di Tanah Papua. Pertumbuhan dan perkembangan ethnic nasionalisme Papua sejak integrasi Papua
hingga reformasi disebabkan oleh kebijakan negara Indonesia. Artikel ini disusun berdasarkan penelitian historis.
Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi. Menguatnya etno-
nasionalisme Papua karena kebijakan Pemerintah Pusat (Jakarta) yang tidak diterima sepenuhnya oleh orang asli
Papua (OAP). Rakyat Papua merasa dimarginalisasi dan didiskriminasi dalam proses pembangunan baik bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya khususnya di masa pemerintahan Orde Baru. Ethnic nasionalisme Papua ditandai
oleh adanya tuntutan untuk merdeka dari negara Indonesia dan instrumentalisasi etnisitas untuk tujuan-tujuan politik.
Ethnic nasionalisme akhirnya menggeser civic dan atau state nasionalisme sebagai bagian dari negara Indonesia.

Kata Kunci: Nasionalisme Etnik; Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan; Papua.

PENDAHULUAN Keindonesiaan bukan realitas sudah jadi, tetapi


proyek kekitaan, Indonesia in the making, bukan in
Keindonesiaan merupakan gagasan sekaligus karya waiting (Abdullah, 2001: 54; Jati, (ed.), 2017: 121;
yang belum selesai (a work in progress) atau Kartodirdjo, 1994: 14; Pujiriyani, 2013: 154;
bukanlah sesuatu barang jadi yang terbentuk Samego, 2008: 2; Suryadi, Hayat, Rustana &
secara alamiah (taken for granted), melainkan Abduhzen, 2014: 48; Zuhdi, 2017: 38). Pudarnya
merupakan sebuah proses menjadi (becoming) semangat nasionalisme sudah terasa dewasa ini,
atau proses nation building terus-menerus yang ditandai dengan semakin kaburnya identitas
kalau tidak dirawat dan dipupuk akan pudar. Keindonesiaan (Amboro, 2015: 109). Setiap

100
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)

mendengar kata “Indonesia” atau mengatakan Keindonesiaan di Papua menghadapi


dirinya sebagai “orang Indonesia” nyaris tidak ada tantangan yang cukup berat sejak integrasi Papua
suasana esoteris yang muncul sebagai jati diri yang (1963/1969) ke negara Indonesia hingga saat ini.
patut dibanggakan. Terkadang melintas dalam Terdapat kesenjangan pemaknaan antara orang
kenangan tentang kebinekaan, kepahlawanan, asli Papua (OAP) dan Indonesia tentang relasi
keramahan, kesalehan, kekayaan alam, dan Indonesia dan Papua. Dinamika relasi Indonesia
Pancasila, tetapi ingatan itu segera didekonstruksi dan Papua menampakkan “dua wajah” dominan,
oleh beragam fakta yang menegasikannya, yakni Nasionalisme Papua (Papua Merdeka) dan
sehingga yang tersisa hanyalah kehampaan dan Nasionalisme Indonesia (pro-Negara KEsatuan
keputusasaan. Republik Indonesia) (Aditjondro, 2000: 5;
Keindonesiaan saat ini mendapat beragam Larasati, 2014: 488; Meteray, 2012: 53; Kaisiepo,
tantangan baik faktor dari dalam maupun luar 1999: 167; Rahab, 2006: 3; Soedharto, 1995: 22;
negeri (globalisasi). Tantangan tersebut antara Widjojo (Ed.), 2009: 1). Beragam persoalan di
lain berupa kesenjangan sosial ekonomi, Papua khususnya yang berkorelasi dengan
ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan Pemerintah Pusat termanifestasikan dalam empat
antara Indonesia bagian Barat dan Timur, aspek utama yang saling terkait yakni: (1)
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), problem masalah marginalisasi dan efek diskriminatif
penegakan hukum, maraknya aksi radikalisme, terhadap orang Papua; (2) kegagalan
terorisme, korupsi, tawuran antar kelompok di pembangunan terutama bidang pendidikan,
masyarakat (seperti antar kampung, antar kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat;
supporter sepak bola dan antarpelajar/ (3) adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi
mahasiswa). Beragam tantangan tersebut identitas politik antara Papua dan Jakarta, dan (4)
berkaitan erat dengan sejauh mana pemberdayaan pertanggungjawaban atas kekerasan negara di
warga negara oleh nagara. masa lalu (Orde Baru). Widjojo (ed.), (2009:
Pemberdayaan warga negara oleh negara, 227) menyimpulkan sebagai berikut: “Jika
hingga saat ini kehadiran negara di seluruh wilayah persoalan-persoalan di Papua tersebut dipotret
Indonesia masih diperdebatkan (Andriana (ed.), dalam perspektif ideologis, maka yang menjadi
2016: 43; Jati (ed.), 2017: 98; Narwaya., Faruk & dasar dari semua permasalahan adalah persoalan
Budiawan, 2018: 54; Pamungkas, 2016b: 59; relasi makna Ke-Indonesiaan dan Ke-Papua-an”.
Pujiriyani, 2013: 154; Surakhmad, 2009: 181; Oleh karena itu, nasionalisme di Papua dalam
Widjojo, 2009: xvii; Zuhdi, 2017: 39). Relasi peran konteks civic nasionalisme dan state nasionalisme
Ke-Indonesiaan adalah terkait erat dengan menghadapi tantangan dengan tumbuh dan
beragam upaya untuk menghadirkan hakikat berkembangnya ethnic nasionalisme.
keindonesiaan di seluruh Indonesia. Tujuan Pertumbuhan dan perkembangan ethnic
dasarnya adalah untuk menciptakan dan nasionalisme Papua sejak integrasi Papua dalam
menyebarkan keadilan dan keadaban yang lebih negara Indonesia disebabkan oleh kebijakan
konkret dan bermartabat di seluruh Indonesia. negara yang memarginalkan dan mendiskriminasi
Substansi dari identitas nasional adalah jawaban OAP dalam proses pembangunan di Papua.
atas pertanyaan tentang siapa sebagai orang dan Khususnya masa Orde Baru, OAP merasa dirinya
bangsa Indonesia, serta apa yang membedakannya dimarginalisasi, didiskriminasi oleh negara dan
dengan yang bukan Indonesia. Masalah kaum pendatang (non-Papua) dalam bentuk
keindonesiaan adalah masalah proses nation ketidakberdayaan dalam aktivitas/persaingan
building yang merupakan masalah seluruh warga bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
negara Indonesia. Hal ini dilandasai bahwa Kondisi tersebut diperparah oleh status Daerah
nasionalisme Indonesia yang lahir pada awal abad Operasi Militer (DOM) oleh negara terhadap
ke-20 merupakan konstruksi etno-nasionalisme Papua. Akhirnya ada kecenderungan pelanggaran
dari berbagai daerah di Nusantara. dan kekerasan oleh oknum atau aparat Tentara

101
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110

Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik manusia menginterpretasikan pengalamannya.


Indonesia (POLRI) dalam menjaga ketertiban, Ditinjau dari hakikat pengalaman manusia
keamanan dan kedaulatan negara di Papua. dipahami bahwa setiap orang akan melihat realita
Nasionalisme etnik Papua ditandai oleh adanya yang berbeda pada situasi yang berbeda dan waktu
tuntutan untuk merdeka dari Indonesia dan yang berbeda. Oleh karena itu, metode dalam
instrumentalisasi etnisitas untuk tujuan-tujuan fenomenologis ini menekankan kepada bagaimana
politik. Nasionalisme etnik akhirnya menggeser seseorang memaknai pengalamannya (Hardian-
nasionalisme kewarganegaraan dan atau negara syah, 2013: 228; Hasbiansyah, 2008: 163; Jailani,
sebagai bagian dari negara Indonesia. 2013: 41; Novianti & Tripambudi, 2014: 119).
Menarik untuk dikaji bagaimana relasi antara
METODE nasionalisme etnik, nasionalisme kewarganegaraan
dan nasionalisme negara di Papua dari integrasi
Data dalam artikel ini diperoleh melalui studi Papua ke Indonesia hingga reformasi.
pustaka dan kajian lapangan. Studi pustaka
dilakukan dengan menelaah hasil penelitian sejenis NASIONALISME ETNIK
yang telah dipublikasikan baik dalam buku dan
jurnal. Kajian lapangan bertujuan untuk Papua memiliki keragaman suku bangsa berdasar
mengumpulkan data melalui observasi dan Focus Sensus Penduduk tahun 2000, suku bangsa di
Group Discussion (FGD). Observasi dilakukan Papua berjumlah 312 yang masing-masing suku
dengan mengamati kondisi lingkungan sosial bangsa memiliki tradisi (kebiasaan), konsep agama
Papua (khususnya Kota Jayapura). Kota Jayapura (agama lokal), bahasa (253 bahasa yang
ibarat “miniatur Indonesia”, titik simpul digunakan sehari-hari), struktur sosial, dan kondisi
bertemunya beragam etnis, ras, agama, budaya dan geografis yang berbeda. Dari sisi kondisi
politik. FGD dilakukan dengan stakeholder di geografisnya, ratusan suku bangsa yang beragam
Papua (dosen, mahasiswa, guru, tokoh agama dan tersebut sebenarnya terbentuk oleh kondisi
tokoh masyarakat/adat). Pendekatan peneli- alamnya. Terdapat tiga wilayah geografis berbeda
tian yang peneliti gunakan adalah pendekatan yang menentukan cara hidup masyarakat Papua.
kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi. Pertama, daerah pantai yang dihuni nelayan dan
Desain penelitiaa fenomenologi sebagai asumsi- pelaut. Kedua, daerah pegunungan yang padat
asumsi dan tindakan-tindakan yang digunakan penduduk dengan iklim yang sehat yang dihuni
peneliti ketika bergerak dari paradigma atau desain petani. Ketiga, daerah tanah rawa yang sangat
(srategi) penelitian menuju tahap pengumpulan jarang penduduknya. Ditambah lagi dengan
data empiris di lapangan. Dengan desain adanya sekitar 100 kelompok suku bangsa non-
fenomenologi peneliti berusaha memahami makna Papua. Selain keragaman suku bangsa yang ada di
dari berbagai fenomena (fokus kepada fenomena), Papua yang mencapai ratusan, ragam ras juga
peristiwa dan interaksi manusia dalam situasi yang sangat menonjol. Perbedaan mendasar mengenai
khusus. Tekanannya diarahkan pada berbagai suku bangsa ini adalah ras Melanesia dan
aspek subyektif dari perilaku individu-individu Austronesia. Melanesia adalah ras asli orang Papua,
(Creswell, 2014: 20; Jailani, 2013: 42; Rachman, sementara Austronesia adalah ras pendatang.
2015: 167). Dengan cara ini akan dapat dipahami Keragaman suku bangsa di Papua beserta
makna dari berbagai peristiwa dalam kehidupan. sistem kebudayaannya bukan tanpa dinamika
Melalui strategi fenomenologi perhatian diarahkan sehingga konflik adalah hal yang dianggap biasa,
pada interaksi sosial di antara warga masyarakat sebagai akibat perbedaan pandangan tentang
Papua baik secara vertikal maupun horisontal. sesuatu, atau akibat dari pengentalan kesadaran
Pendekatan penelitian fenomenologi merupakan identitas kesukuan. Konflik sosial dipicu karena
pandangan berfikir yang menekankan pada perbedaan suku bangsa, budaya, dan golongan atau
pengalaman-pengalaman manusia dan bagaimana kelompok. Konflik terjadi lebih karena

102
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)

permasalahan yang dianggap merugikan dan kepentingan masing-masing pengusungnya.


mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma Hanya saja yang menjadikan nasionalisme tersebut
yang berlaku pada suku-suku bangsa yang ada. memiliki signifikansi politik adalah karena watak
Misalnya, masalah perzinahan atau perselingku- ideologis yang melekat dalam imajinasi kolektif
han, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa tersebut. Perkembangan internalisasi nasionalisme
dendam yang mendalam. Beberapa hal tersebut ini yang kemudian menghasilkan tumbuhnya
merupakan penyebab perang antarsuku bangsa di chauvinism orang Papua terhadap dirinya, dan
daerah pedalaman Papua. Di samping itu, konflik menutup diri dari keberadaan Indonesia.
internal antarsuku bangsa yang terjadi di masa lalu Menguatnya etno-nasionalisme Papua
juga menjadi penyebab perang antarsuku bangsa karena kebijakan Pemerintah Pusat (Jakarta) yang
dan kelompok. Suku-suku bangsa tertentu di tidak diterima sepenuhnya oleh rakyat Papua.
Papua mempunyai tradisi perang sangat kuat. Rakyat Papua merasa dimarginalisasi dan
Konflik suku bangsa di Papua memiliki unsur etno- didiskriminasi dalam proses pembangunan baik
nasionalisme dan masyarakat adat. Etno- bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
nasionalis, satuan etnik yang hidup dalam wilayah khususnya di masa pemerintahan Orde Baru.
tertentu (Papua) dan ingin memisahkan diri dari Kebijakan Pemerintah Pusat tersebut didukung
negara (RI), dan masyarakat adat, hidup dalam oleh kehadiran aparat militer (TNI) dan Polri yang
wilayah tertentu dan menginginkan otonomi yang cukup dominan dalam konteks Papua sebagai
lebih besar dari negara yang memerintah untuk Daerah Operasi Militer (DOM). Aparat TNI dan
melindungi tanah adat. Polri dalam menjalankan tugas negara disinyalir
Nasionalisme yang berkembang di Papua terjadi pelanggaran HAM di Papua. Oleh karena
sejak integrasi ke NKRI tahun 1963/1969 hingga itu, dalam memori kolektif rakyat Papua adalah
era reformasi menampakkan dua wajah yang terjadinya beberapa tindak kekerasan dan
dominan. Nasionalisme yang sejatinya hanya kekejaman oleh oknum aparat keamanan negara.
sentralistik di level nasional kemudian bergeser Selanjutnya, kehadiran kaum pendatang (non-
pada level lokal. Pergeseran hegemonik wacana Papua) juga dirasakan sebagai bentuk persaingan
nasionalisme ini terjadi akibat dari kondisi sosial antara OAP dengan non Papua dalam berbagai
politik yang berkembang di Papua. Pergeseran bidang kehidupan seperti ekonomi dan agama.
nasionalime ini menjadi masalah di tingkat Eksistensi kaum pendatang cukup mendominasi
nasional dan mengganggu keutuhan wilayah perekonomian di Papua karena keunggulan
negara. Nasionalisme kemudian dinilai mendasari Sumber Daya Manusia (SDM) dan modal
perlawanan bersenjata di Papua, yakni Organisasi dibandingkan OAP. Sementara faktor agama
Papua Merdeka (OPM). Perkembangan (Islam) yaitu mayoritas kaum pendatang adalah
nasionalisme ini sebenarnya adalah suatu beragama Islam, sedangkan Tanah Papua dikenal
keniscayaan karena sebagai suatu imagined sebagai Tanah Kristen (mayoritas beragama
community, nasionalisme memiliki dinamika Kristen). Program transmigrasi oleh Pemerintah
tersendiri. Berbeda etno-nasionalisme di daerah Pusat juga disinyalir sebagai bentuk kolonisasi dan
lain (seperti Aceh, Jawa, Kalimantan, Maluku, penyiaran agama (Islam) di Papua.
Padang dan Sulawesi) yang memiliki kontribusi Kasus Papua dalam politik identitas lebih
dalam konstruksi nasionalisme Indonesia, maka terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi,
etno-nasionalisme Papua tidak demikian. dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili
Kealpaan negara Indonesia dalam pada umumnya oleh para elite dengan
memahami bekerjanya imajinasi kolektif artikulasinya masing-masing. OPM dapat
(nasionalisme) tersebut berpotensi memperumit dipandang sebagai salah satu wujud dari reaksi
keadaan di Papua. Nasionalisme mempunyai kegelisahan politik identitas itu atas
makna beragam dan pemaknaan tersebut ketidaksetaraan politik sentralistis Pemerintah
dimanfaatkan menurut sudut pandang dan Pusat (Jakarta). Isu-isu tentang keadilan dan

103
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110

pembangunan daerah menjadi sangat sentral budaya. Warga sadar bahwa hidup di negara yang
dalam wacana politik, dan sangat sensitif jika beragam dituntut adanya toleransi dalam interaksi
bersinggungan dengan politik identitas. Identitas sosial. Papua sebagai “miniatur” Indonesia maka
dalam hal ini mampu merusak nasionalisme itu toleransi antarwarga masyarakat adalah kenisca-
sendiri sekaligus juga mampu membangkitkan yaan dalam mewujudkan Papua sebagai tanah
etno-nasionalisme yang menjadi dasar perlawanan damai. Salah satu contoh nasionalisme
baru terhadap negara. kewarganegaraan di Papua tampak dalam toleransi
Identitas Ke-Papua-an terus memosisikan antarumat beragama, khususnya di wilayah Fakfak
diri sebagai ideologi yang cenderung bertentangan dan Kaimana dengan semboyan “Satu Tungku
dengan logika identitas yang dibentuk oleh negara. Tiga Batu”. Makna dari semboyan tersebut bahwa
Identitas menjadi instrumen penting yang dalam satu rumah (keluarga) terdapat tiga agama
membentuk sebuah rasa bersama yang hadir untuk yang dianut di antara para anggota keluarga (ayah,
melepaskan diri dari Pemerintah Pusat (Jakarta), ibu dan anak). Pada dasarnya nasionalisme
karena Indonesia dianggap sebagai penjajah. Oleh kewarganegaraan di Papua berkembang cukup
karena itu, di Papua, identitas menjadi hal yang baik dengan adanya toleransi antar umat
paling dipertahankan oleh masyarakatnya. beragama, antaretnis, antarbudaya, dan lainya pada
diri warga negara yang tinggal di Tanah Papua.
NASIONALISME KEWARGANEGARAAN Munculnya gesekan, konflik dan lainnya adalah
keniscayaan pada daerah dan atau negara
Nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme multikultur, seperti Papua dan atau Indonesia.
sipil) adalah nasionalisme yang menempatkan/ Prinsipnya adalah bagaimana pemerintah Pusat
memosisikan negara dalam memperoleh dan Daerah beserta semua elemen masyarakat
kebenaran politik dari partisipasi aktif rakyatnya. mengelola modal multikultur dengan bijak,
Keanggotaan suatu bangsa dalam hal ini bersifat dengan jalan penegakan hukum dan penciptaan
sukarela. Negara Indonesia lahir pada 1945 akibat keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu,
dari penjajahan Belanda yang kemudian dalam negara yang multikultur penting untuk
dihadapkan pada masalah persatuan. Indonesia ditanamkan kepada setiap warga negara akan
sebagai negara kepulauan, yang bapak pendiri pemahaman, sikap dan perilaku terhadap
gerakan nasionalisnya berasal dari pusat (Jakarta). penghormatan dan penghargaan segala bentuk
Berdasar keanekaragaman geografis ini, Sukarno keberagaman dan perbedaan tersebut (Mahfud,
menggunakan konsep Indonesia Raya sebagai 2014: 135). Hal itu dilandasi oleh multikultura-
konsep nasionalisme Indonesia, yang ditujukan lisme yang menjadi semangat dari pembentukan
untuk perumusan masyarakat Indonesia. negara bangsa Indonesia. Multikulturalisme
Indonesia sebagai negara kepulauan, maka menjadi dasar bagi terbentuknya nasionalisme
penyatuan (integrasi) merupakan instrumen kewarganegaraan suatu bangsa.
penting yang dapat digunakan untuk menghadapi
keragaman tersebut. Nasionalisme Indonesia NASIONALISME NEGARA
secara ideologis dimanifestasikan dalam Pancasila
(lima prinsip negara). Lima prinsip tersebut adalah Nasionalisme negara merupakan variasi
kepercayaan kepada Tuhan, humanitarianisme, nasionalisme kewarganegaraan yang sering
nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Hal dikombinasikan dengan nasionalisme etnis. Dalam
ini dipostulasikan sebagai nilai bersama yang nasionalisme negara, bangsa adalah suatu
mendukung masyarakat toleran, majemuk, dan komunitas yang memberikan kontribusi terhadap
religius. pemeliharaan dan kekuatan negara. Unsur
Nasionalisme kewarganegaraan di Papua terpenting dari nasionalisme negara adalah
adalah bentuk kesadaran warga dalam kewilayahan dan regulasi negara. Negara memiliki
keberagaman Indonesia baik etnis, ras, agama, dan wilayah yang berdaulat dan mengatur warganya

104
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)

berdasar serangkaian kebijakan atau perundang- Dalam konteks ini “integrasi” dimaknai sebagai
undangan. kolonisasi Indonesia.
Nasionalisme negara diterapkan di Papua Perbedaaan tajam antara nasionalisme
dalam konteks berbagai kebijakan Pemerintah negara dan nasionalisme etnik mengakibatkan
Pusat baik aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, munculnya kekerasan politik dan pelanggaran
dan pertahanan keamanan. Kebijakan negara HAM. Narasi dominan (nasionalis Indonesia)
tersebut bersifat sentralistik tanpa memperhatikan memaknai “kekerasan” sebagai cara untuk menjaga
kondisi sosial dan budaya lokal (Papua). Papua keutuhan negara Indonesia dan gagasan untuk
dipaksa untuk menerima dan melaksanakan memisahkan dari negara Indonesia ialah
kebijakan Pusat, tanpa kuasa untuk menolaknya. bertentangan dengan hukum. Negara
Politik penyeragaman tersebut tentunya ada yang direpresentasikan oleh militer (TNI) dan
tidak sesuai atau bertentangan dengan kondisi kepentingan negara ialah kepentingan militer
lokal Papua. Sebagai contoh program penggantian dengan formulasi politik negara Indonesia.
“koteka” dengan pakaian nasional, pemberlakuan Sebaliknya, narasi tandingan (nasionalis Papua)
DOM di Papua, penggantian konsumsi sagu memaknai “kekerasan” adalah pelanggaran
dengan beras, dan program transmigrasi. (pelanggaran HAM).
Kebijakan tersebut sering memarginalkan dan Selanjutnya, antara nasionalisme negara
mendiskriminasi penduduk lokal serta dan etnik juga berbeda dalam memaknai
ketergantungan penduduk lokal akan produk- pembangunan di Papua. Narasi dominan
produk dari luar Papua. (nasionalis Indonesia) memaknai “pembangunan”
sebagai upaya modernisasi orang Papua.
RELASI NASIONALISME ETNIK, KEWAR- Sebaliknya, narasi tandingan (nasionalis Papua)
GANEGARAAN, DAN NEGARA DI PAPUA memaknai “pembangunan” sebagai migrasi tenaga
kerja dari luar Papua (Jawa, Maluku, Nusa
Kontestasi wacana dominan antara negara Tenggara, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan wilayah
nasionalisme dan nasionalisme etnik di Papua lain Indonesia) dan marjinalisasi orang Papua.
adalah persoalan sejarah integrasi Papua ke Dalam konteks disparitas ekonomi dan
wilayah negara Indonesia dan identitas politik pembangunan antara Papua dengan daerah-daerah
orang Papua dalam konteks peralihan kekuasaan lain di Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict
dari Belanda ke Indonesia dan Perang Dingin. of interest antara para pendatang di Papua,
Sebenarnya akar konflik Papua adalah perbedaan diskriminasi kebijakan pusat kepada daerah, dan
konstruksi nasionalisme Indonesia dan ekspolitasi Sumber Daya Manusia (SDM) serta
nasionalisme Papua. Narasi dominan (nasionalis budaya Papua. Otonomi Khusus tidak secara
Indonesia) berpandangan bahwa secara teritori otomatis menjamin terciptanya kesejahteraan dan
Papua adalah bagian dari negara Indonesia, status pembangunan ekonomi untuk rakyat Papua. Pada
politik sudah sah melalui Penentuan Pendapat akhirnya Otonomi Khusus yang sudah berjalan
Rakyat (Pepera) dan Resolusi PBB. Dalam sekitar 17 tahun masih menimbulkan pro dan
konteks ini “integrasi” dimaknai sebagai kontra antara Pemerintah Pusat (Jakarta) dan
pembebasan dari kolonialisme Belanda. Papua (Jayapura), serta di antara penduduk Papua
Sebaliknya, narasi tandingan (nasionalis Papua) antara yang pro-otonomi dan menentang otonomi.
memandang bahwa orang Papua bukan bagian dari Sementara itu, jika dianalisis dari aspek
Indonesia karena perbedaan ras, Pepera dianggap aktor konflik (pelaku sosial) berdasar kepentingan
tidak sah karena tidak merepresentasikan aspirasi politik yaitu perjuangan untuk mempertahankan
rakyat Papua. Selain itu, dalam perspektif Papua di dalam negara Indonesia atau sebaliknya
nasionalis Papua, Negara Papua Barat telah ada memisahkan Papua dari negara Indonesia. Dalam
dan diproklamasikan sejak 1 Desember 1961. konteks ini ada tiga kategori pelaku konflik yaitu:
(1) kelompok-kelompok pro-kemerdekaan terdiri

105
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110

atas OPM, TPN, Satgas Papua, Dewan Tengah. Konflik di Papua intensitasnya semakin
Revolusioner OPM, Kelompok Internasional Pro- meningkat, semakin meluas, dan semakin terbuka.
Kemerdekaan; (2) kelompok-kelompok pro- Dimensi konflik di Papua cukup beragam yaitu
negara Indonesia terdiri atas TNI, Polri, Barisan antara Pemerintah Indonesia melawan gerakan
Merah Putih; dan (3) kelompok-kelompok tengah pro-kemerdekaan (OPM), ketegangan antarsuku
mencakup organisasi-organisasi sosial dan dan antara penduduk asli Papua dan penduduk
keagamaan dan media massa (Widjojo (ed.), non-Papua (pendatang). Ragam konflik biasanya
2009). tidak berdiri sendiri, namun saling bersinggungan
Sejak Otonomi Khusus Papua antara faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya
diberlakukan pada 2002, dalam bidang politik yang (Lumintang, 2012: 69; Mambraku, 2015: 76;
menguat adalah munculnya sentimen primordial, Senis, 2013: 39; Supriyono, 2014: 74; Trajano,
seperti putra daerah dan menguatnya identitas 2010; 14). Sementara itu, secara teoretik konflik
etnis menjadi keunggulan untuk meraih Papua dapat diklasifikasikan sebagai separatist
elektabilitas guna memenangi pertarungan conflict dan ethnopolitical conflict, karena ditandai
pemilihan kepala daerah (Lefaan, 2018: 35; oleh adanya tuntutan untuk merdeka dari negara
Nugroho, 2008: 91). Fenomena saat ini adalah Indonesia dan instrumentalisasi etnisitas untuk
makin menguatnya sentimen primordial atas dasar tujuan-tujuan politik (Heidbuchel 2007 dalam
identitas etnis (Kepapuaan) dalam berbagai Widjojo (ed.), 2009: 20).
bidang kehidupan. Muncul pandangan yang tajam Konflik yang terjadi karena faktor politik
antara putra daerah (Papua) dan pendatang (non- (konflik politik) muncul dalam dua bentuk yaitu
Papua) dalam interaksi sosial di Papua. Otonomi kekerasan politik dan konflik dalam pilkada (Marit
daerah dimaknai secara sempit sebagai otonomi & Warami, 2018: 41; Widjojo (ed.), 2009: 12;
putra daerah. Hal yang tidak dapat dielakkan Wonda, 2016: 113). Kekerasan politik adalah
adalah meniadakan heterogen, karena sumbu pengalaman objektif yang dialami oleh rakyat
kehidupan harus ditentukan oleh putra daerah Papua sebagai akibat dari strategi utama
sendiri. Dapat dikatakan bahwa pada masa Pemerintah Pusat untuk memerangi OPM.
otonomi, pemerintah daerah memiliki kekuasaan Periode 1962-1964 dapat dikatakan sebagai
yang otonom, ikatan primordialisme kesukuan perang rahasia antara TNI dengan OPM.
meningkat dan nyaris menghilangkan rasa Representasi menonjol negara dan Pemerintah
kebangsaan. Hal ini tentu saja bisa menjadi Pusat adalah aparat militer dan kepolisian, atau
ancaman bagi persatuan bangsa dan kehidupan institusi negara hadir di Papua dalam bentuk
yang harmonis dalam masyarakat yang heterogen. kekuatan-kekuatan militer. Konteks politik
Praktik seperti itu juga memperlemah Indonesia Orde Baru, kekerasan politik
Keindonesiaan (nasionalisme negara), sehingga dijustifikasi sebagai tugas mulia TNI dalam
nasionalisme kini menjadi tema yang berat. mempertahankan negara Indonesia dengan
Nasionalisme tergerus oleh primordialisme dan semboyan “NKRI Harga Mati”.
globalisasi dunia, artinya nasionalisme mengalami Pengalaman orang Papua terhadap
gempuran hebat, sehingga bangun Keindonesiaan kekerasan politik menumbuhkan ingatan kolektif
terasa memudar dan kerap menjadi demikian tentang penderitaan yang sering disebut dengan
lemah (Edy., Setyowati., & Wasino, 2018: 64; memoria passionis. Memoria passionis adalah
Lindayanti & Zaiyardam, 2015: 171). suatu ingatan (kenangan) masa lalu yang tidak bisa
Relasi Indonesia dan Papua yang dominan lupa dari ranah kehidupannya karena suatu
adalah ketidakharmonisan (Marit & Warami, pengalaman peristiwa yang menyakitkan baik fisik
2018: 41) dalam bentuk aksi demonstrasi dan maupun psikis dan ceritanya akan dikenang oleh
konflik di beberapa kota di Papua, seperti di generasi ke generasi berikutnya. Memoria
Jayapura, Sorong, Biak, Mimika, Nabire, passionis mengacu pada kenangan akan trauma
Manokwari, dan beberapa wilayah di Pegunungan akibat kekerasan terbuka dan marjinalisasi sosial

106
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)

dan ekonomi secara umum (Suryawan, 2012: agama yang eksklusif yang dibantu oleh dana
144). pemerintah.
Konflik antara OPM dan Indonesia terjadi Aksi demonstrasi, kekerasan, teror, dan
karena ada perbedaan tajam antara nasionalis konflik di Papua (Jayapura) intensitasnya cukup
Indonesia dan nasionalis Papua dalam memaknai tinggi terutama menjelang, pada saat dan setelah 1
“integrasi” Papua ke negara Indonesia, Widjojo Desember setiap tahun yang diklaim oleh
(ed.) (2009: 10-11) menarik simpulan sebagai sekelompok masyarakat Papua sebagai hari
berikut. kemerdekaan Papua. Khusus yang terjadi di
“Historiografi dan status politik Papua haruslah Jayapura hal ini karena Jayapura sebagai pusat
dilihat sebagai hasil pertarungan politik antara perekonomian, pendidikan, kebudayaan,
Indonesia dan Belanda di mana rakyat Papua tidak pemerintahan dan aktivitas politik di Tanah Papua.
dilibatkan di dalamnya. Selain itu juga harus
dipandang dalam konteksnya yaitu masa perang
Pada era reformasi dan Otonomi Khusus
dingin dimana Amerika Serikat berusaha Papua ketegangan dan konflik baik vertikal
membendung pengaruh Uni Soviet melalui maupun horizontal masih terjadi di Papua. Narasi
dukungannya terhadap integrasi Papua ke dominan (nasionalis Indonesia) bahwa “Otonomi
Indonesia. Sebagai implikasinya, penulisan narasi Khusus” diletakkan dalam konteks integrasi
besar yakni sejarah integrasi Papua dan nasional dan pembangunan (Iry, 2009: 19; Reumi,
pendefinisian status politik Papua, yang didominasi 2015: 102; Wonda, 2016: 113). Sebaliknya, narasi
para nasionalis Indonesia, tidak memberikan ruang
bagi nasionalisme Papua sebagai antitesis dari
tandingan (nasionalis Papua) bahwa “Otsus”
nasionalisme Indonesia. Namun, yang harus sebagai pelurusan sejarah Papua, perlindungan
menjadi catatan adalah bahwa konstruksi hak-hak orang Papua, pembangunan untuk orang
nasionalisme Papua ini telah dibentuk pada masa Papua dan repapuanisasi. Pada konteks
kolonial Belanda yang dapat saja ditujukan oleh pengalaman orang Papua, marjinalisasi dapat
Belanda untuk mengklaim perbedaan ras orang dilihat pada aspek demografi, ekonomi, dan
Papua dengan orang Indonesia dan politik. Pada bidang-bidang tersebut penduduk asli
mempertahankan Belanda di Tanah Papua”.
Papua kalah dominan peranannya dibandingkan
penduduk non-Papua (pendatang), kecuali untuk
Tanah Papua juga memiliki potensi
saat ini di bidang politik (pemerintahan)
ketegangan (konflik) antarumat beragama
penduduk asli Papua mendominasi dibandingkan
khususnya antara umat Islam dan Kristen (Afwan,
pendatang.
2015: 13; Crisis Group Asia Briefing No 66, 19 Juli
Nasionalisme etnik Papua tetap tumbuh
2007; Crisis Group Asia Report No 154, 16 Juni
dan berkembang dengan karakteristik (keunikan)
2008; Crisis Group Asia Report No 188, March 11,
yang berbeda dengan etno-nasionalisme lain di
2010). Penyebab utamanya yaitu: (1) perubahan
Indonesia. Namun dalam jangka panjang
demografis: perpindahan penduduk Muslim dari
nasionalisme etnik menyatu dalam nasionalime
daerah lain di Indonesia ke Papua yang terus
kewarganegaraan. Penguatan civic nasionalisme di
berlangsung; (2) munculnya kelompok-kelompok
Papua harus ditumbuhkembangkan. Semangat
baru yang bersifat eksklusif di masyarakat Islam
merawat toleransi sesama anak bangsa (khususnya
maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi
generasi muda) harus dikedepankan (Jati, (ed.),
bahwa agama yang lain adalah musuh; (3) imbas
2017: 25-26; Zuhdi, 2017: 38-39). Setiap warga
dari konflik Maluku yang tidak hilang-hilang; dan
negara harus menjunjung tinggi perbedaan dan
(4) pengaruh dari perkembangan di luar Papua
keragaman serta mengeliminasi perbedaan sebagai
dan teknologi baru. Pemerintah daerah maupun
sumber pertentangan dan konflik yang akan
pusat perlu memastikan bahwa tidak ada peraturan
merusak konstruksi Keindonesiaan.
daerah yang diskriminatif yang dijadikan undang-
undang dan tidak ada kegiatan oleh organisasi

107
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110

SIMPULAN Muhammadiyah Metro. Jurnal Historia,


3(2): 109-118.
Dinamika pertumbuhan dan perkembangan ethnic Andriana, N. (Ed.). (2016). Nasionalisme dan
nasionalisme Papua sejak integrasi Papua ke Keindonesiaan di Perbatasan. Yogyakarta:
Indonesia hingga era reformasi dipengaruhi oleh Calpulis – LIPI.
kebijakan Pemerintah Pusat (Jakarta). Creswell, J. W. (2014). Research Design:
Menguatnya nasionalisme etnik Papua karena Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
kebijakan pemerintah yang tidak diterima sepe- Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
nuhnya oleh orang asli Papua (OAP). OAP merasa Crisis Group Asia Briefing No 66, 19 Juli 2007.
dimarginalisasi dan didiskriminasi dalam proses Papua: Perspektif Lokal atas Konflik.
pembangunan baik aspek politik, ekonomi, sosial Jakarta/Brussels: International Crisis
dan budaya khususnya di masa Orde Baru. Group.
Nasionalisme etnik Papua ditandai oleh adanya Crisis Group Asia Report No 154, 16 Juni 2008.
tuntutan untuk merdeka dari negara Indonesia dan Indonesia: Ketegangan Antar Agama di
digunakannya instrumentalisasi etnisitas untuk Papua. Jakarta/Brussels: International Crisis
tujuan-tujuan politik. Nasionalisme etnik akhirnya Group.
menggeser kewarganegaraan dan atau negara Crisis Group Asia Report No 188, March 11,
nasionalisme sebagai bagian dari negara Indonesia. 2010. Radicalisation and Dialogue in Papua.
Dalam jangka panjang nasionalisme etnik dapat Jakarta/Brussels: International Crisis
berkembang menjadi nasionalime kewarganega- Group.
raan. Penguatan civic nasionalisme harus Edy, A, N., Setyowati, D, L., & Wasino, 2018.
ditumbuhkembangkan khususnya pada generasi “Implementation of Character Education
muda Papua (pelajar dan mahasiswa). Setiap through Nationality Historical Learning in
warga negara Indonesia di Tanah Papua harus SMK Negeri Karangdadap Pekalongan
menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman serta Regency”. Journal of Educational Social
mengeliminir perbedaan sebagai sumber Studies (JESS), 7(1): 61-66.
pertentangan dan konflik yang akan merusak Hardiansyah, A. (2013). “Teori Pengetahuan
konstruksi dan narasi nasionalisme kewarga- Edmund Husserl”. Jurnal Substantia. Vol.
negaraan. 15(2): 228-238.
Hasbiansyah (2008). “Pendekatan Fenomenologi:
REFERENSI Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu
Sosial dan Komunikasi”. Jurnal Mediator,
Abdullah, T. (2001). Nasionalisme & Sejarah. 9(1):163-180.
Bandung: CV. Satya Historika. Iry, A. G. (2009). Dari Papua Meneropong
Aditjondro, G. J. (2000). Cahaya Bintang Kejora: Indonesia: Darah Mengalir di Bumi
Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Cenderawasih. Jakarta: Grasindo.
Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Jailani, M. S. (2013). “Ragam Penelitian
Elsam. Qualitative (Ethnografi, Fenomenologi,
Afwan, B. A. (2015). Mutiara Terpendam Papua: Grounded Theory dan Studi Kasus)”. Jurnal
Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Edu-Bio, 4: 41-50.
Tanah Papua. Yogyakarta: Sekolah Jati, W. R. (Ed.). (2017). Relasi Nasionalisme dan
Pascasarjana UGM. Globalisasi Kontemporer: Sebuah Kajian
Amboro, K. (2015). “Membangun Kesadaran Konseptual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -
Berawal Dari Pemahaman: Relasi LIPI.
Pemahaman Sejarah Dengan Kesadaran Kaisiepo, M. (1999). “Ke-Irian-an dan Ke-
Sejarah Mahasiswa Program Studi Indonesia-an: Mengkaji Nasionalisme
Pendidikan Sejarah FKIP Universitas dalam Konteks Lokal”, dalam Palit, D.I,

108
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)

(Ed.), Dinamika Nasionalisme Pamungkas, C. (2016). “Nationalism of Border


Indonesia. Salatiga: Yayasan Bina Society: Case Study of Sangir People,
Darma. Sangihe Regency”. Journal Komunitas,
Kartodirdjo, S. (1994). Pembangunan Bangsa 8(1): 59-72.
tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Pujiriyani, D. W. (2013). “Re-Imajinasi Ke-
Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Indonesiaan Dalam Konteks “Network
Media. Society”. Jurnal Komunitas, 5 (2): 151-161.
Larasati, C. E. (2014). “Representasi Identitas Rachman, M. (2015). 5 Pendekatan Penelitian.
Etnis Papua Dalam Film Lost In Papua”. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Jurnal Commonline Departemen Rahab, A. (2006). “Operasi-Operasi Militer di
Komunikasi, 3 (3): 488-497. Papua: Pagar Makan Tanaman?”. Jurnal
Lefaan, A. (2018). “Mengantisipasi Politik Penelitian Politik, 3 (1): 3-23.
Representasi Menjelang Pilkada 2018 Di Reumi, F. (2015). “Semangat Otonomi Khusus
Papua (Fenomena Politik Dari Masa ke dan Sistem Federal Dalam Mempertahan-
Masa yang Tidak Pernah Pupus)”. Jurnal kan NKRI”. Jurnal Hukum dan Masyarakat,
Ilmu Sosial, 16(1): 35-40. 14 (2): 100-129.
Lindayanti & Zaiyardam, (2015). “Konflik dan Samego (2008). Menumbuhkan (Kembali) Nasiona-
Integrasi Dalam Masyarakat Plural: Jambi lisme Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal.
1979-2012”. Jurnal Paramita, 25(2): 169- Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
184. Senis, Y. (2013). “Globalisasi dan Kemiskinan Di
Lumintang, O. M. (2012). “Konflik Tanah Di Arso Papua Dalam Perspektif Gramsci”. Jurnal
Papua 1980-2002”. Jurnal Paramita, 22 (1): Dinamika Sosial, 1 (1): 39-48.
69-80. Soedharto, (1995). Sejarah Perjuangan Bangsa
Mahfud, C. (2014). Pendidikan Multikultural. Indonesia di Irian Jaya. Jayapura: DHD-45
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Provinsi Irian Jaya dan BP-7 Provinsi Irian
Mambraku, N. S. (2015). “Penyelesaian Konflik di Jaya.
Tanah Papua Dalam Perspektif Politik”. Supriyono, J. (2014). “Diskursus Kolonialistik
Jurnal Kajian, 20 (2): 75-85. dalam Pembangunan di Papua: Orang
Marit, E, L., & Warami, H. (2018). “Wacana Papua dalam Pandangan Negara”. Jurnal
‘Papua Tanah Damai’ Dalam Bingkai Ultima Humaniora, (2) 1: 59-78.
Otonomi Khusus Papua”. Jurnal Ilmu Surakhmad, W. (2009). Pendidikan Nasional
Sosial, 16 (1): 41-46. Strategi dan Tragedi, Jakarta: PT Kompas
Meteray, B. (2012). Nasionalisme Ganda Orang Media Nusantara.
Papua, Jakarta: PT. Kompas Media Suryadi, A., Hayat, B., Rustana, C., & Abduhzen,
Nusantara. M. (2014). Pendidikan untuk Transformasi
Narwaya, St, T, G., Faruk, H, T. & Budiawan, Bangsa: Arah Baru Pendidikan untuk
(2018). “Politik Negosiasi Diskursus Perubahan Mental Bangsa. Jakarta: PT.
Rekonsiliasi 1965 Dan Imaji Keindonesia- Kompas Media Nusantara.
an Pasca-Orde Baru”. Jurnal Politik Suryawan, I. Ng. (2012). “Dari Memoria Passionis
Profetik, 6 (1): 54-74. Ke Foreri: Sejarah Politik Papua 1999-
Novianti, D., & Tripambudi, S. (2014). “Studi 2000”. Jurnal Paramita, 22 (2): 143-156.
Fenomenologi: Tumbuhnya Prasangka etnis Trajano, J.C.I. L. (2010). “Ethnic Nationalisme
di Yogyakarta”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12 and Separatism in West Papua, Indonesia”.
(2): 119-135. Journal of Peace, Conflict and Development,
Nugroho, R, (2008). Pendidikan Indonesia: Issue 16: 12-35.
Harapan, Visi, dan Strategi. Yogyakarta: Widjojo, M. S. (Ed.). 2009. Papua Road Map:
Pustaka Pelajar. Negotiating the Past, Improve the Present

109
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110

and Securing the Future. Jakarta: LIPI –


Yayasan Tifa – Yayasan Obor Indonesia.
Wonda, Y. (2016). “Responsitif Kebijakan
Pemerintah Terhadap Dinamika Perjuangan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) Di
Kabupaten Puncak Jaya”. Jurnal Ekologi
Birokrasi, 2 (1): 108-121.
Zuhdi, S. (2017). Integrasi Bangsa Dalam Bingkai
Keindonesiaan. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.

110

Anda mungkin juga menyukai