Diterima/ Received: 17 Juli 2019; Direvisi/ Revised: 8 Agustus 2019; Disetujui/ Accepted: 11 Desember 2019
Abstract
This article aims to discuss the dynamics of relations between ethnic nationalism, civic nationalism and state
nationalism in the Land of Papua. The growth and development of Papuan ethnic nationalism since the integration of
Papua into reform was caused by Indonesian state policies. Historical method is used in this research. The research
approach is a qualitative approach to phenomenological research design. Strengthening Papuan ethnic nationalism
due to the Central Government's (Jakarta) policies that were not fully accepted by indigenous Papuans. The Papuan
people felt marginalized and discriminated against in the process of development in both the political, economic, social
and cultural fields, especially during the New Order government. Papuan ethnic nationalism is characterized by
demands for independence from the Indonesian state and instrumentalization of ethnicity for political purposes.
Ethnic nationalism eventually shifts the civic and or state nationalism as part of the Indonesian state.
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk membahas dinamika relasi antara ethnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state
nasionalisme di Tanah Papua. Pertumbuhan dan perkembangan ethnic nasionalisme Papua sejak integrasi Papua
hingga reformasi disebabkan oleh kebijakan negara Indonesia. Artikel ini disusun berdasarkan penelitian historis.
Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi. Menguatnya etno-
nasionalisme Papua karena kebijakan Pemerintah Pusat (Jakarta) yang tidak diterima sepenuhnya oleh orang asli
Papua (OAP). Rakyat Papua merasa dimarginalisasi dan didiskriminasi dalam proses pembangunan baik bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya khususnya di masa pemerintahan Orde Baru. Ethnic nasionalisme Papua ditandai
oleh adanya tuntutan untuk merdeka dari negara Indonesia dan instrumentalisasi etnisitas untuk tujuan-tujuan politik.
Ethnic nasionalisme akhirnya menggeser civic dan atau state nasionalisme sebagai bagian dari negara Indonesia.
100
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)
101
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110
102
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)
103
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110
pembangunan daerah menjadi sangat sentral budaya. Warga sadar bahwa hidup di negara yang
dalam wacana politik, dan sangat sensitif jika beragam dituntut adanya toleransi dalam interaksi
bersinggungan dengan politik identitas. Identitas sosial. Papua sebagai “miniatur” Indonesia maka
dalam hal ini mampu merusak nasionalisme itu toleransi antarwarga masyarakat adalah kenisca-
sendiri sekaligus juga mampu membangkitkan yaan dalam mewujudkan Papua sebagai tanah
etno-nasionalisme yang menjadi dasar perlawanan damai. Salah satu contoh nasionalisme
baru terhadap negara. kewarganegaraan di Papua tampak dalam toleransi
Identitas Ke-Papua-an terus memosisikan antarumat beragama, khususnya di wilayah Fakfak
diri sebagai ideologi yang cenderung bertentangan dan Kaimana dengan semboyan “Satu Tungku
dengan logika identitas yang dibentuk oleh negara. Tiga Batu”. Makna dari semboyan tersebut bahwa
Identitas menjadi instrumen penting yang dalam satu rumah (keluarga) terdapat tiga agama
membentuk sebuah rasa bersama yang hadir untuk yang dianut di antara para anggota keluarga (ayah,
melepaskan diri dari Pemerintah Pusat (Jakarta), ibu dan anak). Pada dasarnya nasionalisme
karena Indonesia dianggap sebagai penjajah. Oleh kewarganegaraan di Papua berkembang cukup
karena itu, di Papua, identitas menjadi hal yang baik dengan adanya toleransi antar umat
paling dipertahankan oleh masyarakatnya. beragama, antaretnis, antarbudaya, dan lainya pada
diri warga negara yang tinggal di Tanah Papua.
NASIONALISME KEWARGANEGARAAN Munculnya gesekan, konflik dan lainnya adalah
keniscayaan pada daerah dan atau negara
Nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme multikultur, seperti Papua dan atau Indonesia.
sipil) adalah nasionalisme yang menempatkan/ Prinsipnya adalah bagaimana pemerintah Pusat
memosisikan negara dalam memperoleh dan Daerah beserta semua elemen masyarakat
kebenaran politik dari partisipasi aktif rakyatnya. mengelola modal multikultur dengan bijak,
Keanggotaan suatu bangsa dalam hal ini bersifat dengan jalan penegakan hukum dan penciptaan
sukarela. Negara Indonesia lahir pada 1945 akibat keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu,
dari penjajahan Belanda yang kemudian dalam negara yang multikultur penting untuk
dihadapkan pada masalah persatuan. Indonesia ditanamkan kepada setiap warga negara akan
sebagai negara kepulauan, yang bapak pendiri pemahaman, sikap dan perilaku terhadap
gerakan nasionalisnya berasal dari pusat (Jakarta). penghormatan dan penghargaan segala bentuk
Berdasar keanekaragaman geografis ini, Sukarno keberagaman dan perbedaan tersebut (Mahfud,
menggunakan konsep Indonesia Raya sebagai 2014: 135). Hal itu dilandasi oleh multikultura-
konsep nasionalisme Indonesia, yang ditujukan lisme yang menjadi semangat dari pembentukan
untuk perumusan masyarakat Indonesia. negara bangsa Indonesia. Multikulturalisme
Indonesia sebagai negara kepulauan, maka menjadi dasar bagi terbentuknya nasionalisme
penyatuan (integrasi) merupakan instrumen kewarganegaraan suatu bangsa.
penting yang dapat digunakan untuk menghadapi
keragaman tersebut. Nasionalisme Indonesia NASIONALISME NEGARA
secara ideologis dimanifestasikan dalam Pancasila
(lima prinsip negara). Lima prinsip tersebut adalah Nasionalisme negara merupakan variasi
kepercayaan kepada Tuhan, humanitarianisme, nasionalisme kewarganegaraan yang sering
nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Hal dikombinasikan dengan nasionalisme etnis. Dalam
ini dipostulasikan sebagai nilai bersama yang nasionalisme negara, bangsa adalah suatu
mendukung masyarakat toleran, majemuk, dan komunitas yang memberikan kontribusi terhadap
religius. pemeliharaan dan kekuatan negara. Unsur
Nasionalisme kewarganegaraan di Papua terpenting dari nasionalisme negara adalah
adalah bentuk kesadaran warga dalam kewilayahan dan regulasi negara. Negara memiliki
keberagaman Indonesia baik etnis, ras, agama, dan wilayah yang berdaulat dan mengatur warganya
104
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)
berdasar serangkaian kebijakan atau perundang- Dalam konteks ini “integrasi” dimaknai sebagai
undangan. kolonisasi Indonesia.
Nasionalisme negara diterapkan di Papua Perbedaaan tajam antara nasionalisme
dalam konteks berbagai kebijakan Pemerintah negara dan nasionalisme etnik mengakibatkan
Pusat baik aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, munculnya kekerasan politik dan pelanggaran
dan pertahanan keamanan. Kebijakan negara HAM. Narasi dominan (nasionalis Indonesia)
tersebut bersifat sentralistik tanpa memperhatikan memaknai “kekerasan” sebagai cara untuk menjaga
kondisi sosial dan budaya lokal (Papua). Papua keutuhan negara Indonesia dan gagasan untuk
dipaksa untuk menerima dan melaksanakan memisahkan dari negara Indonesia ialah
kebijakan Pusat, tanpa kuasa untuk menolaknya. bertentangan dengan hukum. Negara
Politik penyeragaman tersebut tentunya ada yang direpresentasikan oleh militer (TNI) dan
tidak sesuai atau bertentangan dengan kondisi kepentingan negara ialah kepentingan militer
lokal Papua. Sebagai contoh program penggantian dengan formulasi politik negara Indonesia.
“koteka” dengan pakaian nasional, pemberlakuan Sebaliknya, narasi tandingan (nasionalis Papua)
DOM di Papua, penggantian konsumsi sagu memaknai “kekerasan” adalah pelanggaran
dengan beras, dan program transmigrasi. (pelanggaran HAM).
Kebijakan tersebut sering memarginalkan dan Selanjutnya, antara nasionalisme negara
mendiskriminasi penduduk lokal serta dan etnik juga berbeda dalam memaknai
ketergantungan penduduk lokal akan produk- pembangunan di Papua. Narasi dominan
produk dari luar Papua. (nasionalis Indonesia) memaknai “pembangunan”
sebagai upaya modernisasi orang Papua.
RELASI NASIONALISME ETNIK, KEWAR- Sebaliknya, narasi tandingan (nasionalis Papua)
GANEGARAAN, DAN NEGARA DI PAPUA memaknai “pembangunan” sebagai migrasi tenaga
kerja dari luar Papua (Jawa, Maluku, Nusa
Kontestasi wacana dominan antara negara Tenggara, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan wilayah
nasionalisme dan nasionalisme etnik di Papua lain Indonesia) dan marjinalisasi orang Papua.
adalah persoalan sejarah integrasi Papua ke Dalam konteks disparitas ekonomi dan
wilayah negara Indonesia dan identitas politik pembangunan antara Papua dengan daerah-daerah
orang Papua dalam konteks peralihan kekuasaan lain di Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict
dari Belanda ke Indonesia dan Perang Dingin. of interest antara para pendatang di Papua,
Sebenarnya akar konflik Papua adalah perbedaan diskriminasi kebijakan pusat kepada daerah, dan
konstruksi nasionalisme Indonesia dan ekspolitasi Sumber Daya Manusia (SDM) serta
nasionalisme Papua. Narasi dominan (nasionalis budaya Papua. Otonomi Khusus tidak secara
Indonesia) berpandangan bahwa secara teritori otomatis menjamin terciptanya kesejahteraan dan
Papua adalah bagian dari negara Indonesia, status pembangunan ekonomi untuk rakyat Papua. Pada
politik sudah sah melalui Penentuan Pendapat akhirnya Otonomi Khusus yang sudah berjalan
Rakyat (Pepera) dan Resolusi PBB. Dalam sekitar 17 tahun masih menimbulkan pro dan
konteks ini “integrasi” dimaknai sebagai kontra antara Pemerintah Pusat (Jakarta) dan
pembebasan dari kolonialisme Belanda. Papua (Jayapura), serta di antara penduduk Papua
Sebaliknya, narasi tandingan (nasionalis Papua) antara yang pro-otonomi dan menentang otonomi.
memandang bahwa orang Papua bukan bagian dari Sementara itu, jika dianalisis dari aspek
Indonesia karena perbedaan ras, Pepera dianggap aktor konflik (pelaku sosial) berdasar kepentingan
tidak sah karena tidak merepresentasikan aspirasi politik yaitu perjuangan untuk mempertahankan
rakyat Papua. Selain itu, dalam perspektif Papua di dalam negara Indonesia atau sebaliknya
nasionalis Papua, Negara Papua Barat telah ada memisahkan Papua dari negara Indonesia. Dalam
dan diproklamasikan sejak 1 Desember 1961. konteks ini ada tiga kategori pelaku konflik yaitu:
(1) kelompok-kelompok pro-kemerdekaan terdiri
105
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110
atas OPM, TPN, Satgas Papua, Dewan Tengah. Konflik di Papua intensitasnya semakin
Revolusioner OPM, Kelompok Internasional Pro- meningkat, semakin meluas, dan semakin terbuka.
Kemerdekaan; (2) kelompok-kelompok pro- Dimensi konflik di Papua cukup beragam yaitu
negara Indonesia terdiri atas TNI, Polri, Barisan antara Pemerintah Indonesia melawan gerakan
Merah Putih; dan (3) kelompok-kelompok tengah pro-kemerdekaan (OPM), ketegangan antarsuku
mencakup organisasi-organisasi sosial dan dan antara penduduk asli Papua dan penduduk
keagamaan dan media massa (Widjojo (ed.), non-Papua (pendatang). Ragam konflik biasanya
2009). tidak berdiri sendiri, namun saling bersinggungan
Sejak Otonomi Khusus Papua antara faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya
diberlakukan pada 2002, dalam bidang politik yang (Lumintang, 2012: 69; Mambraku, 2015: 76;
menguat adalah munculnya sentimen primordial, Senis, 2013: 39; Supriyono, 2014: 74; Trajano,
seperti putra daerah dan menguatnya identitas 2010; 14). Sementara itu, secara teoretik konflik
etnis menjadi keunggulan untuk meraih Papua dapat diklasifikasikan sebagai separatist
elektabilitas guna memenangi pertarungan conflict dan ethnopolitical conflict, karena ditandai
pemilihan kepala daerah (Lefaan, 2018: 35; oleh adanya tuntutan untuk merdeka dari negara
Nugroho, 2008: 91). Fenomena saat ini adalah Indonesia dan instrumentalisasi etnisitas untuk
makin menguatnya sentimen primordial atas dasar tujuan-tujuan politik (Heidbuchel 2007 dalam
identitas etnis (Kepapuaan) dalam berbagai Widjojo (ed.), 2009: 20).
bidang kehidupan. Muncul pandangan yang tajam Konflik yang terjadi karena faktor politik
antara putra daerah (Papua) dan pendatang (non- (konflik politik) muncul dalam dua bentuk yaitu
Papua) dalam interaksi sosial di Papua. Otonomi kekerasan politik dan konflik dalam pilkada (Marit
daerah dimaknai secara sempit sebagai otonomi & Warami, 2018: 41; Widjojo (ed.), 2009: 12;
putra daerah. Hal yang tidak dapat dielakkan Wonda, 2016: 113). Kekerasan politik adalah
adalah meniadakan heterogen, karena sumbu pengalaman objektif yang dialami oleh rakyat
kehidupan harus ditentukan oleh putra daerah Papua sebagai akibat dari strategi utama
sendiri. Dapat dikatakan bahwa pada masa Pemerintah Pusat untuk memerangi OPM.
otonomi, pemerintah daerah memiliki kekuasaan Periode 1962-1964 dapat dikatakan sebagai
yang otonom, ikatan primordialisme kesukuan perang rahasia antara TNI dengan OPM.
meningkat dan nyaris menghilangkan rasa Representasi menonjol negara dan Pemerintah
kebangsaan. Hal ini tentu saja bisa menjadi Pusat adalah aparat militer dan kepolisian, atau
ancaman bagi persatuan bangsa dan kehidupan institusi negara hadir di Papua dalam bentuk
yang harmonis dalam masyarakat yang heterogen. kekuatan-kekuatan militer. Konteks politik
Praktik seperti itu juga memperlemah Indonesia Orde Baru, kekerasan politik
Keindonesiaan (nasionalisme negara), sehingga dijustifikasi sebagai tugas mulia TNI dalam
nasionalisme kini menjadi tema yang berat. mempertahankan negara Indonesia dengan
Nasionalisme tergerus oleh primordialisme dan semboyan “NKRI Harga Mati”.
globalisasi dunia, artinya nasionalisme mengalami Pengalaman orang Papua terhadap
gempuran hebat, sehingga bangun Keindonesiaan kekerasan politik menumbuhkan ingatan kolektif
terasa memudar dan kerap menjadi demikian tentang penderitaan yang sering disebut dengan
lemah (Edy., Setyowati., & Wasino, 2018: 64; memoria passionis. Memoria passionis adalah
Lindayanti & Zaiyardam, 2015: 171). suatu ingatan (kenangan) masa lalu yang tidak bisa
Relasi Indonesia dan Papua yang dominan lupa dari ranah kehidupannya karena suatu
adalah ketidakharmonisan (Marit & Warami, pengalaman peristiwa yang menyakitkan baik fisik
2018: 41) dalam bentuk aksi demonstrasi dan maupun psikis dan ceritanya akan dikenang oleh
konflik di beberapa kota di Papua, seperti di generasi ke generasi berikutnya. Memoria
Jayapura, Sorong, Biak, Mimika, Nabire, passionis mengacu pada kenangan akan trauma
Manokwari, dan beberapa wilayah di Pegunungan akibat kekerasan terbuka dan marjinalisasi sosial
106
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)
dan ekonomi secara umum (Suryawan, 2012: agama yang eksklusif yang dibantu oleh dana
144). pemerintah.
Konflik antara OPM dan Indonesia terjadi Aksi demonstrasi, kekerasan, teror, dan
karena ada perbedaan tajam antara nasionalis konflik di Papua (Jayapura) intensitasnya cukup
Indonesia dan nasionalis Papua dalam memaknai tinggi terutama menjelang, pada saat dan setelah 1
“integrasi” Papua ke negara Indonesia, Widjojo Desember setiap tahun yang diklaim oleh
(ed.) (2009: 10-11) menarik simpulan sebagai sekelompok masyarakat Papua sebagai hari
berikut. kemerdekaan Papua. Khusus yang terjadi di
“Historiografi dan status politik Papua haruslah Jayapura hal ini karena Jayapura sebagai pusat
dilihat sebagai hasil pertarungan politik antara perekonomian, pendidikan, kebudayaan,
Indonesia dan Belanda di mana rakyat Papua tidak pemerintahan dan aktivitas politik di Tanah Papua.
dilibatkan di dalamnya. Selain itu juga harus
dipandang dalam konteksnya yaitu masa perang
Pada era reformasi dan Otonomi Khusus
dingin dimana Amerika Serikat berusaha Papua ketegangan dan konflik baik vertikal
membendung pengaruh Uni Soviet melalui maupun horizontal masih terjadi di Papua. Narasi
dukungannya terhadap integrasi Papua ke dominan (nasionalis Indonesia) bahwa “Otonomi
Indonesia. Sebagai implikasinya, penulisan narasi Khusus” diletakkan dalam konteks integrasi
besar yakni sejarah integrasi Papua dan nasional dan pembangunan (Iry, 2009: 19; Reumi,
pendefinisian status politik Papua, yang didominasi 2015: 102; Wonda, 2016: 113). Sebaliknya, narasi
para nasionalis Indonesia, tidak memberikan ruang
bagi nasionalisme Papua sebagai antitesis dari
tandingan (nasionalis Papua) bahwa “Otsus”
nasionalisme Indonesia. Namun, yang harus sebagai pelurusan sejarah Papua, perlindungan
menjadi catatan adalah bahwa konstruksi hak-hak orang Papua, pembangunan untuk orang
nasionalisme Papua ini telah dibentuk pada masa Papua dan repapuanisasi. Pada konteks
kolonial Belanda yang dapat saja ditujukan oleh pengalaman orang Papua, marjinalisasi dapat
Belanda untuk mengklaim perbedaan ras orang dilihat pada aspek demografi, ekonomi, dan
Papua dengan orang Indonesia dan politik. Pada bidang-bidang tersebut penduduk asli
mempertahankan Belanda di Tanah Papua”.
Papua kalah dominan peranannya dibandingkan
penduduk non-Papua (pendatang), kecuali untuk
Tanah Papua juga memiliki potensi
saat ini di bidang politik (pemerintahan)
ketegangan (konflik) antarumat beragama
penduduk asli Papua mendominasi dibandingkan
khususnya antara umat Islam dan Kristen (Afwan,
pendatang.
2015: 13; Crisis Group Asia Briefing No 66, 19 Juli
Nasionalisme etnik Papua tetap tumbuh
2007; Crisis Group Asia Report No 154, 16 Juni
dan berkembang dengan karakteristik (keunikan)
2008; Crisis Group Asia Report No 188, March 11,
yang berbeda dengan etno-nasionalisme lain di
2010). Penyebab utamanya yaitu: (1) perubahan
Indonesia. Namun dalam jangka panjang
demografis: perpindahan penduduk Muslim dari
nasionalisme etnik menyatu dalam nasionalime
daerah lain di Indonesia ke Papua yang terus
kewarganegaraan. Penguatan civic nasionalisme di
berlangsung; (2) munculnya kelompok-kelompok
Papua harus ditumbuhkembangkan. Semangat
baru yang bersifat eksklusif di masyarakat Islam
merawat toleransi sesama anak bangsa (khususnya
maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi
generasi muda) harus dikedepankan (Jati, (ed.),
bahwa agama yang lain adalah musuh; (3) imbas
2017: 25-26; Zuhdi, 2017: 38-39). Setiap warga
dari konflik Maluku yang tidak hilang-hilang; dan
negara harus menjunjung tinggi perbedaan dan
(4) pengaruh dari perkembangan di luar Papua
keragaman serta mengeliminasi perbedaan sebagai
dan teknologi baru. Pemerintah daerah maupun
sumber pertentangan dan konflik yang akan
pusat perlu memastikan bahwa tidak ada peraturan
merusak konstruksi Keindonesiaan.
daerah yang diskriminatif yang dijadikan undang-
undang dan tidak ada kegiatan oleh organisasi
107
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110
108
Susanto T. Handoko & La Ode Hasirun (Nasionalisme Etnik, Nasionalisme Negara, Nasionalisme Kewarganegaraan di Papua)
109
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 100-110 | E-ISSN: 2443-0110
110