Anda di halaman 1dari 16

IDENTITAS NASIONAL

1. Hakikat dan Dimensi Identitas Nasional


Identitas adalah ungkapan nilai–nilai budaya suatu bangsa yang bersifat
khas dan membedakannya dengan bangsa lain. Kekhasan yang melekat pada
sebuah bangsa banyak dikaitkan dengan sebutan “ Identitas Nasional “. Namun
demikian, proses pembentukan identitas nasional bukan sesuatu yang sudah
selesai, tetapi sesuatu yang terus berkembang dan kontekstual mengikuti
perkembangan zaman. Sifat identitas nasional yang relatif dan kontekstual
mengharuskan setiap bangsa untuk selalu kritis terhadap identitas nasionalnya
serta selalu menyegarkan pemahaman dan pemaknaan terhadap jati dirinya.
Pertanyaan reflektif selayaknya ditunjukkan kepada identitas – identitas khas yang
selalam ini melekat pada bangsa Indonesia(Ubaedilah, dan Abdul, 2008).
Salah satu pertanyaan reflektif yaitu, “ benarkah ungkapan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang ramah dan agamais ”. benarkah ungkapan ini masih
menjadi ciri khas bangsa Indonesia saat ini ?. Dunia yang semakin berubah,
sebagai akibat dari mengglobalnya ideologi kapitalisme, langsung maupun tidak
langsung telah membentuk karakter dan pola pikir manusia Indonesia. Kehidupan
sosial yang semakin beorientasi materill, lambat namun pasti telah mempengaruhi
pandangan sosial bangsa Indonesia yang dikenal sebagai manusia berwatak sosial
dan agamais. Mencermati hal tersebut maka julukan tersebut tidak tepat
selamanya(Ubaedilah, dan Abdul, 2008).
Maraknya kerusuhan sosial di sejumlah daerah menunjukkan tatanan sosial
masyarakat Indonesia sudah berubah. Tindakan - tindakan anarkis atau peruskan
fasilitas umum pada sebagian unjuk rasa menunjukkkan semakin menipisnya
kesadaran bahwa fsilitas umum dibangun dari uang rakyat. Dalam kehidupan
beragama, Indonesia sudah banyak berubah sebagai identitasnya yaitu bangsa
agamais. Semangat dan antusiasme keagamaan sebagaimana terlihat pada
semaraknya perayaan hari - hari besar keagamaan, tidak sebanding lurus dengan
angka tindakan korupsi di kalangan birokrasi dan swasta yang masih tinggi.
Sebuah kenyataan paradoks dari ungkapan – ungkapan positif atas identitas
bangsa Indonesia(Ubaedilah, dan Abdul, 2008).
Menurut para ahli, secara umum terdapat beberapa unsur yang menjadi
komponen identitas nasional, di antaranya (Ubaedilah, dan Abdul, 2008):
a. Pola Perilaku
Adalah gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari –
hari, misalnya adat istiadat, budaya dan kebiasaan, ramah tamah, hormat kepada
orangtua, dan gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang
bersumber dari adat istiadat dan budaya.
b. Lambang – Lambang
Adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi negara. Lambang –
lambang ini biasanya dinyatakan dalam undang – undang misalnya bendera,
bahasa, dan lagu kebangsaan.
c. Alat – Alat Perlengkapan
Adalah sejumlah perangkat atau alat – alat perlengkapan yang digunakan
untuk mencapai tujuan berupa bangunan, peralatan dan teknologi, misalnya
bangunan candi, masjid, pakaian adat, teknologi bercocok tanam dan teknologi
kapal laut serta pesawat terbang.
d. Tujuan yang ingin Dicapai
Yang bersumber dari tujuan bersifat dinamis dan tidak tetap, seperti budaya
unggul, prestasi dalam bidang tertentu. Sebagai sebuah bangsa yang mendiami
sebuah negara, tujuan bersama bangsa Indonesia telah tertuang dalam pembukaan
UUD’ 45, yakni kecerdasan dan kesejahteraan bersama bangsa Indonesia.

2. Unsur – Unsur Pembentuk Identitas Nasional Indonesia


Salah satu identitas yang melekat pada bangsa Indonesia adalah sebutan
sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan bangsa ini tercermin pada
ungkapan Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat pada simbol nasional burung
garuda dengan lima simbol yang mewakili sila – sila dalam dasar negara
pancasila. Kemajemukan ini merupakan perpaduan dari unsur – unsur yang
menjadi inti identitas(Ubaedilah, dan Abdul, 2008).
a. Sejarah
Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi sebuah negara, bangsa Indonesia
pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Dua kerajaan nusantara,
Majapahit dan Sriwijaya, dikenal sebagai pusat – pusat kerjaan nusantarayang
pengaruhnya menembus batas - batas teritorial dimana dua kerajaan ini berdiri.
Kebesaran dua kerajaan ini telah membekas pada semangat perjuangan
bangsa Indonesia pada abad berikutnya ketika penjajahan asing menancapkan
imperialismenya. Semangat juang bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah
menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa Indonesia yang kemudian menjadi salah
satu unsur pembentuk identitas nasional.
b. Kebudayaan
Aspek budaya yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi
tiga unsur yaitu : akal budi, peradaban, dan pengetahuan. Akal budi bangsa
Indonesia dapat terlihat pada sikap ramah dan santun kepada sesama. Adapun
unsur peradaban tercermin dari keberadaan dasar negara pancasila sebagai nilai –
nilai bersama bangsa Indonesia yang mejemuk. Sedangkan unsur pengetahuan
terlihat dalam pembuatan kapal pinisi yang tidak dimiliki bangsa lainnya.
c. Suku Bangsa
Kemajemukan merupakan identitas lain bangsa Indonesia. Namun
demikian, lebih dari sekedar kemajemukan yang bersifat alamiah tersebut, tradisi
bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam kemajemukan merupakan unsur lain
pembentuk identitas yang harus terus dikembangkan dan dibudidayakan.
Kemajemukan alamiah bangsa Indonesia terlihat pada keberadaan ribuan suku,
bahasa, dan budaya.
d. Agama
Keanekaragaman agama merupakan identitas lain dari kemajemukan
alamiah bangsa Indonesia. Keragaman agama dan keyakinan di Indonesia tidak
hanya dijamin oleh konstitusi negara, tetapi juga merupakan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa yang harus tetap dipelihara dan disyukuri bangsa Indonesia.
Mensyukuri nikmat kemajemukan dapat dilakukan dengan sikap dan tindakan
untuk tidak memaksakan keyakinan dan tradisi satu golongan atas golongan
lainnya.
e. Bahasa
Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas nasional Indonesia yang
penting. Sekalipun bangsa Indonesia memiliki ribuan bahasa daerah, kedudukan
bahasa Indonesia ( bahasa bangsa melayu ) sebagai bahasa penghubung ( lingua
franca)berbagai kelompok etnis yang mendiami kepulauan nusantara memberikan
identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Peristiwa sumpah pemuda 1928, yang menyatakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan Indonesia, telah memberikan nilai tersendiri bagi pembentukan
identitas nasional Indonesia. Lebih dari sekedar bahasa nasional, bahasa Indonesia
memiliki nilai tersendiri bagi bangsa Indonesia, ia telah memberikan sumbangan
besar pada pembentukan dan nasionalisme Indonesia.

3. Nasionalisme Indonesia
Jika seluruh komponen bangsa Indonesia mengamalkan dengan benar nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila, dapat dikatakan bahwa tidak ada
permasalahan yang tidak dapat diselesaikan, terkait dengan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Demikian pula, apabila semua warga Indonesia dan khususnya
para pemegang kebijakan yang diposisikan sebagai panutan bangsa ini
menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, bisa jadi bangsa ini
akan terhindar dari berbagai permasalahan, misalnya perpecahan atau disintegrasi,
penjualan aset-aset negara, demokrasi klise, kemiskinan, korupsi, ketergantungan
pada Bank Dunia dan IMF, dan tentu bangsa ini akan menjadi bangsa yang
berwibawa dan mandiri. Melihat fenomena sekarang ini, mestinya perlu
dipertanyakan betulkah rasa dan nilai nasionalisme sudah benar-benar diamalkan
dalam bentuk perbuatan dan tidak hanya dikatakan dalam lisan (Miftahuddin,
2011).
Tumbuhnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari situasi sosial pertama, abad ke-20. Pada waktu itu semangat
menentang nasionalisme Belanda mulai bermunculan dikalangan pribumi. Cita-
cita bersama untuk merebut kemerdekaan menjadi semangat umum dikalangan
tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk memformulasikan bentuk nasionalisme
yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Hal yang patut
disayangkan, perdebatan panjang diantara para tokoh pergerakan nasional tentang
faham kebangsaan itu berakhir pada saling curiga yang sulit dipertemukan.
Mereka sepakat tentang perlunya sesuatu konsep nasionalisme Indonesia
merdeka, tapi mereka berbeda dalam persoalan nilai atau watak nasionalisme
Indonesia (Herdiawanto dan Hamdayama, 2010)
Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa
proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido
Zernatto (1944), kata ’nation’ berasal dari kata Latin ’natio’ yang berakar pada
kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif
dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada
Abad pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di
universitas - universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika
Serikat sekarang). Selanjutnya, kata nation mendapat makna baru yang lebih
positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu
Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale
yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang
hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas
meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah
makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau
kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu Negara (Supardan, 2011).
Dapat ditegaskan bahwa apabila belajar dari sejarah yang pernah terjadi,
nasionalisme Indonesia adalah bentuk perwujudan dari sikap dan tindakan yang
anti terhadap praktek-praktek kolonialisme. Dengan demikian, nasionalisme
Indonesia merupakan suatu bangunan suatu negara yang dibentuk berdasarkan
anti penjajahan, penindasan, diskriminasi, kedholiman, ketidakadilan, serta
pengingkaran atas nilai-nilai ketuhanan. Tentu saja, apabila masyarakat Indonesia
atau person berprilaku dan bertindak dengan sikap-sikap sebagaimana disebutkan
tentu saja mereka bukanlah manusia (Miftahuddin, 2011).

4. Nasionalisme Indonesia dan Konsep – Konsep Turunannya


Konsep nasionalisme yang dirumuskan oleh para foundering father
berkelindan dengan konsep – konsep lanjutan lainnya seperti konsep dasar negara
bangsa yang lebih dikonkretkan menjadi bentuk dan struktur negara Indonesia
yang berbentuk republik(Herdiawanto dan Hamdayama, 2010).
Nasionalisme Indonesia pada dasarnya berwatak insklusif dan berwawasan
kemanusiaan. Konsep itu dirumuskan pada ketetapan Undang – Undang Dasar
1945(Herdiawanto dan Hamdayama, 2010).
a. Negara – Bangsa
Konsep negara bangsa adalah konsep tentang negara modern. Suatu negara
dikatakan telah memenuhi syarat sebagai negara modern jika setidaknya
memenuhi syarat – syarat pokok selain faktor kewiilayahan dan penduduk yang
merupakan modal suatu bangsa (nation) sebelum menjadi ebuah negara. Untuk
menjadi sebuah bangsa negara maka syarat – syarat lain adalah adanya batas
teritorial wilayah pemerintahan yang sah dan pengakuan dari negara lain. Sebagai
sebuah negara bangsa ketiga faktor tersebut sudah dimilik oleh negara Indonesia.
Menurut UUD 1945 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yaitu republik. Republik merupakan bentuk pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu suatu bentuk pemerintahan bukan
seorang raya dan dengan sistem peilihan umum untuk menduduki jabatan
politiknya.
Selain pasal tentang bentuk dan kedaulatan negara, konstitusi UUD 45
memuata juga pasal – pasal tentang unsur – unsur kelengkapan negara Indonesia
lainnya seperti badan legilatif, eksekutif, yudikatif pemerintah daerah dan
sebagainya.
b. Warga Negara
Pada UUD 45 pasal 26 bahwa yang menjadi Warga Negara ialah orang –
orang bangsa Indonesia asli dan orang – orang bangsa lain yang disahkan dengan
Undang – Undang sebagai warga negara. Sejalan dengan perkembangan jaman
bahwa bunyi pasal ini telah mengalami perbahan (amandemen) melalui perubahan
keduan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 oleh Majelis
Permusyawaratn Rakyat Republik Indonesia tahun 2000. Menurut amandemen
kedua UUD 45 pasal 26 adalah “ Penduduk ialah warga negara Indonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
c. Dasar Negara Pancasila
Setelah Indonesia merdeka, terjadi perdebatan serius tentang dasar negara
Indonesia merdeka. Perdebatan panjang di BPUPKI yang terjadi sebelum
kemerdekaan tentang dasar negara antara kelompok Islam yang mengkehendaki
Islam sebagai dasar negara dan golonga nasionalis. Perdebatan tersebut pada
akhirnya menghasilkan sebuah preambul. Dalam preambul tersebut terdapat
kalimat sebagai berikut : “kemerdekaan Indonesia dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk –
pemeluknya”. Selain itu mereka juga “menerima” Islam sebagai agama negara,
juga bahwa Presiden Republik Indonesia harus seorang yang berasal dari umat
Islam. Kemudian pada 22 juni 1945 kesepakatan tersebut ditandatangani
bertetapan dengan hari jadi kota Jakarta, sehingga dokumen tersebut dikenal
dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Sehari setelah kemerdekaan, kesepakatan itu mulai dipersoalkan.
Diceritakan bahwa orang – orang Keristen sebagian besar berada diwilayah Timut
Indoenesia menyatakan tidak beserdia bergabung dengan Republik Indonesia
kecuali jika beberapa unsur dalam Piagam Jakarta dihapukan. Unsur – unsur Islam
dalam Piagam Jakarta adalah 7 kata dalam Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk – pemeluknya”, Islam sebagia agama
negara dan persyaratan bahwa Presiden harus seorang muslim.
Keiingan masyarakat wilayah timur nusantara memaksa para perumus dasar
negara kembali melakukan tugas yang melelahkan dalam rangka merumuskan
kembali dasar ideologi dan konstitusi negara. Akhirnya kelompok Islam
bersepakat untuk menghapus unsur – unsur Islam yang telah mereka rumuskan
dalam Piagam Jakarta. Sebagai gantinya unsur ketuhanan dimasukan ke dalam
sila pertama dalam Pncasila. Dengan demikian, sila pertama berbunya “
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sejak diterimanya usul perubahan tersebut dan ditetapkannnya UUD 45
sebagai Undang – Undang Dasar Negara Republik Inonesia, maka dengan
sendirinya 7 kata klausul Islami dalam Piagam Jakarta hilang dari konstitusi
negara. Sejak peristiwa ini, maka dasar negara Indonesia yang berkedaulatan
rakyat yaitu pancasila dengan kelima silanya yani Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indoenesia.

5. Perlunya Integrasi Nasional


Di indonesia istilah integritas masih sering disamakan dengan istilah
pembauran dan asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan.
Integrasi diartikan dengan integrasi kebudayaan, sosial dan pluralisme sosial.
Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antara dua atau lebih kebudayaan
mengenai berapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau
bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras
(harmonis).Caranya adalah melalui difusi (penyebaran), dimana unsur kebudayaan
baru diserap ke dalam suatu kebudayaan yang berada dalam keadaan konflik
dengan unsur kebudayaan tradisional tertentu.
Integrasi sosial adalah penyatupaduan dari kelompok-kelompok masyarakat
yang asalanya berbeda, menjadi suatu kelompok besar dengan cara melenyapkan
perbedaan dan jati diri masing-masing. Integrasi sosial sama artinya dengan
asimilasi atau pembauran. Perbedaan dengan pembauran adalah bahwa kelompok-
kelompok sosial yang telah bersatu itu, tetap mempunyai kebudayaan yang
berbeda satu sama lain, karena adanya loyalitas terhadap kelompok-kelompok
asalanya yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sedangkan pada kelompok-
kelompok masyarakat yang telah membaur itu, perbedaan tersebut sudah tidak ada
lagi.
Pluralisme kebudayaan adalah pendekatan heterogenis atau kebhinekaan
kebudayaan, dengan kebudayaan suku-suku bangsa dan kelompok-kelompok
minoritas diperkenankan mempertahankan jati diri mereka masing-masing dalam
suatu masyarakat. Sedangkan pembauran adalah pembauran tuntas antara
kelompok-kelompok atau individu-individu yang masing-masing asalnya
mempunyai kebudayaan dan jati diri yang berbeda, menjadi suatu kelompok baru
dengan kebudayaan dan jati diri bersama.
Sementara yang dimaksud integrasi nasional adalah penyatuan bagian-
bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih
utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya
menjadi suatu bangsa. Selain itu integrasi bangsa merupakan kemampuan
pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaannya di seluruh
wilayah (Tim ICCE UIN, 2000).

6. Keterkaitan Integrasi Nasional Indonesia dan Identitas Nasional


Masalah integrasi nasional di indonesia sangat kompleks dan
multidimensional. Untu mewujudkannya diperlukan keadilan kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan suku, ras, agam, bahasa
dan lainnya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan dan persatuan
bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik
di samping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam
menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap
perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa indonesia yang dinginkan.
Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu, karena pada
hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan
dan persatuan bangsa yang diinginkan (Herdiawanto dan Hamdayama, 2010).

7. RevitalisasiPancasila
Gelombang demokrasi dalam bentuk tuntutan reformasi menjadi ancaman
bagi eksistensi ideologi nasional seperti Pancasila. Terdapat tiga faktor yang
membuat Pancasila tidak relevan lagi saat ini yaitu :
Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang
menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo
kekuasaannya. Misalnya, menetapkan Pancasila sebagai asa tunggal bagi setiap
organisasi, baik organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik.
Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang ditetapkan
presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai stu-satunya asas setiap organisasi.
Penghapusan ini memberika peluang bagi adopsi asas ideologi-ideologi lain,
khususnya yang berasis agama. Akibatnya, Pancasila cenderung tidak lagi menjasi
common platform dalam kehidupan politik.
Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang mendorong penguatan
sentimen kedaerahan. Apabila tidak diantisipasi, mungkin menumbuhkan
sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih ethnonationalism. Dalam
proses ini, Pancasila baik sengaja maupun akibat langsung dari proses
desentralisasi akan kehilangan posisi sentralnya.
Mempertimbangkan posisi krusial Pancasila diatas, maka perlu dilakukan
revitalisasi makna, peran dan posisi Pancasila bagi masa depan Indonesia.

Revitalisasi Pancasila Sebagai Pemberdayaan Identitas Nasional


Revitalisasi pancasila sebagaimana manifestasi identitas nasional harus
diarahkan pada pembinaan dan pengembangan moral sedemikian rupa sehingga
moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah. Harus kita sadari bahwa
moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna apabila tidak disertai dukungan
suasana kehidupan dibidang hukum secara kondusif.
Dalam merevitalsasi Pancasila sebagai manifestasi identitas nasional,
penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan hendaknya dikaitkan dengan
wawasan berikut :
1. Spiritual : untuk meletakkan landasan etika, moral, religiusitas sebagai
dasar dan arah pengembangan suatu profesi.
2. Akademis : untuk menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan
merupakan aspek being yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih
pentng daripada aspek having dalam kerangka penyiapan sumber daya
manusia (SDM) yang bukan sekedar instrumen, melainkan subjek
pembaharuan dan pencerahan.
3. Kebangsaan : untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar
dalam pergaulan antarbangsa, tetap setia kepada kepentingan bangsanya,
bangga dan respek kepada jatidiri bangsanya yang memiliki ideologi
tersendiri.
4. Mondial : untuk mampu segera beradaptasi dengan perubahan yang
terus-menerus dan mampu pula mencari jalan keluarnya sendiri.
Dalam rangka pemberdayaan identitas nasional kita, perlu ditempuh upaya
melalui revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi identitas nasional
mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhannya
dengan Pembukaan, serta dieksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat
padanya, yang meliputi sebagai berikut :
1. Realitas dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
2. Idealis dalam arti bahwa idealisme yang terkandung didalamnya
diobjekkan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
3. Fleksibilitas dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dan “tertutup”, kemudian menjadi sesuatu yang sakral,
melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan
zaman yang terus berkembang. Dengan demikian, tanpa kehilangan nilai
hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan, serta fungsional
sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara
dengan jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika.
Dengan demikian, agar identitas nasional dapat dipahami sama oleh
masyarakat sebagai penerus tradisi, pemberdayaan nilai-nilai ajarannya harus
bermakna, dalam arti relevan dan fungsional bagi kondisi aktual yang sedang
berkembang dalam masyarakat.
Melalui revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan identitas
nasional, identitas nasional dalam alur rasional-akademis tisak saja segi tekstual,
melainkan juga segi kontekstualnya dieksplorasikan sebagai referensi kritik sosial
terhadap berbagai penyimpangan yang melanda masyarakat kita dewasa ini.
Untuk membentuk jati diri, nilai-nilai yang ada harus digali terlebih dahulu,
misalnya nilai-nilai agama yang datang dari Tuhan dan nilai yang lain seperti
gotong-royong, persatuan kesatuan, saling menghargai dan menghormati. Dengan
saling mengerti, secara langsung akan memperlihatkan jati diri bangsa kita yang
akhirnya mewujudkan identitas nasional kita.
Untuk mengembangkan jati diri bangsa, dimulai dari nilai-nilai yang harus
dikembangkan seperti nilai kejujuran, keterbukaan, berani mengambil resiko,
bertanggung jawab, adanya kesepakatan dan berbagi kepada sesama. Untuk itu,
perlu perjuangan dan ketekunan ( Herdiawanto dan Jumanta, 2010).

8. Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional


Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk
semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang
terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern. Istilah
globalisasi sering diidentikkan dengan (Ubaedilah, dan Abdul, 2008):
a. Internasionalisasi, yaitu hubungan antarnegara, meluasnya arus
perdagangan dan penanaman modal.
b. Liberalisasi, yaitu pencbutan pembatasan-pembatasan pemerintah untuk
membuka ekonomi tanpa pagar (borderless world) dalam hambatan
perdagangan, pembatasan kelaur masuk mata uang, kendali devisa, dan
izin masuk suatu negara (visa)
c. Universalisasi, yaitu ragam selera atau gaya hidup seperti pakaian,
makanan, kendaraan, diseluruh pelosok penjuru dunia
d. Westernisasi atau Amerikanisasi, yaitu rgam hidup model budaya Barat
atau Amerika
e. De-Teritorialisasi, yaitu perubahan-perubahan geografi sehingan ruang
social dalam perbatasan, tempat dan jarak menjadi berubah.
Adanya era globalisasi dapat perbengaruh terhadap nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia. Era globalisasi tersebut telah datang dan menggeser nilai-nilai
yang telah ada. Ini semua merupakan ancaman, tantangan, dan sekaligus sebagai
peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi di segala aspek
kehidupan(Herdiawanto dan Hamdayama, 2010).
Di era globalisasi, pergaulan antar bangsa semakin ketat. Batas antarnegara
semakin tidak ada artinya. Batas wilayah tidak lagi menjadi penghalang. Di dalam
pergaulan antarbangsa yang semakin ketat itu akan terjadi proses akulturisasi,
saling meniru dan memengaruhi antara budaya masing-masing. Proses
akulturisasi ini dapat melunturkan tat nilai yang merupakan jati diri bangsa
Indonesia. Lunturnya tata nilai tersebut biasanya ditandai oleh dua faktor
berikut(Herdiawanto dan Hamdayama, 2010):
1. Semakin menonjolnya sikap individualistis, yaitu mengutamakan
kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Hal ini bertentangan
dengan asas gotong royong.
2. Semakin menonjolnya sikap materialistis yang berarti harkat dan
martabat kemanusiaan hanya diukur dari hasil atau keberhasilan
seseorang dalam memperoleh kekayaan. Hal ini bisa berakibat
bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan lagi. Bila hal
ini terjadi, maka moral dan etika telah dikesampingkan.
Pengaruh negatif akibat proses akulturisasi tersebut dapat merongrong
nilai-nilai yang telah ada dalam masyarakat. Jika semua ini tidak dapat dibendung,
hal tersebut akan mengganggu ketahanan disegala aspek bahkan mengarah kepada
kredibilitas sebuah ideologi. Untuk membendung arus globalisasi yang sangat
deras maka perlu diciptakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional
dapat terjaga dengan cara membangun sebuah konsep nasionalisme kebangsaan
yang mengarah kepada konsep identitas nasional.

Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi
keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri,
yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,
kelangsungan hidup bangsa dan Negara seta perjuangan mengejar tujuan nasional.
Dalam rangka ketahanan nasional, peluang dan tantangan bangsa Indonesia dalam
era globalisasi dalapat dijumpai dalam berbagai bidang sebagai
berikut(Ubaedilah, dan Abdul, 2008):
a. Bidang politik
- Politik luar negeri bebas aktif
- Demokrasi menjadi sistem politik Indonesia yang berintikan
kebebasan mengemukakan pendapat.
- Melaksanakan system pemerintahan yang baik (good governance)
dengan prinsip partisipasi, transparasi, rule of law, responsif, serta
efektif dan efisien.
b. Bidang ekonomi
- Menjaga kestabilan ekonomi makro dengan menstabilkan nilai tukar
rupiah dan suku bunga
- Menyediakan lembaga-lembaga ekonomi yang modern (perbankan, pasar
modal)
- Mengeksploitasi sumber daya alam secara proporsional
c. Bidang sosial budaya
- Meningkatkan sumber daya manusia, yaitu kompetensi dan komitmen
melalui demokratisasi pendidikan
- Penguasaan ilmu dan teknologi serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan masyarakat
- Menyusun kode etik profesi yang sesuai dengan karakter dan budata
bangsa
KESIMPULAN

1. Identitas adalah ungkapan nilai–nilai budaya suatu bangsa yang bersifat


khas dan membedakannya dengan bangsa lainsertamelekatpadasuatubangsa.
2. Unsur-unsurpembentukidentitasnasionalsebagaibangsa yang
majemukdapatdilihatdarisisisejarah, kebudayaan, sukubangsa, agama,
danbahasa.
3. Nasionalisme Indonesia dan konsep-konsepnasionlismedirumuskan pada
ketetapan Undang – Undang Dasar 1945, berupa Negara-Bangsa, warga
Negara, dandasar Negara pancasila.
4. Integrasi nasional merupakan penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari
suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh atau
memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi
suatu bangsa.
5. Globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin
bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang
terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern.
6. Untuk membendung arus globalisasi yang sangat deras maka perlu
diciptakan suatu kondisi agar ketahanan nasional dapat terjaga dengan cara
membangun sebuah konsep nasionalisme kebangsaan yang mengarah
kepada konsep identitas nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Herdiawanto, Heri dan Hamdayama, Jumanta. 2010. Cerdas, Kritis, dan Aktif
Berkewarganegaraan (Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
Tinggi). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Miftahuddin. 2011. Nasionalisme Indonesia; Nasionalisme Pancasila. Artikel
Nasionalisme Pancasila. Jakarta.
Supardan, Dadang. 2011. Tantangan Nasionalisme Indonesia dalam Era
Globalisasi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Tim ICCE UIN. 2000. Pendidikan kewargaan (Civic education) : demokrasi, hak
asasi manusia manusia dan masyarakat madani. Jakarta : Prenada Media.
Ubaedillah, A., dan Abdul Rozak. 2008. Pendidikan kewarganegaraan,
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Indonesian Center For Civic
Education ( ICCE ), UIN Syarif Hidayatullah.Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

Anda mungkin juga menyukai